Anda di halaman 1dari 4

Nama NPM

: Hafidz Putra Arifin : 110110080311

Mata Kuliah : Hukum Hak Asasi Manusia (kelas C)

Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dibentuk berdasarkan UU No 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Lahirnya Undang-undang Perlindungan Saksi dan Korban yang memakan waktu cukup panjang ini ditujukan untuk memperjuangkan diakomodasinya hak-hak saksi dan korban dalam proses peradilan pidana. Berbeda dengan beberapa negara lain, inisiatif untuk membentuk Undang-Undang perlindungan bagi saksi dan korban bukan datang dari aparat hukum, polisi, jaksa, atau pun Pengadilan yang selalu berinteraksi dengan saksi dan korban tindak pidana, melainkan justru datang dari kelompok masyarakat yang memiliki pandangan bahwa saksi dan korban sudah saatnya diberikan perlindungan dalam sistem peradilan pidana. Di samping itu, minimnya perhatian yang serius oleh aparat penegak hukum terhadap saksi-korban membuat RUU ini harus selalu didesakkan hampir setiap tahun sejak 2001 hingga 2005 agar masuk dalam rencana Prolegnas. Gagasan untuk menghadirkan undang-undang perlindungan saksi dan korban dimulai pada tahun 1999, di mana beberapa elemen masyarakat mulai mempersiapkan perancangan undang-undang perlindungan saksi. Hal ini kemudian disusul dengan adanya naskah akademis tentang undang-undang perlindungan saksi dalam proses peradilan pidana. Naskah akademis ini kemudian menghasilkan RUU perlindungan saksi. Selanjutnya, tahun 2001 undang-undang perlindungan saksi diamanatkan untuk segera dibentuk berdasarkan Ketetapan MPR No. VIII Tahun 2001 tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Juni 2002 Badan Legislasi DPR RI mengajukan RUU Perlindungan Saksi dan Korban yang ditandatangani oleh 40 anggota DPR dari berbagai fraksi sebagai RUU usul inisiatif DPR. Indonesia meratifikasi UN Convention Against Corruption pada tahun 2003. Dalam pasal 32 dan 33 konvensi ini disebutkan bahwa kepada setiap negara peratifikasi wajib menyediakan perlindungan yang efektif terhadap saksi atau ahli dari pembalasan atau intimidasi termasuk keluarganya atau orang lain yang dekat dengan mereka. Awal 2005 Rencana Aksi Nasional Pemberantasan Korupsi (RAN PK) yang disusun oleh Bappenas menjadwalkan pembahasan RUU Perlindungan Saksi pada triwulan kedua 2005. Februari 2005 Rapat Paripurna ke 13 DPR RI Peridoe 2004-2009, telah menyetujui Program Legislasi Nasional. Salah satu RUU yang diprioritaskan untuk segera dibahas adalah RUU Perlindungan Saksi. Sepuluh fraksi di DPR RI memandang bahwa RUU Perlindungan Saksi memiliki peran strategis dalam upaya penegakan hukum dan memciptakan pemerintahan yang bebas dari korupsi. Akhirnya Juni 2005 RUU Perlindungan Saksi dan Korban disampaikan dalam surat pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat kepada Presiden. Lalu, tanggal 30 Agustus 2005 Presiden mengeluarkan surat penunjukan wakil untuk membahas RUU tentang Perlindungan Saksi dan Korban yang menugaskan Menteri Hukum dan HAM mewakili pemerintah dalam

pembahasan RUU tersebut. Januari 2006 pemerintah yang diwakili Departemen Hukum dan HAM menyerahkan Daftar Inventarisasi Masalah, tentang RUU Perlindungan Saksi dan Korban kepada DPR RI. Awal Februari 2006 komisi III DPR RI membentuk Panitia Kerja yang terdiri dari 22 orang untuk membahas RUU Perlindungan Saksi dan Korban. Pada bulan Juli 2006, Rapat Paripurna DPR RI akhirnya mengesahkan RUU Perlindungan Saksi dan Korban menjadi UU Perlindungan Saksi dan Korban. Sepuluh fraksi di DPR RI mendukung keberadaan UU tersebut. 11 Agustus 2006 Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengesahkan UndangUndang Perlindungan Saksi dan Korban (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 64). Salah satu amanat yang ada dalam UU Perlindungan Saksi dan Korban ini adalah pembentukan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) yang dibentuk paling lambat setahun setelah UU Perlindungan Saksi dan Korban disahkan. Dalam perkembangan selanjutnya, LPSK dibentuk pada tanggal 8 Agustus 2008. Di dalam UU Perlindungan Saksi dan Korban disebutkan bahwa LPSK adalah lembaga yang mandiri namun bertanggung jawab kepada Presiden. Disebutkan pula bahwa Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban adalah lembaga yang bertugas dan berwenang untuk memberikan perlindungan dan hak-hak lain kepada Saksi dan/atau Korban sebagaimana diatur dalam Undang-Undang. Ruang lingkup perlindungan ini adalah pada semua tahap proses peradilan pidana. Tujuan Undangundang ini adalah untuk memberikan rasa aman kepada saksi dan/atau korban dalam memberikan keterangan dalam proses peradilan pidana. LPSK pada saat ini Kurangnya itikad baik dari pemerintah dalam memberikan perlindungan saksi dan korban mengakibatkan tidak banyak kemajuan signifikan yang dicapai dalam hal perlindungan saksi dan korban di Indonesia sejak diundangkannya UU Perlindungan Saksi dan Korban pada tahun 2006. Akibatnya, keadilan dalam sistem peradilan di Indonesia masih sulit tercapai dan pelanggaran-pelanggaran terhadap hak asasi manusia masih juga belum dapat tersentuh hukum. Proses pembahasan UU Perlindungan Saksi dan Korban yang dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Pemerintah itu sendiri memakan waktu hingga lima tahun. Meski Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) kemudian didirikan pada tahun 2006, proses pemilihan para anggotanya memakan waktu satu tahun. Sehingga secara de facto, LPSK baru benar-benar terbentuk pada tahun 2008 dan baru menerima dana dari pemerintah untuk membiayai kegiatannya pada Desember 2008. Tentunya hal tersebut mengakibatkan LPSK mengalami kesulitan dalam melaksanakan program-programnya, yang juga diperparah dengan fakta bahwa LPSK sendiri masih kekurangan pegawai sehingga pekerjaan-pekerjaan yang dilakukan pun masih belum dapat dilakukan secara efektif. Sepanjang tahun 2008 tercatat bahwa LPSK menerima 10 permohonan perlindungan saksi atau korban, sementara pada tahun 2009 jumlah tersebut meningkat hingga 74 permohonan. Peningkatan permohonan perlindungan yang signifikan tersebut, sayangnya, tidaklah diimbangi dengan kapasitas LPSK untuk memberikan perlindungan secara efektif. Kesulitan finansial tidaklah seharusnya dijadikan dalih bagi pemerintah Indonesia dalam menjawab masalah tidak efektifnya perlindungan saksi dan korban. Berdasarkan pendapat para ahli, pemerintah telah gagal menghabiskan anggaran sebesar Rp 38 triliun (sekitar US$ 4 milyar) atau sekitar 30% dari total anggaran tahun 2009. Terlebih lagi, pada penghujung tahun 2009, 150 pejabat pemerintah menerima Toyota Crown Royal Saloons sebagai mobil dinas baru yang bernilai Rp 1. 3 milyar (sekitar US$ 138.000) per unitnya. Berdasarkan

perhitungan Direktur Jamkesmas Departemen Kesehatan, Chalik Masulili, uang yang dihabiskan untuk membelanjakan satu unit Toyota Royal Saloons tersebut dapat menyediakan layanan kesehatan untuk 21.667 rakyat yang kurang mampu selama satu tahun penuh. Tentunya jumlah yang demikian besar juga akan lebih berguna untuk membiayai kegiatan yang dilakukan oleh lembaga negara seperti LPSK. Selain itu, meski LPSK diamanatkan oleh undang-undang untuk memberikan restitusi atau kompensasi kepada saksi dan korban melalui mekanisme peradilan, nyatanya korban dan keluarga sering tidak dapat mengakses hal tersebut yang sebenarnya merupakan bagian dari hak atas pemulihan. Misalnya saja yang terjadi pada kasus Tanjung Priuk, di mana Mahkamah Agung memutuskan untuk menolak permohonan kasasi sehingga tidak ada satupun pelaku pembunuhan ekstra yudisial, penghilangan paksa, penyiksaan, peradilan yang tidak jujur, serta penangkapan dan penahanan sewenang-wenang pada kasus tersebut yang dihukum. Sebagai konsekuensi, tidak ada reparasi yang bisa didapatkan oleh para korban dan keluarga. Disini dapat terlihat bahwa reparasi sangatlah tergantung pada itikad baik pemerintah untuk mengakui ada tidaknya suatu insiden, dan bukan pada proses yang didasarkan pada hukum dan peradilan yang jujur. Keadilan tidak akan pernah tercapai tanpa adanya reparasi. Secara umum, independensi dan integritas dari LPSK juga patut dipertanyakan. Pertama, adanya pertimbangan politik baik dari Presiden maupun DPR ketika memilih para anggota LPSK tidaklah sejalan dengan adanya kebutuhan akan netralitas dan independensi dalam perlindungan saksi dan korban atas kejahatan, yang mungkin saja, dilakukan oleh para pejabat itu sendiri. Selain itu, rekaman percakapan antara Wakil Ketua LPSK, Ktut Sudiarsa, dengan Anggodo Widjojo mengenai tawaran perlindungan LPSK terhadap Anggoro Widjojo (kakak Anggodo), telah melanggar UU Perlindugan Saksi dan Korban. Sebagaimana dinyatakan oleh ahli hukum dari Universitas Gajah Mada Yogyakarta, Zainal Arifin Muchtar, Masalah LPSK tersebut merefleksikan wajah buruk dan korup dalam proses seleksi untuk pengisian jabatan-jabatan tinggi di lembaga penegakan hukum. Kepercayaan dan dukungan masyarakat terhadap lembaga penegakan hukum tentunya akan tumbuh apabila proses seleksi dilakukan dengan layak. Dengan adanya dukungan dari masyarakat, tentu kerja-kerja yang dilakukan oleh lembaga penegak hukum akan menjadi lebih efektif. Karenanya, proses yang dilakukan bukan hanya harus adil, melainkan juga harus menghasilkan individu-individu yang jujur, terpercaya, serta berpengalaman untuk duduk di jabatan-jabatan penting pada lembaga penegak hukum. Demikian, dapat disimpulkan bahwa LPSK hingga saat ini masih gagal dalam memberikan perlindungan terhadap saksi dan korban kejahatan dan pelanggaran hak asasi manusia berikut keluarganya, dimana mereka juga kerap menjadi korban ancaman, intimidasi, ataupun kekerasan serta hidup dalam bayang-bayang ketakutan akan pembunuhan dan penghilangan paksa. Pada tahun 2008, sebelas saksi mengaku mengalami ancaman kemudian mengadu ke polisi untuk mendapatkan perlindungan namun tidak satupun pengaduan tersebut ditanggapi secara positif. Mereka yang berani untuk mengutuk pelanggaran hak asasi manusia bahkan kemudian dituntut atas tuduhan pencemaran nama baik. Usman Hamid, Koordinator KontraS sekaligus saksi dalam persidangan Muchdi Purwopranjono (diduga sebagai otak pelaku pembunuhan aktivis HAM, Munir Said Thalib, pada tahun 2004), mengalami hal tersebut. Dua aktivis anti korupsi juga dilaporkan ke polisi oleh Kejaksaan Agung atas tuduhan yang sama, setelah mereka mengeluarkan pernyataan ke publik mengenai adanya ketidaksesuaian dalam laporan keuangan Kejaksaan Agung yang mencapai milyaran rupiah. Dua kasus tersebut hanyalah contoh dari begitu banyaknya kasus mengenai pelanggaran atas kebebasan

berpendapat yang dilakukan dengan mengkriminalisasi tindakan dari pengungkap kejahatan (whistleblowers) dan aktivis hak asasi manusia. Penting untuk digarisbawahi bahwa keadilan tidak akan pernah tercapai tanpa adanya perlindungan saksi dan korban yang memadai. Impunitas akan terus terjadi apabila saksi dan korban tidak merasa cukup berani untuk bersaksi atau mengadu. Seringkali terjadi, polisi menolak untuk menindaklanjuti pengaduan, menghancurkan atau menghilangkan bukti, dan mengancam pihak-pihak yang mencoba untuk mengutuk kejahatan. Proses hukum setengah hati yang dilakukan polisi, ketakutan akan adanya ancaman, dan tidak adanya perlindungan saksi dan korban yang efektif, merupakan penyebab dari tidak terwujudnya keadilan dan peradilan yang jujur di Indonesia. LPSK haruslah diberikan dukungan yang cukup supaya dapat menjalankan apa yang menjadi tugas dan kewajiban utamanya. Harus pula diingat bahwa perlindungan saksi dan korban juga melingkupi penindaklanjutan atas pengaduan yang mereka sampaiakan, yang tentunya membutuhkan adanya perubahan menyeluruh dalam kultur kepolisian di Indonesia. Perlindungan saksi dan korban yang efektif merupakan suatu langkah yang dibutuhkan untuk mengakhiri kultur impunitas dan juga pelanggaran hak asasi manusia. Tanpa adanya dukungan yang sifatnya substansial dari seluruh lembaga negara, LPSK tidak akan bisa melaksanakan apa yang menjadi tugas dan tanggung jawabnya dengan efektif, ataupun mengisi celah dalam perlindungan saksi dan korban yang sedianya menjadi tanggung jawab mereka.

Anda mungkin juga menyukai