Anda di halaman 1dari 65

1992

International Standard Serial Number: 0125 913X

Daftar Isi :
2. Editorial Artikel: 5. 10. 13. 17. 20. 23.
Karya Sriwidodo

26. 32. 37. 40. 43. 46.

Perkembangan Masalah AIDS Suriadi Gunawan Epidemiologi AIDS Imran Lubis Pemeriksaan Laboratorium untuk Virus HIV Imran Lubis Polymerase Chain Reaction (PCR) untuk Diagnosis Human Immunodeficiency Virus (HIV) Muljati Prijanto Artritis yang Berhubungan dengan Penyakit Defisiensi Imun Harry Isbagio AIDS, Hubungannya dengan Penyakit Menular Seksual Lainnya Jusuf Barakbah, Moh I Ilias Masalah Penyimpangan Perilaku Seksual Pemuda Remaja di Kota-kota Besar di Jawa Moh Ramly Bandy Aspek Psikologis AIDS Sarlito Wirawan Sarwono Reaksi Psikologis akibat HIV Positif pada Homoseks Asimptomatik di Australia Imran Lubis Petunjuk Pencegahan Penularan HIV (Human Immunodeficiency Virus (HIV) untuk Petugas Kesehatan Rachmat Juwono Program AIDS di Australia Suatu Studi KomparatifImran Lubis Tanya Jawab mengenai AIDS Rachmat Juwono

49. Obat yang Disalahgunakan oleh Pasien Ketergantungan Obat di Rumah Sakit Ketergantungan Obat dan Inabah Sudibyo Supardi, Sarjaini Jamal, Anwar Musadad 52. Instruksi Menteri Kesehatan RI No.72/Menkes/Ins/II/1988 tentang Kewajiban Melapor Penderita dengan Gejala AIDS 59. Keputusan Direktur Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Kesehatan Lingkungan Pemukiman No.286I/PD.03.04 tentang Petunjuk Pelaksanaan Kewajiban Melaporkan Penderita dengan Gejala AIDS 62. Abstrak 64. RPPIK

Sejak pertama kalinya dilaporkan di Amerika Serikat pada tahun 1981, AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) telah berkembang luas di seluruh dunia, sehingga menjadi masalah kesehatan yang utama terutama di negaranegara Barat pada saat ini. Di Indonesia sendiri, Direktorat Jenderal PPM dan PLP hingga akhir Desember 1991 telah mencatat 47 kasus terinfeksi AIDS. Kendati relatif masih kecil bila dibandingkan dengan negara lain, kemungkinan perluasannya harus sudah mulai dicegah secara dini, apalagi bila diingat bahwa sampai saat ini belum ditemukan obat ataupun vaksin yang dapat mencegah penyebarannya. Masalah ini menjadi topik utama Cermin Dunia Kedokteran kali ini, dimulai dari epidemiologi dan perkembangannya, kemudian masalah diagnosis dan pemeriksaan laboratorium yang diperlukan untuk deteksi HIV, serta hubungannya dengan penyakit-penyakit lain. Mengingat AIDS bukan semata-mata masalah medik saja, aspek lain seperti hubungannya dengan perilaku seksual dan masalah sosial laitinya juga ikut dibahas. Selain itu disertakanpula artikel mengenai cara-carapencegahan, terutama bagi para petugas kesehatan; dan usaha penanganan masalah AIDS di negara lain. Sebagai penutup, disertakan pula Instruksi Menteri Kesehatan RI mengenai kewajiban melaporkan penderita AIDS beserta Peraturan Pelaksanaannya.

Bila sejawat memperhatikan dengan seksama gambar silhouette yang menghias lembar editorial, maka akan terlihat bahwa dalam edisi ini (dan selanjutnya) gambar tersebut tidak ber'cangklong' lagi. Kami beranggapan bahwa dewasa ini menghirup asap tembakau tidak selaras lagi dengan anjuran jangan merokok, agar dapat mengurangi bahaya mendapat penyakit bagi diri sendiri dan mereka yang di sekeliling kita. OLH

Cermin Dunia Kedokteran No. 75, 1992

1992

International Standard Serial Number: 0125 913X

KETUA PENGARAH Dr Oen L.H KETUA PENYUNTING Dr Budi Riyanto W PELAKSANA Sriwidodo WS ALAMAT REDAKSI Majalah Cermin Dunia Kedokteran P.O. Box 3105 Jakarta 10002 Telp. 4892808 NOMOR IJIN 151/SK/DITJEN PPG/STT/1976 Tanggal 3 Juli 1976 PENERBIT Grup PT Kalbe Farma PENCETAK PT Midas Surya Grafindo

REDAKSI KEHORMATAN Prof. DR. Kusumanto Setyonegoro


Guru Besar Ilmu Kedokteran Jiwa Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.

Prof. DR. B. Chandra


Guru Besar Ilmu Penyakit Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya.

Prof. Dr. R.P. Sidabutar


Guru Besar Ilmu Penyakit Dalam Sub Bagian Ginjal dan Hipertensi Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.

Prof. Dr. R. Budhi Darmojo


Guru Besar Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, Semarang.

Drg. I. Sadrach
Lembaga Penelitian Universitas Trisakti, Jakarta

Prof. Dr. Sudarto Pringgoutomo


Guru Besar Ilmu Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.

DR. Arini Setiawati


Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta,

REDAKSI KEHORMATAN DR. B. Setiawan Drs. Oka Wangsaputra DR. Ranti Atmodjo PETUNJUK UNTUK PENULIS Drs. Victor S Ringoringo, SE, MSe. Dr. P.J. Gunadi Budipranoto DR. Susy Tejayadi

Cermin Dunia Kedokteran menerima naskah yang membahas berbagai aspek kesehatan, kedokteran dan farmasi, juga hasil penelitian di bidangbidang tersebut. Naskah yang dikirimkan kepada Redaksi adalah naskah yang khusus untuk diterbitkan oleh Cermin Dunia Kedokteran; bila telah pernah dibahas atau dibacakan dalam suatu pertemuan ilmiah, hendaknya diberi keterangan mengenai nama, tempat dan saat berlangsungnya pertemuan tersebut. Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia atau Inggris; bila menggunakan bahasa Indonesia, hendaknya mengikuti kaidah-kaidah bahasa Indonesia yang berlaku. Istilah media sedapat mungkin menggunakan istilah bahasa Indonesia yang baku, atau diberi padanannya dalam bahasa Indonesia. Redaksi berhak mengubah susunan bahasa tanpa mengubah isinya. Setiap naskah harus disertai dengan abstrak dalam bahasa Indonesia. Untuk memudahkan para pembaca yang tidak berbahasa Indonesia lebih baik bila disertai juga dengan abstrak dalam bahasa Inggris. Bila tidak ada, Redaksi berhak membuat sendiri abstrak berbahasa Inggris untuk karangan tersebut. Naskah diketik dengan spasi ganda di atas kertas putih berukuran kuarto/ folio, satu muka, dengan menyisakan cukup ruangan di kanan-kirinya, lebih disukai bila panjangnya kira-kira 6 - 10 halaman kuarto. Nama (para) pengarang ditulis lengkap, disertai keterangan lembaga/fakultas/institut tempat bekerjanya. Tabel/skema/grafik/ilustrasi yang melengkapi naskah dibuat sejelasjelasnya dengan tinta hitam agar dapat langsung direproduksi, diberi nomor

sesuai dengan urutan pemunculannya dalam naskah dan disertai keterangan yang jelas. Bila terpisah dalam lembar lain, hendaknya ditandai untuk menghindari kemungkinan tertukar. Kepustakaan diberi nomor urut sesuai dengan pemunculannya dalam naskah; disusun menurut ketentuan dalam Cummulated Index Medicus dan/atau Uniform Requirements for Manuseripts Submitted to Biomedical Journals (Ann Intern Med 1979; 90 : 95-9). Contoh: Basmajian JV, Kirby RL. Medical Rehabilitation. 1st ed. Baltimore. London: William and Wilkins, 1984; Hal 1749. Weinstein L, Swartz MN. Pathogenetic properties of invading microorganisms. Dalam: Sodeman WA Jr. Sodeman WA, eds. Pathologic physiology: Mechanisms of diseases. Philadelphia: WB Saunders, 1974; 457-72. Sri Oemijati. Masalah dalam pemberantasan filariasis di Indonesia. Cermin Dunia Kedokt. l990 64 : 7-10. Bila pengarang enam orang atau kurang, sebutkan semua; bila tujuh atau lebih, sebutkan hanya tiga yang pertama dan tambahkan dkk. Naskah dikirimkan ke alamat : Redaksi Cermin Dunia Kedokteran P.O. Box 3105 Jakarta 10002 Pengarang yang naskahnya telah disetujui untuk diterbitkan, akan diberitahu secara tertulis. Naskah yang tidak dapat diterbitkan hanya dikembalikan bila disertai dengan amplop beralamat (pengarang) lengkap dengan perangko yang cukup.

Tulisan dalam majalah ini merupakan pandangan/pendapat masing-masing penulis dan tidak selalu merupakan pandangan atau kebijakan instansi/lembaga/bagian tempat kerja si penulis. Cermin Dunia Kedokteran No. 75, 1992

English Summary
THE PROBLEM OF AIDS Suriadi Gunawan
Communicable Disease Research Centre, Health Research and Development Board, Department of Health, Indonesia, Jakarta.

POLYMERASE CHAIN REACTION FOR DIAGNOSIS OF HIV Muljati Prijanto


Communicable Disease Research Centre, Health Research and Development Board, Department of Health, Indonesia, Jakarta.

ARTHRITIS ASSOCIATED WITH IMMUNODEFICIENCY DISEASES Harry Isbagio


Rheumatology Subdivision, Department of Internal Medicine, Faculty of Medicine, University of Indonesia/Cipto Mangunkusumo General Hospital, Jakarta, Indonesia.

Since AIDS was first reported among homosexual men in California, USA in 1981, the disease has already spread into other groups, such as hemophiliacs, blood-product receivers, iv-drug users and people who have sexual contact with AIDS-positives. Reports received by WHO from all over the world revealed 418 404 cases as in October 1991; 1196 among them found in Asia. Among ASEAN countries, 119 cases were from Thailand, 52 from the Philippines, 16 from Indonesia, 30 from Singapore, 28 from Malaysia and 2 from Brunei Darussalam. The Department of Health, Indonesia - in cooperation with the WHO - has introduced a short-term plan (1988-1989) to prevent further dissemination of AIDS in Indonesia which comprises education and training of medical personnel, sexual behavior studies, and improving laboratoryfacilities; and a mediumterm plan (1991-1993).
Cermin Dunia Kedokt. 1992; 75: 5-9 brw

Laboratory diagnosis for HIV is based on two methods: 1. direct isolation of virus, and 2. indirect methods. Among the indirect methods, the polymerase chain reaction can be utilized to screen potential individuals, such as children of seropositive mothers, intravenous drug-users, individuals living among seropositives, or those living in a high-risk environment.
Cermin Dunia Kedokt. 1992; 75: 17-9 brw

Arthritis can be found as a symptom in immunodeficiency diseases: such as in X-linked agammaglobulinemia (XLA, Bruton-type Agammaglobulinemia, Selective IgA Deficiency, Common Variable Immunodeficiency (OVID, Adult Acquired Agammaglobulinemia) and Aqcuired Immunodeficiency Syndrome (AIDS). Among HIV-positive individuals, the incidence of arthritis was variable, and can be as high as 14,5%, depending on the demographic areas and progression of the disease. The type of arthritis found were Reiter disease, psoriatic arthritis, poly-arthritis, oligoarthritis or mono-arthritis. Arthritis can worsen the prognosis of HIV-positive individuals as it induces the full-blown form of AIDS.
Cermin Dunia Kedokt. 1992; 75: 20-2 Brw

Cermin Dunia Kedokteran No. 75, 1992

Artikel Perkembangan Masalah AIDS


Suriadl Gunawan Pusat Penelitian Penyakit Menular, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan RI, Jakarta

PENDAHULUAN Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS), pertama kali dilaporkan dalam tahun 1981 dari Amerika Serikat(1). Kasus-kasus pertama ditemukan path pria homoseksual di California, namun dalam tahun 1982 sudah ditemukan pula pada penderita hemofilia, penerima transfusi darah, pemakai obat bius secara intravena dan orang yang berhubungan seksual dengan kelompok-kelompok tersebut. AIDS kini telah meluas menjadi pandemi dan masalah internasional. Pertambahan kasus yang cepat di kalangan penduduk (bukan homoseksual) dan penyebaran ke semakin banyak negara serta belum adanya obat dan vaksin yang efektif terhadap AIDS telah menimbulkan keresahan dan keprihatinan di seluruh dunia. Menurut Dr. Jonathan Mann, Direktur pertama dari program AIDS WHO, AIDS meliputi tiga macam epidemi(2). Epidemi yang pertama ialah penyebaran HIV (Human Immunodeficiency Virus). Penularan terjadi melalui hubungan seksual (homo dan heteroseksual), dari ibu Ice bayi dan melalui darah yang tercemar (transfusi, produk darah, pemakaian jarum suntik, dan sebagainya). Epidemi ini berlangsung secara diamdiam dan mungkin sekali telah dimulai dalam tahun 1950-an. Darah tertua yang tercemar HIV berasal dari Zaire dalam tahun 1959. Jumlah orang yang terinfeksi kini telah mencapai sekitar 10 juta. Epidemi yang ke dua adalah berjangkitnya AIDS yang mulai dikenal sejak tahun 1981 dan kini sudah mencapai lebih dari setengah juta penderita. Epidemi yang ke tiga bersifat sosial, yakni stigmatisasi, prasangka dan diskriminasi yang timbul akibat AIDS. Epidemi ke tiga ini menimbulkan berbagai dilema dalam masyarakat yang mempersulit penanggulangan AIDS secara rasional. Langkah-langkah klasik yang umum diambil untuk menanggulangi penyakit menular : penemuan penderita, pelaporan dan

pencatatan penderita dan islasi dan pengobatan penderita tidak dapat dilaksanakan untuk menanggulangi AIDS. Dalam makalah ini akan ditinjau aspek kesehatan masyarakat dari AIDS dan diajukan beberapa kebijakan untuk menghadapinya di negara kita. VIRUS AIDS Penyebab AIDS adalah suatu retrovirus yang sejak tahun 1986 disebut Human Immunodeficiency Virus (HIV) atas rekomendasi dari International Committee on Toxonomy of Viruses. Nama ini mengganti llama lama, yaitu Lymphadenopathy Associated Virus (LAV) yang diberikan oleh L. Montagnier dan Institut Pasteur di Paris dan Human T-Lymphocyte Virus Type III (HTLV-III) yang diberikan oleh R. Gallo dari US National Cancer Institute(3). Bila masuk ke dalam tubuh, HIV akan menyerang sel darah putih, yakni limfosit T4 yang mempunyai peranan penting sebagai pengatur sistem imunitas. HIV mengadakan ikatan dengan CD4 receptor yang terdapat pada permukaan limfosit T4. Kini diketahui bahwa virus ini juga dapat langsung merusak sel-sel tubuh lainnya yang mempunyai CD4 a.l. sel glia yang terdapat di otak, makrofag dan sel Langerhans di kulit, saluran pencemaan dan saluran pernapasan(4). Suatu enzim, reverse transcriptase mengubah bahan genetik virus (RNA) menjadi DNA yang bisa berintegrasi dengan sel dari hospes. Selanjutnya sel yang berkembang biak akan mengandung bahan genetik virus. Infeksi oleh HIV dengan demikian menjadi irreversibel dan berlangsung seumur hidup. Di Afrika Barat dan Eropa Barat telah ditemukan pula suatu retrovirus lain, yakni HIV-2 yang juga dapat menyebabkan AIDS. Virus ini mempunyai perbedaan cukup banyak dengan HIV-1, batik genetik maupun antigenetik, sehingga tidak bisa dideteksi dengan tes serologik yang biasa dipakai. HIV-2 ter-

Cermin Dunia Kedokteran No. 75, 1992

nyata mempunyai banyak persamaan dengan SIV (Simian Immunodeficiency Virus) yang terdapat pada kera, termasuk keraMacacus di Indonesia dan kera hijau Afrika(5). Ditemukannya HIV-2 akan mempersulit penanggulangan AIDS karena mempunyai implikasi tmtuk diagnostik, staining donor dan pengembangan vaksin. PENULARAN AIDS Penularan AIDS terjadi melalui : 1. Hubungan kelamin (homo maupun heteroseksual); 2. Penerimaan darah dan produk darah; 3. Penerimaan organ, jaringan atau sperma; 4. Ibu kepada bayinya (selama atau sesudah kehamilan). Kemungkinan penularan melalui hubungan kelamin menjadi lebih besar bila terdapat penyakit kelamin, khususnya yang menyebabkan luka atau ulserasi pada alat kelamin(6). HIV telah diisolasi dari darah, sperma, air liur, air mata, air susu ibu, dan air seni, tapi yang terbukti berperan dalam penularan hanyalah darah dan sperma. Hingga saat ini juga tidak terdapat bukti bahwa AIDS dapat ditularkan melalui udara, minuman, makanan, kolam renang atau kontak biasa (casual) dalam keluarga, sekolah atau tempat kerja. Juga peranan serangga dalam penularan AIDS tidak dapat dibuktikan. Risiko bagi petugas kesehatan untuk mendapat AIDS adalah sangat kecil. Tata kerja yang dilaksanakan untuk mencegah infeksi pada umumnya, misalnya terhadap hepatitis B adalah lebih dari cukup untuk menghindari penularan AIDS. Terhadap kemungkinan infeksi dari darah dan beberapa cairan tubuh lainnya perlu dilakukan universal precautions(7). EPIDEMIOLOGI AIDS Golongan risiko tinggi untuk dapat ditulari AIDS adalah : 1. Orang yang berpasangan seksual banyak (homo maupun heteroseksual); 2. Penyalah-guna obat secara intravena; 3. Penerima darah/produk darah (bila darah tidak diskrin terhadap HIV); 4. Bayi dari ibu yang telah terinfeksi; Sampai 1 Oktober 1991 telah dilaporkan kepada WHO sejumlah 418.404 kasus AIDS dan 1.196 diantaranya berasal dari Asia. Yang melaporkan adanya kasus AIDS sudah berjumlah 163 negara. Da negara-negara ASEAN telah dilaporkan 246 kasus : Thailand 119, Filipina 51, Indonsia 16, Singapura 30, Malaysia 28, Brunai 2(8). WHO memperkirakan jumlah kasus AIDS yang sesungguhnya adalah sekitar 1 juta dan orang yang terinfeksi (seropositif) antara 8 10 juta, dengan perkiraan kasus :1 juta di Amerika Utara,1 juta di Amerika Latin, l/2 juta di Eropa, 6 juta di Afrika dan 1/2 1 juta di Asia (terutama di Thailand dan India). Dalam tahun 2000 jumlah penderita AIDS akan mencapai 5 juta (secara kumulatif), sedangkan orang seropositif sekitar 30 40 juta. Sebagian besar di Afrika dan Asia(9). WHO memperkirakan bahwa menjelang tahun 2000 jumlah infeksi HIV di Asia akan lebih besar dari di Afrika.Di Amerika Utara dan Eropa akan terjadi stabilisasi pandemi, sedangkan di Amerika Latin

pertumbuhannya diperkirakan agak lambat(10). 1. Pola 1 (Amerika Utara, Eropa Barat, Australia, New Zealand). Penularan terutama terjadi pada pria homoseksual atau biseksual dan pemakai obat bius secara intravena, sedikit penularan heteroseksual dan sedikit penularan perinatal (ibu ke bayi). 2. Pola 2 (Afrika, Karibia dan beberapa daerah Amerika Latin). Penularan terutama heteroseksual, pemakaian jarum suntik yang tidak steril, penularan ibu ke anak penting. 3. Pola 3 (Asia, Oceania, Timur Tengah, Eropa Timur, dan beberapa daerah Amerika Latin). Penularan masih baru, terutama penerima produk darah dan hubungan seksual (homo maupun hetero) dengan orang yang terinfeksi dari daerah pola 1 dan 2. Namun bila penularan sudah terjadi secara indigenous, pola 3 cenderung menjadi seperti pola 2. PERJALANAN PENYAKIT AIDS Perjalanan penyakit AIDS belum diketahui dengan pasti. Masa inkubasi diperkirakan 5 tahun atau lebih. Diperkirakan bahwa sekitar 25% dari orang yang terinfeksi akan menunjukkan gejala AIDS dalarn 5 tahun pertama. Sekitar 50% dari yang terinfeksi dalam 10 tahun pertama akan mendapat AIDS(11). Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya AIDS pada orang yang seropositif belum diketahui dengan jelas. Menurunnya limfosit T4 di bawah 200 per ml. berarti prognosis.yang buruk. Diperkirakan bahwa infeksi HIV yang berulang dan pemaparan terhadap infeksi-infeksi lain mempunyai peranan penting. Mortalitas pada penderita AIDS yang sudah sakit lebih dari 5 tahun mendekati 100%. Survival penderita AIDS ratarata ialah 1 2 tahun. CDC Atlantamenetapkanklasifikasi infelcsi pada orang dewasa sebagai berikut : group I Acute Infection (flu-like disease) group II Symptomatic infection group III Persistent generalized lymphadenopathy group IV Other disease subgroup A Constitutional disease (fever, diarrhoea, weight loss) subgroup B Neurologic disease (encephalitis/dementic) subgroup C Secondary infectious diseases (Pneumocystis carinii, Cytomegalovirus, Salmonella, etc). subgroup D Secondary cancers (Kaposi sarcoma, NonHodgkin lymphoma) subgroup E Other conditions Hingga saat ini belum ditemukan obat .atau vaksin yang efektif terhadap AIDS. Berbagai obat anti-virus dan immunomodulator sedang diteliti dan obat yang memberi harapan ialah Zidovudine (dulu disebut Azidothymidine atau AZT) dan DDI (Dedioxyinosine) yang ternyata dapat memperpanjang hidup penderita, sekalipun ada efek sampingnya. Baik AZT maupun DDI menghambat replikasi virus .(arena inhibisi dari ensim reverse transcriptase(12). Penyakit oportunistik dapat diobati sesuai dengan etiologinya dengan kemoterapi, antibiotika, dan sebagainya. Pneumonia Pneumocystis carinii yang sering menyerang penderita AIDS dapat diobati dengan Pentamidine atau Cotrimoxazole.

Cermin Dunia Kedokteran No. 75, 1992

Salah satu hambatan untuk menghasilkan vaksin AIDS ialah seringnya terjadi mutasi path HIV yang mengakibatkan perubahan pada struktur molekular lapisan protein luar dari virus. Pengembangan vaksin AIDS sedang dilaksanakan dengan intensif, namun para ahli memperkirakan bahwa dalam lima tahun mendatang belum akan ada vaksin yang efektif(14). DEFIMSI KASUS AIDS Untuk keperluan surveilans epidemiologi digunakan definisi kasus AIDS yang disusun oleh US Centers' for Diseases Control (CDC) dan disetujui para ahli yang mengikuti Second Meeting of the WHO Collaborating Centers in AIDS di Geneva tanggal 16 -18 Desember 1985. Definisi tersebut telah direvisi dalam tahun 1987(14). Definisi yang digunakan untuk surveilans di negara-negara dengan fasilitas diagnostik yang cukup adalah sebagai berikut : Suatu kasus AIDS adalah kejadian penyakit yang disifatkan oleh : 1. Suatu penyakit yang menunjukkan adanya defisiensi imunoseluler, misalnya sarkoma Kaposi atau satu atau lebih penyakit oportunistik yang di diagnosis dengan cara yang dapat dipercaya. 2. Tidak adanya sebab-sebab immunodefisiensi seluler lainnya (kecuali infeksi HIV). Sekalipun kriteria di atas dipenuhi, kasus tidak dianggap sebagai AIDS bila tes antibodi serum terhadap HIV adalah negatif, biakan untuk HIV negatif, jumlah limfosit T-helper normal atau tinggi dan rasio limfosit T-helper terhadap Tsupressor normal atau tinggi. Penyakit yang menjadi petunjuk adanya AIDS a.l. ialah : Kaposi sarcoma B cell lymphoma (Non-Hodgkin lymphoma) HIV encephalopathy (dementia) HIV wasting syndrome (s 10% weight loss) Cryptosporodiosis Cytomegalovirus Isosporiasis Pneumocystis carinii pneumonia Lymphoid interstitial pneumonia Progressive muldfocalleucoencephalopathy Toxoplasmosis Candidiasis (oesaphagus) Coccidioidomycosis Cryptococcosis Herpes simplex virus Histoplasmosis Tuberculosis Other mycobacteriosis Salmonellosis Other bacterial infection Pada suatu WHO Workshop yang diadakan di Bangui, Republik Afrika Tengah, 2224 Oktober 1985 telah disusun suatu defmisi klinik AIDS untuk digunakan oleh negara-negara yang tidak mempunyai fasilitas diagnostik laboratorium. Ketentuan tersebut adalah sebagai berikut :

1) AIDS dicurigai pada orang dewasa bila ada paling sedikit dua gejala mayor dan satu gejala minor dan tidak terdapat sebabsebab imunosupresi yang diketahui seperti kanker, malnutrisi berat, atau etiologi lainnya. Gejala mayor : a. Penurunan berat badan lebih dari 10% b. Diare kronik lebih dari 1 bulan c. Demam lebih dari 1 bulan (kontinu atau intermiten). Gejala minor : a. Batuk lebih dari 1 bulan b. Dermatitis pruritik umum c. Herpes zoster rekurens d. Candidiasis oro-faring e. Limfadenopati umum f. Herpes simpleks diseminata yang kronik progresif 2) AIDS dicurigai pada anal( bila terdapat paling sedikit dua gejala mayor dan dua gejala minor dan tidak terdapat sebabsebab imunosupresi yang diketahui seperti kanker, malnutrisi berat, atau etiologi lainnya. Gejala mayor : a. Penurunan berat badan atau pertumbuhan lambat yang abnormal b. Dian kronik lebih dari 1 bulan c. Demam lebih dari 1 bulan Gejala minor : a. Limfadenopati umum b. Candidiasis oro-faring c. Infeksi umum yang berulang (otitis, faringitis, dsb). d. Batuk persisten e. Dermatitis umum f. Infeksi HIV maternal Kriteria tersebut di atas khusus disusun untuk negara-negara Afrika yang mempunyai prevalensi AIDS tinggi dan mungkn tidak sesuai untuk digunakan di Indonesia. Untuk keperluan surveilans AIDS di Indonesia sebagai pedoman digunakan defmisi WHO/CDC yang telah direvisi dalam tahun 1987. Sesuai dengan hasil Inter-country Consultation Meeting WHO di New Delhi, 30-31 Desember 1985, dianggap perlu bahwa kasus-kasus pertama yang akan dilaporkan sebagai AIDS kepada WHO mendapat konfrrmasi dengan tes ELISA dan Western Blot. Untuk keperluan surveilans di Indonsia, Menteri Kesehatan RI telah mengeluarkan instruksi agar setiap kasus AIDS dilaporkan ke Departemen Kesehatan, sedangkan Direktur Jenderal PPM-PLP telah mengeluarkan SK no. 286-I/PD.03.04 tanggal 2 Jun 1988 yang berisi petunjuk-petunjuk pelaksanaannya(16). PEMERIKSAAN LABORATORIK UNTUK DETEKSI INFEKSI HIV Pemeriksaan laboratorik untuk deteksi infeksi HIV yang telah dapat dilakukan di RS Cipto Mangunkusumo (Bagian Patologi Klinik), Badan Litbangkes (Pusat Penelitian Penyakit Menular) dan Balai Laboratorium Kesehatan di 15 propinsi ialah tes makro ELISA (enzyme-linked immunosorbent assay). Fasili-

Cermin Dunia Kedokteran No. 75, 1992

tas untuk tes tersebut semula dikembangkan untuk pemeriksaan calon tenaga kerja ke Arab Saudi, namun. kini dimanfaatkan untuk konfirmasi diagnosa AIDS/ARC, skrining donor organ atau semen, penentuan prevalensi infeksi HIV pada golongan risiko tinggi dan evaluasi usaha penanggulangan AIDS. Laboratorium swasta dapat melakukan pemeriksaan HIV bila telah mendapat persetujuan Depkes, namun konfirmasi tes positif harus ditetapkan laboratorium Patologi Klinik RSCM. Karena konsekuensinya yang serius, pemeriksaan infeksi HIV harus dilaksanakan dengan seijin yang bersangkutan dan disertai konseling. Tes ELISA mempunyai sensitivitas yang tinggi, namun spesifitasnya agak kurang. Persentase false positives menjadi sangattinggi bilaprevalensi AIDS di suatu daerah sangatrendah. Tes ELISA yang. dikembangkan akhir-akhir ini mempunyai spesifisitas yang lebih tinggi. Bila prevalensi AIDS misalnya 0,01%, predictive value dari tes ELISA (Abbott) adalah hanya 2,2 4,5%. Ini berarti bahwa dari setiap 100 tes ELISA yang positif, hanya 2,2 4,5% yang true positive, sedangkan 97,5 95,5% adalah false positive. Maka tes ELISA yang positif (setelah diulang) masih perlu dikonfirmasi dengan tes lain yang lebih spesifik. Untuk keperluan ini paling suing digunakan metode Immuno blot/Western blot. Tes ini dapat dilakukan di R.S. Cipto Mangunkusumo dan Badan Litbangkes di Jakarta. KEADAAN AIDS DI INDONESIA Kasus AIDS pertama di Indonsia ditemukan pada tanggal 5 April 1987 di Bali pada seorang wisatawan Belanda. Hingga bulan Nopember 1991 telah dilaporkan ke Departemen Kesehatan sejumlah 16 kasus AIDS, yakni 12 dari Jakarta, 2 dari Bali dan 2 dari Surabaya Semua penderita adalah pria, sedangkan 6 diantaranya ialah orang berkewarganegaraan asing (Belanda, Kanada, Perancis, Amerika Serikat, Jerman). Cara penularan ialah hubungan homosexual (9 kasus), hubungan heteroseksual (1 kasus), pemberian transfusi darah/produk darah (2 kasus). Lebih dari 164.000 tes serologi terhadap antibodi HIV telah dilaksanakan di Indonsia dan ditemukan 40 kasus yang positif dengan konfirmasi Western Blot (16 di antaranya penderita AIDS). Sejumlah orang asing HIV positif yang sedang berkunjung atau bekerja di Indonesia juga telah ditemukan, al di Bali 5 orang dan di Jakarta seorang. Dari 24 orang yang seropositif, 4 adalah wanita (2 istri orang asing dan 2 wanita P). Faktor risiko penularan yang ditemukan ialah hubungan homoseksual (10), hubungan heteroseksual (4), pemakaian faktor VIII/hemofilia (2), pemakaian obat bius (1). KEBIJAKSANAAN MENGHADAPI MASALAH AIDS Dalam penyusunan kebijaksanaan menghadapi masalah AIDS perlu dipertimbangkan hal-hal sebagai berikut : 1. Indonsia adalah negara yang terbuka, maka terdapat kemungkinan nyata AIDS akan masuk.

2. AIDS telah menjadi pandemi dan masalah internasional. 3. Infeksi HIV mempunyai konsekuensi penting bagi perorangan maupun masyarakat. 4. Obat atau vaksin yang efektif terhadap AIDS tidak akan tersedia dalam beberapa tahun mendatang, sehingga penerangan dan penyebaran informasi menjadi usaha pencegahan terpenting. 5. Masalah AIDS harus dilihat dalam kaitannya dengan prioritas masalah kesehatan lainnya. 6. AIDS harus ditangani dalam sistim pelayanan kesehatan yang ada. Suatu usaha penanggulangan AIDS yang efektif harus meliputi : 1. Pengembangan sistim surveilans penyakit AIDS/infeksi HIV. 2. Pengembangan kemampuan laboratorik untuk menentukan infeksi HIV dan penyakit oportunistik yang berkaitan dengan AIDS. 3. Penerangan dan pendidikan tenaga kesehatan. 4. Penerangan untuk masyarakat. 5. Peningkatan keamanan transfusi darah dan penggunaan produk darah. 6. Penelitian. 7. Koordinasi melalui suatu panitia atau kelompok kerja tingkat nasional maupun daerah. Sejak tahun 1986 di Departemen Kesehatan telah dibentuk suatu panitia untuk menanggulangi AIDS yang semula diketuai oleh Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan dan kini diketuai DirekturJenderalPemberantasanPenyakit Menular & Penyehatan Lingkungan Pemukiman. Panitia ini merupakan wadahkomunikasi/koordinasi sertapngolahan informasi dalam rangka meningkatkan kewaspadaan dan kesiapsiagaan menghadapi AIDS. Adanya panitia ini tidak mengurangi wewenang dan tugas dari unit-unit struktural di Departemen Kesehatan, sesuai dengan bidang masing-masing. RENCANA JANGKA PENDEK Dengan bantuan WHO telah disusun suatu Rencana Kerja Jangka Pendek (Short Term Plan) 1988/1989 untuk menanggulangi AIDS di Indonsia. Rencana tersebut bertujuan untuk mencegah penularan AIDS/HIV di kalangan penduduk risiko tinggi, dan meningkatkan usaha-usaha pendidikan dan penyuluhan. Biaya yang disediakan WHO berjumlah US $ 255,000 dan digunakan untuk pendidikan dan latihan tenaga kesehatan, penelitian perilaku seksual, penyuluhan kesehatan, peningkatan kemampuan laboratorium(17). RENCANA JANGKA MENENGAH (MTP) Rencana Jangka Menengah (Medium Term Plan) selama tiga tahun untuk tahun 19911993 disusun oleh pemerintah Indonesia bekerjasama dengan WHO pada bulan Agustus 1989. Rencana ini akan dilaksanakan setelah dana yang diperlukan disetujui. Untuk menangani penyempurnaan pelaksanaan STP dan mulai persiapan untuk kegiatan MTP untuk memantapkan kesinambungan beberapa kegiatan program yang penting, WHO/GPA telah memberikan dana sebesar $ 485.284 (interim

Cermin Dunia Kedokteran No. 75, 1992

plan). Rencana telah disusun secara detail untuk 15 propinsi dengan dasar adanya kasus/infeksi HIV dan kemungkinan risiko timbulnya kasus/infeksi HIV di masa yang akan datang. MTP untukl2 propinsilainnyaakan disusundalam tahun pertama dari tiga tabula periode MTP(18). Kegiatan yang penting dalam MTP mencakup : 1) Penyuluhan kepada penduduk, terutama kepada kelompok risiko tinggi, pemuka masyarakat, pemuka agama, wartawan, petugas kesehatan mengenai peningkatan pengetahuan hubungan seksual yang aman dari penyakit AIDS melalui tatap muka, televisi, radio, suratkabar, poster, dan lain-lain. 2) Promosi penggunaan kondom khususnya di kalangan kelompok risiko tinggi dan penyediaannya yang mudah. 3) Menjamin adanya transfusi darah yang aman: pemberian informasi kepada para donor darah agar dengan kesadaran sendiri tidak menjadi donor bilamana mereka termasuk pada kelompok risiko tinggi, mengurangi jumlah transfusi darah dan melakukan skrining test untuk HIV pada saat pengumpulan darah (secara bertahap). 4) Peningkatan penggunaan peralatan kesehatan yang aman, sterilisasi dari semprit/jarum suntik dan peralatan tusuk kulit lainnya dan menyesuaikan kebutuhan untuk jarum suntik, semprit, dan lain-lain. 5) Penyuluhan dan nasehat terhadap ibu hamil. 6) Konseling kepada penderita AIDS/HIV positif, partner mereka dan keluarganya. 7) Survai serologis pada kelompok masyarakat risiko tinggi dikembangkan dan diperluas pada banyak propinsi dengan menjamin kerahasiaan daripada hasil test pemeriksaan. 8) Pengembangan laboratorium untuk pemeriksaan HIV termasuk laboratorium rujukan untuk tingkat nasional, untuk mengatasi kenaikan jumlah serum yang diperiksa. 9) Meningkatkan kesadaran masyarakat dengan cara memberikan informasi, penyuluhan/pendidikan dan melalui komunikasi yang sederhana dan mudah diterima. 10) Mengumpulkan data mengenai pengetahuan, sikap, tingkah laku yang berkaitan dengan kebiasaan seksual untuk menyusun langkah-langkah pencegahan penyebaran melalui hubungan seksual. 11) Membentuk Pusat Informasi AIDS/Penyakit Kelamin dan mempublikasikan serta menyebarluaskan setiap tiga bulan sekali dengan pesan-pesan khusus kepada grup target. 12) Latihan petugas kesehatan yang terkait dalam penanggulangan AIDS akan dilanjutkan balk pada tingkat nasional maupun tingkat propinsi. Petunjuk operasional akan dikembangkan untuk membantu melatih petugas kesehatan sehubungan dengan tugas dan kewajiban mereka dengan program AIDS. 13) Program PemberantasanPenyakitKelaminakanditingkatkan dengan melakukan test pemeriksaan sifilis bagi seluruh serum

yang dikumpulkan untuk pemeriksaan HIV. Kepada para WTS dan lain-lain kelompok risiko tinggi dari 15 propinsi yang disurvai/diperiksa darah dan diberikan penyuluhan akan dilakukan pemeriksaan dan pengobatan untuk gonorhoe. 14) Panitia AIDS Nasional akan terus menerus membantu dan memberikan petunjuk mengenai kegiatan-kegiatan program yang dilaksanakan. Demikian pula Panitia AIDS tingkat propinsi akan dibentuk untuk meningkatkan pelaksanaan program di daerah. 15) Dengan mengumpulkan indikator-indikator yang ditentukan kegiatan program MTP akan dimonitor dan dievaluasi setiap akhir tahun. Untuk melaksanakan MTP tersebut dibutuhkan biaya sekitar Rp. 9 miliar atau sekitar Rp. 3 miliar per tahun. WHO sudah menyanggupi untuk membantu sekitar Rp. 1 miliar setahun.

KEPUSTAKAAN 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. Heyward WL, Curran JW. The Epidemiology of AIDS in the U.S. Scient Amer. (October) 1988, p. 58-9. Panos Dossier. The 3rd Epidemic. Repercussions of the fear of AIDS. The Panos Institute, 1990. Gallo RC, Montagnier L. The Chronology of AIDS Research. Nature, (April 2) 1987, p. 435-6. Weber IN, Weiss RA. HIV Infection : Tyhe cellular picture. Scient Amer. (October) 1988, p. 817. Essex M, Kanki PJ. The Origins of the AIDS Vitus. Scient Amer. (October) 1988, p. 44-51. Mann J, Chin J, Piot P, Quin Th. The International Epidemiology of AIDS. Scion Amer. (October) 1988, p. 60-8. CDC Atlanta. Recommendations for prevention of HIV transmission in health care settings. MMWR (August 21), 1987; 36(25). Weekly Epidemiological Record, 4 October 1991. Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) Data as of 1 October 1991. Chin T, Sato P, Mann J. Projections of HIV Infections and AIDS Cases to the Year 2000. Bull WHO 1991; 27(1): 1-11. WHO-GPA. Current and future dimensions of the AIDS Pandemic. A capsule summary. WHO Geneva. Chin J. Global situation of the AIDS epidemic. Presentation at the regional meeting of National Programme Managers on AIDS. New Delhi, 28 October -1 November 1991. Yarchoan R, Mitsuya H, Broder S. AIDS Therapies. Scion Amer. (October) 1988; p. 88-97. CDC Atlanta. Classification SyszemforllmVmLAVlnfectiau MMWR, 1986; (35): 334-9. Matthews Th, Bolognesi DP. AIDS Vaccines. Scient Amer. (October) 1988; p. 98-105. CDC Atlanta. Revision of the case definition for AIDS. MMWR, 1987; 36(Suppl. 1): 3-15. Depkes RI. Penanggulangan AIDS. Petunjuk untuk seluruh jajaran kesehatan di Indonesia. Jakarta, 1988. Depkes RI. Short terns plan of action on AIDS prevention apd control in Indonesia. December 1987. Depkes RI. Medium term plan of action on AIDS prevention and control in Indonesia. August 1989.

Cermin Dunia Kedokteran No. 75, 1992

Epidemiologi AIDS
Dr. Imran Lubis Pusat Penelitian Penyakit Menular, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan R.I., Jakarta

PENDAHULUAN AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome atau Sindroma Kekurangan Kekebalan), pertama kali dilaporkan pada tahun 1981 di Amerika Serikat, dan dalam waktu relatif singkat telah menyebar ke 175 negara di dunia. Jumlah kasus AIDS yang dilaporkan oleh WHO (1 Desember 1989) adalah 189.165 orang (1 Desember 1989) : (Weekly Epidemiological Record, WHO, No. 48) tersebar di Amerika 131.250, di Afrika : 36.486, di Eropa : 28.747, di Oseania (Australia, New Zealand) : 1.701 dan di Asia : 481. Di negara maju dilaporkan kasus AIDS diperkirakan mencapai 8090% sedangkan di negara-negara berkembang masih dianggap underreported, underdiagnosed, underrecognized. Sehingga angka sebenamya dari kasus AIDS di dunia diperkirakan sudah mencapai 250.000 orang, dengan angka infeksi AIDS 0.5 1.0 juta orang. Dampaknya dalam waktu lima tahun mendatang adalah jumlah kasus AIDS baru dapat mencapai angka 1 juta. Situasi AIDS sekarang ini sebenamya merupakan akibat dari suatu proses penyebaran virus AIDS (yaitu HIV : Human Immunodeficiency Virus) paling tidak semenjak tahun 1970, (bahkan mungkin semenjak tahun 1959, karena darah penduduk Zaire pada tahun itu telah positif terhadap AIDS). Virus AIDS ditemukan pertama kali pada tahun 1983 sebagai retrovirus dan disebut HIV1. Pada tahun 1986 di Afrika ditemukan lagi retrovirus baru yang dibeni nama HIV-2. HIV 2 dianggap virus yang kurang patogen dibanding dengan HIV 1 dan untuk memudahkan keduanya disebut sebagai HIV. Pada tahun 1987 WHO masih menganggap bahwa HIV adalah " merupakan suatu retrovirus di alam yang penyebaran geografisnya belum diketahui". Tabun 198,8 WHO mulai menangani masalah AIDS dengan membentuk suatu. panitia internasional yang mencetuskan GPA (Global Program on AIDS) yang intinya adalah mencegah penularan baru HIV, membantu upaya pengobatan penderita dan mengkoordinasi upaya internasional dan nasional pencegahan AIDS. Sekarang

ini sudah ada 150 negara yang mempunyai Panitia Nasional Pencegahan AIDS dan 151 negara meminta bantuan WHO, 106 negara telah mendapat bantuan teknis dan finansial, 40 pertemuan ahli, dan berbagai buku pedoman AIDS. Di Indonesia Panitia Penanggulangan AIDS dibentuk berdasarkan suatu Surat Keputusan Menteri Kesehatan bulan Juli 1987, beranggotakan para pejabat di dalam maupun di luar instansi Departemen Kesehatan yang terkait, dan telah melakukan berbagai kegiatan seminar, lokakarya, studi dan penelitian. PATOLOGI KEKURANGAN KEKEBALAN (AIDS) DAN PENULARANNYA Tubuh mempunyai suatu mekanisme untuk membasmi suatu infeksi dari benda asing, misalnya : virus, bakteri, bahan kimia, dan jaringan asing dari binatang maupun manusia lain. Mekanisme ini disebut sebagai tanggap kebal (immune response) yang terdiri dari 2 proses yang kompleks : yaitu kekebalan humoral dan kekebalan cell-mediated. Virus AIDS (HIV) mempunyai cara tersendiri sehingga dapat menghindari mekanisme pertahanan tubuh. "ber-aksi" bahkan kemudian dilumpuhkan. Virus AIDS (HIV) masuk ke dalam tubuh seseorang dalam keadaan bebas atau berada di dalam sel limfosit. Benda asing ini segera dikenal oleh sel T helper (T4), tetapi begitu se), T helper menempel pada benda asing tersebut, reseptor sel T helper .tidak berdaya; bahkan HIV bisa pindah dari sel induk ke dalam sel T helper tersebut. Jadi, sebelum sel T helper dapat. mengenal benda asing HIV, ia lebih dahulu sudah dilumpuhkan. HIV kemudian mengubah fungsi reseptor di permukaan sel T helper sehingga reseptor ini dapat menempel dan melebur ke sembarang sel lainnya sekaligus memindahkan HIV. Fungsi T helper dalam mekanisme pertahanan tubuh sudah dilumpuhkan, genom dari HIV proviral DNA dibentuk dan diintegrasikan pada DNA sel T helper sehingga menumpang ikut berkembang biak sesuai dengan perkembangan biakan sel T helper. Sampai

10 Cermin Dunia Kedokteran No. 75, 1992

suatu saat ada mekanisme pencetus (mungkin karena infeksi virus lain) maka HIV akan aktif membentuk RNA, ke luar dari T helper dan menyerang sel lainnya untuk menimbulkan penyakit AIDS. Karena sel T helper sudah lumpuh maka tidak ada mekanisme pembentukan sel T killer, sel B dan sel fagosit lainnya. Kelumpuhan mekanisme kekebalan inilah yang disebut AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) atau Sin droma Kegagalan Kekebalan. Penularan AIDS terjadi melalui : 1. Hubungan kelamin (homo maupun heteroseksual) 2. Penerimaan darah dan produk darah 3. Penerimaan organ, jaringan atau sperma 4. Ibu kepada bayinya (selama atau sesudah kehamilan) HIV telah diisolasi dari darah, sperma, air liur, air mata, air susu ibu dan air seni; tetapi yang terbukti berperan dalam penularan hanyalah darah dan sperma. Sehingga saat ini juga tidak terdapat bukti bahwa AIDS dapat ditularkan oleh serangga, minuman, makanan atau kontak biasa (casual) dalam keluarga, sekolah atau tempat kerja. POLA EPIDEMIOLOGI AIDS DI DUNIA Hanya berdasarkan suatu hasil survai seroprevalensi HIV dan pelaporan kasus AIDS yang akurat dapat diketahui cara penularan HIV dan penentuan suatu prediksi kasus di masa mendatang. Sampai saat ini baru diketahui tiga Pola Epidemiologi AIDS yaitu Pola I, Pola II, dan Pola III (Campuran). Gambaran AIDS Pola I, letaknya terutama di negara industri dengan kasus AIDS tinggi, seperti : Amerika, Meksiko, Canada, Eropa Barat, Australia, New Zealand, dan sebagian dari Amerika Latin. Diperkirakan penyebaran HIV sudah dimulai semenjak tahun 1970 langsung maupun melalui Haiti. Korbannya terutama pada kelompok homoseks, lelaki biseks dan penyalah guna obat suntikan. Sedikit ditemukan pada kelompok lain seperti heteroseksual (jumlahnya dikhawatirkan dapat terus meningkat), penerima transfusi darah dan produk darah lain, ibu pengidap AIDS ke bayi yang dilahirkannya. Pencegahan AIDS di daerah Pola I telah dilakukan dengan cara skrining darah, penerangan pada ibu dan penyalahguna obat suntikan. Perbandingan prevalensi antibodi HIV pada laki dan perempuan adalah 10 15 laid-laki banding satu pada perempuan, seroprevalensi di masyarakat di bawah 1% tetapi pada kelompok resiko tinggi dapat setinggi 50% (misalnya : penyalah guna obat dengan memakai suntikan yang tidak steril, homoseks dengan banyak mitra). Gambaran Pola II, terutama pada daerah Afrika Tengah dan Timur, Amerika Latin (daerah Karibea). Penyebaran diduga semenjak tahun 1970. Terutama menyerang heteroseks dengan rasio seroprevalensi laid dan perempuan 1 : 1, sehingga penularan dari ibu pengidap AIDS ke bayi yang dilahirkannya tinggi. Jarang terdapat pada homoseks dan penyalahguna obat suntikan. Gambaran Pola III atau Pola Campuran, terutama di daerah Eropa Timur, Afrika Utara, Timur Tengah, Asia (termasuk Indonesia) dan Pasifik. Penyebaran diduga dimulai pada tahun 1980, kasus masih sedikit terutama pada mereka yang bepergian ke daerah Pola I dan II dan melakukan hubungan seks di sana. Penduduk asli kelompok homoseks, heteroseks,

penyalahguna obat suntikan baru mulai dilaporkan positif. Daerah AIDS yang paling parah dalam arti pencegahannya adalah Afrika, karena di san terdapat campuran dari Pola I, II, dan III. Hal ini karena tingginya seroprevalensi AIDS di beberapa kelompok masyarakat misalnya survai di Kongo, Rwanda, Tanzania, Uganda, Zaire dan Zambia pada golongan umur aktif seksual ditemukan 520%, di kalangan pelacur di Kinshansa, Zaire 27%, di Nairobi, Kenya, 66% dan di Butare, Rwanda, 88%. Sekarang ini hampir separuh dari penderita yang dirawat di RS adalah kasus AIDS. Pada kelompok Wanita Usia Subur (WUS) 1025% seropositif AIDS, dan akan terus meningkat menjadi paling sedikit 25%. Masalah yang sekarang sedang dihadapi negara Afrika adalah bila AIDS sudah mulai masuk ke daerah rural. Kasus AIDS yang perlu dirawat di Afrika sekarang sudah mencapai sekitar 100.000 dan tidak dapat tertampung oleh fasilitas pelayanan kesehatan yang ada, apalagi nanti dalam lima tahun mendatang, diperkirakan kasus sudah me ncapai 400.000. Berbagai hasil penelitian tentang banyaknya heteroseks di Afrika yang mengidap AIDS, menunjUkkan bahwa hal tidak tergantung pada ras, peranan kelompok homoseks, peranan kelompok penyalahguna obat suntikan,peranan transfusi darah,maupun kebiasaan misalnya : sunat, tattoo, tetapi lebih cenderung karena tingginya faktor: 1). perilaku seks herisiko tinggi yang dilakukan walaupun heteroseks, 2). mempunyai banyak mitra, 3). frekuensi hubungan seks dengan para pelacur, 4). PMS (Penyakit Menular Seksual) yang mengakibatkan ulkus genitalia. Di negara Asia gambaran epidemiologi AIDS berbeda: laporan kasus terutama berasal dari kelompok penerima darah atau produk darah yang diberikan sebelum tahun 1986, penyalahguna obat suntikan, dan mereka yang melakukan hubungan seks dengan orang asing. Di RRT, 1 dari 50.000 orang yang mendapat transfusi darah mempunyai resiko untuk positif antibodi AIDS. Seroprevalensi AIDS pada kelompok pelacur masih rendah, paling banyak 1 dari 1.000 orang (kecuali di Filipina 0.5% dan India 6%). Selama ini, hasil survai antibodi AIDS di masyarakat di Asia masih menunjukkan angka yang rendah dan peningkatannyapun sangat kecil. Di Bangkok, Thailand pada kelompok penyalahguna obat suntikan, tahun 1986 = 0%, tahun 1987 meningkat = 1% dan tahun 1988 melonjak menjadi 16% dari sekitar 60.000 penyalahguna obat suntikan: dalam hal ini harus diingat bahwa selain penyebaran AIDS di kalangan mereka sendiri juga dapat menyebar ke orang lain yang berhubungan dengan mereka. Gambaran di Eropa sama dengan di Amerika yaitu 90% kasus terdapat pada penyalahguna obat suntikan, meskipun terdapat perbedaan antara satu daerah dengan daerah lainnya. Misalnya di California 90% pada homoseks dibanding dengan kurang dari 10% pada penyalahguna obat suntikan, sedangkan di New York masing-masing kelompok 50%. Di Eropa Barat, Denmark, Swedia 7090% kasus AIDS pada homoseks sedangkan di Italia dan Spanyol penyalahguna obat suntikan menduduki lebih dari separuh dari jumlah kasus AIDS. Gambaran pada daerah Karibea agak berbeda, misalnya di Brasil dilaporkan 3.000 kasus AIDS di kalangan homoseks dan penyalahguna obat suntikan, tetapi terakhir ini terjadi peningkatan

Cermin Dunia Kedokteran No. 75, 1992 11

laporan kasus dari heteroseks di Dominika dan Haiti melebihi kasus pada homoseks dan penyalahguna obat suntikan tadi. EPIDEMIOLOGI AIDS DI INDONESIA Mengetahui secara akurat besarnya seroprevalensi AIDS pada berbagai kelompok masyarakat di Indonesia masih sangat sulit, karena kelompok resiko tinggi AIDS seperti homoseks, WTS, PTS, Waria dan lain-lain, masih banyak yang melakukan praktek secara terselubung, begitu juga pembicaraan mengenai perilaku seks secara formal dan informal masih dianggap tabu. Sampai saat ini laporan kasus AIDS adalah sebagai berikut: Kasus AIDS pertama adalah seorang wisatawan laki-laki Belanda meninggal di Bali, tahun 1987. Ke dua adalah seorang Kanada yang sudah dua tahun tinggal di Indonesia, meninggal di Jakarta, tahun 1987. Ketiga adalah seorang Indonesia yang meninggal di Bali, tahun 1988, seorang homoseksual yang hidup bersama dengan seorang Swis. Keempat adalah seorang pria Prancis yang pernah bekerja sebagai konsultan di Indonesia meninggal tahun 1.988 di Jakarta. Kelima adalah seorang pria Amerika keturunan Indonesia yang meninggal di Surabaya tahun 1989. Keenam adalah seorang Indonesia pernah belajar 6 tahun di Amerika dan meninggal di Jakarta, tahun 1989. Ketujuh adalah seorang Indonesia yang pernah tinggal di luar negeri dan meninggal di Surabaya, tahun 1990. Jumlah kasus AIDS di Indonesia seluruhnya adalah 7 orang, masih lebih rendah dibandingkan dengan di Australia 1.529, di New Zealand 146, Jepang 108, Filipina 26, Hongkong 22, Taiwan 14, Papua Nugini 13, Singapura 13, Thailand 25, di India 32, kecuali di Brunal Darussalam 1. Panitia Nasional Penanggulangan AIDS, Departemen Kesehatan, telah melakukan survai pada berbagai kelompok masyarakat. Dari hasiI pemeriksaan terhadap 89.175 orang di berbagai tempat ternyata 19 positif antibodi terhadap HIV. Beberapa penelitian dan survai mengenai pengetahuan, sikap, kepercayaan dan perilaku seksual di kalangan homoseks, WTS, Waria bahkan pada kelompok remaja telah dilakukan oleh berbagai pihak termasuk mass media. Mengenai pengetahuan tentang AIDS, pada umumnya semua kelompok belum mencapai separuh dari mereka sudah mengetahuinya, dan yang paling rendah pengetahuannya adalah dari kelompok WTS. Sedangkan sikap mereka untuk berhubungan dengan orang asing paling rendah pada WTS dan tertinggi pada homoseks. Pengetahuan WTS tentang kegunaan kondom masih sangat rendah. Rata-rata WTS melakukan pekerjaannya selama 2 tahun, di samping itu mobilitas dan frekuensi hubungan seks mereka yang tinggi dan besamya ko faktor penyakit kelamin yang dideritanya, memudahkan mereka menyebarkan PMS (penyakit menular seksual)/AIDS ke orang lain seperti di Afrika. Berbeda dengan WTS, kelompok homoseks dan waria masih dapat aktif sampai umur lebih tua (35 tahun); walaupun frekuensi dan mobilitas rendah, tetapi mengingat perilaku seksual mereka sangat beresiko tinggi, apalagi bila mereka ini termasuk pada penyalahguna obat suntikan seperti gambaran di Amerika. Survai perilaku seks pada remaja menunjukkan adanya informasi seks yang salah dan penyalahgunaan seks sebelum pernikahan yang cenderung meningkat. Penyalahgunaan seks di

kalangan remaja di Indonesia berkisar antara 2% di Jakarta sampai ke 23% di Bali, dibandingkan dengan Liberia (46% 66.2%), Nigeria (38% 57.3%), USA (46% 69%), Jepang (7% 15%) dan Meksiko (8% 42%). Dampak dari premarital intercourse ini dapat dilihat dari bertambah banyaknya kunjungan ke klinik PMS dari golongan umur 911 tahun; angka abortus yang disebabkan karena indikasi medis hanya 5% saja. sisanya bukan karena alasan medis. Kecenderungan ini berhubungan bermakna dengan faktor besarnya jumlah keluarga, pendapatan keluarga, pendidikan dan tidak berhubungan dengan faktor agama. Situasi AIDS di Indonesia, berdasarkan hasil pemantauan selama ini, masih dianggap "belum besar", karena peningkatan kasus AIDS masih kecil dan sebagian besar kasus adalah orang asing, hasil survai seroprevalensi positif AIDS dari berbagai kelompok resiko tinggi dari waktu ke waktu masih menunjukkan peningkatan yang rendah, kontrol sosial terhadap penyalahgunaan perilaku seks masih kuat. Beberapa masalah yang masih dihadapi adalah belum diketahuinya cara penularan HIV (mode of transmission),besarnya kelompok-kelompok resiko tinggi AIDS termasuk yang berpraktek secara terselubung, masih rendahnya pengetahuan tentang AIDS di kalangan tenaga kesehatan, perilaku resiko tinggi dan lain-lain; masyarakat di perkotaan cenderung menjadi individualisme sehingga kontrol sosial mulai menipis. Pencegahan AIDS dapat dilakukan dengan cara meningkatkan sistem pendidikan terpadu dari orang tua, guru, tokoh agama dan tokoh masyarakat lain akan norma yang baik dan yang tidak baik khususnya tentang perilaku seks yang bertanggung jawab yaitu monogami dan bagi mereka yang poligami selalu ingat akan safe sex. Berdasarkan pengalaman dari negara berkembang lain, tanpa tindakan pencegahan maka penderita AIDS di Indonsia tidak dapat dielakkan akan meningkat, dan mengingat tingginya harga obat dan vaksin untuk AIDS bila nantinya berhasil ditemukan, maka dapat dibayangkan berapa besar kerugian ekonomis yang akan dihadapi kelak.
KEPUSTAKAAN Weber JM, Weiss RA. HIV Infection : the cellular picture. Sci. Am. (Oct) 1988. p. 7187. 2. Mann JM, Chin J, Piot P, Quinn T. The Epidemiology of AIDS, Sci. Am. (Oct) 1988. p. 6069. 3. Sarlito WS. Research on behavioural aspect of reproductive sexual health, on overview. Lokakarya AIDS dalam rangka pengembangan program dan penelitian edukasi informasi di Indonesia, IAKMI, Jakarta, 10 11 Januari 1990. 4. Sarlito WS. Aspek perilaku dalam penularan AIDS. Lokakarya AIDS dalam rangka pengembangan program dan penelitian edukasi informasi di Indonesia, IAKMI, Jakarta, 10 11 Januari 1990. 5. Suriadi G. Epidemiologi AIDS' dan upaya penanggulangan AIDS di Indonesia, Workshop on Viral Diagnosis. Puslit Penyakit Medlar. Februari 1990. 6. Jim Supangkat, Agung Firmansyah. Seks, AIDS, dan Kita, Tempo 1 Juli 1989. hal 7080. 7. Essex M, Kanki PJ.The origin of the AIDS Virus,Sci.Am. (Oct) 1988. p.4451. 8. Penny R. The natural history of HIV infection, First AsiaPacific Congress of Medical Virology, Singapore, 611 Nov 1988. 9. Chermann JC, BarrieSinoussi F. LAV virus, the aetiological agent of AIDS. Diagnostic Pasteur 1988. p. 59. 10. Gadelle S, Rey F. WesternBlot application : detection of LAV/ HTLV III antibodies. Diagnostic Pasteur, 1988. p. 189. 11. Departemen Kesehatan RI. AIDS Petunjuk untuk petugas kesehatan. Ditjen PPM & PLP. Jakarta 1989. 12. WHO SEARO DOC : SEA / CD / 93. Acquired Immunodificiency Syndrome. Report of an Intercountry Consultation Meaning, New Delhi, 30 31 December 1985. 1.

12 Cermin Dunia Kedokteran No. 75, 1992

Pemeriksaan Laboratorium untuk HIV


Dr. Imran Lubis Pusat Penelitian Penyakit Menular, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan R.I., Jakarta

RINGKASAN HIV (Human Immunodeficiency Virus), virus penyebab penyakit AIDS, melumpuhkan sistem kekebalan tubuh. Sel Target, T helper (T4) diserang sehingga sel ini tidak mampu memulai rantai pembentukan antibodi seluler maupun humoral. Infeksi HIV bersifat laten, seumur hidup. RNA dari HIV membentuk proviral DNA yang mampu berintegrasi menjadi satu bagian dengan DNA sel induk. Perkembangbiakan proviral DNA mengikuti perkembangbiakan sel induk. Setelah masa inkubasi 510 tahun, dan akibat dari suatu faktor pencetus yang belurn diketahui sampai sekarang, bagian LTR genome DNA mulai aktif membentuk RNA dari HIV generasi baru. Setelah 23 bulan infeksi HIV, baru timbul IgM dan IgG anti HIV dalam darah penderita. Diagnosis klinik penderita AIDS secara dini sangat sulit. Cara yang penting untuk mengetahui penderita HIV adalah dengan melakukan pemeriksaan laboratorium serologik, secara ELISA dan Western blot. Hasil pemeriksaan perlu diintcrpretasi secara hati-hati, karena dapat memberikan hasil false positive maupun false negative.

PENDAHULUAN Penyakit AIDS (AcquiredImmungdeficiencySyndrome atau Sindrom Kekurangan Kekebalan) disebabkan oleh suatu virus bemama Human Immunodeficiency Virus (HIV). Seperti virus lainnya, virus ini hanya dapat hidup di dalam suatu sel hidup. AIDS telah menyebar hampir ke semua negara di dunia. Laporan kasus masih akan terus meningkat dengan tajam setiap tahunnya. Perilaku seksual risiko tinggi, penggunaan donor darah yang tercemar HIV, penularan dari ibu pengidap AIDS ke bayi yang dilahirkannya, sarana transpor yang cepat, turis dan faktor penunjang lain yang belum diketahui sangat membantu penyebaran AIDS. Saat ini maupun untuk 5 tahun mendatang, obat maupun vaksin pencegah AIDS masih belum dapat ditemukan. Penderita AIDS alcan diobati selama hidupnya, makin lama penyakitnya makin memberat sampai meninggal.

Bila AIDS telah menyebar di masyarakat, tidak ada cara yang efektif untuk penanggulangannya. Biaya penanggulangan AIDS akan sangat mahal. Angka kematian balita meningkat, begitu juga angka kematian orang dewasa. Status kesehatan yang selama ini telah berhasil ditingkatkan akan kembali menjadi rendah. MORFOLOGI HIV HIV (Human Immunodeficiency Virus) merupakan nama umum virus penyebab AIDS yang telah diputuskan olh WHO. Nama lain HIV adalah HTLV III atau LAV. HIV terdiri dari 2 serotipe yaitu HIV1 dan HIV2. Terbanyak ditemukan adalah HIV1, sedangkan HIV2 terutama ditemukan di Afrika. HIV 2 diketahui tidak seganas HIV1. HIV1 biasanya cukup disebut sebagai HIV saja. HIV termasuk dalam golongan Retrovirus berinti RNA

Cermin Dunia Kedokteran No. 75, 1992 13

(sebagian besar virus lain adalah DNA) dan mempunyai enzim bemama reverse transcriptase yang mampu mengubah kode genetik dari DNA ke RNA.Virus ini terdiridari inti (core) dengan lapisan luar bernama amplop (envelope) (Gambar 1).

jenis RNA yang penting untuk pembentukan virus HIV generasi baru. PERJALANAN PENYAKIT AIDS Virus AIDS (HIV) dapat menghindar bahkan mampu melumpuhkan sistem kekebalan tubuh (immune system), yaitu sistem pertahanan tubuh yang selalu timbul bila tubuh dimasuki benda asing. Target sel HIV terutama adalah limfosit T helper, yang dikenal sebagai sel pemberi komando awal untuk memulai suatu rantai reaksi kekebalan tubuh. Kalau sel T. helper ini lumpuh akibat infeksi HIV, maka sistem kekebalan tubuhpun tidak melakukan reaksi Mau dalam keadaan defisiensi. Akibatnya, penderita AIDS mudah mendapat infeksi oportunistik (yaitu suatu kondisi di mana tubuh dapat menderita suatu infeksi oleh kuman yang normalnya tidak menyebabkan penyakit, misalnya Pneumocystis carinii, jamur) atau bertambah beratnya suatu penyakit yang semula hanya ringan saja (tbc). Sehingga pada permulaan penyakit penderita AIDS sulit didiagnosis secara Minis, bahkan dapat meninggal tanpa diketahui penyakitnya. Patogenesis HIV dimulai pada saat virus masuk ke dalam suatu sel induk(Iimfosit T helper). RNA dari HIV mulai membentuk DNA dalam struktur yang belum sempurna, disebut proviral DNA, yang akan berintegrasi dengan genome sel induk secara laten (lama). Karma DNA dari HIV bergabung/integrasi dengan genome sel induknya (limfosit T helper) maka setiap kali sel induk berkembang biak, genom HIV tersebut selalu. ikut memperbanyak diri dan akan tetap dibawa oleh sel induk ke generasi berikutnya. Oleh karena itu dapat dianggap bahwa sekali mendapat infeksi virus AIDS maka orang tersebut selama hidupnya akan terus terinfeksi virus, sampai suatu saat (bagian LTR) mampu membuat kode dari messenger RNA (cetakan pembuat gen) dan mulai men jalankan proses pengembangan partikel virus AIDS generasi baru yang mampu ke luar dan sel induk dan mulai menyerang sel tubuh lainnya untuk menimbulkan gejala umum penyakit AIDS (full blown). Setelah HIV masuk ke dalam tubuh, perjalanan penyakit AIDS dimulai dengan masa induksi (window period), yaitu penderita masih tampak sehat, dan hasil pemeriksaan darah juga masihnegatif, Setelah 23 bulan,perjalanan penyakitdilanjutkan dengan masa inkubasi, yaitu penderita masih tampak sehat, setapi kalau darah penderita kebetulan diperiksa (test ELISA dan Western Blot) maka hasilnya sudah positif. Lama masa inkubasi bisa 510 tahun tergantung umur (bayi lebih cepat) dan cars penularan penyakit (tewat transfusi atau hubungan seks). Kemudian penderita masuk ke masa gejala klinik berupa ARC (AIDS Related Complex) seperti misalnya : penurunan berat badan, diare) dan akhirnya dilanjutkan dengan gejala AIDS berupa infeksi oportunistik seperti tbc, jam ur, kanker kulit, gangguan saraf dan lain-lain sampai meninggal. PEMERIKSAAN SEROLOGI HIV Berdasarkan pengamatan atas penderita AIDS secara terus menerus selama sakitnya maka dapat dibuat suatu hipotesa

Gambar : Morfologi Human Immunoddiency Virus (HIV)

Envelope HIV berfungsi sebagai alat penting untuk menempelkan virus tersebut pada sel induk (sel hidup yang diserang, biasanya sel T helper), kemudian melubangi dinding sel induk tersebut. Envelope terdiri dari banyak komponen glikoprotein dan di antaranya yang penting adalah gp 160, gp 140,gp 120. . Pemberian nama masing-masing glikoprotein tersebut sesuai dengan berat molekulnya yang diukur menurut kilo Dalton. Identifikasi laboratorik terhadap profit glikoprotein ini sangat menunjang diagnosis keberadaan envelope virus dalam tubuh manusia. Mengingat fungsi envelope ini, maka salah satu upaya pembuatan vaksin adalah dengan membentuk/menimbulkan antibodi yang mampu mengikat glikoprotein envelope sehingga HIV tidak mampu lagi menempelkan dirinya pada sel induk, dan infeksi tidak terjadi. Bagian inti (core) HIV berfungsi penting untuk replikasi virus di dalam sel induk, terdiri dari beberapa komponen protein dan yang paling penting adalah p24, p16, p15 dan enzim reverse transcriptase. Pada pemeriksaan Western blot, penemuan band p24 positif merupakan suatu konfirmasi bahwa HIV masih aktif. Bila p24 tidak ada atau tidak begitu jelas maka hasil Western blot digolongkan indeterminate. Sedangkan enzim reverse transcriptase yang ditemukan dalam pemeriksaan laboratorium menunjukkan bahwaHIV sedang dalam fase melakukan replikasi (perkembangan virus). Obat AIDS golongan AZT dapat melumpuhkan enzim reverse transcriptase ini sehingga perkembangan virus berhenti tetapi tidak mematikan. Kalau obat dihentikan maka HIV akan mulai'berkembang lagi. Di dalam core terdapat sepasang gen

14 Cermin Dunia Kedokteran No. 75, 1992

mengenai lama dan relatif konsentrasi antigen (HIV) dan antibodi dalam darah penderita. Gambaran parameter serologi infeksi HIV1 tampak pada Grafik 1, dan dapat dipakai sebagai patokan dalam menginterpretasi hasil pemeriksaan serologi HIV.
Grafik 1. Parameter Serologi Infeksi 11IV1 Konsentrasi Relatif

Sumber : Abbott Diagnostic Div.

Pada bulan pertama setelah terjadi infeksi, dalam darah penderita masih ditemukan virus HIV (viremia pertama). Pemeriksaan untuk isolasi HIV pada periode ini sangat jarang berhasil, karena sulit mengetahui kapan infeksi terjadi, lagi pula viremia hanya berlangsung sebentar, sekitar 2 bulan. Pada akhir bulan ke 2 tubuh mulai membentuk antibodi terhadap envelope dan disusul dengan pembentukan antibodi terhadap core (inti). Pada saat itu pemeriksaan antibodi HIV mulai menjadi positif untuk jangka waktu lama, kecuali pada antibodi terhadap core yang dapat menurun setelah beberapa tahun kemudian, tergantung dari frekuensi infeksi ulang. Ini berarti bahwa selama paling sedikit 2 bulan penderita tampak sehat dan dalam darahnya antibodi HIV tidak terdeteksi oleh pemeriksaan serologi; periode ini disebut window period. Setelah 510 tahun HIV mulai ditemukan dalam darah untuk kedua kalinya (viremia kedua), di samping itu juga ditemukan antibodi terhadap envelope. Tampak bahwa antibodi terhadap envelope selalu dapat ditemukan dalam darah dibanding dengan antibodi terhadap core. Pemeriksaan antibodi HIV paling banyak menggunakan metoda ELISA/EIA (enzyme linked immunoadsorbent assay). ELISA pada mulanya digunakan untuk skrening darah donor dan pemeriksan darah kelompok risiko tinggi/tersangka AIDS. Pemeriksaan ELISA harus menunjukkan hasil positif 2 kali (reaktif) dari 3 test yang dilakukan, kemudian dilanjutkan dengan pemeriksaan konfirmasi yang biasanya dengan memakai metoda Western Blot. Test'konfirmasi lain yang jarang dipakai lagi adalah RIPA (Radioimmunoprecipitation Assay), IFA (Immunofluorescence Antibody Technique).Berbagai macam test konfirmasi tersebut tidak lebih sensitif dari ELISA, sulit dikerjakan, mahal, lama dan masih dapat memberi hasil tidak benar, false positive, false negative, indeterminate. Penggabungan test ELISA yang sangat sensitif dan Western Blot yang sangat spesifik mutlak dilakukan untuk menentukan apakah seseorang positif AIDS. Pemeriksaan ELISA/EIA ELISA dari berbagai macam kit yang ada di pasaran mem-

punyai cara kerja hampir sama. Pada dasarnya, diambil virus HIV yang ditumbuhkan pada biakan sel, kemudian dirusak dan dilekatkan pada biji-biji polistiren atau sumur microplate. Serum atau plasma yang akan diperiksa, diinkubasikan dengan antigen tersebut selama 30 menit sampai 2 jam kemudian dicuci. Ella terdapat IgG (immunoglobulin G) yang menempel pada bijibiji atau sumur microplate tadi maka akan terjadi reaksi pengikatan antigen dan antibodi. Antibodi anti-IgG tersebut terlebih dulu sudah diberi label dengan enzim (alkali fosfatase, horseradish peroxidase) sehingga setelah kelebihan enzim dicuci habis maka enzim yang tinggal akan bereaksi sesuai dengankadar IgG yang ada, kemudian akan berwarna bila ditambah dengan suatu substrat. Sekarang ada test EIA yang menggunakan ikatan dari heavy dan light chain dari Human Immunoglobulin sehingga reaksi dengan antibodi dapat lebih spesifik, yaitu mampu mendeteksi IgM maupun IgG. Pada setiap tes selalu diikutkan kontrol positif dan negatif untuk dipakai sebagai pedoman, sehingga kadardi atas cut-off value atau di atasabsorbance level spesimen akan dinyatakan positif. Biasanya lama pemeriksaan adalah 4 jam. Pemeriksaan ELISA hanya menunjukkan suatu infeksi HIV di masa lampau. Tes ELISA mulai menunjukkan hasil positif pada bulan ke 23 masa sakit. Selama fase permulaan penyakit (fase akut) dalam darah penderita dapat ditemukan virus HIV/partikel HIV dan penurunan jumlah sel T4 (Gratik). Setelah beberapa hari terkena infeksi AIDS, IgM dapat dideteksi, kemudian setelah 3 bulan IgG mulai ditemukan. Pada fase berikutnya yaitu pada waktu gejala major AIDS menghilang (karena sebagian besar HIV telah masuk ke dalam sel tubuh) HIV sudah tidak dapat ditemukan lagi dari peredaran darah dan jumlah $el T4 akan kembali ke normal. Hasil pemeriksan ELISA harus diinterpretasi dengan hatihati, karena tergantung dari fase penyakit. Pada umumnya, hasil akan positifpada lase timbul gejalapertama AIDS (AIDS phase) dan sebagian kecil akan negatif pada fase dini AIDS (Pre AIDS phase). Beberapa hal tentang kebaikan test ELISA adalah nilai sensitivitas yang tinggi : 98,1% 100%, Western Blot memberi nilai spesifik 99,6% 100%. Walaupun begitu, predictive value hasil test positif tergantung dari prevalensi HIV di masyarakat. Pada kelompokpenderita AIDS,predictive positive value adalah 100% sedangkan pada donor darah dapat antara 5% 100%. Predictive value dari hasil negatif ELISA pada masyarakat sekitar 99,99% sampai 76,9% pada kelompok risiko tinggi. Di samping keunggulan, beberapa kendala path test ELISA yang perlu diperhatikan adalah : 1) Pemeriksaan ELISA hanya mendeteksi antibodi, bukan antigen (akhir-akhir ini sudah ditemukan test ELISA untuk antigen). Oleh karena itu test uji baru akan positif bila penderita telah mengalami serokonversi yang lamanya 23 bulan sejak terinfeksi HIV, bahkan ada yang 5 bulan atau lebih (pada keadaan immunocompromised). Kasus dengan infeksi HIV laten dapat temp negatif selama 34 bulan. 2) Pemeriksaan ELISA hanya terhadap antigen jenis IgG. Pen-

Cermin Dunia Kedokteran No. 75, 1992 15

derita AIDS pada taraf permulaan hanya mengandung IgM, sehingga tidak akan terdeteksi. Perubahan dari IgM ke IgG membutuhkan waktu sampai 41 minggu. 3) Pada umumnya pemeriksaan ELISA ditujukan untuk HIV 1. Bila test ini digunakan pada penderita HIV-2, nilai positifnya hanya 24%. Tetapi HIV2 paling banyak ditemukan hanya di Afrika. 4) Masalah false positive pada test ELISA. Hasil ini sering ditemukan pada keadaan positif lemah, jarang ditemukan pada positif kuat. Hal ini disebabkan karena morfologi HIV hasil biakan jaringan yang digunakan dalam test kemurniannya berbeda dengan HIV di alam. Oleh karena itu test ELISA harus dikorfirmasi dengan test lain. Tes ELISA mempunyai sensitifitas dan spesifisitas cukup tinggi walaupun hasil negatif tesini tidakdapatmenjamin bahwa seseorang bebas 100%dari HIV1terutama pada kelompok resiko tinggi. Akhir-akhir ini test ELISA telah menggunakan recombinant antigen yang sangat spesifik terhadap envelope dan core. Antibodi terhadap envelope ditemukan pada setiap penderita HIV stadium apa saja (Graf k). Sedangkan antibodi terhadap p24 (proten dari core) bila positif berarti penderita sedang mengalami kemunduran/deteriorasi. Pemeriksaan Western Blot. Pemeriksaan Western Blot cukup sulit, mahal, interpretasinya membutuhkan pengalaman dan lama pemeriksaan sekitar 24 jam. Cara kerja test Western Blot yaitu dengan meletakkan HIV murni pada polyacrylamide gel yang diberi anus elektroforesis sehingga terurai menurut berat protein yang berbeda-beda, kemudian dipindahkan ke nitrocellulose. Nitrocellulose ini diinkubasikan dengan serum penderita. Antibodi HIV dideteksi dengan memberikan antlbodi anti-human yang sudah dikonjugasi dengan enzim yang menghasilkan wama bila diberi suatu substrat. Test ini dilakukan bersama dengan suatu bahan dengan profil berat molekul standar, kontrol positif dan negatif. Gambaran band dari bermacam-macam protein envelope dan core dapat mengidentifikasi macam antigen HIV. Antibodi terhadap protein core HIV (gag) misalnya p24 dan protein precursor (p25) timbul pada stadium awal kemudian menurun pada saat penderita mengalami deteriorasi. Antibodi terhadap envelope (env) penghasil gen (gp160) dan precursor-nya (gp120) dan protein transmembran (gp4l) selalu ditemukan pada penderita AIDS pada stadium apa saja. Beberapa protein lainnya yang sering ditemukan adalah: p3 I, p51, p66, p14, p27, lebih jarang ditemukan p23, p15, p9, p7. Secara singkat dapat dikatakan bahwa bila serum mengandung antibodi HIV yang lengkap maka Western blot akan memberi gambaran profil berbagai macam band protein dari HIV antigen cetakannya. Definisi hasil pemeriksaan Western Blot menurut profit dari band protein dapat bermacam-macam, pada umumnya adalah : 1) Positif : a. Envelope : gp4l, gpl2O, gp160

b. Salah satu dari band : p 15, p 17, p24, p31, gp4l, p51, p55, p66. 2) Negatif : Bila tidak ditemukan band protein. 3) Indeterminate Bila ditemukan band protein yang tidak sesuai dengan profil positif. Hasil indeterminate .diberikan setelah ditest secara duplo dan penderita diberitahu untuk diulang setelah 23 bulan. Hal ini mungkin karena infeksi masih terlalu dini sehingga yang ditemukan hanya sebagian dari core antigen (p17, p24, p55). Akhir-akhir ini hasil positif diberikan bila ditemukan paling tidak p24, p31 dan salah satu dari gp41 atau gpl60. Dengan makin ketatnya !criteria Western Blot maka spesifisitas menjadi tinggi, dan sensitifitas turun dari 100% dapat menjadi hanya 56% karena hanya 60% penderita AIDS mempunyai p24, dan 83% mempunyai p31. Sebaliknya cara ini dapat menurunkan angka false positive pada kelompok risiko tinggi, yang biasanya ditemukan sebesar 1 di antara 200.000 test padahal test tersebut sudah didahului dengan test ELISA. Besar false negative Western Blot belum diketahui secara pasti, tapi tentu tidak not. False negative dapat terjadi karenakadar antibodi HIV rendah, atau hanya timbul band protein p24 dan p34 saja (yaitu pada kasus dengan infeksi HIV2). False negative biasanya rendah pada kelompok masyarakat tetapi dapat tinggi pada kelompok risiko tinggi. Cara mengatasi kendala tadi adalah dengan menggunakan recombinant HIV yang lebih murni. KESIMPULAN Penyakit AIDS sulit dikenal dari gejala klinis saja. Masa inkubasi penyakit lama, dan selama itu penderita tampak sehat. Penyakit baru mulai dikenal setelah sampai pada stadium lanjut dan sudah sempat menyebar ke banyak orang lain. Pemeriksaan serologi HIV adalah salah satu cara untuk mendeteksi penyakit HIV secara dini. Dua macam pemeriksaan, ELISA dan Western Blot adalah pemerksaan serologi HIV yang dapat dikerjakan di Indonsia dan telah memenuhi kriteria WHO untuk menunjang upaya konfirmasi kasus, menentukan keadaan pengidap, skrining darah donor dan survei pada kelompok risiko tinggi AIDS.
KEPUSTAKAAN 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Weber IN, Weiss RA. HIV Infection : the cellular pricture, Scient Am (Oct) 1988; 61-87. Heseltine WA, Wong-Staal F. The molecular biology of the AIDS virus, Scient Am (Oct) 1988; 34-42. Essex M, Kanki PI. The origin of the AIDS virus, Scient Am (Oct) 1988; 44-51. Penny R. The natural history of HIV infection. First Asia-Pacific Congress of Medical Virology. Singapore, 6-11 Nov 1988. Allain JP. Laboratory diagnosis of HIV infection. First Asia-Pacific Congress of Medical Virology. Singapore, 6-11 Nov 1988. Chermann IC, Barrie-Sinoussi F. LAV virus, the aetiological agent of AIDS, Diagnostic Pasteur, 1988, p. 5-9. Gadelle S, Rey F. Westem-Blot Application : detection of LAV/HTLVIII antibodies, Diagnostic Pasteur, 1988, p. 18-9. Jackson JB, Balfour HH. Practical diagnostic testing for Human Immunodeficiency Virus. Clin. Microbiol. Rev. (Jan) 1988; 124-38.

8.

16 Cermin Dunia Kedokteran No. 75, 1992

Polymerase Chain Reaction (PCR) untuk Diagnosis Human Immunodeficiency Virus (HIV)
Muljati Prijanto Pusat Penelitian Penyakit Menular, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan RI., Jakarta

PENDAHULUAN Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah retrovirus yang menyebabkan penyakit AIDS (Acquired Immuno Deficiency Syndrome). Saat ini dikenal adanya virus HIV-1 dan HIV-2 yang berbeda baik genetik maupun antigenik. Penyakit AIDS pertama dilaporkan tahun 1981 di Amerika Serikat dan kini meluas menjadipandemi dan masalah internasional. Bi1a HIV masuk ke dalam tubuh, ia akan menyerang limfosit T4 yang berperan penting dalam mengatur sistem kekebalan; kini diketahui bahwa virus tersebut juga merusak sel-sel tubuh lainnya. Adanya enzim reverse transcriptase yang dapat mengubah RNA menjadi. DNA menyebabkan virus dapat berintegrasi dengan sel hospes; selanjutnya sel berkembang biak dengan mengandung bahan genetik virus. Infeksi oleh HIV menjadi irreversibel dan berlangsung seumur hidup(1). Diagnosis laboratorium penyakit virus dapat dilakukan dengan 2 metode yaitu: 1. langsung: secara isolasi virus dari sampel dan 2. tidak langsung, dengan melihat respon zat anti spesifik. Metoda langsung yang umum digunakan antara lain elektron mikroskopis dan deteksi antigen virus. Pada tahun-tahun terakhir ini ada perhatian besar pada metode langsung berdasarkan ditemukannya asam nukleat (AN) spesifik dari virus dengan teknik hibridisasi. Teknik ini dalam laboratorium klinik dibuktikan sangat berguna untuk infeksi dengan non cultivated (2). Dasar teknik hibridisasi adalah ikatan hidrogen dari AN probe yang di label dengan target genome virus dan pendeteksian dari ikatan ini dengan menggunakan kolorimetri atau zat radioaktif. Untuk deteksi, diperlukan sedikitnya 1041O salinan target genome. Jumlah AN virus

tersebut dapat ditemukan dalam banyak infeksi virus, namun ada juga yang jumlahnya terlalu kecil untuk uji hibridisasi. Pada infeksi tahap awal yang mungkin ada hanya sejumlah kecil partikel dan adanya respon imun. Pada infeksi lanjut, mungkin ada integrasi dari DNA virus ke dalam genome hospes, kadang-kadang dengan genome virus yang sangat sedikit dan tanpa adanya petanda virus. Infeksi virus seperti HIV dan HBV mungkin juga menekan sistem imun sehingga sedikit atau tidak ada zat anti spesifik yang dihasilkan terhadap protein virus. Dalam keadaan seperti ini diperlukan teknik untuk dapat mendeteksi virus yang jumlahnya sangatkecil. Hal ini mungkin dapat dicapai dengan cara isolasi virus dalam kultur jaringan dan juga dengan mengamplifikasi DNA menggunakan teknik PCR. Isolasi virus adalah cara diagnosis yang tepat, tapi dalam beberapa hal PCR analog dengan pertumbuhan virus dalam kultur jaringan. Kelebihan yang ada pada PCR adalah bahwa hal-hal seperti inokulum yang cukup dan persyaratan lain seperti halnya dalam sistem kultur tidak diperlukan lagi. Inokulum dari PCR adalah naked ' AN dan tidak lebih hanya spesifik "primer" dari target sekuendan tidak semua genome harus ada. LATAR BELAKANG Uji serologis yang digunakan sekarang memberikan hasil cepat dan sensitif untuk menapis darah dan produk darah terhadap adanya zat anti HIV tipe I (HIV-1). Sampel yang reaktif kemudian diperiksa lebih lanjut dengan cara Western Blot, immunofiuorescentassay(IFA), radioimmunoprecipitationassay (RIPA). Walaupun pemeriksaan ini sensitif dan spesifik untuk HIV,

Cermin Dunia Kedokteran No. 75, 1992 17

deteksi virus secara langsung dapat dipertimbangkan mengingat beberapa alasan : 1. Infeksi virus HIV yang laten; uji langsung dapat membantu identifikasi individu yang terinfeksi virus tanpa adanya perubahan serologis. 2. Mendeteksi HIV pada bayi; zat anti maternal dapat bertahan sampai 15 bulan sehingga sulit untuk dibedakan dengan zat anti bayi. 3. Mendeteksi virus secara langsung dapat membantu inenentukan status individu dengan hasil Western Blot negatif ke dalam kelompok risiko tinggi atau rendah. 4. Berguna untuk membantu pembelahan virus secara aktif maupun laten pada pasien selama pengobatan. Mengingat sirkulasi virus bebas dalam tingkat rendah, keberhasilan deteksi bervariasi antara 10% 75%, namun ada beberapa laboratorium melaporkan virus recovery dari penderita yang mendekati 100%(2). Pada mulanya PCR digunakan untuk mendiagnosis penyakit genetik keturunan seperti sickle cell anemia (Saiki dkk, 1985). Selanjutnya PCR dapat digunakan untuk mendiagnosis virus terutama HIV. Pengembangan terhadap virus lain telah dilakukan pula. PCR dapat digunakan untuk mendeteksi sekuen DNA HIV dari established cell lines dalam jaringan set, semen, sel mononuklear dan supernatan dari penderita AIDS atau penderita ARC. (Kwok dkk, 1987). Studi lebih jauh menunjukkan adanya kemungkinan untuk mendeteksi HIV dalam DNA langsung yang diisolir dari set darah tepi set mononuklear (PBMCs) individu seropositif, tetapi tidak dalam DNA dari individu seronegatif(Ou dkk, 1988). Oleh karena itu pemeriksaan ini digunakan untuk mendiagnosis infeksi HIV pada anak-anak (DeRossi dkk, 1988,Laure dkk, 1988) dan selanjutnya digunakan untuk mengindentifikasi HIV dalam individu seronegatif dalam kelompok risiko tinggi (Loche & Mach, 1988) dan DNA HIV pada penderita seropositif haemophiliacs (Taylor, 1988). Pasangan "primer" yang biasa digunakan untuk HIV-1 dan HIV-2 atau spesifik untuk masing-masing virus telah digunakan untuk membedakan antara 2 virus yang berhubungan (Raufield dkk, 1988). Spesimen patologis pada umumnya difiksir dengan formalin, parafin dan disimpan. Lai Goldman dkk (1988) menunjukkan bahwa DNA yang diekstraksi dari jaringan tersebut merupakan substrat yang cocok untuk PCR HIV. Beberapa kelompok telah memodifikasi protokol PCR dengan memasukkan reverse transcriptase; dengan demikian RNA HIV dapat dideteksi seperti halnya DNA. (Byrne dkk, 1988, Hart dkk 1988, Murakawa dkk 1988). Hal ini memungkinkan deteksi virus bebas dalam darah dan membedakan antara replikasi aktif dan infeksi laten tanpa RNA transcriptase dengan memonitor RNA ekstraseluler, RNA intraseluler dan DNA intraseluler(1). INDIVIDU YANG PERLU DIPERIKSA Penggunaan PCR pada sampel yang diketahui mengandung zaf anti HIV, antigen atau kultur positif, bukan merupakan pemeriksaan penapis yang tepat. Namun secara umum pe-

meriksaan ini paling baik digunakan untuk tersangka penderita, yang secara serologi tidak jelas menunjukkan adanya infeksi, termasuk anak-anak dari ibu seropositif (De Rossi dkk, 1988; Laure dkk 1988), pasangan yang salah satunya seropositif; pemakai obat secara intravena dan untuk individu yang meskipun tidak secara pasti seropositif tetapi mungkin terkena atau tertular infeksi dari retrovirus yang lain. Tersangka yang diperiksa dengan PCR menunjukkan hasil positif terhadap HIV 1 dan 2, bukan berarti bahwa ada reaksi silang virus, tetapi karena memang tersangka terinfeksi kedua jenis virus tersebut. PCR direkayasa tidak hanya membedakan antara virus RNA dan DNA, tetapi juga dapat memonitor jenis virus. Secara nyata dapat ditunjukkan dengan peningkatan antigen atau zat anti pada pasien yang sedang dalam pengobatan. Selain itu dapat untuk memeriksa darah dari sejumlah besar donor untuk memastikan apakah mereka bebas virus dan untuk memeriksa kandidat vaksin. PCR PCR adalah cara in vitro untuk memperbanyak target sekuen spesifik AN untuk analisis cepat atau karakterisasi, walaupun material yang digunakan pada awal pemeriksaan sangat sedikit. Pada dasarnya PCR meliputi tiga perlakuan yaitu: denaturisasi, hibridisasi dari "primer" sekuen DNA pada bagian tertentu yang diinginkan, diikuti dengan perbanyakan bagian tersebut oleh Tag polymerase; dikerjakan dengan mengadakan campuran reaksi dalam tabung mikro yang kemudian diletakkan pada blok pemanas yang telah diprogram pada seri temperatur yang diinginkan. Teknik ini ditemukan oleh Kary Mullis dari Cetus Corporation (Saiki dkk 1985, Mullis dan Faloona 1987, Saiki dkk 1988) dan sekarang digunakan secara luas dalam penelitian biologi (Orkin 1987, Marx 1988, Schochetman dkk 1988) (1). Pada dasarnya, target DNA diekstraksi dad spesimen dan secaraspesifikmembelah dalam tabungsampai diperoleh jumlah cukup yang akan digunakan untuk deteksi dengan cara hibridisasi. Replikasi yang mungkin dicapai adalah dalam kelipatan jutaan atau lebih dengan menggunalcan oligonukleotid primer yang berkomplemen terhadap masing-masing rantai dari target sekuen ikatan rangkap. Jarak antara letak ikatan dari 2 primer menetapkan ukuran produk yang diamplifikasi. Target mula-mula didenaturisasi pada suhu 9095C dan didinginkan antara 3750C untuk membiarkan annealing spesifik antara primer dan target DNA. Ini membuat cetakan untuk enzym Taq polimerase yang pada suhu 6772C mengkopi masing-masingrantai. Setiap produkakan terdiri dari sekuen yang saling melengkapi 1 dari 2 primer dan akan menguatkan dalam lingkaran sintesis berikut. Hubungan antara tingkat amplifikasi (Y) dengan efisiensi reaksi (X) dan jumlah cycle adalah: Y = ( 1 + 1 )n Sebagai contoh: untuk 20 cycles dengan 100% efisiensi adalah 1.048.576 kali amplifikasi, dengan 80% efisiensi turun menjadi 127.482, berarti ada 88% produk yang hilang(1). Salah satu hambatan dalam diagnosis PCR adalah adanya

18 Cermin Dunia Kedokteran No. 75, 1992

false negative. Hart dkk (1988) menemukan 1 dari 21 spesimen seropositif adalah negatif untuk HIV melalui analisis PCR dari DNA dan RNA. Ou dkk (1988) menemukan 6 dari 11 spesimen seropositif adalah negatif untuk HIV dengan PCR. Penggunaan lebih dari 1 pasang primer merupakan cara untuk menghindari hasil false negative yang dianjurkan oleh peneliti berikutnya, juga Laure dkk (1988). Beberapa hasil false negative dapat dihindarkan dengan memilih primer dari bagian yang berlawanan dari genome. Primer SK 38/39 dan SK 68/69 merupakan pilihan yang baik digunakan untuk HIV (Ou dkk, 1988). Pada penggunaan pasangan primer ganda, satu dari masingmasing secara terpisah diperiksa dengan masing-masing pasangan, atau 2 atau lebih pasangan primer digunakan pada pemeriksaan yang sama; cara kedua tidak selalu mudah dilakukan selama pasangan primer mungkin memiliki perbedaan dalam annealing, sifat ikatan polimerase yang berbeda dan mungkin bekerja sebagai penghambat yang bersaing. Dalam hal ini penting untuk menenukan secara empirik primer mana yang dapat dikombinasikan dalam reaksi yang sama. Pasangan primer SK-3839 dan atau SK-145101 telah berhasil digunakan untuk mendeteksi HIV pada lebih dari 96% individu dengan zat anti positif (Ou dkk, 1988, Jackson dkk, Liston dkk). PCR dapat mendeteksi molekul tunggal dari target DNA dan juga mengamplifikasi target yang ada sebagai pasangan yang tidak komplet; sebaliknya kontaminasi dan campuran reaksi dengan sejumlah target DNA yang tidak terdeteksi akan memberikan hasil false positive (Lo dkk, 1988). Ketaatan mengikuti prosedur dapat mengurangi risiko kontaminasi. Cara yang cepat dan sederhanadalam menyiapkan sampel dapatpula mengurangi false positive (Kwok, Higurachi,1989) (3). PENGGUNAAN PCR Identifikasi HIV dengan PCR telah memberikan sumbangan dalam diagnosis dan penelitian AIDS sebagai berikut(4): 1) Prosedur telah berhasil digunakan untuk memeriksa bayi lahir dari ibu seropositif selama zat anti maternal masih dimiliki bayi sampai umur 15 bulan, sedangkan diagnosis infeksi HIV secara serologis terhambat. Pada beberapa studi selama ini pe-

nemuan HIV dengan PCR pada bayi memiliki korelasi yang baik dengan perkembangan penyakit. 2) Prosedur telah digunakan untuk menetapkan status infeksi path individu seronegatif. Studi pada golongan risiko rendah, hasil seronegatif menunjukkan bahwa individu tidak terinfeksi. 3) Prosedur telah digunakan untuk mendeteksi sekuen HIV pada individu seropositif dengan gejala, yang hasilnya negatif dengan uji deteksi langsung lainnya, termasuk dengan cara mengkultur virus. 4) Telah digunakan untuk mengindentifikasi infeksi pada sejumlah kecil individu berisiko tinggi sebelum serokonversi. 5) Bila PCR digunakan untuk menapis pasangan seksual seronegatif infeksi HIV-1, hemophiliacs, maka talc satupun (0122) ditemukan mempunyai sekuen HIV, menunjukkan bahwa frekuensi infeksi HIV-1 pada pasangan seksual dengan zat anti negatif mungkin sangat rendah. 6) PCR telah digunakan untuk konfirmasi kasus pertama dan HIV-2 di Afrika Barat yang menjalani pengobatan di Amerika Serikat (CDC 1988). Sebagai tambahan, kasus yang tercatat di Afrika Barat telah terinfeksi oleh HIV-1 dan 2 telah dikonfirmasi dengan PCR (Reyfield dkk,1988). 7) PCR telah digunakan untuk mengevaluasi heterogenisitas virus dalam HIV yang diisolasi (Goodenow dkk 1989).

KEPUSTAKAAN 1. Clewley JP. The polymerise chain reaction, a review of the practical limitatons for human immunodeficiency virus diagnosis,' VirolMethods 1989; 25: 179-88. 2. Jackson KM. The Polymerase Chain Reaction. Kumpulan makalah simposium DNA probing dan tehnik penerapannya, 1990: 13-14. 3. Gibson KM, McLean KA, Clewley JP. A simple and rapid method for detecting human immunodeficiency viru s by PCR. J Virol Methods 1991;00: 00-00. 4. Kellog DE, S Kwok. PCR protocols. A guide to methods and applications. Part IV Diagnostic and forensics. Detection of human immunodificiency virus. Academic Press, 1990; 337-47. 5. Surjadi G. AIDS dan penanggulangannya. Diskusi ilmiah Badan Litbang Kesehatan, 1988. Jakarta; 1-17.

KALENDER PERISTIWA October 11 15, 1992 Kongres Nasional Ikatan Farmakologi Indonesia ke VIII Hotel Pangeran Beach, Padang, INDONESIA Secr..: Laboratorium Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Andalas, Jl. Perintis Kemerdekaan Padang 25128, INDONESIA

Cermin Dunia Kedokteran No. 75, 1992 19

Artritis yang Berhubungan dengan Penyakit Defisiensi Imun


Harry Isbagio Subbagian Reumatologi Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/ R.S. Dr. Ciptomangunkusumo, Jakarta

PENDAHULUAN Sendi merupakan organ tubuh yang unik, karena dapat terserang atau berhubungan dengan berbagai penyakit. Hingga saat ini telah dikenal lebih dari 100 penyakit sendi. Sebagian di antaranya menyerang langsung komponen sendi, seperti pada artritis reumatoid yang menyerang sinovia, penyakit sendi degeneratif (osteoartritis) yang merusak rawan sendi, menumpuknya kristal asam urat pada penyakit gout; pada sebagian lain didapatkan sinovitis yang tidak khas dan berbagai keadaan lain yang belum jelas gambaran patologiknya. Penyebab penyakit sendi beraneka ragam; yang telah diketahui antara lain : proses imunologik yang melibatkan jaringan ikat (Artritis rematoid, SLE, Skelorosis sistemik dan lainlain), yang berhubungan dengan faktor imunogenetik (Spondilitis ankilosa; penyakit Reiter, artritis psoriatik, artritis pada penyakit intestinal kronik), proses degeneratif (osteoartritis), aid bat infeksi langsung (bakteri, virus, jamur, parasit), akibat infeksi tidak langsung (artritis reaktif misalnya : demam rematik), akibat kristal (gout, pseudogout), akibat gangguan endokrin, yang berhubungan dengan penyakit defisiensi imun, akibat neoplasma, gangguan neuropatik, berhubungan dengan penyakit tulang (osteoporosis, osteomalasi), trauma (tendinitis, bursitis) dan lain-lain(1). Dad sejumlah penyakit defisiensi imun yang dikenal, maka artritis ditemukan path 4 jenis defisiensi imun, yaitu pada Xlinked Agammaglobulinemia (XLA, Bruton-type Agammaglobulinemia), Selective IgA deficiency, Common Variable Immunodeficiency (CVID, Adult-Acquired Agammaglobulinemia) dan Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) (2). X-LINKED AGAMMAGLOBULINEMIA Ialah keadaan defisiensi imun yang terbatas hanya path defek sistem limfosit B yang karakteristik dengan infeksi ber-

ulang bakteri patogen pada usia sangat dini. Pada prinsipnya ditemukan kadar semua imunoglobulin utama sangat rendah, kegagalan membentuk antibodi spesifik dan penyakit ini diturunkan secara X-linked resesif(3). Gambaran kliniknya sebagai berikut: Pada awal kehidupan maka neonatus akan tampak sehat selama beberapa bulan oleh karena masih adanya antibodi maternal yang didapat secara tranplasental. Setelah itu anak aka') mengalami infeksi bakteri patogen berulang seperti pneumokokus, Haemophilus influenzae, streptokokus dan meningokokus. Terjadi proses infeksi dalam berbagai tingkat seperti septikemia, meningitis, infeksi saluran napas (otitis media, bronkitis dan pneumoni). Akibat infeksi saluran napas berulang akan terjadi bronkitis kronik dan bronkiektasis. Keadaan ini akan menjadi penyebab utama kematian akibat gagal napas, yang biasanya terjadi pada dekade 3 atau 4. Berbeda dengan defisiensi imunitas humoral lainnya maka pada penyakit ini jarang dijumpai gangguan gastrointestinal. Komplikasi lainnyaberupaensefalomielitis yang berakibat fatal, tetapi dapat diobati dengan pemberian gammaglobulin dosis tinggi secara intravena. Artritis dijumpai pada 20 sampai 40 persen kasus. Gambarannya tidak spesifik, menyerang satu sendi atau lebih. SELECTIVE IgA DEFICIENCY Ialah keadaan di mana kadar IgA serum kurang dari 0.05 mg/ ml disertai dengan peningkatan kadar IgG dan IgM. Pada Lupus Eritematosus Sistemik keadaan seperti ini ditemukan 10 kali lebih banyak dari populasi normal(3). Gambaran kliniknya berupa infeksi berulang pada saluran napas dan saluran cerna. Tidak seperti pada pasien dengan panhipogamaglobulinemia, gangguan saluran napas pada selective IgA deficiency tidak sampai menimbulkan destruksi bronkopulmoner. Duapertigapenderita mengalami gangguan gastro-

20 Cermin Dunia Kedokteran No. 75, 1992

intestinal, berupa diare kronik dan sindrom malabsorbsi disertai penurunan berat badan yang progresif. Artritis sering ditemukan pada penderita ini dan sebaliknya pada artritis juvenile ditemukan insiden selective IgA deficiency 40 kali lebih banyak dari populasi normal. Didapat pula insidensi yang tinggi dan antibodi antinuklear (ANA) dan antibodi terhadap IgA(2). COMMON VARIABLE IMMUNODEFICIENCY (CVID) CVID merupakan diagnostik umum untuk sekelompok gangguan yang heterogen berupa kegagalan respons antibodi, hipogamaglobulinemia, meningkatnya insidens infeksi dan berbagai tingkat defisiensi imun seluler(3). Gambaran kliniknya berupa infeksi berulang dari kuman yang sangat patogen seperti pneumokokus dan Haemophilus influenzae. Beberapa pasien juga mengalami infeksi jamur, mikobakterium dan jarang sekali infeksi dari Pneumocytis carinii. Pasien biasanya menderita otitis media kronik, sinusitis, dan penyakit saluran napas kronik yaitu bronkitis dan bronkiektasis yang dapat menyebabkan kematian karena gagal napas. Pasien menderita gangguan gastrointestinal berupa diare kronik dan sindrom malabsorbsi, anemia hemolitik autoimun, neutropenia, trombositopenia. Gejala artritis sangat mirip dengan artritis reumatoid. Pada tahun 1960 Good dan Rotstein melaporkan 9 kasus artritis rematoid dari 27 penderita CVID, 5 di antaranya menunjukkan gambaran artritis rematoid klasik(4). Walaupun jarang, dapat ditemukan pula tenosinovitis,gambaran radiologik berupa penyempitan celah sendi, erosi marginal dan osteoporosis periartikuler. Gambaran histologiknya tidak menunjukkan gambaran seperti pada artritis reumatoid. Sel T menunjukkan peningkatan aktivitas supresor.Sel B danreumatoid faktor biasanya negatif. Webster dkk (1976) mencoba pengobatan dengan menggunakan imunoglobulin yang ternyata memberikan hasil yang memuaskan(5). ACQUIRED IMMUNODEFICIENCY SYNDROME (AIDS) AIDS merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi dari Human Immunodeficiency Virus-1 (HIV). Penyakit ini dengan cepat telah menyebar ke seluruh dunia. Dalam tulisan ini, pembicaraan dibatasi pada manifestasi kelainan sendi. Artritis pada AIDS makin wring dilaporkan sehingga telah menarik perhatian para reumatologist untuk menelitinya(6). Ternyata insidens manifestasi artikuler pada AIDS sangat bervariasi. Solinger dan Hess (1990) hanya menemukan 23 penderita dari 1100 pasien dengan HIV positif, sedangkan pusat penelitian lain menemukan jumlah yang lebih besar, Calabrese dkk (1990) menemukan angka sebesar 14,5% dari 117 pasien dengan HIV positif. Perbedaan ini mungkin disebabkan beberapa hal, para ahli berpendapat mungkin oleh karena perbedaan demografi, tetapi Calabrese dkk. berpendapat perbedaan itu terletak pada lamanya melakukan observasi, main lama pasien tersebut masih hidup dan dapat diikuti perjalanan penyakitnya makin besar kemungkinan menderita artritis(7,8). Yang menarik ialah gambaran artritis yang ditemukan,

umumnya para peneliti menemukan gejala berupa penyakit Reiter, artritis psoriatik, poliatritis, oligoartritis dan monoartritis. Penyakit Reiter merupakan penyakit yang ditandai dengan frias uretritis, uveitis dan artritis. Winchester dkk (1987) menemukan 13 kasus Reiter pada penderita AIDS, dimana HLAB27 positif pada 9 kasus(9). Arttis psoriatik merupakan artritis yang khas pada penderita penyakit kulit psoriasis. Pada penderita AIDS ditemukan tidak sebanyak penyakit Reiter. Arttis lainnya memberikan penampilan yang tidak spesifik, yang tidak dapat dimasukkan ke dalam salah satu diagnosis artritis yang telah dikenal. Calabrese dkk menemukan, bila pasien dengan HIV positif timbul gejala artritis maka prognosisnya menjadi lebih buruk, terlebih lagi bila menderita penyakit Reiter atau artritis psoriatik; perjalanan penyakit penderita akan menjadi progresif sehingga menjadi AIDS yang lengkap dan berakhir dengan kematian. Dalton dkk (1990) melakukan pemeriksaan histologik pada jaringan sinovia yang diambil dari sendi lutut kanan 25 penderita AIDS yang telah meninggal dan membandingkannya dengan kontrol. Sewaktu masih hidup penderita tidak mempunyai keluhan nyeri sendi. Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan perubahan abnormal pada dinding arteri kecil berupa pembengkakan endotel, proliferasi fibromuskuler intima dan fragmentasi atau/dan reduplikasi elastik lamina interna. Selain itu juga ditemukan fibrosis sinovitis sedang sampai berat dan penebalan atau hilangnya permukaan sinovia. Pemeriksaan untuk bakteri, jamur, inklusi bodi dan neoplasma memberi hasil negatif. Peneliti menyimpulkan bahwa belum adanya keluhan sendi pada pasien tersebut mungkin disebabkan penderita terlalu cepat meninggal sebelum perubahan tersebut memberikan keluhan(10). RINGKASAN Artritis dapat terjadi pada penyakit defisiensi imun, yaitu pada X-linked Agammaglobulinemia (XLA, Bruton-type Agammaglobulinemia), Selective IgA deficiency, Common Variable Immunodeficiency (CVID, Adult Acquired Agammaglobulinemia) dan Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS). Pada X-linked Agammaglobulinemia dan Selective IgA deficiency gambaran artritisnya tidak 'khas. Pada Common Variable Immunodeficiency gambaran artritisnya menyerupai artritis rematoid, gejala artritis hilang setelah pemberian suntikan imunoglobulin intravena. Pada penderita dengan HIV positif dapat ditemukan gejala artritis. Insidens artritis bervariasi dari yang paling rendah sampai 14,5%, kemungkinan tergantung dari demografi dan lama perjalanan penyakit; makin lama menderita penyakit makin besar kemungkinan terserang artritis. Jenis artritis yang ditemukan berupa penyakit Reiter, artritis psoriatik, poliartritis, oligoartritis dan monoartritis. Bila penderita dengan HIV positif menderita artritis make prognosisnya buruk karena segera akan menjadi AIDS lengkap dan berakhir dengan kematian. Pada

Cermin Dunia Kedokteran No. 75, 1992 21

penelitian histologik jaringan sinovia yang diambil dari sendi genu kanan penderita AIDS yang meninggal didapatkan telah adanya perubahan pada arteri kecil dan sinovia walaupun penderita di masa hidupnya belum ada keluhan artritis.

5.

KEPUSTAKAAN 1. 2. 3. Schumacher HR. Classification of the Rheumatic Diseases. In: Primer on the Rheumatic Diseases. Schumacher at al (eds). Ninth ed. Atlanta: Arthritis Foundation. 1988, p. 81. Schumacher HR. Arthritis associated with Immunodeficiency Disease. In: Primer on the Rheumatic Diseases. Schumacher et al (eds). Ninth ed. Atlanta: Arthritis Foundation. 1988, p. 239. Blaese MR, Lane CE. AIDS and Other Immunodeficiency Diseases. In: Textbook of Rheumatology. Kelley WN et al (eds). Third ed. Philadelphia, London, Toronto, Montreal, Sydney, Tokyo: WB Saunders Company. 1988, p. 1355. Good RA, Rotstein J. Rheumatoid arthritis in agammaglobulinemia. Bull Rheum Dis 1960; 10: 203-6.

4.

Webster ADB, Loewi G, Dourmashkin RD et al. Polyarthritis associated with hypogammaglobulinemia and its rapid response to immune globulin treatment. Br Med J 1976; 1: 1314-6. 6. Sergent JS. Polyarticular Arthritis. In: Textbook of Rheumatology. Kelley WN et al (eds). Third ed. Philadelphia, London, Toronto, Montreal, Sydney, Tokyo: WB Saunders Co. 1988, p. 455. 7. Solinger AM, Hess EV. Rheumatic Diseases and AIDS is the correlation true ?. Scient Abstr 54th Annual Meeting American College of Rheumatology. Seattle, Washington. October 27November 1, 1990. p. S87. 8. Calabrese LH, O'Connell M, Kelley DM, Easley KA. A longitudinal study of patients infected with the human immunodeficiency virus (HIV) : The influence of rheumatic symptoms on the natural history of retroviral infection. Scient Abstr 54th Annual Meeting American College of Rheumatology. Seattle, Washington. October 27 November 1, 1990. p. S142. 9. Winchester R, Bernstein DH, Fischer HD et al. The Co-occurence of Reiter 's syndrome and acquired immunodeficiency. Ann Intern Med 1987; 106: 1926. 10. Dalton AD, Harcout-WebsteriN, Keat AC. Histopathology of Synovium in AIDS. Scient Abstr 54th Annual Meeting American College of Rheumatology. Seattle, Washington. October 27November 1, 1990. p. S142.

AIDS, hubungannya dengan Penyakit Menular Seksual lain


Jusuf Barakbah, Moch. I. Ilias Laboratorium/UPF Ilmu Penyakit Kulit & Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Airlanga/RSUD Dr. Sutomo, Surabaya

PENDAHULUAN Sejak ditemukannya kasus AIDS pertama di Amerika Serikat pada tahun 1981, penyakit ini telah menyebar dengan cepat ke seluruh dunia sebagai pandemi. Pada 1 Juni 1989 oleh WHO telah dicatat secara resmi sebanyak 157.191 penderita AIDS yang dilaporkan dari 149 negara, 63% dari benua Amerika, 16% dari Afrika, 14% dari Eropa dan 1% dari Asia dan Oceania. Jumlah kasus sebenamya diperkirakan jauh lebih besar yaitu 500.000 penderita yang kebanyakan tidak tercatat. Hingga sekarang dan mungkin dalam beberapa tahun mendatang masih belum akan ditemukan obat yang dapat menyembuhkan dengan tuntas penyakit AIDS tersebut maupun vaksin yang mampu mencegah terjadinya infeksi. Oleh karena itu satusatunya cara penanggulangan AIDS pada waktu ini ialah mencegah terjadinya penularan lebih Ian jut. Untuk dapat melaksakaan pencegahan yang efektif tersebut maka sangat perlu diketahui cara transmisi human immunodeficiency virus (HIV) dari satu penderita ke penderita lainnya, faktor-faktor yang mempermudah terjadinya penularan, serta hubungannya dengan penyakit menular seksual (PMS) lainnya. EPIDEMIOLOGI Cara penularan Human immunodeficiency virus (HIV) dapat diisolasi dari bermaca-macam cairan tubuh, seperti darah, semen (cairan sperma), air liur, air susu ibu, urin, getah serviks dan vagina. Akan tetapi yang terbukti dapat memberikan penularan hanyalah darah, semen serta getah serviks dan vagina. Berdasar pengamatan epidemiologis di seluruh dunia, dapat disimpulkan 3 modus transmisi HIV yaitu : 1) Hubungan seksual (homoseksual atau heteroseksual). 2) Parenteral

transfusi darah dan komponen darah (faktor VIII untuk hemofilia). alat suntik/jarum suntik yang dipakai berulang-ulang tanpa disterilisasi, umumnya pada pecandu obat bius intravena, atau jarum akupunktur, tato, tindik. transplantasi organ, janingan dan semen. 3) Perinatal dari ibu ke janin/bayi. selama dalam kandungan waktu persalinan waktu menyusui. Secara global terdapat tiga pola epidemiologi yang berbeda. Pola 1. Penularan terbanyak terjadi pada pria homoseksual atau biseksual dan pecandu obat bius. Hanya sebagian kecil (1%) penularan melalui kontak heteroseksual. Perbandingan jumlah kasus pria dengan wanita berkisar antara 10 : 1. Transmisi melalui tranfusi darah atau produk darah sekarang sudah dapat diatasi dengan cara pemeriksaan rutin donor darah. Pola epidemi ini terdapat di Amerika Utara, Eropa Barat, Australia dan Selandia Baru. Pola 2. Penularan terjadi kebanyakan melalui kontak heteroseksual; oleh karenanya rasio penderita pria dan wanita berkisar 1 : 1. Dengan banyaknya kasus wanita, kemungkinan penularan perinatal akan lebih sering dijumpai. Pola ini terdapat di Afrika dan beberapa negara Karibia. Pola 3. Transmisi terjadi secara homoseksual dan heteroseksual, dan sebagian kecil melalui transfusi darah atau produk darah yang diimpor sebelum tahun 1986. Pola ini terdapat di Asia, Eropa Timur dan Timur Tengah.

Cermin Dunia Kedokteran No. 75, 1992 23

Penularan melalui hubungan seksual. Dari semua kemungkinan cara penularan tersebut di alas, transmisi seksual adalah yang paling dominan; oleh karena iW infeksi HIV erat hubungannya serta sering bersamaan dengan penyakit menular seksual lainnya. Risiko terjadinya penularan melalui hubungan seksual tergantung dari beberapa faktor, antara lain : Macam hubungan seksual. Homoseksual tampaknya memberikan kemungkinan penularan yang lebih besar dibanding dengan heteroseksual bilamana tidak ada faktor-faktor lain yang mempengaruhinya. Beberapa alasan yang dikemukakan ialah: lebih mudah terjadi lesi pada hubungan genito - anal, terutama di daerah mukosa rektum dengan epitel silindris dibanding mukosa vagina dengan epitel skuamosa yang tebal. Faktor lain ialah kemampuan resorbsi semen yang lebih besar oleh mukosa rektum dibanding mukosa vagina. Setelah ditemukannya kasus-kasus pertama AIDS oleh karena kontak heteroseksual pada tahun 1983, maka penelitian secara seksama dilapukan di banyak negara untuk menguji sampai di mana kontak heteroseksual memegang peranan penularan AIDS. Di Amerika Serikat yang sebagian besar penularan oleh karena kontak homoseksual dan penggunaan obat bias iv. kasus heteroseksual jarang dijumpai; pada Juli 1986 telah dilaporkan 363 kasus AIDS oleh kontak heteroseksual, terdiri dari 63 kasus (17%) laki-laki, dan 302 (83%) wanita; tampaknya transmisi laki-wanita lebih dominan(1). Akan tetapi Pape dkk. mendapatkan 60% pasangan wanita dan 63% pasangan pria dari penderita AIDS di Haiti telah tertular, sehingga menun jukkan kemungkinan penularan laki-wanita dan sebaliknya yang sama. Di Afrika Tengah dan juga Haiti sumber penularan yang penting ialah wanita tuna susila (WTS) melalui kontak heteroseksual; penelitian terhadap 90 WTS mendapatkan bahwa 66% WTS ekonomi rendah serta 31% dengan status ekonomi yang lebih tinggi telah terinfeksi HIVo. Prevalensi seropositip pada WTS memang berbeda di bermacam-macam tempat. Data yang dikumpulkan menunjukkan angka yang bervariasi antara 0% di London dan Paris hingga 88% di Rwanda(1). Infeksi HIV pada WTS dapat terjadi melalui 2 kemungkinan yaitu: penggunaan obat bias iv. yang banyak didapatkan di Amerika Serikat dan Eropa, serta kontak heteroseksual yang kebanyakan didapatkan di Afrika dan Karibia. Faktor pembantu (co factor). Telah menjadi hipotesa bahwa penyakit menular seksual lainnya merupakan faktor pembantu dalam meningkatkan risiko penularan HIV baik pada wanita maupun pria; faktor pembantu utama ialah PMS yang menimbulkan ulkus, yang disebut GUD (genital ulcer diseases), seperti : Afek primer sifilis (ulkus durum). Sifilis sekunder (kondilomata lata). Ulkus mole. Herpes genitalis. Afek primer LGV.

Lesi atau mikrolesi yang non-spesifik. Telah diketahui bahwa limfosit yang mengandung HIV pada wanita seropositip ialah pada sekret serviko-vaginal, dan tidak pada sel epite1. Hal ini penting karena pada tiap peradangan vagina dan serviks seperti GUD, dan juga gonore, infeksi C. trachomatis, trikomoniasis, kandidiasis akan membantu pengeluaran limfosit yang terinfeksi, hingga akan memberikan risiko transmisi HIV yang jauh lebih besar dibanding dengan pada vagina dan serviks yang intak. Demikian pula dengan uretritis pada pria. Penjelasan ini dapat sedikit menyingkap misteri mengapa ada perbedaan yang sangat menyolok antara epidemi di Amerika dan Eropa dengan di Afrika. Lebih dari 70% penderita heteroseksual yang datang berobat di klinik PMS di Afrika disebabkan ulkus pada genitalianya, dibanding 4% di Amerika Serikat. Jos Bogaerts dkk meneliti 210 penderita dengan ulkus genital, ternyata 21% sifilis, ulkus mole 24%, herpes genitalis 17%, dan LGV 11%(4). Penelitian pada pasangan monogami penderita hemofilia,dari 24 yang seropositiphanya4 (17%) pasangan yang tertular setelah sekian tahun lamanya(4), sedangkan dalam penelitian lain pada laki-laki biseksual dengan banyak partner yang terjangkit HIV, 50% istri-istri mereka tertular(5). Hal ini menunjukkan bahwa risiko penularan akan meningkat sesuai dengan bertambahnya jumlah partner seksual. Pada penelitian terhadap pria homoseks yang dilakukan akhir-akhir ini dapat dibuktikan pula bahwa terjadinya serokonversi erat kaitannya dengan adanya ulkus ano-genital, herpes genitalis dan ano-rektalis, serta kondiloma akuminata. Sebaliknya secara epidemiologis dapatdibuktikan bahwa dampak rasa takut masyarakat terhadap AIDS, menyebabkan perubahan perilaku seksual terutama pada kaum homoseks, hingga dapat menurunkan insidens PMS lainnya; RA Coutinho dkk menemukan bahwa insidens sifilis di Amsterdam menurun dari 88 per 100.000 menjadi 30 per 100.000 pada tahun 1985. Selain hubungan epidemiologis tersebutdi atas, AIDS sendiri sebagai penyakit yang menghancurkan sistim kekebalan tubuh seseorang, memberikan pengaruh yang besar terhadap perjalanan PMS lainnya yaitu timbulnya gejala klinis yang lebih berat, dan lebih resisten terhadap pengobatan. Herpes genitalismemberikan gejalaklinisyangberat,berupa lesi yang luas, seringkali berupa ulkus yang nyeri, waktu penyembuhan yang lama, resisten terhadap pengobatan, serta lebih sering kambuh; pada pria homoseksual ulkus sering dijumpai pada daerah ano-rektal. Telah dilaporkan adanya saw kasus herpes simpleks berupa ulkus yang luas pada bokong kin yang tidak sembuh dengan bermacam-macam pengobatan. Kondiloma akuminata pada penderita AIDS tumbuh cepat, besar serta luas. Hal ini disebabkan oleh karena menurunnya sistim kekebalan seluler yang sangat diperlukan untuk penyembuhan kondiloma akuminata. Moluskum kontagiosum di daerah ano-genital pada orang dewasa sering ditularkan melalui hubungan seksual, pada penderita AIDS dapat menjalar ke seluruh wbuh, dengan lesi yang besar bahkan sampai di kepala berambut.

24 Cermin Dunia Kedokteran No. 75, 1992

KESIMPULAN Hubungan seksual merupakan cara penularan AIDS yang paling utama. Kontak homoseksual serta heteroseksual mempunyai andil yang besar dalam transmisi HIV, walaupun berbeda tempat. Wanita tunasusila merupakan sumber infeksi renting dalam penyebaran AIDS secara kontak heteroseksual. Penyakit menular seksual lainnya terutama yang menimbuI-kan ulkus genitalis (GUD), merupakan faktor pembantu yang sangat berperan dalam transmisi HIV. Oleh karena epidemiologi AIDS pada akhirnya akan sama dengan PMS yang lain, berbagai cara penanggulangan AIDS yang intensif akan berpengaruh pada insidens PMS yang lain.

KEPUSTAKAAN 1. Padian NS. Heterosexual transmission of acquired immunodeficiency syndrome: International perspectives and national projection. Rev Infect Dis 1987; 9:5.

2. Kreiss JK, Koech D, Plummer FA et al. AIDS viruses infection in Nairobi prostitutes. Spread of the epidemic to East Africa. N Engi J Med 1986; 314:7. 3. Van de Perre P, De Clerco A, Leclerc JC. Detection of HIV p17 antigen in lymphocytes but no epithelial cells from cervico vaginal secretions of women seropositive for HIV; implication for heterosexual transmission of the virus. Genitourin Med 1988; 30-33. 4. Bogaerts J, Rican CA, Van Dyck E, Piot P. The etiology of genital ulceration in Rwanda. Sexually Transmitted Diseases 1989; 16:3. 5. Andes WA, Rangan SR, Wulff KM. Exposure of heterosexuals to Human Immunodeficiency Virus and Vircmia. Evidence for continuing risk in spouses of hemophiliacs. Sexually Transmitted Diseases 1989; 16:2. 6. Bishop PE, McMillan, Fletcher S. Immunological study of condylomata acuminate in men infected with HIV. 7. Haverkos HW, Edelman R. The epidemiology of acquired immunodeficiency syndrome among heterosexuals. JAMA 1989; 5 : 46-52. 8. Maan JM. Global AIDS into 1990s. WHO/GPA/DIR/89.2. 9. Quin TC, Cannon RO, Glasser D et al. The association of syphilis with risk of human immunodeficiency virus infection in patients attending sexually transmitted disease clinic. Arch Intern Med 1990; 150: 1297-1301.K 10. Rowen D, Came CA. Editorial review; Heterosexual transmission of human immunodeficiency virus. Intemat J STD & AIDS 1990;1: 239-44. 11. Worm AM, Kvinesdal B. Human immunodeficiency virus surveillance at a sexually transmitted diseases clinic in Copenhagen. Intemat J STD & AIDS, 1990; 1:2.

Masalah Penyimpangan Perilaku Seksual Pemuda Remaja di Kota-kota Besar di Jawa


Moh. Ramly Bandy, SKM Pusat Penelitian Ekologi Kesehatan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan R.I., Jakarta

ABSTRAK Pemuda remaja yang sehat dan kreatif sangat pentingartinya bagi hari depan suatu bangsa dan negara, karena sebagai insan yang produktif, pemuda remaja merupakan kekuatan yang memiliki potensi yang besar. Garis-garis Besar Haluan Negara (BHGN) 1988 menegaskan perlunya pembinaan dan pengembangan generasi muda Indonesia menjadi kader pembangunan yang sehat dan kreatif. Penyimpangan perilaku seksual di kalangan pemuda remaja di kota-kota besar cukup mengkhawatirkan para orang tua dan masyarakat Indonesia yang religius, karena tindakan demikian jelas dilarang oleh agama dan adat istiadat. Dan pada gilirannya akan merusak atau menghambat pembangunan bangsa dan negara. Dari hasil beberapa penelitian diketahui bahwa penyimpangan perilaku seksual di kalanga pemuda remaja cukup tinggi. Mereka yang sudah melakukan senggama sebelum menikah berkisar dari 6,8% sampai 87,0% di DKI Jakarta dan 6,3% 26,35% di DI Yogyakarta. Faktor motivasi melakukan senggama terbesar adalah alasan karena suka sama suka 74% 76% dan kebutuhan biologik 10% 12%. Sedangkan faktor latar belakang yang paling banyak mempengaruhinya adalah kebiasaan baca buku porno dan nonton blue film 54,3% dan 49,2%, kemudian faktor kurang taat pada nilai agama 19,8% dan 26,2%. Telah terjadi pergeseran nilai atau norma dalam sikap dan perilaku seksual di kalangan pemuda remaja bila dibandingkan dengan nilai atau norma yang dianut sebagian besar masyarakat Indonesia yang religius yang taat dan patuh pada ajaran agamanya dan adat istiadatnya PENDAHULUAN Pemuda remaja yang sehat dan kreatif sangat penting artinya bagi hari depan suatu bangsa dan negara, karena sebagai insan yang produktif, pemuda remaja merupakan kekuatan yang memiliki potensi yang besar. Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) 1988 menegaskan perlunya pembinaan dan pengembangan generasi muda Indonesia menjadi kader pembangunan yang sehat dan kreatif dengan berbagai upaya(1). Dalam Pelita V dilakukan upaya yang diarahkan pada terbinanya generasi muda Tulisan ini bermaksud mereview beberapa hasil penelitian yang menyangkut sikap dan perilaku seksual kaum remaja di yang berkualitas, terhindar dari berbagai gangguan kesehatan serta menunjang kemandirian hidup bersih dan sehat di kalangan keluarga dan masyarakat(2). Diperkirakan 30% dari penduduk dunia terdiri dari golongan umur 10 24 tahun. Bagi bangsa dan negara yang sedang berkembang, memperhatikan masalah kesehatan pemuda remaja adalah penting, karena 77,6% dari keseluruhan penduduk dunia yang berumur 15 -24 tahun dalam tahun 1980 tinggal di negara yang sedang berkembang. Angka ini diramalkan meningkat menjadi 83,5% pada tahun 2000(3). beberapa kota besar di Jawa, Indonesia. Tujuannya adalah untuk mendapatkan gambaran sampai seberapa jauh telah

26 Cermin Dunia Kedokteran No. 75, 1992

terjadi penyimpangan perilaku seksual di kalangan pemuda remaja. Hal itu akan bermanfaat sebagai salah satu bahan masukan bagi strategi pembinaan generasi muda selanjutnya agar menjadi insan pembangunan yang sehat dan produktif. Yang dimaksud dengan pemuda remaja dalam karangan ini ialah pemuda remaja yang berusia 15 24 tahun, sesuai batasan WHO(3,4). TINJAUAN KEPUSTAKAAN Suharso dkk, dari Lembaga Ekologi dan Kemasyarakatan Nasional Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LEKNAS LIPI) mencatat dalam laporannya mengenai penelitian Aspek Hukum Kenakalan Remaja (1984), bahwa di Jateng 60% kasus kejahatan yang diajukan ke pengadilan setempat, pelakunya adalah mereka yang masih berumur di bawah 18 tahun. Jenis kenakalan yang paling banyak dilakukan menurut data 1973 1979 adalah berturut-turut: pencurian, penganiayaan, perampokan, perjudian, gangguan terhadap ketertiban umum dan perkosaan(5). Affandi B. dkk (1980) melaporkan bahwa dari 385 orang remaja yang datang ke kliniknya di Jakarta 87% mengaku mendapat pengalaman seksual pertama dari pacarnya sebelum kawin. Hal itu 5,6% terjadi pada usia 12 15 tahun, antara 16 19 tahun 53,3% dan di alas 20 tahun 41,1%(6,7). Pada kelompok belum kawin tersebut, 68,8% menyatakan pengalaman seksualnya berdasarkan suka sama suka, 13,3% karena ingin tabu, dan 9,8% karena dipaksa(6). Moeloek FA dan Loebis AS (1985) melaporkan bahwa dalam tigatahun (19811983), terdapat 3.510 orang remaja putri dengan keluhan kelambatan haid di suatu klinik di Jakarta. Setelah melalui proses konseling dengan pacar, keluarga, ahli psikologi, agamawan, 29% temp memutuskan untuk melakukan induksi haid(6,7). Da suatu sampel penelitian di Jakarta selama 6 bulan dalam tahun 1984 didapatgambaran, bahwa dari 400 orang remaja yang pernah bersenggama, 0,7% berusia 13 tahun, 1,7% berusia 14 16 tahun, 76,7% berusia 17 20 tahun, dan 5,7% berusia di atas 20 tahun; menurut pendidikannya,12% dari SD, 80% dari SLTP dan SLTA dan 8% dari Universitas(6). Ditinjau dari tempat tinggalnya, 73% tinggal bersama orangtua kandung sendiri, 16% bersama orangtua tin, dan yang mondok 12%. Tempat mereka mengadakan hubungan kelamin: 1% di sekolah, 4% di taman atau mobil, 7% di hotel, dan 64% di rumah sendiri. Pendorong mereka bersenggama adalah suka sama suka 74%, dibohongi 13%, diperkosa 3%, merasa sebagai kewajiban pacar 1% dan sebagai alasan untuk perkawinan 9%. Di antara mereka 88% telah berupaya menggugurkan kandungannya dengan minum jamu atau obat-obatan, dan 12% dengan di urut-urut oleh dukun(6). Penelitian Pusat Studi Kriminologi Universitas Islam Indonesia (PSK UII) Yogyakarta mengenai masalah hubungan seks

sebelum menikah di Yogyakarta menunjukkan angka cukup tinggi, yaitu 26,3% dari 846 peristiwa pernikahan yang diamatinya. Dari persentase itu, sekitar 50% menyebabkan kehamilan. Hubungan seks sebelum menikah tersebut dilakukan oleh generasi muda berpendidikan SMTA sebesar 26,64%, berpendidikan Akademis 22,54%, dan selebihnya pengangguran(8). Sarwono WS, dalam penelitiannya tahun 1985 mengenai Pengertian, Sikap dan Praktek Seksualitas Remaja di DKI Jakarta, yang dilakukan secara angket lewat pendengar Radio Prambors Rasisonia, Jakarta, memperoleh hasil sebagai berikut:(9) Dui 283 responden wanita (13 24 tahun), 10% mengatakan setuju melakukan hubungan kelamin sebelum menikah asal sama-sama setuju; 20% menyatakan kegadisan bukan masalah untuk melangsungkan perkawinan (tabel 1).
Tabel 1. Persentase jawaban setuju terhadap pertanyaan-pertanyaan sikap. No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. g, 9. 10. 11. 12. Pertanyaan (keglatan) Berciuman Berciuman Bercumbuan Bercumbuan Berciuman Bercumbuan Berciuman Bercumbuan Hubungan kelamin Hubungan kelamin Hubungan kelamin Hubungan kelamin Taraf hubungan Tunangan Pacar Tunangan Pacar Teman akrab Teman akrab Tanpa ikatan perasaan Tanpa ikatan perasaan Tunangan Pacar Teman akrab Tanpa ikatan perasaan (teman biasa) Pria % 96,02 91,00 76,21 60,73 41,44 28,73 17,04 10,03 5,62 3,46 , 2,60 2,08 Wanita % 94,03 88,41 73,32 59,86 39,36 25,78 14,88 4,50 9,60 2,42 1,99 1,21

Puslit Ekologi Kesehatan Badan Litbang Kesehatan pada bulan September dan Oktober telah melaksanakan penelitian mengenai Pengetahuan, Sikap dan Perilaku Pemuda Remaja tingkat SLTA dan Perguruan Tinggi mengenai masalah kesehatan, termasuk masalah seksual di Jakarta dan Yogyakarta dengan cara angket. Jumlah responden dengan batasan umur 1524 tahun mecakup 1000 siswa SLTA dan 1000 mahasiswa pria dan wanita di masing-masing kota. Hasilnya adalah sebagai berikut : Persentase pemuda remaja yang pernah menonton Blue Film (BF) di DKI Jakarta dan DI Yogyakarta adalah 46,6% dan 28,9%. Karekteristik dan sikap mereka dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Perasaan atau Sikap para Remaja setelah Menonton blue film. Jakarta n =1000 46.6 % 8.8% 71.2% 20.0 % 30.8 % 12.6 % 31.0 % 19.6 % Yogyakarta n =1000 28.9 % 5.9% 66.9% 27.2 % 36.6 % 4.8 % 32.1 % 14.3 %

Pernah menonton Usia saat pertama menonton 10 14 tahun 15 19 tahun 20 24 tahun Sikap/perasaan setelah menonton Senang, puas Ingin melakukan Merasa berdosa Biasa,sekedaringin tabu, menambah pengetahuan

Cermin Dunia Kedokteran No. 75, 1992 27

Mengenai perilaku, tindakan pada waktu pacaran yang dilakukan oleh pemuda remaja di DKI Jakarta dan DI Yogyakarta, disajikan dalam Tabel 3.
Tabel 3. Perilaku, tindakan waktu pacaran Pemuda Remaja DKI Jakarta dan DI Yogyakarta. No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. Perilaku, tindakan DKI Jakarta DI Yogyakarta n Berkunjung ke rumah, 512 jalan berduaan, dll Cium pipi 141 Cium bibir 330 Pegang buah dada 86 Pegang alat kelamin 75 Senggama 50 Jumlah : 1194 missing : 45 % 42,9 11,8 27,6 7,2 6,3 4,2 100 n 478 147 277 143 105 50 1200 37 % 39,8 12,3 23,1 11,9 8,7 4,2 100 DKI + DIY n 990 288 607 229 180 100 2394 % 41;3 12,0 25,4 9,6 7,5 4,2 100

Tabel 5.

Faktor latar belakang yang mempengaruhl Pemuda Remaja melalukan senggama sebelum menikah di DKI Jakarta dan DI Yogyakarta. DKI Jakarta DI Yogyakarta DKI + DIY n 4 23 1 4 63 21 116 19 3,4 19,8 0,9 3,4 54,3 18,1 100 n 5 32 7 60 18 122 3 4,1 26,2 5,7 49,2 14,8 100 n 9 55 8 4 123 39 238 22 % 3,8 23,1 3,3 1,7 51,7 16,4 100

No. Faktor latar belakan 1. 2. 3. 4. 5. 6. Keluarga kurang harmonis Kurang taat pada nilai agama Tempat pelarian, kurang pergaulan Orang tua tidak teladan Suka baca buku porno/ nonton BF Pengaruh teman, kebutuhan biologik, dli Jumlah : missing :

Sedangkan jumlah pemuda remaja yang sudah melakukan senggama sebelum menikah di DKI Jakarta menurut hasil penelitian Badan Litbangkes tersebut adalah sebanyak 135 orang dari 1986 yang menjawab pertanyaan (= 6,8%). DI Yogyakarta, datanya adalah 125 orang dari 1985 yang menjawab pertanyaan (= 6,3%). Untuk kedua daerah (Jakarta + Yogyakarta) hasilnya adalah 6,5%. Ditinjau dari usia pertama kali meakkukan senggama sebelum menikah bagi pemuda di dua daerah DKI Jakarta dan DI Yogyakarta, hasilnya adalah 9,2% pada usia 10 - 14 tahun, 49,8% pada usia 15 - 19 tahun, antara 41,0% pada usia 20 - 24 tahun. Faktor pendukung (motivasi) dan faktor latar belakang yang mempengaruhi meaakukan senggama sebelum menikah di kalangan pemuda remaja di DKI Jakarta dan DI Yogyakarta, disajikan dalam Tabel 4 dan Tabel 5.
Tabel 4. Motivasi melakukan senggama sebelum menikah di kalangan Pemuda Remaja DKI Jakarta dan DI Yogyakarta. Motivasi Suka sama suka Dibohongi Kewajiban sebagai pacar Alasan perkawinan Kebutuhan biologik Jumlah : missing : DKI Jakarta DI Yogyakarta n 95 8 3 4 15 125 10 % 76,0 6,4 2,4 3,2 12,0 100 n 90 7 4 6 12 119 6 % 75,6 5,9 3,4 5,0 10,1 100 DKI + DIY n 185 15 7 10 27 244 16 % 75,8 6,1 2,9 4,1 11,1 100

dan dengan teman biasa 2,9%. Alasan sikap setuju bersenggama sebelum menikah yang dikemukakan oleh kaum pemuda remaja tersebut adalah menyalurkan cinta - 81,4%, selami hati masingmasing - 8,4%, cari kepuasan -6,9% dan alasan lain-lain - 3,3%. PEMBAHASAN Ada beberapa teori individual yang menguraikan tentang latar belakang pola tingkah laku pemuda yang menyebabkan timbulnya kenakalan remaja, termasuk kenakalan seksual; di antaranya yang penting adalah teori perkembangan. Tokohtokoh dari cabang psikologi perkembangan berpendapat bahwa masa remaja adalah masa transisi dari periode kanak-kanak ke periode dewasa. Dalam masa transisi ini remaja berusaha mencari pegangan, mencari pedoman kepada nilai atau norma yang berlaku dalam masyarakat. Karena dalam masyarakat terdapat berbagai norma (nilai), maka dalam pencarian nilai itu dapat terjadi pelanggaran sehingga remaja dipandang nakal. Dalam keadaan mencari nilai itu biasanya remaja cenderung untuk pertama-tama berpatokan pada nilai yang berlaku di kalangan mereka (remaja) sendiri(10). Dari hasil penelitian dapat diketahui bahwa ungkapan teori di atas temyata ada benarnya, yang dicoba akan dibahas dalam tulisan ini. Hasil dari beberapa penelitian perilaku seksual di kalangan pemuda remaja sebelum menikah menunjukkan angka cukup tinggi; sebagai berikut : Persentase 6,3 % 6,8 % 26,35 % Tempat Penelitian DI Yogyakarta DKI Jakarta DI Yogyakarta Sumber Kepustakaan Litbangkes 11 Litbangkes 11 PSK-UII 8 Yogyakarta Affandi B dkk 6, 7

No. 1. 2. 3. 4. 5.

Tempat pemuda remaja di kedua daerah DKI Jakarta dan DI Yogyakarta melakukan senggama sebelum menikah, adalah di sekolah/kampus (4,2%), di hotel/motel (31,1%), di rumah sendiri/ pacar (28,1%), di tempat kost/rumah teman (21,3%) dan di taman, mobil dan lain-lain (15,3%). Sikap setuju kaum pemuda remaja dan kedua daerah DKI Jakarta dan DKI Yogyakarta terhadap tindakan senggama sebelum menikah adalah sebagai berikut : dilakukan dengan tunangan 12,0%, dengan pacar 5,6%, dengan teman akrab 2,8%,

87,0 % DKI Jakarta

Perilaku seksual sebelum menikah di kalangan pemuda remaja dilakukan terbanyak oleh mereka yang berumur 19 tahun ke bawah, yaitu kelompok umur SLTP dan SLTA, yaitu sebesar

28 Cermin Dunia Kedokteran No. 75, 1992

sekitar 50 80%. Bila kelompok umur SLTP dan SLTA dipisah, maka terbanyak dilakukan oleh umur SLTA (15 -19 tahun) yaitu sebesar 49,8%(6,7,11). Hal itu besar kemungkinan ada hubungannya dengan masa pancaroba yang begitu besar thalami remaja pada usia 15 -19 tahun; pada masa ini remaja tumbuh kembang dengan pesat, jasmani maupun rohani, termasuk rangsangan seksual atau biologik. Masa umur SLTA adalah masa penuh godaan dan kelabilan, atau masa transisi yang sangat kritis. Apabila pada masa kritis ini, pemuda remaja mendapat atau mengalami pengaruh yang sifatnya negatif, maka hal itu akan menjadi pendorong yang besar dalam terjadinya penyimpangan perilaku seksual di kalangan remaja. Dari hasil penelitian diketahui, bahwa faktor latar belakang yang paling banyak berpengaruh pada pemuda remaja melakukan senggama sebelum menikah adalah karena kebiasaan suka baca buku porno dan nonton Blue Film (BF, Film Biru) yaitu sebesar 54,3% di DKI dan 49,2% di DI Yogyakarta(1). Kemudian menyusul faktor latar belakang kurang taat pada nilai agama (19,8% dan 26,2%)(") (Tabel 5). Sisanya adalah karena faktor pengaruh teman (18,1% dan 14,8%), faktor kelurga yang tidak harmonis (3,4% dan 4,1%) serta faktor ketidak teladanan orang tua (3,4%) dan tempat pelarian (0,9% dan 5,7%). Faktor motivasi yang langsung mendorong pemuda remaja melakukan senggama sebelum menikah terutama adalah faktor atau alasan karena suka sama suka 74% 76%(6,7,11), karena kebutuhan biologik 10% 12%dhl), dibohongi 6% 13%(6,11), alasan perkawinan 3%9%(6."), merasa sebagai kewajiban sang pacar 1% 3,4%(6,11) (Tabel 4). Ditinjau dari tempt melakukan senggama sebelum menikah, terbanyak dilakukan di rumah sendiri yaitu 24% 64%(6,11), di hotel/motel (7% 34%)(6."), tempat kost/teman (21%)("), di taman/mobil (4% 15%)(6.h1) dan di sekolah/kampus (1% 4%)(6,11). Data ini menunjukkan antara lain kurangnya pengawasan orangtua terhadap anaknya. Data perilaku seksual tersebut di atas dan alasan suka sama suka serta faktor latar belakang yan mempengaruhinya, jelas ada hubungannya dengan kebiasaan pemuda remaja membaca buku porno atau nonton Film Biru (BF). Persentase pemuda remaja yang pemah nonton BF di DKI dan DI Yogyakarta adalah 46,6% dan 28,9%. Da jumlah tersebut yang merasa senang dan puas setelah menonton adalah 30,8% dan 36,6%, sedang yang ingin mencoba mempraktekkan/ melakukan adalah sebesar 12,6% dan 12,2%. Total yang merasa senang, puas dan ingin melakukan adalah 43,4% dan 48,8% masing-masing untuk pemuda remaja DKI dan DI Yogyakarta. Mereka yang suka baca buku/gambar porno datanya lebih besar dari angka BF tersebut. Angka ini mendekati atau hampir sama dengan angka faktor latar belakang yang mempengaruhi pemuda remaja melakukan senggama sebelum menikah, yaitu faktor kebiasaan menonton BF dan baca buku porno (54,3% dan 49,2% untuk DKI dan DI Yogyakarta). Hal itu dapat ditafsirkan, bahwa kebanyakan pemuda remaja yang telah biasa membaca buku porno dan nonton BF, cenderung berniat atau telah mem-praktekkannya. Faktor latar belakang kedua terbesar yang mempengaruhinya adalah faktor kurang taat pada nilai agama,

yaitu 19,8% dan 26,2% masing-masing untuk remaja DKI dan DI Yogyakarta (Tabel 5). Mengenai tindakan perilaku pemuda remaja di waktu pacaran, Puslit Ekologi dalam penelitiannya tahun 1990 mendapatkan data yang menggambarkan adanya pergeseran nilai perilaku seksual di kalangan pemuda remaja dibandingkan dengan nilai yang pada umumnya dianut oleh masyarakat Indonesia yang religius dan masih taat pada adat istiadatnya, termasuk kaum pemuda remajanya yang beriman dan bertaqwa. Da 1200 responden di DI Yogyakarta yang menjawab pertanyaan, 23,1% mengaku sudah berciuman bibir di waktu pacaran, 11,9% sudah memegang buah dada; dan lebih dari itu, 8,7% sudah pegang alat kelamin, bahkan sudah ada yang melakukan senggama atau hubungan kelamin (4,2%) (Tabel 3). Di DKI Jakarta, data yang diperoleh hampir sama, yaitu secara berurutan hasilnya adalah 27,7%, 7,2%, 6,3% dan 4,2%. Sisanya, hanya melakukan ciuman pipi 12,3% dan 11,8% dan berjalanjalan atau hanya sekedar bersenda gurau sebanyak 39,8% dan 42,8% masing-masing untuk DI Yogyakarta dan DKI Jakarta. Data tersebut di atas cukup mengkhawatirkan bagi orangtua dan masyarakat Indonesia karena tindakan atau perilaku seksual pemuda remaja yang demikian itu adalah tindakan "mendekati zinah", suatu perbuatan yang jelas dilarang oleh ajaran agama (lebih keras lagi oleh agama Islam) yaitu dan berciuman bibir, pegang buah dada, pegang alat kelamin mencapai angka total 43,7% dan 41,2% masing-masing untuk DI Yogyakarta dan DKI Jakarta. Bila ditambah dengan angka mereka yang sudah bersenggama hasilnya mencapai 47,9% dan 45,4%. Diperkirakan , data yang sebenarnya bisa lebih besar dari itu, karena bisa saja dalam penelitian ada responden yang tidak berterus terang mengakui perbuatannya. Tindakan pada waktu pacaran, bila dihubungkan dengan sikap, pandangan atau pendapat pemuda remaja mengenai pertanyaan kegiatan dalam berhubungan dengan tunangan/pacar/ teman akrab, atau teman biasa ternyata ada hubungannya. Dan sumber yang sama(11) diperoleh data mengenai sikap setuju dari pemuda remaja di kedua daerah DKI Jakarta dan DI Yogyakarta tentang hubungan kelamin sebelum menikah, yaitu bila dilakukan dengan tunangan 12,0%, dengan pacar 5,6%, dengan teman akrab 2,8% dan dengan teman biasa 2,9%. Data ini menunjukkan adanya kecenderungan sikap menyetujui hubungan kelamin sebelum menikah yang semakin besar bila status hubungan semakin meningkat, yaitu dari teman biasa, teman akrab, pacar sampai kepada status yang makin 'kokoh' yaitu tunangan. Dengan kata lain, bisa saja seseorang pemuda bersikap tidak setuju mengadakan hubungan kelamin sebelum menikah pada teman biasa/teman akrab, tetapi cenderung bersikap setuju bila itu dilakukan dengan pacar atau lebih-lebih dengan tunangan. Alasan sikap setuju melakukan hubungan kelamin sebelum menikah menurut pengakuan pemuda remaja di kedua daerah DKI Jakarta dan DI Yogyakarta, yang paling banyak dikemukakan adalah menyalurkan cinta kasih 81,4% dan salami hati masingmasing 8,4%. Sisanya adalah mencari kepuasan 6,9% serta lainlain 3,3%. Data tersebut di atas menunjukkan sekali lagi adanya pergeseran nilai dalam perilaku seksual di kalangan remaja

Cermin Dunia Kedokteran No. 75, 1992 29

dibandingkan dengan perilaku seksual masyarakat Indonesia termasuk pemuda remajanya yang beriman dan betaqwa, yang taat pada .ajaran agamanya serta memegang teguh tata cara pergaulan menurut adat istiadat. Hasil penelitian Puslit Ekologi tersebut, mendukung hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Sarwono SW pada Remaja di DKI Jakarta(9). Persentase jawaban setup terhadap pertanyaan sikap mengenai tindakan yang dilakukan pada waktu pacaran atau bergaul dengan tunangan, pacar teman Akrab dan teman biasa, menunjukkan angka yang cenderung makin besar sesuai dengan makin eratnya status hubungan (Tabel 1). Yang setuju mengadakan hubungan kelamin sebelum menikah asal sama-sama setuju dengan tunangan adalah 5,62% dan 9,60% untuk golongan pria dan wanita. Dengan pacar 3,46% dan 2,42% dengan teman akrab 2,60% dan 1,99%, serta dengan teman biasa 2,08% dan 1,21%. Dari penelitian tersebut diperoleh data sikap wanita yang lebih radikal, yaitu terdapat 20% yang menyatakan kegadisan bukan masalah untuk melangsungkan perkawinan. Sedangkan mereka yang bersikap setuju terhadap tindakan berciuman dengan tunangan adalah 96,02% dan 94,03% masingmasing untuk golongan pria dan wanita. Dengan pacar 91,00% dan 88,41%, dengan teman akrab 41,44% dan 39,36%, serta dengan teman biasa 17,04% dan 14,88%. Golongan pria dan wanita yang bersikap setuju terhadap tindakan bercumbuan dengan tunangan adalah 76,21% dan 73,32%, dengan pacar 60,73% dan 59,86%, dengan teman akrab 28,73% dan 25,78% dan dengan teman biasa 10,03% dan 4,50% (Tabel 1). Melihat dan mengkaji data hasil-hasil penelitian tersebut di atas, upaya yang dapat dilakukan untuk menanggulangi kenakalan atau penyimpangan perilaku seksual di kalangan pemuda remaja, antara lain adalah : a) Memberikan pendidikan seksual pada para remaja dan masyarakat. Pendidikan seksual menjelaskan pengertian mengenai kehidupan keluarga fungsi reproduksi, perkawinan, proses kehamilan, persalinan, susunan tubuh manusia, mengenai bayi, cinta kasih, sikap menghadapi lawan jenis, risiko terinfeksi penyakit kelamin, dan lain-lainnya. Pendidikan seksual merupakan proses sepanjang hidup. Pendidikan seksual dimulai sejak bayi lahir, diberikan oleh kedua orang tuanya dan diteruskan pada fase perkembangan selanjutnya, balita, usia sekolah, akil balig, remaja sampai dewasa. Apabila anak bertambah besar, ia harus diajari mengenai semua aspek kehidupan dengan memberi contoh dan sikap orang tua yang baik (Hosmer, 1974)(6). Bila anak mulai sekolah, lingkungan pergaulannya bertambah luas, baik dengan guru atau temannya. Anak mulai ingin mengetahui keadaan dirinya sendiri termasuk diri lawan jenisnya. anak juga ingin mengetahui lebih banyak mengenai alam kehidupan. Guru mulai berperan dalam pendidikan secara umum termasuk etika, norma budaya dan agama. Di samping itu juga dalam pendidikan seksual,disesuaikan dengan kebutuhan, tingkat perkembangan dan pengetahuan anak. Dengan demikian remaja akan bertindak seperti orang dewasa dengan penuh tanggung jawab (Da Costa, 1974; WHO, 1975)(6). Di sinilah perlunya

pendidikan seksual dimasukkan secara resmi dalam kurikulum sekolah-sekolah. b) Bimbingan dan pengawasan orang tua terhadap anak perlu ditingkatkan; untuk itu perlu dikembalikan dan ditegakkan dengan kokoh lebih dulu fungsi orang tua sebagai pengayom anak. Anak membtuhkan orang tua sebagai tempat bertanya kalau ada persoalan atau berlindung kalau ada ancaman. Selama orang tua masih dapat berfungsi sebagai pengayom anak, maka anak tidak akan menjadi nakal atau jahat. c) Perlu ditanamkan pendidikan agama lebih dini kepada anakanak. KESIMPULAN Dari hasil-hasil penelitian yang dilakukan di kota-kota besar di Jawa, khususnya di DKI Jakarta dan DI Yogyakarta dapat diambil kesimpulan sebagai berikut : a). Masalah penyimpangan perilaku seksual di kalangan pemuda remaja cukup tinggi dan perlu diupayakan secara sungguhsungguh pencegahan dan penanggulangannya, demi keselamatan bangsa dan negara di kemudian hari. b). Telah terjadi pergeseran nilai atau norma dalam sikap dan perilaku seksual di kalangan pemuda remaja bila dibandingkan dengan nilai atau norma yang dianut sebagian besar masyarakat Indonesia yang religius (termasuk kaum remajanya), yang taat dan patuh pada ajaran agamanya dan berpegang teguh pada adatistiadatnya. SARAN Perlu upaya pencegahan dan penanggulangan yang lebih dini dan berkesinambungan, antara lain :

30 Cermin Dunia Kedokteran No. 75, 1992

a). Memberikan bimbingan dan pendidikan seksual pada para remaja dan masyarakat. b). Pengawasan dan bimbingan orang tua terhadap anak ditingkatkan. Untuk itu fungsi pengayoman orang ttia terhadap anak perlu ditegakkan lebih dulu. c). Pendidikan agama secara dini.
KEPUSTAKAAN 1. 2. 3. 4. Garis-garis Besar Haluan Negara tahun 1988. Sugati, dkk. Penyalahgunaan obatpada remaja ditin jau dart segi pengaturan obat Disajikan pada SeminarBadanLitbang Kesehatan Jakarta, 29-81988. World Health Organization. Young peoples' health a challenge for society, Technical Report Series 731, 1986. p. 9 13. Paxman JM, Zuckerman RJ. Laws and policies affecting adolescent health, World Health Organization Geneva: WHO; 1987: 1-5.

5.

Suharso dkk. Penelitian aspek hukum kenakalan remaja. Lembaga Ekonomi dan KemasyarakatanNasional Lembaga BmuPengetahuanIndonesia (LEKNAS UPI), Jakarta, 1984. 6. Subagio Martodipuro. Pengkajian aspek pelayanan kesehatan remaja. Disajikan pada Seminar Badan Litbang Kesehatan Jakarta, 29-8-1989. 7. Lumenta B, Salan R. Pengkajian Masalah Kesehatan Remaja di Indonesia. Badan Litbang Kesehatan, Depkes RI. Jakarta, 1989. p. 116. 8. Prioritas. Generasi Muds: kumpul kebo dan seks di antara mahasiswa. 21 Desember 1986. 9. Sarwono SW. Pergeseran norma perilaku seksual kaum remaja. Sebuah penelitian terhadap kaum remaja di DKI Jakarta. 10. Sarwono SW. Latar belakang tingkah laku pemuda dalam kasus-kasus kriminalitas dan kenakalan remaja ditinjau dan segi psikologi. Mabes Polri Dinas Litbang, 1979. 11. Puslit Ekologi Kesehatan, Badan Litbang Kesehatan Depkes. Laporan HasilPenelitian Pengetahuan,Sikapdan Perilaku PemudaMengenaiMasalah Kesehatan di DKI Jakarta dan DI Yogyakarta, 1990.

Aspek Psikososial AIDS


Sarlito Wirawan Sarwono Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, Jakarta

KESALAH PAHAMAN MASYARAKAT TENTANG AIDS AIDS (Acquired Intmuno Deficiency Syndrome) adalah penyakit yang menakutkan umat manusia oleh karena dapat dipastikan bahwa penyakit ini akan membawa kematian dan sampai sekarang belum diketemukan obatnya. Terutama di negara-negara Barat, penyakit ini sangat ditakuti oleh karena timbulnya yang mendadak dan penyebarannya cepat, sementara masyarakat di Barat sudah lama tidak dihadapkan dengan penyakit menular yang disebabkan oleh virus. Reaksi spontan masyarakat (termasuk kalangan kedokterannya sendiri) pada masa pertama kali menghadapi penyakit AIDS ini adalah menjauhkan diri dari penderita, berusaha tidak menyentuh penderita, menggunakan obat-obat pensuci hama dan bila perlu membakar kasur atau pakaian yang bekas dipakai penderita. Reaksi awal yang bernada panik inilah yang terlanjur tersebar ke seluruh dunia melalui media-massa Barat, sehingga sekarang ini di banyak negara di dunia masih berlaku kepercayaan yang salah tentang AIDS ini, sementara di negara-negara Barat sendiri sikap masyarakat sudah jauh lebih tenang dan rasional sehubungan dengan ditemukannya berbagai sifat dari penyakit ini. Sebagai akibat arus informasi yang deras dari pers Barat tersebut masyarakat di bagian dunia lainnya (termasuk Indonesia) terlanjur menyerap informasi yang tidak benar. Salah informasi ini pada giljrannya mengendap menjadi semacam kepercayaan yang tidak mudah untuk dikoreksi kembali. Salah informasi ini antara lain adalah sebagai berikut : 1. Kuman AIDS menular melalui kontak kulit 2. Kuman AIDS menular melalui udara 3. Kuman AIDS menular melalui pakaian 4. Kuman AIDS menular melalui serangga
Makalah ini adalah revisi yang kedua kali dari makalah asli yang pernah dibawakan pada ceramah untuk paramedikdan dokterdi PusdiklatDepkes pada pertengahan tahun 1989. Revisi yang pertama dimuat dalam beberapa majalah profesi (dokter, bidan dan ahli kesehatan masyarakat) melalui !AKMI pada pertengahan tahun 1990.

5. Kuman AIDS menular melalui kolam renang 6. Kuman AIDS menular melalui air kotor 7. Kuman AIDS menular melalui WC Umum dan sebagainya. Sebuah penelitian di kalangan mahasiswa di Jakarta menunjukkan bahwa kepecayaan terhadap salah-informasi itu masih cukup tinggi('). Tidak mengherankan jika pada mereka terdapat sikap yang lebih mencari selamat kalau ada epidemi AIDS, yaitu dengan menghindari penderita AIDS, bahkan menghindari kolam renang dan WC umum. Di pihak lain, pengetahuan para mahasiswa yang diteliti itu mengenai faktor-faktor penyebab yang sesungguhnya juga sudah cukup tinggi. Hal ini besar sek di kemungkinannya disebabkan oleh pengaruh media massa pula yang akhir-akhir ini sudah menyampaikan informasiinformasi yang lebih akurat tentang penyakit ini. Tetapi adanya pengetahuan yang benar ini temyata tidak begitu saja menghapuskan salah-informasi yang sudah terlanjur dipercaya itu. Di pihak lain, informasi yang benar ini juga tidak dengan sendirinya berpengaruh terhadap sikap para mahasiswa itu terhadap perilaku seksual oleh karena pada dasarnya sikap mereka (seperti juga sikap orang Indonesia pada umumny) tidak positif terhadap hubungan seks ekstramarital(1). Sikap yang sudah negatif itu sudah tidal; akan bertambah negatif lagi walaupun diberi informasi yang akurat tentang bahaya AIDS. Walaupun demikian, sikap yang negatif itu pada kenyataannya tidak selalu berkorelasi dengan tingkah laku nyata. Sudah lazim di Indonsia ini masyarakat hidup dalam dua dunia. Dunia yang satu adalah yang menentang perilaku yang melanggar norma-norma, dunia yang lain adalah yang memberi peluang untuk melakukan pelanggaran itu sendiri sejauh dapat disembu-

32 Cermin Dunia Kedokteran No. 75, 1992

nyikan dari mata umum. Hal ini ada kaitannya dengan ketatnya kontrol sosial dalam masyarakat kita, sementara di sisi lain arus informasi melalui berbagai media massa membanjir dengan deras dan menabrak semua norma yang sedang dipertahankan. Yang dikhawatirkan dalam hubungan dengan AIDS adalah bahwa pengetahuan yang benar tentang AIDS tidak dengan sendirinyaakan diikuti dengan tindakan positif berupa upaya konkrit mencegah AIDS. Hal ini sudah terbukti dari penelitian lain terhadap kelompok risiko tinggi (WTS, homoseks dan penderita PMS) di Jakarta dan Denpasar, dimana jumlah yang menggunakan kondom sangat rendah (WTS: 13%, Homoseks dan PMS: 3%) dibandingkan dengan kenyataan bahwa hampir semua responden mengetahui bahwapenularan PMS dapat dicegah dengan kondom(2). CARA PENULARAN AIDS Dalam ilmu kedokteran sudah diketahui bahwa meskipun sulit disembuhkan, AIDS juga bukan penyakit yang mudah menular. Media penularan AIDS yang sudah diketahui hanyalah melalui darah dan sperma. Ada beberapa pendapat yang menduga bahwa virus AIDS juga bisa menular melalui sekret vagina dan ludah, akan tetapi belum didukung oleh bukti-bukti yang cukup. Oleh karena itu sementara ini yang sudah dapat dipastikan penularan AIDS adalah melalui jalur-jalur berikut: 1. Penularan kepada janin dari ibu penderita AIDS 2. Pemindahan darah yang mengandung kuman AIDS 3. Hubungan seksual yang memungkinkan pemindahan virus dari sperma ke darah. Dari ketiga jalur itu, jalur pertama sangat kecil kemungkinannya tejadi, karena insidens penderita AIDS wanita sangat kecil (wanita : pria = 1 : 9); kalaupun diketahui seorang penderita AIDS mengandung, maka dapat dikatakan bahwa ada cukup indikasi untuk melaksanakan abortus(3). KELOMPOK RISIKO NARKOTIKA TINGGI: PENYALAHGUNA

terdapat 5.000 10.000 orang di Indonesia(4). Jumlah ini kiranya tidak akan jauh berbeda pada tahun-tahun terakhir ini mengingat kontrol yang ketat dari pemerintah terhadap penggunaan obatobatan jenis narkotika; aka!) tetapi mengingat penularan AIDS yang bisa cepat sekali (pengalaman di Thailand, peningkatan penderita AIDS terjadi dengan sangat cepat dalam lima tahun terakhir melalui kombinasi jalur penyalahgunaan narkotika dan seks. WHO, 1990), maka para penyalahguna narkotika harus dilihat sebagai kelompok risiko tingggi AIDS yang memerlukan perhatian khusus dari para petugas kesehatan, khususnya bagi mereka yang menggunakan suntilcan (walaupun di sini tidak begitu lazim). Penyalahguna narkotika yang sudah kecanduan berat dan kronis biasanya juga mengalami gangguan penyesuaian diri secara sosial dan biasanya hubungan dengan lingkungannya (keluarganya, sekolahnya, teman-temannya) terputus. Ia hanya berpedoman kepada beberapa orang tertentu yang secara langsung berkaitan dengan kecanduannya pada obat/narotika terebut. Untuk golongan ini prosedur pendidikan dan pemberian informasi sudah tidak banyak lagi manfaatnya. Cara pencegahan AIDS bagi mereka tidak dapat lagi dilepaskan dari usaha pengobatan dan perawatan yang lazim dilakukan terhadap mereka, misalnya: penghentian sama sekali kebiasaan menggunakan obat/narkotika sendiri kecuali seizin dokter dan dilakukan oleh dokter sendiri atau paramedik. Yang kiranya lebih perlu diperhatikan adalah kelompokkelompok yang secara potensial dapat berkembang menjadi penyalahguna obat/narkotika; jumlah mereka cukup besar dan seringkali sulit dibedakan dari kelompok masyarakat lainnya oleh karena perilaku mereka sehari-hari tidak selalu menunjukkan tanda-tanda kesulitan penyesuaian diri secara sosial (maladjustment). Tetapi ada beberapa ciri yang merupakan indikasi dari orang yang mempunyai kecenderungan menyalahgunakan obat, yaitu : 1. Usianya relatif masih muda (di bawah 30 tahun), karena dalam usia ini kepribadian seseorang belum cukup mapan dan masih mudah terpengaruh(4). 2. Mempunyai latar belakang kehidupan sosial yang tidak harmonis dan dia sendiri mempunyai berbagai konflik dengan lingkungannya (keluarga, sekolah, pekerjaan, teman)(4). 3. Pada dasarnya mempunyai kepribadian yang lemah, sering menghadapi kegagalan, merasa tidak dicintai, merasa rendah din , mudah berontak, mudah bosan dan tidak mempunyai kepercayaan kepada diri sendini (4). 4. Mempunyai keyakinan agama yang rendah(5). Dalam kenyataannya banyak sekali orang yang mempunyai ciri seperti di atas dan hanya sebagian kecil yang akhimya benarbenar menjadi penyalahguna obat/narkotika. Dengan demikian, usaha pencegahan penularan AIDS kepada kelompok mereka tidak akan jauh berbeda dari pencegahan di kalangan masyarakat biasa. Tetapi memang upaya pencegahan dalam arti mendidik dan memberi informasi paling efektif jika diberikan kepada kelompok masyarakat biasa.

Pemindahan darah yang mengandung virus AIDS dapat terjadi melalui transfusi darah dan melalui penggunaan jarum suntik bekas pakai yang tidak disterilkan terlebih dahulu. Penularan melalui transfusi darah dicegah dengan mengadakan pemeriksaan darah donor, sehingga hanya darah yang bebas virus AIDS saja yang dapat ditransfusikan. Sedangkan penularan melalui jarum suntik oleh dokter dan paramedik dapat diatasi dengan melaksanakan prosedur sterilisasi yang baku atau dengan menggunakan jarum suntiksekali-pakai (disposable). Dengan demikian kemungkinan kebocoran melalui jalur-jalur pemindahan darah ini secara teknis sepenuhnya bisa diatasi dan sematamata tergantung kepada sikap profesionalisme petugas-petugas kesehatan. Walaupun demikian, kemungkinan penularan AIDS melalui darah masih bisa terjadi di antara para penyalahguna obat/ narkotika. Kelompok penyalahguna obat/narkotika ini jumlahnya sangat terbatas dalam masyarakat. Menurut catatan tahun 1975

Cermin Dunia Kedokteran No. 75, 1992 33

KELOMPOK RISIKOTINGGI: PENYALAHGUNA SEKS Jalur penularan AIDS yang relatif lebih luas jangkauannya adalah melalui hubungan seks. Tetapi jalur inipun tidak seluas jalur penularan Penyakit Menular Seksual (PMS) lainnya oleh karena AIDS hanya menular jika terjadi perpindahan virus dari sperma ke darah. Jadi hanya teknik hubungan seks tertentu saja yang merupakan perilaku seksual risiko tinggi. Secara teoretis teknik hubungan seks yang paling rawan ntuk penularan AIDS jadinya adalah teknik penis-anal, oleh karena pada teknik inilah paling besar kemungkinan terjadinya perdarahan pada anus. Karena teknik ini di dunia Barat diperkirakan lebih sering dilakukan di kalangan homoseksual (pria), maka dapat dimengerti jika insidens AIDS pada kelompok ini adalah yang tertinggi. Dalam masyarakat lain, di mana teknik penis-anal ini juga sering dilakukan dalam hubungan heteroseksual, maka insidens AIDS di kalangan wanita juga diperkirakan lebih tinggi (misalnya di negara-negara Afrika Tengah) (3). Menilik jalur jalur penularan AIDS yang sangat terbatas itu, maka pada hakikatnya masyarakat Indonesia tidak perlu cemas sepanjang dapat mencegah hubungan seks berisiko tinggi pada tingkat yang serendah-rendahnya. Masalahnya sekarang, bagaimana kita menekan perilaku berisiko AIDS itu serendah mungkin sementara pengetahuan masyarakat sudah terlanjur diisi dengan informasi-informasi yang keliru tentang AIDS. Dengan adanya salah informasi ini maka masyarakat akan takut kepada faktor-faktor yang sesungguhnya tidak ada hubungannya dengan AIDS, sementara justru kurang waspada terhadap jalurjalur penularan AIDS yang sesungguhnya. Tidak seperti dalam penyalahgunaan obat/narkotika yang berkaitan dengan ciri kepribadian tertentu dan kondisi sosial tertentu, dalam hal penyalahgunaan seks (bukan penyimpangan seks), setiap orang dilahirkan dengan hasrat seksual dan bertumbuh-kembang selama dalam keadaan kesehatan yang baik. Jadi pada hakikatnya setiap individu secara potensial adalah pelaku seks. Potensi ini akan mencapai puncaknya dan membutuhkan penyaluran pada usia remaja. Selama masa seksual aktif tersebut, norma-norma masyarakat mengatur tingkah laku seksual mana yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Dalam masyarakat yang mendahulukan kepentingan individu, tidak ada pembatasan terhadap perilaku seksual sejauh tidak mengganggu kepentingan umum. Makahubungan seks ekstramarital dapatdilakukan dengan lebih leluasa dengan saw pasangan tertentu maupun bergantiganti pasangan. Dalam masyarakat yang masih lebih mengutamakan kepentingan umum apalagi yang masih mengutamakan normanorma agama, hubungan ekstramarital merupakan perbuatan yang tercela. Akan tetapi ini tidak berarti bahwa hubungan ekstramarital itu tidak ada sama sekali, karena hubungan ekstramarital tetap berlangsung walaupun tidak secara terbuka (berbagai penelitian di Indonesia menunjukkan antara 220% remaja di bawah umur 20 tahun mengaku pemah berhubungan seks; dan sebuah penelitian di Jakarta pemah mengungkapkan bahwa 2 di antara 3 pria pemah melakukan seks di luar nikah). Bahkan dalam hubungan intramaritalpun dapat terjadi pasangan ganda

dengan adanya kemungkinan perceraian dan poligami. Dengan demikian sulit dibedakan tingkat penyalahgunaan seks (seks ekstramarital) dalam masyarakat yang masih mempertahankan norma agama dengan masyarakat yang sudah lebih mengutamakan kepentingan individu. Hal ini terjadi terutama di kota-kota besar, di mana kontrol sosial sudah berkurang, sementara mediamassa menyajikan hal-hal yang merangsang hasrat seksual yang diikuti pula dengan berbagai sarana dan prasarana untuk penyalurannya. Sementara insidens perilaku seksual ekstramarital di masyarakat yang masih mentabukannya belum bisa dipastikan perbedaannya dengan di masyarakat yang lebih permisif, dalam masyarakat jenis yang pertama segala sesuatu yang berhubungan dengan seks juga ditabukan. Termasuk di antara yang ditabukan adalah pembicaraan, pemberian informasi dan pendidikan seks. Akibatnya, jalur informasi yang benar dan bersifat mendidik sulit untuk dikembangkan untuk mengimbangi jalur informasi yang salah dan menyesatkan yang justru berkembang bebas walaupun tidak legal. Salah satu contoh dari salah-informasi dalam kehidupan remaja adalah adanya anggapan bahwa masturbasi lebih berdosa dan lebih berbahaya dibandingkan dengan sanggama (yang dianggap lebih alamiah) walaupun yang terakhir ini nyata mengandung risiko PMS (Penyakit Menular Seksual) dan kehamilan. Akibat salah informasi ini banyak remaja yang memilih menyalurkan hasratnya kepada sanggama (misalnya dengan WTS) daripada bermasturbasi(6). Akibat lain dari tidak bisa berkembangnya informasi seksual yang benar adalah praktek-praktek yang tidak sesuai dengan asas kesehatan atau perencanaan keluarga. Makan terlalu banyak jenis makanan tertentu atau minum jamu-jamu tertentu yang diangap bisa memperkuat daya seksual walaupun nyatanya bisa mengganggu kesehatan, cukup banyak dilakukan orang. Sebaliknya penggunaan kondom baik untuk pencegahan penyakit maupun untuk KB enggan dilakukan orang karena ada rasa malu untuk membelinya atau dirasakan tidak enak atau di kalangan WTS karena langganannya menolak untuk memakainya(2). Jika pada suatu saat orang terkena (atau merasa terkena) PMS, maka timbul perasaan enggan ke dokter oleh karena malu. Perasaan malu ini juga disebabkan karena berlakunya norma-norma sosial yang ketat; Karena enggan ke dokter itu mereka mengobati dirinya sendiri, entah dengan minum jamu-jamu tradisional, atau membelinya ke toko-toko obat liar. Biasanya pengobatan seperti itu bukan hanya tidak menyembuhkan, tetapi juga tidak tuntas, karena orang yang bersangkutan cenderung menghentikan obatnya begitu merasa gejala sakitnya sudah hilang. Obatobatan yang diberikan oleh dokterpun (khususnya antibiotika) seringkali juga tidak dihabiskan(2). Secara teoretis hal ini mengakibatkan tumbuhnya daya resistensi yang lebih kuat pada kuman-kuman yang sesungguhnya akan diberantas itu. Walaupun semua manusia secara potensial adalah pelaku seksual, hanya sebagian saja yang merupakan kelompok risiko tinggi bagi penularan AIDS, yaitu mereka yang cenderung sering melakukan tingkahlaku seksual risiko tinggi. Sesuai dengan cara penularan AIDS maka kelompok risiko tinggi ini harus mem-

34 Cermin Dunia Kedokteran No. 75, 1992

punyai salah satu ciri di bawah ini : 1) Aktif dalam perilaku seksual. Makin aktif, makin tinggi risikonya. Golongan yang sangat aktif adalah WTS, PTS (Pria Tuna Susila) dan pencari kepuasan seksual ,(pelanggan WTS atau PTS). Ditinjau dari usianya yang mempunyai kemungkinan tertinggi untuk berperilaku seksual aktif adalah orang-orang berusia remaja ke atas. 2) Kaum biseksual maupun homoseksual. Makin sering dia melakukan praktek homoseksual, makin tinggi risikonya. 3) Mereka yang suka/pennah melakukan hubungan seks dengan orang asing yang berasal dari daerah-daerah di mana insidens AIDS tinggi. Mereka yang tinggal di daerah turisme atau yang senang melayani turis mempunyai peluang yang lebih besar untuk tergolong dalam jenis ini. Seperti halnya kelompok risiko tinggi dari jenis penyalahguna obat/narkotika, kelompok risiko tinggi seksual inipun tidak terlalu mudah untuk dipengaruhi secara langsung. Pada dasarnya sebagian besar dari mereka memang sudah tidak peduli lagi terhadap norma-norma yang mengatur kegiatan seksual (walaupun dalam bidang lain bisa saja mereka tetap taat). Mereka relatif tertutup dan cenderung untuk mencari penyelesaian sendiri. Akan tetapi berbeda dari para penyalahguna obat/narkotika yang umumnya mengalami keruntuhan seluruh kepribadiannya, para penyalahguna seksual ini hanya mengalami masalah di bidang seks saja. Dalam bidang-bidang lainnya mereka masih tetap orang-orang yang mampu menyesuaikan dirinya secara sosial dan masih punya tanggung jawab sosial. Oleh karena itu kepada mereka lebih bisa diberikan informasi yang benar mengenai AIDS dan cara pencegahannya. PENCEGAHAN AIDS Sesuai dengan sifat dan cara penularan AIDS itu sendiri, maka pencegahan AIDS relatif mudah, yaitu menghindari pemakaian jarum suntik secara tidak semestinya dan menghindari hubungan seks yang berisiko tinggi. Pencegahan penularan AIDS melalui jarum suntik di jalur profesi kedokteran dapat dilaksanakan dengan peningkatan profesionalisme setiap dokter dan paramedik. Sedangkan pencegahan AIDS melalui jalur penyalahgunaan narkotika cukup dilaksanakan melalui program penanggulangan narkotika yang di Indonsia sudah dikoordinasikan langsung oleh Badan Koordinasi Penanggulangan Narkotika (Bakorlantik). Pencegahan AIDS melalui jalur seks, pada hakikatnya juga tidak sukar, karena asasnya tidak berbeda dengan ajaran norma agama yang diyakini masyarakat, yaitu bahwa seks yang aman da AIDS adalah seks dengan pasangan tunggal yang setia (seks monogami). Akan tetapi pengawasan dan pengendalian bidang seks ini jauh lebih sulitdaripadadalam bidang penyalahgunaan narkotika. Karena itu lebih banyak diperlukan penyuluhan agar orang tetap melakukan seks yang sehat walaupun menyimpang dari asas monogami tersebut (memakai kondom, hanya berhubungan dengan orang yang diketahui kesehatannya, memeriksakan diri

ke dokter, mengikuti nasihat dokter dan sebagainya). Usaha itu bukan usaha khusus untuk AIDS, melainkan bisa juga ditujukan untuk setiap jenis PMS yang lain, sebab setiap pencegahan PMS dengan sendirinya akan mencegah AIDS. Dalam kampanye anti PMS ini mungkin diperlukan bantuan berbagai tenaga ahli: psikolog, sosial, ahli komunikasi massa, ahli sosiologi, antropolog, ahli kesehatan masyarakat, para pendidik, ulama dan para ahli di bidang ilmu kedokteran sendiri. Adapun sasarannya adalah setiap anggota masyarakat yang diduga secara seksual telah aktif (termasuk remaja), khususnya yang tergolong kelompok-kelompok risiko tinggi. PENANGANAN TERHADAP KASUS Belum banyak yang diketahui tentang dampak konseling atau psikoterapi terhadap penderita AIDS (full blown AIDS). Di dalam kongresAmericanPsychologicalAssociation(1989) masih diperdebatkan apakah bantuan psikologik dan/atau psikiatrik bisa menunda kematian penderita. Akan tetapi di Amerika Serikat sendiri bantuan psikologik dan/atau psikiatrik selalu diberikan dengan tujuan suportif yaitu mempersiapkan mental penderita dan keluarganya untuk menghadapi perkembangan-perkembangan yang akan terjadi. Dengan demikian penderita dan keluarganya dikurangi bebannya dalam menghadapi situasisituasi yang tidak terduga. Teknik ini sebetulnya jugabukan khas untuk penderita AIDS saja melainkan berlaku umum untuk penderita penyakit-penyakit terminal lainnya. Di Indonsia, jumlah psikolog klinik (psikolog yang khusus menangani penderita gangguan jiwa) masih sangat terbatas, apalagi yang berpengalaman menangani penyakit-penyakit terminal. Karena itu konseling atau psikoterapi di atas akan lebih mudah diperoleh dari psikiater. Dengan adanya kebiasaan kehidupan beragama yang kuat, pada beberapa penderita, mungkin fungsi itu lebih tepat diisi oleh rohaniwan (sesuai dengan agama penderita). Yang masih menjadi masalah dan memerlukan penelitian dan pengamatan lebih lanjut adalah penanganan kasus-kasus pengidap AIDS (seropositif). Yang sudah jelas dan kasus ini hanyalah bahwa mereka harus berhati-hati sekali dalam melakukan hubungan seks selanjutnya dan psikolog/psikiater harus berusaha menanamkan rasa tanggung jawab sosial yang besar pada diri penderita sehingga ia mau melaksanakan seks yang sehat. Yang harus dihindari adalah perasaan malu, putus asa dan ingin membalas dendam kepada setiap orang yang melalukan hubungan seks dengan dirinya. Yang menyulitkan dalam kasus seropositif ini adalah masa depan yang belum jelas. Ada teori yang berpendapat bahwa dalam waktu 35 tahun mereka juga akan menjadifull blown, tetapi adajuga yang mengatakan bahwa hal itu belum tentu akan terjadi. Karena sifatnya yang belum tentu itu, maka agak sukar buat psikolog/psikiater dalam menetapkan arah konseling/psikoterapi.
KEPUSTAKAAN 1. Dahsyat dkk. Hasil penelitian kepercayaan dan sikap terhadap AIDS di kalangan mahasiswa dan homoseks di Jakarta. Makalah kepaniteraan-siswa

Cermin Dunia Kedokteran No. 75, 1992 35

2. 3.

pada Jurusan Psikologi Sosial, Fakultas Psikologi UI (tidak dipublikaskan). 1988. SarlitoWirawanSarwonodkk.Perilakuseksualkelompokrisikotinggi AIDS di Jakarta dan Denpasar, lporan penelitian proyek Sahabat Remaja (Badan Litbang Depkes/US AIDS, 1989. Loedin AA. Masalah dan Kebijaksanaan Penanggulangan AIDS di Indonesia. Makalah dalam seminar sehari Penyakit AIDS dan Tugas Penggembalaan Gerejawi, 25 Mei 1988.

4. 5. 6. 7.

Danny I Yatim, Irwanto (eds.). Kepribadian, Keluarga dan Narkotika, Tinjauan Sosial-Psikologis, Arcan, Jakarta, 1986. Eiseman S. dkk. (eds). Drug Abuse: Foundation for a Psychosocial Approach, Haywood Publishing & Co., NY. 1984. Sarlito Wirawan Sarwano. Baseline Survey Perilaku Seksual Remaja di Medan, Yogyakarta, Surabaya dan Kupang. Laporan Penelitian Proyek Sahabat Remaja (UNFPA/BKKBN) : Proyek INS 09/86), 1986. WHO. Workshop on Behavioural Aspects of AIDS, Bangkok, Januari 1990

36 Cermin Dunia Kedokteran No. 75, 1992

Reaksi Psikologis akibat HIV Positif pada Homoseks Asimptomatik di Australia


Imran Lubis Pusat Penelitian Penyakit Menular, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan R.I., Jakarta

PENDAHULUAN Pada taraf permulaan, infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV), penyebab AIDS, tidak akan mengakibatkan suatu gejala klinik apapun. Orang tersebut masih tampak sehat dan termasuk dalam kategori asimptomatik. Penyakit hanya akan diketahui bila dilakukan suatu pemeriksaan laboratoriurn yang menunjukkan hasil HIV positif. Penderita ini disebut sebagai asimptomatikHIV positif. Pada umumnya lebih dari setengah dari penderita HIV positif akan sampai ke puncak penyakit AIDS dengan gejala klinik berat dan akhirnya meninggal. Sampai sekarang masih belum ditemukan cara penyembuhan (cure) dan jenis vaksin pencegah penyakit AIDS, sehingga penyakit AIDS/HIV juga membawa dampak sosial dan psikologis yang hebat padapenderita maupun masyarakat. Reaksi psikologis penderita HIV positif asimptomatik maupun pada penderita AIDS full blown hampir sama dan mengalami suatu tahapan proses tertentu. Penderita dapat mengalami suatu penyakit psikologis (psychological morbidity) misalnya depresi, frustrasi atau kematian psikologis (psychological mortality) seperti misalnya bunuh diri. Dampak psikologis ini dapat bermanifestasi lebih berat dari gejala klinik AIDS itu sendiri atau memperberatgejala AIDS yang sudah ada. Penyakit ini dikenal dapat menyerang sistem saraf pusat, dan bila ditambah dengan dampak psikologis tersebut maka penderita dapat mengalami kelainan neuropsikiatri. Di negara Barat penderita infeksi HIV terbanyak pada homoseks, biseksual dan pekerja seks (sex worker). Mereka ini sudah merupakan suatu kelompok minoritas dengan segala permasalahannya di masyarakat. Suatu pengamatan reaksi psikologis pada penderita HIV positif pada asimptomatik homoseks di Australia telah dilakukan oleh Michael W. Ross, Wendy E.M. Teble dan Danielle Viliunas. Temuan mereka cukup penting

untuk dapat memahami masalah psikologis yang dihadapi khususnya oleh homoseks dan dapat dipergunakan sebagai bahan pengarahan usaha konseling di kemudian hari. Tahapan reaksi psikologis penderita dengan HIV positip pernah dikemukakan oleh Kubler-Ross yang menyamakannya dengan penderita penyakit kematian misalnya kanker. Tahap reaksi psikologis terhadap kemaiian dibagi menjadi lima yaitu: Denial, Isolation, Anger, Bargaining, Depression dan Acceptance. Pengalaman di Australia terhadap asimptomatik HIV positif homoseks ternyata berbeda dengan pola Kubler-Ross. Karena infeksi HIV berbeda dengan penyakit kematian dalam hal : 1) Infeksi HIV masih dianggap tidak selalu menyebabkan kematian. 2) Biasanya penderita sudah mendapat tekanan (stigma) sosial sebagai suatu golongan minoritas yaitu homoseks, pecandu obat narkotika, biseksual, pekerja seks dan belum ada kepastian apakah bisa diobati dan apakah vaksin akan segera diciptakan. 3) Tekanan tadi diperberat lagi dengan pemberitaan media massa yang memperbesar masalah diskriminasi pada penderita AIDS. Kubler-Ross juga melihat perbedaan antara penderita HIV dan penyakit kematian lainnya berdasarkan adanya depresi karena antar mereka tidak dapat saling berbicara menukar pengalaman dan hukuman yang telah dijatuhkan oleh mass media. Selain itu keadaan homoseksualitas yang belum diterima oleh masyarakat dapat mengakibatkan juga perasaan homophobia internal pada diri mereka sendiri. Stadium reaksi psikologis penderita HIV pada homoseks lebih cenderung mengikuti stadium psikologis seseorang untuk menjadi homoseks oleh Cass model. Cass model menunjukkan

Cermin Dunia Kedokteran No. 75, 1992 37

pola : Identity Confusion, Identity Comparison, Identity Tolerance, Identity Acceptance, Identity Pride, Identity Synthesis. Reaksi psikologis pada HIV positif asimptomatik homoseks mengikuti reaksi self-identification pada waktu mereka menjadi seorang homoseks itu sendiri. REAKSI PSIKOLOGIS PADA HIV POSITIF ASIMPTOMATIK HOMOSEKS Reaksi psikologis pada HIV positif asimptomatik homoseks menurut temuan Michael W Ross dkk, mengikuti suatu urutan pola tertentu yang dapat dialami secara berbeda oleh setiap individu. Stadium 1 & 2. Shock, Denial dan Anger Stadium ini timbul sebagai akibat dari pengaruh gencarnya kampanye AIDS yang menyebabkan individu tersebut tidak melanjutkan pengobatannya. Orang tersebut akan gelisah, menyangkal, gugup dan menyalahkan hasil diagnosis. Penyangkalan sebenarnya merupakan suatu mekanisme pelindung terhadap trauma psikologis yang dideritanya. Secara tidak sadar proses psikologis akan terus berkembang menjadi rasa bersalah dirinya telah terinfeksi,marah terhadap dirinya atau orang yang menularnya, tidak berdaya, dan hilang kontrol dan akal sehatnya. Tekanan ini akan diperberat lagi mengingat mereka adalah golongan minoritas dan merasa bahwa HIV adalah akibat hubungan seks yang mereka lakukan tanpa kendali. Contoh kasus : Seorang homoseks berumur 34 tahun dan diberitahu bahwa dirinya temyata HIV positif. la yakin bahwa hasil pemeriksaan tersebut salah, mengancam petugas kesehatan yang memberitahukannya, dan menolak pemeriksaan lebih lanjut. la pergi dengan marah dan tidak mau berhubungan lagi. Seminggu kemudian ia minta maaf dengan alasan bahwa ia marah karena merasadikucilkan untukkeduakalinyadi samping sudah men jadi homoseks. Stadium 3. Withdrawal dan Depresi Pada saat ini pada penderita timbul kesadaran bahwa mereka akan diisolasi secara seksual dan sosial. Mulai saat ini mereka merasa akan lebih dikenal oleh masyarakat sebagai seorang homoseks atau pecandu obat narkotika atau pekerja seks yang sebenarnya tidak ingin diketahui masyarakat. Mereka dalam keadaan tidak menentu dalam menghadapi reaksi orang lain terhadap dirinya. Dasar perilaku ini karena merekatidak mampu membicarakan keadaan penyakitnya dengan orang lain dan takut menulari orang lain (Kubler-Ross, 1987). Contoh kasus : Seorang homoseks umur 29 tahun dengan perilaku pendiam, mengucilkan din, tertutup dan tampak ia sudah menerima bahwa dirinya HIV positif. Ia merasa ketakutan kalau orang lain juga tahu, dan kesal mengingat stigma yang akan dihadapinya kelak. Secara klinis orang ini mengalami depresi dan takut akan kehijangan pekerjaannya. Pada keadaan withdrawal yang berat mereka memikirkan

beratnya hukuman yang akan dideritanya kelak, yang menjurus ke homofobia. Sullivan (1972) menyatakan bahwa keadaan ini tergantung dari millieu dan structure dari homoseks. Bila pemberi konseling itu sendiri sudah anti terhadap homoseks maka mereka akan melakukan reaksi yang lebih keras.Dalam hal ini sulit dibedakan apakah ini merupakan gejala neurologis AIDS atau gejala psikologis. Beberapa penderita penyakit AIDS menunjukkan gejala pertama psikiatrik. Bila sulit membedakannya maka penderita harus dikirim ke ahli neuropsikiatri. Gejala depresi berat biasanya timbul akibat infeksi oportunistik pada susunan saraf pusat atau HIV encephalopathy. Hal ini berbahaya dan harus dianggap sebagai kelainan organik dulu, bila negatif baru dipikirkan suatu kelainan psikologis yang berat.. Stadium 4. Bargaining Stadium ini dapat dikenal dengan mudah dan mengikuti Cass model dalam menerangkan proses terjadinya formasi homoseksualitas, yang didasari atas interpersonal security dan self-esteem. Stadium ini dapat secara jelas dibedakan menjadi 4 tahap yaitu : Tahap 4 (a); Coming out to significant others Penderita sudah mulai memilih siapa yang akan dapat menerima keadaan dirinya, kemudian ia akan menceritakan keadaannya. Begitu juga ia akan mulai mengungkapkan keadaan dirinya sebagai homoseks, pecandu obat narkotik atau pekerja seks. Orang lain yang dipilih bisa keluarganya, atau orang yang dipercaya lainnya. Ini merupakan proses bagi dirinya agar dapat diterima di suatu masyarakat tertentu dan mendapatkan kasih sayang untuk kemudian dapat membagi beban mentalnya ke orang lain tersebut. Tanggapan orang lain tergantung dari stress yang akan mereka terima, yang biasanya berupa rejeksi dan konfrontasi. Bila orang lain ini tidak menyadari stigma penderita yang telah dideritanya selama ini, maka reaksi penderita akan menjadi lebih negatif. Contoh kasus : Seorang homoseks umur 35 tahun telah tahu bahwa dirinya HIV positif sebulan yang lalu, dan telah diberi tahu reaksi apa saja bila ia menceritakan hal itu pada orang lain, ikut konseling beberapakali. Reaksipsikologis padadirinyamengatakanbahwa ia harus mengatakan hal ini pada orang lain walaupun ia juga takut akan akibatnya. Ternyata orang tersebut masih diterima oleh kekasihnya, dengan pengertian, kesabaran dan dukungan yang memang diperlukannya. Tahap 4 (b); Looking for others Suatu proses mencari teman senasib yang sama-sama dikucilkan oleh masyarakat, seperti yang dialaminya dulu pada waktu akan menjadi seorang homoseks. Secara psikologis ia mencari dukungan secara sosial dan psikologis dari teman senasib. Masalah yang timbul adalah ia dapat kehilangan identitas aslinya sebagai manusia biasa, sekarang ia akan merasa bahwa dirinya adalah menjadi seorang yang cacad dengan identitas HIV positif. Di samping masalah yang dihadapi tadi, sebenarnya pen-

derita sudah mulai mempunyai suatu harapan untuk mengatasi situasi terjepitnya. Contoh Kasus : Seorang homoseks umur 32 tahun setelah menyendiri selama 8 bulan mulai ingin bertemu dengan teman senasibnya. Dengan rasa was-was ia mencoba kemampuannya untuk memperkenalkan dirinya pada satu dua orang senasibnya dulu. Setelah berhasil ia berani menghadapi secara langsung ke banyak orang. Ternyata ia merasa bahwa dirinya diperlukan oleh orang lain dan mendapatbantuan yang diperlukannya. Akhirnyatimbulkepercayaan pada dirinya dan menjadi aktif dalam kelompoknya. Tahap 4 (c); Special Status Tahap ini pada beberapa orang dengan mental yang kuat akan langsung dicapai tanpa melampaui tahap-tahap sebelumnya. Tahap dari perasaan tidak mempunyai identitas diri menjadi suatu individu yang spesial dan ada orang lain yang membutuhkannya. Masalah yang dapat timbul adalah bila timbul reaksi identitas yang berlebihan (over identificaton) seperti misalnya bahwa mereka menganggap dirinya sebagai orang spesial, merupakan bagian lain dari masyarakat, timbul istilah "mereka dan kita", merasa bahwa proses penyakitnya sudah berhenti, dan merasa bahwa kehidupan mereka akan sangat baik jadinya. Contoh kasus : Seorang homoseks umur 24 tahun yang selalu ingin melakukan hal penting tetapi tidak mempunyai tujuan tertentu. Ia menyangkal bahwa dengan HIV positif sesuatu yang buruk telah menimpa dirinya, selalu merasa spesial. Ia sangat ingin membantu gerakan pencegahan AIDS, dan tidak malu-malu menceritakan bahwa dirinya HIV positif. Keadaan ini akan lebih meningkatkan self-esteem dan kepercayaan dirinya walaupun kadangkala ia ingin mengetahui apakah seseorang HIV positif atau tidak. Tahap 4 (d); Altruistic Behaviour Tahap ini sebagai akibat proses psikologis pada tahap 4 (a) dan 4 (b) yang dilanjutkan dengan perasaan senasib dan sepenanggungan dalam satu kelompok yang mendapat stigmatisasi itu. Dengan pikiran ingin berteman dengan orang senasib maka timbal perasaan menyangkal addnya kelompok yang terkucil dan stigma itu sendiri. Keinginan untuk segera go public akan menyebabkan perilaku yang berlebihan dan bersifat mentah. Mereka yang masuk dalam tahap ini sudah mempertimbangkan antara anti dari tujuan hidup mereka yang jauh lebih penting dengan hambatan yang dihadapi sekarang (HIV positif). Ella timbul suatu gejala penyakit AIDS maka penderita pada tahap ini dapat menjadi mental' kembali, mundur ke tahap sebelumnya atau maju ke tahap ke lima. Contoh kasus : Seorang homoseks umur 39 tahun yang semula sangat pendiam dan tidak dapat berhubungan dengan orang lain. Setelah beberapa bulan dalam kelompok konseling ia bahkan menjadi frustrasi atas masalah yang dihadapinya maupun yang dihadapi orang lain. Keadaan ini ditemukan juga pada beberapa orang lainnya. la ingin langsung ke masyarakat dan menunjukkan

bahwa walaupun dirinya HIV positif tetapi bukan berarti bahwa masa depannya selesai. Ia ingin bekerja sebagai penghubung penderita HIV lainnya, menulis keadaannya secara terbuka di koran, dan secara terbuka mengajak penderita HIV positif lainnya bergabung dengannya, dan secara aktif mencari dana di masyarakat untuk memberantas AIDS. Stadium 5. Acceptance Menurut Kubler-Ross dan Cass akhir dari proses psikologis kelompok ini adalah rasa menerima nasib. Secara logis maka proses psikologis akan menerima bahwa HIV positif adalah merupakan sebahagian dari identitas diri seseorang. Mungkin pada orang dengan bentuk penyakit AIDS lain sebagai akibat suatu infeksi oportunistik, akan mempunyai identitas yang berbeda-beda. Keadaan ini merupakan suatu keadaan seseorang yang hidup dengan penyakitnya dan bukan merupakan suatu akibat dari penyakitnya itu. Masalah yang timbul setelah stadium ini masih belum diketahui, apakah orang tersebut akan tetap masa bodoh terhadap penularan pada orang lain atau menjadi apatis terhadap masalah kesehatan pada umumnya. Contoh Kasus : Seorang homoseks umur 61 tahun yang telah mengalami semua proses psikologis di atas, untuk pertama kalinya merasa aman dan bahagia dalam hidupnya. Ia merasa sebagai manusia dengan HIV positif. Sekarang ini dapat menolong orang lain yang senasib sekaligus ini merupakan cara hidupnya yang baru. Ia menasihati orang lain dengan HIV positif untuk tidak membuang waktu dan tenaga hanya untuk merasa khawatir saja tapi gunakanlah untuk menerima bahwa status HIV positifnya tidak akan berubah lagi. Perbuatannya ini mungkin dibantu juga oleh penerimaan dari partnernya dan karena keadaan umurnya yang lanjut. KESIMPULAN Proses psikologis di atas telah diobservasi pada seratus orang di Australia. Setiap individu akan mempunyai tahapan tersendiri, dapatyang urutatau melompat, maju kemudian mundur kembali. Bila gejala klinik timbul pada kasus AIDS maka orang tersebut dapat kembali ke tahap semula atau mengalami proses psikologis lain sesuai dengan penderitaannya. Model ini masih belum sempuma mengingat bahwa pengukuran proses psikologis yang dialami oleh kaum homoseks, biseksual dan WTS masih belum dapat diukur sampai sekarang.
KEPUSTAKAAN 1. 2. 3. Ross MW, Teble WEM, Viliunas D (1989), Staging of psychological reaction to HIV infection in asymptomatic homosexual men. J Psychol Human Sex 1989; 12 (1) : 93 -104. Cass VC. Homosexual identity formation: A theoretical model, J. Homo 1979; 4 : 219-235. DepartemenKesehatanRL AIDS Petunjukuntuk petugaskesehatan. Ditjen PPM & PLP. Jakarta 1989. WHOSEARODOC:SEA/CD/93.Acquired Immunodificiepcy Syndrome. Report of an Intercountry Consultation Meeting, New Delhi, 30-31 Decetnber 1985.

4.

Cermin Dunia Kedokteran No. 75, 1992 39

Petunjuk Pencegahan Penularan HIV (Human Immunodeficiency Virus) untuk Petugas Kesehatan
Dr Rachmat Juwono Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Tim Medik AIDS RSUD Dr Soetomo, Surabaya

PENDAHULUAN Usaha pencegahan penularan adalah tindakan penting path perawatan. Pencegahan penularan HIV pada hakekatnya sama dengan pencegahan penularan virus hepatitis B. Penularan dari penderita ke perawat dengan tusukan jarum suntik atau melalui paparan selaput lendir dengan darah sangat jarang terjadi; penularan dapat terjadi dari satu penderita ke lainnya, misalnya karena penggunaan jarum suntik yang tidak steril. Pencegahan penularan di saran kesehatan terdiri dari : Tindakan pengamanan terhadap penularan melalui darah atau cairan tubuh penderita. Tindakan pengamanan terhadap penularan melalui jarum suntik atau jarum lain (biopsi, akupunktur, tato, tindik). Sterilisasi dan disinfeksi. TINDAKAN PENGAMANAN Cuci tangan Tangan dan bagian lain dark tubuh yang terkontaminasi darah atau bagian tubuh lain harus dicuci bersih dengan air dan sabun. Tangan dicuci segera setelah melepas sarung tangan. Sarung tangan Perawat harus memakai sarung tangan bila menangani darah dan cairan tubuh. Bila kekurangan sarung tangan dapat digunakan kantong plastik. Bila sarung tangan tidak sekali pakai (disposable), sarung tangan bekas pakai harus dicuci dan didisinfeksi atau disterilkan setelah dipakai. Baju pelindung Baju pelindung (skort) harus dipakai bila merawat penderita. Kaca mata pelindung dan masker Bila ada kemungkinan pencipratan darah, misalnya waktu

operasi atau persalinan, mata dilindungi dengan kaca mata (kaca mata khusus atau kaca mata biasa), hidung dan mulut ditutup masker. Jarum suntik atau benda tajam lain Jarum suntik dan instrumen tajam harus digunakan secara hati-hati, supaya perawat tidak tertusuk atau terluka. Jarum suntik tidak boleh dimasukkan kembali ke dalam tutupnya. Jarum suntik dan alat suntik bekas pakai dimasukkan ke dalam tempat yang tidak bisa ditembus jarum, misalnya kaleng atau wadah plastik kecil dan kern udian dibakar. Resusitasi mulut ke mulut Walaupun HIV dapat ditearukan dalam air liur, tidak ada bukti bahwa air liur dapat menularkan HIV. Meskipun demikian, untuk menghindari paparan HIV, sebaiknya digunakan alat-alat resusitasi. Alat-alat tersebut harus dicuci bersih dan didisinfeksi setelah digunakan. Isolasi Isolasi atas penderita dengan infeksi HIV tidak perlu, kecuali bila penderita juga menderita penyakit infeksi lain yang memerlukan isolasi, misalnya tbc paru, demam tifoid dan lain-lain. Pencegahan penularan melalui suntikan dan jarum-jarm lain, misalnya jarum biopsi, akupunktur, tato, tindik. Suntikan dibatasi sampai seperlunya. Pakailah jarum dan alat suntik sekali pakai (disposable) untuk setiap suntikan. Alat-alat kedokteran yang dipakai ulang harus dicuci dan disterilkan atau didisinfeksi. Pencegahan penularan melalui spesimen laboratorium Perawat harus selalu menggunakan sarung tangan bila mengambil darah guna pemeriksaan laboratorium. Tangan harus dicuci dengan air dan sabun, segera setelah me-

40 Cermin Dunia Kedokteran No. 75, 1992

nangani spesimen. Spesimen dimasukkan ke dalam tempt yang tidak bocor. Diusahakan agar spesimen tidak mengotori bagian luar tempat spesimen. Bila spesimen dikirim Ice tempat lain, tempat spesimen sebaiknya dari plastik yang tidak bisa pecah. Pencegahan penularan pada tindakan invasif Sarung tangan dan masker dipakai untuk semua tindakan invasif. Kacamata dipakai untuk tindakan yang dapat menimbulkan pencipratan darah atau cairan tubuh. Baju pelindung dipakai bila ada kemungkinan pencipratan darah. Bidan yang menolong persalinan harus memakai sarung tangan dan baju pelindung bila menangani placenta dan bayi yang baru dilahirkan. Bila sarung tangan robek waktu dipakai, atau tertusuk jarum atau teriris pisau, sarung tangan diganti setelah tangan dicuci dengan air dan sabun. Jarum atau slat tajam yang menyebabkan kecelakaan ini harus diganti. Pencucian bahan tenun Bahan tenun (sprei dan lain-lain) yang kotor dimasukkan kantong plastik dengan warm khusus dan dikirim ke tempat pencucian. Bahan tenun ini dicuci dengan air panas paling rendah 71C selama 25 menit dalam mesin cuci. Bila digunakan air dengan stihu di bawah 7IC,perlu ditambahkan disinfektan, misalnya Natrium hipoklorit 0,5%. Waktu menangani bahan tenun yang kotor, perawat harus memakai sarung tangan dan baju pelindung. Membersihkan tumpahan darah dan cairan tubuh Tumpahan darah dan cairan tubuh dianggap menular dan dibersihkan segera. Pakailah sarung tangan dan baju pelindung. Bersihkan tumpahan dengan kertas tissue. Buang tissue ke dalam kantong plastik. Tuangkan Natrium hipoklorit 0,5% di atas tempat tumpahan dan bersihkan setelah 30 menit. Cara lain : Kapas dibasahi dengan Natrium hipoklorit 0,5%. Hapus tumpahan darah, ulang beberapa kali sampai bersih. Buang kapas tersebut ke dalam kantong plastik. Disinfeksi dan sterilisasi Disinfektan yang menginaktifkan HIV : alkohol lisol3% formalin 1%, untuk jaringan biopsi 10% glutaraldehid 2% (Cidex) natrium hipoklorit 0,5% (larutan 1:10 dari konsentrasi 5,25% pemutih pakaian Chlorox atau Bayclin) Pembuangan sampah Bahan cair, seperti darah, urine dan lain-lain dibuang dalam saluran ke septic tank.

Sterillsasi dengan pemanasan CARA Autoklaf (Uap dengan tekanan tinggi) 121 136 134 121 140 160 170 100 SUHUWAKTU 15 merit 10 merit 3,5 merit 16 jam 3 jam 2 jam 1 jam 10-30 menit

Oven udara kering

Merebus (air mendidih)

Sampah padat, seperti perban, pembalut wanita dimasukkan ke dalam kantong plastik dengan warna khusus dan dibakar dalam insinerator. Penanganan jenazah Penanganan jenazah sama seperti merawat penderita.

Risiko penularan bagi petugas kesehatan Risiko penularan HIV bagi petugas kesehatan setelah tertusuk jarum suntik bekas pakai kurang dari 1%. Selain karena tertusuk jarum, penularan juga dapat terjadi karenkontaklangsung dengan darah pada lukakulitatau selaput lendir mulut, hidung dan mata. Tidak ada risiko penularan melalui kulit utuh. Petunjuk pencegahan infeksi HIV sangat mengurangi risiko penularan, bila ditaati dengan ketat.

Cermin Dunia Kedokteran No. 75, 1992 41

Bila seorang petugas kesehatan terpapar darah atau cairan tubuh secara parenteral (melalui tusukan jarum atau luka irisan), atau tercipratpada selaput lendir mulut, hidung atau mata, tempat paparan tersebut dicuci dengan air (dan sabun). Luka dibiarkan berdarah beberapa saat, kemudian dirawat seperti biasanya. Kejadian tersebut harus segera dilaporkan dokter dan dirahasiakan.
KEPUSTAKAAN 1. 2. 3. 4. AIDS Task Force (Australia). Infection control guidelines. AIDS and related conditions, 1988. Becker CE, Cone JE, Gerberding J. Occupational infection with human immunodeficiency virus (HVI). Risk and risk reduction. Ann. Intern. Med. 1989; I10 : 653-6. CDC : Recommendations of prevention of HIV transmission in health care settings. MMWR 1987; 36 (2S), August 21. CDC: Recommendations for preventing transmission of infection with human T-Iymphotropic virus type IIUlymphadenopathy-associated virus

during invasive procedures. MMWR 1986; 35 : 221-3. Conte JE. Infection with human immunodeficiency virus in the hospital. Ann. Intern. Med. 1986; 105 : 730. 6. Gerberding IL. Occupational health issues for providers of care to patients with HIV infection. In: The Medical Manager of AIDS. Sande MA, Volberding PA. (Ed.), Philadelphia: WB Saunders Co. 1988. pp 55-63. 7. Hadley WK. Infection of the health care worker by HIV .and other blood borne vintsses: Risk, protection and education. Am. J. Hosp. Pharm. 1989; 46 (Suppl. 3) : S4-S7. 8. Henderson DK, Saah AJ, Zak BJ et al. Risk of nosocomial infection with Human T-cell lymphotropic virus type III/lymphadenopathy-associated virus in a large cohort of intensively exposed health cam workers. Ann. Intern. Med. 1986; 104: 644. 9. Mc Evoy M, Porter K, Mortimer P, Simmons N, Shanson D. Prospective study of clinical, laboratory and auxillary.staff with accidental exposures of blood or body fluids from patients infected with HIV. BMJ 1987; 294 : 1595-7. 10. MC Mahon K, Sutterer MG. Safety precautions and hospital practices in dealing with seropositive individuals. In: AIDS. Etiology, diagnosis, treatment and prevention. Ed. DeVita VT, Hellman S, Rosenberg SA (eds.), Philadelphia: JB Lippincou Co. 1988, pp. 397-420. 5.

42 Cermin Dunia Kedokteran No. 75, 1992

Program AIDS di Australia Suatu Studi Komparatif


lmran Lubis Pusat Penelitian Penyakit Menular, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan R.I., Jakarta

PENDAHULUAN Australia sebagai suatu negara yang berdekatan dengan Indonesia,selama ini telah melaporkan 2.800 kasus AIDS (60% adalah laki-laki), dan 15.000 HIV positif. Usaha pencegahan penyakit AIDS di negara ini dinyatakan yang terbaik dan telah berhasil,karena prevalensi HIV pada homoseks dan biseks menurun, meskipun pada IVDU (Intravenous Drug User) masih tetap. Tertarik akan hal ini maka kami telah dikirim oleh IAKMI Ratan Ahli Kesehatan Masyarakat) selama 3 minggu ke negara Kangguru ini untuk mempelajari upaya penanggulangan AIDS yang telah mereka kerjakan selama ini. Pengalaman pertama kami dapatkan dari melihat The Sydney Gay and Lesbian Mardi Grass yang setiap tahun selalu diselenggarakan pada tanggal 16 Februari. Parade terdiri dari iring-iringan kendaraan hias, drumband, barisan kelompok gay dan lesbian yang berjalan sambil menari dengan meriah selama 3 jam dan menarik sekali untuk disimak. Pala saw sisi kami melihat para gay dan lesbian berpesta pora disko di jalanan, menyatu dengan organisasi masyarakat dah pemerintah yang membantu kaum ini menanggulangi AIDS. Pada sisi lainnya terasa bahwa kelompok kecil masyarakat ini tampak sedang menghadapi suatu masalah yaitu penyakit AIDS yang serius sehingga penonton mau tidak mau ikut berfikir sejenak. Kami cukup kaget melihat ada peserta pawai dari Thailand, Jepang dan Indonesia (Bali) yang tentunya diperagakan oleh orang Australia. Kesan kemudian timbul bahwa penyakit AIDS ini bukan saja masalah di Australia tetapi sudah menjadi masalah bagi negara di sekitarnya. Peserta pawai saling memakai baju yang .aneh-aneh seperti misalnya tampak pada gambar (Gambar 1,2).

Gambar 1

Cermin Dunia Kedokteran No. 75, 1992 43

STRUKTUR ORANISASI PENANGGULANGAN AIDS DI AUSTRALIA, 1991

Gambar 2

Kami ingat bahwa sebagian besar kaum gay di Indonesia masih sangat tertutup, sebagian waria sudah mulai terbuka. Identitas diri sebagai gay atau waria masih belum sepenuhnya diterima oleh masyarakat kita. Sehingga pada umumnya mereka hanya dapat melakukan kontak sosial di dalam kelompoknya saja. Proses psikologis sebagai akibat keadaan tersebut dapat berupa frustrasi, depresi bahkan marah. Hubungan dengan kelompok di luar mereka menjadi lebih sulit karena perilaku mereka mengarah ke penolakan (rejection), yang menimbulkan istilah "kita dan mereka". Proses psikologis ini bila menjadi parah dapat berkembang menjadi homophobia baik bagi orang luar maupun dirinya yang secara ekstrem dapat cenderung ke perbuatan bunuh diri. Keesokan harinya kami mulai mengunjungi satu persatu berbagai macam organisasi masyarakat maupun pemerintah. Secara garis besar, organisasi penanggulangan AIDS di Australia dapat dilihat pada bagan dibawah ini. Dari pemerintah pusat penanganan AIDS dibagi dua yaitu melalui AIDAB dan melalui pemerintah negara bagian (State dan Territory). Melalui AIDAB disalurkan bantuan ke organisasi masyarakat seperti ACON (AIDS Council of New South Wales), DRIC (Drug Referral and Information Centre), FPA

(FamilyPlanningAssociation), APHA(AustralianPublicHealth Association), AFAO (Austraian Federation of AIDS Organization), Universitas dan lain-lain. Organisasi masyarakat ini yang akan melaksanakan program penanggulangan AIDS pada keIompoknya. Pada umumnya aktivitas mereka dapat dibagi menjadi 3 bagian utama yaitu : community support, community service, dan information service. Pembagian lebih lanjut ke aktivitas lebih spesifiktergantungbesarkecilnyaorganisasi tersebut. Sedangkan pemerintah negara bagian bertugas menentukan policy, monitoring dan evaluasi semua kegiatan penanggulangan AIDS di daerahnya, yang mendapat bantuan pemerintah. Hal ini bisa terjadi mengingat timbulnya AIDS di Australia, yang dimulai pada tahun 1960/70 setelah terjadi perubahan perilaku seksual gay di Sydney dari oral seks menjadi anal seks sebagai akibat pengaruh gay di Amerika. Pada tahun 1980 di kalangan gay sendiri telah tersebar berita mengenai timbulnya penyakit AIDS di Amerika yang menimpa kaum homoseks. Berita ini menjadi kenyataan pada tahun 1981 dengan ditemukannya kasus pertama AIDS di Australia. Kegelisahan yang telah memuncak dan melihat pemerintah belum melalukan tindakan, maka terjadilah suatu Big Public Meeting dari semua kelompok risiko tinggi. Mereka berhasil membentuk kelompok-kelompok masyarakat risiki tinggi AIDS seperti kelompok gay, IVDU (Intravenous Drug User), Sex Worker (WTS) dan lain-lain. Kelompok ini mempunyai anggota dan ketua yang sangat aktif. Kelompok masyarakat risiko tinggi AIDS meminta pemerintah segera mengambil tindakan pencegahan AIDS. Hasilnya mereka kemudian melalukan pertemuan dengan pemerintah dan memutuskan bahwa pemerintah akan membantu program kelom-

44 Cermin Dunia Kedokteran No. 75, 1992

pok masyarakat tersebut. Kelompok masyarakat akan mengajukan program yang dianggap paling cocok bagi mereka dan mereka sendiri yang akan melaksanakannya, sedangkan pemerintah akan memberikan bantuan tenaga ahli dan pendanaan. Sistem ppnanggulangan ini memang istimewa. Penyuluhan antar anggota kelompok (peer group) merupakan cara yang paling efektif untuk merubah perilaku seseorang ke arah lebih positif. Setiap penyuluhan pada dasarnya memerlukan sedikit banyak keterlibatan faktor emosi/perasaan senasib. Sehingga fasilitator benar-benar dapat paham dan mampu merasakan permasalahan yang dihadapi oleh kelompok secara mendalam. Apalagi bila menyangkut pennasalahan hubungan seks yang jelas membutuhkan kesepakatan dari dua orang. Lain halnya bila melakukan penyuluhan misalnya : anti merokok, diet hipertensi, diet gula yang hanya menyangkut diri seseorang saja tanpa perlu berkompromi dengan orang lain. Seseorang dapat segera merubah perilakunya/kebiasannya untuk berhenti merokok atau melakukan diet hipertensi. Sedangkan pada hubungan seks belum tentu perubahan yang diinginkan satu pihak untuk memakai kondom misalnya akan disetujui oleh partner-nya. Apalagi mengingat peranan wanita dalam menentukan suatu keputusan masih belum dianggap renting, pembicaraan mengenai seks masih dianggap tabu. Dalam beberapa seminar yang telah dilakukan di Indonsia diungkapkan bahwa kendala terpenting yang dihadapi WTS untuk melaksanakan safe sex adalah keberatan/penolakan dari pelanggannya, pengkucilan dari mucikari. Sehingga mereka takut akan kehabisan langganan dan lain-lain. Penelitian Sarlito mengungkapkan bahwa pengehatuan AIDS dapat meningkat namun tidak disertai dengan peningkatan pemakaian kondom. Masalah ini terdapat di mana-mana, begitu juga di Australia. Tetapi dengan berdirinya suatu organisasi kelompokrisiko tinggi AIDS seperti homoseks, pekerja seks, maka mereka dapat secara kompak mengatasi berbagai masalah. Misalnya dalam menghadapi mucikari, pemilik rumah bordil dan pelanggannya. Organisasi seperti ini mampu menimbulkan rasa kemampuan pada individu kelompok untuk menentukan mana yang baik dan yang buruk, terutama dalam pencegahan AIDS. Timbulnya berbagai organisasi kelompok risiko tinggi di Australia ini telah berhasil melindungi mereka dari penularan AIDS. Organisasi tersebut antara lain : 1. 2. Sex Worker Outreach Project (SWOP) melakukan aktivitas edukasi dan support pada "prostitusi jalanan". Rights for All Male Sex Worker (RAMS) : suatu kegiatan untuk membantu young male prostitutes sehingga mereka

mampu melakukan kontrol bagi dirinya dalam menghadapi tekanan dari germo atau pemilik hotel dan pelanggannya tentang safer sex / penggunaan kondom. 3. NSW Users and AIDS Education (NUAA) : melaksanakan bantuan edukasi dan support bagi penyalahguna obat suntikan narkotik. 4. Prostitutes Collective : memberikan bantuan edukasi bagi street prostitutes dan brothels. 5. CSN (Community Support Network) menyediakan perawat yang melakukan kegiatan Voluntary Home Caring. 6. PLWA (NSW) untuk newsletter dan advocacy bagi orangorang penderita AIDS. 7. SACBE Spanish/Latin American AIDS Support Network. 8. Youth Peer Education Project (Fun & Esteem Project), Program pendidikan masyarakat yang menekankan bahwa safe sex adalah aspek positif dari kehidupan para gay dan biseksual muda (< 20 tahun). 9. Ethnic Gay Men's Project (South East Asian Men); melakukan siaran radio dan koran leaflet, information work-shops. 10. Drug Referral and Information Centre, menyediakan disposable syringe bagi IVDU. Organisasi penunjang kelompok masyarakat (support group organization) masih banyak lagi. Bahkan berkembang menjadi community service yang ditujukan pada penderita AIDS seperti misalnya : 1. ACON Flat (6 buah) untuk tempat tinggal. 2. Share Project untuk membagi tempat bernaung. 3. Transport ke/dari pusat pengobatan (2 bis) untuk 300 orang/ bulan. 4. The Guilt Project untuk acara penguburan dan pembuatan panel. 5. Venues Liaison Project, untuk menyediakan kondom dan lain-lain. 6. AIDS Trust of Australia untuk mencari dana untuk rise[, pendidikan dan pelayanan. Program pencegahan AIDS lainnya masih cukup banyak untuk dikemukakan disini; tentunya ada beberapa bagian dan aktivitas di Australia yang dapat disesuaikan dan dipakai sebagai contoh di negara kits. Selain mempelajariprogram penyuluhan, kami juga sempat bertemu dengan beberapa pakar yang melakukan penelitian di bidang sexual behaviour, sosialbudaya, virologi, epidemiologi. Sebelum kembali ke tanah air kami sempat berkunjung ke pusat pemerintahan di Canberra, seperti misalnya : Department of Community Service and Health, AIDAB.

First : Plan the work Then : Work the plan

Cermin Dunia Kedokteran No. 75, 1992 45

Tanya Jawab mengenai AIDS


Rachmat Juwono Tim Medik AIDS RSUD Dr.Soetomo/Fakultas Kedokteran Unair Surabaya

PENDAHULUAN Dalam simposium/seminar mengenai AIDS ada pertanyaanpertanyaan yang sering ditanyakan, baik oleh petugas kesehatan maupun oleh masyarakat umumnya. Di bawah ini akan dijawab sepuluh pertanyaan, yang mungkin berguna bagi pembaca. TANYA JAWAB Mengapa AIDS diresahkan mengingat insidensnya masih sangat rendah di Indonesia? Walaupun di Indonsia jumlah kasus AIDS masih rendah dan terbanyak mengenai orang asing (kasus "impor"), tetapi jumlah orang yang terinfeksi HIV tanpa gejala (seropositit) jauh lebih banyak. Orang-orang ini yang nampaknya sehat dapat menularkan HIV ke orang lain. Di Amerika Serikat, Eropa Barat dan Afrika Tengah untuk setiap kasus AIDS terdapat 50100 orang yang terinfeksi HIV tanpa gejala dan jumlah kasus AIDS meningkat 100% setiap 10 bulan. Negara-negara yang saat ini jumlah kasus AIDSnya rendah, masih mempunyai kesempatan untuk mencegah transmisi HIV, dengan cara penyuluhan kesehatan kepada masyarakat. Kalau ditunggu sampai terjadi epidemi AIDS kita terlambat. Keuntungan lain dari penyuluhan kesehatan tentang seks yang lebih aman (safer sex) ialah selain mencegah infeksi HIV, juga menurunkan insidens penyakit menular seksual lain dan hepatitis virus B. Demikianpun pembatasan transfusi darah dan suntikan sampai seperlunya dan perawatan menurut Petunjuk Pencegahan Penularan pada perawatan juga mencegah hepatitis virus B selain infeksi HIV(1). 2. Mengapa penularan HIV paling mudah pada pria homoseksual? Faktor risiko seksual yang paling besar untuk infeksi HIV 1.

adalah hubungan seks reseptif/pasif anal. Hal ini disebabkan karena mukosa rektum lebih tipis daripada mukosa vagina, hingga mudah terjadi luka. Melalui luka ini HIV yang berada dalam semen (sperma) masuk ke dalam aliran darah. Selain pria homoseksual, pada wanita heteroseksual yang melakukan hubungan seks anal, insidens infeksi HIV dua kali lebih tinggi daripada yang tidak melakukan hubungan seks anal. Pada pria homoseksual yang melakukan hubungan seks insertif/aktif anal, risiko infeksi HIV lebih kecil daripada yang reseptif/pasif anal. Pada mereka penularan HIV terjadi karena HIV yang berada dalam darah yang keluar dari luka-luka di rektum, masuk tubuh melalui uretra yang meradang karena penyakit menular seksual, atau melalui lesi pada penis(2). Apakah seorang lesbian bisa ketularan HIV? Seorang lesbian bisa ketularan HIV, karena suntikan obat bius intravena dengan jarum sumac yang dipakai bergantian dengan orang lain. Penularan selanjutnya ke partner lesbiannya terjadi, bila partnernya melakukan cunnilingus (hubungan seks oro-genital). Selain cunnilingus lesbian juga melakukan masturbasi bersama, kadang-kadang dengan alat permainan seks, yang dapat menyebabkan perdarahan dan penularan HIV(2). 4. Apakah HIV dapat ditularkan melalui ciuman mulut dengan mulut? Penelitian-penelitian menunjukkan bahwa HIV lebih jarang ditemukan dalam saliva daripada dalam darah. Selain itu eksperimen-eksperimen lain menunjukkan, bahwa saliva mengandung zat-zat yang menginaktivasi HIV in vitro. Sampai sekarang belum terbukti, bahwa ciuman mulut dengan mulut dapat menularkan HIV. Walaupun demikian, deep kissing dengan kemungkinan perdarahan kecil akibat gigitan, sebaiknya tidak dilakukan, karena teoretis mengandung risiko 3.

46 Cermin Dunia Kedokteran No. 75, 1992

penularan(3). 5. Apakah HIV dapat ditularkan melalui nyamuk? Nyamuk tidak menularkan HIV karena : a) HIV tidak berkembang biak dalam sel nyamuk b) HIV tidak bermigrasi dari usus ke kelenjar liur nyamuk c) Jumlah darah dan jumlah HIV yang dihisap nyamuk terlalu sedikit. Diperkirakan bahwa untuk menimbulkan infeksi HIV diperlukan paling sedikit 0,1 ml darah. Bukti epidemiologis bahwa nyamuk tidak menularkan HIV, ialah : a) Distribusi umur dan jenis kelamin dari orang-orang yang terinfeksi HIV di Afrika khas untuk penyakit menular seksual. Bila nyamuk menularkan HIV, insidens pada anak dan orang tua akan sama atau lebih tinggi dari pada orang-orang yang berumur 20-40 tahun. b) Orang-orang yang hidup serumah dengan seorang yang terinfeksi HIV tidak terinfeksi, kecuali suami/isteri atau anak dari ibu yang terinfeksi HIV(1,3). 6. Mengapa orang-orang dalam perjalanan internasional tidak diwajibkan mempunyai surat bebas infeksi HIV? a) Karen infeksi HIV sudah terdapat di semua benua dan hampir semua kota besar di dunia, shining terhadap infeksi HIV pada orang-orang dalam perjalanan internasional (baik orangorang asing yang masuk ke suatu negara, maupun warga negara sendiri yang kembali dari luar negeri) tidak dapat mencegah penyebaran infeksiHIV. b) Karena tes serologik untuk mendeteksi infeksi HIV belum sempuma. Tidak pada semua orang yang terinfeksi HIV tes serologik positif. Juga pada orang-orang yang baru terinfeksi beberapa minggu tes masih negatif (window period), walaupun sudah menular. Pada keadaan ini tes serologis negatif palsu. Sebaliknya pada orang-orang dari negara-negara dengan insidens infeksi HIV masih rendah, tes serologik lebih sering positif, walaupun tidak terinfeksi HIV. Pada keadaan ini tes serologis positif palsu. c) Karen kesulitan teknis. Setiap tahun beratus-ratus juta orang melintas batas-batas intemasional dengan pesawat terbang, kapal laut, kereta api, kendaraan bermotor atau berjalan kaki. Beberapa masalah yang timbul adalah : Dimanakah skrining darah harus dilaksanakan, di tempat pemberangkatan atau tempat kedatangan? Apakah shining darah harus dilakukan di semua tempat perbatasan negara (udara, laut, darat)? Beberapa lama sebelum pemberangkatan tes serologis harus dikerjakan? Beberapa lama surat bebas infeksi HIV berlaku? Tindakan apa yang harus diambil, bila tes serologis dikerjakan waktu tiba dan hasilnya ternyata positif? Bagaimana bila terjadi "perdagangan gelap" surat bebas infeksi HIV (surat keterangan palsu bebas infeksi HIV)? Pertanyaan-pertanyaan tersebut tidak mudah dijawab. Oleh karena itu WHO menyimpulkan, bahwa skrining HIV pada . orang-orang dalam perjalanan internasional tidak praktis dan

merupakan pemborosan(4). 7. Gejala-gejala apa yang mencurigakan AIDS? Pertama-tama perlu diingat bahwa kasus-kasus AIDS terutama ditemukan pada orang-orang dari kelompok risiko tinggi, yaitu pria homo dan biseksual, pecandu obat bius intravena yang menggunakan jarum/alat suntik secara bergantian, penderita hemofilia yang sering mendapat transfusi faktor VIII dan IX, penerima transfusi darah atau komponen darah, wanita dan pria tuna susila, orang heteroseksual dengan banyak mitra seksual, partner seksual dari orang-orang tersebut di atas dan anak yang dilahirkan oleh ibu yang terinfeksi HIV. Pada orang dewasa AIDS dapat diduga bila terdapat paling sedikit dua gejala mayor dan paling sedikit satu gejala minor, tanpa sebab imunosupresi lain yang diketahui, seperti kanker, malnutrisi atau penyebab lain. Gejala mayor : a. penurunan berat badan lebih dari 10% b. demam lebih dari satu bulan (intenmiten atau kontinu) c. diare kronik lebih dari satu bulan. Gejala minor : a. batuk lebih dari satu bulan b. dermatitis pruritik generalisata c. herpes zoster rekuren d. kandidiasis orofaring e. herpes simplex diseminata yang kronik, progresif f. limfadenopati generalisata Terdapatnya sarkoma Kaposi generalisata atau meningitis cryptococcus saja sudah cukup untuk diagnosis AIDS. Diagnosis kemudian perlu dikonfirmasi dengan tes ELISA dan Western Blot(1,3,5). 8. Mengapa identitas penderita dengan infeksi HIV/AIDS harus dirahasiakan? Rahasia jabatan tidak berlaku untuk AIDS saja, tetapi untuk semua penyakit. Kurang pengertian dan ketakutan masyarakat terhadap AIDS menimbulkan masalah-masalah sosial yang serius bagi penderita yang diketahui menderita infeksi HIV/AIDS. Penderita-penderita tersebut menjadi korban prasangka dan diskriminasi sosial, misalnya : dikeluarkan dari pekerjaan dikeluarkan dari sekolah diusir dari tempat tinggalnya ditolak oleh dokter, dokter gigi atau rumah sakit teman-teman dan keluarga penderita menjauhinya. Oleh karena itu penderita dapat bunuh Hal-hal tersebut tidak perlu terjadi, karena HIV tidak menular melalui pergaulan sosial sehari-hari(16). 9. Bila identitas penderita infeksi HIV/AIDS harus dirahasiakan, apakah tidak membahayakan pasangan seksnya dan masyarakat? Seorang yang tertular HIV atau menderita AIDS harus diberi konseling (bimbingan), supaya ia tidak menularkan HIV ke orang lain, yaitu dengan abstinensi, monogami atau memakai kondom bila berhubungan seks.

Cermin Dunia Kedokteran No. 75, 1992 47

Pergaulan sehari-hari di rumah, kantor atau sekolah tidak menularkan HIV(17). 10. Mengapa sampai sekarang belum ada vaksin untuk infeksi HIV? Usaha untuk membuat vaksin yang efektif terhadap HIV mengalami beberapa kesulitan. a) Sampai sekarang belum ditemukan komponen virus yang merangsang imunitas yang protektif pada manusia. b) Tidak ada binatang percobaan untuk menyelidiki infeksi HIV dan AIDS. Chimpanzee binatang satu-satunya yang dapat ditulari oleh HIV. Pada binatang ini terjadi infeksi khronis dan respons imun yang mirip dengan yang terjadi pada manusia, tetapi tidak terjadi penyakit AIDS. Oleh karena itu chimpanzee dapat dipakai sebagai model untuk mengembangkan vaksin yang mencegah infeksi HIV, tetapi tidak dapat dievaluasi apakah vaksin ini dapat mencegah penyakit AIDS pada orang yang sudah terinfeksi. Selain itu kesulitan untuk mendapatkan binatang ini dan biaya, perawatan yang tinggi menyebabkan binatang ini kurang ideal. c) Evaluasi efektivitas suatu vaksin mempunyai beberapa kesukaran, yaitu : Tidak ada indikator dari imunitas protektif, karena tidak ada korelasi antara pembentukan atau menurunnya imunitas dan permulaan atau progresi penyakit. Lamanya waktu antara permulaan infeksi HIV dan tim-

bulnya gejala-gejala penyakit AIDS. Karena kelompok vaksin maupun kelompok plasebo diinstruksikan untuk mencegah infeksi HIV, waktu yang diperlukan untuk membuktikan efektivitas vaksin akan lama. Karena sekarang insidens infeksi baru HIV pada pria homoseksual di Amerika Serikat kurang dari 1%, maka pengujian vaksin HIV mungkin hanya dapat dilakukan di negara lain tertentu dengan insidens infeksi yang masih tinggi(8).
KEPUSTAKAAN 1. 2. International Planned Parenthood Federation (IPPF). AIDS manual. Glasel M. High risk sexual practices in the transmission of AIDS. In: AIDS. Etiology, diagnosis, treatment and prevention. Ed. De Vita Jr VT, Hellman S, Rosenberg SA. Second edition. Philadelphia: JB Lippincott Co 1988, pp. 355-67. Second meeting of the WHO collaborating centres on AIDS. Memorandum from a WHO meeting. Bull. WHO 1986; 64: 37-46. WHO. Report of the consultation on international travel and HIV infection. Geneva 1-3 March, 1987. WHO/SPA/GLO/87.1. Dirjen PPM-PLP Departemen Kesehatan RI. AIDS. Petunjuk untuk pewgas kesehatan. Ed. Bing Wibisono, 1989. lampiran V, hal. 197-8. Tillett G, Frost G. Social, occupational and legal issues. In: AIDS virus infection. A comprehensive reference manual on the human immuno deficiency virus (HIV). Ed. Kay K. New South Wales Department of Health. Miller D. Councelling. In: ABC of AIDS. Ed. Adler MW. First Ed B M J 1987; pp. 37-40. Fauci AS. Development and evaluation of a vaccine for human immunodeficiency virus (HIV) infection. Ann. Intern. Med. 1989; 110: 373-85.

3. 4. 5. 6. 7. 8.

48 Cermin Dunia Kedokteran No. 75, 1992

Obat yang Disalahgunakan oleh Pasien Ketergantungan Obat di Rumah Sakit Ketergantungan Obat dan Inabah
Sudibyo Supardi, Sarjaini Jamal, Anwar Musadad Pusat Penelitian dan Pengembangan Farmasi, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI, Jakarta

ABSTRAK Penyalahgunaan obat (narkotik dan psikotropik) adalah suatu penggunaan obat di luar pengawasan medik yang dapat menimbulkan keadaan yang talc terkuasai oleh individu, atau yang menimbulkan suatu keadaan yang dapat membahayakan/mengancam masyarakat. Penyalahgunaan obat dapat mengakibatkan ketergantungan obat. Dalam upaya penyuluhan kesehatan masyarakat, ingin diketahui jenis obat yang disalahgunakan, tujuan penyalahgunaan dan asal that. Untuk mendapatkan informasi tersebut, telah dilakukan penelitian deskriptif dengan metoda wawancara berpedoman pada kuesioner. Responden meliputi semua pasien ketergantungan obat (lama dan baru) yang telah dapat diwawancarai dan sedang dirawat di RSKO, Inabah 1 dan Inabah 13 mulai bulan Agustus sampai dengan bulan Oktpber 1990. Selama jangka waktu penelitian didapat 19 pasien di RSKO, 30 pasien di Inabah 1 dan 20 pasien di Inabah 13, semuanya pria. Dari hasil penelitian diambil kesimpulan : 1. Obat yang disalahgunakan persentase terbesar psikotropikadan penggunaannya tidak terpisahkan dari minuman keras. 2. Tujuan penyalahgunaan obat pada awalnya karena ingin tahu/mencoba, kemudian berlanjut menjadi ketergantungan. 3. Asal obat yang disalahgunakan persentase terbesar dari kelompok (gang) dan sebagian kecil dari memalsu resep/membeli di apotek. PENDAHULUAN Yang dimaksud dengan "obat" dalam tulisan ini adalah obat golongan narkotik dan psikotropik. Penyalahgunaan obat adalah suatu penggunaan obat di luar pengawasan medik yang dapat menimbulkan keadaan yang talc terkuasai oleh individu, atau yang menimbulkan suatu keadaan yang dapat membahayakan/ mengancam masyarakat(1). Ada 6 golongan obat yang banyak disalahgunakan, yaitu alkohol, sedativa, opioida, kanabis,
Penelitianini merupakan bagian dari Penelitian Penyalahgunaan Obeli Golongan Narkotika dan Psikotropik. Oleh Pasien Ketergantungan Obat, yang dibiayai oleh anggaran proyek penelitian Pus!itbang Farmasi, Badam Litbangkes tahun 1990/1991.

amfetamin dan golongan lain. Penyalahgunaan obat dapat mengakibatkan ketergantungan obat(2). Pengobatan korban ketergantungan obat dapat dilakukan secara medik dan secara tradisional. Pengobatan secara medik antara lain dilakukan oleh Rumah Sakit Jiwa, Rumah Sakit Ketergantungan Obat dan lembaga non medik seperti Pamardi Siwi milik kepolisian dan Khusnul Khotimah milik Departemen Sosial(3). Pengobatan secara tradisional antara lain dilakukan

Cermin Dunia Kedokteran No. 75, 1992 49

oleh Pondok Pesantren Suryalaya melalui 24 Inabah putra maupun putri yang tersebar di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Singpura dan Malaysia(4). Upaya pencegahan meningkatnya penyalahgunaan obat dilakukan melalui berbagai upaya, balk yang bersifat preventif, kuratf, rehabilitatif dan promotif. Untuk mengetahui jenis obat yang disalahgunakan, tujuan penyalahgunaan dan asal obat, perlu dilakukan penelitian terhadap pasien ketergantungan obat yang sedang dirawat secara medik di Rumah Sakit Ketergantungan Obat (RSKO) Jakarta dan secara tradisional di Inaabah 1 Ciamis dan Inabah 13 Yogyakarta. Repponden' adalah pasien ketergantungan obat, karena sulit mendapatkan responden di masyarakat. Seperti diketahui, penyalahgunaan obat merupakan hal yang dilarang undang-undang dan agama, serta diagnosisnya sering memerlukan konfirmasi laboratorium. METODA PENELITIAN Penelitian deskriptif dengan metoda wawancara berpedoman pada kuesioner dilakukan terhadap semua pasien ketergantungan obat (lama dan baru) yang telah dapat diwawancarai dan sedang dirawat di RSKO,Inabah 1 dan Inabah 13 mulai bulan Agustus sampai dengan bulan Oktober 1990. Sampling dilakukan secara sensus; didapat 19 pasien di RSKO, 30 pasien di Inabah 1 dan 20 pasien di Inabah 13. HASIL PENELITIAN Obat yang disalahgunakan oleh seseorang dapat lebih dari satu jenis, umumnya dari kelompok psikotropik. Obat yang disalahgunakan persentase terbesar (66,7%) berupa pil BK, kemudian Ganja, Mogadon, Valium, Dumolid, Rohypnol dan Lexotan (tabel 1). lain-lain meliputi obat yang digunakan oleh kurang dari 10% pasien, yaitu Stesolid, Artane, Stelazine, Largactil, Sedatin, Petidin, Morfin, Somnil dan jamur tahi sapi/babi atau kopi tahi sapi/babi.
Tabel 1. Jumlah pasien berdasarkan jenis obat yang disalahgunakan RSKO (n=19) 12 13 11 7 8 7 6 7 Inabah (n=50) 34 25 13 15 8 7 6 9 Jumlah (n=69) 46 38 24 22 16 14 12 16 % 66,7 55,1 34,8 31,9 23,2 20,3 17,4 23,2

Tabel 2. Jumlah pasien berdasarkan jenis minuman keras yang diminum bersama obat RSKO (n=19) 9 6 3 4 3 6 5 Inabah (n=SO) 27 10 10 7 6 4 6 36 16 13 11 9 10 11 Jumlah (n=69) % 52,2 23,2 18,7 15,9 13,0 14,5 15,9

Nama Minuman Whisky Mansion Bir Anggur orang tua (AO) Vodka Johnny Walker Lain-lain

terima kelompok, melupakan masalah dan menyatakan kemerdekaan (tabel 3).


Tabel 3 Jumlah pasien berdasarkan tujuan pertama menggunakan obat. Nama Minuman Ingin tahulmencoba Ingin diterima kelompok Melupakan masalah Menyatakan kebebasan RSKO (n=19) 10 8 8 Inabah (n=50) 23 19 11 8 Jumlah (n=69) 33 27 19 8 % 47,8 39,1 27,5 11,6

Obat yang disalahgunakan terutama (53,6%) berasal membell dari teman/ gang. Ada sebagian pasien yang membeli obat dari apotik/memalsu resep dan toko obat (tabel 4).
Tabel 4. Jumlah pasien berdasarkan cars mendapatkan obat RSKO (n=19) 7 11 9 5 Inabah (n=50) 30 16 8 5 Jumlah (n=69) S 37 27 17 10 % 53,6 39,1 24,6 14,5

Nama Minuman Dari teman/gang Pengedar Dari apotekhesep palsu Dari toko obat

Janis Obat BK Ganja Mogadon Valium Dumolid Rohypnol Lexotan Lain-lain

Penyalahgunaan obat tidak terpisahkan dari munuman keras; persentase terbesar (52,2%) pasien meminum Whisky, kemudian Mansion, Bir, Anggur cap orang tua, Vodka dan Johnny Walker (tabel 2). Lain-lain meliputi minuman keras yang digunakan oleh kurang dari 10% pasien yaitu CognacDrygin, TKW, Martini, Drop bir dan Castro. Tujuan penyalahgunaan obat pads saat pertama, terutama (47,8%) karena ingin tahu/mencoba. Lainnya karena ingin di-

DISKUSI Berdasarkan data tahun 1981-1986, jenis obat yang disalahgunakan umumnya opioidao). Hasil penelitian menunjukkan adanya pergeseran pola penyalahgunaan obat, dari narkotik di masa lalu ke arah psikotropik di masa sekarang. Golongan obat ini seharusnya hanya dapat dibeli di apotik dengan resep dokter. Adanyapenyimpangan distribusipsikotropikmungkin berkaitan dengan belum adanya undang-undang khusus tentang psikotropik, sementara Ordonasi Obat Keras nomor 419/1949 dinilai sudah tidak sesuai dengan pengaturan psikotropik. Ruang lingkup pengendalian dan pengawasan narkotik dan psikotropik jalur resmi meliputi impor, produksi, distribusi, pelayanan dan penggunaaannya. Pada tiap mata rantai ini telah dilakukan pengaturan dan pengawasan yang cukup ketat untuk memperkecil kemungkinan kebocoran dan penyimpangan, yaitu :

50 Cermin Dunia Kedokteran No. 75, 1992

a) Impor narkotik dipercayakan hanya kepada importir PT. Kimia Farma(6), sedangkan untuk impor psikotropik, importir diharuskan untuk setiap kali memperoleh ijin dari Departemen Kesehatan(7). b) Produksi narkotik dilakukan hanya oleh PT. Kimia Farma sebagai produsen tunggal(6), sedangkan untuk produksi psikotropik diwajibkan menyampaikan laporan bulanan kepada Departemen Kesehatan(8). c) Distribusi narkotik dilakukan PT Kilnia Farma yang menyalurkan ke apotik rumah sakit dan unit kesehatan lain yang memenuhi persyaratan(6). Distribusi psikotropik dilaksanakan oleh PBF yang ditunjuk Menteri Kesehatan(9). d) Pelayanan narkotik dan psikotropik kepada pasien oleh apotik, rumah sakit dan unit pelayanan lain yang memenuhi psersyaratan hanya dilakukan berdasarkan resep dokter. Penyerahan narkotik kepada pasien harus berdasarkan resep asli dan bukan salinan resep(9). Penyalahgunaan obat tidak terlepas dari minuman keras. Menurut peraturan Menteri Kesehatan nomor 86/Menkes/Per/ IV/77 tentang minuman keras, penjual dan pengecer minuman keras harus mendapat ijin tertulis dari Menteri Kesehatan, di samping ijin Menteri Keuangan dan pemerintah daerah setempat. Dilarang menjual atau menyerahkan minuman keras kepada anak di bawah umur 16 tahun, dan tempat penjualan minuman keras tidak boleh berdekatan dengan sekolah, rumah sakit dan tempat-tempat ibadah(11). Namun berdasarkan pengamatan, banyak penjual minuman keras tidak berijin dan berlokasi dekat sekolah, sehingga pelajar SD dan SLP dengan mudah dapat membelinya. Hal ini menunjukkan peraturan tersebut belum dilaksanakan sebagaimana mestinya. Penyalahgunaaan obat oleh responden persentase terbesar adalah dengan coba-coba. Hal ini mungkin ada hubungan dengan timbulnya kecemasan yang khas pada usia perkembangan (16-25 tahun) dan terpengaruh oleh pengaruh teman-temannya yang telah "menikmati" obat lebih dahulu. Juga didukung oleh keinginan mencari pengalaman, memperlihatkan keberanian dan malu diejek dan sebagainya(12). Sebagian kecil obat yang disalahgunakan berasal dari memalsu resep dokter. Nur Azizah (1986) mendapatkan 21,5% penyalahguna obat mendapatkan obatnya dari apotik/memalsu resep dokter(13). Oleh karena itu penyimpanan blangko resep dokter dan penerimaan resep dokter yang mengandung psikotropik perlu lebih diperhatikan. KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan wawancara terhadap pasien putra di RSKO dan Inabah, maka diambil kesimpulan berikut :

1. Obat yang disalahgunakan persentase terbesar adalah go longan psikotropik, dan penggunaannya tidal( terpisahkan dar minuman keras. 2. Tujuan penyalahgunaan obat pada awalnya karena ingit tahu/mencoba. 3. Asal obat yang disalahgunakan adalah dari kelompok (gang) dan sebagian kecil dari memalsu resep/membeli di apotik. Berdasarkan hasil penelitian, disarankan agar Ditjen PON dan Kanwil Depkes meningkatkan sistem pengawasan dan pe ngendalian distribusi narkotik dan psikotropik jalur resmi, ter masuk minuman keras. Alangkah baiknya bila sistem pelaporat narkotik dan psikotropik dari importir, pabrik, PBF, apotik rumah sakit dan fasilitas pelayanan kesehatan lain dibuat lebil efektif dan efisien
UCAPAN TERIMA KASIH Kami ucapkan terima kepada Kepala Puslitbang. Farmasi alas kepercayaan dan bantuan yang telah diberikan dalam penelitian ini. Juga kepada pimpinan RSKO dan pimpinan Inabah, serta dan teman-teman yang telah ikut membantu penelit ian "Penyalahgunaan Obat Golongan Narkotik dan Psikotropik Oleh Pasien Kelergantungan Obat ". KEPUSTAKAAN 1. 2. 3. 4. 5. Kramer IF, Cameron DC. A Manual on Drug Dependence. Geneva: WHO, 1975. Pedoman Penggolangan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia. Edisi II 1983 (revised). Direktorat Kesehatan Jiwa Depkes, Jakarta, 1985. Albachri Husin. Proses Penye nbuhan Medis pads Penyalahgunaan Ketergantungan Narkotik dan Psikoaktif. Paper RSKO, Jakarta, 1990. Harun Nasution. Thoriqot Qoduruyyah Naqsabandiyyah. Sejarah, Asalusul dan Perkembangannya. Institut Agana Islam Latifah Mubarokiyah (IAILM), Tasikmalaya, 1990. Suwardiono Suryaningrat. Langkah-langkah Komprehensif Multidisipliner Penanggulangan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkotika dan Zat Adiktif Lain di Indonesia. International Conference on Drug Abuse and Illicit Trafficking, Wina, 17-26 Juni 1987. SK Dirjen Fannasi Depkes RI no. 3242/Dirjen/SK/06/69 tentang Penunjukan Kinds Farma untuk Melaksanakan Pengolahan, Impor dan Distribusi Obat Bius untuk Apotik di Indonesia. SK Malted Kesehatan RI nomor 983/A/SK/1971 tentang Kewajiban semua Importir, PBF dan Pabrik Fannasi di Seluruh Indonesia untuk mengajukan Ijin Impon'Khusus Psikotropik. Surat Edaran Dirjen POM no. 7/EE/SE/1976 tentang Laporan Bulanan Import dan Distriibusi Obat Psikotropik. Surat Edaran Dirjen POM no. 8/EE/SE/1976 tentang Laporan Bulanan Pemakaian Obat Psikotropik. Surat Edaran Dirjen POM no. 9/EE/SE/1976 tenting Laporan Bulanan Obat Narkotik ke Ditwas Narkoba Ditjen POM dan Kanwil Depkes setempat. Peaturan Matted Kesehatan no. 86/Menkes/Per/IV/77 tentang Minuman Keras. H.H.B. Saanin Dawk Tan Pariaman. Masalah Obat-obat Bius (Narkotik) dan Penyalahgunaannya. Pusat Kesehatan Jiwa Fakultas Kedokteran UNPAD, Bandung, 1975. Siti Nur Azizah,. Penggunaan Mogadon di Kalangan Pelajar SMA Kodya Semarang. Skripsi Fakultas Farmasi Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, 1986.

6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13.

Great men never feel great, small men never feel small

Instruksi Menteri Kesehatan RI No. 72/Menkes/Ins/II/1988 tentang Kewajiban Melaporkan Penderita dengan Gejala AIDS
Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Menimbang : a. bahwa penyakit acquired immunodeficiency syndrome (AIDS) merupakan masalah kesehatan internasional yang penting dan segera hams ditanggulangi. b. bahwa penduduk Indoensia perlu dilindungi dari bahaya penyakit tersebut oleh karena itu penanggulangannya harus dilaksanakan secara terpadu dart lintas sektoral. c. bahwa untuk mencegah penularan dan penyebaran AIDS di Indonsia perlu dilakukan upaya menemukan sedini mungkin setiap penderita dengan gejala AIDS di saran pelayanan kesehatan. d. bahwa untuk menemukan sedini mungkin penderita dengan gejala AIDS di masyarakat perlu ditingkatkan pengumpulan data yang lengkap dan terus-menerus. Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 9 Tahun 1960 tentang Pokok-pokok Kesehatan (Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 131, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2068). 2. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintah di Daerah (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 38, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3037). 3. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular (Lembaran Negara Tahun 1984 Nomor 20, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3273). Memutuskan : Menetapkan : Keputusan Direktur Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular Dan Penyehatan Ling kungan Pemukiman Tentang Petunjuk Pelaksanaan Kewajiban Melaporkan Penderita dengan Gejala AIDS. BAB I Ketentuan Umum Pasal 1. Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan : 1. Laporan W1, adalah laporan yang berlaku bagi Puskesmas/Puskesmas Pembantu dan telah biasa digunakan untuk Kejadian Luar Biasa/Wabah serta diperuntukkan bagi penderita tersangka AIDS sebagaimana dimaksud dalam Lampiran 1 keputusan ini. 2. Laporan penderita dengan sero-positif, adalah laporan yang berlaku bagi laboratorium yang digunakan untuk Kejadian Luar Biasa/Wabah serta ditujukan bagi penderita dengan sero positif AIDS sebagaimana dimaksud dalam Lampiran II keputusan ini.

52 Cermin Dunia Kedokteran No. 75, 1992

3. Kepala Unit Kesehatan adalah Kepala Pusat Kesehatan Masyarakat, Kepala Rumah Sakit dan Kepala Balai Pengobatan milik Pemerintah. 4. Saran pelayanan kesehatan adalah unit kesehatan yang dikelola oleh pemerintah ataupun swasta baik secara terpadu/kelompok maupun usaha perorangan. 5. Laporan rincian adalah yang disusun secara terinci mengenai kejadian AIDS sebagai lampiran dari laporan W1 sebagaimana dimaksud dalam Lampiran Ill keputusan ini. 6. Penyelidikan epidemiologis adalah kegiatan penyelidikan untuk mengenal sifat-sifatpenyebabnya dan faktoryang dapatmempengaruhinyasertapelacakan baik sumber penularannya maupun "carrier"nya. BAB II Maksud dan Tujuan Pasal 2. Mksud dan tujuan keputusan ini adalah untuk menemukan sedini mungkin penderita dengan gejala AIDS di masyarakat dan melakukan penyelidikan epidemiologis sebagai upaya pencegahan terhadap penularan dan penyebaran AIDS di Indonsia. BAB III Tata Cara Pelaporan Pasal 3. Prosedur -pelaporan untuk kejadian AIDS (acquired imu no deficiency syndrome.) menggunakan formulir laporan kejadian luar biasa Wabah (W1) dan laporan penderita dengan seropositif yang harus dilaporkan dalam kurun waktu 24 jam dengan dilampiri laporan rincian mengenai kejadian tersebut dalam bentuk sebagaimana dimaksud dalam lampiran III keputusan ini. Pasal 4. Pengisian formulir W1 dan laporan penderita dengan sero-positif AIDS beserta laporan rincian mengenai kejadian AIDS oleh sarana pelayanan kesehatan baik pemerintah maupun swasta harus memperhatikan kerahasiaan pribadai penderita dan keluarganya. Pasal 5. 1. Laporan W1 tentang penderita tersangka AIDS dan laporan penderita dengan sero-positif AIDS dialamatkan kepada Kepala Direktorat Epidemiologi dan Imunsasi, Direktorat Jenderal PPM dan PLP, Jalan Percetakan Negara No. 29, Jakarta Pusat, dengan membubuhkan tanda RAHASIA pada amplop pengirim laporan tersebut di bagian kiri sebelah atas. 2. Laporan yang dimaksud dalam ayat (1) dapat dilakukan melalui Telepon 410611 atau melalui Telex 49310 - PPM - PLP INA. 3. Laporan yang dimaksud dalam ayat (2) harus disusul dengan laporan secara tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). Pasal 6. Tembusan dari laporan sebagaimana dimaksud dalam pasal 5, ditujukan kepada : 1. Ka Kanwil/Kepala Dinas Kesehatan Dati I Propinsi yang bersangkutan. 2. Ka Kandep/Kepala Dinas Kesehatan Dati II Kabupaten yang bersangkutan. BAB IV Rujukan Pasal 7. 1. Kepada semuaKepala Unit Kesehatan diharuskan melakukan rujukan bagi setiap penderita tersangka AIDS kepada Laboratorium tertentu untuk menentukan dan menegakkan diagnosis positif AIDS. 2. Daftar laboratorium yang mampu melakukan pemeriksaan AIDSsebagaimana disebut dalam lampiran IV keputusan ini. 3. Daftar Laboratorium sebagaimana disebutkan dalam ayat (2) akan terus bertambah sesuai dengan kemajuan dan perkembangan laboratorium; oleh karena itu daftar ini akan selau ditinjau kembali.

Cermin Dunia Kedokteran No. 75, 1992 53

BAB V Kriteria Klinis Dalam Diagnosis AIDS Pasal 8. Kriteria Klinis dalam diagnosis sebagaimana dimaksud dalam lampiran V keputusan ini. BAB VI Penderita Dengan Kewarganegaraan Asing Pasal 9. Terhadap penderita sero-positif AIDS/tersangka AIDS dengan kewarganegaraan asing diperlukan tindak lanjut yang menyangkut kepentingn warganegara asing tersebut dengan bekerjasama baik dengan Kedutaan/Perwakilan Negara yang bersangkutan maupun dengan Departemen Luar Negeri R.I. dalam upaya memelihara hubungan baik antar bangsa dan negara. BAB VII Penutup Petunjuk pelaksanaan ini berlaku sejak tanggal ditetapkan. Ditetapkan di : Jakarta Pada tanggal : 2 Juni 1988 Direktur Jenderal PPM dan PLP. ttd Dr. S.L. Leimena, MPH NIP. 140021547 Tembusan Kepada Yth : 1. Bapak Menteri Kesehatan sebagai laporan. 2. Bapak Menteri Dalam Negeri. 3. Bapak Menteri Pertahanan dan Keamanan. 4. Bapak Menteri Perhubungan. 5. Bapak Menteri Pariwisata Pos dan Telekomunikasi. 6. Markas Besar Palang Merah Indonesia. 7. Para Pejabat Eselon I Departemen Kesehatan. 8. Direktur Jenderal Pariwisata. 9. Gubernur Kepala Daerah Tk I Seluruh Indonesia. 10. Kepaal Kantor Wilayah Departemen Kesehatan Seluruh Indonesia. 11. Kepala Dinas Kesehatan Tk I Seluruh Indonesia. 12. Direktur Rumah Sakit Seluruh Indonesia. 13. Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia. 14. Pengurus Besar Persatuan Dokter Gigi Indonesia.

54 Cermin Dunia Kedokteran No. 75, 1992

Cermin Dunia Kedokteran No. 75, 1992 55

56 Cermin Dunia Kedokteran No. 75, 1992

Cermin Dunia Kedokteran No. 75, 1992 57

Collaborating Centers in AIDS di Geneva tgl. 16 - 18 Desember 1985. 1.1. Satu atau lebih penyakit oportunistik yang didiagnosis dengan cara yang dapat dipercaya. 1.2. Tidak adanya sebab-sebab imunodefisiensi seluler lainnya kecuali infeksi HIV. Catatan : Sekalipun kriteria di atas dipenuhi, kasus tidak dianggap sebagai kasus AIDS kalau tes terhadap HIV negatif. II. Gejala AIDS pada Orang Dewasa AIDS dicurigai pada orang dewasa bila terdapat dua gejala major dan satu gejala minor dan tidak ada sebab-sebab immunosupresi yang diketahui seperti kanker, malnutrisi berat atau etiologi lainnya. Gejala Major a. Penurunan berat ada lebih dari 10% b. Diarekronik lebih clari satu bulan c. Demam lebih dari satu bulan (kontinyu atau intermiten). Gejala Minor a. Batuk lebih dari satu bulan b. Dermatitis pruritik umum c. Herpes zoster rekurens d. Kandidiasis orofarings e. Limfadenopati umum f. Herpes simpleks diseminata yang kronik progresif. III.Gejala AIDS pada Anak. AIDS dicurigai pada anak, bila terdapat paling sedikit dua gejala mayor dandua gejala minor dan tidak terdapat sebab-sebab immunosupresi yang diketahui seperti kanker, malnutrisi berat, atau etiologi lainnya. Gejala Mayor a. Penurunan berat badan atau pertumbuhan lambat yang abnormal. b. Diare kronik lebih dari satu bulan. c. Demam lebih dari satu bulan. Gejala Minor a. Limfadenopati umum. b. Kandidiasis orofarings. c. Infeksi umum yang berulang (otitis, faringitis dan sebagainya). d. Batuk persisten. e. Dermatitis umum. f. Infeksi HIV maternal. Definisi di atas khusus untuknegara-negara Afrika yang mungkin tidak sesuai untuk diterapkan di Indonesia namun dapat digunakan sebagai rujukan. Untuk keperluan survailans AIDS di Indonesia digunakan definisi WHO/CDC sebagai pedoman. Sesuai dengan basil Inter Country Consultation Meeting WHO di New Delhi, tgl. 30 - 31 Desember 1985, dianggap perlu bahwa kasus-kasus pertama yang akan dilaporkan sebagai AIDS kepada WHO harus mendapat konfirmasi dengan Elisa dan Western Blot.

Friends are more troublesome than enemies

58 Cermin Dunia Kedokteran No. 75, 1992

Keputusan Direktur Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Kesehatan Lingkungan Pemukiman No. 286-I/PD.03.04 tentang Petunjuk Pelaksanaan- Kewajiban Melaporkan Penderita dengan Gejala AIDS
DIREKTUR JENDERAL PEMBERANTASAN PENYAKIT MENULAR DAN PENYEHATAN LINGKUNGAN PEMUKIMAN, MENIMBANG : Bahwa untuk memenuhi ketentuan sebagaimana tersebut dalam amar ke tiga Instruksi Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor : 72/Menkes/Inst/II/1988 tanggal 11 Pebruari 1988 tentang Kewajiban Melaporkan Penderita Dengan Gejala AIDS, perlu ditetapkan Keputusan Direktur Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman tentang Petunjuk Pelaksanaan Kewajiban Melaporkan Penderita Dengan Gejala AIDS.

MENGINGAT

: 1. Undang-undang Nomor 9 Tahun 1980 tentang Pokok-pokok Kesehatan. 2. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular. MEMPERHATIKAN : 1. Surat Direktur Jenderal PPM dan PLP Nomor : 3800-II/HM.01.01.ST tanggal 17 September 1985 perihal AIDS. 2. Hasil-hasil pertemuan dan rapat-rapat Panitia Nasional AIDS. MEMUTUSKAN MENETAPKAN : KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PEMBERANTASAN PENYAKIT MENULAR DAN PENYEHATAN LINGKUNGAN PEMUKIMAN TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN KEWAJIBAN MELAPORKAN PENDERITA DENGAN GEJALA AIDS.

BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan : (1) Laporan W1, adalah laporan yang berlaku bagi Puskesmas/Puskesmas Pembantu dan telah biasa digunakan untuk Kejadian Luar Biasa Wabah serta diperuntukkan bagi penderita tersangka AIDS sebagaimana dimaksud dalam Lampiran I Keputusan ini.

Cermin Dunia Kedokteran No. 75, 1992 59

(2) Laporan penderita dengan sero-positif, adalah laporan yang berlaku bagi laboratorium yang digunakan untuk Kejadian Luar Biasa/Wabah serta ditujukan bagi penderita dengan sero-positif AIDS sebagaimana dimaksud dalam Lampiran II Keputusan ini. (3) Kepala Unit Kesehatan adalah Kepala Pusat Kesehatan Masyarakat Pembantu, Kepala Rumah Sakit dan Kepala Balai Pengobatan milik Pemerintah. (4) Sarana pelayanan kesehatan adalah unit kesehatan yang dikelola oleh pemerintah ataupun swasta baik secara terpadu/ kelompok maupun usaha perorangan. (5) Laporan rincian adalah yang disusun secara terinci mengenai kejadian AIDS sebagai lampiran dari laporan W1 sebagaimana dimaksud dalam Lampiran III. (6) Penyelidikan epidemiologis adalah kegiatan penyelidikan untuk mengenal sifat-sifat penyebabnya dan faktor yang dapat mempengaruhinya serta pelacakan baik sumber penularannya maupun carrier-nya. BAB II MAKSUD DAN TUJUAN Pasal 2 Maksud dan keputusan ini adalah untuk menemukan sedini mungkin penderita dengan gejala AIDS di masyarakat dan melkkukan penyelidikan epidemiologis sebagai upaya pencegahan terhadap penularan dan penyebaran AIDS di Indonsia. BAB III TATA CARA PELAPORAN Pasal 3 Prosedur pelaporan untuk kejadian AIDS (acquired immuno deficiency syndrome) menggunakan formulir laporan Kejadian Luar Biasa/Wabah (W 1) dan laporan penderita dengan sero-positif AIDS yang hams dilaporkan dalam kurun waktu 24 jam dengan dilampiri laporan rincian mengenai kejadian tersebut dalam bentuk sebagaimana dimaksud dalam lampiran III keputusan ini. Pasal 4 Pengisian formulir W1 dan laporan penderita dengan sero-positif AIDS beserta laporan rinciannya mengenai kejadian AIDS oleh Sarana Pelayanan Kesehatan baik pemerintah maupun swasta hams memperhatikan kerahasiaan pribadi penderita dan keluarganya. Pasal 5 (1) Laporan W1 tentang penderita tersangka AIDS dan laporan penderita dengan sero-positif AIDS dialamatkan kepada Kepala Direktorat Epidemiologi dan Imunisasi, Direktorat Jenderal PPM dan PLP, Jalan Percetakan Negara No. 29, Jakarta Pusat, dengan membubuhkan tanda RAHASIA pada amplop pengiriman laporan tersebut di bagian kiri sebelah atas. (2) Laporan yang dimaksud dalam ayat (1) dapat dilakukan melalui Telepon 410611 atau melalui Telex 49310 PPM-PLP NA. (3) Laporan yang dimaksud dalam ayat (2) hams disusul dengan laporan secara tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). Pasal 6 Tembusan dari laporan sebagaimana dimaksud dalam pasal 5, ditujukan kepada : 1. Ka Kanwil/Kepala Dinas Kesehatan Dati I Propinsi ybs. 2. Ka Kandep/Kepala Dinas Kesehatan Dati II Kabupaten ybs. BAB IV RUJUKAN Pasal 7 (1) Kepada semua Kepala Unit Kesehatan diharuskan meaakukan rujukan bagi setiap penderita tersangka AIDS kepada laboratorium tertentu untuk menenukan dan menegakkan diagnosa positif AIDS. (2) Daftar laboratorium yang mampu melakukan pemeriksaan AIDS sebagaimana disebut dalam lampiran IV keputusan ini. (3) Daftar laboratorium sebagaimana disebutkan dalam ayat (2).akan terns bertambah sesuai dengan kemajuan dan perkembangan laboratorium; oleh karena itu daftar akan selalu ditinjau kembali. BAB V KRITERIA KLINIS DALAM DIAGNOSA AIDS Pasal 8 Kriteria Klinis dalam diagnosis sebagaimana dimaksud dalam lampiran V keputusan ini.

BAB VI PENDERITA DENGAN KEWARGANEGARAAN ASING Pasal 9 Terhadap penderita positif AIDS/tersangka AIDS dengan kewarganegaraan asing diperlukan tindak lanjut yang menyangkut kepentingan warganegara asing tersebut dengan bekerjasama baik dengan kedutaan/Perwakilan Negara yang bersangkutan maupun dengan Departemen Luar Negeri R.I. dalam upaya memelihara hubungan baik antar bangsa dan negara. BAB VII PENUTUP Petunjuk pelaksanaan ini berlaku sejak tanggal ditetapkan. Ditetapkan di : Jakarta Pada tanggal : 2 Juni 1988 DIREKTUR JENDERAL PPM DAN PLP, ttd Dr. S.L. LEIMENA, MPH NIP. 140021547 Tembusan Kepada Yth. : 1. Bapak Menteri Kesehatan sebagai laporan 2. Bapak Menteri Dalam Negeri 3. Bapak Menteri Pertahanan dan Keamanan 4. Bapak Menteri Perhubungan 5. Bapak Menteri Pariwisata Pos dan Telekomunikasi 6. Markas Besar Palang Merah Indonesia 7. Para Eselon I Departemen Kesehatan 8. Gubernur Kepala Daerah Tk. I Seluruh Indonesia 9. Kepala Kantor Wilayah Departemen Kesehatan 10. Kepala Dinas Kesehatan Tk. I Seluruh Indonesia 11. Direktur Rumah Sakit Seluruh Indonesia 12. Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia 13. Pengurus Besar Persatuan Dokter Gigi Indonesia.

Doing easyly what others feel difficult is talent, doing what is impossible for talent is genius

Cermin Dunia Kedokteran No. 75, 1992 61

ABSTRAK
PENTAMIDIN UNTUK INFEKSI PCP Duaratus duapuluh tiga pasien AIDS tanpa PCP (Pneumocystis carinii pneumonia) mengikuti percobaan untuk melihat efektivitas 300 mg. pentamidin per inhalasi dalam mencegah komplikasi infeksi PCP. Ternyata 8 pasien dari kelompok pentamidin dan 23 pasien dari kelompok placebo mendapatkan infeksi PCP; meskipun demikian tidak ada yang meninggal dunia dalam 60 hari setelah diagnosis infeksi PCP ditentukan. Penelitian ini menunjukkan bahwa 300 mg. pentamidin yang diberikan per inhalasi (aerosol) setiap 4 minggu telah ditoleransi dengan baik dan 60 70% efektif dalam mencegah infeksi PCP.
N Engl J Med 1991; 325: 593-8 Hk

TRANSMISI HIV-1 Untuk meneliti kemungkinan transmisi HIV-1 dari ibu ke bayinya setelah persalinan (postnatal transmission), 212 pasang ibu anak HIV-1 seronegatif di Kigali,Rwanda, diperiksasecaraberkala setiap 3 bulan dengan metode Western Blot dan PCR. Setelah masa follow-up rata-rata selama 16,6 bulan, 16 dari 212 ibu tersebut menjadi HIV-1 seropositif, dan di antara anak-anaknya (16 orang), 9 menjadi seropositif. Serokonversi HIV1 terjadi pada 4 dan 5 bayi yang lahir dari ibu yang menjadi seropositif dalam 3 bulan postpartum, dan pada 4 dari 10 ibu yang menjadi seropositif antara bulan ke 4 21 postpartum. Penelitian ini menunjukkan bahwa HIV-1 dapat ditularkan selama periode postnatal, mungkin melalui kolostrum dan air susu ibu.
N Engl J Med 1991; 325: 593-8 Hk

ZIDOVUDIN UNTUK ANAK Zidovudin merupakan salah satu obat yang diselidiki kegunaannya terhadap AIDS; obit ini juga telah diberikan pada 88 anak dengan infeksi HIV yang telah lanjut. Obat tersebut diberikan selama 24 minggu secara berobat jalan dengan dosis 180 mg/m2 permukaan tubuh/kali pemberian, diberikan setiap 6 jam per oral. Da 88 anak tersebut (usia rata-rata 3,9 tahun, antara 4 bulan sampai 11 tahun), 61 anak berhasil menyelesaikan percobaan dan 49 anak di antaranya tetap mendapatkan zidovudin sampai 90 minggu (lama rata-rata follow-up 56 minggu). Efek samping hematologik berupa anemia (Hb < 75 g/1) diderita oleh 23 (26%) pasien dan netropeni (netrofil < 0.75 x 109/1) pada 42 (48%) pasien. Di antara yang mengalami efek samping ini, hanya 3 anak yang hams menghentikan pengobatannya, sedang 30 anak memerlukan transfusi atau penurunan dosis zidovudin. Pada akhir percobaan, terdapat perbaikan bermakna dalam hal berat badan, fungsi kognitif (terutama pada anak usia < 3 tahun), konsentrasi p24 antigen dalam plasma dan cairan otak, dan persentase kultur HIV negatif. Penelitian ini menunjukkan bahwa zidovudin 180 mg/m2 setiap 6 jam dapat diberikan dengan aman pada anak-anak HIV positif, dan perbaikan yang terjadi serupa dengan pada pasien-pasien dewasa.
N Engl Med.1991; 324: 1018-25 Hk

Limabelas obat yang tidak tercantum lagi dalam daftar ialah : Beklometason Benzilpenisilin Kalsium glukonat Asam khromoglikat Dehidroemetin Efedrin Homatropin Iohexol Probenesid Na-stiboglukonat Sulfasetamid karena dianggap telah ada penggantinya yang efektif dan lebih aman. Sedangkan obat yang baru dicantumkan dalam daftar yang terakhir ini ialah : Albendazol Asam aminobenzoat sp 15 Amoksisilin Antitetanus imunoglobulin Benzilperoksid Kaptopril Dakarbazin Hidrogen peroksid Vaksin MMR (measles-mumpsrubella) Mupirocin Permethrin Poligelin K-Fe-hexasianoferat Rifampisin + isoriiazid Selenium sulfid (shampoo)
Lancet 1991; 338: 743-5 Brw

OBAT ESENSIAL Baru-baru ini WHO mengeluarkan revisi dan Daftar Obat Esensial. Path daftar yang terakhir ini (1990) ini tercantum 238 obat esensial (kenaikan sebesar 4,8%) dan 30 obat komplementer.

DIAGNOSTIK SINDROM SEPTIK Diagnosis sindrom septik ditegakkan bila ditemukan : Tanda klinis infeksi. Takipnea (> 20 kali/menit atau > 10 1/menit bila menggunakan ventilasi mekanik). Takikardi (> 90 kali/menit). Hipertermi (> 38,3C) atau hipotermi

62 Cermin Dunia Kedokteran No. 75, 1992

ABSTRAK
(> 35,6C). Tanda perfusi inadekuat, termasuk satu/lebih hal di bawah ini : Hipoksemi (PaO2/FiO2 280 tanpa penyebab paru/kardiovaskular) Peninggian laktat dalam plasma Oliguri (< 0,5 ml/kg.bb selama minimal 1 jam pada pasien dengan kateter). Sedangkan syok septik adalah bila adanya gejala-gejala tersebut di atas diikuti juga dengan hipotensi (sistolik <90 mmHg atau penurunan > 40 mmHg selama minimal 1 jam, tanpa tanda hipovolemi, penggunaan antihipertensi, infark miokard ataupun emboli paru).
Lancet 1991; 338: 732 Brw

TERAPI ANTIMIKROBIAL PADA TAHUN 2000 Kemoterapi penyakit infeksi dimulai di Berlin, Jerman yaitu dengan digunakannya methylene blue i.v. yang secara klinik efektif dalam pengobatan 2 penderita malaria oleh Paul Ehrlich pada tahun 1891. Seratus tahun kemuthan di tempat yang sama diselenggarakan Congress of Chemotherapy yang membicarakan trend pengobatan penyakit infeksi pada tahun 2000. Pengembangan obat baru untuk penyakit infeksi sangat berkaitan erat dengan pola peningkatan resistensi dari kuman penyebab infeksi. Akhir-akhir ini dilaporkan terjadinya peningkatan resistensi dari berbagai kuman'seperti methicillin-resistant staphylococci (MRSA), penicillin-resistant pneumococci, endocarditis-causing streptococci, dan Klebsiella sp. yang mampu membentuk enzim yang menyebabkan kuman resisten terhadap sefalosporin generasi 3. Demikian pula terjadi peningkatan resistensi Ps. aeruginosa

terhadap siprofloksasin, imipenem dan ceftazidine serta peningkatan resistensi kuman Mycobacterium tuberculosis dan Mycobacterium leprae. Berbagai virus juga sudah mulai resisten terhadap antiviral yang ada. Virus herpes simplex menjadi resisten terhadap asiklovir dan infeksi sitomegalovirus memperberat penderita AIDS. Demikian pula berbagai jamur penginfeksi yang semakin "bandel", seperti Aspergillus dan Cryptosporidia serta Plasmodium falciparum dan Toxoplasma. Beberapa kuman penghasil betalaktamase telah diidentifikasi sebanyak 25 jenis dan telah resisten terhadap berbagai antibiotika, bahkan terhadap senyawa cefotaxim, ceftriaxone dan ceftazidine sehingga pemakaian carbopenem, imipenem dan penghambat betaiaktamase generasi baru akan semakin penting di masa mendatang. Produk-produk baru yang diperkirakan akan menjadi that pilihan pada era tahun 2000 yaitu : 1. Macrolide : azithromycin dengan profil kadar jaringan/plasma yang tinggi. Demikian pula produk-produk seperti azalide dan streptogamin yang efektif untuk kuman-kuman yang resisten. 2. Fluoroquinolone yang dikombinasikan dengan sefalosporin oral generasi 3. 3. Antifungal generasi baru seperti fluconazole. Pengobatan penderita sepsis dapat dilakukan dengan pemberian centroxin, suatu antibodi monoklonal yang dikembangkan oleh Centocor, walaupun saat ini biayanya dirasakan sangat mahal yaitu US$ 3,500 per terapi. Pengobatan profilaksis dengan antibiotika masih relevan pada penderita dan keadaan tertentu seperti pencegahan endokarditis pada penderita yang mengalami "bowel surgery", demikian

pula penggunaan cytokines dan vaksinasi.


Market Letter, July 8, 91 VSR

DIABETES PADA KEHAMILAN Pengaruh metabolisme ibu hamil terhadap inteligensi anak yang dikandungnya, telah diteliti pada 223 wanita; 89 wanita dengan pregestational diabetes mellitus, 99 wanita dengan gestational diabetes mellitus dan 35 wanita normal. Parameter ibu yang diukur ialah kadar gula darah puasa, kadar HbAlc, episode hipoglikemi, episode asetonuri, kadar beta-OH butirat dan kadar asam lemak bebas. Sedangkan anak yang dilahirkan diperiksa dengan skala Stanford-Binet pada usia 3, 4 dan 5 tahun, untuk kemudian diambil nilai rataratanya. Setelah dikoreksi menurut faktor sosio-ekonomi, ras dan etnik, skala Bayley pada usia 2 tahun berbanding terbalik dengan kadar beta-OH butirat ibu pada trimester ke tiga (r = -0,21,p < 0,01). Nilai Stanford-Binet berbanding terbalik dengan kadar beta-OH butirat trimester ke tiga (r = -0,20. p < 0,02) dan dengan kadar asam lemak bebas (r = -0,27, p < 0,002). Diabetes selama kehamilan dapat mempengaruhi perkembangan tingkah laku dan intelek anak yang sedang dikandung.
N. Engl. J. Med 1991; 325: 911-6 Hk

Cermin Dunia Kedokteran No. 75, 1992 63

Ruang Penyegar dan Penambah Ilmu Kedokteran


Dapatkah saudara menjawab pertanyaan-pertanyaan di bawah ini?
1. Darah tertua yang diketahui telah tercemar HIV berasal dari : a) Amerika Serikat b) Haiti c) Zaire d) Uganda e) Perancis 2. Virus HIV dalam darah menyerang sel : a) Netrofil b) T limfosit c) B limfosit d) Sel mast e) Monosit 3. Negara ASEAN yang terbanyak melaporkan kasus AIDS : a) Indonesia b) Singapura c) Malaysia d) Thailand e) Filipina 4. Penularan melalui hubungan homoseksual terutama terjadi di: a) Afrika b) Haiti c) Thailand d) Brazilia e) Australia 5. Infeksi yang banyak dikaitkan dengan AIDS disebabkan oleh : a) Streptokokus b) Stafilokokus c) Pneumokokus d) Kriptokokus e) Semua benar 6. Yang tidak termasuk gejala major AIDS : a) Penurunan berat badan lebih dari 10% b) Demam lebih dari satu bulan c) Diare kronik lebih dari satu bulan d) Batuk lebih dari satu bulan e) Semua termasuk 7. Tes penyaring AIDS menggunakan metode : a) ELISA b) Western Blot c) RIPA d) Imunfluoresensi e) Semua digunakan 8. Desinfektan yang efektif untuk membunuh HIV : a) Alkohol b) Lisol3% c) Formalin 1% d) Na-hipokiorit 0,5% e) Semua efektif 9. Laporan adanya kasus tersangka AIDS dialamatkan ke : a) Menteri Kesehatan b) Kepala DirektoratJendral PPM dan PLP c) Kepala DirektoratPenyakit Menular d) Kepala DirektoratEpidemiologi dan Imunsasi e) Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan 10. Sterilisasi dengan cara merebus dalam air mendidih harus dilakukan minimal selama : a) 5 menit b) 10 menit c) 15 menit d) 20 menit e) 30 menit

64 Cermin Dunia Kedokteran No. 75, 1992

Anda mungkin juga menyukai