Anda di halaman 1dari 2

G.

Hak Waris Saudara Kandung Menurut Pendapat Kelompok Dari berbagai pendapat dan pandangan yang dikemukakan oleh banyak kalangan ahli seperti diuraikan diatas maka kami berpendapat bahwa konsep KHIyang sebagian bes ar merujuk pada pendapat ahlussunah dan Imam Syafii relatif telah diterima oleh banyak kalangan. Adanya pembedaan saudara antara saudarakandung, saudara seayah dan saudara seibu seperti terlihat dalam ketentuan pasal181 dan 182 KHI dapat di pakai sebagai pedoman pembagian waris dikalangansaudara pewaris, meskipun dalam ketentuan pasal 185 KHI mengisyaratkanadanya pranata pergantian tempat yang tida k dikenal dikalangan ahlussunah danImam Syafii.Apabila saudara dari pewaris ters ebut baru dapat mewaris apabila pewarismeninggal dalam keadaan kalalah, maka pen gertian anak sebaiknya diartikansecara umum yaitu meliputi anak laki-laki dan anak per empuan danketurunannya. Apabila mengikuti KHI maka yang dimaksud dengan kalalaha dalah apabila seorang mati tidak meninggalkan anak keturunan tanpa disyaratkanti dak adanya ayah. Hal ini dapat dilihat dari ketentuan pasal 177 KHI.Dengan demik ian dapat dikatakan bahwa saudara kandung dapat mewaris bersama dengan ayah apab ila pewaris mati dalam keadaan tanpa anak keturunan.Oleh karena itu ada tidaknya ayah hanya akan mempengaruhi besar kecilnya bagian waris yang akan diterima ole h saudara dari pewaris. Namun demikianapabila memperhatikan ketentuan dari pasal 181 dan pasal 182 KHI, maka bagianwaris dari saudara kandung pewaris relatif le bih besar daripada bagianwarisdaridara seayah atau saudara seibu dari pewaris. H al ini tentulah dapatdipahami dengan melihat kedekatan hubungannya dengan pewari s. 12 Ada dua persoalan yang berkaitan dengan ketentuan pasal 182 KHI yaitudapat tidak nya saudara laki-laki sebapak menarik saudara perempuan sekandungmenjadi ashobah. Menurut pendapat dari Rachmad Budiono sesuai dengankeumuman asas didalam hukum k ewarisan Islam, maka saudara laki-laki sebapak tidak dapat menjadikan saudara pe rempuan kandung sebagai ashobah . Apabilamereka mewaris bersama-sama maka saudara perempuan sebagai dzul faraid ,sedangkan saudara laki-laki sebapak sebagai ashobah . Meskipun mereka bersaing/bersama-sama dalam mewaris tetapi tidak dengan sendir inya saudaralaki-laki sebapak menjadikan saudara perempuan kandung menjadi ashob ah. 12 Ahmad Azhar Basyir, opcit hal. 198 12 Asas umum ditariknya seorang perempuan menjadi ashobah oleh seoranglaki-laki adalah bahwa mereka berada dalam kesetaraan kedudukan. Hal ini dapatdilihat misalnya antara sesama anak kandung, sesama saudara kandung, s esamacucu. KHI menerima konsep bahwa antara saudara kandung dan saudaraseayah/se ibutidak saling menghijab hirman, tetapi hal ini tidak menjadikanmereka berderaj at sama.Kelompok kami berpendapat bahwa apabila antara saudara kandung dansaudar a seayah/seibu tidak saling menghijab maka mereka dianggap berderajatsama, oleh karena itu saudara laki-laki seayah da pat menjadikan saudara perempuan kandung sebagai ashobah . Berbeda halnya apabila saudara kandungdapat menghijab hirman saudara seayah/seibu, sebagaimana konsep anak menghijab hirman

ayah atau ibu, maka yang membedakan mereka adalah besar kecilnya bagian warisnya dan dengan demikian maka saudara laki-laki seayahtidak dapat menarik saudara pe rempuan kandung sebagai ashobah. BAB IIIPENUTUPA.Kesimpulan Kalangan ahlussunah mengatakan bahwa saudara dibedakan menjadisaudara kandung, saudara seayah dan sa udara seibu. Bahwa para saudara dari13 pewaris ini baru dapat mewarisi harta warisan apabila pewaris meninggal secarak alalah, dengan pegertian tidak mempunyai anak dan ayah. Saudara kandung pewaris ini menghijab saudara seayah dan atau saudara seibu dari pewaris.Prof. Hazairin mengartikan sa udara dengan pengertian yang umum, tidak mengadakan pembedaan pengertian saudara dengan saudara kandung, saudaraseayah/seibu. Bahwa beliau juga berpendapat bahw a tidak disyaratkan tidak adanya ayah dalam hal kalalah . Bahwa kedudukan saudara pewaris adalah sejajar dalam hal mewaris dan tidak sal ing menghijab diantara mereka.KHI tidak mengadakan pembedaan kedudukan antara sa udara pewarisdengan pengertian saudara kandung, saudara seayah dan saudara seibu .Pembedaan hanya terjadi pada besar kecilnya bagian dari masing-masing jenissaud ara tersebut Hal ini dapat dilihat pada ketentuan pasal 181 dan pasal 182KHI. Da lam KHI juga dinyatakan bahwa saudara-saudara dari pewaris itu barudapat mewaris apabila pewaris meninggal dalam keadaan kalalah , dengan pengertian pewaris meninggal tanpa adanya anak dan ayah. KHI juga meneg askan bahwa diantara saudara kandung, saudara seayah dan saudara seibu tidak sal ing mengijab. B.Saran Bahwa kewarisan Islam dalam KHI yang berkenaan dengan bagian warisdiantara sauda ra kandung, saudara seayah, saudara seibu masih menyisakan persoalan yang belum diperoleh pemecahannya secara menyeluruh. Untuk itumasih diperlukan adanya pemik iran bersama dan atau ijtihad untuk menyelesaikan persoalan tersebut secara menyeluruh, meskipun dalam keumuma nasas hukum waris Islam dikenal dengan adanya istilah perdamaian sebagaimanatert uang dalam ketentuan pasal 183 KHI, namun sangat penting artinya untuk menetapka n posisi dan besar bagian dari ahli waris antara saudara kandungdengan saudara s eyah/seibu secara definitif dan limitatif dalam KHI. DAFTAR PUSTAKA Basyir, Ahmad Azhar, Hukum waris Islam , Ekonesia Fakultas Hukum UII,Yogyakarta 1999.Budiono.A.Rachmad, Pembaharuan Hukum Kewarisan Islam di Indonesia ,PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999.14 Departemen Agama, Al-Quran dan Terjemahannya , Proyek Penerbit Kitab SuciAl-Quran, Jakarta, 1971.Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Al-Quran dan Hadist , Tintamas,Jakarta, 1964.Sarmadi.A.Sukris, Transendensi Keadilan Hukum Waris Islam Transformatif , PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta,1997

Anda mungkin juga menyukai