Anda di halaman 1dari 6

PAPER PENGARUH PERUBAHAN IKLIM TERHADAP MANAJEMEN AGROEKOSISTEM

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Terstruktur Mata Kuliah Managemen Agroekosistem

KELAS G Anggota Kelompok : APRILIA ANTIKA DEWI DWI HARDINA AMELIA R MEGA APRILIYANTI GATOT DWI WIJAYANTO RIAN IRMANSYAH (105040200111176) (105040200111191) (105040200111207) (105040200111177) (105040200111192)

PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA 2012

PENDAHULUAN

Perubahan iklim yang dipicu oleh meningkatnya gas-gas rumah kaca (GRK) telah menjadi perhatian masyarakat dunia. Karbon yang merupakan salah satu GRK konsentrasinya meningkat di atmosfer antara lain disebabkan oleh meningkatnya penggunaan bahan bakar fosil untuk alat transportasi atau sebagai bahan bakar industri dan pemakaian bahan-bahan kimia yang menimbulkan efek negatif terhadap atmosfer seperti meningkatnya GRK. Suhu rata-rata permukaan bumi meningkat dan terjadi penipisan lapisan ozon. Pantulan sinar matahari dari permukaan bumi tidak menembus awan dan kembali dipantulkan dan kembali dipantulkan ke atmosfer sehingga suhu permukaan bumi menjadi naik. Peningkatan GRK terutama karbondioksida (CO2) di atmosfer dianggap sebagai penyebab utama terjadinya perubahan iklim global. Iklim adalah unsur utama dalam sistem metabolisme dan fisiologi tanaman. Menentukan pola tanam, menentukan jadwal dan saat tanam , management pertanian yang lebih efisien, pertanian berkelanjutan. Perubahan iklim mempengaruhi setidaknya tiga unsur iklim dan komponen alam yang sangat erat kaitannya dengan pertanian, yaitu naiknya suhu udara yang juga berdampak terhadap unsur iklim lain, terutama kelembaban dan dinamika atmosfer serta naiknya permukaan air laut akibat pencairan gunung es di kutub utara. Pada sisi lain, ekosistem hutan berperan dalam mitigasi perubahan iklim karena mampu mereduksi CO2, penyerapan karbon dari atmosfer dan penyimpanan dalam beberapa kompartemen seperti seresah, tumbuhan, seresah, dan materi organik tanah. Dari sinilah kami akan mengkaji lebih mendalam tentang dampak perubahan iklim terhadap managemen agroekosistem serta kaitannya dengan kasus dan isu pertanian terkini.

PEMBAHASAN

A. Sulitnya Menentukan Varietas Dan Kalender Tanam Pemanasan global telah mengacaukan musim hujan dan musim kemarau. Para petani kini sulit menentukan jenis varietas dan kalender tanam lantaran iklim sulit diduga. Di berbagai wilayah Indonesia kekeringan dan banjir menggagalkan produksi pangan. Sawah banyak puso atau gagal panen lantaran kemarau panjang dan banjir. Para petani mestinya tidak begitu saja pasrah. Di sejumlah kabupaten/kota, berbagai kelompok petani kini aktif mengikuti sekolah lapangan iklim. Mereka berharap bisa lebih mudah dan pasti dalam menetapkan varietas serta kalender tanam, sesuai gejala-gejala iklim yang dipelajari. Iklim yang sulit diperhitungkan menyebabkan petani sulit menyusun kalender tanam. Jadi apabila musim kemarau, lahan pertanian mengalami kekeringan. Sedangkan jika musim hujan yang terjadi adalah banjir. Petani jelas mengalami kerugian karena ramalan iklim susah ditebak. Petani kecolongan di lapangan. Petani hanya mampu menyiasati bagaimana sebelum kekeringan, panen sudah selesai. B. Perubahan Iklim Sebagai Sumber Bertambahnya Hama Dan Penyakit Dampak perubahan iklim yang ekstrim (la-nina dan el-nino), serta

keanekaragaman stadia tanaman di ekosistem pertanian khususnya tanaman padi sawah, kerap kali menjadi kendala dalam peningkatan produksi. Pengaruh iklim tersebut dapat bersifat positif maupun sebaliknya. Pengaruh positif dari el-nino misalnya terputusnya siklus hidup hama akibat kekeringan sehingga tanaman relatif sedikit terutama di lahan tadah hujan. Kesuburan tanahpun meningkat atau relatif lebih baik karena tanah mengalami masa istirahat selama musim kemarau (aerasi tanah meningkat). Meskipun demikian dalam beberapa kasus cenderung terjadi hal yang bersifat negatif khususnya bagi kehidupan organisme pengganggu tanaman (OPT) seperti terjadinya hibernasi (mengalami masa istirahat selama musim dingin) dan aestivasi (mengalami masa istirahat selama musim panas). Misalnya Wereng Batang Coklat (Nilaparvata lugens) membentuk biotipe-biotipe baru selain akibat penggunaan varietas. Larva Penggerek Batang Padi Putih (Scirpophaga sp) mengalami masa diaphause sebelum menjadi dewasa. Keadaan tersebut dampak dari kombinasi seleksi alam yang cukup kuat.

Pada bagian lainnya tanah sebagai media hidup tanaman di beberapa tempat kerap kali digunakan secara terus menerus tanpa mengalami masa istirahat selama pengairan mencukupi, dan pemberian nutrisi tanaman sering yang bersifat instant berupa pupuk anorganik. Akibatnya mikro organisme dalam tanah yang berfungsi bersifat pengurai kian menipis, dan kualitas tanah pun baik sifat fisik, kimia, dan biologi tanah menurun. Selanjutnya berdasarkan Epidemiologi penyakit tanaman dikenal istilah Segitiga Penyakit (Triangle diseases) yaitu perkembangan penyakit disebabkan oleh 3 faktor : (1) Patogen yang virulen ; (2) Tanaman inang yang rentan ; dan (3) Lingkungan yang mendukung, kemudian berkembang menjadi Segi empat Penyakit (Squere diseases) karena perkembangan penyakit tanaman tersebut tidak terlepas dari peran manusia sebagai pengelola usahatani. Selain itu maraknya berbagai merk dagang sarana produksi pertanian yang bersifat instant baik pupuk an-organik maupun pestisida sintetis (tercatat diatas 1.070 merk dagang pestisida yang terdaftar). Dengan pemahaman petani yang kurang dalam menggunakannya secara bijaksana, berdampak petani memilih cara yang praktis dan tidak lagi peduli dengan bahan-bahan alami yang tersedia di lingkungan sekitarnya. Baik sebagai nutrisi tanah dan tanaman, maupun sebagai pestisida nabati Pengamatan lapang menunjukkan bahwa pengendaliaan hama-penyakit secara hayati dengan mikroorganisme justru melebihi efektifitas pengendalian kimia. Misalnya penggunaan virus penyebab penyakit serangga Se NPV (Spodoptera exigua nucleopolyhedrosisvirus) untuk ulat bawang sangatlah efektif. Virus ini mampu menekan ulat bawang di lapangan hingga 95 persen, dibanding dengan insektisida kimia yang rata-rata menekan hama hanya sekitar 60 persen. Mikroba menguntungkan lain misalnya plant growth promoting rhizobacteria (PGPR, bakteri pemacu pertumbuhan tanaman), telah digunakan petani di Bumijawa Tegal dan Cibungbulang, Bogor untuk melindungi tanaman cabai dari penyakit patek, terong dari busuk batang, dan jagung dari bulai. Selama dua tahun terakhir petani di kedua daerah tersebut telah menggunakannya pada lahan seluas kurang lebih 50 ha. Saat ini Klinik Tanaman IPB sedang mengembangkan dan menyebarluaskan beberapa mikroba berguna untuk pengendalian hama/penyakit tanaman. Akibatnya kualitas tanah memburuk dan perkembangan OPT meningkat. Ini merupakan efek bumerang bagi petani dan merupakan tantangan bagi para petugas pertanian. Karena bagaimanapun petani sebagai subyek usahatani, harus mampu menyesuaikan dengan alam terhadap perubahan iklim. Dan meminimalisir resiko yang akan dihadapi dari gangguan serangan OPT, oleh karenanya petani harus mampu merencanakan usahatani yang dikelolanya sejak dini dan peningkatan pemahaman

agroekosistem oleh petani sehingga lebih jeli mengamati dan menyikapi perubahan. Kemampuan petani untuk mengenali, menganalisis, dan memutuskan suatu tindakan merupakan kunci keberhasilan adaptasi pertanian terhadap perubahan iklim, khususnya kaitannya dengan hama dan penyakit tanaman. Pendekatannya bisa berupa Sekolah Lapangan, baik sekolah lapangan iklim maupun pengendalan hama terpadu. C. Kegagalan Panen Dan Kerugian Petani Sebagai Dampak Perubahan Iklim Perubahan iklim dapat diterjemahkan sebagai perubahan dalam jangka waktu lama dalam distribusi statistik dari pola cuaca menurut periode waktu mulai dari ratusan tahun hingga jutaan tahun. Perubahan iklim saat ini dapat menyebabkan pemanasan global yang saat ini sedang menjadi masalah di dunia. Dampak perubahan iklim ini sangat beragam, salah satunya yaitu kegagalan panen yang dirasakan oleh para petani. Kegagalan panen dan ketahanan pangan banyak dirasakan oleh masyarakat terutama di Indonesia. Ketahanan pangan dapat diartikan sebagai kondisi dimana semua orang setiap saat mendapatkan akses fisik, sosial dan ekonomi pada makanan yang cukup, aman dan bergizi untuk memenuhi kebutuhan makanan hariannya dan makanan untuk menunjang kegiatan dan kesehatan. Perubahan iklim berpengaruh pada ketahanan pangan baik secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung misalnya dengan perubahan iklim maka akan terjadi perubahan kapan turunnya hujan, lamanya musim tanam, banjir, kekeringan, dll. Sementara secara tidak langsung akan berpengaruh terhadapat perubahan harga karena stok yang berkurang, pengaruh ke distribusi makanan, dll. Sebagai contoh di beberapa wilayah Indonesia seperti NTT atau NTB, pengaruh datangnya musim kering yang berubah ternyata berpengaruh besar pada produksi pertanian yang ada, demikian juga dengan beberapa wilayah lain di Jawa, dimana musim hujan yang extrem menyebabkan areal padi menjadi puso / gagal panen. Pada wilayah pesisir perubahan iklim berpengaruh pada saat turun ke laut yang terbatas karena besarnya gelombang yang menyebabkan hasil tangkapan ikan dan hasil laut lainnya menjadi lebih sedikit. Ditinjau dari aspek agrnomi, tanaman yang seharusnya di tanam di bulan-bulan basah (misalnya padi) saat ini sangat menguntungkan karena ketersediaan air melimpah. Pada bulan April hingga September seharusnya di Indonesia mengalami musim kering atau bulan kering. Tetapi karena adanya perubahan iklim yang tak menentu, terkadang terjadi hujan yang tak kunjung berhenti yang menyebabkan tanaman yang cocok ditanam di bulan kering (misalnya jagung) akan mengalami kebanyakan air yang dapat menyebabkan timbulnya hama dan penyakit yang dapat mempengaruhihasil panen.

D. Dampak Jangka Panjang Perubahan Iklim Terhadap Ancaman Kelaparan Dunia Masalah krisis pangan memang makin menghantui penduduk dunia. Pasalnya, dengan semakin membludaknya jumlah penduduk dunia namun jumlah lahan pertanian semakin sempit belum lagi masalah cuaca yang saat ini tak menentu membuat pasokan pangan dunia makin surut. Menurut catatan PBB, pada Oktober ini akan lahir penduduk bumi yang ketujuh miliar. Jumlah manusia penghuni bumi akan terus meningkat dan pada 2050 diperkirakan akan mencapai 9,5 miliar orang atau meningkat lebih dari 35 persen. Masalah mendasar adalah bagaimana mencukupi kebutuhan makan bagi penghuni planet bumi yang terus meningkat pesat itu. Sedangkan kita tahu, sekarang ini pun masih banyak penduduk dunia yang mengalami kelaparan dan sangat banyak yang hidup dalam zona rawan pangan. Oleh sebab itu, Indonesia dengan penduduk terbesar keempat di dunia wajib memikirkan dengan sungguh-sungguh masalah pangan ini. Pada situasi sekarang, keadaan pangan secara umum di Indonesia masih bisa mengimbangi pertambahan penduduknya. Oleh karena ini kondisi pangan kita masih mengandung kerawanan. Ketahanan pangan adalah salah-satu topik yang dibahas dalam pertemuan World Economic Forum 2012 di Davos yang tengah berlangsung sekarang. Topik ini faktual, mengingat sebagaimana dilaporkan World Disaster Report 2011, dari 925 juta penduduk dunia yang menderita kelaparan. Yang mana, sekitar 62% atau sekitar 578 juta diantaranya tinggal di kawasan Asia Pasifik. Berdasarkan laporan Foresight Project (2011), mayoritas penduduk dunia yang menderita kelaparan adalah para petani pangan skala kecil yang hidup dalam kemiskinan ekstrem. Karenanya, jalan keluar untuk keluar dari ancaman kelaparan dunia adalah melindungi para petani pangan skala kecil dengan cara menghentikan perampasan atas lahan garapan mereka.

Anda mungkin juga menyukai