Anda di halaman 1dari 10

A.

LATAR BELAKANG

Di era tahun 50-an, Negara-negara di dunia terpolarisasi kedalam dua kutub. Ketika itu terjadi pertarungan yang kuat antra Timur dan Barat terutama sekali pada era perang dingin (cold war) antara Amerika Serikat dan Uni Sovyet.

Pertarungan ini adalah merupakan upaya untuk memperluas sphere of interest dan sphere of influence. Dengan sasaran utama perebutan penguasaan atas wilayahwilayah potensial di dunia dengan berkedok pada ideology anutan masing-masing.

Sebagian Negara masuk dalam Blok Amerika dan sebagian lagi masuk dalam Blok Uni Sovyet. Aliansi dan pertarungan didalamnya memberikan akibat fisik yang negative bagi beberapa Negara di dunia seperti misalnya Jerman yang sempat terbagi menjadi dua bagian, Vietnam dimasa lalu, serta Semenanjung Korea yang sampai saat sekarang ini masih terbelah menjadi Korea Utara dan Korea Selatan.

Dalam pertarungan ini Negara dunia ketiga menjadi wilayah persaingan yang amat mempesona buat keduanya. Sebut saja misalnya Negara-negara di kawasan Asia Timur dan Tenggara seperti Indonesia, Malaysia, Thailand, Jepang serta Negaranegara di kawasan lain yang kaya akan energi dunia seperti Uni Emirat Arab, Kuwait dan Qatar.

Dalam kondisi yang seperti ini, lahir dorongan yang kuat dari para pemimpin dunia ketiga untuk dapat keluar dari tekanan dua Negara tersebut. Soekarno, Ghandi dan beberapa pemimpin dari Asia serta Afrika merasakan polarisasi yang terjadi pada masa tersebut adalah tidak jauh berbeda dengan kolonialisme dalam bentuk yang lain.

Akhirnya pada tahun 1955 bertempat di Bandung, Indonesia, 29 Kepala Negara Asia dan Afrika bertemu membahas masalah dan kepentingan bersama, termasuk didalamnya mengupas secara serius tentang kolonialisme dan pengaruh kekuatan barat. Pertemuan ini disebutkan pula sebagai Konferensi Asia Afrika atau sering disebut sebagai Konferensi Bandung. Konferensi inilah yang menjadi tonggak lahirnya Gerakan Non Blok.

B.

TUJUAN Dengan didasari semangat Dasa Sila Bandung, Gerakan Non Blok dibentuk pada tahun 1961 dengan tujuan utama mempersatukan Negara-negara yang tidak ingin beraliansi dengan Negara-negara adidaya peserta Perang Dingin yaitu USA dan Uni Sovyet.

BAB II LAHIRNYA GERAKAN NON BLOK

A.

KONFERENSI ASIA AFRIKA

Konferensi Asia Afrika merupakan gagasan oleh lima Negara yaitu Indonesia, India, Pakistan, Burma dan Sri Lanka. Persiapan pertama dilakukan di Kolombo pada tanggal 28 April 2 Mei 1954. Persiapan kedua dilakukan di Bogor pada tanggal 29 Desember 1954. Melalui persiapan ini maka kemudian Konferensi Asia Afrika dilaksanakan. Akhirnya pada tanggal 18 April 1955, dimulailah Konferensi Asia Afrika yang diselenggarakan di kota Bandung. Konferensi ini berlangsung hingga tanggal 25 April 1955 dan diikuti oleh wakil dari 29 negara Asia dan Afrika. Tujuan utama konferensi ini adalah membentuk kubu kekuatan negara-negara dunia ketiga untuk menghadapi dua kubu adidaya, Barat dan Timur. Di akhir konferensi, ditandatangani Deklarasi Bandung yang isinya kesepakatan untuk mengadakan kerjasama ekonomi dan budaya di antara negara-negara dunia ketiga serta mengakui adanya hak untuk menentukan nasib bangsa-bangsa Asia dan Afrika.

Selain itu, konferensi ini juga mengeluarkan resolusi menentang penjajahan, di antaranya penjajahan Perancis atas Guinea Baru. Konferensi Asia Afrika juga menjadi pendahuluan dari terbentuknya Organisasi Gerakan Non-Blok. Dalam Pertemuan tersebut, 29 kepala Negara Asia dan Afrika bertemu membahas masalah dan kepentingan bersama, termasuk didalamnya mengupas secara serius tentang kolonialisme dan pengaruh kekuatan barat. Pertemuan ini disebutkan pula sebagai Konferensi Asia Afrika atau sering pula disebut sebagai Konferensi Bandung.

Dari Konferensi ini dihasilkan 10 prinsip yang disepakati bersama yang sering juga disebutkan sebagai Dasa Sila Bandung, yaitu : 1. Menghormati hak-hak dasar manusia dan tujuan-tujuan serta asas-asas yang termuat di dalam piagam PBB; 2. Menghormati kedaulatan dan integrits territorial semua bangsa; 3. Mengakui persamaan ras dan persamaan semua bangsa baik besar maupun kecil; 4. Tidak melakukan intervensi atau campur tangan dalam soal-soal dalam negeri orang lain; 5. Menghormati hak-hak tiap bangsa untuk mempertahankan diri sendiri secara sendiri atau kolektif sesuai dengan piagam PBB; 6. a. Tidak menggunakan peraturan-peraturan pertahanan kolektif bertindak bagi kepentingan khusus salah satu Negara besar. b. 7. 8. Tidak melaukan tekanan terhadap Negara lain. untuk

Tidak melakukan tindakan-tindakan atau ancaman agresi ataupun penggunaan kekerasan terhadap integritas territorial atau kemerdekaan politik suatu Negara. Menyelesaikan segala perselisihan internasional dengan jalan damai, seperti perundingan, persetujuan, arbitrase atau penyelesaian hukum, atau cara damai lain berdasarkan pilihan pihak-pihak yang bersangkutan sesuai dengan piagam PBB. Memajukan kepentingan bersama dan kerja sama.

9.

10. Menghormati hukum dan kewajiban-kewajiban internasional. Di dalam komunike akhir konferensi itu, digarisbawahi kebutuhan untuk membangun kerjasama yang saling menguntungkan antar negara-negara Asia-Afrika dalam hal pembangunan ekonomi untuk melepaskan diri dari ketergantungan melalui industrialisasi. Kerjasama ini dilaksanakan dengan membangun komitmen penyediaan asistensi teknis dalam proyek-proyek pembangunan, selain pertukaran teknologi,

pengetahuan, dan pembangunan pelatihan regional dan lembaga-lembaga penelitian. B. TERBENTUKNYA GERAKAN NON BLOK Seperti diketahui, pembangunan Gerakan Non-blok dicanangkan dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) yang dihadiri 25 negara dari Asia, Afrika, Eropa, dan Latin Amerika diselenggarakan di Biograd (Belgrade), Yugoslavia pada tahun 1961. Pemimpin kharismatik dari Yugoslavia, Presiden Broz Tito, menjadi pemimpin pertama dalam Gerakan Non-Blok. Sejak pertemuan Belgrade tahun 1961, serangkaian Konferensi Tingkat Tinggi Gerakan Non Blok telah diselenggarakan di Kairo, Mesir (1964) diikuti oleh 46 negara dengan anggota yang hadir kebanyakan dari negaranegara Afrika yang baru meraih kemerdekaan, kemudian Lusaka, Zambia (1969), Alzier, Aljazair (1973) saat terjadinya krisis minyak dunia, Srilangka (1977), Cuba (1981), India (1985), Zimbabwe (1989), Indonesia, Kolombia, Afrika Selatan, dan terakhir di Malaysia pada tahun 2003. Dengan didasari oleh semangat Dasa Sila Bandung, maka pada tahun 1961 Gerakan Non Blok dibentuk oleh Josep Broz Tito, Presiden Yugoslavia saat itu Penggunaan istilah Non-Alignment (Tidak Memihak) pertama kali dilontarkan Perdana Menteri India Jawaharlal Nehru dalam pidatonya di Srilangka tahun 1954. Dalam pidato ini, Perdana Menteri Nehru menjelaskan lima pilar prinsipil, empat pilar diantaranya disampaikan oleh Petinggi Tiongkok Chou En-lai, yang dijadikan pedoman bagi hubungan antara Tiongkok dengan India. Lima prinsip itu disebut dengan Panchshell, yang kemudian menjadi basis dari Gerakan Non-Blok. Kelima prinsip tersebut adalah: 1. 2. 3. 4. 5. Saling menghormati kedaulatan teritorial Saling tidak melakukan agresi Saling tidak mencampuri urusan dalam negeri Setara dan saling menguntungkan, serta Berdampingan dengan Damai

Melihat kenyataan di atas, keberadaan Gerakan Negara-Negara Non-Blok secara tegas mengacu pada hasil-hasil kesepakatan dalam Konferensi Asia-Afrika di Bandung 1955. Penggunaan istilah bangsa-bangsa non-blok atau tidak memihak adalah pernyataan bersama untuk menolak melibatkan diri dalam konfrontasi ideologis antara Barat-Timur dalam suasana Perang Dingin. Lebih lanjut, bangsa-bangsa yang tergabung dalam Gerakan Non-Blok lebih memfokuskan diri pada upaya perjuangan pembebasan nasional, menghapuskan kemiskinan, dan mengatasi keterbelakangan di berbagai bidang. Dengan demikian, jelas terang bagi kita besarnya kontribusi

Konferensi Bandung bagi perkembangan Gerakan Non-Blok sebagai gerakan politik dari negara-negara yang menentang perang dingin. C. PERTEMUAN PERTEMUAN Pertemuan-pertemuan tingkat tinggi yang diadakan oleh Negara-negara Non Blok meliputi : 1. Summit Conferences (Konferensi Tingkat Tinggi/KTT); Pertemuan ini merupakan pertemuan tertinggi dan dihadiri oleh para Kepala Negara/Kepala Pemerintahan seluruh Negara anggota Non Blok. Pertemuan ini merupakan pertemuan puncak dan sering disebut dengan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT). Keputusan-keputusan penting akan diputuskan dalam pertemuan tersebut. Pertemuan tingkat tinggi ini diselenggarakan setiap tiga tahun. Dalam membahas masalah-masalah yang ada, pertemuan ini dibagi menjadi dua komite yaitu Komite mengenai issue-issue politik dan Komite mengenai issue-issue ekonomi dan social. Sampai saat ini telah diselenggarakan KTT sebanyak 13 kali dan bertempat di Negara-negara anggota GNB, yaitu : KTT I : Yugoslavia : : : : : : : : : : : Selatan : 01 06 September 1961 di Belgrade,

KTT II KTT III KTT IV KTT V KTT VI KTT VII KTT VIII KTT IX KTT X KTT XI KTT XII

05 10 Oktober 1964, Kairo, Mesir 08 10 September 1970, Lusaka, Zambia 05 09 September 1973, Aljir, Aljazair 16 19 Agustus 1976, Colombo, Srilanka 03 09 September 1979, Havana, Kuba 07 12 Maret 1983, New Delhi, India 01 06 September 1986, Zimbabwe 04 07 September 1989, Belgrade, Yugoslavia 01 07 September 1992, Jakarta, Indonesia 18 20 Oktober 1995, Cartagena, Kolombia 02 03 September 1998, Durban, Afrika 02 25 February 2003, Kuala Lumpur,

KTT XIII

Malaysia

2. Ministerial Conferences; Konferensi ini merupakan pertemuan para menteri, yang bertujuan : Meninjau/memeriksa perkembangan-perkem-bangan dan implementasi dari keputusan-keputusan yang dihasilkan KTT. Menyiapkan KTT berikutnya Mendiskusikan hal-hal yang dianggap penting yang akan dibawa ke KTT.

Konferensi tingkat menteri terdiri dari : Ministerial Meetings in New York; Extraordinary Ministerial Meetings; Ministerial Meetings of the Coordinating Bureau; Meetings of the Ministerial Committee on Methodology; Meetings of the Standing Ministerial Committee on Economic Cooperation; Ministerial Meetings in various fields of International Cooperation. Selain pertemuan tingkat tinggi tersebut diatas, pertemuan lainnya yang diselenggarakan adalah working group, task forces, contact groups and Committee. D. NEGARA ANGGOTA Setelah hampir 50 tahun sejak disepakati Dasasila Bandung yang menjadi landasan semangat antikolonialisme di Asia Afrika, lalu dilanjutkan dengan Konferensi di Beograd yang merumuskan GNB, secara kuantitas GNB berhasil menggalang anggota dari 25 negara pada tahun 1961 dan saat ini menjadi 116 negara (terlampir) ditambah 17 negara pengamat yaitu Antiqua & Barbuda, Armenia, Azerbaijan, Belarus, Brazil, China, Costa Rica, Croatia, Dominica, Dominican Rep., El Salvador, Kazakhstan, Kyrgyztan, Mexico, Paraguay, Uruguay dan Ukraine. Hal tersebut diatas membuktikan menguatnya sentiment antikolonialisme pasca Perang Dunia II. Format politik GNB selanjutnya berusaha mempertahankan posisi sebagai zona netral karena dalam periode Perang Dingin, Negara Asia Afrika dan Amerika Latin membutuhkan banyak waktu untuk tidak terjebak peperangan. Selain itu, kebutuhan bagi Negara-negara Asia Afrika lainnya untuk merasakan kehidupan bersama sebagai black side area tatanan dunia baru telah menjadikan nasionalisme

sebagai factor terpenting. Meski demikian, GNB masih diwarnai inkonsistensi. E. MASALAH-MASALAH ANTAR NEGARA Disadari bahwa meskipun Negara-negara anggota GNB sendiri berupaya memegang teguh prinsip-prinsip dan cita-cita yang dianut oleh GNB sebagaimana tertuang dalam Dasasila Bandung, namun bukan berarti bahwa selama ini tidak ada masalah-masalah internal GNB. Diantara masalah-masalah yang menonjol adalah adanya berbagai perselisihan yang terjadi diantara Negara-negara anggota GNB sendiri. Perselisihan antara Negara anggota tertentu itu, selain mengganggu suasana kerjasama intern GNB, juga adakalanya menghambat jalannya sidang-sidang GNB. Disamping itu, disadari pula adanya kesulitan dalam mencapai kesepakatan untuk hal-hal tertentu yang disebabkan juga oleh penerapan prinsip konsensus secara kaku.

PERANAN INDONESIA DALAM GERAKAN NON BLOK

A.

INDONESIA DAN GNB Bagi Indonesia, Gerakan Non Blok merupakan wadah yang tepat bagi Negaranegara berkembang untuk memperjuangkan cita-citanya dan untuk itu Indonesia senantiasa berusaha secara konsisten dan aktif membantu berbagai upaya kearah pencapaian tujuan dan prinsip-prinsip Gerakan Non Blok. GNB mempunyai arti yang khusus bagi bangsa Indonesia yang dapat dikatakan lahir sebagai Negara netral yang tidak memihak. Hal tersebut tercermin dalam Pembukaan UUD 1945 yang menyatakan bahwa kemerdekaan adalah hak segala bangsa, dan oleh sebab itu maka penjajahan diatas dunia haurs dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan. Selain itu diamanatkan pula bahwa Indonesia ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Kedua mandat tersebut juga merupakan falsafah dasar GNB. Sesuai dengan politik luar negeri yang bebas dan aktif, Indonesia memilih untuk menentukan jalannya sendiri dalam upaya membantu tercapainya perdamaian dunia dengan mengadakan persahabatan dengan segala bangsa. Sebagai implementasi dari politik luar negeri yang bebas dan aktif itu, selain sebagai salah satu Negara pendiri GNB, Indonesia juga senantiasa setia dan commited pada prinsip-prinsip dan aspirasi GNB. Sikap ini secara konsekuen diaktualisasikan Indonesia dalam kiprahnya pada masa kepemimpinan Indonesia pada tahun 1992 1995 diawal era pasca perang dingin. Pada masa itu, Indonesia telah berhasil membawa GNB untuk mampu menentukan arah dan secara dinamis menyesuaikan diri pada setiap perubahan yang terjadi dengan menata kembali prioritas-prioritas lama dan menentukan prioritas-prioritas baru dan menetapkan orientasi serta pendekatan yang baru pula.

B.

TUAN RUMAH KTT X GNB Indonesia pernah menjadi tuan rumah KTT GNB yaitu KTT X yang berlangsung pada tanggal 1 7 September 1992 di Jakarta dan Bogor. Selama tiga tahun dipimpin Indonesia, banyak kalangan menyebut, GNB berhasil memainkan peran penting dalam percaturan politik global. Lewat Jakarta Message, Indonesia memberi warna baru pada gerakan ini. Antara lain, dengan meletakkan titik berat kerjasama pada pembangunan ekonomi dengan menghidupkan kembali dialog Selatan-Selatan.

Hal tersebut diatas, dirasa sangat perlu sebab Komisi Selatan dalam laporannya yang berjudul The Challenge to the South (1987), menegaskan bahwa negara-negara Selatan harus mengandalkan kemampuannya sendiri, kalau sekedar berharap pada kerjasama Utara-Selatan ibarat pungguk merindukan bulan. Sebaliknya, dialog Selatan-Selatan akan memperkuat posisi tawar (bargaining-position) Negaranegara berkembang meski hal ini masih harus dibuktikan. Kendati lebih mengedepankan kepentingan ekonomi, tetapi politik dan keamanan Negara-negara sekitar tetap menjadi perhatian. Dengan profil positifnya selama ini, Indonesia dipercaya untuk turut menyelesaikan berbagai konflik regional, antara lain : Kamboja, gerakan separatis Moro di Filipina dan sengketa di Laut Cina Selatan. Konflik Kamboja mereda setelah serangkaian pembicaraan Jakarta Informal Meeting (I & II) serta Pertemuan Paris yang disponsori antara lain oleh Indonesia. KTT X GNB di Jakarta berhasil merumuskan Pesan Jakarta yang disepakati bersama. Dalam Pesan Jakarta tersebut terkandung visi GNB yaitu : Hilangnya keraguan sementara anggota khususnya mengenai relevansi GNB setelah berakhirnya Preang Dingin dan ketetapanhati untuk meningkatkan kerjasama yang konstruktif serta sebagai komponen integral dalam arus utama (mainstream) hubungan internasional; Arah GNB yang lebih menekankan pada kerjasama ekonomi internasional dalam mengisi kemerdekaan yang telah berhasil dicapai melalui cara-cara politik yang menjadi cirri menonjol perjuangan GNB sebelumnya. Adanya kesadaran untuk semakin meningkatkan potensi ekonomi Negara-negara anggota melalui peningkatan kerjasama Selatan-Selatan. Setelah KTT Jakarta, GNB dapat dikatakan telah memperoleh kembali kekuatan dan keteguhannya serta kejelasan akan tujuan-tujuannya yang murni. Selama mengemban kepemimpinan GNB, Indonesia telah melakukan upaya-upaya penting dalam meningkatkan kerjasama Selatan-Selatan, menghidupkan kembali dialog Utara-Selatan dan berupaya untuk penghapusan hutang Negaranegara berkembang serta memperjuangkan revitalisasi dan restrukturisasi PBB. Demikian pula, Indonesia telah berhasil membawa GNB kearah pendekatan baru berupa kemitraan, dialog dan kerjasama dengan meninggalkan sikap konfrontasi serta retorika. Dengan pendekatan baru itu, GNB mampu berkiprah secara konstruktif dalam percaturan dunia, terutama dalam interaksinya dengan Negara-negara maju dan organisasi/lembaga internasional. Dalam bidang ekonomi, selama menjadi Ketua GNB, Indonesia juga secara konsisten telah mengupayakan pemecahan masalah hutang luar negeri negara-negara miskin baik pada kesempatan dialog dengan Ketua G-7 maupun dengan menyelenggarakan Pertemuan Tingkat Menteri GNB mengenai Hutang dan

Pembangunan yang diselenggarakan di Jakarta pada bulan Agustus 1994 serta berbagai seminar mengenai penyelesaian hutang luar negeri. Dari upaya-upaya tersebut telah dicapai beberapa kemajuan yaitu antara lain telah disepakatinya upaya untuk melakukan pengurangan substansial terhadap hutang bilateral. Sedangkan untuk hutang multilateral, dimana lembaga Bretton Woods semula enggan untuk membahasnya, pada akhirnya telah mendapatkan perhatian Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional dengan diluncurkannya Prakarsa HIPCs (Heavily Indebted Poor Countries); Peningkatan Fasilitas Penyesuaian Struktural (Enhanced Structural Adjustment Facility) dan pembentukan Dana Perwalian oleh Bank Dunia serta komitmen negara-negara Paris Club bagi penyelesaian hutang bilateral dengan menaikkan tingkat pengurangan beban hutang dari 67% menjadi 80%. Hal ini merupakan suatu keberhasilan upaya GNB dalam kerangka memerangi kemiskinan. Melalui pendekatan baru yang dikembangkan sewaktu Indonesia menjadi Ketua, GNB telah berhasil mengubah sikap negara-negara anggota GNB tertentu yang pada intinya menerapkan standard ganda terhadap lembaga Bretton Woods. Disatu pihak secara bilateral negara-negara anggota GNB termasuk ingin memanfaatkan dana yang tersedia dari Bretton Woods, tetapi secara politis menunjukkan sikap apriori terhadap Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional. Seperti diketahui, bahwa pengambilan keputusan pada lembaga Bretton Woods pada prinsipnya didasarkan atas besarnya jumlah kekayaan anggota, dan ini dapat berarti selalu merugikan kepentingan negara-negara berkembang. Namun sekarang, dapat dikatakan bahwa telah terjalin hubungan yang baik dimana lembaga Bretton Woods telah mau mendengarkan argumentasi dan mempertimbangkan usulan-usulan GNB. Meskipun sekarang, Indonesia tidak lagi menjabat sebagai Ketua maupun Troika GNB (kepemimpinan GNB terdiri dari Ketua satu periode sebelumnya, Ketua sekarang dan Ketua yang akan datang), namun tidak berarti bahwa penanganan oleh Indonesia terhadap berbagai permasalahan penting GNB akan berhenti atau mengendur. Sebagai anggota GNB, Indonesia akan tetap berupaya menyumbangkan peranannya untuk kemajuan GNB dimasa yang akan datang dengan mengoptimalkan pengalaman yang telah didapat selama menjadi Ketua dan Troika GNB.

Anda mungkin juga menyukai