Anda di halaman 1dari 18

3

BAB II LIMFOMA NON HODGKIN

2.1. Pendahuluan Limfoma Non Hodgkin (LNH) adalah kelompok keganasan primer limfosit yang dapat berasal dari limfosit B, limfosit T dan kadang (amat jarang) berasal dari sel NK (natural killer) yang berada dalam sistem limfe; yang sangat heterogen, baik tipe histologis, gejala, perjalanan klinis, respon terhadap pengobatan, maupun prognosis.7 Pada LNH sebuah sel limfosit berproliferasi secara tak terkendali yang mengakibatkan terbentuknya tumor. Seluruh sel LNH berasal dari satu sel limfosit, sehingga semua sel dalam tumor pasien LNH sel B memiliki immunoglobulin yang sama pada permukaan selnya.7 Kasus LNH terjadi sekitar 50.000 kasus/tahun dengan usia biasanya > 50 tahun dan predominan pada laki-laki. Saat ini sekitar 1,5 juta orang di dunia saat ini hidup dengan LNH dan tiap tahun sekitar 300.000 orang meninggal karena penyakit ini.7

2.2. Epidemiologi Pada tahun 2000 di Amerika Serikat diperkirakan terdapat 54.900 kasus baru, dan 26.100 orang meninggal karena LNH. Di Amerika Serikat, 5% kasus LNH baru terjadi pada pria dan 4% pada wanita per tahunnya. Pada tahun 1997, LNH dilaporkan sebagai penyebab kematian akibat kanker utama pada pria usia 20-39 tahun. Insidensi LNH di Amerika Serikat menurut National Cancer Institute tahun 1996 alah 15.5 per 100.000. LNH secara umum lebih sering terjadi pada pria. Insidensi LNH meningkat seiring dengan bertambahnya usia dan mencapai puncak pada kelompok usia 80-84 tahun.7 Saat ini angka pasien LNH di Amerika semakin meningkat dengan pertambahan 510% pertahunnya, menjadikannya urutan ke lima tersering dengan angka kejadian 12-15 per 100.000 penduduk. Di Perancis penyakit ini merupakan keganasan ketujuh tersering.

Di Indonesia sendiri LNH bersama-sama dengan penyakit Hodgkin dan leukemia menduduki urutan ke enam tersering. Sampai saat ini belum diketahui sepenuhnya mengapa angka kejadian LNH terus meningkat. Adanya hubungan yang erat antara penyakit AIDS dan LNH kiranya memperkuat dugaan adanya hubungan antara LNH dengan infeksi.7

2.3. Klasifikasi Limfoma Non Hodgkin Penggolongan histologis LNH merupakan masalah yang rumit dan sukar, yang kerap menggunakan istilah-istilah yang berbeda-beda sehingga tidak memungkinkan diadakannya perbandingan yang bermakna antara hasil-hasil berbagai pusat penelitian. Perkembangan terakhir klasifikasi yang banyak dipakai dan diterima dibanyak pusat kesehatan adalah formulasi praktis (Working Formulation/WF) dan REAL/WHO. WF menjabarkan karateristik klinis dengan deskriprif histopatologis, namun belum

menginformasikan jenis sel limfosit B atau T, maupun berbagai patologis klinis yang baru. WF membagi LNH menjadi LNH atas derajat keganasan rendah, menengah dan tinggi yang mencerminkan sifat agresifitas mereka. Klasifikasi WHO/REAL beranjak dari karakter imunofenotip (sel B, sel T dan sel NK) dan analisa baku dan cara berkomunikasi di antara ahli hematologi-onkologi medik.7 Hal yang perlu dicatat adalah 25% pasien LNH menunjukkan gambaran sel limfoma yang bermacam-macam pada satu lokasi yang sama; maka dalam hal ini pengobatannya harus berdasarkan gambaran histologis yang paling dominan. Oleh karena itu diagnosis klasifikasi LNH harus selalu berdasarkan biopsi. KGB dan bukan evaluasi sitologi atau biopsi sumsum tulang semata.7

Tabel 1. Klasifikasi Limfoma Non Hodgkin Menurut REAL/WHO B-cell neoplasms I. Precursor B-cell neoplasm: precursor B-acute lymphoblastic leukemia/lymphoblastic lymphoma (B-ALL, LBL) II. Peripheral B-cell neoplasm A. B-cell chronic lymphocytic leukemia/small lymphocytic lymphoma B. B-cell prolymphocytic leukemia C. Lymphoplasmacytic lymphoma/immunocytoma D. Mantle cell lymphoma E. Follicular lymphoma F. Extranodal marginal zone B-cell lymphoma or MALT type G. Nodal marginal zone B-cell lymphoma (monocytoid B-cells) H. Splenic marginal zone lymphoma (villous lymphocytes) I. Hairy cell leukemia J. Plasmacytoma/plasma cell myeloma K. Diffuse large B-cell lymphoma L. Burkitts lymphoma T-cell and putative NK-cell neoplasms I. Precursor T-cell neoplasm: precursor T-acute lymphoblastic leukemia/lymphoblastic lymphoma (T-ALL, LBL) II. Peripheral T-cell and NK-cell neoplasms A. T-cell chronic lymphocytic leukemia/prolymphocytic leukemia B. T-cell granular lymphocytic leukemia C. Mycosis fungoides/Sezary syndrome D. Peripheral T-cell lymphoma, not otherwise characterized E. Hepatosplenic gamma/delta lymphoma F. Subcutaneous panniculitis-likw T-cell lymphoma G. Angiommunoblastic T-cell lymphoma H. Extranodal T-/NK-cell lymphoma, nasal type I. Enteropathy-type intestinal T-cell lymphoma J. Adult T-cell lymphoma/leukemia (HTLV 1+) K. Anaplastic large cell lymphoma, primary systemic type L. Anaplastic large cell lymphoma, primary cutaneous type M. Aggressive NK-cell leukemia

Tabel 2. Working Formulation Low grade lymphoma A. Small lymphocytic, consistent with CLL plasmacytoid B. Follicular, predominantly small cleaved cell C. Follicular, mixed small cleaved and large cell Intermediate grade lymphoma A. Follicular, large cell B. Diffuse, small cleaved cell C. Diffuse, mixed small and large cell D. Diffuse large cell High grade lymphomas A. Large cell, immunoblastic B. Lymphoblastic C. Small, non-cleaved cell Burkitts, Non-Burkitts

Tabel 3. Manifestasi Klinis LNH Gejala Gangguan pernafasan Kemungkinan Timbulnya Gejala 20% - 30%

Penyebab Pembesaran kelenjar getah bening di dada

Hilang nafsu makan Sembelit berat Nyeri perut atau perut kembung Pembengkakan tungkai Penurunan berat badan Diare Malabsorbsi Pengumpulan cairan di sekitar paru-paru (efusi pleura) Daerah kehitaman dan menebal di kulit yang terasa gatal Penurunan berat badan Demam Keringat di malam hari Anemia (berkurangnya jumlah sel darah merah)

Pembesaran kelenjar getah bening di perut

30% - 40%

Penyumbatan pembuluh getah bening di selangkangan atau perut Penyebaran limfoma ke usus halus

10% 10%

Penyumbatan pembuluh getah bening di dalam dada

20-30%

Penyebaran limfoma ke kulit

10-20%

Penyebaran limfoma ke seluruh tubuh

50-60%

Mudah terinfeksi oleh bakteri

Perdarahan ke dalam saluran pencernaan Penghancuran sel darah merah oleh limpa yang membesar & terlalu aktif Penghancuran sel darah merah oleh antibodi abnormal (anemia hemolitik) Penghancuran sumsum tulang karena penyebaran limfoma Ketidakmampuan sumsum tulang untuk menghasilkan sejumlah sel darah merah karena obat atau terapi penyinaran Penyebaran ke sumsum tulang dan kelenjar getah bening, menyebabkan berkurangnya pembentukan antibodi

30%,pada akhirnya bisa mencapai 100%

20-30%

Atas dasar penetapan stadium klinis pada penyakit LNH pada 60% penderita penyakitnya terbatas pada stadium I atau II. Pada 30% penderita terdapat perluasan sampai stadium III dan pada 10-15% terdapat pada stadium IV. Ini berbeda dengan limfoma nonHodgkin, yang biasanya terdapat pada stadium III-IV.7

Gambar 1. Stadium morbus Hodgkin berdasarkan klasifikasi Ann Arbor

Tabel 4. Stadium berdasarkan Klasifikasi Ann Arbor Stadium Stadium I Penyebaran Penyakit mengenai satu kelenjar limfe regional yang terletak diatas atau dibawah diafragma (I) atau satu regio ekstralimfatik atau organ (IE) Penyakit mengenai dua atau lebih daerah kelenjar di satu sisi diafragma (II) atau kelainan ekstralimfatik atau organ terlokalisasi dengan satu atau lebih daerah kelenjar di sisi yang sama diafragma (IIE) Penyakit mengenai daerah kelenjar di kedua sisi diafragma (III), dengan atau tanpa kelainan ekstralimfatik atau organ (IIIE), lokalisasi limpa (IIIE) atau kedua-duanya (IIIE). Penyakit telah menjadi difus / menyebar mengenai satu atau lebih organ atau jaringan ekstralimfatik, seperti sumsum tulang atau hati dengan atau tanpa kelainan kelenjar limfe.

Stadium II

Stadium III Stadium IV

2.4. Pendekatan Diagnostik 2.4.1. Anamnesis Umum : Pembesaran kelenjar getah bening dan malaise umum Berat badan menurun 10% dalam waktu 6 bulan Demam tinggi 38 Keringat malam dalam 1 minggu tanpa sebab

Keluhan anemia Keluhan organ (misalnya lambung, nasofaring) Penggunaan obat (Diphantoine)

Khusus : Penyakit autoimun (SLE. Sjorgen, Reuma) Kelainan darah Penyakit infeksi (toksoplasma, mononucleosis, tuberculosis luas, penyakit cakar kucing) 2.4.2. Pemeriksaan Fisik Pembesaran KGB Kelainan/pembesaran organ Performance status: ECOG atau WHO/Karnofsky

2.4.3. Pemeriksaan Diagnostik a. Laboratorium Rutin Hematologi: - Darah perifer lengkap (DPL) - Gambaran darah tepi (GDT) Urinalisis: - Urin lengkap

10

Kimia klinik: - SGOT, SGPT, LDH, protein total, albumin, asam urat - Alkali fosfatase - Gula darah puasa dan 2 jam pp - Elektrolit: Na, K, Cl, Ca, P Khusus - Gamma GT - Cholinesterase (CHE) - LDH/fraksi - Serum Protein Elektroforesis (SPE) - Imuno Elektroforese (IEP) - Tes Coombs - B2 Mikroglobulin b. Biopsi Biopsi KGB dilakukan hanya 1 kelenjar yang paling representatif, superficial, dan perifer. Jika terdapat kelenjar perifer/superficial yang representatif, maka tidak perlu biopsi intra abdominal atau intratorakal. Spesimen kelenjar diperiksa: - Rutin Histopatologi : REAL-WHO dan Working Formulation - Khusus Imunoglobulin permukaan Histo/sitokimia Diagnosis ditegakkan berdasarkan histopatologi dan sitologi. FNAB dilakukan atas indikasi tertentu. Tidak diperlukan penentuan stadium laparatomi.

11

c. Aspirasi sumsum tulang (BMP) dan biopsy sumsum tulang dari 2 sisi spina iliaca dengan hasil specimen sepanjang 2 cm. d. Radiologi Rutin: - Toraks foto PA dan lateral - CT scan seluruh abdomen (atas dan bawah) Khusus: - Ct scan toraks - USG Abdomen - Limfografi, limfosintigrafi e. Konsultasi THT: bila cincin Waldeyer terkana, dilakukan gastroskopi atau foto saluran cerna atas dengan kontras. f. Cairan tubuh lain: cairan pleura, asites, cairan serebrospinal jika dilakukan pungsi/aspirasi diperiksa sitologi dengan cara cytospin, disamping

pemeriksaan rutin lainnya. g. Immunophenotyping: Parafin panel : CD 20, CD 3.

2.5. Faktor Prognostik LNH dapat dibagi dalam 2 kelompok prognostik: Indolent Lymphoma dan Agresif Lymphoma. LNH Indolen memiliki prognosis yang relative baik, dengan median survival 10 tahun, tetapi biasanya tidak dapat disembuhkan pada stadium lanjut. Sebagian besar tipe Indolen adalah noduler atau folikuler. Tipe limfoma agresif memiliki perjalanan alamiah yang lebih pendek, namun lebih dapat disembuhkan secara signifikan dengan kemoterapi kombinasi intensif. Risiko kambuh lebih tinggi pada pasien dengan gambaran histologist divergen baik pada kelompok Indolen maupun Agresif.7 International Prognostic Index (IPI) digunakan untuk memprediksi outcome pasien dengan LNH Agresif Difus yang mendapatkan kemoterapi regimen kombinasi yang

12

mengandung Antrasiklin, namun dapat pula digunakan pada hamper semua subtipe LNH. Terdapat 5 faktor yang mempengaruhi prognosis, yaitu usia, serum LDH, status performans, stadium anatomis, dan jumlah lokasi ekstra nodal. Tiap factor memiliki efek yang sama terhadap outcome, sehingga abnormalitas dijumlahkan untuk mendapatkan indeks prognostic. Skor yang didapat antara 0-5. Pada pasien usia <60 tahun, indeks yang digunakan lebih sederhana yaitu hanya meliputi factor stadium anatomis, serum LDH dan status performans, tanpa status ekstra nodal.7

Tabel 5. Indeks Prognostik Pasien LNH untuk Seluruh Umur Indeks Prognostik Umur Tumor Stage Ann Arbor LDH Serum ECOG Performance Status

Keterlibatan ekstranodal

60 tahun = 0 > 60 tahun = 1 I atau II = 0 III atau IV = 1 Normal = 0 Meningkat = 1 Tak ada gejala = 0 Ada gejala =0 Bedridden < day = 2 Bedridden > day = 3 Chronically bedridden = 4 1 tempat = 0 > 1 tempat = 1

2.6. Terapi 2.6.1. LNH Indolen Indolen, Stadium I dan Stadium II Kontrol penyakit jangka panjang atau perbaikan masa bebas penyakit secara bermakna dapat dicapai pada sejumlah pasien LNH indolen stadium I atau stadium II dengan menggunakan dosis radiasi 2500-4000 cGy pada lokasi yang terlibat atau pada lapangan yang lebih luas yang mencakup lokasi nodal yang berdekatan (termasuk system KGB terkait dengan ekstra nodal yang terlibat). Standar pilihan terapi 7:

13

1. Iradiasi 2. Kemoterapi dengan terapi radiasi 3. Extended (regional) irradiasi, untuk mencapai nodal yang bersebelahan. 4. Kemoterapi saja atau Wait and See jika terapi radiasi tidak dapat dilakukan 5. Sub total/total iradiasi lymphoid (jaranh). Radioterapi luas tak meningkatkan angka kesembuhan dan dapat menurunkan toleransi terhadap kemoterapi lanjutan nantinya. Indolen, Stage II/III/IV Pengelolaan optimal pada LNH indolen stadium lanjut masih controversial dan masih melalui berbagai penelitian klinis. Stadar pilihan terapi7 : Tanpa terapi/Wait and see: pasien asimptomatik dilakukan penundaan terapi dengan observasi. Pasien stadium lanjut dapat diobservasi dan dilaporkan tidak mempengaruhi harapan hidup. Remisi spontan dapat terjadi. Terapi diberikan bila ada gejala sistemik, perkembangan tumor yang cepat dan komplikasi akibat perkembangan tumor. Rituximab (anti CD 20 monoclonal antibodi; Rituxan, Mab Thera) sebagai first line therapy, diberikan tunggal atau kombinasi. Merupakan anti CD20 antibodi monoclonal kimera yang telah disetujui untuk terapi LNH indolen yang relaps atau refrakter. Obat ini bekerja dengan cara aktivasi antibody dependent sitotoksik Tsel, mungkin melalui aktivasi komplemen dan memperantarai sinyal intraseluler: Untuk LNH indolen, dihasilkan ORR 50% dengan lama repons bertahan sekitar 1 tahun. Pada large cell lymphoma, dihasilkan respons sekitar 30%. Kombinasi kemoterapi dengan rituximab bersifat sinergis. Dosis baku rituximab 375 mg/m2 IV setiap minggu selama 4 sampai 8 minggu dan dosis maksimum yang bisa ditoleransi belum ditentukan. Terapi ulang memberikan respons 40%.

14

Efek samping berupa demam dan menggigil biasa dijumpai terutama pada infus pertama. Efek samping yang fatal (seperti anafilaksis, ARDS dan sindrom lisis tumor) pernah juga dilaporkan terutama pada pasien dengan sel limfoma dalam sirkulasi atau CLL.

Purine nucleoside analogs (Fludarabin atau 2-klorodoksiadenosin; kladribin) memberikan respons sampai 50% pada pasien yang telah diobati/kambuh. Alkylating Agent Oral (dengan atau tanpa steroid) Siklofosfamid Klorambusil

Kemoterapi kombinasi, terutama untuk memberikan hasil yang cepat. Biasanya digunakan kombinasi klorambusil atau siklofosfamid plus kortikosteroid dan fludarabin plus mitoksantron. Kemoterapi tunggal atau kombinasi menghasilkan respons cukup baik (60-80%). Terapi diteruskan sampai mencapai hasil maksimum. Terapi maintenance tak meningkatkan harapan hidup, bahkan dapat

memperlemah respon terapi berikut dan mempertinggi efek leukemogenik. Beberapa protocol kombinasi antara lain: CVP : Siklofosfamid + Vinkristin + Prednison C(M)OPP : Siklofosfamid + Vinkristin + Prokarbazin + Prednison CHOP : Siklofosfamid + Doksorubisin + Vinkristin + Prednison FND : Fludarabin + Mitoksantron + Deksametason

Antibodi Monoklonal Radioaktif. Angka respons berkisar antara 50-80% pada kasus yang pernah diterapi. Sediaan yang tersedia antara lain :131I-anti CD20 (tositumomab,Bexxar) dan
90

Y-anti

CD20

(Ibritumomabtiuxetan,Zevalin),

digunakan pada pasien relaps dengan/tanpa keterlibatan sumsum tulang minimal (<25%). Suatu penelitian acak yang membandingkan tiuxetan vs rituximab menunjukkan tingkat respon pengobatan (80% vs 55%) dan remisi lengkap (30% vs 15%) untuk keuntungan radio imuno-konjugasi.

15

Kemoterapi Intensif dengan/tanpa total-body irradiation diikuti dengan transplantasi sumsum tulang/stem cell periifer autologous atau allogenic/ PBSCT (masih dalam evaluasi klinis).

Kemoterapi dibandingkan dengan kemoterapi diikuti anti-idiotype vaccine. IFN-, penggunaan IFN alpha pada limfoma folikular sampai sekarang belum jelas. Hasil beberapa penelitian menunjukkan edek potensiasi angka respons,

perpanjangan waktu remisi dan kemungkinan pengaruhnya pada harapan hidup. Radioterapi paliatif, diberikan pada kasus tumor besar (bulky) atau untuk mengurangi obstruksi dan nyeri. Konversi Histologis LNH indolen yang bertransformasi menjadi agresif memiliki prognosis jelek dan dapat melibatkan sistem saraf pusat (terutama: meningeal). Biasanya memberikan respon terapi yang baik dengan protokol pengobatan LNH derajat keganasan menengah atau tinggi. Kemoterapi dosis tinggi dan transplantasi sel induk untuk kasus ini harus dipertimbangkan.7

Primary Cutaneous B-Cell Lymphoma (CBCL) Didefinisikan sebagai limfoma tanpa penyebaran ekstrakutan pada waktu didiagnosa dan selama paling sedikit 6 bulan berikutnya. Penyebaran ke kaki memberikan prognosis yang lebih jelek. CBCL yang terlokasir diobati dengan radioterapi, juga untuk yang multifocal. Kemoterapi dicadangkan untuk kasus dengan lesi anatomik noncontagious atau penyebaran ekstrakutan.7

Terapi eksperimental Beberapa antibodi monoclonal dengan target antigen CD23, CD19, CD20, CD22 atau untuk beberapa antigen yang lebih umum sifatnya seperti CD5, CD25, CD80, CD40.

16

Alemtuzumab (Campath -1H), antibody terhadap CD52 untuk terapi CLL, prolimfositik leukemia dan beberapa jenis limfoma sel T. Imunotoksin Vaksin idiotipe Antisense oligonukleotide Inhibitor selektif Transplantasi sumsum tulang autologus atau dukungan terapi sel induk perifer, setelah kemoterapi dosis tinggi sedang diteliti secara mendalam. Transplantasi sumsum tulang alogenik atau transplantasi sel induk. Dianjurkan pada pasien usia muda yang refrakter dengan donor yang masih ada ikatan keluarga dan digunakan sebagai cadangan terakhir.

Indolen, Rekuren Standar pilihan terapi: Terapi radiasi paliatif Kemoterapi Rituximab (anti CD20-monoclonal antibodies) Transplantasi sumsum tulang (masih dalam tahap evaluasi klinis).

2.6.2. LNH Agresif LNH Intermediate/High Grade Terlokalisir Non bulky stadium IA dan IIA, dengan keterlibatan ekstranodal (E), dapat diterapi dengan regimen yang mengandung doxorubicin (CHOP/CHV mP/BV) minimal 3 siklus, dilanjutkan dengan IFRT (ekuivalen dengan 300 cGy dalam 10 fraksi). Kombinasi kemoterapi dan radioterapi pada stadium awal meberikan hasil yang lebih baik dibandingkan kemoterapi saja.7

17

Stadium I-II (Bulky), III dan IV Diterapi dengan CHOP siklus lengkap atau CHV mP/BV 8 siklus (dalam penelitian). Untuk daerah bulky IFRT dapat diberikan guna meningkatkan lokal control. Mc Kelvey melaporkan dengan regimken CHOP 50% sampai 71% pasien mencapai remisi lengkap dan 75% diantaranya bertahan hidup lebih dari tiga tahun. Harryanto R dan Djumhana melaporkan di Indonesia angka ini lebih rendah, belum diketahui faktor pasti penyebabnya. Penelitian secara acak terhadap protokol CHOP (generasi pertama) dibandingkan dengan beberapa protokol generasi II/III melaporkan tidak ada perbedaan bermakna dari sudut angka harapan hidup dan masa bebas penyakit. Harapan hidup akturial berkisar antara 40% sampai 45%. Dengan demikan protokol CHOP tetap merupakan protocol baku terapi awal LNH agresif.7 Selain itu hasil GELA study (Coiffier et al) menunjukkan bahwa pasien usia tua dengan LNH agresif dengan penambahan rituximab pada setiap siklus CHOP meningkatkan overall survival dengan pengamatan 3 tahun dari 49% menjadi 62% bila dibandingkan dengan CHOP saja. Selain itu, regimen yang sama dapat menghasilkan disease control (cure) sekitar 30-40% pada pasien stadium lanjut LNH derajat keganasan menengah dan tinggi.7

18

Tabel 6. Gambaran Umum Pengobatan LNH klasifikasi WHO LNH B ILow Grade WHO Stadium Umur Premier/Residif LNH limfoplasmasiter makroglobulinemia

Trial

Terapi dalam Trial W&S, chloorambucil, fludarabine atau CVP Eradikasi HP RT, chloorambucil, CVP W&S,RT, chloorambucil, CVP Chloorambucil, fludarabine,CVP Splenectomi, chloorambucil IF-RT

LNH ekstranodal Sel B zone Marginal jenis MALT

Lambung I dan HP + Lambung I dan HP I-IV

P/R P/R

P/R P/R

LNH sel, zona marginal nodal LNH sel B zona marginal pada limpa LNH follicular derajat 12

I/II

>15

EORTC 20971 5 IF-RT +/- low dose TBI

R HOVON 48 (bila CR/PR setalh 8x CVP oral/ bila tidak 90yibritumomab tiuxetan (Zevalin) HOVON 47 : cloorambucil vs 2 x 2 Gy IF-RT EORTC 20981/ HOVON 39 : R-CHOP vs CHOP, +/rituximab maintenance

III/IV

>18

W&S,RT, chloorambucil, CVP W&S, chloorambucil, CVP, fluradabine

>65

W&S, chloorambucil, CVP, fluradabine, RT chloorambucil, CVP, fluradabine, RT, CHOP; p.m. non-myeloblative allo SCT

>18

R of refractair

LNH folikular derajat 3

P/R

Lihat difus

LNH

19

LNH intermediate/high grade yang refrakter/relaps 7 Pasien refrakter yang gagal mencapai complete respons diberikan terapi salvage dengan RT jika area yang terkena tidak ekstensif. Terapi pilihan bila mungkin adalah kemoterapi salvage diikuti dengan transplantasi stem sel autologus/PBSCT. Kemoterapi salvage terdiri dari high-dose sitosin arabinose, kortikosteroid dan cisplatin dengan atau tanpa etoposide. Pilihan lain ICE, MINE dan yang lain seperti CEPP/B, EVA, miniBEAM, VAPEC B dan infus EPOCH. Kemoterapi dosisi tinggi dengan RT diikuti PBSCT Allogenic BMT

MCL (Mantle Cell Lymphoma) 7 Hiper CAVD alternating dengan metotreksat dosis tinggi plus sitarabin dosis tinggi. Rituximab ditambahkan untuk regimen ini. Pasien <65 tahun dipertimbangkan dilakukan transplantasi autologus atau alogenik setelah dua atau empat siklus kemoterapi. Siklus regimen ini diulang setiap 21 hari. Protokol Leiden khususnya untuk stadium III dan IV, mengikuti European Intergroup Trial membandingkan mieloablatif radiokemoterapi diikuti dengan transplantasi sumsum tulang atau dosis pemeliharaan dengan INF- setelah tercapai remisi antrasiklin. Terapi Induksi 1: (R-hyper VCAD) Rituximab 375 mg/m2 IV hari 1 dan 8 Siklofosfamid 300mg/m2 IV setiap 12 jam hari 1-3 Vinkristin 2mg IV hari ke 4 dan 11 Doksorubisin 25 mg/m2, infuse selama 24 jam hari ke 4 dan 5 Deksametason 40 mg IV atau PO, hari 1-4 dan hari ke 11-14 Granulosit Colony-stimulating factor (G-CSF), 5g/kg IV atau SC setiap hari, dimulai hari ke 6 sampai neutropil .4500/L dan sitoreduksi dengan kemoterapi yang mengandung kombinasi

20

Terapi Induksi 2: (dimulai setelah pulih dari siklus 1) Rituximab 375mg/m2 IV hari 1 Metotreksat 200mg/m2 Iv bolus hari 1, diikuti 800mg/m2 infus IV selama 24 jam; berikan larutan IV alkalin Leukovorin, 50mg PO diberikan 24 jam setelah infuse metotreksat selesai diikuti 15mg PO setiap 6 jam total 8 dosis (dosis disesuaikan berdasarkan kadar serum metotreksat) Sitarabin 3000mg/m2 IV selama 1 jam setiap 12 jam total 4 dosis dimulai hari ke 2 (dosis dikurangi menjadi 1000mg/m2 perdosis untuk pasien >60 tahun dengan serum kreatinin lebih dari 1,5mg/dl)

Anda mungkin juga menyukai