Anda di halaman 1dari 5

PENGHEMATAN ANGGARAN DAN WAJAH BURUK DPR KITA Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) kembali mendapatkan kritik dan

sorotan tajam publik. Kali ini hal itu dipicu rencana studi banding para anggota DPR dalam waktu dekat ini. Sebagaimana kita ketahui bersama DPR sedang memasuki masa reses bulan April ini. Sebagaimana masa-masa reses terdahulu DPR juga melakukan kunjungan kerja ke luar negeri di masa reses kali ini. Komisi VIII melakukan kunjungan kerja ke Denmark dan Norwegia dalam rangka mencari masukan guna menyusun Rancangan Undangundang (RUU) Kesetaraan Gender. Selain Komisi VIII, Komisi I

melakukan kunjungan kerja ke empat negara, yaitu Ceko, Polandia, Afrika Selatan, dan Jerman. Komisi I berdalih kunjungan kerja ini dalam rangka mengunjungi Kedutaan Besar Republik Indonesia di negara-negara itu dan Kementerian Pertahanan Jerman terkait informasi pabrikan tank Leopard. Namun, sejumlah pihak menilai rencana itu kontraproduktif dengan upaya penghematan yang saat ini digalakkan pemerintah akibat defisit Anggaran Pendapat Belanja Negara (APBN) menyusul pembatalan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM). Agaknya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) perlu segera menerbitkan peraturan presiden tentang pedoman rinci program penghematan anggaran negara bagi lembaga dan pejabat negara. Dalam rangka itu pemerintah perlu terlebih dulu menerjunkan tim evaluasi anggaran, baik di pusat

maupun daerah, sehingga memperoleh gambaran akurat mengenai alokasi anggaran layak dipertahankan dan patut dihapus. Publik tentu patut miris melihat kinerja para wakil mereka di parlemen. Apakah kegiatan studi banding ke luar negeri yang dilakukan oleh anggota dewan berbanding lurus dengan kinerja mereka di bidang legislasi? Mengacu pada data Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) kinerja legislasi DPR setiap tahun sangat jauh dari optimal. Pada tahun 2005, dari target 55 undang-undang DPR hanya mampu menghasilkan 14 undang-undang. Pada tahun 2006, DPR hanya mampu menghasilkan 39 dari 76 undang-undang yang ditargetkan. Pada tahun 2007, dari target 78 undang-undang DPR hanya mampu menyelesaikan 40 undang-undang. Pada tahun 2008, DPR hanya menghasilkan 61 dari 81 undangundang yang ditargetkan. Pada tahun 2009, dari target 76 undang-undang DPR hanya mampu menghasilkan 39 undang-undang. Pada tahun 2010, DPR menghasilkan 16 undang-undang dari target 70 undang-undang. Terakhir, pada tahun 2011 DPR hanya menghasilkan 24 undangundang dari target 93 undang-undang. Sejatinya DPR dapat menjadi sebuah lembaga negara yang berwibawa dan terhormat melalui peningkatkan sisi sensitivitas para anggotanya. Dalam pandnagan penulis ada dua hal utama penyebab rendahnya sisi sensitivitas para anggota dewan.

Pertama, sebagian besar anggota dewan agaknya masih belum dapat menghalau citra DPR di masa lalu sebagai sebuah institusi politik yang sangat inferior di hadapan lembaga eksekutif. Di masa Orde Baru, DPR dipandang sebagai institusi politik yang lemah akibat terlampau dominannya lembaga eksekutif sehingga DPR mengalami perasaan rendah diri di hadapan publik. Kini, setelah saluran demokrasi terbuka dan terjadi penambahan kewenangan politik, maka DPR pun mengalami euforia politik berlebihan hingga lupa diri. Kedua, kewenangan besar yang dimiliki oleh DPR dewasa ini secara tidak langsung telah membuat para anggota dewan cendurung bersikap acuh tak acuh terhadap aspirasi publik. Sebagaimana kita ketahui bersama, melalui empat tahap amandemen Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, kini DPR telah menjelma menjadi sebuah lembaga yang memiliki kewenangan sangat besar. Hal itu antara lain terlihat jelas dalam beberapa pasal hasil amandemen, seperti pasal 19, pasal 20, pasal 20 A, pasal 21, pasal 22, pasal 22 A, dan pasal 22 B. Besarnya kewenangan dan kekuasaan DPR akan semakin terasa dalam hal relasi dengan lembaga eksekutif. Watak legislative heavy sangat menonjol dalam praktek-praktek pengawasan DPR terhadap pemerintah. Watak itu juga terlihat dalam hal pemilihan para pejabat kunci negara, seperti Gubernur Bank Indonesia, Kapolri, dan jabatan politik kenegaraan lainnya. Hampir tidak ada kebijakan lembaga eksekutif yang tidak dapat diintervensi oleh DPR. Intervensi politik berlebihan

dari DPR terhadap lembaga eksekutif berpontensi menimbulkan berbagai distorsi dalam implementasi sistem presidensialisme di Indonesia. Kegagalan Rekrutmen Sulit dimungkiri bahwa sesungguhnya sumbu utama kekuasan DPR bukanlah berada di daerah pemilihan tempat para anggota dewan tersebut berasal, melainkan berada di kantor dewan pimpinan pusat masing-masing partai politik. Dominasi partai politik terasa sangat kental mewarnai sepak terjang DPR pada era reformasi. Partai politik telah menjadikan DPR sebagai the site of power struggle bagi segala kepentingan mereka. Loyalitas para anggota dewan kepada elite pimpinan partai politik jauh lebih tinggi ketimbang loyalitas kepada konstituen mereka di daerah pemilihan. Dalam konteks itu, kita dapat mengerti mengapa berbagai kritik publik terhadap kinerja DPR tidak kunjung mendapat tanggapan memuaskan. Karena itu, hemat penulis, segala upaya untuk melakukan pembenahan terhadap DPR tidak akan membuahkan hasil maksimal tanpa juga melakukan hal serupa di tubuh partai politik. Jika diletakkan dalam konteks kehidupan kepartaian di Indonesia, tingkah laku memprihatinkan yang selama ini dipertontonkan para anggota dewan sangat terkait erat dengan masalah rekrutmen partai politik. Bukan perkara sulit untuk tampil menjadi seorang anggota leg-

islatif di negara yang masih memuja euforia politik seperti Indonesia saat ini. Keengganan partai politik untuk menjadikan aspek intelektualitas, kompetensi, dan etika sebagai parameter utama perekrutan calon legislatif (caleg) turut memberikan andil bagi terpilihnya orang-orang yang tidak memiliki etika dan kualitas kompetensi memadai sebagai anggota legislatif. Hal itu diperparah dengan minimnya informasi tentang rekam jejak (track record) caleg bersangkutan. Padahal informasi menganai rekam jejak caleg sungguh sangat berguna bagi publik untuk melakukan evaluasi dan penilaian apakah layak untuk menitipkan amanah pada caleg yang bersangkutan. Di samping itu, publik pun tentu juga lebih mudah menguji janji kampanye si caleg bila mengetahui jejak rekam caleg bersangkutan selama ini. Kesalahan partai politik dalam proses perekrutan caleg inilah yang kemudian mendorong munculnya gugatan publik terhadap kualitas intelektualitas, kompetensi, dan etika para anggota dewan. Realitas itu kian menegaskan penilaian publik selama ini bahwa partai politik lebih cenderung mengutamakan aspek ketokohan dan kemampuan finasial semata dalam dalam melakukan perekrutan caleg. BAWONO KUMORO Peneliti Politik The Habibie Center

Anda mungkin juga menyukai