Anda di halaman 1dari 4

Editorial

Penggunaan Obat yang Rasional

Zunilda Dj Sadikin
Departemen Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta

Tanggal 7 April yang lalu adalah hari kesehatan sedunia yang tahun ini bertema Antibiotic Resistance. Tema ini dengan sengaja diperkaya di Indonesia sehingga hari kesehatan sedunia ini dirayakan di Jakarta dalam bentuk seminar sehari bertema Antimicrobial Resistance - Containment and Prevention. Menteri Kesehatan, setelah membuka seminar itu, menyerahkan buku Pedoman Penggunaan Antibiotik yang baru saja rampung disusun oleh tim yang dipimpin oleh Prof. DR. dr. Iwan Dwiprahasto, guru besar Farmakologi UGM. Sementara seminarnya sendiri diawali dengan sajian ilmiah utama oleh Prof. DR. dr. Rianto Setiabudy, SpFK, guru besar Farmakologi UI. Apa yang disajikan oleh Prof. Rianto dan para pembicara berikutnya sungguh merisaukan: tanpa terasa kita telah menggali lubang yang akan menjerumuskan kita sendiri dengan menggunakan antibiotik secara tidak rasional. Lubang tempat kita terjerumus itu bernama Post-antibiotic era, yaitu masa ketika kebanyakan mikroba penyebab infeksi telah resisten terhadap hampir semua antibiotik yang tersedia.1 Pada kenyataannya antibiotik (AB) adalah obat yang sangat dikenal, bukan hanya oleh kalangan medis, tetapi juga oleh masyarakat. Sayangnya, hampir semuanya mengenal AB secara salah, dan ini terbukti dalam kenyataan bahwa AB merupakan obat yang paling banyak digunakan secara salah (misused). Masalah inappropriate use of AB

merupakan masalah irrational prescribing yang paling besar di dunia, dari dahulu sampai sekarang, di rumah sakit maupun di komunitas.2,3 Tak mengherankan kalau salah satu indikator penggunaan obat yang tidak rasional di suatu sarana pelayanan kesehatan adalah angka penggunaan AB.4 Penggunaan Obat yang Tidak Rasional: Apa dan Mengapa Istilah irrational prescribing mestinya diperkenalkan kepada mahasiswa kedokteran karena, tentu saja, mereka kelak adalah pihak yang akan menuliskan resep obat, dan melalui resep dokter itu pula masyarakat belajar menggunakan obat, termasuk yang tidak rasional. Dulu di masa pendidikan konvensional istilah ini diperkenalkan kepada mahasiswa dalam mata ajaran Farmakologi sambil sedikit digambarkan betapa peliknya masalah irrational prescribing.5 Kini, dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), harus ada cara yang membuat calon dokter siap menghadapi masalah ini kelak dalam karirnya. Tampaknya tidak banyak di antara kita yang menaruh perhatian pada masalah ini. Penggunaan obat yang rasional adalah penggunaan obat yang sesuai dengan kebutuhan klinis pasien dalam jumlah dan untuk masa yang memadai, dan dengan biaya yang terendah.6 Bila pasien menerima obat atau menggunakan obat TIDAK sebagaimana dinyatakan dalam definisi di atas, itulah pengobatan yang tidak rasional. Dari sisi obatnya,

J Indon Med Assoc, Volum: 61, Nomor: 4, April 2011

145

Penggunaan Obat yang Rasional dikenal istilah misuse yang berbeda dengan abuse (penyalahgunaan obat, menyangkut psikotropika dan narkotik). Ada pengertian yang berbeda untuk drug misuse di negara barat yang menggunakan istilah itu untuk pengertian yang sama dengan apa yang kita maksud dengan abuse, karena istilah drug bagi mereka adalah psikotropika dan narkotika.7 Dalam konteks tulisan ini kita memusatkan bahasan pada misuse dalam pengertian kita, yaitu penggunaan obat yang tidak bijak. Irrational prescribing dapat kita lihat dalam bentuk pemberian dosis yang berlebihan (overprescribing) atau tidak memadai (underprescribing), penggunaan banyak jenis obat yang sebenarnya tidak diperlukan (polifarmasi), menggunakan obat yang lebih toksik padahal ada yang lebih aman, penggunaan AB untuk infeksi virus, menggunakan injeksi padahal dapat digunakan sediaan oralnya, memberikan beberapa obat yang berinteraksi, menggunakan obat tanda dasar.6,8 Bentuk lain irrational prescribing adalah extravagant prescribing, kebiasaan meresepkan obat mahal padahal tersedia obat yang sama efektifnya dan lebih murah, baik dalam kelompok yang sama atau berbeda kelompok. Contoh penggunaan obat yang tidak bijak dan sangat merusak adalah penggunaan kuinolon dan sefalosporin generasi 3 untuk mengatasi ISPA di komunitas, padahal semua sepakat bahwa penyebab ISPA umumnya adalah virus. Di RS, AB profilaksis digunakan berlama-lama,9 padahal bukti ilmiah menunjukkan bahwa AB profilaksis cukup diberikan perioperatif. Itulah salah satu bentuk overprescribing. Penggunaan berlebihan ini terjadi juga untuk obat yang dijual bebas semacam obat flu kombinasi. Sebuah situs kedokteran bagi masyarakat awam di AS, www.doctor.oz.com, menyatakan bahwa obat OTC (over the counter) yang paling banyak digunakan secara salah, berturut-turut, adalah NSAID, antihitamin, PPI (proton pump inhibitor), parasetamol, dan obat flu. Dampak penggunaan berlebihan ini pun tampak di sana: NSAID merupakan penyebab kedua gangguan lambung, PPI menyebabkan ketergantungan karena obat ini memang menimbulkan rebound phenomene, sedangkan parasetamol ternyata merupakan penyebab acute liver disease.10 Underprescribing antara lain terjadi karena dokter khawatir akan efek samping obat tanpa mempertimbangkan manfaat obat, misalnya trombolisis pada pasien usia lanjut. Pengobatan yang tidak memadai juga tampak pada penggunaan morfin untuk penderita kanker lanjut karena dokter underestimate terhadap persepsi nyeri pasien.11 Banyak faktor yang berperanan menyebabkan irrational prescribing, faktor ini dapat dibedakan dalam 5 komponen yaitu unsur instrinsik sang dokter, unsur kelompok kerja dokter, unsur tempat kerja dokter, unsur informasi yang diterima dokter, dan unsur sosial budaya masyarakat.12 Intriksik faktor mencakup pengetahuan dokter tentang pasien, penyakitnya, dan obat yang akan diresepkannya. Dalam hal AB, misalnya, pengetahuan tentang kuman yang paling mungkin sebagai penyebab infeksi yang dihadapi sangat penting untuk menghindari pilihan yang salah. Pendekatan ini dikenal sebagai educated guess. Kemudian, pengetahuan tentang AB-nya sendiri untuk menghindari penggunaan dalam dosis, interval, dan durasi yang tidak tepat. Ini dipengaruhi oleh perolehan ilmu kedokteran termasuk ilmu

Informasi Ilmiah

Pengetahuan Sebelumnya

Intrinsik
Kebiasaan

Informasi
Pengaruh Industri Obat

Beban Kerja dan SDM

Pilihan Terapi

Faktor Sosial dan Budaya

Kemasyarakatan
Fakta Ekonomi dan Hukum

Tempat Kerja
Infrastruktur Hubungan dengan Sejawat Otoritas dan Pengawasan

Kelompok Kerja

Gambar 1. Berbagai Faktor yang Menentukan Keputusan Dokter dalam Meresepkan Obat (Diambil dari: WHO-SEARO Technical Publication Series. The role of education in the rational use of medicine. New Delhi: 2007 dengan modifikasi).

146

J Indon Med Assoc, Volum: 61, Nomor: 4, April 2011

Penggunaan Obat yang Rasional terapeutik yang diterima sang dokter di masa pendidikannya.13 Salah satu faktor yang menentukan keputusan dokter memberikan obat (lihat Gambar 1.) adalah informasi obat yang diperoleh dokter dalam masa karirnya yang, jujur saja, umumnya disediakan oleh pihak industri. Banyak bukti anekdot yang menunjukkan bahwa pola penggunaan obat berubah sesuai dengan aktivitas promosi obat. Hal serupa terjadi juga di masyarakat untuk obat nonresep. Penggunaan yang tidak bijak atas siproheptadin sebagai obat perangsang nafsu makan pada anak, dan PPI untuk keluhan dispepsia merupakan contoh yang baik tentang peranan berbagai faktor tersebut. Dibandingkan plasebo siproheptadin memang memperlihatkan efektivitas dalam mengatasi anoreksia nervosa,14 tetapi tidak pernah ada bukti ilmiah manfaatnya untuk meningkatkan nafsu makan pada anak yang sehat sehingga indikasi tersebut tidak pernah ada untuk obat tersebut. Selain itu, dengan tersedianya multivitamin yang dikombinasi dengan siproheptadin tersebut, ditambah pula dengan kesan seolah-olah obat ini tak ada efek sampingnya, terjadilah misuse itu. Ini menunjukkan pentingnya peranan badan POM. Penggunaan PPI punya riwayat serupa: obat ini sebenarnya diterima oleh FDA dan Badan POM untuk digunakan pada tukak peptik yang berkomplikasi karena kekuatannya menekan sekresi asam lambung puluhan kali lebih kuat daripada antihistamin H2. Obat ini juga dibutuhkan untuk gastroesophagus reflux disease (GERD) dan sindrom Zollinger Ellison. Namun, penegakan diagnosis semua keadaan itu memang membutuhkan banyak usaha dan biaya sehingga biasanya dokter potong kompas (ini contoh faktor habit) dengan meresepkan PPI, sering dengan mengabaikan bahwa penggunaannya hanya boleh paling lama 4 minggu. Dipasarkannya PPI sebagai OTC pada dasarnya bertujuan menolong sebagian pasien yang akan memerlukannya untuk jangka panjang, tetapi gencarnya promosi telah mendorong overprescribing PPI untuk sekedar dispepsia fungsional. Penggunaan Obat yang Tidak Rasional: Dampaknya Dampak buruk penggunaan AB yang berlebihan sudah dikemukakan di awal tulisan ini, tetapi selain mengubah ekologi kuman dan menimbulkan seleksi kuman resisten, penggunaan AB yang tidak bijak juga menimbulkan masalah infeksi nosokomial khususnya oleh kuman yang resisten terhadap beberapa AB sekaligus. 3 Konsekuensi logis berikutnya adalah meningkatnya morbiditas dan mortalitas yang diikuti dengan meningkatnya lama dan biaya rawat. Dampak penggunaan yang tidak rasional atas obat lainnya selain meningkatnya kejadian efek samping dan interaksi obat, tentu merupakan pemborosan.8,11 Penggunaan Obat: Tantangan Bagi Profesionalisme Obat, ibarat pistol bagi seorang prajurit, merupakan salah satu senjata bagi dokter dalam memerangi penyakit.
J Indon Med Assoc, Volum: 61, Nomor: 4, April 2011

Tetapi tanpa disadari, dokter telah mengajari masyarakat menggunakan senjata secara tidak bijak. Sekarang ini, ada budaya dalam interaksi dokter-pasien yang berperanan menimbulkan penggunaan obat yang tidak rasional. Baik dokter maupun pasien memandang bahwa memberikan resep obat dipandang sebagai (1) bukti bahwa diagnosis telah ditegakkan, (2) cara untuk menutup sesi konsultasi, dan (3) sarana untuk memperpanjang interaksi dokter-pasien. Dokter merasa tidak nyaman kalau perpisahan dengan pasien tidak disertai dengan pemberian resep obat, sebaliknya ada kecenderungan pada pasien untuk memanfaatkan fasilitas kesehatan karena ia menggunakan sistem pembiayaan prabayar. Keduanya telah mendorong overprescribing. Dalam sistem asuransi yang belum sempurna, direct-to-consumer advertising memperparah keadaan.15 Semua ini merupakan tantangan bagi profesionalisme dokter. Kemauan mengubah kebiasaan potong kompas, kesediaan berkomunikasi lebih baik, kerelaan menyediakan lebih banyak waktu untuk setiap pasien merupakan contoh dari komponen profesialisme yang dapat memperbaiki kondisi peresepan ini. Apa yang dilakukan oleh MKI dengan rubrik CPD dan dengan menampilkan artikel penelitian yang bermutu dimaksudkan untuk memperbaiki komponen informasi dengan memberikan penyegar pengetahuan bagi dokter pada umumnya serta informasi yang objektif agar ia dapat menggunakan obat dengan dasar yang benar. Daftar Pustaka
1. Alanis AJ. Resistance to antibiotics: Are we in the post-antibiotic era?. Arch Med Res. 2005;36:697-705. 2. Kunin CM, Tupasi TT, Craig WA. Use of antibiotics: a brief exposition of the problem and some tentative solutions. Ann Intern Med. 1973;79:555-60. 3. MacDaugall C, Polk RE. Antimicrobial stewardship programs in health care system. Clin Microbiol Rev. 2005;18(4):638-56. 4. Hardon A, Brudon-Jakobowicz, Reeler A. How to investigate use of drug use in the community. WHO Drug Action Programme on Essential Drugs, Geneve, 1992. 5. Departemen Farmakologi FKUI. Penuntun Diskusi Masalah Obat dan Pengobatan. Tahun 2004. 6. World Health Organization. WHO Policy Perspectives on Medicines. Promoting rational use of medicines: core components. Geneva: 2002. 7. Barrett SP, Meisner JR, Stewart SH. What Constitutes Prescription Drug Misuse? Problems and Pitfalls of Current Conceptualizations. Curr Drug Abuse Rev. 2008;1:255-62. 8. Nierenberg DW, Melmon K. Introduction to clinical pharmacology. In: Carruthers SE, Hoffman BB, Melman KL, Nierenberg DW (eds). Melmon and Morrellis Clinical Pharmacology. 4th ed. New York: McGraw-Hill Medical; 2000.p.275-88. 9. Sadikin ZD, Rudyanto S, Rosa Y. Monitoring and quality assurance of Antibiotic USAGE in ICU RSCM. Presented in 6th National Symposium of Indonesia Antimicrobial Resistance Watch. July 2010. 10. http://www.doctoroz.com/videos/most-misused-over-counterdrugs diunduh 27 April 2011. 11. Vestal RE, Gurwitz JH. Geriatric Pharmacology. In: Carruthers SE, Hoffman BB, Melman KL, Nierenberg DW (eds). Melmon and Morrellis Clinical Pharmacology. 4th ed. New York: McGrawHill Medical; 2000:1151-77.

147

Penggunaan Obat yang Rasional


12. WHO-SEARO Technical Publication Series. The role of education in the rational use of medicine. New Delhi: 2007. 13. Guide to good prescribing. Diunduh dari http://libdoc.who.int/hq/ 1994/WHO DAP 94.11.pdf 14. Royal Australian and New Zealand College of Psychiatrists Clinical Practice. Guidelines Team for Anorexia Nervosa. Australian and New Zealand clinical practice guidelines for the treatment of anorexia nervosa. Aust New Zea J Psy. 2004;38:659-70. 15. Avorn J, Solomon DH. Cultural and economic factors that (mis)shape antibiotic use: the nonpharmacologic basis of therapeutics. Ann Intern Med. 2000;133:128-35. MS

148

J Indon Med Assoc, Volum: 61, Nomor: 4, April 2011

Anda mungkin juga menyukai