Anda di halaman 1dari 12

Unik & Diminati, Sandal Rajut Peluang Usaha Rumahan Menjanjikan

Jakarta International Handicraft Trade Fair (Inacraft) ke-13 berlangsung 20-24 April 2011 lalu di Balai Sidang Jakarta Conventional Center (JCC). Tak hanya produk kerajinan seperti suvenir yang memanjakan mata dengan desain uniknya. Produk fashion dan aksesori juga tak kalah unik dan menarik. Anda bisa menambah koleksi sepatu, syal, cincin atau kalung unik dengan desain menarik yang khas dari perajin lokal. Produk kain perca dan rajutan dari Wien's asal Semarang bisa menjadi pilihan. Tas laptop dari kain perca berwarna cerah semakin cantik dengan aksen pita. Ragam pilihan sandal rajut untuk perempuan juga menarik perhatian pengunjung yang datang. Wien's juga membuat kerajinan tangan berupa alas kaki rajut untuk pemakaian dalam ruang. Kerajinan tangan rajutan ini dibanderol mulai Rp 50.000 hingga Rp 225.000 untuk sandal perempuan. Sedangkan tas laptop kain perca dibanderol mulai Rp 300.000. Lain lagi dengan produk batik Zola dari Jakarta. Busana batik yang dirancang dengan ragam model seperti terusan, atasan, hingga syal memberikan kesan stylish. Desain busana batik Zola punya keunikan tersendiri dibandingkan busana lain di area pameran. Busana batik ala Zola memberikan kesan modern dan gaya. Pilihan motif batik juga bervariasi dengan warna bervariasi, mulai gelap hingga warna cerah. Syal batik di Zola juga unik dan khas dengan model bergelombang. Khusus syal batik, Zola memasang harga mulai Rp 125.000 sedangkan terusan batik bervariasi di atas Rp 300.000. Aksesori unik lainnya di Inacraft juga bisa ditemui di gerai perhiasan. Kalung dan gelang dari kayu, serta perhiasan dari bebatuan yang dipadukan dengan manik, menjadi pilihan belanja lainnya di Inacraft 2011. Khusus perhiasan, rentang harga lebih bervariasi mulai Rp 5.000 hingga ratusan ribu rupiah. Kerumitan desain dan penggunaan bahan menentukan nilai produk perhiasan unik buatan tangan para perajin lokal ini. Jika ingin mencari produk berbeda, singgah saja ke pameran tahunan akbar ini di JCC, Senayan, Jakarta. Ragam produk kerajinan tangan dari Indonesia juga sejumlah negara seperti India atau Iran tersedia di area pameran seluas 24.000 meter persegi ini. Fesyen adalah kegiatan kreatif yang terkait dengan kreasi desain pakaian, desain alas kaki, dan desain aksesoris mode lainnya, produksi pakaian mode dan aksesorisnya, konsultansi lini produk fesyen, serta distribusi produk fesyen. Lapangan usaha yang merupakan bagian dari fesyen yaitu:

1. Industri Pakaian Jadi Rajutan yang mencakup usaha pembuatan pakaian jadi, juga termasuk topi yang dibuat dengan cara dirajut atau renda; 2. Industri Rajutan Kaos Kaki yang mencakup usaha pembuatan kaus kaki yang dibuat dengan cara rajut atau renda; 3. Industri Barang Jadi Rajutan Lainnya yang mencakup pembuatan barang jadi rajutan, seperti kaus lampu, deker, bando; 4. Industri Pakaian Jadi dari Tekstil dan Perlengkapannya yang mencakup usaha pembuatan pakaian jadi tekstil dan perlengkapannya dari kain dengan cara memotong dan menjahit sehingga siap dipakai, seperti kemeja, kebaya, celana, blus, rok, baju bayi, pakaian tari dan pakaian olah raga, topi, dasi, sarung tangan, mukena, selendang, kerudung, ikat pinggang, dan sapu tangan, baik dari kain tenun maupun kain rajut yang dijahit; 5. Industri Pakaian Jadi (konveksi) dan Perlengkapan dari Kulit yang mencakup usaha pembuatan pakaian jadi dari kulit atau kulit imitasi dan perlengkapannya, dengan cara memotong dan menjahit sehingga siap pakai seperti jaket, mantel, rompi, celana dan rok, topi, sarung tangan, ikat pinggang; 6. Industri Pakaian Jadi/Barang Jadi dari Kulit Berbulu dan atau Aksesoris yang mencakup usaha pembuatan pakaian jadi/barang jadi dari kulit berbulu dan atau perlengkapannya, seperti mantel berbulu; 7. Industri Alas Kaki untuk Keperluan Sehari-hari yang mencakup usaha pembuatan alas kaki, keperluan sehari-hari dari kulit dan kulit buatan, karet, kanfas dan kayu, seperti sepatu harian, sapatu santai, sepatu sandal, sandal kelom, dan selop. termasuk juga usaha pembuatan bagian-bagian dari alas kaki tersebut, seperti atasan sol dalam, sol luar, penguat depan, tengah, belakang, lapisan dan aksesoris; 8. Industri Sepatu Olah Raga yang mencakup usaha pembuatan sepatu untuk olah raga dari kulit dan kulit buatan, karet dan kanvas; seperti sepatu sepak bola, atletik, senam, joging, balet; 9. Industri Sepatu Teknik Lapangan/Keperluan Industri yang mencakup pembuatan sepatu termasuk pembuatan bagian-bagian dari sepatu untuk keperluan teknik lapangan/industri dari kulit, kulit buatan, karet, dan plastik seperti sepatu tahan kimia, tahan panas, sepatu pengaman; 10. Industri Alas Kaki Lainnya yang mencakup usaha pembuatan alas kaki dari kulit, kulit buatan, karet, kanvas dan plastik yang belum termasuk golongan manapun, seperti sepatu kesehatan, dan sepatu lainnya seperti sepatu dari gedebog, dan eceng gondok; 11. Perdagangan Besar Tekstil, Pakaian Jadi, dan Kulit yang mencakup usaha perdagangan besar hasil industri tekstil dan pakaian jadi ke luar negeri, seperti: macam-macam tekstil, pakaian jadi, kain batik, tali-temali, karpet/permadani dari bahan tekstil, karung, macammacam hasil rajutan, dan barang jadi lainnya dari tekstil selain pakaian jadi. 12. Perdagangan Besar Berbagai Barang-Barang dan Perlengkapan Rumah Tangga Lainnya. Kelompok ini mencakup usaha perdagangan besar berbagai barang-barang dan perlengkapan rumah tangga lainnya yang terkait dengan fesyen seperti: pakaian jadi dari kulit, alas kaki dari kulit. 13. Perdagangan Eceran Tekstil yang mencakup usaha perdagangan eceran khusus macammacam kain batik terbuat dari serat alam, sintetis, maupun campuran, seperti kain tenun dan kain batik;

14. Perdagangan Eceran Pakaian Jadi yang mencakup usaha perdagangan eceran khusus macam-macam pakaian jadi, baik terbuat dari tekstil, kulit, maupun kulit batan, seperti kemeja, celana, jas, mantel, jaket piama, kebaya, dan lain-lain; 15. Perdagangan Eceran Sepatu, Sandal, dan Alas Kaki lainnya yang mencakup usaha perdagangan eceran khusus macam-macam sepatu, sandal, selop, dan alas kaki lainnya baik terbuat dari kulir, kulit buatan, plastik, karet, kain ataupun kayu, seperti: sepatu lakilaki dewasa, sepatu anak, sepatu olehraga, sepatu sandal, sandal, selop, dan sepatu kesehatan. 16. Perdagangan Eceran Tekstil, Pakaian Jadi, Alas Kaki, dan Barang Keperluan Pribadi Lain yang mencakup usaha perdagangan eceran khusus tekstil pakaian jadi, alas kaki dan barang keperluan pribadi lainnya yang belum tercakup dalam kelompok 52321 s/d 52328 seperti taplak meja, separai, kelambu, kain kasur, kain bantal, gorden, kain pel, keset, dan lain-lain. 17. Perdagangan Ekspor Tekstil, Pakaian Jadi dan Kulit yang mencakup usaha mengekspor hasil industri tekstil dan pakaian jadi, seperti: macam-macam tekstil, pakaian jadi, kain batik, tali-temali, karpet/permadani dari bahan tekstil, karung, macam-macam hasil perajutan, dan barang jadi lainnya dari tekstil selain pakaian jadi. 18. Perdagangan Ekspor berbagai barang-barang dan perlengkapan rumah tangga lainnya yang mencakup usaha mengekspor berbagai barang-barang dan perlengkapan rumah tangga lainnya yang terkait dengan fesyen seperti: pakaian jadi dari kulit, alas kaki dari kulit. 19. Jasa Perorangan yang Tidak Diklasifikasikan di Tempat Lainnya, khususnya untuk jasa desainer fesyen dan model fashion. Sandal rajut adalah sandal yang dibuat dengan teknik merajut. Bisa hanya permukaannya saja yang dirajut, namun bisa dengan merajut seluruh bagian sandal termasuk bagian alasnya. Modelnya pun beragam. Bisa menutupi sebagian kaki, atau model tertutup seperti sandal pengantin lelaki Jawa. Jika Anda hendak membuat sandal yang hanya menggunakan rajutan di bagian atas sedangkan solnya terbuat dari sandal pada umumnya, ada baiknya Anda menghubungi pengrajin sepatu dan sandal. Jika tidak ada, Anda juga dapat meminta bantuan dari tukang sol keliling. Sandal rajut juga laku dijual dan bisa menjadi peluang usaha menjanjikan. Anda bisa berkreasi dengan berbagai model, pola rajutan dan warna. Buatlah model rajutan dan pola yang sama namun dengan warna benang berbeda. Tentu konsumen makin senang karena sandal yang mereka beli tidak ada yang menyamai atau diproduksi terbatas. (fn/ik/aa) www.suaramedia.com

Usaha Curug Gentong, "Obat Stress" Dengan Modal Terbatas


KUDUS (Berita SuaraMedia) - Seperti ketika krisis moneter yang berlanjut kepada krisis ekonomi 1998 lalu, bisnis rakyat atau UKM lah yang mampu bertahan dari badai. Bisnis rakyat

yang tidak mengandalkan materialnya dari barang-barang import, terbukti mampu tetap hidup. Maka kini krisis kembali terjadi. Beda dengan dulu, ketika tidak semua negara mengalaminya, tapi kini krisis perekonomian mendunia. Tapi diyakini, bisnis rakyat tetap mampu survive. Berawal dari keinginan memanfaatkan gentong yang terbuang sia-sia, dua pemuda warga Kudus, Jawa Tengah, dapat menciptakan sebuah kerajinan miniatur taman. Mereka adalah Erwin dan Ubaidilah. Saat ditemui baru-baru ini, keduanya mengaku membuat kerajinan tangan seperti ini tidaklah rumit. Awal pembuatan miniatur taman dimulai dengan melubangi salah satu sisi gentong. Selanjutnya, susunlah batu untuk membentuk tebing atau pun bukit sebagai dasar ornamen taman. Setelah penataan dasar taman selesai, tahap selanjutnya menambahkan hiasan seperti pohon, air mancur, dan lampu hias. Usaha yang dirintis Erwin dan Ubaidilah tidak sia-sia. Setiap bulannya, tidak kurang dari 30 miniatur taman gentong laku dijual. Dengan modal Rp 150 ribu untuk gentong ukuran sedang dan Rp 450 ribu untuk gentong ukuran besar, Erwin mampu meraup keuntungan tiga kali lipat. Sejak dirintis tiga tahun silam, usaha miniatur taman gentong kini berbuah manis. Selain dipasarkan ke sejumlah daerah di Tanah Air seperti Jawa Barat, Jakarta, dan Sumatra, miniatur taman gentong ini diminati pula pembeli dari Austria, Australia dan Amerika Serikat. Anda tertarik juga? Bagi Anda yang akan berwisata ke Depok, ada satu pilihan oleh-oleh yang dapat dibawa dan merupakan asli buatan tangan sepasang suami istri di Komplek Samudra, Jalan Sersan Aning, A5 I RT01/06, J Depok, Pancoranmas, Depok. Rita Apriyanti dan Rery Enrico membuat kerajinan khas Depok, yaitu curug gentong yang berarti miniatur air terjun di dalam gentong. Curug gentong (CG) yang dibuat pasangan tersebut memiliki keindahan tersendiri. Dengan sentuhan seni tinggi air terjun dipadu dengan nuansa alam pedesaan serta rumah tradisional Sunda itu seolah-olah terlihat nyata. Keindahan curug dengan nuansa alam pedesaan itu juga ditampilkan ke dalam guci yang dilubangi dan juga disajikan di pot kembang terbuka, baik itu yang berukuran besar maupun kecil. Untuk harga buah tangan tersebut antara Rp200,000 hingga Rp800,000. Sedangkan untuk pesanan yang berukuran besar harganya bisa mencapai Rp1,8 juta. Hebatnya, hasil karya seni itu pun menarik perhatian warga Singapura, Amerika Serikat, Kanada,

dan Jepang. Demi mendapatkan karya seni khas warga Depok itu, mereka rela jauh-jauh datang ke Depok. "Warga negara itu sendiri yang datang ke sini untuk membeli curug gentong. Kami belum memasarkan secara banyak ke luar negeri," kata putri ketiga Rita, Aditya Istiarahma di Depok. Sementara itu, Rita mengatakan, ia belum berani memasarkan curug gentong secara besar ke dunia internasional karena membutuhkan persiapan yang matang baik itu sumber daya manusia dan permodalannya. Namun sejauh ini, untuk pemasaran secara nasional sudah mencapai seluruh provinsi di Indonesia. Pengiriman curug gentong itu melalui ekspedisi yang dipercaya Rita dan ongkos pengiriman ditanggung pembeli. Produksi curug gentong setiap harinya, lanjut Rita, dapat mencapai tiga sampai empat gentong. "Namun untuk selesai sampai penyelesaian akhir membutuhkan waktu hingga tiga sampai empat hari. Setiap hari produksi gentong," katanya. Menurut Rita, material yang digunakannya merupakan bahan daur ulang. Untuk gentong dibelinya di kawasan Depok. Meski, Curug gentong banyak diproduksi oleh perajin lain di wilayah Jabodetabek, namun Rita mengklaim, dibanding dengan curug gentong lain, buatannya memiliki kualitas jauh lebih baik. Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Depok pun memfasilitasi Rita untuk ikut serta dalam berbagai ajang pameran, termasuk Batam Expo pada 2007. Terakhir kali tampil dalam Jakarta Fair 2008. Karena itu, bagi Anda yang singgah di Depok, jangan lupa untuk membeli oleh-oleh asli Depok, yaitu curug gentong. Begitu juga dengan Rico, bisnis yang ditekuninya memproduksi kerajinan air terjun curug. Modalnya tak besar, materialnya pun asli dalam negeri, dan mudah didapat. Tapi hasilnya, terbilang cukup lumayan. Karena sekalipun daya beli masyarakat jauh menurun, tetap saja ada peluang untuk memasarkan produk-produknya. Apalagi harga yang ditawarkan relatif terjangkau. Yang positifnya lagi, produk Rico mampu memberi ketenangan bagi mereka yang stress. Maklum, siapa sih yang tidak tenang dan nyaman, mendengar suara gemericik air, memandang alam 'buatan'... Bisnis Rico ini bisa menjadi inspirasi bagi masyarakat yang ingin mencoba berbisnis namun dengan modal terbatas. Karena hanya sedikit 'pemain' di bidang ini. Apalagi modalnya pun tidak besar. Dan yang penting lagi, materialnya buatan dalam negeri, dan mudah dicari. Berawal dari kecintaannya terhadap alam, lahir sebuah karya unik miniature curug (air terjun) dalam gentong lengkap dengan ornament pendukungnya. Mulanya kreasi tersebut hanya untuk dinikmati Rico sendiri. Dengan begitu kala rasa rindu pada alam pedesaan dan pegunungan datang, dia bisa memandangi kreasinya, yang meski hanya sebuah miniature namun dapat mengobati sedikit rasa rindunya.

"Rasa cinta saya pada alam memang sudah tumbuh sejak kecil. Ketika saya berangkat remaja, saya gemar sekali mendaki gunung. Menikmati alam membuat hati kita tenang. Sampai suatu ketika saya berpikir, kenapa tidak saya pindahkan saja suasana alam pedesaan lengkap dengan air terjunnya ke rumah. Lalu bagaimana membungkusnya agar tampak menarik dan unik, secara tak sengaja mata saya melihat gentong. Dari situlah karya itu berawal," ungkap Rico yang dijumpai di Gedung Pameran Kantor Kementerian Koperasi dan UKM, Jakarta. Untuk menghasilkan karya seperti sekarang, lanjutnya, dibutuhkan waktu cukup lama. Setidaknya saat pertama kali ide itu didapat tahun 1993. "Saya melakukannya secara otodidak, tidak ada panduan, apalagi yang mengajari. Percobaan demi percobaan saya lakukan sendiri, sehingga lama kelamaan karya saya menjadi lebih baik," tambah bapak lima anak yang juga hobi melukis dan teater ini. Latar belakang seni yang dimilikinya sangat membantunya dalam menyempurnakan karyanya sehingga terlihat unik dan berseni. Semua itu memang berawal dari iseng dan sekadar hobi. Karena itu Rico tidak menetapkan suatu nilai (rupiah) tertentu apabila ada yang meminta membuatkan curug gentong. Tak terasa semakin banyak yang memiliki produk kreasi Rico, maklum selain banyak yang minta dibuatkan, dia juga kerap membagi-bagikannya kepada saudara maupun teman-temannya sebagai hadiah. Respon mereka pun sangat baik sehingga semakin membuat Rico bersemangat. "Tapi sejauh itu saya masih menekuninya sebagai hobi, belum berpikir ke bisnis. Meski pesanan makin lama makin banyak," ujarnya. Apa yang disebut orang getuk tular rupanya terjadi pada karya Rico. Promosi dari mulut ke mulut membuat karyanya makin dikenal sehingga tak terasa pesanan makin banyak dan membuatnya nyaris kewalahan. Kuncinya, Mutu dan Desain Dari sanalah dia melihat bahwa ternyata hobi yang ditekuninya itu bisa dijadikan lahan bisnis. Sejak pikiran itu terlintas, Rico menjadi semakin serius. Pesanan-pesanan ditanganinya secara professional dengan penekanan pada mutu dan keunikan desain. Hal ini agaknya menjadi salah satu kunci kenapa produknya mendapat tempat di hati masyarakat, khususnya penggemar seni. "Ketika pikiran untuk menjadikan hobi saya menjadi bisnis, saya langsung melakukan persiapanpersiapan. Saya tidak mengubah apa yang selama ini telah berjalan, termasuk media gentong yang membungkus air terjun. Nama dagang pun sesuai dengan produknya, saya pilih nama "Curug Gentong". Curug dalam bahasa Sunda berarti air terjun," jelas Rico yang terjun ke bisnis ini tahun 2003. Dengan modal yang relative tidak besar, Rico memulai bisnisnya dengan memproduksi beragam curug gentong dengan desain-desain unik. Produk-produk itu kemudian diperkenalkannya lewat berbagai pameran. Ternyata responnya sangat bagus. Sejak awal dilempar ke pasar umum, tingkat penjualan sudah menunjukkan angka menjanjikan. Dia pun mulai mendapat pesananpesanan dari buyer local maupun asing lewat pameran-pameran yang diikutinya. Keberhasilan ini bukan hanya mengangkat nama Rico sebagai pengusaha sekaligus pembuat curug gentong

tapi juga Dinas Perdagangan dan Perindustrian Kota Depok, Jawa Barat, yang menetapkan karyanya sebagai salah satu produk unggulan kota Depok. "Saya memang belum pernah berpameran ke luar negeri. Namun sejumlah pembeli asing, entah wisatawan atau buyer, saya dapat dari berbagai pameran di dalam negeri. Malah baru-baru ini saya dapat buyer dari Malaysia dan Singapura, mereka memesan curug gentong," kata Rico yang mengaku hanya mengandalkan pemasarannya hanya pada pameram-pameran. Memang Rico tidak memasukkan produknya ke art shop-art shop atau gallery yang banyak bertebaran di mana-mana. Bukannya tak ada permintaan untuk hal tersebut, namun menurut Rico karena produk yang dijualnya bukan barang biasa. "Produk saya perlu perawatan rutin agar tidak rusak. Misalnya, harus menambahkan air setiap dua pekan sekali, atau membersihkannya sebulan sekali. "Nah, hal ini kan tak mungkin dilakukan (perawatan yang telaten) oleh petugas toko tempat barang ini dititip. Bisa-bisa barang saya jadi rusak. Kalau sudah begitu, kan, bisa sia-sia kerja saya. Makanya saya putuskan tidak menitipkan di art shop atau gallery, meski ada permintaan untuk itu," tandasnya. Karena belum memiliki gallery khusus di lokasi strategis, maka Rico membangun ruang pamer di rumahnya sendiri. Dengan begitu bila ada pembeli datang, bisa langsung memilih sesuai yang diinginkan. Seiring makin derasnya permintaan, dia merekrut empat karyawan yang masing-masing menghasilkan enam curug gentong pertiga hari. Dengan demikian per bulan rata-rata produksi mencapai ratusan curug gentong. Bisa dibayangkan berapa produksi curug gentong Rico per tahunnya. Ini belum termasuk kalau ada pesanan maka ketiga anak maupun istrinya pun ikut terlibat dalam pembuatan. "Saya mengajarkan pembuatan curug gentong ini pada istri dan ketiga anak saya. Boleh dibilang merekalah murid saya pertama. Sekarang mereka sudah menguasai pembuatannya dan aktif membantu. Selain itu istri saya juga terlibat dalam manajemen usaha ini," tuturnya. Bicara pengadaan material curug gentong, Rico mengatakan, sejauh ini tidak menemukan kendala yang berarti. Hal ini karena material yang digunakan selain berasal dari dalam negeri juga mudah mendapatkannya. Batu karang, batu apung dan semen. Sedang gentongnya didapat dari Tangerang dan Serang. "Tapi khusus untuk kelas menengah atas, saya menggunakan gentong keramik supaya lebih elegan dan eksklusif," ucapnya. Dari segi desain dia pun tidak merasa kesulitan. Idenya dari alam, tambah Rico yang mengaku bila merasakan kebuntuan ide, dia lantas lari ke alam. "Alam menjadi sumber inspirasi saya. Saya tidak mencarinya di buku atau media lain. Justru kalau sekadar menjiplak dari majalah atau yang lain, ide saya jadi buntu," papar Rico yang telah mematenkan karyanya sejak dua tahun lalu. Tak Khawatir Dijiplak

Mengomentari tentang kerapnya produk-produk laris mengalami penjiplakan dari pihak lain, Rico dengan santai mengaku, tidak mengkhawatirkan hal tersebut. "Kalau ada yang menjiplak, ya bagus lah, berarti ikut mengentaskan pengangguran. Saya tidak merasa tersaingi, saya sudah siap kok," ujar Rico santai. Baginya persaingan justru lebih bagus semakin memacu kreativitasnya. Kuncinya, harus kreatif dan inovatif, desain harus terus diperbaharui. Misalnya, curug gentong yang tampak seolah mengeluarkan asap, atau curug gentong aromatherapy, curug gentong yang bisa digantung juga curug dalam pigura. "Atau membuat semacam maket. Misalnya di satu meja, kita bisa membuat perkampungan, persawahan, dll. Jadi intinya kita harus kreatif". Untuk karyanya, Rico mengaku tidak mematok harga tinggi. Variasi harga berkisar antara Rp 200.000 sampai Rp 2 juta. Tidak terlalu mahal memang untuk sebuah karya seni yang unik. "Sebab saya ingin semua lapisan masyarakat bisa menikmatinya juga. Harga semakin tinggi kalau tingkat kesulitan pembuatannya makin rumit," ucapnya sambil menunjuk sebuah curug gentong yang dihargainya Rp 800 ribu. Kebetulan ketika berkunjung ke standnya, curug gentong yang tersisa hanya beberapa. Itupun yang harganya di bawah Rp 1 jutaan. "Yang lain sudah laku terjual. Termasuk curug gentong yang terbuat dari keramik," kata Rico yang juga menyelenggarakan kursus pembuatan curug gentong di rumahnya. Ada pula curug gentong hasil kreatifitas Rita Apriyanti. Anda tentu sudah memahami bahwa di balik kesulitan selalu ada kemudahan. Tapi, tahukah Anda bahwa kesulitan yang dialami satu pihak berarti peluang bisnis bagi pihak yang lain? Karena, pihak yang lain melalui berbagai cara akan berusaha mengubah kesulitan itu menjadi kemudahan. Hal ini pulalah yang dilakukan oleh Rita Apriyanti, kala melihat temannya yang akan pindah rumah mengalami kesulitan memindahkan landscape di rumahnya. Pada 2003, dengan modal awal Rp5 juta (1,5 tahun kemudian modal usaha ini berkembang menjadi Rp10 juta, red.), ia membuat landscape yang dinamai curug gentong. Curug gentong yang fokus utamanya pada suara gemericik air, seolah-olah menghadirkan nuansa alam di dalam rumah sehingga muncul ketenangan batin," jelasnya. Selain itu, curug gentong yang ditawarkan dengan harga Rp100 ribu hingga Rp750 ribu ini, juga dapat dipindah-pindahkan. Untuk menciptakan nuansa alam di dalam gentong, digunakan berbagai macam bahan baku seperti limbah batu apung, kerikil, semen, dan kayu yang dibentuk sedemikian rupa. Selanjutnya, dengan lem khusus, bahan-bahan tersebut direkatkan ke dalam "perut" gentong yang sebagian sudah dilubangi dengan alat khusus atau cukup dengan tangan. Untuk membuatnya lebih indah, curug gentong ini dihiasi dengan lampu air berkekuatan 10 watt sampai 25 watt atau lampu bohlam berkekuatan 5 watt. Untuk membuat curug gentong ini, setiap bulan, Rita membelanjakan uangnya sebesar Rp 2 juta sampai Rp3 juta untuk membeli 100 gentong dalam berbagai ukuran dan bentuk. Dalam hal ini, ia menjalin kerja sama dengan pengrajin gentong di Plered, Purwakarta. 50 gentong diproduksi untuk memenuhi pemesanan dan sisanya dibuat sebagai persediaan. "Dalam sebulan, rata-rata

terjual 50 gentong. Jumlah ini meningkat 30% usai pameran," kata perempuan yang rata-rata meraup omset Rp5 juta hingga Rp15 juta setiap bulannya. Untuk meningkatkan penjualan, ia aktif berpromosi. Di samping itu, juga melayani mereka yang membeli untuk dijual kembali dengan sistem beli putus. "Tapi, setelah satu bulan curug gentong yang mereka ambil ternyata tidak laku, mereka boleh mengembalikannya untuk tukar model," ujarnya. Sekadar informasi, curug gentong kini telah merambah Batam, Pekanbaru, Samarinda, Lampung, Sumatera Barat, Malang, dan Ternate. "Sedangkan untuk Malaysia, Singapura, dan Filipina dilakukan olehbuyer," imbuhnya. Servis seperti tersebut di atas tidak hanya diberikan Rita kepada para distributor, tetapi juga kepada para konsumennya. "Terus menerus terkena air dan juga karena dimakan waktu, akan membuat warna cat memudar (bukan mengelupas,red.). Konsumen dapat meminta untuk dilakukan pengecatan ulang dengan charge 50 ribu hingga Rp100 ribu. Tapi, hal ini hanya boleh dilakukan setelah enam bulan curug gentong itu dibeli," katanya. Selain itu, bila konsumen sudah bosan dengan model curug gentongnya, mereka dapat menggantinya dengan menukar tambah sebesar Rp50 ribu. "Syaratnya, barang tidak dalam kondisi rusak atau cacat," lanjutnya. Rita yang dalam bisnis ini dibantu suami dan lima karyawan freelance yang masing-masing dibayar Rp100 ribu/minggu, juga membuat miniatur taman berikut air terjunnya untuk digantung dengan media kayu, sehingga mirip dengan lukisan. Selain itu, juga membuat taman dan air terjun mini di dalam pot bonsai, kaleng biskuit, dan guci. "Karena saya belum mempunyaioutlet, konsumen yang ingin membeli atau memesan curug gentong sesuai dengan model yang mereka inginkan, dapat langsung datang ke home industry saya di kawasan Pancoran Mas, Depok," ucap wanita yang dalam waktu dekat berencana membuka gerai di Batam. (fn/lp/ok/mb/mp) www.suaramedia.com

Semangat Rangga, Jadikan Lele Hasilkan Omzet Ratusan Juta


agi penikmat pecel lele, tak sulit menemukan warung tenda terdekat dari rumah. Sepiring lele goreng dengan sambal terasi, lalapan, dan nasi hangat pun siap disantap. Nah, bagaimana jika Anda diberi sederet menu ikan lele, namun dengan variasi rasa yang memancing lidah? Sebut saja Lele Saos Padang yang pedas segar, Lele Filet Aneka Bumbu yang praktis dinikmati untuk si kecil, atau Lele Bakar Afrika. Tergodakah untuk mencoba? Menu semacam ini hanya bisa ditemukan di rumah makan Pecel Lele Lela, hasil racikan pengusaha muda Rangga Umara (30). Bapak dua anak penggemar pecel lele ini mengklaim bisnis pecel lele miliknya berkonsep modern. "Seluruh Indonesia pasti punya bentuk sama, pecel lele konvensional dengan warung tendanya," ujar Rangga, yang pernah mendapat kesempatan

berkeliling 20 kota untuk mengamati dimana saja pecel lele gaya konvensional tersebar. Desember 2006, hanya bermodalkan Rp 3 juta, pria yang sering diminta menjadi mentor di komunitas wirausaha, Entrepreneur University ini, membuka usaha warung lele dengan sistem setoran ke pemilik tempat. Namun usahanya tak bertahan lama, karena pengelolaan uang yang keliru, dan sistem yang dirasanya tak bisa membuat usahanya berkembang. Kawasan Kalimalang, Jakarta Timur, lantas dipilihnya untuk membuka rumah makan dengan lele sebagai menu utamanya, yang diolah dengan ragam pilihan rasa. Warna hijau dan logo yang memancing mata pengguna jalan kemudian mulai mendatangkan pengunjung. Karena baginya, dengan menu sederhana, disukai siapa saja, mudah didapat, dimodifikasi dengan varian rasa dan tampilan yang lebih modern, Rangga yakin warung lelenya akan laku. Buka cabang hitungan bulan Hingga 2009, Rangga mampu mengelola 14 cabang Pecel Lele Lela di kawasan Jabodetabek, dengan sistem kemitraan dan total 160 karyawan. Tahun ini ia berencana membuka sistem franchise dan ekspansi ke kota besar seperti Semarang, Bali, dan Yogyakarta. Melalui sistem Tracking Sales harian yang dibangunnya, Rangga, dibantu General Manager Operational di semua outlet, mampu membukukan pendapatan senilai Rp 750 juta per bulan dengan menarik 40.000 pelanggan dalam sebulan, dengan rata-rata belanja Rp15.000 per konsumen. Keuntungan yang dinikmatinya, 30% dari total omzet. Jumlah lele yang dibeli juga tak tanggung-tanggung, sebanyak 100 kg lele per hari per outlet (rata-rata warung lele konvensional bermodal 5-10 kg ikan lele per hari). Setengah dari lele segar ini didapatnya dari peternakan lele hasil kerjasama dengan Lembaga Penelitian Institut Pertanian Bogor. "Awalnya coba-coba, sekarang menjadi terkaget-kaget dengan perkembangannya," tukas Rangga merendah. Pecel lele dari restorannya cukup diminati orang segala kalangan, lantaran menu dan kemasan yang diberikan restorannya berbeda dari warung tenda biasa. Namun dengan menu yang cukup "mengundang" tersebut, harga yang ditawarkan tak terlalu mahal. Contohnya Lele Saos Padang, yang menjadi menu favorit pengunjung, harganya hanya Rp 12.000. Dengan model bisnis kuliner ini, pria yang lebih senang berkantor dengan berkeliling outlet-nya ini berhasil memancing penggemar baru. "Orang yang tadinya tidak suka makan lele, jadi tertarik datang, mencicipi dan menikmati, karena menunya lebih beragam. Anak yang tak suka makan ikan bisa mencoba bentuk masakan

baru lele dengan dibuatkan Lele Fillet," jelasnya. Ekspansi melalui franchise Seperti makna merek yang dipilihnya, "Lela", alias "Lebih Laku", Rangga membuktikan keyakinan kuat, didukung sikap pantang kalah serta semangat untuk terus belajar, membuat Pecel Lele Lela beraset ratusan juta rupiah. Untuk perluasan bisnis, Rangga menawarkan sistem franchise dengan nilai investasi mulai dari Rp 150 juta hingga Rp 250 juta, termasuk training karyawan. Sistem ini terbagi menjadi dua tipe investasi dengan franchise fee dibandrol Rp 40 juta. Pria yang menggaet sejumlah penghargaan atas ide kreatif bisnis lele konsep modern ini mengaku semua ide usahanya lahir dari "kecelakaan". Dari bercita-cita membangun usaha kuliner, hobi makan pecel lele, mengamati pasar dan segmen lele, baik melalui media cetak maupun datang langsung ke lapangan, belajar dan diskusi dalam komunitas pengusaha, riset sederhana, berakhir dengan nekad buka usaha. "Terlalu banyak riset dan perhitungan, tetapi tak pernah berani memulai dan belajar dari kesalahan, tak bisa membuat bisnis berkembang," tegas Rangga. Kebanggaannya tentu makin bertambah ketika ia diminta menjadi pembicara dalam Program Indonesia Sehat. Bisnisnya dianggap ikut mendukung kampanye makan ikan bentukan pemerintah. Sukses, dan bikin orang sehat, adakah yang lebih membahagiakan? Info cabang terdekat dan peluang franchise: Anto, 021-960 35645/ 0819 32150611 Sementara itu, banyak selebriti yang menekuni dunia wirausaha, terutama membuka restoran. Tina Astari salah satu dari daftar selebriti yang membuka usaha tempat makan ini. Pecel lele jadi pilihan menu untuk usaha baru bintang yang berwajah mirip Della Puspita tersebut. Selain itu, Tina sendiri memang penggemar masakan lele, itu yang membuatnya membuka usaha pecel lele. Tina mengembangkan bisnis tempat makan ini dengan program UKM. "UKM ini kita mengejar pasar menengah ke bawah. Lele itu harganya murah dan identik dengan tenda-tenda pinggiran, yang beli orang biasa aja. Kita justru mau bikin memodernkan si lele ini biar orang nggak gengsi makan," terang Tina yang ditemui di restoran Pecel Lele di daerah Kali Malang. "Dengan Pecel Lele Park ini orang yang menengah ke atas tidak malu untuk memakan lele, jadi nggak gengsi karena kita bikin tempatnya yanghappening, full colour, keluarga bisa makan," kilahnya. Bisnis tempat makan ini bukan satu-satunya usaha yang dijalankan bintang ini. Karena gemar berwirausaha, Tina juga membuka usaha cafe. Dan tentu saja, ini bukan usaha terakhir yang akan dilakukannya. "Basicly aku mau berwirausaha. Aku punya cafe di Bogor. Aku berpikir setelah punya cafe mau bikin UKM-UKM yang omzetnya bisa melebihi cafe," terang bintang yang pernah belajar Manajemen di fakultas Ekonomi Trisakti ini.

Berwiraswasta juga dijadikan Tina sebagai karir alternatif selain di dunia hiburan. "Aku sih mau dua-duanya jalan karena beda, entertaint berbicara masalah hobi, masalah kesenangan batin tapi kalau usaha ini lebih ke sosial, kita hidup di dunia mau apalagi kalau bukan saling membantu, gotong royong," tambah Tina. (fn/km/kp) www.suaramedia.com

Anda mungkin juga menyukai