Anda di halaman 1dari 20

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistemagama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni. Bahasa, sebagaimana juga budaya, merupakan bagian tak terpisahkan dari diri manusia sehingga banyak orang cenderung menganggapnya diwariskan secara genetis. Ketika seseorang berusaha berkomunikasi dengan orang-orang yang berbeda budaya dan menyesuaikan perbedaan-perbedaannya, membuktikan bahwa budaya itu dipelajari.

1.2 Tujuan Tujuan dari makalah ini yaitu, mahasiswa mengetahui upacara adat perkawinan masyarakat dari kabupaten Indragiri hulu khususnya dalam masyarakat Talang Mamak. Selain itu makalah ini untuk memenuhi tugas dari mata kuliah

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Pernikahan Adat Melayu di Kabupaten Indragiri Hulu (INHUL)


2.1.1 Masyarakat Talang Mamak Masyarakat Talang Mamak tersebar di beberapa kawasan di Pulau Sumatera, seperti di Provinsi Riau dan Provinsi Jambi (di daerah Bukit Tiga Puluh). Di Riau, mereka menyebar di Kabupaten Indragiri Hulu (Inhu) dan di Kabupaten Indragiri Hilir (Inhil). Berapa jumlah orang Talang Mamak secara pasti sulit diketahui karena mereka tersebar di beberapa tempat, baik di Kabupaten Inhu, Inhil, maupun di daerah Bukit Tiga Puluh (Jambi). Namun demikian, sebagai gambaran, Melalatoa (1995) menyebutkan bahwa pada tahun 1970 diperkirakan jumlah mereka sekitar 19.249 jiwa. Banyak versi tentang asal-usul masyarakat Talang Mamak. Versi-versi itu antara lain ada yang menyebutkan bahwa mereka tergolong proto Melayu (Melayu Tua). Kemudian, ada yang menyebutkan bahwa mereka berasal dari keturunan Adam (ketiga) yang berasal dari kayangan dan turun ke bumi, tepatnya di Sungai Limau dan menetap di Sungai Tunu (Durian Cacar tempat Patih). Dan, ada pula yang menyebutkan bahwa mereka adalah keturunan Datuk Perpatih Nan Sabatang. Keturunan inilah yang membuka hutan di daerah yang baru untuk dijadikan perkampungan yang disebut sebagai talang. Sementara itu, masih ada versi lagi yang menyebutkan bahwa: talang berarti ladang, sedangkan mamak berarti ibu. Dengan demikian, Talang Mamak berarti ladang milik ibu atau pihak ibu. Lepas dari berbagai versi itu, masyarakat Talang Mamak mempunyai adat perkawinan yang khas dan unik. Kekhasan dan keunikan itu, tidak hanya terlihat dari bagaimana mereka berkenalan dan bertunangan, tetapi juga dari upacara perkawinannya itu sendiri. Pada masa perkenalan dan pertunangan mereka diberi kebebasan untuk hidup bersama. Namun demikian, masing-masing dapat menjaga kehormatannya, sehingga terhindar dari hal-hal yang melanggar adat. Keunikan yang lain adalah terlihat dari salah satu jenis mas kawin yang sampai saat ini masih dipertahankan, yaitu uang ringgit. Oleh karena itu, hampir setiap keluarga memilikinya.

2.1.2 Sistem Perkawinan pada Masyarakat Talang Mamak Proses Perkawinan Keluarga adalah salah satu bentuk masyarakat terkecil. Dalam suatu masyarakat, ia berfungsi tidak hanya sebagai wahana untuk meneruskan dan pendidikan keturunannya, tetapi ia juga merupakan kesatuan ekonomi. Dalam masyarakat mana pun sebuah keluarga terbentuk karena adanya perkawinan yang disahkan oleh masyarakat yang bersangkutan. Ini artinya, perkawinan merupakan jembatan untuk menuju sebuah keluarga baru (rumah tangga). Dengan demikian, perkawinan adalah bukan semata-mata masalah antarsepasang remaja yang berbeda jenis kelaminnya, tetapi juga menjadi masalah sosial, karena melibatkan berbagai pihak, baik kerabat laki-laki, kerabat perempuan maupun masyarakat yang bersangkutan. Dan, perkawinan itu sendiri adalah suatu proses. Sebagai suatu proses tentunya harus dilakukan secara bertahap dan berkesinambungan (berurutan). Pada masyarakat Talang Mamak, tahap-tahap itu adalah: bertandang, pertunangan, dan akad nikah.

a. Bertandang
Bertandang adalah kegiatan pencarian jodoh. Di kalangan masyarakat Talang Mamak, pencarian jodoh ini pada dasarnya dapat dikategorikan menjadi dua, yakni: yang dilakukan (dipersipkan) oleh masyarakat dan yang dilakukan secara individual (perorangan). Kategori yang pertama (yang dipersiapkan oleh masyarakat) meliputi bertandang yang diupacarakan (upacara bertandang).dan bertandang semak tikar. Sedangkan, kategori kedua (invidu) adalah yang bermula dari pertemuan pada saat menuai. Oleh karena itu, orang Talang Mamak menyebutnya sebagai bertandang menuai atau bertandang mengirik. Upacara Bertandang Upacara bertandang adalah suatu kegiatan yang bertujuan untuk menjaring gadis dan pemuda yang dianggap telah memasuki usia dewasa. Upacara yang khas ini diadakan setahun sekali. Jadi, setiap tahun, pada malam hari saat bulan mengambang, anak dara (gadis yang sudah akil baliq) dikumpulkan di rumah Batin (kepala adat kampung) beserta orang tua mereka. Di sana mereka (para gadis) disuruh duduk bersimpuh di ruangan tengah rumah Batin. Sementara itu, ayah mereka duduk bersandar sambil mengisap rokok dan minum tuak. Sedangkan, ibu mereka langsung ke dapur dan memasak nasi beserta lauk-pauknya..Ketika periuk telah ditaruh di atas tungku, maka Sang Batin berdiri di tengah pintu depan, kemudian memberi isyarat agar masing-masing dara turun ke halaman untuk bercakap-cakap (berkenalan) dengan pemuda

(jejaka) yang telah dianggap dewasa dan sekaligus menjajagi adanya kemungkinan untuk hidup bersama di kemudian hari. Waktu yang diberikan kepada mereka untuk berkenalan dan sekaligus mencari jodoh itu relatif singkat karena ketika nasi telah masak, Sang Batin kembali berdiri di tengah pintu dan bertepuk tangan. Tepukan itu adalah suatu isyarat (tanda) bahwa para gadis segera kembali naik ke rumah dan duduk bersimpuh di ruang tengah sebagaimana sebelumnya. Kemudian, Beliau mencermati siapa-siapa saja yang tidak kembali. Dan, gadis-gadis yang tidak kembali berarti telah menemukan pilihannya. Selanjutnya, Beliau memberitahukannya kepada para orang tuanya dan sekaligus mendoakan agar mereka ada jodoh. Sebagai catatan, pada saat upacara itu diadakan tidak semua jejaka dan atau gadis dapat memperoleh pasangan. Ada juga yang belum dapat pasangan (belum ketemu jodoh.). Untuk itu, tahun berikutnya jejaka dan atau gadis tersebut dapat mengikutinya lagi. Sedangkan, bagi yang menemukan pasangan (masing-masing ada kecocokan) boleh pergi ke suatu tempat yang mereka pilih. Di sana Sang Jejaka mendirikan sebuah gubug, membuka sebuah ladang, dan hidup bagaikan suami-isteri. Sang jejaka melakukan tugas sebagaimana layaknya seorang suami dan Sang gadis melakukan tugas sebagaimana layaknya seorang ibu rumah tangga (mulai dari menanak nasi sampai kebersihan pondok yang dibuat oleh calon suaminya). Pendek kata, mereka diberi kebebasan bergaul untuk lebih mengenal satu sama lain dan sekaligus sama-sama belajar untuk hidup bersama sebagai suami-isteri dalam sebuah rumah tangga. Meskipun demikian, penyalah-gunakan (penyimpangan) sangat langka (kalau tidak dikatakan pernah terjadi) karena satu sama lain saling menjaga diri. Dengan perkataan lain, mereka mengerti betul bahwa kebebasan yang diberikan adalah kebebasan yang bertanggung jawab, sehingga kehamilan jarang terjadi (kalau tidak dapat dikatakan tidak pernah terjadi), walaupun mereka hidup bersama dalam sebuah pondok selama beberapa bulan. Sebab, jika terjadi berarti melanggar adat yang harus dibayar (didenda) mahal, .yaitu pada waktu pelaksanaan upcara perkawinan pihak jejaka harus menyembelih seekor kerbau. Padahal, binatang itu sulit diperoleh. Jika dalam belajar hidup bersama Si Jejaka ternyata tidak mampu memenuhi kewajiban sebagaimana mestinya yang dituntut adat, maka Si Gadis boleh meninggalkannya begitu saja. Jadi, tidak perlu memberitahu kepada Si Jejaka, kecuali kepada orang tuanya, mengapa ia meninggalkannya (pergi tanpa pesan dan alasan). Sebaliknya, jika Si Gadis ternyata tidak mampu melakukan kewajibannya, maka Si Jejaka juga dapat melakukan hal yang sama (pergi

meninggalkannya begitu saja). Jika hal itu terjadi, misalnya Sang Jejaka ditinggalkan pergi begitu saja oleh Sang Gadis, maka Sang Jejaka tadi pada tahun berikutnya sulit untuk mendapatkan jodoh. Sebaliknya, jika Sang Gadis yang ditinggalkan, maka tahun berikutnya juga gadis tersebut sulit untuk mendapatkan jodoh karena dianggap belum mampu untuk berumah tangga. Dalam hal ini yang kena malu, bukan hanya yang ditinggalkan, tetapi juga orang tuanya. Bertandang Semak Tikar Sebagaimana upacara bersandang, bertandang semak tikar juga diadakan setahun sekali. Kegiatan ini digelar bukan hanya untuk memberi kesempatan kepada para jejaka dan gadis dalam memilih pasangan hidupnya. Akan tetapi, juga para duda dan janda. Mereka, khususnya para gadis, duduk bersimpuh di ruangan tengah rumah Batin. Sementara, ayah mereka duduk melingkarinya sambil merokok, makan sirih, dan atau minum tuak. Dan, ibu mereka memasak di dapur. Sedangkan, para janda dan dudanya (jika ada) berada di luar rumah Batin (di lapangan yang telah disediakan untuk kegiatan ini). Ketika periuk telah ditaruh di atas tungku, para ibu memberi isyarat agar kegiatan itu segera dimulai. Melihat isyarat itu, Sang Batin segera berdiri diambang pintu rumahnya, kemudian bertepuk tangan sejumlah tiga kali. Ini pertanda (isyarat) bahwa para gadis diminta agar segera turun dari rumah menuju tempat yang telah disediakan, yaitu tanah terbuka yang dialasi dengan tikar-tikar. Di sana ada sejumlah pemuda yang sedang menunggunya. Adakalanya, karena satu dan lain hal, ada juga gadis yang agak lambat dalam menuruni tangga rumah Batin. Jika itu terjadi, maka para pemuda beramai-ramai melemparkan sekepal tanah ke rumah batin tersebut. Ditempat yang telah disediakan mereka saling mencari pasangan (jodoh). Jika seseorang telah mendapatkannya, maka mereka duduk bersama (di atas tikar) sambil mencurahkan perasaan masing-masing. Sementara itu, bagi yang belum mendapatkannya biasanya mondarmandir. Demikian juga, bagi janda dan atau duda yang mengikuti kegiatan ini. Ketika nasi telah masak, maka Sang Batin memberi aba-aba agar mereka kembali naik ke rumah dan duduk di ruangan tengah. Sementara itu, janda dan duda (jika ada) tetap di lapangan sampai jauh malam. Dari pemanggilan itu dapat diketahui siapa-siapa yang tidak datang (ikut naik ke rumah Sang Batin). Dan, bagi mereka yang tidak datang itu berarti telah menemukan pasangannya (jodohnya). Mereka ini biasanya baru pulang ke rumah pada keesokan harinya. Tentunya dengan membawa tanda yang biasa dilakukan dalam acara bertandang. Tanda itu kemudian

diserahkan kepada orang tuanya. Dan, orang tuanya makfum bahwa anak gadisnya ada yang ingin menyuntingnya. Pada kesempatan bertandang ini biasanya ada dukun yang disebut sebagai kumantang. Ia jalan-jalan mengelilingi arena. Jika ia menjumpai gadis dan jejaka berbaring dalam posisi pundak dan kepala beradu (arah tubuh berlawanan), maka ia berkata: Bertemu jodoh kamu. Seandainya pada waktu itu ada seorang Raja (Sultan) yang kebetulan hadir, maka ia akan berkata: Hei jantan, betina, ini Raja junjungan kita yang dijawab oleh gadis dan jejaka: Tuanku restui perjodohan hamba ini. Dan, Raja akan menjawab:Allah maha mengetahui . Bertandang Mengirik Bertandang pada waktu menuai atau mengirik pada dasarnya sama, yaitu dalam rangka mencari tambatan hati dan atau jodoh. Jadi, jika seorang pemuda pada penuaian terpaut pada seorang pemudi (gadis), maka ia akan meminta bantuan kepada salah seorang kerabat terdekatnya (perempuan) untuk menyampaikan perasaannya dengan menggunakan simbol atau tanda yang berupa cincin dan sehelai kain kepada gadis yang ditaksirnya. Jika ternyata gadis itu menerima pemberiannya, maka berarti Sang Gadis mau menjadi calon isterinya. Sang Gadis pun kemudian menyerahkan pemberian itu kepada orang tuanya. Ini adalah suatu bukti bahwa gadis tersebut telah ada yang punya (pemuda yang akan meminangnya). Dua atau tiga hari kemudian, setelah pemberian yang merupakan tanda atau simbol tentang niat seorang pemuda yang akan menyunting anak gadisnya diterima oleh pihak keluarga gadis, maka pemuda tersebut datang ke rumah Si Gadis. Biasanya dilakukan pada saat hari menjelang petang. Tidak hanya cukup dengan tangan kosong, tetapi membawa: sebuah kelambu gantung dan sebuah epuk-sirih (suatu kantong dari kain yang berisi: kapur, pinang, gambir, dan tembakau). Barang-barang tersebut diserahkan kepada orang tua Si Gadis dan disaksikan oleh gadis itu sendiri. Setelah orang tua Si Gadis menerimanya, maka Sang pemuda pun minta diri dan mengatakan bahwa nanti malam, sekitar pukul 20.0021.00 WIB akan datang lagi. Sementara itu, orang tua Si Gadis menaruh kelambu dan epuk sirih yang baru saja diterima dari seorang pemuda yang bakal menjadi menantunya di ruang tengah. Menjelang waktu yang dijanjikan tiba, Sang Pemuda turun dari rumahnya kemudian menuju rumah Si Gadis dengan keris dan atau sekin yang menempel di pinggangnya. Seorang diri ia menuju kesana. Setibanya dirumah Si Gadis, ia langsung ke ruang tengah dan duduk berhadapan dengan orang tua Si Gadis yang sengaja menunggunya. Kemudian, ia

mempersilahkan calon kedua mertuanya untuk memakan sirihnya. Dan, upacara makan sirih bersama pun terjadi, termasuk Si Gadis itu sendiri. Upacara ini berjalan sampai larut malam. Ketika hari sudah mulai larut malam, maka kedua orang tua Si Gadis, termasuk Si Gadis itu sendiri, menuju kelambu masing-masing dan berbaringlah di sana. Sang Pemuda pun tidak mau ketinggalan. Ia mengambil kelambu yang ada di hadapannya, kemudian

menggantungkannya di salah satu sudut rumah dan berbaring di dalamnya. Apakah mereka benar-benar tidur? Ternyata tidak; mereka, satu dengan lainnya, hanyut dalam pikiran masingmasing. Hanya merekalah yang tahu. Akan tetapi, yang jelas beberapa saat kemudian Sang Pemuda, secara sembunyi-sembunyi, mendatangi kelambu Si Gadis. Kemudian, ia masuk kelambu Si Gadis yang sedang menantinya. Ketika orang tua Si Gadis sudah yakin bahwa pemuda yang menaksir anak gadisnya sudah berbaring bersama dalam kelambu anak gadisnya, maka ia keluar dari kelambunya, kemudian menuju kelambu Sang Pemuda yang ditinggalkan itu. Di sana ia mengambil keris atau sekin dan baju yang ada di kelambu Sang Pemuda. Barang-barang itu, bagi orang tua Si Gadis, sangat berarti karena merupakan bukti bahwa anak gadisnya telah di-bertandani oleh seorang pemuda. Barang-barang tersebut kemudian di tunjukkan kepada kedua orang tua Si Pemuda. Maknanya adalah bahwa antara Si Pemuda dan Si Gadis telah bersungguh-sungguh untuk menjadi suami-isteri. Hal itu ditunjukkan dengan barang-barang Si Pemuda yang berada di tangan orang tua Si Gadis. Dan, pertunangan pun dibicarakan dan ditentukan. Bertandang Pondok Ladang Dikala bulan mengambang, pergilah sang pemuda ke rumah gadis idamannya. Ketika sampai di halaman rumah Sang Gadis, ia melemparkan sekepal tanah ke rumah Sang Gadis. Bagi Sang Gadis, lemparan itu merupakan tanda bahwa di halaman rumahnya ada seorang pemuda yang ingin mencurahkan hatinya. Untuk itu, ia bergegas untuk melihat siapa gerangan yang melempar tanah itu. Setelah dilihatnya ada seorang pemuda yang sedang berdiri tegak, maka ia memberitahukan kepada orang tuanya bahwa di luar ada pemuda yang bertandang. Lalu, dengan epuk sirih yang ada di tangan, turunlah ia guna menemui pemuda itu. Jika ternyata pemuda itu tidak berkenan dihatinya, maka dengan lemah lembut dan santun ia berkata: Bang, dua tiga rumah dari sini, di situ tinggal si dara manis. Teruskanlah Abang bertandang ke sana. Kata-kata itu bermakna bahwa Si Gadis menolaknya (tidak berkenan). Dan, Sang Pemuda pun mengerti bahwa kedatangannya ditolak. Untuk itu, ia berkata: Ya, belum bertemu rupanya buku

dan ruas, aku pergi dulu. Sang Pemuda pun berlalu, dan Si gadis naik kerumahnya. Akan tetapi, jika pemuda itu adalah idealnya, maka dimintanya pemuda itu naik tangga. Dibuatkannyalah sekapur sirih. Pada kesempatan itu, Sang Pemuda mengajaknya untuk pergi ke pondok yang sunyi yang berada di ladang. Di sana mereka saling memberi sekapur sirih guna pemanas badan. Kemudian, bercumbu-rayu. Suasana itu, jika digambarkan dengan pantun adalah sebagai berikut: Duduk bersimpuh dua remaja rupawan Tersenyum tertawa, cubit-cubitan Menangis punduk rindukan bulan Embun subuh selimut badan. Sepanjang malam dan malahan sampai petang hari besoknya mereka berada di pondok itu. Ada kalanya pertemuan di pondok itu tak ada persesuaian. Oleh karena itu, masing-masing pulang ke rumahnya. Ketika pulang Si Gadis membawa keris atau sekin dan atau baju yang dibawa oleh Sang Pemuda. Kemudian, barang-barang itu diserahkan kepada orang tuanya sebagai bukti bahwa ada seorang pemuda yang ingin mempersuntingnya. Selanjutnya, barangbarang itu, oleh orang tuanya, diserahkan kepada orang tua Si Pemuda sebagai bukti bahwa dia akan memperisteri anaknya. Seterusnya sama seperti bertandang mengirik. Sebagai catatan, walaupun perkawinan belum berlangsung, namun dalam pergaulan sehari-hari kedua remaja itu sudah selalu bersama-sama bak suami-isteri. Mereka memang diberi kebebasan (tidur bersama dalam satu kelambu). Namun demikian, belum pernah terjadi adanya hal-hal yang tidak diinginkan (kehamilan). Hal itu disebabkan masing-masing tetap menjaga marwahnya (harga dirinya).

b. Pertunangan
Sebagaimana telah disinggung pada bagian atas bahwa ketika orang tua Si Gadis menyerahkan barang-barang milik jejaka ke orang tua jejaka tersebut, maka pada saat itu juga dibicarakan tentang pertunangan. Dan, jika telah disepakati harinya, maka pertunangan pun dilaksanakan di rumah orang tua Sang Jejaka (laki-laki). Upacara itu sendiri dimulai dengan tampilnya dua rombongan pihak anak perempuan yang berdiri. Kemudian, mereka berjalan mengelilingi ruangan upacara pertungan. Barang bibitan yang berupa keris dan baju Si Jejaka diperlihatkan kepada semua yang hadir. Kemudian, ada pembuka kata yang berbentuk pantun. Pantun itu adalah sebagai berikut:

Sirih sekapur, kata sepatah, Sirih Bujang dengan Gadis, Terambil Tanda, Tergenggam Tanda, Terbibit tanda, Buah bertampuk Terjinjing bungan setangkai, Tanda teriba kekurangan, Mengikata tangga kandangan, Kalau sah lembaga berdiri, Dipakai oleh nan sekata. Kata pembuka dari pihak perempuan itu disambut oleh pihak laki-laki dengan pantun juga. Dan, pantun itu adalah sebagai berikut Kalau sah tidak berlawan, Kalau berdosa minta dibunuh, Kalau berutang minta dijual, Kalau bergawalan bujang dan gadis minta dinikahkan, Sebab Bujang dan Gadis kata semenda. Ada emas kita tandakan, Tak ada emas, kita semendakan. Setelah kata sambutan, disusul dengan upacara penyerahan sebilah keris oleh pihak lakilaki kepada pihak perempuan. Dengan demikian, antara Sang Jejaka dan Sang Gadis yang telah resmi bertunangan.

c. Antaran
Beberapa hari sebelum perkawinan akan dilangsungkan, pada suatu hari yang telah disepakati, kedua belah pihak bersama-sama datang berkunjung ke rumah Penghulu yang akan bertindak sebagai Pejabat nikah. Pihak laki-laki membawa barang antaran yang berupa 2 blok kain belacu, gelang perak berbentuk seperti bambu, dan uang seringgit. Sementara itu, pihak perempuan membawa 3 pucuk lembing atau tombak sebagai tanda bahwa persolan perkawinan baru pada tahap penyampaian barang antaran. Sesampainya mereka di rumah Penghulu, masing-masing mengambil tempat duduk. Kedua pihak menyorongkan epuk-sirih (cerana sirih lengkap dengan isinya) kepada Penghulu.

Setelah itu, Si Penghulu langsung menanyakan apakah gerangan maksud kedatangannya, walaupun sebenarnya Sang Penghulu sudah mengetahui maksud dan tujuannya. Pada kesempatan ini, pihak laki-laki yang mewakili dengan jawaban yang berupa pantun. Sirih sekapur kata sepatah, Minta sudahi gawai si Tunas dan si Tina, Kalah minta dibayarkan, Menang minta diterimakan, Gadis minta berikan beradat, Bujang minta berikan bertimbang adat, Sumbang minta disipat, Menyumbang minta dibuang, Kerayat minta disudahi, Sengketa minta dikemasi. Setelah itu, barang antaran dari kedua belah pihak diserahkan kepada Penghulu.

d. Akad Nikah
Akad nikah atau pengesahan perkawinan dilaksanakan oleh seorang pimpinan adat yang disebut pegawai. Pengesahan itu ditandai dengan pengucapan semacam pantun yang terdiri atas sekitar delapan bait. Dalam bait tertentu dengan kata assalamualaikum. Pengesahan itu disertai pula oleh semacam mas kawin yang berupa: sejumlah pinggan, sebilah keris, tempat sirih, dan seekor ayam. Jumlah pinggan bergantung pada urutan kelahiran si calon pengantin perempuan. Untuk anak pertama harus diserahkan 18 pinggan, sedangkan untuk anak kedua 17 pinggan, dan anak ketiga 16 pinggan. Jika ada anak keempat maka jumlah pinggan yang harus diserahkan kembali ke 18, demikian seterusnya. Sebelum mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada calon pengantin, melantunkan kata-kata sebagai berikut: Encik-encik dan Tuan-tuan, Nan selilit bendul, ditepi selinggam bendul, di tengah, Kecik tidak terhimbau nama, Gedang tidak terhimbau gelar, Yang disungkup atap terujam, pegawai

Kalau luka Aku enggak memampas, Kalau mati enggak membangun, Dibela aku juga yang membangun, membangunnya, Sa-it, sahut hadirin. Dengan disahutnya kata Sa-it oleh para hadirin, berarti bahwa salah satu syarat yang berkenaan dengan suatu perkawinan menjadi sah. Setelah itu, barulah Sang Pegawai barulah mengajukan pertanyaan kepada kedua calon pengantin. Mula-mula Sang Pegawai bertanya kepada calon pengantin lelaki dengan pertanyaan: Untuk apa kamu berdua datang kesini?, yang dijawab calon pengantin lelaki dengan: Aku hendak kawin dengan Tina (bukan nama sebenarnya). Sementara itu, calon pengantin perempuan menjawabnya dengan :Aku hendak kawin dengan Rahul (bukan nama sebenarnya). Setelah itu, Sang Pegawai bertanya lagi dan menjelaskan aturan perkawinan dengan kata-kata sebagai berikut: : Apakah ada kamu berdua yang hendak kawin ini, beranak gelang dan beranak cincin? Jika benar ada janji-janji kawin itu harus ditegaskan sekarang, jika tidak ternyata dikemudian hari benar ada janji-janji itu, maka kamu harus membayar dua kali lipat dari harga pedang yang telah ditetapkan. Jika kamu telah membungkam, maka adat akan menjatuhi hukuman berupa benda (sejumlah uang), uang mas kawin tidak dapat dituntut kembali, dan si gadis harus dipulangkan kepada ahli warisnya Kedua pengantin menjawabnya dengan kata-kata sebagai berikut: Sesungguhnya diantara kami berdua yang hendak kawin ini sebelumnya tidak ada membuat janji-janji kawin satu sama lain. Setelah itu, Sang Pegawai menakikkan/mencencangkan pedang 7 (tujuh) kali pada kasau rumah sebagai tanda bahwa perkawinan sah. Selanjutnya, Sang Pegawai menyampaikan tugas dan kewajiban sebagai suami dan seorang isteri, serta tugas dan kewajiban sebagai seorang menantu terhadap mertua Sebagai penutup kata, Sang Pegawai menyampaikan semacam petuah dalam bentuk pantun yang disebut telatak takuk takil. Jati si kumbang jati, Daun lirik talian naga, Patah tumbuh hila ng berganti, Aku mendirikan adat pusaka.

Sa-it. Apit dinding berapit, Akan mengapit sirunjunya, Kalau baik ambilkan kapit, Apakan bisa sembarang gunanya. Sa-it Sedang mengkudu lagi berpawal, Kunun pula cempedak muda, Lagi penguhulu lagi tergawal, Kunun pula budak muda-muda. Sa-it Hanyut kaca dari hulu, Hanyut guntang-guntang, Apa daya tinggang Penghulu, Aku menyerahkan budah berhutang. Sa-it. Tang si kuntang-kuntang, Kedidi pandak kaki, Aku menyerahkan budak berhutang, Apa terhiba di dalam hati. Sa-it Ditebe dilunda-lunda, Akan pelemang sauh bekal, Sepantun manau dua sejunjungan, Tidak tahu ujung dan pangkal. Sa-it Adi adi andai-andai, Angkarang mudik perigi, Cerdik-cerdik pandai pandai, Emas dikandang jangan pergi. Sa-it

Kami tidak mengindang buah, Kami mengingang padi hampa, Kami tidak membuang buah, Kami membuang sarau celaka. Sa-it. Kata sa-it berasal dari kata sahlah itu, kira-kira sama seperti amien. Penutup kata pada upacara pernikahan itu kembali Pejabat nikah mengutarakan hak dan kewajiban suamiisteri satu sama lain. Hutang laki (suami) digambarkan sebagai: Rajab berpancung lurus, Rumah beruruk tinggalkan di pohon, Rumah sorongan ke hujung, Anak beri berbapak, Kemenakan beri bermamak, Kalau disuruh pergi, Dihimbau datang, Ladang humakan, Tekalak lukahkan, Kain bajukan anak orang, Jangan bercakak berkelahi. kalau tidak tertekalakkan terlukahkan, Tidak terladang terhumakan, Tidak terkain terbajui, Dihimbau si Upik si Bujang nan datang, Dihimbau si Bujang si Upik nan tiba, Disuruh ke hujung dianya ke pohon, Disuruh ke pohon dianya ke hujung, Bertandang berula ula, bermalam diujung jangka, Berambut licin, Bergigi hitam, Berdestar besar, berpancung leret, Kalau kamu berbuat begitu, kamu ditolak orang.

Hutang bini (isteri) digambarkan sebagai: Tanak gulaikan sanduk sajikan lakimu, Minta pintakan orang yang berkayuh hilir bergalah Mudik. Bila disuruh pergi, dihimbau datang, Kalau tidak tertanakkan tergulaikan, Tidak tersanduk tersajikan, Bentang tikar kirab kirabkan, Sendok nasi dorong dorongkan, Air tidak hening tidak sejuk, Disuruh ke hujung dianya ke pohon, Disuruh ke pohon dianya ke hujung, Dihimbau si Upik, si Bujang nan datang, Dihimbau si Bujang, si Upik nan tiba, Tilik sudut jeling tempala, Kamu salah, tepuk punggung berjalan saja. Upacara perkawinan itu sendiri ditutup dengan acara makan. Dalam hal ini adalah makan bersama.

Gambar 1. Pakaian Adat, Tradisional Indragiri Riau

2.1.3 Nilai Budaya


Perkawinan adalah suatu pranata sosial yang sangat erat kaitannya dengan kehidupan bersama. Melalui perkawinan akan terwujud sebuah rumah tangga (keluarga baru). Dengan perkataan lain, perkawinan merupakan tindak lanjut dari hubungan antara seorang jejaka dan seorang gadis untuk mengarungi kehidupan bersama dalam sebuah rumah tangga. Meskipun demikian, bukan berarti bahwa perkawinan hanya menjadi urusan kedua remaja yang hendak kawin. Akan tetapi, menjadi masalah (baca urusan) masyarakat karena tidak hanya melibatkan keluarga kedua belah pihak, tetapi juga masyarakat sekitarnya. Lepas dari masalah itu, yang jelas bahwa perkawinan (baca upacara perkawinan) bukan hanya seremonial atau hanya sekedar formalitas, karena jika dicermati di dalamnya terkandung nilai-nilai yang dapat dijadikan acuan, tidak hanya dalam kehidupan berumah tangga, tetapi juga kehidupan masyarakat pada umumnya. Dan, nilai-nilai yang terkandung dalam sistem perkawinan masyarakat Talang Mamak, antara lain: kesetaraan (kesamaan hak), kebertanggung-jawaban, dan. ketaatan (kepatuhan) Nilai kesetaraan (kesamaan hak) tercermin dalam kegiatan bertandang. Disini bukan hanya jejaka dan atau gadis yang dapat memilih dan menentukan pilihannya, tetapi keduanya sama-sama memilih jodohnya. Untuk itu, kesaling-cocokan menjadi penting dalam hal ini. Kesaling-cocokan bukan berarti bahwa antara jejaka dan gadis berjodoh, karena ketika sepasang remaja itu hidup bersama di suatu tempat (hutan) bisa saja terjadi ketidaksaling-cocokan. Dan, jika itu terjadi, bisa saja Si Gadis meninggalkan begitu saja jejakanya, dan sebaliknya. Ini artinya, keduanya mempunyai hak yang sama untuk menentukan jodoh. Nilai kebertanggung-jawaban juga tercermin dalam masa bertandang, yaitu ketika sepasang remaja yang berlainan jenis itu hidup di hutan. Dalam hal ini Sang Jejaka mendirikan sebuah pondok dan membuat ladang serta berusaha untuk memenuhi kebutuhan hidup berdua. Sementara, Sang Gadis berusaha untuk melakukan tugas sebagai ibu rumah tangga dengan baik, seperti: menanak nasi, membuat minuman, dan membersihkan pondok. Ini artinya, keduanya berusaha untuk bertanggung jawab, sehingga ketidak-cocokan tidak perlu terjadi (tidak ada yang ditinggalkan atau meninggalkan). Nilai ketaatan (kepatuhan) tercermin dari tidak terjadi perbuatan yang dilarang oleh adat. Dalam hal ini, meskipun sepasang remaja yang berlaian jenis hidup bersama dalam sebuah pondok di hutan, mereka tidak menyalah-gunakan (mengambil kesempatan), sehingga jarang

terjadi kehamilan (kalau tidak dikatakan pernah terjadi). Ini artinya, mereka patuh terhadap apa yang dilarang adat. Ketaatan juga tercermin ketika sepasang remaja yang berlainan jenis tidur bersama dalam sebuah kelambu. Di sini pun mereka juga tidak melakukan perbuatan yang dilarang adat.

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan 1. Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni. 2. Perkawinan adalah suatu pranata sosial yang sangat erat kaitannya dengan kehidupan bersama. Melalui perkawinan akan terwujud sebuah rumah tangga (keluarga baru). Dengan perkataan lain, perkawinan merupakan tindak lanjut dari hubungan antara seorang jejaka dan seorang gadis untuk mengarungi kehidupan bersama dalam sebuah rumah tangga. 3. Upacara perkawinan adat Indragiri hulu,seperti di Talang Mamak yaitu ada bertandang, bertunangan, hantaran dan akad nikah.

DAFTAR PUSTAKA

Hidayah, Z. 1996. Ensiklopedi Sukubangsa di Indonesia. Jakarta: LP3ES. Melalatoa, J. 1995. Ensiklopedi Sukubangsa di Indonesia. Jilid AK. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan WWW.Upacara perkawinan masyarakat talang mamak dikabupaten inhul.com

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, berkat rahmat dan karuniaNya kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul Upacara Perkawinan Kabupaten Indragiri Hulu Dalam makalah ini kami menjelaskan mengenai proses adat perkawinan kabupaten Indragiri Hulu . Adapuan tujuan kami menulis makalah ini yang utama untuk memenuhi tugas kelompok dari dosen pengampu yang membimbing kami dalam mata kuliah Hukum Adat Riau. Kami menyadari makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh sebab itu, diharapkan kritik dan saran pembaca demi kesempurnaan makalah kami untuk ke depannya. Mudahmudahan makalah ini bermanfaat bagi kita semua terutama bagi mahasiswa-mahasiswa yang mengikuti mata kuliah Hukum Adat Riau ini.

Pekanbaru, 17April 2012

Penulis

MAKALAH HUKUM ADAT RIAU UPACARA PERKAWINAN MASYARAKAT TALANG MAMAK di KABUPATEN INHUL

Disusun oleh : Ali Mujiono (1009132360)

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS RIAU PEKANBARU 2012

Anda mungkin juga menyukai