Anda di halaman 1dari 28

Page 1 of 28

RAMBU-RAMBU MASYARAKAT YANG ISLAMI DALAM


NAUNGAN SURAT AL-HUJURAT AYAT 1 9
Oleh : Abdul Syakur

I. PENDAHULUAN

:
Segala puji bagi Allah swt. Shalawat dan salam senantiasa kita
haturkan kepada Nabi Muhammad saw. beserta keluarga dan sahabat-
sahabatnya.
Masyarakat adalah kumpulan sekian banyak individu kecil atau
besar yang terikat oleh satuan, adat, ritus atau hukum khas, dan hidup
bersama. Apakah Al-Quran bicara tentang masyarakat? Ini merupakan
sebuah pertanyaan yang perlu dijawab oleh para cendikiawan muslim.
Sehingga dapat menunjukkan kepada dunia, bahwa Islam dengan kitab
sucinya Al-Quran merupakan agama yang sempurna. Agama yang dapat
dijadikan pedoman hidup, baik bagi individu maupun masyarakat.
Al-Quran merupakan kitab suci yang menjadi pentunjuk bagi
manusia, khususnya orang beriman dan lebih khusus lagi orang yang
bertakwa sesuai dengan firman Allah SWT :
ElgO CU4-:^- =UuC4O O
gOOg O O1- =}1+Ug ^g
Kitab (Al Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka
yang bertaqwa
1
(QS. Al-Baqarah [2]: 2).

Petunjuk yang mendorong lahirnya perubahan-perubahan yang
lebih baik bagi individu-individu yang hidup dalam masyarakat. Bila
setiap individu mengalami perubahan positif, maka akan membentuk

1
Takwa Yaitu memelihara diri dari siksaan Allah dengan mengikuti segala perintah-
perintah-Nya; dan menjauhi segala larangan-larangan-Nya; tidak cukup diartikan dengan takut
saja.
Page 2 of 28

masyarakat yang baik. Perubahan positif ini, dalam Al-Quran disebutkan :
(mengeluarkan manusia dari gelap gulita
menuju cahaya terang benerang).
Al-Quran pun menjelaskan secara baik rambu-rambu atau hukum-
hukum kemasyarakatan dan juga memberikan contoh masyarakat yang
baik dan masyarakat yang tidak baik. Seperti masyarakat (kaum) Nabi Nuh
as. yang sebagian besar mereka adalah pembangkang dan penentang.
Sedangkan contoh masyarakat yang baik adalah masyarakat (umat) Nabi
Muhammad saw. sesuai firman Allah swt.:
+-L7 4OOE= OE`q
;eE_@Ou=q +EE4Ug
4p+O> NOuE^)
]OE_u4>4 ^}4N @OE:L^-
4pONLg`u>4 *.) O4
;4`-47 Nu- U4-:^-
4p~ -LOOE= _- _
N_uLg)` ]ON4g`u^-
N-+O4-4
4pOOE^- ^
kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia,
menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan
beriman kepada Allah. Sekiranya ahli kitab beriman, tentulah itu lebih
baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan
mereka adalah orang-orang yang fasik. (QS. Ali Imran [3]: 110).

Untuk membentuk masyarakt (umat) terbaik, diperlukan rambu-
rambu. Rambu-rambu yang terbaik adalah yang terdapat dalam Al-Quran.
Salah satu surat yang banyak berbicara tentang pengaturan pembentukan
masyarakat yang Islami ada dalam surat Al-Hujurat.
Berdasarkan hal tersebut, dalam makalah ini penulis berusaha
untuk menafsirkan surat tersebut dengan menggunakan metode tafsir
tematik (maudhui) yang diberi judul Rambu-Rambu Masyarakat yang
Islami dalam Naungan Surat Al-Hujurat Ayat 1 9.

II. PEMBAHASAN
Page 3 of 28

A. Rambu Pertama: Adab Kepada Allah, Rasulullah saw. dan Ulama
Allah yang Maha Pengasih dan Penyayang dengan bahasa yang
lembut penuh kasih sayang mengajarkan tuntunan dan larangan dalam
hidup bermasyarakat dengan cara beradab kepada Allah dan Rasul-
Nya. Hal ini tampak pada ayat pertama surat Al-Hujurat, yaitu:
Og^4C 4g~-.-
W-ONL4`-47 W-ON`g->
4u-4 +OE4C *.-
g).Oc4O4 W
W-OE>-4 -.- _ Ep)
-.- 77OgE- 7)U4 ^
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah
dan Rasulnya dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah
Maha mendengar lagi Maha mengetahui. (QS. Al-Hujurat [49]: 1).

Dari ayat di atas, hati yang penuh cahaya iman dapat
merasakan kasih sayang Allah kepadanya walaupun pada suatu
larangan. Allah melarang tapi dengan kelembutan. Artinya larangan
merupakan salah satu tanda sayangnya Allah kepada orang-orang
beriman. Seorang ibu melarang anaknya yang berusia sepuluh tahun
mengendarai motor karena dia sayang kepadanya, tapi tentunya sang
ibu harus belajar kepada Allah bagaimana cara melarang hamba-
Nya. Allah melarang kepada hamba-Nya dengan bahasa yang penuh
kasih sayang.
1. Adab Kepada Allah dan Rasul-Nya
Lalu, apa adab orang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya?
Diantara adab kepada Allah dan Rasul-Nya secara bersamaan adalah
sebagai berikut:
a. Tidak tergesa-gesa dalam menetapkan sesuatu sebelum ada
ketetapan dari Allah melalui Rasul-Nya. Sebagaimana pendapat
Ibnu Katsir, beliau mengatakan dalam menafsirka ayat di atas,
Jangalah tergesa-gesa dalam menetapkan sesuatu di hadapannya
Page 4 of 28

yaitu sebelum beliau menetapkannya. Tetapi jadilah pengikutnya
dalam seluruh perkara.
2

b. Adab dalam menetapkan suatu hukum dengan urutan : Al-Quran,
Hadits Nabi setelah itu ijtihad. Hal ini sesuai dengan hadits Muaz
ra., yang mana Rasulullah bersabda kepadanya ketika dia diutus ke
negeri Yaman, Dengan apa kamu menetapkan hukum? Muaz
menjawab, Dengan Kitab Allah. Kemudian Nabi saw. bertanya
kembali, Bila engkau tidak menemukan (dalam Al-Quran)?
Muaz menjawab, Dengan Sunnah Rasulullah saw. Nabi kembali
bertanya, Jika engkau tidak menemukan pula? Muaz menjawab,
Aku akan berijtihad menggunakan nalarku. Mendengar
jawabannya, Rasulullah mengelus-ngelus dada Muaz (pertanda
gembira) dan bersabda, Alhamdulillah yang telah memberi taufik
kepada utusan Rasulullah sebagaimana diridhai oleh Rasulullah.
(HR. Ahmad, Abu Daud, At-Tirmizi dan Ibn Majah).
c. Berhukum dengan Al-Quran dan Hadits merupakan suatu
kewajiban bagi semua orang beriman. Sebagaimana pendapat Az-
Zamahsyari, Disebutkan padanya (pada ayat tersebut)
permasalahan yang penting. Allah swt. memulai surat Al-Hujurat
dengan kewajiban (bagi orang beriman) mendahulukan segala
perkara yang berhubungan dengan Allah dan Rasul-Nya
dibandingkan dengan perkara-perkara lainnya tanpa ikatan dan
kekhususan.
3
Senada dengan ungkapan di atas, Imam Al-Qurthubi
menafsirkan, - firman Allah tersebut merupakan dasar dalam

2
Al-Imam Abi Al-Fida Ismail ibn Katsir Al-Qurasy Al-Dimasyqi, Tafsir Ibnu Katsir, Jil.
4, (Bairut: Darul Fiqr, 1987), hlm. 206. Ungkapan yang semakna lihat : Muhammad bin Jarir bin
Yazid bin Katsir bin Ghalib Al-Amali Abu Jafar At-Thabari, Jamiu Al-Bayan fi Tawil Al-Quran,
Tahqiq Ahmad Muhammad Syakir, (Majma Al-Malik Fahd li Thabaah Al-Mushaf As-Syarif :
www.qurancomplex.com, Juz. 22, Cet. Ke-1, 2000), hlm. 272
3
Abu Al-Qasim Jaraa Allah Mahmud ibn Umar Az-Zamahsyari Al-Khawarijmi, Al-
Kassyaf An Haqaiq At-Tanziil wa Uyun Al-Aqawiil fi Wujuhi At-Tawil, Jild. 3, (Beirut: Darul
Fiqr, tanpa tahun), hlm. 552
Page 5 of 28

menjauhi penentangan terhadap perkataan Nabi saw dan kewajiban
untuk mengikutinya serta mengamalkan perintahnya.
4

d. Dalam memutuskan suatu hukum, fatwa dan syariat Islam tidak
boleh bertentangan dengan Al-Quran dan hadits Nabi saw.
Abdullah ibn Abbas berkata, Janganlah kamu berkata menyelisihi
Al-Kitab dan As-Sunnah. Mujahid berkata, Janganlah kamu
memberi fatwa tentang sesuatu atas Rasulullah saw. sehingga
Allah memutuskan perkara melalui lisan beliau. Dan Adh-
Dhahhak berkata, Janganlah kamu menetapkan suatu perkara
tentang syariat agamamu tanpa Allah dan Rasulnya.
5

e. Adab kepada Allah dan Rasul-Nya bukan hanya pada hal ibadah
semata tapi seluruh segi kehidupan. Berkata Sufyan Ats-Tsauri,
(janganlah kamu mendahului Allah dan Rasulnya) dalam
perkataan dan perbuatan.
6
Diperjelas oleh Imam al-Qurthubi,
jangan mendahului secara perkataan dan perbuatan di hadapan
Allah swt. serta perkataan dan perbuatan Rasul-Nya yang
berkenaan dengan apa yang kalian ambil darinya dari segala urusan
agama dan dunia.
7
Dan hal ini pun dapat kita lihat pada ayat
tersebut tidak adanya objek (maful) setelah kata . Ini
bermakna bahwa tidak boleh mendahului Allah dan Rasul-Nya
dalam seluruh perkara kehidupan, karena Allah tidak menentukan
apa yang tidak boleh didahului. Sesuai dengan ungkapan Imam As-
Syaukani, bahwa ada dua pendapat mengenai kata () salah
satunya mengatakan bahwa, ia adalah mutaaddi. Yang mana
maful-nya dibuang untuk tujuan umum.
8


4
Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Abi Bakar bin Farh Al-Anshari Al-Hujjarzi
Syamsu Ad-Din Al-Qurthubi, Al-Jami li Ahkami Al-Quran, Al-Muhaqqiq Hisyam Samir Al-
Bukhari, (Maktabah Al-Madinah Ar-Raqimah www.raqamiya.org, Jil. 16, 2003), hlm. 302
5
Al-Imam Abi Al-Fida Ismail ibn Katsir Al-Qurasy Al-Dimasyqi, loc.cit. Lihat At-
Thabari, op. cit. hlm. 272 - 276
6
Ibid.
7
Al-Qurthubi, op.cit., hlm. 300
8
Muhammad bin Ali bin Muhammad As-Syaukani, Fathu Al-Qadir Al-Jamiu Baina
Fanni Ar-Riwayah wa Ad-Dirayah min Ilmi At-Tafsir, (Al-Maktabah As-Syamilah, Jil. 8), hlm. 7.
Page 6 of 28

Adab kepada Allah dan Rasul-Nya dengan derajat yang tinggi
telah dicontohkan oleh para sabahat-sahabat Nabi saw. Saat Rasulullah
bertanya kepada mereka tentang hari dan tempat yang sebenarnya
dapat mereka jawab karena mereka mengetahui hari dan tempat
tersebut, namun dengan kerendahan hati dan rasa hormat kepada Allah
melalui Rasul-Nya mereka mengungkapkan dengan kata, Allah dan
Rasul-Nya lebih mengetahui. Jawaban ini menurut Sayyid Quthb,
Mereka khawatir jika jawabannya itu mendahului Allah dan Rasul-
Nya.
9

Buktinya, dalam hadits Abi Barkah Nafi ibnu Al-Harits Ats-
Tsaqafi ditegaskan bahwa pada haji wada Nabi saw. bertanya, Bulan
apakah ini? Maka dijawab, Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui.
Beliau diam, sehingga para sahabat mengira bahwa beliau akan
menamainya dengan nama lain. Beliau bertanya kembali, Bukankah
sekarang bulan Zulhijjah? Mereka menjawab, Benar, Beliau
bertanya, Negeri apakah ini? Mereka menjawab, Allah dan Rasul-
Nya lebih mengetahui. Beliau diam, sehingga kami mengira bahwa
beliau akan menamainya dengan nama lain. Beliau bertanya kembali,
Bukankah negeri ini adalah Tanah Haram? Mereka menjawab,
Benar. Beliau bertanya, Hari apakah ini? Mereka menjawab,
Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui, Beliau diam, sehingga kami
mengira bahwa beliau akan menamainya dengan nama lain. Beliau
bertanya kembali, Bukankah sekarang merupakan hari Nahar?
Mereka menjawab, Benar.
Nampak jelas dari hadits tersebut, adab, etika, rasa hormat, dan
ihtiram para sahabat Nabi kepada Allah dan Rasul-Nya. Hal itu
merupakan dampak dari rasa takwa di hati mereka kepada Allah swt.
yang dengannya mereka menyakini bahwa Allah Maha Mendengar dan

Pendapat yang kedua mengatakan bahwa kata ini lazim. Artinya kata yang tidak memerlukan
maful.
9
Sayyid Quthb, Tafsir Fi Dzhilali Al-Quran Jilid 10, Terjemahan Drs. Asad Yasin dkk,
(Jakarta: Gema Insani, Cet. Ke-1, 2004), hlm. 411
Page 7 of 28

Maha Melihat apapun yang mereka ucap dan perbuat terhadap Rasul-
Nya. Jadi, adab kepada Allah dan Rasul-Nya merupakan bagian dari
takwa dan dengan takwa yang terhujam dalam hati akan melahirkan
manusia yang beradab kepada Allah dan Rasul-Nya.
Inilah bagian dari rambu pertama dalam pembentukan
masyarakat yang Islami yaitu masyarakat yang terdiri dari individu-
individu yang beradab kepada Allah serta Rasul-Nya.
2. Adab Kepada Rasulullah saw.
Adab berikutnya adalah adab kepada Rasulullah secara khusus.
Yang lalu adalah adab kepada Allah serta Rasul-Nya. Karena adab
kepada Allah mesti melalui adab kepada Rasul-Nya. Artinya dengan
menjalankan apa yang Rasul-Nya perintahkan dan Rasul-Nya larang
merupakan cara beradab kepada Allah swt., kalau seorang mumin
tidak menjalankan apa yang diajarkan oleh Rasul-Nya berarti dia tidak
beradab kepada Allah swt. Sebagaimana diungkapkan oleh Imam Al-
Qurthubi, Siapa yang mendahulukan perkataan dan perbuatannya atas
Rasulullah saw., maka sungguh dia telah mendahului Allah swt, karena
Rasulullah saw. memerintahkan tentang perintah Allah swt.
10

Setelah diberikan tuntunan adab kepada Allah dan Rasul-Nya,
Allah memberikan tuntunan kepada orang beriman cara beradab
kepada Rasul-Nya secara khusus yaitu :
1. Tidak meninggikan dan mengeraskan suara melebihi suara
Rasulullah saw. Sesuai dengan firman Allah swt. dalam surat Al-
Hujurat ayat 2 yang berbunyi :
Og^4C 4g~-.-
W-ONL4`-47 W-EONO>
7>4O; -O gO=
+]/E4- 4
W-NOE_^_` +O
O^) @O;_EE
:_u4 `*u4lg p

10
Imam Al-Qurthubi, loc.cit.
Page 8 of 28

EO4l^4` 7UE;N
+^4 4p+O+;=> ^g
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan
suaramu melebihi suara Nabi, dan janganlah kamu berkata
kepadanya dengan suara yang keras, sebagaimana kerasnya suara
sebagian kamu terhadap sebagian yang lain, supaya tidak hapus
(pahala) amalanmu, sedangkan kamu tidak menyadari. (QS. Al-
Hujurat [49]: 2)

Meninggikan suara lebih dari suara Nabi atau bicara keras
terhadap Nabi adalah suatu perbuatan yang menyakiti Nabi, karena
itu terlarang melakukannya dan menyebabkan hapusnya amal
perbuatan.
2. Tidak memanggil Rasulullah saw. sebagaimana kalian memanggil
sebagian yang lain. Sesuai dengan firman Allah swt.:
Ep) -g~-.-
El4^14LNC }g` g7.-4O4
g4O+4^- -+O4-
]OUu4C .
Sesungguhnya orang-orang yang memanggil kamu dari luar
kamar(mu) kebanyakan mereka tidak mengerti. (QS. Al-Hujurat
[49]: 4).

Dalam ayat yang lain, Allah swt. berfirman :
W-OUE^_` 47.4N1
OcO- :E4uO4
g7.~4E 7_u4 V_u4 _
janganlah kamu jadikan panggilan Rasul diantara kamu seperti
panggilan sebahagian kamu kepada sebahagian (yang lain). (QS.
An-Nur [24]: 63).

Tuntunan tersebut memberi pengaruh yang sangat besar kepada
sahabat-sahabat Nabi saw. Padahal, sebelum ayat ini turun, mereka
berdebat di hadapan Rasulullah saw. dengan suara yang lantang.
Diriwayatkan bahwa terjadi diskusi panas antara Abu Bakar As-
Shiddiq dengan Umar bin Khattab mengenai serombongan dari Bani
Tamim yang datang menghadap Rasulullah saw. Sayyidina Abu Bakar
Page 9 of 28

mengusulkan kepada Nabi saw. agar beliau menetapkan al-Qaqa Ibn
Mabad Ibn Zararah sebagai pemimpin mereka, sedangkan Umar
mengusulkan Al-Aqra Ibn Habis. Suara kedua sahabat besar Nabi saw
itu meninggi. Abu Bakar r.a. berkata kepada Umar r.a., kamu hanya
ingin berselisih denganku. Umar. r.a. pun menjawab, aku tidak ingin
berselisih denganmu. Kedua sahabat ini berdebat hingga suaranya
terdengar cukup keras.
Pengaruh tuntunan tersebut mengubah sikap, cara bicara dan
cara bertingkah para sahabat Nabi saw. saat berbicara di hadapan
Beliau. Imam Bukhari meriwayatkan bahwa setelah turunnya ayat ini,
Sayyidina Umar r.a. tidak berbicara di hadapan Nabi saw. kecuali
dengan suara perlahan sampai-sampai Nabi saw. sering bertanya
(karena tidak mendengarnya). Dan dalam riwayat Al-Hakim
dinyatakan bahwa Sayyidina Abu Bakar bersumpah di hadapan Nabi
saw., Demi Allah yang menurunkan Al-Quran bahwa beliau tidak
akan bercakap dengan Nabi saw. kecuali seperti percakapan seorang
yang menyampaikan rahasia kepada rekannya.
Adab kepada Rasulullah saw adalah hal yang dipegang teguh
oleh para sahabat dan orang-orang yang datang sesudah mereka.
Sehingga setelah beliau wafat, dimana mereka tidak suka untuk
meninggikan suara di sisi kuburan beliau.
11
Ibnu Katsir dalam tafsirnya
meriwayatkan bahwa Amirul Muminin Umar ibn Al-Khattab ra.
bahwa ia mendengar dua laki-laki bersuara keras di masjid Nabi saw.
Umar menghampirinya dan berkata, Tahukah kamu di mana kamu
berada? Lalu Umar bertanya, Dari mana kamu? Keduanya
menjawab, Dari Thaif. Umar berkata, Andaikan kamu penduduk
Madinah, niscaya kupukul dengan keras.
12


11
Nashir bin Sulaiman Al-Umar, Surah Al-Hujurat Dirasah Tahliliyah wa Maudhuiyyah,
terjemah: Aqus Taufiq, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, Cet. Ke-1, 2001), hlm. 144
12
Al-Imam Abi Al-Fida Ismail ibn Katsir Al-Qurasy Al-Dimasyqi, op.cit., hlm. 208.
Lihat pula, Sayyid Quth, op.cit., hlm. 412. Lihat pula, M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Vol.
13, hlm. 231 - 232
Page 10 of 28

Demikianlah, hati mereka gemetar dan berguncang karena
pengaruh seruan kesayangan dan seruan supaya wanti-wanti.
Demikianlah, mereka menjadi sopan di dekat Rasulullah karena
khawatir amalnya terhapus tanpa mereka sadar. Jika mereka
menyadari, niscaya diperbaikilah persoalannya. Namun kekeliruan
yang samar ini sangatlah ditakuti. Maka, mereka takut hingga
memelihara diri dari bersuara keras.
13

Dampak Positif dan Dampak Negatif
Perubahan sikap mereka (para sahabat) dan kelemahlembutan
mereka di hadapan Rasulullah serta cara memanggil Rasulullah dengan
kaidah-kaidah protokoler atau penghormatan dengan penuh perhatian,
seperti diungkapkan oleh Hasan Al-Banna dalam tafsirnya, Jika
datang kepada Rasulullah saw satu utusan, maka beliau mengutus
seseorang untuk memberitahukan kepada mereka bagaimana mereka
memberi salam dan menyuruh mereka agar bersikap tenang dan penuh
penghormatan di hadapan Rasulullah saw.
14
memberikan dampak
positif yang dapat diraih oleh orang yang beriman. Sebagaimana
firman Allah swt.:
Ep) =}Cg~-.- 4pOO_74C
_>4O; ELgN Oc4O
*.- Elj^q
4g~-.- =}E4-^`- +.-
g4OU~ O4O^+-Ug _
_ E4Og^E` vO;_4
v1g4N ^@
Sesungguhnya orang yang merendahkan suaranya di sisi Rasulullah
mereka Itulah orang-orang yang telah diuji hati mereka oleh Allah
untuk bertakwa. bagi mereka ampunan dan pahala yang besar. (QS.
Al-Hujurat [49]: 3).


13
Sayyid Quth, loc.cit.
14
Ahmad Saiful Islam Hasan Al-Banna, Maqashid Al-Quran Al-Karim, terjemahan
Abdurrahman Ahmad Supandi, Tafsir Hasan Al-Banna, (Jakarta: Surya Agung, Cet. Ke-1, 2010),
hlm. 570
Page 11 of 28

Dampak positif yang diperoleh orang yang merendahkan
suaranya di hadapan Rasulullah saw karena termotivasi untuk
penghormatan dan pengagungan terhadap beliau berdasarkan ayat di
atas mereka termasuk orang yang hatinya telah teruji dan disiapkan
untuk menerima anugerah. Anugerah yang diberikan menurut Sayyid
Quthb yakni, anugerah ketakwaan yang telah diputuskan untuk
diberikan kepada kalbu tersebut.
15

Masih menurut Sayyid Quthb, Ketakwaan merupakan
anugerah yang besar. Allah memilih kalbu yang akan menerimanya
setelah ia diuji, dicoba, dibersihkan, dan diseleksi. Maka, tidaklah
ketakwaan disimpan dalam suatu kalbu melainkan ia sudah siap untuk
menerimanya dan telah diputuskan bahwa kalbu itu berhak
menerimanya.
16

Sangat pas dengan sebuah riwayat yang diungkap Ibnu Katsir
dalam Tafsirnya, Berkata Imam Ahmad dalam bukunya Az-Zuhd
bahwa Mujahid berkata, Telah ditulis kepada Umar Amir Al-
Muminin sebuah pertanyaan, Mana yang lebih utama orang yang
tidak berkeinginan maksiat dan dia tidak melakukan maksiat dengan
orang yang berkeinginan maksiat dan dia tidak melakukan maksiat?
Maka Umar menjawab dengan menulis, Yang utama adalah orang
yang berkeinginan maksiat tapi dia tidak melakukan maksiat tersebut.
Dan beliau menulis ayat (
).
17

Sesungguhnya orang-orang yang hatinya diuji oleh Allah swt.
dengan bermacam-macam ujian dan beban-beban yang berat sehingga
menjadi suci dan bersih karena telah menempuh kesabaran atas yang
berat-berat, mereka akan mendapatkan ampunan atas dosa-dosa
mereka dan pahala yang besar dikarenakan mereka merendahkan suara

15
Sayyid Quth, loc.cit.
16
Ibid.
17
Al-Imam Abi Al-Fida Ismail ibn Katsir Al-Qurasy Al-Dimasyqi, loc.cit.
Page 12 of 28

dan disebabkan ketaatan-ketaatan mereka yang lain.
18
Yang dimaksud
pahala yang besar disini menurut Imam At-Thabari yaitu, Surga.
19

Sebaliknya, bagi orang yang tidak merendahkan suaranya di
hadapan Rasulullah saw dan juga memanggil beliau dengan panggilan
tanpa pengehormatan, mereka akan mendapatkan dampak negatif yaitu
dalam bentuk kecaman dengan memasukkan mereka ke dalam orang-
orang yang tidak mengerti (berakal). Bahwasanya, menurut
Abdurrahman As-Sadi, bagian dari akal dan tanda-tanda berakal
adalah penggunaan adab. Maka adab seorang hamba merupakan tanda
akalnya.
20
Sesuai dengan firman Allah swt.:
Ep) -g~-.- El4^14LNC }g`
g7.-4O4 g4O+4^-
-+O4- ]OUu4C ^j
Sesungguhnya orang-orang yang memanggil kamu dari luar
kamar(mu) kebanyakan mereka tidak mengerti. (QS. Al-Hujurat [49]:
4).
Ahmad Mushthafa Al-Maraghi mengatakan, Sesungguhnya
Allah swt. mengecam suara keras terhadap Rasulullah saw. pada saat
beliau menyendiri di balik tembok, sebagaimana teriakan yang
disampaikan oleh orang yang derajat paling rendah. Hal itu Allah
sampaikan agar menjadi perhatian tentang betapa kejinya keberanian
yang mereka lalukan terhadap Rasul. Karena, perbuatan yang
dilakukan oleh mereka (orang-orang yang bersuara keras) terhadap
Rasulullah yang diangkat derajatnya sehingga orang tidak boleh
bersuara keras keapadanya, adalah termasuk kemungkaran yang
kekejiannya tiada terhingga.
21

Kaidah Protokoler Menemui Rasulullah saw.

18
Ahmad Mushtafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, terjemah K. Anshori Umar Sitanggal
dkk, (Semarang: CV Tohaputra, Juz 26, Cet. Ke-1, 1989), hlm. 207
19
Imam At-Thabari, op.cit., hlm. 282
20
Abdu Ar-Rahman bin Nashir bin Abdullah As-Sadi, Taysiru Al-Karim Ar-Rahman fi
Tafsiri Kalami Al-Mannan, Al-Muhaqqiq, Abdurrahman bin Al-Luwaihiq, (Muassasah Ar-Risalah,
Al-Maktabah As-Syamilah: Cet. Ke-1, 2000), hlm. 799
21
Ahmad Mushtafa Al-Maraghi, op.cit., hlm. 211
Page 13 of 28

Allah tidak sekedar mengecam orang-orang yang memanggil
Rasul-Nya dengan suara keras dan tidak beretika serta menggunakan
panggilan biasa tanpa penghormatan, namun Allah yang Maha
Pengampun dan Maha Penyayang memberi petunjuk atau kaidah
protokoler menemui Rasulullah yaitu sabar dengan menunggu beliau
keluar menemui mereka. Seperti ungkapan Al-Maraghi, beliau
mengatakan, Kemudian Allah swt. menunjukkan kepada kesopanan
yang memuat kebaikan dan maslahat bagi mereka dalam agama
maupun dunia mereka, yaitu agar mereka menunggu sampai beliau
keluar kepada mereka.
22
Senada dengannya ungkapan Sayyid Quthb,
beliau mengatakan, Allah menerangkan kepada mereka cara yang
lebih baik dan utama, yaitu bersabar dan menunggu hingga beliau
menemui mereka. Allah mendorong mereka supaya bertaubat dan
kembali serta menyukai ampunan dan rahmat.
23
Hal ini berdasarkan
firman Allah swt. :
O4 gE+ W-+OE= _/4EO
ENO^C` jgO) 4p~
-LOOE= += _ +.-4 EOOEN
_OgOO ^)
dan kalau Sekiranya mereka bersabar sampai kamu keluar menemui
mereka Sesungguhnya itu lebih baik bagi mereka, dan Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Al-Hujurat [49]: 5).

3. Adab Kepada Ulama
Adab terhadap Allah dan Rasul-Nya benar-benar telah menjadi
karakter masyarakat Islam pada masa para salaf as-shalih. Bahkan
adab tersebut pun mereka terapkan kepada guru dan ulama. Sayyid
Quthub mengatakan, Kaum muslimin menyadari etika yang tinggi ini.
Lalu, etika tersebut mereka terapkan pula kepada guru dan ulama.
Mereka tidak mau mengganggu ulama dan tidak mau menjumpainya
sehingga ulama itu memanggilnya.
24


22
Ibid., hlm. 208
23
Sayyid Quthub, op.cit., hlm. 413
24
Sayyid Quthub, loc.cit.
Page 14 of 28

Nashir bin Sulaiman Al-Umar pun mengatakan, bahwa adab
ini telah betul-betul dihayati kaum Salaf, dimana mereka menyetarakan
para syaikh dan para ulama dengan pribadi Rasulullah saw. dalam
penghormatan kepada mereka, karena mereka adalah para pewaris
Rasulullah saw, yaitu yang mewarisi sunnahnya.
25

Diriwayatkan dari Abu Ubaid dan Qasim bin Salam, bahwa
masing-masing dari keduanya mengatakan, aku tidak pernah
mengetuk rumah seorang yang berilmu hingga dia keluar pada waktu
keluarnya.
26
Diriwayatkan pula dari Ibnu Abbas bahwasanya dia pergi
menemui Ubay bin Kaab di rumahnya untuk mempelajari Al-Quran
darinya. Saat itu dia berdiri di depan pintu dan tidak mengetuknya
hingga Ubay bin Kaab keluar. Ubay menganggap hal itu sebagai
perbuatan yang terlalu besar baginya. Maka, pada suatu hari dia
berkata, mengapa kamu tidak mengetuk pintu, wahai Ibnu Abbas?
Ibnu Abbas menjawab, seorang yang berilmu di antara kaumnya
seperti Nabi di antara umatnya. Terkait dengan diri Nabi saw., Allah
berfirman, Dan sekiranya mereka bersabar sampai engkau keluar
menemui mereka, tentu akan lebih baik bagi mereka.
27

Ibnu Abbas ra., disamping hormat kepada ulama dalam bentuk
tingkah laku, beliaupun memperkuat tingkah lakunya dengan ucapan,
Barang siapa yang menyakiti seorang ulama, maka dia telah
menyakiti Rasulullah, dan barangsiapa yang menyakiti Rasulullah,
maka sesungguhnya telah menyakiti Allah Azza wa Jalla.
28

Sungguh baik, nasihat yang disampaikan Hassan Al-Banna,
Wahai saudaraku, mereka itu adalah orang-orang yang mendapat
petunjuk dari Allah, maka ikutilah petunjuk mereka.
29



25
Nashir bin Sulaiman Al-Umar, op.cit., hlm. 144
26
Ahmad Saiful Islam Hasan Al-Banna, op.cit., hlm. 584. Lihat pula, Sayyid Quthub,
loc.cit.
2727
Ibid.. Lihat pula, Nashir bin Sulaiman Al-Umar, loc.cit.
28
Nashir bin Sulaiman Al-Umar, op.cit., hlm. 145
29
Ahmad Saiful Islam Hasan Al-Banna, op.cit., hlm. 585
Page 15 of 28

B. Rambu Kedua: Selektif dalam Menerima Berita
Pada rambu pertama dan merupakan hal yang utama, Allah swt.
memberikan tuntunan kepada orang-orang beriman agar mereka dapat
hidup bermasyarakat secara baik dengan cara menjaga adab kepada
Allah swt dan Rasul-Nya, baik secara bersamaan ataupun kepada
Rasulullah secara khusus. Dengan kata lain, pada rambu ini, terdapat
dua tuntunan atau arahan dalam bentuk seruan (nida). Yang pertama
terbentuknya pusat kepemimpinan dan sumber perintah. Sedangkan
yang kedua etika dan kesantunan terhadap pemimpin. Kedua seruan ini
menurut Sayyid Quthb merupakan fondasi bagi seluruh arahan dan
tatanan di dalam surah ini (Al-Hujurat).
30

Para rambu yang kedua ini, Allah swt. memberikan tuntunan
yang ketiga yaitu selektif dalam menerima berita dari orang fasik.
Tuntunan ini menurut Sayyid Quthb menegaskan pentingnya
perujukan kepada sumber berita.
31
Pada ayat ke-6 dari surat Al-
Hujurat inilah Allah memberikan tuntunan tersebut, yaitu :
Og^4C 4g~-.-
W-EONL4`-47 p) 747.~E}
l-c 4:4[)
W-EON4EO4:4- p
W-O+l1> `O~
l-E_O_ W-O):+-
_O>4N 4` +UE
4-g`g4^ ^g
Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik
membawa suatu berita, Maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak
menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui
keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu
itu. (QS. Al-Hujurat [49]: 6).

Allah swt. memfokuskan orang fasik sebab dia dicurigai
sebagai sumber kebohongan dan agar keraguan tidak menyebar di
kalangan kaum muslimin karena berita yang disebarkan oleh setiap

30
Sayyid Qutb, op.cit., hlm. 413
31
Ibid.
Page 16 of 28

individunya lalu ia (orang fasik) menodai informasi.
32
Denga kata lain,
berita orang fasik merupakan berita bohong yang dapat
menghancurkan tatanan masyarakat. Dengannya menyebabkan
timbulnya permusuhan di kalangan masyarakat Islam bahkan dapat
terjadi pembunuhan dan peperangan di kalangan umat Islam itu
sendiri. Kalau nasi telah menjadi bubur, pembunuhan dan
peperangan telah terjadi, dengan sebab tidak adanya tabayun terlebih
dahulu, akan mengakibatkan penyesalan yang mendalam di kemudian
hari.
Penekanan kata fasik pada ayat ini, menurut Az-Zamakhsyari,
seakan-akan Allah berfirman, siapapun orang fasik yang datang
kepada kalian, dengan berita apapun yang dibawanya, maka ragulah
padanya dan carilah kejelasan perkara dan keterbukaan kebenaran serta
janganlah berpegang pada perkataan orang fasik. Karena orang yang
tidak menjauh dari kefasikan maka ia tidak menjauh dari kebohongan.
Yang mana kebohongan adalah bagian dari kefasikan.
33

Dengan demikian, ayat ini sebagai bimbingan bagi Rasulullah
saw. dan kaum mukmin yang bersama beliau agar mereka
mengklarifikasi berita-berita agar mereka benar-benar mengetahui
kebenarannya.
34
Artinya, klarifikasi (tabayun) terhadap suatu berita
merupakan suatu keharusan. Hal ini perlu dilakukan menurut Ahmad
Mushtafa Al-Maraghi agar kamu jangan sampai melakukan
penganiyaan terhadap suatu kaum yang kamu tidak mengetahui hal
ihwal mereka, sehingga menyebabkan kamu menyesal atas tindakan
yang telanjur kamu lakukan dan berangan-angan sekiranya kamu tidak
berbuat demikian.
35


32
Ibid.
33
Abu Al-Qasim Jaraa Allah Mahmud ibn Umar Az-Zamahsyari Al-Khawarijmi, op.cit.,
hlm. 560
34
Ahmad Saiful Islam Hasan Al-Banna, op.cit., hlm. 588
35
Ahmad Musthafa Al-Maraghi, op.cit., hlm. 215
Page 17 of 28

Ada sebuah riwayat yang patut dijadikan contoh dalam
menerima berita dari orang fasik. Bahwa Nabi saw. mengutus Al-
Walid bin Uqbah bin Abu Muith untuk mengumpulkan zakat dari
Bani Al-Musthaliq. Ketika anggota masyarakat yang dituju itu
mendengar tentang kedatangan utusan Nabi saw. yakni Al-Walid,
mereka keluar dari perkampungan mereka untuk menyambutnya
sambil membawa sedekah mereka, tetapi Al-Walid menduga bahwa
mereka akan menyerangnya. Karena itu ia kembali sambil melaporkan
kepada Rasulu saw. bahwa Bani Al-Musthaliq enggan membayar zakat
dan bermaksud menyerang Nabi saw. (dalam riwayat lain dinyatakan
bahwa mereka telah murtad). Rasulullah saw. marah dan mengutus
Khalid Ibn Walid menyelidiki keadaan sebenarnya sambil berpesan
agar selektif dan tidak tergesa-gesa. Khalid ra. mengutus seorang
informanya. Ketika mereka menyelidiki, mereka mengabarkan kepada
Khalid bahwa masyarakat Bani Al-Musthaliq masih berpegang teguh
dengan Islam, dan mereka mendengar azan dan melihat mereka shalat.
Paginya Khalid mengunjungi mereka lalu menerima zakat yang telah
mereka kumpulkan. Akhirnya Khalid kembali kepada Nabi saw
menyampaikan berita sebenarnya. Maka turunlah ayat ke-6 dari surat
Al-Hujurat. Lalu Nabi saw. bersabda :
(Kehati-hatian dari Allah, sedangkan ketergesa-gesaan dari setan).
36

Dalam riwayat yang lain, bahwa Rasulullah saw. mengutusnya
(Al-Walid bin Uqbah bin Abu Muith) ke Bani Al-Musthaliq setelah
mereka masuk Islam. Tatkala mereka mendengar utusan Rasulullah
tersebut, mereka berbondong-bondong menyambutnya. Namun begitu
Al-Walid mendengar kedatangan mereka, ia takut terhadap mereka.
Maka ia kembali kepada Rasulullah saw. dengan menginformasikan
bahwa Bani Al-Musthaliq sungguh ingin membunuhnya dan mereka
menolak untuk bersedekah. Mendengar berita itu, sebagian besar

36
Lihat At-Thabari, op.cit., hlm. 287 288. Lihat pula, Sayyid Quthb, op.cit., hlm. 414.
Lihat pula, Al-Qurthubi, op.cit., hlm. 311
Page 18 of 28

orang-orang muslim ingin memerangi mereka sehingga Rasulullah saw
pun ingin memerangi mereka pula. Pada saat keinginan sudah bulat,
datang utusan Bani Al-Musthaliq kepada Rasulullah saw.. Mereka
berkata, Wahai Rasulullah, pada saat kami mendengar tentang
utusanmu telah kamu utus kepada kami, maka kami keluar bersama-
sama kepadanya untuk memuliakannya dan kami hendak menyerahkan
sedekah kepadanya. Namun ia malah kembali (pulang). Sampai kepada
kami bahwasanya ia mengira bahwa kami keluar untuk membunuhnya.
Dan demi Allah, kami keluar bukan untuk melakukkan itu. Akhirnya
Allah menurunkan pada Al-Walid bin Uqbah dan pada mereka :
. )....
37

Ayat di atas dengan dua riwayat asbabun nuzul-nya,
merupakan satu dasar yang ditetapkan agama dalam kehidupan sosial
sekaligus ia merupakan tuntunan yang sangat logis bagi penerimaan
dan pengamalan suatu berita. Kehidupan manusia dan interaksinya
haruslah berdasarkan hal-hal yang diketahui dan jelas. Manusia sendiri
tidak dapat menjangkau seluruh informasi, karena itu ia membutuhkan
pihak lain. Pihak lain itu ada yang jujur dan memiliki integritas
sehingga hanya menyampaikan hal-hal yang benar, dan ada pula
sebaliknya. Karena itu pula berita harus disaring, khawatir jangan
sampai seseorang melangkah tidak dengan jelas atau dalam bahasa
ayat di atas bi jahalah. Dengan kata lain, ayat ini menuntun kita untuk
menjadikan langkah kita berdasarkan pengetahuan sebagai lawan dari
jahalah yang berarti kebodohan, disamping itu melakukannya
berdasarkan pertimbangan logis dan nilai-nilai yang ditetapkan Allah
swt. sebagai lawan dari makna kedua dari jahalah. Dengan cara seperti
itu menurut Sayyid Quthb urusan umat menjadi stabil dan moderat
di antara mengambil dan menolak berita yang sampai kepadanya.
38


37
Imam At-Thabari, op.cit., hlm. 288. Lihat pula, Imam Al-Qurthubi, loc.cit.
38
Sayyid Quthb, op.cit., hlm. 413
Page 19 of 28

Di samping itu, dari riwayat asbabun nuzul yang kedua, yang
mana sebagian besar orang-orang beriman (sahabat Nabi saw) bereaksi
atas berita tersebut dan hendak memerangi Bani Al-Mushthaliq.
Dengan reaksi itu menyebabkan Rasulullah pun berkehendak
melakukan keinginan para sahabatnya. Namun Allah mengingatkan
kepada mereka bahwa di tengah-tengah mereka ada Rasulullah swt..
dengan firman-Nya:
W-EOUu-4 Ep 71g
4Oc4O *.- _ ....
dan ketahuilah olehmu bahwa di kalanganmu ada Rasulullah. (QS.
Al-Hujurat [49]: 7).

Melalui potongan ayat ini, Allah swt. memberitahukan kepada
mereka (para sahabat) bahwa Rasulullah yang ada diantara kalian
adalah rasul yang mulia, yang baik, yang memberi petunjuk, yang
menginginkan kebaikan buat kalian dan yang menasihati kalian
sedangkan kalian menginginkan keburukan dan bahaya bagi diri kalian
yang tidak sesuai dengan keinginannya.
39

Dengan penekanan pengetahuan tentang keberadaan Rasulullah
di tengah umat, Allah menegaskan hendaknya mereka menghormati,
mengagungkan, bersikap sopan terhadapnya dan mematuhi perintah
sang Rasul. Dan ini merupakan penegasan dan penekanan kembali
tentang pesan pada rambu pertama, yaitu tidak mendahului Allah dan
Rasul-Nya. Pengarahan ini, menurut Sayyid Quthb, semakin
menambah kejelasan dan kekuatan bagi mereka. Allah
memberitahukan kepada mereka bahwa pengaturan Rasululllah atas
mereka itu di dasarkan pada wahyu Allah atau ilham-Nya yang
mengandung kebaikan, kasih sayang, dan kemudahan bagi mereka.
40

Jadi, pusat kepemimpinan dan sumber perintah adalah
Rasulullah saw. yang mana beliau mendapatkan bimbingan langsung

39
Abdu Ar-Rahman bin Nashir bin Abdullah As-Sadi, op.cit., hlm. 800
40
Sayyid Quthb, op.cit., hlm. 415
Page 20 of 28

dari Allah swt.. Pendapat dan perintah beliau lebih bermanfaat dan
lebih patut diperhatikan. Maka dari itu, hendaklah orang-orang
mukmin mentaati dan mengikuti apapun yang diajarkan olehnya.
Ketaatan kepada Rasulullah akan membawa kebahagian sedangkan
penentangan dan penyimpangan akan mengakibatkan kesulitan bahkan
kebinasaan.
Seandainya diterima berita yang datang dari Al-Walid bin
Uqbah yang berkata bahwa Bani Musthaliq telah murtad, menolak
shadaqah dan berkumpul untuk memerangi kamu muslimin, - dan Nabi
cepat-cepat melaksanakan apa yang kalian (para sahabat) kehendaki
sebelum urusannya menjadi jelas, dan dia mematuhi pendapat yang
kalian sarankan,
41
- yang akhirnya kalian dan Rasulullah memerangi
meraka dan membunuh sebagiannya, lalu menumpahkan darah dan
merampas harta mereka, akibatnya kalian membunuh orang yang tidak
halal dibunuh dan kalian pun tak halal untuk dibunuh. Juga diambil
dan kalian mengambil harta yang tidak halal baginya dan tidak pula
bagi kalian untuk mengambilnya dari kaum musliminin, maka kalian
mendapatkan kesulitan dari Allah.
42

Dari itu, terdapat tuntunan kepasrahan akan perintah dan ajuran
Rasulullah yang tampak pada potongan ayat :
(Kalau beliau menuruti (kemauan) kamu dalam beberapa urusan,
benar-benarlah kamu akan mendapat kesusahan). Sebagaimana
penafsiran Sayyid Quthb, beliau mengatakan, Ayat ini
memberitahukan bahwa hendaknya mereka menyerahkan persoalannya
kepada Allah dan Rasul-Nya. Hendaknya mereka memasuki Islam
secara kaffah serta berserah diri kepada takdir Allah dan pengaturan-
Nya. Juga menerima apa yang disampaikan-Nya dan tidak
menyarankan apa pun kepadanya.
43


41
Ahmad Musthafa Al-Maraghi, op.cit., hlm. 216
42
Imam At-Thabari, op.cit., hlm. 290
43
Ibid.
Page 21 of 28

Masuk Islam secara kaffah dan berserah diri kepada takdir serta
mengikuti apapun ajaran yang dibawa oleh Rasulullah merupakan
tanda keimanan kepada-Nya dan Rasul-Nya. Keimanan merupakan
anugerah Allah yang sangat besar dibandingkan anugerah lainnya.
Bahkan Allah membuat seseorang cinta kepada keimanan dan
membuat iman tersebut indah dalam hatinya. Sebagaimana firman-
Nya:
....
Tetapi, Allah menjadikan kamu cinta kepada keimanan dan
menjadikan iman itu indah dalam hatimu (QS. Al-Hujurat [49]: 7).

Menurut sebagian Mufassir bahwa mereka adalah
(orang-orang yang telah diuji hati mereka oleh Allah
untuk bertakwa).
44
Di samping mereka dianugerahi cinta keimanan,
Allah pun membuat mereka membenci lawannya yaitu Al-Kufr, Al-
Fusuk dan Al-Ishyan. Sesuai firman Allah :
....
dan menjadikan benci kepada kamu kekafiran, kefasikan dan
kedurhakaan. (QS. Al-Hujurat [49]: 7).

As-Sadi menafsirkan bahwa, kebalikan dari mereka itu disebut
al-Ghawuun (yang sesat) yaitu orang-orang yang dibuat pada mereka
cinta kepada kekufuran, kefasikan dan kemaksiatan dan dibuat pada
diri mereka benci kepada keimanan dan dosa menyertai mereka. Maka
tatkala mereka berbuat fasik, Allah mencap hati-hati mereka. Ketika
( ) mereka berpaling (dari kebenaran), Allah
memalingkan hati mereka.
45

Yang dijadikan cinta kepada orang-orang beriman hanya satu
yaitu keimanan, sedangkan yang dijadikan benci kepadanya ada tiga
yaitu al-kufr, al-fusuq dan al-ishyan. Ini karena iman terdiri dari tiga

44
Az-Zamakhsyari, op.cit., hlm. 561
45
Abdu Ar-Rahman bin Nashir bin Abdullah As-Sadi, loc.cit.
Page 22 of 28

unsur yang menyatu, yaitu pembenaran dengan hati, ucapan dengan
lidah dan pengamalan dengan anggota tubuh. Ini hendaknya menyatu
tanpa dipisah-pisah. Berbeda dengan lawannya. Lawan dari
pembenaran hati adalah kekufuran, lawan dari ucapan dengan lidah
adalah kefasikan, dan lawan dari pengamalan adalah kedurhakaan.
Masing-masing dari ketiga hal tersebut dapat berdiri sendiri, maka
karena itu ayat di atas merincinya.
46

Orang mukmin yang mencintai keimanan dan membenci
kekufuran, kefasikan dan kedurhakaan, Allah memujinya dengan :
(mereka itulah orang-orang yang mengikuti
petunjuk). Ada yang menarik di sini, bahwa Allah menggunakan
(mereka), padahal sebelumnya Allah menggunakan (kalian) dalam
satu ayat. Hal ini mempunyai makna bahwa syarat pujian hendaknya
tidak disampaikan secara langsung dan di hadapan yang dipuji, tetapi
di belakangnya.
Namun, semua itu merupakan anugerah dan nikmat yang Allah
berikan kepada mereka. Sesuai firman-Nya :
(sebagai karunia dan nikmat dari Allah, dan Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Bijaksana) (QS. Al-Hujurat [49]: 8).

C. Rambu Ketiga: Cara Menyelesaikan Perselisihan dalam
Masyarakat
Pada rambu yang kedua, begitu jelas tuntunan yang
disampaikan yaitu selekti dalam menerima informasi dan klarifikasi
sebelum mengaplikasikan informasi tersebut. Sebab informasi yang
tidak benar dan tidak adanya klarifikasi akan menyebabkan kesalahan
dalam keputusan dan tindakan. Dan tidak dipungkiri keputusan yang
salah, bisa menyebabkan pertengkaran antara dua kelompok.

46
Lihat lebih lanjut, Ahmad Mushthafa Al-Maraghi, op.cit., hlm. 216-217
Page 23 of 28

Nah, rambu yang ketiga ini, Al-Quran mengantisipasi
kemungkinan terjadinya perang antara dua kelompok mukmin.
Mungkin salah satu kelompok itu berlaku zalim atas kelompok lain,
bahkan mungkin keduanya berlaku zalim dalam salah satu segi.
47

Bila dua kelompok masyarakat muslim tersebut terjadi
percekcokan bahkan peperangan, Al-Quran memberikan solusi atau
jalan keluar agar kedua kelompok kembali ke pada kebenaran sesuai
dengan manhaj yang telah ditetapkan Allah dan Rasulnya. Hal ini
dapat kita lihat pada ayat berikut :
p)4 p4-Ej*.C =}g`
4-gLg`u^-
W-OU4-4-^~- W-O)U;
Eg+uO4 W p) ;e44
E_.Eu) O>4N
O4Ou=1- W-OUg-
/-- /l> _/4EO
47EO>> -O) @O^` *.-
_ p) ;47. W-O)U;
Eg+uO4 ;E^)
W-EO7CO^~4 W Ep) -.-
OUg47 --gCO^^- ^_
dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu
berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya! tapi kalau
yang satu melanggar Perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang
melanggar Perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada
perintah Allah. kalau Dia telah surut, damaikanlah antara keduanya
menurut keadilan, dan hendaklah kamu Berlaku adil; Sesungguhnya
Allah mencintai orang-orang yang Berlaku adil. (QS. Al-Hujurat
[49]: 9).

Ini merupakan kaidah umum yang ditetapkan untuk
memelihara masyarakat Islam dari perpecahan dan perceraiberaian.
Kaidah ini pun bertujuan meneguhkan kebenaran, keadilan, dan
perdamaian.
48


47
Sayyid Quthb, op.cit., hlm. 416
48
Ibid.
Page 24 of 28

Solusi yang diberikan Al-Quran dalam menghadapi pertikaian
di kalangan masyarakat Muslim, berdasarkan ayat di atas, adalah:
1. Menciptakan perdamaian ( ). Dalam menciptakan
perdamaian ini, seorang pemimpin masyarakat Islam menurut
Hasan Al-Banna harus memberi nasihat terlebih dahulu dan
menjelaskan yang sebenarnya dengan bukti dan petunjuk, serta
menghilangkan apa yang diprediksi akan menimbulkan kerancuan
di antara kedua golongan.
49

2. Menindak kelompok pembangkang ( ).
Langkah kedua ini dilakukan bila saat pemimpin berusaha
menciptakan perdamaian di antara kelompok yang bersisih. Jika
salah satunya menurut Sayyid Quthb - bertindak melampaui
batas dan tidak mau kembali kepada kebenaran, misalnya kedua
kelompok itu berlaku zalim dengan menolak untuk berdamai atau
menolak untuk menerima hukum Allah dalam menyelesaikan
aneka masalah yang diperselisihkan, maka kuam muslimin
hendaknya memerangi kelompok yang zalim tersebut dan terus
memeranginya (menindaknya) hingga mereka kembali kepada
amri Allah.
50
Makna amri Allah di sini Al-Maraghi yaitu
perdamaian. Karena perdamaian itu perkara yang diperintahkan
dalam firman Allah Taala: Dan perbaikilah hubungan di antara
sesamamu. (QS. Al-Anfal [8]: 1).
51
Dengan kata lain,
menghentikan permusuhan di antara kaum mukminin dan
menerima hukum Allah dalam menyelesaikan apa yang mereka
perselisihkan.
52

3. Perdamaian dengan prinsip keadilan. ( ). Hal ini
dilakukan, jika pihak yang zalim (pembangkang) telah menerima
hukum Allah secara penuh, kaum muslimin hendaknya

49
Ahmad Saiful Islam Hasan Al-Banna, op.cit., hlm. 599
50
Sayyid Quthb, loc.cit.
51
Ahmad Mushthafa Al-Maraghi, op.cit., hlm. 218
52
Sayyid Quthb, loc.cit.
Page 25 of 28

menyelenggarakan perdamaian yang berlandaskan keadilan yang
cermat sebagai wujud kepatuhan kepada Allah dan pencarian
keridhaanya.
53

4. Menyatukan dengan ikatan persaudaraan keimanan. (
). Setelah terjadi perdamaian dengan prinsip keadilan, maka
hendaknya pemimpin yang melakukan perdamaian tersebut
menghidupkan ikatan yang kuat, yaitu ikatan Ukhuwah Imaniyah.
Sebuah ikatan rantai emas yang didasarkan kepada keimanan,
ketakwaan dan harapan akan rahmat Allah swt. Sesuai dengan
firmannya:
E^^) 4pONLg`u^-
E4Ou=) W-O)U;
4u-4 7uC4OE= _
W-OE>-4 -.-
u7+UE 4pO+EOO>
^
Sesungguhnya orang-orang beriman itu bersaudara. sebab itu
damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu
dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat.
(QS. Al-Hujurat [49]: 10).

Implikasi dari persaudaraan ini ialah hendaknya rasa cinta,
perdamaian, kerja sama, dan persatuan menjadi landasan utama
masyrakat muslim. Hendaknya perselisihan atau perang merupakan
anomali yang mesti dikembalikan kepada landasan tersebut begitu
suatu kasus terjadi.
54

Itulah solusi yang diberikan Al-Quran dalam mendamaikan
perselisihan yang terjadi di kalangan umat Islam. Ini merupakan sistem
yang mendahului upaya-upaya manusia lainnya dalam bidang ini.
Sistem ini memiliki kesempurnaan dan jauh dari kekurangan dan cela
yang jsutru tampak jelas pada berbagai upaya manusia yang terbatas

53
Ibid.
54
Ibid.
Page 26 of 28

dan serba kekurangan, yang telah dilaksanakannya dalam berbagai
eksperimen yang lumpuh. Demikian menurut Sayyid Quthb.
55

Masih menurut beliau, sistem ini pun bersih, amanah, dan
benar-benar adil. Sebab, penetapan keputusan kepada hukum Allah
tidaklah terkontaminasi oleh kepentingan pribadi dan hawa nafsu, dan
tidak terkait dengan kekurangan dan keterbatasan. Tetapi, umat
manusia yang papa ini malah mencari-cari jalan, terpincang-pincang,
terelincir, dan tersungkur, padahal di depannya ada jalan terang lagi
lurus yang telah disiapkan.
56

Dari penjabaran di atas, jelaslah sudah bahwa Islam telah
menetapkan bagi kaum muslimin sejumlah prinsip di antara prinsip-
prinsip kemasyarakatan yang paling luhur dan paling besar manfaatnya
bagi umat dan bangsa. Diantaranya:
57

1. Kewajiban menjain persatuan dan berusaha menyelamatkan
persatuan ini serta menjaga dari pelecehan dan penentangan.
2. Kewajiban mendamaikan orang-orang yang berselisih. Ini adalah
akhlak yang mulia dan amal yang utama yang dianjurkan dalam
Islam dan diangkat kedudukannya dalam Al-Quran dan Sunnah.
3. Membela orang yang terzalimi agar dia mendapatkan haknya. Ini
adalah akhlak yang jika tumbuh dalam umat maka ia akan
mengajari mereka kemuliaan dan melenyapkan kenistaan dari
mereka serta menambah erat keterkaitan, cinta, persaudaraan, dan
kedekatan di antara mereka.
4. Kewajiban mengubah permusuhan dan menegakkan keadilan
walaupun harus menghadapi berbagai rintangan dalam
mewujudkannya.
Di antara perumpamaan yang paling bagus dalam hadits yang
mulia terkait dengan prinsip-prinsip tersebut, bahwa Rasulullah saw.
bersabda, Perumpamaan orang yang menerapkan batas-batas

55
Ibid., hlm. 417
56
Ibid.
57
Ahmad Saiful Islam Hasan Al-Banna, op.cit., hlm. 602
Page 27 of 28

ketentuan Allah dengan orang yang melanggarnya seperti kaum yang
berundi di dalam perahu. Maka sebagian dari mereka mendapatkan
tempat di bagian atas dan sebagian lainnya di bagian bawah. Jika
orang-orang yang berada di bawah ingin mengambil air, maka mereka
melewati orang-orang yang ada di atas, namun mereka berkata,
seandainya kita membuat lubang pada bagian kita, maka kita tidak
mengganggu orang-orang yang di atas kita. Jika mereka (yang di atas)
membiarkan mereka (yang ada di bawah) melakukan apa yang mereka
inginkan, niscaya mereka binasa semua. Jika mereka mencegah
mereka, niscaya mereka selamat dan selamatlah semuanya. (HR.
Bukhari).

III. PENUTUP
Itulah beberapa untaian mutiara yang mempesona semua makhluk.
Rambu-rambu kemasyarakatan yang digulirkan Al-Quran. Sebuah sistem
kemasyarakatan yang sangat kuat dan kokoh dalam membentuk
masyarakat modern. Ini pun baru setitik air kemulian dari lautan kemulian
yang ada dalam Al-Quran.
Baru dari satu surat, surat Al-Hujurat, dengan sembilan ayat yang
digali dan ditelusuri keindahan-keindahannya, Al-Quran telah
menunjukkan kebenaran dan kesesuaiannya dengan berbagai zaman
kehidupan manusia. Bumi boleh berputar, masa boleh berganti, namun Al-
Quran tak akan lapuk di makan zaman.
Umat manusia mendambakan sebuah sistem yang sempurna dalam
menjalani kehidupan, apakah ada sistem yang lebih sempurna dan
mempesona dibandingkan dengan sistem yang diajarkan Allah melalui Al-
Quran?
Ya Allah, tidak akan pernah ada!
Wallahu alam!!!

Page 28 of 28

DAFTAR PUSTAKA

Al-Maraghi, Ahmad Mushtafa, Tafsir Al-Maraghi, terjemah K. Anshori Umar
Sitanggal dkk, (Semarang: CV Tohaputra, Juz 26, Cet. Ke-1, 1989)

Quthb, Sayyid, Tafsir Fi Dzhilali Al-Quran Jilid 10, Terjemahan Drs. Asad
Yasin dkk, (Jakarta: Gema Insani, Cet. Ke-1, 2004)

Ibn Katsir, Al-Imam Abi Al-Fida Ismail Al-Qurasy Al-Dimasyqi, Tafsir Ibnu
Katsir, Jil. 4, (Bairut: Darul Fiqr, 1987)

At-Thabari, Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Katsir bin Ghalib Al-Amali Abu
Jafar, Jamiu Al-Bayan fi Tawil Al-Quran, Tahqiq Ahmad
Muhammad Syakir, (Majma Al-Malik Fahd li Thabaah Al-Mushaf
As-Syarif : www.qurancomplex.com, Juz. 22, Cet. Ke-1, 2000)

Az-Zamahsyari, Abu Al-Qasim Jaraa Allah Mahmud ibn Umar Al-Khawarijmi,
Al-Kassyaf An Haqaiq At-Tanziil wa Uyun Al-Aqawiil fi Wujuhi At-
Tawil, Jild. 3, (Beirut: Darul Fiqr, tanpa tahun)

Al-Qurthubi, Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Abi Bakar bin Farh Al-
Anshari Al-Hujjarzi Syamsu Ad-Din, Al-Jami li Ahkami Al-Quran,
Al-Muhaqqiq Hisyam Samir Al-Bukhari, (Maktabah Al-Madinah Ar-
Raqimah www.raqamiya.org, Jil. 16, 2003)

As-Syaukani, Muhammad bin Ali bin Muhammad, Fathu Al-Qadir Al-Jamiu
Baina Fanni Ar-Riwayah wa Ad-Dirayah min Ilmi At-Tafsir, (Al-
Maktabah As-Syamilah, Jil. 8)

Al-Banna, Ahmad Saiful Islam Hasan, Maqashid Al-Quran Al-Karim,
terjemahan Abdurrahman Ahmad Supandi, Tafsir Hasan Al-Banna,
(Jakarta: Surya Agung, Cet. Ke-1, 2010)

As-Sadi, Abdu Ar-Rahman bin Nashir bin Abdullah, Taysiru Al-Karim Ar-
Rahman fi Tafsiri Kalami Al-Mannan, Al-Muhaqqiq, Abdurrahman
bin Al-Luwaihiq, (Muassasah Ar-Risalah, Al-Maktabah As-Syamilah:
Cet. Ke-1, 2000)

Al-Umar, Nashir bin Sulaiman, Surah Al-Hujurat Dirasah Tahliliyah wa
Maudhuiyyah, terjemah: Aqus Taufiq, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar,
Cet. Ke-1, 2001)

Anda mungkin juga menyukai