Anda di halaman 1dari 33

KRITIK MATAN

Dibandingkan dengan kritik sanad, kegiatan kritik matan memiliki tingkat kesulitan yang lebih besar.

Menurut Shalh al-Dn al-Adlab kesulitan dalam kritik matan lebih disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu: (1) Langkanya kitab-kitab yang membahas kritik matan dan metodenya. (2) Pembahasan matan hadis pada kitab-kitab tertentu termuat di berbagai bab yang bertebaran sehingga sulit dikaji secara khusus, dan (3) Adanya keraguan di kalangan ahli hadis untuk mengklaim sesuatu sebagai bukan hadis padahal hadis, dan demikian sebaliknya [Shalh al-Dn al-Adlab, Manhaj Naqd al-Hadts (Beirut: Dar al-Afq al-Jaddah, 1403 H/1983 M), hlm. 20-23.]

Menurut M. Syuhudi Ismail, faktor-faktor yang menonjol penyebab sulitnya penelitian matan hadis adalah: adanya periwayatan secara makna, acuan yang digunakan sebagai pendekatan tidak satu macam saja, latar belakang timbulnya petunjuk hadis tidak selalu mudah dapat diketahui adanya kandungan petunjuk hadis yang berkaitan dengan hal-hal yang berdimensi supra rasional, dan masih langkanya kitab-kitab yang membahas secara khusus penelitian matan hadis.
[M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis

(Jakarta: Bulan Bintang, 1992), hlm. 130.]

Karena itulah, dalam penelitian matan hadis, setidaknya peneliti harus mempunyai keahlian dalam bidang Hadis dan `Ulum al-Hadis serta memiliki pengetahuan yang luas dan mendalam tentang ajaran Islam.

SEJARAH KRITIK MATAN


Kritik hadis sebenarnya telah terjadi sejak masa Nabi. Kritik sebagai upaya membedakan informasi yang benar dan yang salah pada masa Nabi lahir dalam bentuk konfirmasi sahabat kepada Nabi atau kepada sahabat lainnya [Ab Bakar bin `Al Tsbit al-Khathb alBaghdd, Kitb al-Kifyah fi`Ilm alRiwyah (Mesir: Mathba`ah al-Sa`dah, 1972), hlm. 402.]

Kritik pada masa sahabat


Kritik tertuju pada uji kebenaran bahwa Rasulullah jelas-jelas menginformasikan hadis tersebut. Prosedurnya melalui cross check yang berisi muqaranah atau perbandingan antar riwayat. Misal Abu Bakar bersikap menolak pemberitaan mughirah bin syubah bahwa Rasul membagikan 1/6 warisan kepada nenek pewaris. Abu Bakar baru mempercayai dan menerimanya setelah datang kesaksian Muhammad bin Maslamah al Anshari Umar bersitegang dengan Abu Musa al-Asyari yang datang kerumahnya tak jadi bertemu setelah mengetuk pintu 3 kali, karena Abu Musa berpegang kepada hadis yang mengajarkan cara bertamu tersebut. Ternyata Abu Said alKhudri mengaku telah memperoleh informasi yang sama (baru Umar menerima)

Pada waktu itu, para sahabat memang belum menemukan kendala yang berarti dalam memahami hadis, mengingat semua kendala yang menyangkut kebenaran informasi ataupun kontroversi pemahaman, dengan mudah dapat dikonfirmasikan kepada sumber primernya, yaitu Nabi.

Contoh kebenaran informasi dapat dilihat ketika `Umar bin al-Khaththb memperoleh berita dari sahabat Anshr dan sekaligus tetangganya, yang memberikan informasi bahwa Nabi telah menceraikan istri-istrinya. `Umar mengecek langsung kepada Nabi, dan Nabi memberitahu bahwa ia hanya bersumpah untuk tidak mengumpuli istri-istrinya selama satu bulan. [Lihat: Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadis (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996), hlm. 1-2.]

Contoh kontroversipemahaman dapat dilihat pada kasus yang sering dikemukakan oleh para pakar adalah ketika Nabi SAW. memerintahkan sejumlah sahabat untuk pergi ke perkampungan Ban Quraizhah. Sebelum berangkat beliau berpesan: L Yushalliyanna ahadun al-`Ashra ill f Ban Quraizhah. Perjalanan ke perkampungan tersebut cukup memakan waktu, sehingga diperkirakan sebelum mereka sampai di tempat yang dituju, waktu Ashar telah habis.

Oleh karenanya sebagian sahabat memahaminya sebagai perintah Nabi untuk bergegas dalam perjalanan dan sampai pada waktu masih Ashar. Mereka pun shalat Ashar pada waktunya, walaupun belum tiba di tempat yang dituju (Perkampungan Ban Quraizhah)

Tetapi sahabat yang lain memahaminya secara tekstual, oleh karenanya, mereka baru melakukan shalat Ashar setelah sampai di perkampungan Ban Quraizhah, meskipun waktu Ashar telah berlalu.

Di kalangan sahabat sendiri telah muncul beberapa sahabat yang sangat kritis dalam menerima hadis, di antaranya Ab Bakar alShiddq (w. 13 H), `Umar bin al-Khaththb (w. 23 H), `Al bin Ab Thlib (w. 40 H), `isyah binti Ab Bakar al-Shiddq (w. 58 H), Ubay bin Ka`ab (w. 22 H), `Abd Allh bin `Amr (w. 63 H), `Abd Allh bin `Umar (w. 73 H), Zaenab istri Ibn Mas`d dan lain-lain [M.M. Azami, Studies in Hadith, hlm. 48. ]

Namun, seiring dengan perjalanan waktu, dengan wafatnya Nabi, secara otomatis segala persoalan harus mereka tangani sendiri dan kritik hadis pun mulai dilakukan secara intensif ketika umat Islam bergesekan dengan problem politik.

Kondisi politik yang memanas pada masa-masa akhir Khulaf` al-Rsyidn, khususnya setelah terjadinya fitnah pembunuhan `Utsmn (w. 35 H) dan peperangan antara `Al (w. 40 H) dan Mu`wiyah (w. 60 H), telah menyebabkan terjadinya upaya manipulasi berita yang disandarkan kepada Nabi (pemalsuan hadis), untuk kepentingan pribadi dan golongan. Oleh karenanya untuk menjaga kemurnian dan memelihara kebenaran hadis, maka muncul sejumlah pakar yang dengan gigih membendung segala upaya pemalsuan dan penyebarluasan informasi yang disandarkan kepada Nabi.

Pada masa setelah Khulaf' al-Rsyidn, ulama Madinah yang terkenal kritis dan selektif dalam menerima hadis antara lain: Ibnu al-Musayyab (w. 93 H), al-Qsim bin Muhammad bin Ab Bakar (w. 106 H), Slim bin `Abd Allh bin `Umar (w. 106 H), `Al bin Husain `Al (w. 93 H), Ab Salmah bin `Abd al-Rahmn (w. 94 H). `Ubaid Allh bin `Abd Allh bin `Utbah (w. 80 H), Khrijah bin Zaid bin Tsbit (w. 100 H), `Urwah bin al-Zubair (w. 94 H), Ab Bakar bin `Abd alRahmn bin al-Hrits (w. 94 H), Sulaimn bin Yasar (+w. 100 H), al-Zuhr (w. 124 H), Yahy bin Sa`d (w. 144 H), dan Hisym bin `Urwah (w. 146).

Sementara di Irak muncul kritikus semacam Sa`d bin Jubair (w. 95 H), alSya`b (w. 103 H), Thwus (w. 100 H), alHasan al-Bashr (w. 110 H) dan Ibn Srn (w. 110 H), Ayyb al-Sakhtiyn (w. 131 H) dan Ibn `Aun (w. 151 H).

Seiring dengan semakin luasnya daerah Islam dan tersebarnya sahabat Nabi ke berbagai kota, kemudian diikuti oleh para tabi`in, maka penyebaran hadis pun semakin luas, sehingga sejak awal abad kedua Hijriyyah hingga beberapa abad setelahnya, para ulama semakin giat dalam upaya mengadakan penyeleksian terhadap hadis. Hal ini ditandai dengan berbagai perlawatan yang dilakukan oleh sejumlah ulama hadis dengan tujuan mengkonfirmasi kebenaran berita yang mereka dengar pada subyek sumber berita.

Pada abad kedua Hijriyyah ini, tercatat sejumlah ulama kritik hadis yang terkenal antara lain: Sufyn al-Tsaur dari Kufah (w. 161 H), Mlik bin Anas dari Madinah (w. 179 H), Syu`bah dari Wasth (w. 100 H), al-Auz` dari Beirut (w. 158 H), Hammd bin Salmah dari Basrah (w. 167 H), al-Laits bin Sa`d dari Mesir (w. 175 H), Hammd bin Zaid dari Mesir (w. 179 H), dan Ibn `Uyainah dari Mekkah (w. 198 H).

Kegiatan kritik terus berlanjut sehingga melahirkan sejumlah karya dalam bentuk teori dan metodologi ilmu hadis baik yang berkaitan dengan kritik sanad maupun kritik matan

Kritikus hadis yang muncul pada abad III H di antaranya: Yahy bin Ma'n (w. 233 H), 'Al bin al-Madn (w. 234 H), Ibn Hanbal (w. 241 H), Ishq bin Rhawaih (w. 238 H), Zuhair bin Harb (w. 234 H), alDrim (w. 282 H), al-Bukhr (w. 256 H), Ab Zur'ah al-Rz (w. 264 H), Ab Htim al-Rz (w. 277 H), Muslim (w. 261 H) dan al-Nas' (w. 303 H).

Meskipun kegiatan kritik terhadap hadis telah dilakukan oleh para sahabat dan terus berlanjut hingga masa tbi` altbi`n, namun secara teoritis dan metodologis kritik hadis belum terformat secara spesifik. Oleh sebab itu para pakar telah menyusun tolok ukur dalam kritik matan.

Tolok Ukur Kritik Matan


Tolok ukur kritik matan hadis yang ditradisikan oleh muhadditsin terkait dengan upaya merumuskan konsep ajaran Islam versi hadis, yaitu: 1. Tidak menyalahi petunjuk eksplisit al-Quran 2. Tidak menyalahi hadis yang telah diakui keberadaannya dan tidak menyalahi sirah nabawiyah 3. Tidak menyalahi pandangan akal sehat, data empiris dan fakta sejarah 4. Berkelayakan sebagai ungkapan pemegang otoritas nubuwwah.

Kontroversi Hadis dengan al-Quran Jika hadis memperoleh status maqbul dan diterima kehujjahannya, namun konsep yang dikandung diduga bertentangan dengan petunjuk sharih al-Quran, yakni dalalah yang muhkam, maka formula konsep harus berpihak pada eksplisitas Quran. Jika konsep hadis maqbul bertentang dengan ayat yang berdalalah zhanni karena unsur metaforis (mutasyabih), bangunan konsep seyogyanya diarahkan ke tawil (interpretasi alegoris)

Jika matan hadis bertentangan dengan ayat alQuran, dan keduanya tidak mungkin dikompromikan, dan tidak dapat diketahui kronologi turunnya, serta keduanya tidak mengandung takwil, maka hadis tersebut tidak dapat diterima dan dinyatakan sebagai hadis dhaif. (Musfir Azm Allah, Maqayis Naqd Mutun al-Sunnah, Riyad: Jamiah al-Imam Muhammad ibn Saud, 1984, hlm. 117)

Misal, hadis al-Barra bin Azib yang bercerita tentang proses kesepakatan Shulh al:Hudaibiyyah yang matan hadis seperti ini ....()
Maka Rasulullah saw bertindak mengambil kitab (naskah perjanjian) dan segera menuliskan teks: Inilah hal-hal yang Muhammad bin Abdullah memutuskan bersama )(HR al-Bukhari

Kandungan hadis ini menginformasikan Rasulullah terampil menulis teks dan cakap membaca penggalan kalimat krusial dalam naskah perjanjian genjatan senjata yang pihak Quraisy bertahan menolaknya. Terampilnya Rasul dalam membaca dan menulis bertentangan dengan Quran al-Ankabut:


Dan kamu tidak pernah membaca sebelumnya (Al Qur'an) sesuatu Kitab pun dan kamu tidak (pernah) menulis suatu kitab dengan tangan kananmu; andai kata (kamu pernah membaca dan menulis), benar-benar ragulah orang yang mengingkari (mu).

Petunjuk al-Quran sangat eksplisit, karenanya, petunjuk hadis diarahkan kepada tawil (rasul memerintahkan penulisan teks kata seusai keinginan Quraisy kepada sekretaris beliau saat itu, Ali bin Abi Thalib, bukan beliau yang menuliskannya)

Contoh: Hadis tentang pembalasan amal perbuatan

- ( ) ) (

) 461(
Ulama sepakat bahwa hadis Abu Hurairah .tersebut tidak shahih

Perbandingan antar hadis-hadis


Caranya dengan membandingkan antara beberapa riwayat yang berbeda mengenai suatu hadis. Dengan cara seperti ini, akan diketahui beberapa hal: 1.Idraj (sisipan), lafad yang disisipkan oleh rawi, baik sahabat atau lainnya. 2.Idhthirab (kacau),

Tanda-Tanda Matan Palsu


Susunan Bahasa rancu Kandungannya bertentangan dengan akat sehat Kandungannya bertentangan dengan tujuan pokok ajaran Islam Kandungannya bertentangan dengan sunnatullah Kandungannya bertentangan dengan fakta sejarah Kandungannya bertentangan dengan petunjuk alQuran/Hadis Mutawatir Kandungannya berada di luar kewajaran diukur dari petunjuk umum ajaran Islam

)(

) (
)(

Anda mungkin juga menyukai