Anda di halaman 1dari 44

LAPORAN PROBLEM BASED LEARNING I BLOK CARDIOVASKULER NY.

RASITEM

TUTOR dr. Arini Nur Famila KELOMPOK 6 : 1. Tyasa Budiman 2. Liliana Yeni S. 3. Partogi Andres 4. Iman Hendrianto 5. Zafir Jehan A. 6. Keyko L. M. S. 7. Dyah Retno Y. F. 8. Nahiyah Isnanda 9. Yessy Dwi O. 10. Intania Zahra G1A010005 G1A010019 G1A010030 G1A010048 G1A010060 G1A010074 G1A010087 G1A010098 G1A010108 G1A007013

DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN JURUSAN KEDOKTERAN PURWOKERTO 2012

KASUS PBL CV 01: Ny. Rasitem

Informasi 1 Ny. Rasitem (50 tahun) datang ke Puskesmas X dengan keluhan nyeri kepala. Nyeri kepala hilang-timbul yang dirasakan sejak 1 bulan yang lalu. Ny Rasitem juga mengeluhkan leher terasa kencang, tidak nyaman, dan badan cepat lelah. Keluhan berkurang jika penderita minum obat sakit kepala. Penderita seorang pedagang daging di pasar. Penderita tidak mengetahui apakah pernah menderita tekanan darah tinggi, kencing manis, namun mengatakan bahwa kedua orang tuanya adalah penderita tekanan darah tinggi.

A. Klarifikasi Istilah 1. Tekanan Darah Tinggi Hipertensi adalah keadaan dimana takanan sistol rata-rata lebih dari 140 mmHg dan atau tekanan darah diastolik rata-rata lebih dari 90 mmHg (Dorland, 2002).

Tabel 1. Klasifikasi Hipertensi Menurut JNC 7 Interpretasi Normal Prahipertensi Hipertensi derajat 1 Hipertensi derajat 2 (Armilawaty, 2007) Sistolik < 120 120-139 140-159 > 160 Diastolik < 80 80-89 90-99 > 100

2. Nyeri Nyeri merupakan respon dari syaraf sensorik yang menimbulkan rasa tidak nyaman dapat terjadi karena kerusakan jaringan dan merupakan tanda utama peradangan (Dorland, 2002). Nyeri: nyeri merupakan sensasi subjektif rasa tidak nyaman yang biasanyua berkaitan dengan kerusakan jaringan actual atau potensial. Nyeri dapat bersifat protektif, yaitu dengan menyebabkan Individu

menjauhi suatu rangsangan yang berbahaya, atau tidak memiliki fungsi, seperti pada nyeri kronik. Nyeri dirasakan apabila reseptor-reseptor nyeri spesifik teraktivasi. Nyeri dijelaskan secara subyektif berdasarkan lama (durasi), kecepatan sensasi, dan letak (Shiel, 2010). 3. Nyeri Kepala Nyeri kepala adalah nyeri atau rasa tak nyaman diatas bagian superior kepala, kadang menyebar ke wajah, gigi, rahang, dan leher. Nyeri kepala ada yang primer dan sekunder. Pada primer, nyerinya adalah ringan kumat-kumatan, migren, tegang otot berkelompok. Pada sekunder, nyeri kepala akibat akibat penyakit lain seperti akibat trauma, kelainan vaskuler, kenaikan tekanan intrakranial (Dorland, 2002). Nyeri kepala berbeda dengan pusing. Nyeri kepala dikenal dengan nama cephalgia merupakan rasa nyeri atau tidak enak di kepala. Sedangkan pusing merupakan rasa berputar yang dirasakan oleh penderita sehingga mengakibatkan perasaan goyang, terhuyung-huyung bahkan bisa menimbulkan rasa ingin muntah (Shiel, 2010). 4. Kencing Manis Diabetes mellitus : kelainan metabolic dimana ditemukan ketidakmampuan untuk mengoksidasi karbohidrat, akibat gangguan pada mekanisme insulin yang normal, menimbulkan hiperglikemi, glikosuria, poliuria, rasa haus, rasa lapar, badan kurus, kelemahan, asidosis , sering menyebabkan dispnea, ketonuria, dan akhirnya koma (Dorland, 2002).

5. Lelah Perasaan subjektif yang merupakan output dari aktivitas yang terus menerus. Kelelahan kerja merupakan gejala yang ditandai dengan adanya perasaan dan penurunan kesiagaa. Kelelahan mungkin juga merupakan mekanisme perlindungan tubuh agar menghindari kerusakan yang lebih lanjut. Fatigue: keadaan meningkatnya ketidaknyamanandan menurunnya efisiensi akibat pekerjaanyang berkepanjangan atau berlebihan;kehilangan tenaga atau kemampuan menjawab rangsangan (Dorland, 2002).

6. Puskesmas Unit Pelayanan Tingkat Daerah kesehatan kabupaten/kota yang bertanggung jawab untuk menyelenggarakan pemeliharaan kesehatan di suatu wilayah kerja (digilib.unimus.ac.id). Organisasi kesehatan fungsional yang merupakan pusat

pengembangan kesehatan masyarakat yang juga membina peran serta masyarakat dan memberikan pelayanan secara menyeluruh dan terpadu kepada masyarakat di wilayah kerjanya dalam bentuk kegiatan pokok (ners. unair.ac.id). 7. Nyeri Leher Kontraksi atau spasme dari satu atau beberapa otot leher karena sikap tubuh yang salah, mikrotrauma atau terserang angin dingin sehingga leher menjadi kaku, gerakan terbatas, dan nyeri (Ngoerah, 1991). B. Batasan Masalah Dari hasil anamnesis Nama Usia Keluhan utama Durasi Keluhan penyerta : Nn Rasitem : 50 tahun : nyeri kepala : hilang timbul : leher terasa kencang, tidak nyaman, badan cepat lelah Faktor memperingan RPS RPK C. Rumusan Masalah 1. 2. 3. 4. 5. 6. Anatomi organ jantung Pendarahan di Jantung Perbedaan arteri dan vena Histologi organ jantung Fisiologi organ jantung Sistem konduksi jantung : minum obat sakit kepala : pedagang daging : ayah dan ibu penderita tekanan darah tinggi

7. 8. 9. 10.

Macam-macam dan penyebab nyeri kepala Perbedaan Tension Type Headache (TTH). Migraine, dan cluster Patofisiologi Tension Type Headache Diagnosis banding dengan anamnesis sederhana dan pemeriksaan fisik

D. Pemecahan Masalah 1. Anatomi organ jantung Sistem kardiovaskuler merupakan sistem yang memberi fasilitas proses pengangkutan berbagai substansi dari, dan ke sel-sel tubuh. Sistem ini terdiri dari organ penggerak yang disebut jantung, dan sistem saluran yang terdiri dari arteri yang mergalirkan darah dari jantung, dan vena yang mengalirkan darah menuju jantung (Martini, 2009). Jantung manusia merupakan jantung berongga yang memiliki 2 atrium dan 2 ventrikel. Jantung merupakan organ berotot yang mampu mendorong darah ke berbagai bagian tubuh. Jantung manusia berbentuk seperti kerucut dan berukuran sebesar kepalan tangan, terletak di rongga dada sebalah kiri. Jantung dibungkus oleh suatu selaput yang disebut perikardium. Jantung bertanggung jawab untuk mempertahankan aliran darah dengan bantuan sejumlah klep yang melengkapinya. Untuk mejamin kelangsungan sirkulasi, jantung berkontraksi secara periodik. Otot jantung berkontraksi terus menerus tanpa mengalami kelelahan. Kontraksi jantung manusia merupakan kontraksi miogenik, yaitu kontaksi yang diawali kekuatan rangsang dari otot jantung itu sendiri dan bukan dari syaraf (Martini,2009). Terdapat beberapa bagian jantung secara anatomis diantaranya yaitu : a. Bentuk Serta Ukuran Jantung Jantung merupakan organ utama dalam sistem kardiovaskuler. Jantung dibentuk oleh organ-organ muscular, apex dan basis cordis, atrium kanan dan kiri serta ventrikel kanan dan kiri. Ukuran jantung panjangnya kira-kira 12 cm, lebar 8-9 cm seta tebal kira-kira 6 cm (Sobootta.2006).

Gambar 1. Anatomi Jantung Tertutup Posisi jantung terletak diantar kedua paru dan berada ditengah tengah dada, bertumpu pada diaphragma thoracis dan berada kira-kira 5 cm diatas processus xiphoideus. Pada tepi kanan cranial berada pada tepi cranialis pars cartilaginis costa III dextra, 1 cm dari tepi lateral sternum. Pada tepi kanan caudal berada pada tepi cranialis pars cartilaginis costa VI dextra, 1 cm dari tepi lateral sternum. Tepi kiri cranial jantung berada pada tepi caudal pars cartilaginis costa II sinistra di tepi lateral sternum, tepi kiri caudal berada pada ruang intercostalis 5, kira-kira 9 cm di kiri linea medioclavicularis. Epikardium adalah lapisan paling luar dari jantung, lapisan berikutnya adalah lapisan miokardium dimana lapisan ini adalah lapisan yang paling tebal. Lapisan terakhir adalah lapisan endokardium (Sobootta, 2006).

Gambar 2. Anatomi Jantung Terbuka b. Ruang Dalam Jantung Ada 4 ruangan dalam jantung dimana dua dari ruang itu disebut atrium dan sisanya adalah ventrikel. Pada orang awam, atrium dikenal dengan serambi dan ventrikel dikenal dengan bilik. Kedua atrium merupakan ruang dengan dinding otot yang tipis karena rendahnya tekanan yang ditimbulkan oleh atrium. Sebaliknya ventrikel mempunyai dinding otot yang tebal terutama ventrikel kiri yang mempunyai lapisan tiga kali lebih tebal dari ventrikel kanan.Kedua atrium dipisahkan oleh sekat antar atrium (septum interatriorum), sementara kedua ventrikel dipisahkan oleh sekat antar ventrikel (septum inter-ventrikulorum). Atrium dan ventrikel pada masing-masing sisi jantung berhubungan satu sama lain melalui suatu penghubung yang disebut orifisium atrioventrikuler. Orifisium ini dapat terbuka atau tertutup oleh suatu katup atrioventrikuler (katup AV). Katup AV sebelah kiri disebut katup bikuspid (katup mitral) sedangkan katup AV sebelah kanan disebut katup trikuspid (Sobootta.2006).

Gambar 3. Ruang Jantung

c. Katup-Katup Jantung

Gambar 4. Katup-Katup Jantung Diantara atrium kanan dan ventrikel kanan ada katup yang memisahkan keduanya yaitu katup trikuspid, sedangkan pada atrium kiri dan ventrikel kiri juga mempunyai katup yang disebut dengan katup mitral/ bikuspid. Kedua katup ini berfungsi sebagai pembatas yang dapat terbuka dan tertutup pada saat darah masuk dari atrium ke ventrikel (Sobootta,2006).

Gambar 5. Katup Trikuspid

Katup trikuspid berada diantara atrium kanan dan ventrikel kanan. Bila katup ini terbuka, maka darah akan mengalir dari atrium kanan menuju ventrikel kanan. Katup trikuspid berfungsi mencegah kembalinya aliran darah menuju atrium kanan dengan cara menutup pada saat kontraksi ventrikel. Sesuai dengan namanya, katup trikuspid terdiri dari 3 daun katup (Sobootta,2006).

Gambar 6. Katup Trikuspid tertutup

Setelah katup trikuspid tertutup, darah akan mengalir dari dalam ventrikel kanan melalui trunkus pulmonalis. Trunkus pulmonalis bercabang menjadi arteri pulmonalis kanan dan kiri yang akan berhubungan dengan jaringan paru kanan dan kiri. Pada pangkal trunkus pulmonalis terdapat katup pulmonalis yang terdiri dari 3 daun katup yang terbuka bila ventrikel kanan berkontraksi dan menutup bila ventrikel kanan relaksasi, sehingga memungkinkan darah mengalir dari ventrikel kanan menuju arteri pulmonalis (Sobootta,2006).

Gambar 7. Katup Bikuspid

Katup bikuspid atau katup mitral mengatur aliran darah dari atrium kiri menuju ventrikel kiri.. Seperti katup trikuspid, katup bikuspid menutup pada saat kontraksi ventrikel. Katup bikuspid terdiri dari dua daun katup (Sobootta,2006).

Gambar 8. Katup Aorta

Katup aorta terdiri dari 3 daun katup yang terdapat pada pangkal aorta. Katup ini akan membuka pada saat ventrikel kiri berkontraksi sehingga darah akan mengalir keseluruh tubuh. Sebaliknya katup akan menutup pada saat ventrikel kiri relaksasi, sehingga mencegah darah masuk kembali kedalam ventrikel kiri (Sobootta, 2006). 2. Pendarahan di Jantung Jantung diperdarahi oleh arteri koroner yang terbagi 2 menjadi arteri koroner dekstra dan sinistra. arteri koroner dekstra memperdarahi darah ke 3 bagian jantung yaitu: a. Atrium kanan,

b. Bagian dari kedua ventrikel, c. Bagian system konduksi dari jantung, termasuk di dalamnya SA node dan AV node (Pabst & Putz, 2006). Arteri koroner dekstra bercabang menjadi: 1. Ramus coni arteriosi. 2. Rami ventrikularis anterior. 3. Rami ventrikularis posterior. 4. Ramus interventrikularis posterior: salah satu cabangnya memperdarahi AV node. 5. Rami atriales: salah satu cabangnya merupakan arteria nodus sinoatrialis yang mendarahi SA node (Pabst & Putz, 2006). Arteri koroner sinistra memperdarahi bagian ventrikel kiri, atrium kiri, dan septum interventrikuler. Arteri koroner sinistra bercabang menjadi 2 yaitu: 1. Ramus interventrikular anterior: memperdarahi ventrikel dekstra dan sinistra dan bagian anterior septum interventrikuler. 2. Ramus sirkumflexus: cabang terbesarnya yaitu ramus marginalis sinister yang memperdarahi batas kiri ventrikulus sinister dan turun sampai ke apex cordis (Pabst & Putz, 2006). Selain arteri juga terdapat vena-vena kardiaka yang membawa darah kembali ke jantung. Vena yang paling besar yaitu vena cardiac magna. Dimulai dari permukaan anterior ventrikel sepanjang sulcus interventrikularis. Vena ini berhubungan dengan sulcus coronaries yang berada di sisi posterior sulcus coronaries. Selain itu ada juga vena cardiaca media, vena cardiac parva, vena cardiac anterior serta vena cardiac posterior (Pabst & Putz, 2006).

3. Perbedaan Arteri dan Vena Tabel 2. Perbedaan Arteri san Vena

Perbedaan Bentuk Lumen otot polos

Arteri Kecil Bulat Tebal

Vena besar/kolaps tidak bulat tidak tebal tunica adventisia otot polos longitudinal

tunica yang berkembang tunica media jenis otot polos otot polos konsentrik

jenis yang paling banyak

arteri muscularis

vena medium

(Eroschenko, 2010) 4. Histologi organ jantung a. Lapisan endokardium

Gambar 9. Lapisan Endokardium Pada lapisan endokardium pada jantung dapat ditemukan epitel squamus simplek , jaringan ikat dan otot polos. Ini merupakan lapisan paling dalam dari jantung (Eroschenko, 2010).

b. Lapisan myocardium

Gambar 10. Lapisan Miokardium Pada lapisan ini merupakan susunan otot jantung, dimana dapat kita amati inti satu atau lebih ditengah, anastomose dari otot jantung, discus intercalatus,dan sifat dari otot jantung ini adalah involunter (Eroschenko, 2010).

c. Lapisan epicardium

Gambar 11. Lapisan Epikardium Pada lapisan epicardium ini dapat kita temukan jaringan adipose, pembuluh darah nervus dan mesotelium karna lapisan ini merupakan lapisan terluar dari jantung (Eroschenko, 2010).

d. Serabut purkinje

Gambar12. Serabut Purkinje Serabut purkinje ini dapat kita temui pada stratum subepicondrial danyang kita ketahui srebut purkinje ini merupakan salh satu dari system konduksi jantung (Eroschenko, 2010).

e. Atrioventricular Node

Gambar 13. Atrioventricular Node Ini merupakan gambaran histogi dari salah satu system konduksi jantung yaitu Nodus atrioventrikular (Eroschenko, 2010).

5. Fisiologi organ jantung Siklus jantung merupakan urut-urutan mekanisme kejadian otot jantung pada saat jantung berdenyut. Terdapat dua mekanisme penting pada saat jantung berdenyut yaitu kontraksi ventrikel (sistol) dan relaksasi

ventrikel (diastol). Sebenarnya sistole dan diastol tidak hanya terjadi pada ventrikel saja, namun juga pada atrium. Namun, jika disebutkan hanya sistol dan diastol saja berarti itu adalah sistol dan diastol yang terjadi pada ventikel (Sherwood, 2001). Siklus jantung adalah sebagai berikut (Tortora, 2006):

Gambar 14. Grafik. Siklus Jantung a. Late Systole Fase ini merupakan pengisian ventrikel secara pasif (75% dari volume total ventrikel) disebabkan katup Atrioventrikuler (AV) membuka. b. Atrial Systole Atrium berkontraksi sehingga menambah volume darah di ventrikel (25% dari volume total ventrikel). Diastol berakhir ditandai tertutupnya katup AV (sistol). c. Isovolumetric Contraction Terjadi kontraksi ventrikel tanpa diikuti perubahan panjang dan volume serabut otot jantung, tetapi terjadi perubahan tekanan di ruang ventrikel sampai besarnya sama dengan tekanan di aorta, yakni sebesar 80 mmHg (tekanan di aorta tinggi, tegangan otot besar). Tujuannya membuka katup seminularis. d. Ejection

Selama ejeksi, tekanan sistol meningkatlebih tinggi lagi, sebab jantung masih berkontraksi. Pda waktu yang sama volume ventrikel akan menurun karena katup aorta terbuka dan darah mengalir keluar dari ventrike menuju aorta (70-80 ml = stroke volume). Fase ini diakhiri dengan tertutupnya katup seminularis (diastol). e. Isovolumetric Relaxation Pada dasarnya tahap ini adalah tahap ketika semua katup tertutup dalam waktu singkat. Lalu saat katup semilunaris telah tertutup tekanan ventrikel akan kembali ke nilai tekanan distole. Hal ini memiliki tujuan untuk dapat mengalirkan darah sebanyakbanyaknya sehingga terjadi kontraksi yang kuat karena tekanan yang rendah pada ventrikel juga untuk dapat membuka katup AV. Perubahan volume pada jantung meliputi (Tortora, 2006): a. End Diastolic Volume (EDV) Peningkatan volume ventrikel sampai kira-kira 110-120 ml karena adanya pengisian pada ventrikel saat fase diastol (beban jantung yang harus dipompakan). Ada batas maksimal pada EDV karena otot jantung bersifat elastic dan dapat menjadi melar. Jika otot jantung menjadi melar, otot tidak dapat lagi berkontraksi sehingga memperkecil stroke volume. b. End Systolic Volume (ESV) Volume yang masih tertinggal dalam setiap ventrikel sesaat setelah proses ejeksi, kira-kira 40-50 ml. Makin tua, jumlah ESV makin banyak. c. Stroke Volume (EDV-ESV) Penurunan volume ventrikel sampai kira-kira 70 ml karena ventrikel melakukan pengosongan saat sistol (volume yang diejeksikan oleh ventrikel). d. Ejection Fraction (EF) Presentase EDV yang disemprotkan keluar oleh ventrikel. Normalnya sekitar 50-60%, jika kurang dari 40% artinya ventrikel

kiri gagal memompa darah. Untuk mengetahui EF dapat diukur dengan EKG.

EF = SV/EDH x 100%

Fisiologi dari sirkulasi sistemik ditentukan oleh dinamika aliran darah, anatomi dari sistem sirkulasi, dan mekanisme regulasi yang mengontrol jantung dan pembuluh darah. Tujuan dari pengaturan sistem kardiovakuler adalah untuk menjaga aliran darah yang adekuat kepada kapiler pada jaringan peifer dan organ-organ. Dalam keadaan normal, aliran darah sebanding dengan cardiac output (CO). ketika CO meningkat, maka akan meningkat pula aliran darah, demikian pula sebaliknya, ketika CO turun maka aliran darah yang menuju ke kapiler jaringan juga akan berkurang (Martini, 2009).

6. Sistem Konduksi Jantung Dalam keadaan istirahat, sel jantung berada dalam keadaan terpolarisasi secara elektris, yaitu bagian dalamnya bermuatan lebih negatif daripada bagian luarnya. Polarisasi listrik ini dijaga oleh pompa membran yang menjamin agar ion-ion (kalium, natrium, dan kalsium) yang diperlukan untuk mempertahankan bagian dalam sel supaya relatif bersifat elektronegatif dapat terdistribusi dengan baik (Thaler, 2009). Aktivitas listrik jantung dapat dipicu oleh saraf maupun dapat oleh jantung sendiri. Jantung memiliki sifat otoritmisitas yang menyebabkan jantung bisa berdenyut karena potensial aksi yang ditimbulkannya sendiri. Hal ini dikarenakan jantung memiliki dua jenis khusus sel otot jantung yaitu sel kontraktil dan sel otoritmik (Sherwood, 2001).

Mekanisme konduksi jantung adalah sebagai berikut (Sherwood, 2001): Nodus Sinoatrial Nodus Atrioventrikular

Internodular pathway

Berkas Hiss Kanan Melalui myosit di myokard ium

Berkas Hiss Kiri

Serabut Purkinje

Serabut Purkinje

Ventrikel Dextra

Ventrikel Sinistra

Bagan. Perjalanan Potensial Aksi (Sherwood, 2001)

7. Macam-macam dan penyebab nyeri kepala a. Ketegangan otot Sakit kepala sering terjadi. Nyeri hilang timbul, tidak terlalu berat & dirasakan di kepala bagian depan & belakang, atau penderita merasakan kekakuan menyeluruh b. Migren Nyeri dimulai di dalam & di sekitar mata atau pelipis, menyebar ke satu atau kedua sisi kepala, biasanya mengenai seluruh kepala tetapi bisa hanya pada satu sisi kepala, berdenyut & disertai dengan hilangnya nafsu makan, mual & muntah. c. Sakit kepala cluster Serangannya singkat (1 jam) Nyeri sangat hebat & dirasakan di satu sisi kepala . Serangan terjadi secara periodik dalam sebuah kelompok

(diselingi periode bebas sakit kepala) & terutama menyerang pria Disertai dengan pembengkakan mata, hidung meler & mata berair pada sisi yg sama dengan nyeri. d. Tekanan darah tinggi e. Jarang menyebabkan sakit kepala, kecuali pada tekanan darah tinggi yg berat karena adanya tumor di kelenjar adrenal. Nyerinya berdenyut & dirasakan di kepala bagian belakang atau di puncak kepala. f. Kelainan mata Nyeri dirasakan di kepala bagian depat atau di dalam & di seluruh mata, bersifat sedang sampai berat & seringkali memburuk jika mata dalam keadaan lelah. g. Kelainan sinus Nyeri bersifat akut atau subakut (tidak menahun), dirasakan di kepala bagian depan, bersifat tumpul atau berat & biasanya memburuk di pagi hari, membaik di siang hari & memburuk dalam keadaan dingin atau lembab. h. Tumor otak Nyeri baru dirasakan, hilang-timbul, bersifat ringan sampai berat, dirasakan di satu titik atau di seluruh kepala . Kelemahan di salah satu sisi tubuh semakin meningkat, kejang, gangguan penglihatan, kemampuan berbicara hilang, muntah, perubahan mental. (Sjahril, 2004). Sakit kepala bisa merupakan keluhan primer atau sekunder. Dikatakan Primer jika sakit kepala merupakan diagnosis utama, bukan disebabkan karena adanya penyakit lain sedangkan Sekunder jika sakit kepala merupakan gejala ikutan karena adanya penyakit lain seperti hipertensi, radang sinus, premenstrual disorder (Sjahrir,2004). Sementara itu apabila ditinjau berdasarkan waktunya, neri kepala ini dapat dibagi menjadi akut, subakut dan kronis. a. Akut

Dikatakan nyeri kepala akut apabila gejalanya berlangsung kurang dari 1 bula. Contohnya nyeri kepala pada meningitis bakterial. b. Subakut Gejala nyeri kepala subakut belangsung sekitar 1-3 bulan. Biasanya terdapat pada penyakit hipertensi, tumor cerebri dan abses otak c. Kronis Apabila gejala nyeri kepalanya belangsung selama lebih dari 3 bulan dan sering kumat-kumatan, maka dapat dikatakan bahwa hal itu termasuk nyeri kepala kronis. Jenis nyeri kepala ini dapat terjadi pada migren dan cluster (Ho KH, 2002).

8. Perbedaan Tension type headache, migrain, cluster. Tabel 3. Perbedaan Tension type headache, migrain, cluster Tension headache Gambaran umum Lamanya sakit 30 menit 7 hari kepala Tipe nyeri Tumpul persisten Berat berdenyut Nyeri luar biasa mencengkeram menekan Lokasi nyeri Berbentuk pita Unilateral atau Dibelakang salah satu bola mata, menjalar ke pelipis, rahang, hidung, dagu, atau gigi. Gejala menyertai yang Fonofobia, fotofobia, pucat pada wajah, Membuat pasien tidak berdaya, kemerahan berdentam Depresi ansietas Aura pada 20% Terjadi pasien 4 72 jam secara type Migrain Cluster

berkelompok (cluster) 15 180 menit

yang mengelilingi bilateral kepala

mual dan muntah

(flushing) pada wajah, kongesti nasal, kelopak mata yang terkulai, perubahan pupil

(Oman, 2008) 9. Patofisiologi Tension type headache Pada penderita tension type headache didapati gejala yang menonjol yaitu nyeri tekan yang bertambah pada palpasi jaringan miofacial perikranial. Impuls noniseptif dari otot perikranial yang menjalar kekepala menimbulkan nyeri kepala dan nyeri yang bertambah pada daerah otot maupun tendon tempat insersinya ( Sjahrir, 2004). TTH adalah kondisi stress mental, nonphysiological motor stress, dan miofacial local yang melepaskan zat iritatif ataupun kombinasi dari ketiganya yang menstimulasi perifer kemudian berlanjut mengaktivasi struktur persepsi supraspinal pain, kemudian berlanjut lagi ke sentral modulasi yang masing masing individu mempunyai sifat self limiting yang berbeda-beda dalam hal intensitas nyeri kepalanya ( Sjahrir, 2004).

10. Diagnosis banding dengan anamnesis sederhana dan pemeriksaan fisik Tabel 4. Diagnosis banding dengan anamnesis sederhana dan pemeriksaan fisik

Anamnesis Sinusitis Demam, rasa lesu,

Pemeriksaan fisik hidung Nyeri pada daerah sinus terkena, tampak didaerah rinoskopi konka

tersumbat, ingus kental yang yang

kadang berbau, sakit kepala pembengkakan (Mansjoer, 2001). muka, anterior pada tampak

hiperemis dan edema. Bila pemeriksaan transiluminasi

ditemukan cahaya merah redup. (Mansjoer, 2001). Hipertensi Sakit kepala, epistaksis, marah, Tekanan darah sistol > 140 telinga berdenging, rasa berat mmHg dan atau diastole di tengkuk, sukar tidur, mata >90 mmHg berkunang-kunang dan pusing (Mansjoer, 2001).

Anemia

kelelahan,lemah,kurang bergairah

pucat,pada anemia yang

kerja,sering kronis menunjukkan bentuk

mengantuk , tidak mampu kuku seperti sendok dan berkonsentrasi,pusing rapuh, pecah-pecah pada sudut mulut, lidah lunak

dan sulit menelan

Tumor Otak

pusing,kepala

terasa

berat, nyeri tekan pada bagian kepala, kelemahan di salah satu sisi tubuh yang meningkat, kejang, gangguan penglihatan, kemampuan berbicara hilang, muntah, perubahan mental

nyeri hilang timbul

Tension Headache

Type Nyeri tumpul persisten mencengkeram menekan, lama sakit nya 30 menit 7 hari, lokasi nyeri berbentuk pita yang mengelilingi kepala.

Cluster

Nyeri luar biasa, lama sakit kepalanya 15-180 menit, lokasi nyeri dibelakang salah satu bola mata, menjalar ke pelipis, rahang, hidung, dagu, atau gigi, gejala yang menyertai membuat pasien tidak berdaya, kemerahan (flushing) pada wajah, kongesti nasal, kelopak mata yang terkulai, perubahan pupil.

Migrain

Nyeri berat berdenyut berdentam, lokasi nyeri unilateral atau bilateral, lamanya sakit kepala 4-72 jam, gejala yang menyertai fonofobia, fotofobia, pucat pada wajah, mual dan muntah.

(Mansjoer, 2001). E. Sasaran Belajar (Sasbel)

Informasi II Hasil Pemeriksaan Fisik KU/Kes :tampak sakit ringan/kesadaran komposmentis BB: 75 kg, TB: 158 CM Vital Sign 1. Tekanan darah 2. Denyut Nadi : : 155/95 mmHg : 88 x/menit

3. Kecepatan Napas : 20 x/menit

4. Suhu

: 36.8 oC

Kepala dan Leher : dalam batas normal Dada : Jantung ictus cordis tidak tampak, konfigurasi jantung

bergeser ke caudolateral, S1-S2 murni, gallop (-), bising (-) Paru Abdomen : dalam batas normal : dalam batas normal

Pemeriksaan fisik lain : dalam batas normal Intrepetasi hasil informasi II : 1. BMI : 75 kg / (15,8) m = 30, 4 2. Tekanan darah: naik, hipertensi derajat I dengan range sistol 140-159 dan diastol 90-99 3. Ictus cordis tidak tampak : tidak normal. Pada keadaan normal lebar iktus kordis yang teraba adalah 1-2 cm2 Bila kekuatan volum dan kualitas jantung meningkat maka terjadi systolic lift, systolic heaving, dan dalam keadaan ini daerah iktus kordis akan teraba lebih melebar (bicklay,2008) Dalam kasus ictus cordis dapat tidak teraba dapat dikarenakan tubuh pasien yang obesitas tingkat pertama dan bisa juga di sebabkan karena apex jantung pasien bergeser ke arah caudal lateral. 4. Konfigurasi jantung bergeser ke caudolateral : tidak normal. Apeks cordis bergeser ke cauda lateral karena adanya dilatasi ventrikel kiri menyebabkan apeks kordis bergeser ke lateral-bawah (Swartz, 1995). Pada hipertrofi atrium kiri menyebabkan pinggang jantung merata atau menonjol kearah lateral. Pada hipertrofi ventrikel kanan, batas pekak jantungmelebar ke lateral kanan dan/atau ke kiri atas (Swartz, 1995). 1. Apakah jika hanya salah satu (sistol/diastole) nya saja yang melebihi normal, dapat dikatakn hipertensi? Jika hanya salah satu saja yang melebihi normal itu bisa langsung kita katakana hipertensi, karna keadaan tersebut biasa terjadi. Terjadinya kenaikan tekanan sistol atau diastolnya saja itu dikarenakan ada gangguan atau keabnormalan pada masing-masing yang mempengaruhinya. Contohnya yang obesitas

mempengaruhi daripada tekanan sistol yaitu stroke volume dan hate rate dan yang mempengaruhi takanan diastole yaitu panjangnya pembuluh darah, diameter pembuluh darah dan viskositas darah. Jika stroke volume meningkat dan hate rate meningkat (biasanya pada aktivitas yang berlebih) dan yang mempengaruhi takanan diastole normal dapat terjadi peningkatan tekanan sistol saja dan diastole normal. Dan jika sebaliknya stroke volume normal dan hate rate normal namun terjadi vasokontriksi pembuluh darah (penyempitan lumen) pembuluh darah yang terlalu panjang dan viskositas yang tinggi, maka akan terjadi kenaikan tekanan diastole dan tekanan sistol dalam keadaan normal, biasanya keadaan seperti ini sering dialami oleh orang yang lanjut usia karena elastisitas pembuluh darah yang berkurang sehingga mempengaruhi kontraksi pembuluh darah yang menyebabkan kenaikan tekanan diastole saja (Sherwood, 2001). 2. Pemeriksaan Fisik Jantung Posisi Pasien Telentang, dengan peninggian kepala 300 Pemeriksaan Inspeksi dan Palpasi prekordium, ruang interkostal kedua, ventrilkel kanan, dan ventrikel kiri, termasuk impuls apical (Diameter, Lokasi, Amplitudo, Durasi). Palpasi Impuls apical jika sebelumnya tidak terdeteksi. Dengarkan pada apeks menggunakan Stetoskop untuk bunyi tambahan yang nadanya rendah (S3, opening snap, gemuruh diastolic pada stenosis mitral). Dengar pada area tricuspid dengan Stetoskop. Dengarkan semua area auskultasi dengan diafragma stetoskop. Dengarkan sepanjang batas sternum kiri dan pada apeks untuk murmur diastolic dekresendo pada Insufisiensi aortic.

Dekubitus Lateral Kiri

Telentang, dengan peninggian kepala 300 Duduk, Membungkuk ke depan, setelah ekhalasi penuh

(Bickley, 2008).

Informasi III X-foto thorax kardiomegali : Jantung CTR >50%, pinggang jantung mendatar, kesan

EKG

: normo sinus ritme Left axis deviation, S di V1+R di V5/V6 > 35mm

Intrepetasi hasil: 1. X- foto thorax : CTR : luas jantung kiri+luas jantung kanan/ luas thorax (a+b/c) = 50% cardiomegali 2. EKG : Kategori khas dari hipertrofi ventrikel kiri berdasarkan sadapan pericordial EKG adalah "Hipertrofi Ventrikel Kiri pada pericordial didapatkan amplitudo gelombang R pada v5 dijumlahkan dengan amplitudo gelombang S pada V1 melebihi 35mm." (Thaler, 2009). Depolarisasi Atrium Selama depolarisasi dan kontraksi atrium, elektroda yang ditempatkan pada permukaan tubuh merekam aktivitas listrik kecil yang berlangsung sepersekian detik. Aktifitas ini disebut gelombang P yang merupakan rekaman penyebaran depolarisasi melalui miokard atrium mulai dari awal sampai akhir (Thaler, 2009).

Gambar 15. Depolarisasi Atrium Depolarisasi Ventrikel Setelah kira kira sepersepuluh detik, gelombang depolarisasi lolos dari nodus AVmenjalar dengan cepat menuju kedua ventrikel dengan sel penghantar listrik khusus. Depolarisasi miokardium ventrikel dan juga kontraksi ventrikel ditandai oleh munculnya sebuah defleksi baru pada EKG yang disebut kompleks QRS. Amplitudo QRS jauh lebih besar dibanding P karena masa otot ventrikel jauh lebih tebal daripada atrium (Thaler, 2009).

Gambar 16. Depolarisasi Ventrikel Repolarisasi Setelah sel miokardium berdepolarisasi , mereka mengalami masa refrakter singkat. Selama masa itu, mereka kebal terhadap rangsangan lebih lanjut. Kemudian mereka berepolarisasi, artinya memulihkan elektronegativitias bagian dalamnya agar dapat dirangsang kembali. Repolarisasi ventrikel menghasilkan gelombang ketiga pada EKG, yaitu gelombang T (Thaler, 2009).

Informasi IV Diagnosis Terapi : Hipertensi dengan LVH : dokter memberikan edukasi dan terapi ACE inhgibitor

F. Mendiagnosis Kasus Dari skenario dan informasi diatas kita dapat mendiagnosis Ny. Rasitem terkena Hipertensi Primer dengan Hipertrofi Ventrikel Kiri. HIPERTENSI 1. Definisi Hipertensi adalah keadaan dimana takanan sistol rata-rata lebih dari 140 mmHg dan atau tekanan darah diastolik rata-rata lebih dari 90 mmHg (Dorland, 2002).

Tabel Klasifikasi Hipertensi Menurut JNC 7 Interpretasi Normal Prahipertensi Hipertensi derajat 1 Sistolik < 120 120-139 140-159 Diastolik < 80 80-89 90-99

Hipertensi derajat 2 (Armilawaty, 2007) Berdasarkan penyebabnya:

> 160

> 100

a. Hipertensi primer (esensial) Adalah suatu peningkatan persisten tekanan arteri yang dihasilkan oleh ketidakteraturan mekanisme kontrol homeostatik normal, Hipertensi ini tidak diketahui penyebabnya dan mencakup + 90% dari kasus hipertensi (Wibowo, 1999). b. Hipertensi sekunder Adalah hipertensi persisten akibat kelainan dasar kedua selain hipertensi esensial. Hipertensi ini penyebabnya diketahui dan ini menyangkut + 10% dari kasus-kasus hipertensi. (Sheps, 2005). Berdasarkan bentuknya: a. Hipertensi diastolik (diastolic hypertension) yaitu peningkatan tekanan diastolik tanpa diikuti peningkatan tekanan sistolik. Biasanya ditemukan pada anak-anak dan dewasa muda.Hipertensi campuran (sistol dan diastol yang meninggi) yaitu peningkatan tekanan darah pada sistol dan diastol. b. Hipertensi sistolik (isolated systolic hypertension) yaitu peningkatan tekanan sistolik tanpa diikuti peningkatan tekanan diastolik. Umumnya ditemukan pada usia lanjut. (Gunawan, 2001) 2. Etiologi Corwin (2000) menjelaskan bahwa hipertensi tergantung pada kecepatan denyut jantung, volume sekuncup dan Total Peripheral Resistance (TPR). Maka peningkatan salah satu dari ketiga variabel yang tidak dikompensasi dapat menyebabkan hipertensi. Peningkatan kecepatan denyut jantung dapat terjadi akibat rangsangan abnormal saraf atau hormon pada nodus SA. Peningkatan kecepatan denyut jantung yang berlangsung kronik sering menyertai keadaan hipertiroidisme. Namun,

peningkatan kecepatan denyut jantung biasanya dikompensasi oleh penurunan volume sekuncup atau TPR, sehingga tidak meninbulkan hipertensi

(Astawan,2002) Peningkatan volume sekuncup yang berlangsung lama dapat terjadi apabila terdapat peningkatan volume plasma yang berkepanjangan, akibat gangguan penanganan garam dan air oleh ginjal atau konsumsi garam yang berlebihan.

Peningkatan pelepasan renin atau aldosteron maupun penurunan aliran darah ke ginjal dapat mengubah penanganan air dan garam oleh ginjal. Peningkatan volume plasma akan menyebabkan peningkatan volume diastolik akhir sehingga terjadi peningkatan volume sekuncup dan tekanan darah. Peningkata preload biasanya berkaitan dengan peningkatan tekanan sistolik ( Amir,2002) Peningkatan Total Periperial Resistence yang berlangsung lama dapat terjadi pada peningkatan rangsangan saraf atau hormon pada arteriol, atau responsivitas yang berlebihan dari arteriol terdapat rangsangan normal. Kedua hal tersebut akan menyebabkan penyempitan pembuluh darah. Pada peningkatan Total Periperial Resistence, jantung harus memompa secara lebih kuat dan dengan demikian menghasilkan tekanan yang lebih besar, untuk mendorong darah melintas pembuluh darah yang menyempit. Hal ini disebut peningkatan dalam afterload jantung dan biasanya berkaitan dengan peningkatan tekanan diastolik. Apabila peningkatan afterload berlangsung lama, maka ventrikel kiri mungkin mulai mengalami hipertrifi (membesar). Dengan hipertrofi, kebutuhan ventrikel akan oksigen semakin meningkat sehingga ventrikel harus mampu memompa darah secara lebih keras lagi untuk memenuhi kebutuhan tesebut. Pada hipertrofi, seratserat otot jantung juga mulai tegang melebihi panjang normalnya yang pada akhirnya menyebabkan penurunan kontraktilitas dan volume sekuncup.( Hayens, 2003 )
3. Tanda dan Gejala

Pada pemeriksaan fisik, tidak dijumpai kelainan apapun selain tekanan darah yang tinggi, tetapi dapat pula ditemukan perubahan pada retina, seperti perdarahan, eksudat (kumpulan cairan), penyempitan pembuluh darah, dan pada kasus berat, edema pupil (edema pada diskus optikus). Individu yang menderita hipertensi kadang tidak menampakan gejala sampai bertahun-tahun. Gejala bila ada menunjukan adanya kerusakan vaskuler, dengan manifestasi yang khas sesuai sistem organ yang divaskularisasi oleh pembuluh darah bersangkutan. Perubahan patologis pada ginjal dapat bermanifestasi sebagai nokturia (peningkatan urinasi pada malam hari) dan azetoma [peningkatan nitrogen urea darah (BUN) dan kreatinin]. Sebagian besar gejala klinis timbul setelah mengalami hipertensi bertahun-tahun berupa :

a.

Nyeri kepala saat terjaga, kadang-kadang disertai mual dan muntah, akibat peningkatan tekanan darah intracranial.

b. c. d. e.

Penglihatan kabur akibat kerusakan retina akibat hipertensi Ayunan langkah yang tidak mantap karena kerusakan susunan saraf pusat Nokturia karena peningkatan aliran darah ginjal dan filtrasi glomerolus Edema dependen dan pembengkakan akibat peningkatan tekanan kapiler. Gejala lain yang umumnya terjadi pada penderita hipertensi yaitu pusing, muka merah, sakit kepala, keluaran darah dari hidung secara tiba-tiba, tengkuk terasa pegal dan lain-lain (Armilawaty, 2007).

4. Patogenesis Gangguan ginjal konsumsi garam berlebih

Cadangan nefron

Eksresi Na + inadekuat

Eksresi Na + inadekuat

Volume darah

Volume darah

Curah jantung

Curah jantung

Tekanan darah

Tekanan darah

Stress

Obesitas

Kelenjar ptuitari

panjang pembuluh darah

Stimulasi kelenjar endokrin (memompa)

kerja jantung

Release hormone adrenalin dan Hidrokortiso dalam darah

tekanan darah

Aktivitas saraf simpatis

TPR

Tekanan darah

Angiotensinogen Rennin

Angitensin I

Angitensin II

SSP

SST

JANTUNG

KOTEKS ADRENAL

OTOT POLOS

VASOPRESA N

SARAF SIMPATIS

CONTRACTIL JANTUNG

SINTESIS ALDOSTERON

VASOKONTRIKSI

VOLUME DARAH

TPR

CARDIAC OUTPUT

REABSORBSI SODIUM

TPR

TPR

TEKANAN DARAH

TEKANAN DARAH

VOLUME DARAH

TEKANAN DARAH

TEKANAN DARAH

TPR

TEKANAN DARAH

Rokok

Nikotin terserap oleh pembuluh darah kecil dalam paru

Disebarkan keseluruh aliran darah

Otak

Pada otak bereaksi pada nikotin

Memberi sinyal kepada kelenjar adrenal

Melepas hormone epineprin (vasokontriksi)

Penyempitan pembuluh darah

Peningkatan kerja jantung

Peningkatan tekanan darah

5. Patofisiologi 3Faktor ( gaya hidup, kelainan gen, penyebab sekunder) Denyut jantung Volume sekuncup TPR Tekanan Darah Hipertrofi ventrikel Kurang suplai darah ke ventrikel Hipoksia Angina Nekrosis Infark Jantung kelelahan (dilatasi pembuluh darah dan payah jantung) Curah jantung Aritmia atrium dan ventrikel Resiko meninggal mendadak

Dilatasi Pembuluh darah

Retinopati

perdarahan serebri

Dilatasi aorta dan diseksi aorta

Pada penyakit hipertensi, banyak factor yang berpengaruh. Dalam hipertensi esensial gaya hidup dan kelainan gen memegang peranan penting, Kelainan gen yang mungkin berpengaruh misalnya adalah obesitas, inaktivitas fisik, konsumsi alcohol yang tinggi, serta factor makanan. Sedangkan pada hipertensi sekunder hal ini diperparah dengan adanya penyakit lain yang memperparah kondisi tekanan darah. Semuanya ini kemudian akan mempengaruhi 3 faktor yang terdiri dari denyut jantung, volume sekuncup dan Total Peripheral Resistence (TPR). Ketiga factor ini yang akan berpengaruh langsung dalam meningkatkan tekanan darah (Davey, 2006). Pada kondisi tekanan darah meningkat ini jantung bekerja terus menerus. KArena itu, jantung mengkompensasi dengan hipertrofi ventrikel, untuk kasus hipertensi esensia yang terjadi adalah hipertrofi ventrikel kiri. Keadaan hipertrofi tidak disertai dengan peningkatan suplai darah ke ventrikel sehingga perfusi di jaringan ventrikel tidak baik dan ventrikel mengalami hipoksia. Keadaan hipoksia mengakibatkan penderita darah tinggi pada awalnya akan mengalami angina. Hiopksia yang berlanjut akan menimbulkan nekrosis pada jantung dan akan manjadi infark. Keadaan ini akan semakin parah sehingga pada akhirnya jantung akan kelelahan dalam bekerja sehingga terjadi dilatasi pada jantung serta pembuluh darah perifer, serta terjadi payah jantung. Payah jantung akan mengakibatkan kemampuan jantung untuk memompa berkurang dan curah jantung akan menurun. Dalam keadaan ini juga dapat terjadi aritmia baik di atrium maupun di ventrikel jantung. Sehingga penderita hipertensi pada tahap ini beresiko meninggal mendadak (Corwin, 2009). Dari dilatasi pembuluh darah perifer sendiri dapat mengakibatkan banyak manifestasi de berbagai bagian tubuh. Apabila di mata akan menimbulkan retinopati. Dilatasi pada pembuluh darah serebri akan mengakibatkan pembuluh darah serebri lebih tipis dan mudah pecah dan beresiko untuk perdarahan serebri. Pada aorta bila terjadi dilatasi aorta dapat meningkatkan kemungkinan diseksi aorta yaitu pecahnya pembuluh darah aorta sehingga darah tidak dipompakan ke Seluruh tubuh namun justru berbalik ke jantung. Dari auskultasi dapat didengarkan suara murmur. Selain itu juga hipertensi meningkatkan kemungkinan

aterosklerosis karena meningkatnya jumlah penumpukan plak di pembuluh darah yang dapat mengakibatkan infark serebri dan penyakit jantung iskemik (Davey, 2006).

6. Penatalaksanaan Non farmakologi a. Sasaran tekanan darah Pada hipertensi lanjut usia, penurunan TD hendaknya mempertimbangkan aliran darah ke otak, jantung dan ginjal. Sasaran yang diajukan pada JNC VII dimana pengendalian tekanan darah (Tekanan darah Sistol <140 mmHg dan Tekanan darah diastole <90mmHg) tampaknya terlalu ketat untuk penderita lanjut usia. b. Modifikasi pola hidup Mengubah pola hidup/intervensi nonfarmakologis pada penderita hipertensi lanjut usia dan pada semua penderita hipertensi sangat menguntungkan untuk menurunkan tekanan darah dan sebaiknya dilakukan sebelum menggunakan obatobatan. Beberapa pola hidup yang harus diperbaiki adalah menurunkan berat badan jika ada kegemukan, mengurangi minum alkohol, meningkatkan aktivitas fisik aerobik, mengurangi asupan garam, mempertahankan asupan kalium yang adekuat, mempertahankan asupan kalsium dan magnesium yang adekuat, menghentikan merokok, mengurangi asupan lemak jenuh dan kolesterol (Stump, 2006). Terapi farmakologis a. Diuretik tiazid Diuretik tiazid adalah diuretik dengan potensi menengah yang menurunkan tekanan darah dengan cara menghambat reabsorpsi sodium pada daerah awal tubulus distal ginjal, meningkatkan ekskresi sodium dan volume urin. Tiazid juga mempunyai efek vasodilatasi langsung pada arteriol sehingga dapat

mempertahankan efek antihipertensi lebih lama. Tiazid diabsorpsi baik pada pemberian oral, terdistribusi luas dan dimetabolisme di hati. Efek diuretik tiazid terjadi dalam waktu 1 dan 2 jam setelah pemberian dan bertahan sampai 1224 jam, sehingga obat ini cukup diberikan sekali sehari. Efek antihipertensi terjadi

pada dosis rendah dan peningkatan dosis tidak memberikan manfaat pada tekanan darah walaupun diuresis meningkat pada dosis tinggi (Stump, 2006). Efek tiazid pada tubulus ginjal tergantung pada tingkat ekskresinya. Oleh karena itu, tiazid kurang bermanfaat untuk pasien dengan gangguan fungsi ginjal. Efek sampinf dari tiazid yaitu peningkatan eksresi urin oleh diuretik tiazid dapat mengakibatkan hipokalemia, hiponatriemi dan hipomagnesiemi. Hiperkalsemia dapat terjadi karena penurunan ekskresi kalsium. Interferensi dengan ekskresi asam urat dapat mengakibatkan hiperurisemia sehingga penggunaan tiazid pada pasien gout harus hati-hati. Diuretik tiazid juga dapat mengganggu toleransi glukosa (resisten terhadap insulin) yang mengakibatkan peningkatan resiko diabetes mellitus tipe 2. Efek samping yang umum lainnya adalah hiperlipidemia yang menyebabkan peningkatan LDL dan trigliserida serta penurunan HDL. 25% pria yang mendapat diuretik tiazid mengalami impotensi tetapi efek ini akan hilang jika pemberian tiazid dihentikan (Stump, 2006). b. Beta-blocker reseptor Beta blocker memblok betaadrenoseptor. Reseptor ini diklasifikasikan menjadi reseptor beta1 dan beta 2. Reseptor beta1 terutama terdapat pada jantung sedangkan reseptor beta2 banyak ditemukan di paru-paru, pembuluh darah perifer dan otot lurik. Reseptor beta2 juga dapat ditemukan di jantung sedangkan reseptor beta1 juga dapat dijumpai pada ginjal. Selain organ-organ diatas, reseptor beta juga dapat ditemukan di otak. Stimulasi reseptor beta pada otak dan perifer akan memacu pelepasan neurotransmitter yang meningkatkan aktivitas sistem saraf simpatis. Stimulasi reseptor beta1 pada nodus sinoatrial dan miokardium meningkatkan heart rate dan kekuatan kontraksi. Stimulasi reseptor beta pada ginjal akan menyebabkan penglepasan renin, meningkatkan aktivitas sistem reninangiotensinaldosteron. Efek akhirnya adalah peningkatan cardiac output karena peningkatan tahanan perifer dan peningkatan sodium yang diperantarai aldosteron dan retensi air. Terapi menggunakan betablocker akan mengantagonis semua efek tersebut sehingga terjadi penurunan tekanan darah. Betablocker yang selektif (dikenal juga sebagai cardioselective betablockers) misalnya bisoprolol yang bekerja pada reseptor beta1 tetapi tidak spesifik untuk

reseptor beta 1 saja. Oleh karena itu, penggunaannya pada pasien dengan riwayat asma dan bronkhospasme harus diperhatikan. Beta blocker yang non selektif (misalnya propanolol) memblok reseptor beta 1 dan beta 2. Beta blocker yang mempunyai aktivitas agonis parsial (dikenal sebagai aktivitas simpatomimetik intrinsik) misalnya acebutolol yang bekerja sebagai stimulan beta pada saat aktivitas adrenergik minimal (misalnya saat tidur) tetapi akan memblok aktivitas beta pada saat aktivitas adrenergik meningkat (misalnya saat berolah raga). Hal ini menguntungkan karena mengurangi bradikardi pada siang hari. Beberapa beta blocker misalnya labetolol dan carvedilol juga memblok efek adrenoseptoralfa perifer. Obat lain misalnya celiprolol mempunyai efek agonis beta 2 atau vasodilator. Betablocker diekskresikan lewat hati atau ginjal tergantung sifat kelarutan obat dalam air atau lipid. Obat-obat yang diekskresikan melalui hati biasanya harus diberikan beberapa kali dalam sehari sedangkan yang diekskresikan melalui ginjal biasanya mempunyai waktu paruh yang lebih lama sehingga dapat diberikan sekali dalam sehari. Betablocker tidak boleh dihentikan mendadak melainkan harus secaran bertahap terutama pada pasien dengan angina karena dapat terjadi fenomena rebound (Stump, 2006). Efek samping dari obat hipertensi golongan beta blocker yaitu blokade reseptor beta 2 pada bronkhi dapat mengakibatkan bronkhospasme terutama pada pemakaian betabloker kardioselektif. Efek samping lain adalah bradikardia, gangguan kontraktil miokard dan tangan serta kaki terasa dingin karena vasokonstriksi akibat blokade reseptor beta2 pada otot polos pembuluh darah perifer. Kesadaran terhadap gejala hipoglikemia pada beberapa pasien DM tipe 1 dapat berkurang. Hal ini karena betablocker memblok sistem saraf simpatis yang bertanggung jawab untuk memberi peringatan jika terjadi hipoglikemia. Betablockers nonselektif juga dapat menyebabkan peningkatan kadar trigilserida serum dan penurunan HDL (Stump, 2006). c. ACE inhibitor Angiotensin converting enzyme inhibitor (ACEi) menghambat secara kompetitif pembentukan angiotensin II dari prekursor angiotensin I yang inaktif yang terdapat pada darah, pembuluh darah, ginjal, jantung, kelenjar adrenal dan otak Angiotensin II merupakan vasokonstriktor kuat yang memacu pelepasan

aldosteron, aktivitas simpatis sentral dan perifer. Penghambatan pembentukan angiotensin II ini akan menurunkan tekanan darah. Jika sistem angiotensin-reninaldosteron teraktivasi (misalnya pada keadaan penurunan sodium atau pada terapi diuretik) efek antihipertensi ACEi akan lebih besar. ACE juga bertanggungjawab terhadap degradasi kinin termasuk bradikinin yang mempunyai efek vasodilatasi. Penghambatan degradasi ini akan menghasilkan efek antihipertensi yang lebih kuat. Captopril cepat diabsorpsi tetapi mempunyai durasi kerja yang pendek sehingga bermanfaat untuk menentukan apakah seorang pasien akan berespon baik pada pemberian ACEi. Dosis pertama ACEi harus diberikan pada malam hari karena penurunan tekanan darah mendadak mungkin terjadi dan efek ini akan meningkat jika pasien mempunyai kadar sodium rendah (Stump, 2006). d. Antagonis Angiotensin II Reseptor angiotensin II ditemukan pada pembuluh darah dan target lainnya. Disubklasifikasikan menjadi reseptor AT1 dan AT2. Reseptor AT1

memperantarai respon farmakologis angiotensin II seperti vasokonstriksi dan pelepasan aldosteron. Fungsi reseptor AT2 masih belum begitu jelas. Banyak jaringan yang mampu mengkonversi angiotensin I menjadi angiotensin II tanpa melalui ACE. Oleh karena itu, memblok sistem reninangiotensin melalui jalur antagonis reseptor AT1 dan pemberian antagonis reseptor angiotensin II akan bermanfaat. Antagonis reseptor angiotensin II (AIIRA) mempunyai banyak kemiripan dengan ACEi tetapi AIIRA tidak mendegradasi kinin. ACEi dan AIIRA dikontraindikasikan pada stenosis arteri ginjal bilateral dan pada stenosis arteri yang berat yang mensuplai ginjal (Stump, 2006). Sebelum mulai memberikan terapi dengan ACEi atau AIIRA fungsi ginjal dan kadar elektrolit pasien harus dicek. Monitoring ini harus terus dilakukan selama terapi karena kedua golongan obat ini dapat mengganggu fungsi ginjal. Baik ACEi dan AIIRA dapat menyebabkan hiperkalemia karena menurunkan produksi aldosteron sehingga suplementasi kalium dan penggunaan diuretik hemat kalium harus dihindari jika pasien mendapat terapiACEI atau AIIRA. Perbedaan antara ACEi dan AIIRA adalah terjadinya batuk kering yang merupakan efek samping pada 15% pasien yang mendapat terapi ACEi. AIIRA tidak menyebabkan batuk karena tidak mendegaradasi bradikinin (Stump, 2006).

e. Calcium channel blocker Calcium channel blockers (CCB) menurunkan influks ion kalsium ke dalam sel miokard, sel-sel dalam sistem konduksi jantung dan selsel otot polos pembuluh darah. Efek ini akan menurunkan kontraktilitas jantung dengan menekan pembentukan dan propagasi impuls elektrik dalam jantung dan memacu aktivitas vasodilatasi. Semua hal di atas adalah proses yang bergantung pada ion kalsium. Terdapat tiga kelas CCB yaitu dihidropiridin (misalnya nifedipin dan amlodipin), fenilalkalamin (verapamil) dan benzotiazipin (diltiazem) (Stump, 2006). Dihidropiridin mempunyai sifat vasodilator perifer yang merupakan kerja antihipertensinya sedangkan verapamil dan diltiazem mempunyai efek kardiak dan dugunakan untuk menurunkan heart rate dan mencegah angina. Semua CCB akan dimetabolisme di hati. Efek samping dari penggunaan CCB yaitu kemerahan pada wajah, pusing dan pembengkakan pergelangan kaki sering dijumpai karena efek vasodilatasi CCB dari dihidropiridin. Nyeri abdomen dan mual juga sering terjadi. Saluran cerna juga sering terpengaruh oleh influks ion kalsium. Oleh karena itu, CCB sering mengakibatkan gangguan gastrointestinal termasuk konstipasi (Stump, 2006). f. Alpha-blocker Alpha-blocker (penghambat adrenoseptor alfa-1) akan memblok adrenoseptor alfa-1 perifer sehingga mengakibatkan efek vasodilatasi karena merelaksaasi otot polos pembuluh darah. Alpha-blocker diindikasikan untuk hipertensi yang resisten. Alpha-blocker dapat menyebabkan hipotensi postural yang sering terjadi pada pemberian dosis pertama kali. Alpha-blocker bermanfaat untuk pasien lakilaki lanjut usia karena memperbaiki gejala pembesaran prostat (Stump, 2006). g. Golongan lain Antihipertensi vasodilator (misalnya hidralazin, minoksidil) menurunkan tekanan arah dengan cara merelaksasi otot polos pmbuluh darah. Antihipertensi kerja sentral (misalnya klonidin, metildopa, monoksidin) bekerja pada adrenoseptor alpha-2 atau reseptor lain pada batang otak menurunkan aliran simpatetik ke jantung, pembuluh darah dan ginjal sehingga efek akhirnya menurunkan ekanan darah (Stump, 2006).

Antihipertensi vasodilator dapat menyebabkan retensi cairan. Tes fungsi hati harus dipantau selama terapi dengan hidralazin karena ekskresinya melalui hati. Hidralazin juga diasosiakan dengan sistemik lupus eritematosus. Minoksidil diasosiasikan dengan hipertrikosis hirsutism sehingga kurang sesuai untuk pasien wanita. Obatobat kerja sentral tidak spesifik atau tidak cukup selektif untuk menghindari efek samping sistem saraf pusat seperti sedasi, mulut kering dan mengantuk yang sering terjadi. Metildopa mempunyai mekanisme kerja yang mirip dengan konidin tetapi dapat menyebabkan efek samping pada sistem imun termasuk pireksia, hepatitis dan anemia hemolitik (Stump, 2006). 7. Komplikasi
Hipertensi merupakan faktor resiko utama untuk terjadinya penyakit jantung, gagal jantung kongesif, stroke, gangguan penglihatan dan penyakit ginjal. Tekanan darah yang tinggi umumnya meningkatkan resiko terjadinya komplikasi tersebut. Hipertensi yang tidak diobati akan mempengaruhi semua sistem organ dan akhirnya memperpendek harapan hidup sebesar 10-20 tahun (Cavallaro, 2008). Mortalitas pada pasien hipertensi lebih cepat apabila penyakitnya tidak terkontrol dan telah menimbulkan komplikasi ke beberapa organ vital. Sebab kematian yang sering terjadi adalah penyakit jantung dengan atau tanpa disertai stroke dan gagal ginjal. Dengan pendekatan sistem organ dapat diketahui komplikasi yang mungkin terjadi akibat hipertensi, seperti pada table di bawah ini :

Tabel. Komplikasi Hipertensi

Komplikasi yang terjadi pada hipertensi ringan dan sedang mengenai mata, ginjal, jantung dan otak. Pada mata berupa perdarahan retina, gangguan penglihatan sampai dengan kebutaan. Gagal jantung merupakan kelainan yang sering ditemukan pada hipertensi berat selain kelainan koroner dan miokard. Pada otak sering terjadi perdarahan yang disebabkan oleh pecahnya mikroaneurisma yang dapat

mengakibakan kematian. Kelainan lain yang dapat terjadi adalah proses tromboemboli dan serangan iskemia otak sementara (Transient Ischemic Attack/TIA). Gagal ginjal sering dijumpai sebagai komplikasi hipertensi yang lama dan pada proses akut seperti pada hipertensi maligna (Cavallaro, 2008). Risiko penyakit kardiovaskuler pada pasien hipertensi ditentukan tidak hanya tingginya tekanan darah tetapi juga telah atau belum adanya kerusakan organ target serta faktor risiko lain seperti merokok, dislipidemia dan diabetes melitus(Cavallaro, 2008). Tekanan darah sistolik melebihi 140 mmHg pada individu berusia lebih dari 50 tahun, merupakan faktor resiko kardiovaskular yang penting. Selain itu dimulai dari tekanan darah 115/75 mmHg, kenaikan setiap 20/10 mmHg meningkatkan risiko penyakit kardiovaskuler sebanyak dua kali (Cavallaro, 2008).

DAFTAR PUSTAKA

Armilawaty, dkk.. 2007. Hipertensi dan Faktor Risiko dalam Kajian Epidemiologi. Makassar: FKM Unhas. Bickley, Lynn S. 2008. Pemeriksaan Fisik dan Riwayat Kesehatan Bates. Jakarta: EGC. Corwin, Elisabeth J. 2009. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC. Davey, Patrick. 2006. At a Glance Medicine. Jakarta: Penerbit Erlangga. digilib.unimus.ac.id

Dorland, WA. 2002. Kamus Kedokteran Dorland, Ed. 29. Jakarta: Buku Kedokteran EGC. Eroschenko, Victor P. 2010. Atlas Histologi diFiore: dengan Korelasi Fungsional. Jakarta: EGC. Ho KH, Ong BKC. 2002. Cephalalgia . A Community Based Study of Headache Diagnosis and Prevalence in Singapore ;23:6-13 Mansjoer, Arif dkk. 2001. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : Media Aesculapius (Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia). Martini, Frederich. 2009. Fundamentals of Anatomy & Physiology. Edisi 8th. USA : Pearson Benjamin Cummings. ners. unair.ac.id Ngoerah, IGNG. 1991. Dasar-dasar Ilmu Penyakit Saraf. Surabaya: Airlangga University Press. Oman, Kathleen S. 2008. Panduan Belajar Keperawatan Emergensi. Jakarta : EGC. Pabst, R; Putz, R. 2006. Atlas Anatomi Manusia: Sobotta. Jakarta: EGC. Sherwood, Lauralee. 2001.Fisiologi Manusia dari Sistem ke Sel. Jakarta: Buku Kedokteran EGC, hlm. 271, 306, 478.

Shiel C. William. 2010. Kamus Kedokteran. Jakarta: Indeks Sjahrir,Hassan.2004. Mekanisme Terjadinya Nyeri Kepala Primer dan Prospek Pengobatanya. Sumatra Utara: Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Sobootta. 2006. Atlas Anatomi Manusia Ed.22. Bagian II. Jakarta: EGC. Thaler MS. 2009. Satu-Satunya Buku EKG yang Anda Perlukan. Jakarta:EGC. Tortora, Derrickson B. 2006. Principles of Anatomy and Physiology. 11 th ed. USA: John Wiley & Sons Inc.

Anda mungkin juga menyukai