Anda di halaman 1dari 13

PENGARUH DOSIS HIPOFISA IKAN LELE DUMBO (Clarias gariepinus) TERHADAP KUALITAS SPERMA dan PERSENTASE PENETASAN IKAN

BAUNG (Hemibagrus nemurus)

Eka Wulandari Sumiasari1, Mochamad Syaifudin2, Yulisman2 Program Studi Budidaya Perairan Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya Indralaya 30662 Telp. (0711) 580934 ABSTRACT The purpose of this research was to know potential of microalgae species Chlorella pyrenoidosa, Spirulina platensis, Dunaliella salina and Nannochloropsis sp. as bioenergy source, namely bioethanol and biodiesel. This research used four microalgae species namely Chlorella pyrenoidosa, Spirulina platensis, Dunaliella salina and Nannochloropsis sp. and each was replicated three times. The result showed that microalgae species Chlorella pyrenoidosa, Dunaliella salina and Nannochloropsis sp. had potential as bioethanol source because had total carbohydrate exceed 20% as a requirement of bioethanol source. Microalgae of the most potentially of bioethanol source based on production potential of total carbohydrate is Nannochloropsis sp. Wheres based on volume of land cultivation eficiency, the most potentially microalgae as bioethanol source is Chlorella pyrenoidosa. But, fourth of microalgae species had no potential as biodiesel source because had lipid content less than requirement of biodiesel source (less than 8%). Keyword : Microalgae, bioethanol, biodiesel I. PENDAHULUAN Latar Belakang Ikan baung (H. nemurus) adalah salah satu ikan perairan umum yang dapat ditemukan di sungai-sungai besar di Indonesia seperti di Kalimantan, Jawa dan terutama di Sumatera. Menurut Muflikhah et al. (1998), ikan ini termasuk dalam golongan catfish yang cukup baik untuk dibudidayakan. Hal ini disebabkan harga cukup mahal, memiliki rasa yang lezat dan daging tebal serta banyak dipasarkan dalam bentuk segar atau ikan asap. Harga ikan baung segar di pasaran berkisar Rp. 60.000 per kilogram dan harga ikan baung salai di sentra produksi ikan baung tidak kurang dari Rp. 80.000 per kilogram. Di tingkat pedagang eceran di pasar tradisional, harga ikan baung salai sekitar Rp. 85.000 per kilogram. Menurut Tang dan Affandi (2000), dalam kegiatan pemijahan ikan baik alami maupun buatan, perlu mengetahui karakteristik telur dan sperma. Karakteristik sperma yang perlu diperhatikan adalah volume, motilitas dan kemungkinan penyimpanannya dalam upaya efisiensi dan efektivitas pemijahan, terutama pada pemijahan buatan. Permasalahan yang sering dihadapi adalah ketersediaan sperma, baik kualitas maupun kuantitas yang baik dalam fertilisasi. 1). Mahasiswa 2). Dosen Pembimbing 1 A.

Salah satu cara untuk meningkatkan kualitas sperma adalah dengan menambahkan hipofisa ikan pada induk jantan baik secara homoplastik maupun heteroplastik. Hipofisa yang diambil dari ikan sejenis disebut hipofisasi homoplastik, sementara hipofisa dari ikan jenis lain disebut hipofisasi heteroplastik (Zairin, 2003). Kelenjar hipofisa adalah kelenjar yang menghasilkan hormon gonadotropin yang bekerja terhadap gonad, yaitu GtH-1 dan GtH-2. Spermiasi dan peningkatan volume semen dapat dipacu dengan pemberian Ekstrak Pituitari Carp/Carp Pituitary Extract (CPE), seperti yang dilaporkan oleh Rothbard dan Rothbard (1982) dalam Billard dan Saad (1986). Efektivitas hipofisa pada ikan baung belum diketahui sehingga dilakukan penelitian untuk menentukan dosis ektrak hipofisa ikan lele dumbo (EHL) yang berpengaruh paling baik terhadap kualitas dan kuantitas sperma, penetasan dan kelangsungan hidup larva ikan baung. B. Tujuan Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Mengetahui pengaruh ekstrak hipofisa ikan lele dumbo dengan dosis berbeda terhadap konsentrasi sperma, motilitas sperma dan penetasan telur ikan baung 2. Mengetahui kelangsungan hidup larva ikan baung sampai umur 3 hari C. Hipotesis 1. Dosis ekstrak hipofisa ikan lele dumbo berpengaruh nyata terhadap konsentrasi sperma, motilitas sperma dan persentase penetasan telur ikan baung (Hemibagrus nemurus) 2. Dosis ekstrak hipofisa ikan lele dumbo terbaik untuk konsentrasi sperma, motilitas sperma dan persentase penetasan telur ikan baung (Hemibagrus nemurus) adalah 4 ml/ kg (ekstrak hipofisa/berat ikan) II. PELAKSANAAN PENELITIAN

A. Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni sampai dengan Agustus 2010 di Balai Benih Ikan Gandus, Palembang dan Laboratorium Kimia Hasil Pertanian (KHP) Fakultas Pertanian, Universitas Sriwijaya, Indralaya. B. Alat, Bahan dan Sarana 1. Alat Penelitian Alat yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 1 berikut. Tabel 1. Alat yang digunakan dalam penelitian No Alat Spesifikasi Kegunaan (1) (2) (3) (4) 1 Timbangan Ukuran maksimal 1 Menimbang induk dan ikan kg dengan ketelitian donor 0,1 g 2 Kateter Kateter no 6 FR Mengambil sampel telur 3 Mikroskop Binokuler Melihat motilitas sperma 4 Haemocytometer Menghitung konsentrasi sperma 1). Mahasiswa 2). Dosen Pembimbing 2

6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24

Alat suntik Tabung ependorf Cool box Baskom Mangkuk kecil Kaca preparat Cover glass Blower Batu aerator Pisau Sentrifuge Selang sifon Refrigerator Kakaban Alu dan mortar Termometer air raksa pH meter DO meter Spektrofotometer

Volume 1 dan 3 ml Volume 12 liter Volume 1 liter Bahan plastik Ketelitian 1oC Ketelitian 0,1 unit pH Ketelitian 0,01 mg/l Ketelitian 0,001mg/l

Menyuntikkan ekstrak hipofisa Wadah penampung sperma Wadah penyimpanan sperma Wadah koleksi telur dan fertilisasi Wadah pengamatan telur Media pengamatan sperma Media pengamatan sperma Sistem aerasi Sistem aerasi Memotong kepala ikan donor Menghomogenkan ekstrak hipofisa Membersihkan sisa pakan dan feses Menyimpan ekstrak hipofisa Substrat penetasan telur Menggerus hipofisa ikan Mengukur suhu Mengukur pH Mengukur oksigen terlarut Mengukur amonia

2. Bahan Penelitian Bahan yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 2 berikut. Tabel 2. Bahan yang digunakan dalam penelitian No Bahan Spesifikasi Kegunaan 1 Induk ikan baung Jantan berukuran 400-500 g Menghasilkan telur dan Betina berukuran 500 g sperma 2 Pakan Pakan tenggelam merk Pakan induk SINTA dengan kadar protein 30% 3 Garam fisiologis Konsentrasi 0,9% Mengencerkan sperma 4 Ikan lele dumbo Berukuran 250 g Ikan donor 5 Hipofisa Sumber dari lele dumbo Merangsang pematangan gonad 6 Ovaprim Mengandung GnRH dan Merangsang pematangan antidopamin gonad 7 Akuabides Melarutkan hipofisa 8 Eosin Konsentrasi 2% Mewarnai sperma 9 Kalium 2 ppm Desinfeksi akuarium permanganat 3. Sarana Penelitian Sarana yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 3 berikut : Tabel 3. Sarana yang digunakan dalam penelitian 1). Mahasiswa 2). Dosen Pembimbing 3

No 1 2 3

Sarana Kolam Waring Akuarium

Spesifikasi Kegunaan Kolam tanah Pemeliharaan induk Ukuran 1,5 x 1,5 x 1 m Pemeliharaan induk Ukuran 60 x 40 x 40 cm Wadah penetasan dan pemeliharaan larva

C. Metode Penelitian 1. Rancangan Percobaan Rancangan percobaan yang digunakan adalah (RAL) dengan empat perlakuan dan tiga kali ulangan. Perlakuan adalah penyuntikan EHL yang diencerkan dengan akuabides (ml) per berat induk jantan ikan baung (kg) dengan kode perlakuan P. Kontrol (P0) : penyuntikan 2 ml garam fisiologis 0,9%/kg bobot induk P1 : penyuntikan 2 ml EHL/kg bobot induk P2 : penyuntikan 4 ml EHL/kg bobot induk P3 : penyuntikan 6 ml EHL/kg bobot induk 2. Cara Kerja a. Seleksi Induk Induk betina berukuran 500 g sedangkan untuk induk jantan berukuran 400500 g. Secara visual induk betina yang telah matang gonad ditandai dengan perut membesar ke arah anus, genital berwarna agak merah dan membengkak serta perut terasa lembek saat diraba. Pemeriksaan kematangan gonad induk betina adalah dengan kanulasi. Induk betina yang digunakan hanya satu ekor. Induk jantan yang telah matang gonad ditandai dengan genital yang berwarna kemerahan dan memanjang. Pengamatan terhadap keaktifan sperma dilakukan dengan menggunakan mikroskop dengan perbesaran 10 kali. Sperma diteteskan di atas kaca preparat kemudian diratakan. Setelah itu, air diteteskan ke dalam lapisan sperma tersebut kemudian diamati di bawah mikroskop. Kriteria motilitas sperma menurut Tang dan Affandi (2000) dapat dijelaskan dalam Tabel 4 berikut. Tabel 4. Skoring motilitas sperma Skor Keterangan 0 Spermatozoa imotil atau tidak bergerak 1 Spermatozoa bergerak berputar di tempat 2 Kurang dari 50% spermatozoa bergerak progresif dan tidak ada gelombang 3 Sekitar 50%-80% spermatozoa bergerak progresif dan menghasilkan gerakan massa 4 Lebih dari 90% spermatozoa bergerak progresif yang gesit dan segera membentuk gelombang 5 100% spermatozoa motil aktif Data awal motilitas sperma ikan baung yang diambil dari 2 ekor ikan jantan mempunyai skor motilitas sperma 1. b. Pemeliharaan Induk Induk ikan baung yang sudah diseleksi sebanyak 12 ekor dipelihara di dalam bak pemeliharaan induk selama 30 hari. Selama pemeliharaan, induk diberi makan pelet dengan kadar protein 30% dengan frekuensi 3 kali, yaitu pagi, siang dan sore. 1). Mahasiswa 2). Dosen Pembimbing 4

Selain itu, setiap satu minggu sekali induk diberi pakan tambahan berupa usus ayam yang telah dipotong-potong. c. Pembuatan ekstrak hipofisa Hipofisa yang digunakan diambil dari ikan lele dumbo sebanyak 9 kg. Hipofisa digerus sampai hancur dan diberi akuabides sebanyak 1 ml/hipofisa. Larutan tersebut kemudian dimasukkan ke dalam alat sentrifuge selama 2-3 menit. d. Penyuntikan Hormon Ovulasi pada induk betina distimulasi dengan induksi ovaprim dengan dosis 0,8 ml/kg yang dibagi pada dua kali penyuntikan sedangkan spermiasi pada induk jantan distimulasi dengan induksi hipofisa. Penyuntikan dilakukan secara intramuskular. Analisis Sperma Telur dikeluarkan dengan cara pengurutan sedangkan sperma dikeluarkan dengan cara membedah induk jantan. Sperma diambil dengan cara mencacah kantung sperma ikan dan mengencerkannya dengan garam fisiologis 0,9% sebanyak 5 ml. Sperma yang telah diencerkan tersebut diamati motilitasnya di bawah mikroskop. Sedangkan untuk penghitungan konsentrasi sperma dilakukan dengan menambahkan setetes eosin 2% di ruang hitung pada haemocytometer yang diamati di bawah mikroskop dengan perbesaran 10 kali (Parrish, 2003). Analisis sperma dilakukan di Laboratorium Kimia Hasil Pertanian Universitas Sriwijaya, dengan lama waktu perjalanan dari lokasi pembedahan ikan 90 menit. f. Pembuahan Pembuahan dilakukan dengan cara buatan yaitu mencampur sperma dengan telur pada baskom kecil. Telur yang sudah diambil sebanyak 200 butir dicampur dengan 5 ml sperma yang sudah diencerkan dengan garam fisiologis 0,9%. g. Penetasan dan Pemeliharaan Larva Telur-telur yang telah dibuahi ditetaskan dalam akuarium berukuran 60 cm x 40 cm x 40 cm yang telah dilengkapi dengan kakaban. Penetasan telur berlangsung selama 20 jam pada kisaran suhu 25-26oC. Larva dipelihara dalam wadah penetasan tersebut. h. Pengukuran Kualitas Air Pengukuran kualitas air dilakukan pada saat pemeliharaan induk, penetasan telur dan pemeliharaan larva ikan baung. Parameter yang diamati adalah suhu, pH, oksigen terlarut dan amonia. D. Parameter yang diamati Parameter yang diamati dalam penelitian ini meliputi konsentrasi sperma, motilitas sperma, persentase penetasan, kelangsungan hidup larva sampai berumur 3 hari dan kualitas air. 1. Jumlah Spermatozoa Sperma yang telah diencerkan dengan garam fisiologis 0,9% dimasukkan ke dalam ruang hitung yang sebelumnya telah diberi setetes eosin 2%. Selanjutnya spermatozoa dihitung pada lima bidang hitung dibawah mikroskop dengan perbesaran 10 kali (Parrish, 2003). 1). Mahasiswa 2). Dosen Pembimbing 5 e.

2. Motilitas Sperma Motilitas sperma diketahui dengan cara mengamati jumlah sperma yang bergerak (motil) dan menentukannya ke dalam skor motilitas sperma. 3. Jumlah telur yang menetas Jumlah telur yang menetas dihitung secara keseluruhan dari semua telur yang ditebar. 4. Kualitas Air Kualitas air yang diukur adalah suhu, oksigen terlarut (DO), pH dan amonia selama masa pemeliharaan induk, penetasan telur dan pemeliharaan larva ikan baung.

E. Analisis Data 1. Konsentrasi Sperma (Parrish, 2003) Konsentrasi sperma = sperma 10 4 sel ml Dimana : sperma pada 5 bidang hitung 25 sel sperma = 5 2. Persentase Penetasan Persentase penetasan adalah persentase jumlah telur yang menetas menjadi larva dari jumlah telur yang ditebar. Jumlah telur yang menetas (butir ) Persentase penetasan = x 100% Jumlah telur yang ditebar (butir ) 3. Kelangsungan Hidup Kelangsungan hidup larva ikan baung dihitung menggunakan rumus : Nt Kelangsung an hidup = x 100% No Dimana : Nt = Jumlah larva pada akhir pemeliharaan No = Jumlah larva pada awal pemeliharaan Data berupa konsentrasi sperma, persentase penetasan dan kelangsungan hidup diuji dengan analisa sidik ragam (uji F). Hasil uji F yang menunjukkan pengaruh berbeda nyata dilanjutkan dengan uji beda rerata perlakuan dengan uji Beda Nyata Terkecil (BNT) pada selang kepercayaan 95%. Sedangkan data motilitas sperma dan kualitas air (suhu, pH, oksigen terlarut dan amonia) diuraikan secara deskriptif. III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Motilitas Sperma Motilitas adalah pergerakan sperma yang menggambarkan keaktifan dari sperma tersebut. Hasil pengamatan motilitas sperma ikan baung pada masing-masing perlakuan selama penelitian dapat dilihat pada Tabel 5 berikut. Tabel 5. Motilitas sperma ikan baung Perlakuan Ulangan (Skoring) 1). Mahasiswa 2). Dosen Pembimbing 6

1 2 3 P0 (kontrol) 2 1 1 P1 (EHL 2 ml/kg) 2 2 2 P2 (EHL 4 ml/kg) 3 3 3 P3 (EHL 6 ml/kg) 2 2 2 Keterangan : Skoring motilitas menurut Tang dan Affandi (2000) : 0 : Spermatozoa imotil atau tidak bergerak 1 : Spermatozoa bergerak berputar di tempat 2 : Kurang dari 50% spermatozoa bergerak progresif dan tidak ada gelombang 3 : Sekitar 50-80% spermatozoa bergerak progresif dan menghasilkan gerakan massa 4 : Lebih dari 90% spermatozoa bergerak progresif dan segera membentuk gelombang 5 : 100% spermatozoa motil aktif Pada Tabel 5 di atas terlihat bahwa motilitas sperma ikan baung tertinggi terdapat pada ikan baung yang disuntik dengan 4 ml EHL/kg bobot induk (P2), sedangkan yang terendah terdapat pada ikan baung yang tidak disuntik dengan ekstrak hipofisa ikan lele dumbo (P0). Hipofisa menghasilkan hormon gonadotropin yang dalam kadar tertentu akan merangsang pematangan akhir gonad sampai spermiasi. Menurut Tang dan Affandi (2000), kadar hormon gonadotropin akan meningkat seiring dengan meningkatnya dosis hipofisa yang disuntikkan pada ikan. Motilitas merupakan salah satu indikator kualitas sperma ikan. Semakin baik motilitasnya, maka semakin baik pula kualitas sperma tersebut untuk membuahi telur. Kualitas sperma yang baik dapat disebabkan oleh kandungan hormon gonadotropin dalam tubuh ikan yang berfungsi dalam pematangan akhir sperma. Satyani (2007) menjelaskan bahwa sampai batas tertentu, semakin tinggi kandungan hormon gonadotropin, maka akan semakin meningkatkan kualitas sperma ikan. Menurut Miura et al. (1991, 1992) dan Yaron et al. (1995), hormon gonadotropin akan menstimulasi lumen lobulus mengalami hidrasi semen yang dapat meningkatkan volume sperma dan motilitas sperma. B. Konsentrasi sperma Konsentrasi sperma adalah jumlah spermatozoa per ml semen. Hasil penghitungan konsentrasi sperma ikan baung pada masing-masing perlakuan selama penelitian dapat dilihat pada Tabel 6 berikut. Tabel 6. Konsentrasi sperma ikan baung Perlakuan Ulangan (n x 104 sel/ml) Jumlah Rata-rata 1 2 3 P0 92,5 50 175,4 317,9 105,97a P1 315 295 275 885 295ab P2 342,5 672,5 632,5 1647,5 549,17c P3 337,5 432,5 602,5 1372,5 457,5bc Keterangan : Angka yang diikuti dengan huruf superscript yang tidak sama menunjukkan berbeda nyata Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa dosis EHL yang berbeda berpengaruh terhadap konsentrasi sperma. Hasil uji lanjut Beda Nyata Terkecil 1). Mahasiswa 2). Dosen Pembimbing 7

menunjukkan bahwa ikan baung dengan penyuntikan 4 ml EHL/kg bobot induk (P2) menghasilkan konsentrasi sperma yang tidak berbeda nyata dengan ikan baung yang disuntik EHL sebanyak 6 ml/kg bobot induk (P3), namun berbeda sangat nyata dengan konsentrasi sperma ikan baung tanpa penyuntikan ekstrak hipofisa (P0) dan dengan ikan baung yg disuntik 2 ml EHL/kg bobot induk (P1). Konsentrasi sperma ikan baung tertinggi terdapat pada ikan baung yang disuntik dengan 4 ml ekstrak hipofisa ikan lele dumbo/kg ikan baung (P2), yaitu 549,17 x 104 sel/ml, sedangkan yang terendah terdapat pada ikan baung yang tidak disuntik dengan EHL (P0) yaitu dengan jumlah konsentrasi sperma sebesar 105,97 x 104 sel/ml. Hal ini disebabkan karena semakin tingginya kadar hormon gonadotropin yang masuk ke dalam tubuh ikan baung, sehingga menyebabkan spermatozoa mencapai kematangan tahap akhir yang dapat meningkatkan kualitas dari spermatozoa tersebut. Peningkatan ini akan mengalami penurunan pada batas tertentu (Satyani, 2007). Penurunan konsentrasi sperma terjadi pada penyuntikan ikan baung dengan dosis penyuntikan 6 ml EHL/kg ikan baung. Hal ini disebabkan oleh dosis penyuntikan yang terlalu tinggi (over dosis) (Oyen et al., 1991). Dosis yang terlalu tinggi akan mengganggu keseimbangan dan kerja hormon-hormon reproduksi sehingga menyebabkan penurunan kualitas sperma dan telur yang dihasilkan. Berdasarkan grafik hubungan antara dosis EHL (x) dengan konsentrasi sperma ikan baung (y), didapatkan bahwa hubungan antara dosis EHL dengan konsentrasi sperma ikan baung adalah kuadratik dengan persamaan regresi sebagai berikut : y = -30,312x2 + 258,13x + 12,5 (r = 0,8616), dimana y adalah konsentrasi sperma ikan baung dugaan dan x adalah dosis EHL. Berdasarkan persamaan regresi ini didapatkan bahwa dosis EHL yang optimal adalah 4,3 ml/kg dengan konsentrasi sperma dugaan maksimal 561,99 x 104 sel/ml.

Gambar 2.

Grafik hubungan antara dosis EHL (x) dengan konsentrasi sperma ikan baung (y) C. Persentase Penetasan Persentase penetasan merupakan kemampuan telur yang telah dibuahi oleh sperma untuk menetas. Hasil penghitungan persentase penetasan telur ikan baung pada masing-masing perlakuan selama penelitian dapat dilihat pada Tabel 7 berikut. Tabel 7. Persentase penetasan telur ikan baung Perlakuan Ulangan (%) Jumlah Rata-rata 1 2 3 1). Mahasiswa 2). Dosen Pembimbing 8

47,5 46,5 46,5 140,5 46,83a 48,5 49,5 48 146 48,67a 77,5 75,5 74 227 75,67c 51 52 50 153 51b Angka yang diikuti dengan huruf superscript yang tidak sama menunjukkan berbeda nyata Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa dosis EHL yang berbeda berpengaruh terhadap persentase penetasan telur ikan baung. Hasil uji lanjut Beda Nyata Terkecil menunjukan bahwa ikan baung dengan penyuntikan 4 ml EHL/kg bobot induk (P2) memberikan persentase penetasan telur yang nyata lebih tinggi bila dibandingkan dengan ikan baung tanpa penyuntikan EHL (P0), ikan baung dengan penyuntikan 2 ml EHL/kg bobot induk (P1) dan 6 ml EHL/kg bobot induk (P3). Persentase penetasan telur ikan baung tertinggi terdapat pada ikan baung yang disuntik dengan 4 ml EHL/kg bobot induk (P2), yaitu 75,67%. Nilai persentase penetasan ini lebih tinggi dibanding dengan penelitian Muflikhah et al. (1995) dengan persentase penetasan ikan baung sebesar 16,8%. Sedangkan yang terendah terdapat pada ikan baung yang tidak disuntik dengan EHL (P0) yaitu dengan persentase penetasan 46,83%. Jadi, semakin tinggi dosis ekstrak hipofisa yang disuntikkan maka akan semakin tinggi pula persentase penetasan telurnya, namun akan menurun pada batas tertentu, yaitu pada penyuntikan 6 ml EHL/kg bobot induk. Hal ini disebabkan karena semakin tingginya kadar hormon gonadotropin yang masuk ke dalam tubuh ikan baung, sehingga menyebabkan spermatozoa mencapai kematangan tahap akhir yang dapat meningkatkan kualitas dari spermatozoa tersebut (Satyani, 2007). Semakin baik kualitas dari spermatozoa, maka semakin banyak pula telur yang dapat dibuahi, yang akhirnya menyebabkan semakin banyak pula telur yang menetas. Hal ini mengakibatkan semakin tingginya persentase penetasan telur yang dihasilkan. Penurunan persentase penetasan telur ikan baung pada penyuntikan EHL sebanyak 6 ml/kg bobot induk disebabkan oleh terganggunya keseimbangan dan kerja hormon-hormon reproduksi di dalam tubuh ikan baung sebagai akibat dari terlalu tingginya dosis ekstrak hipofisa yang disuntikan. Menurut Oyen et al. (1991), dosis penyuntikan yang terlalu tinggi (over dosis) akan mengganggu keseimbangan dan kerja hormon-hormon reproduksi sehingga menyebabkan penurunan kualitas sperma dan telur yang dihasilkan. Sedangkan dengan dosis hormon yang terlalu rendah belum efektif untuk mempengaruhi pematangan akhir. Menurut Zairin (2004), pemberian dosis yang terlalu rendah menyebabkan proses pematangan akhir pada ikan berlangsung kurang sempurna. Berdasarkan grafik hubungan antara dosis EHL (x) dengan persentase penetasan ikan baung (y) didapatkan bahwa hubungan antara dosis EHL dengan persentase penetasan ikan baung adalah kubik dengan persamaan regresi sebagai berikut : y = -1,5521x3 + 12,375x2 - 17,792x + 46,5 (r = 1), dimana y adalah persentase penetasan ikan baung dugaan dan x adalah dosis EHL. Berdasarkan persamaan regresi ini didapatkan bahwa dosis EHL yang optimal adalah 4,5 ml/kg bobot induk dengan persentase penetasan dugaan maksimal 75,59%. P0 P1 P2 P3 Keterangan :

1). Mahasiswa 2). Dosen Pembimbing 9

Gambar 3.

Grafik hubungan antara dosis EHL (x) dengan persentase penetasan ikan baung (y)

D. Kelangsungan Hidup Data kelangsungan hidup larva ikan baung pada umur tiga hari dapat dilihat pada Tabel 8 di bawah ini. Tabel 8. Kelangsungan hidup ikan baung sampai umur 3 hari pada masing-masing perlakuan Perlakuan Ulangan (%) Jumlah Rata-rata 1 2 3 P0 98,94 100 98,92 297,86 99,29tn P1 100 97,97 100 297,97 99,32tn P2 99,35 99,33 100 298,68 99,56tn P3 98,03 97,11 100 295,14 98,38tn tn Keterangan : : tidak nyata Berdasarkan Tabel 8, kelangsungan hidup larva ikan baung umur tiga hari tertinggi terdapat pada perlakuan P2 dengan penyuntikan 4 ml EHL/kg bobot induk yaitu 99,56%, sedangkan yang terendah terdapat pada ikan lele dumbo yang disuntik dengan 6 ml EHL/kg bobot induk (P3) yaitu dengan kelangsungan hidup larva umur tiga hari sebesar 98,38%. Meskipun demikian, analisis ragam menunjukkan bahwa penyuntikan ekstrak hipofisa ikan lele dumbo dengan dosis yang berbeda berpengaruh tidak nyata terhadap kelangsungan hidup larva ikan baung umur 3 hari. Nilai kelangsungan hidup larva sampai umur tiga hari ini lebih tinggi dibanding dengan hasil penelitian Irawan (2010) dengan kelangsungan hidup larva ikan baung tertinggi sebesar 82,61%. E. Kualitas Air Data pengukuran kualitas air selama pemeliharaan induk serta selama penetasan dan pemeliharaan larva dapat dilihat pada Tabel 9 dan Tabel 10 berikut. Tabel 9. Kualitas air media pemeliharaan induk Parameter Nilai Kisaran toleransi Suhu (oC) 30 25-321) pH 6,8 6,5-82) -1 DO (mg.l ) 7,2 5-93) Amonia 0,08-0,10 < 0,124) 1). Mahasiswa 2). Dosen Pembimbing 10

Tabel 10. Kualitas air media penetasan telur dan pemeliharaan larva Parameter Perlakuan Kisaran toleransi P0 P1 P2 P3 Suhu (oC) 27 27 27 27 27-301) pH 6,5 6,5 6,5 6,5 6,5-72) DO (mg.l-1) 6,9-7,0 6,9-7,2 6,9-7,2 6,9-7,0 5-93) Amonia 0,08-0,09 0,08-0,10 0,08-0,10 0,08-0,11 < 0,124) 1) Bunasir et al. (2005) 2) Amri dan Khairuman (2008) 3) Boyd (1979) 4) Suhenda et al. (1999) Secara umum kualitas air selama pemeliharaan induk serta selama penetasan telur dan pemeliharaan larva masih dalam kisaran toleransi. IV. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini adalah sebagai berikut : a. Dosis penyuntikan EHL sebanyak 4 ml/kg ikan baung memberikan hasil motilitas terbaik dengan skor motilitas 3. b. Dosis penyuntikan EHL sebanyak 4 ml/kg ikan baung memberikan hasil konsentrasi sperma (549,17 x 104), persentase penetasan (75,67%) dan kelangsungan hidup paling baik (99,56%). B. Saran Untuk mendapatkan hasil terbaik dalam pembenihan ikan baung, sebaiknya induk jantan disuntik dengan EHL dengan dosis 4 ml/kg bobot induk. DAFTAR PUSTAKA Amri, K dan Khairuman. 2008. Peluang dan Teknik Budidaya Intensif Ikan Baung. Gramedia. Jakarta. Billard, R. dan A. Saad. 1986. Spermatozoa production and volume of semen collected after hormonal stimulation in the carp, Cyprinus carpio. Elsevier Science Publisher B.V., Amsterdam, Netherlands. Aquaculture, 65 : 67-77. Blexler, J.H.S. 1969. Development Eggs and Larvae in Fish Physiology. Vol. III. Hoar and Randall. Acad Press. New York. Boyd, C.E. 1979. Water Quality in Warmwater Fish Pond. Agricultural Experiment Station, Auburn University. Auburn, Alabama, USA. 1). Mahasiswa 2). Dosen Pembimbing 11

Bunasir, S. Firdausi, P. Widodo, M.N. Fahmi dan G. Fauzan. 2005. Teknologi budidaya ikan baung (Mystus nemurus C.V) skala usaha. Makalah Seminar Pertemuan Lintas UPT Lingkup Ditjen Perikanan Budidaya. Tanggal 11-14 Juli 2005 di Manado. Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya. Miura, T., K. Yamauchi,. H. Takahashi,. And Y. Nagahama. 1991. Involvement of steroid hormones in gonadotropininduced testicular maturation in male Japanese eel (Anguilla japonica). Biomed. Res. Tokyo. 12, 241 248. Miura, T., K. Yamauchi., H. Takahashi., and Y. Nagahama. 1992. The role of hormones in the acquisition of sperm motility in salmonid fish. J. Exp. Zool. 261, 359 363. Muflikhah, N., S. Nurdawati dan S. N. Aida. 1998. Domestikasi ikan baung (Mystus nemurus). Jurnal Litbang Pertanian, Volume 17 No. 2, 1998. Sub Balai Penelitian Perikanan Air Tawar Palembang. Muflikhah, N. dan S. N. Aida. 1995. Pengaruh perbedaan jenis pakan terhadap pertumbuhan ikan baung (Mystus nemurus C. V.) di kolam rawa. Prosiding Kumpulan Makalah Seminar Penyusunan, Pengolahan dan Evaluasi Hasil Penelitian Perikanan di Perairan Umum. Oyen, F.G.F., L.E.C.M.M. Campr and E.S.W. Bongo. 1991. Effects of Acid Stress on the Embryonic Development of the Common Carp (Cyprinus carpio L). J. Aquat. Toxicology. Parrish, J. 2003. Techniques in Domestic Animal Reproduction-Evaluation and Freesing of Semen. (http://wisc.edu/ansci_repro/. Diakses pada 6 September 2009). Satyani D., J. Slembrouck, H. Mundriyanto, S. Subandiyah. 2006. Pembenihan ikan hias botia (Chromobotia macrachanta) populasi kalimantan. Petunjuk Teknis. Loka Riset Budidaya Ikan Hias Air Tawar. Depok. Satyani, D.L. 2007. Reproduksi dan Pembenihan Ikan Hias Air Tawar. Loka Riset Budidaya Ikan Hias Air Tawar. Depok. Suhenda, N dan P. Hardjamulia. 1999. Karakteristik reproduksi induk ikan baung (Mystus nemurus) generasi pertama stok jatiluhur. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia Volume 10 No 2 Tahun 2004. Balai Riset Perikanan Air Tawar. Bogor. Tang, U.M. dan R. Affandi. 2000. Biologi Reproduksi Ikan. Pusat Penelitian Kawasan Pantai dan Perairan Universitas Riau Press.

1). Mahasiswa 2). Dosen Pembimbing 12

Yaron, Z., 1995. Endocrine control of gametogenesis and spawning induction in the carp. Aquaculture. Zairin, M.Jr. 2003. Endrokinologi dan perannya bagi masa depan perikanan Indonesia. Orasi Ilmiah Guru Besar Tetap Ilmu Fisiologi Reproduksi dan Endokrinologi Hewan Air Fakultas Perikanan dan Kelautan IPB. Bogor.

1). Mahasiswa 2). Dosen Pembimbing 13

Anda mungkin juga menyukai