disadvantages
Supported by CAFTA
Terdapat gerakan masyarakat dunia, yang mendorong terjadinya kebebasan dan peniadaan sekat hambatan atas lalu-lintas barang dan jasa (hngga isu visa/ijin berkunjung), karena hambatan akan dianggap distorsi, dan biaya. Konsumen akan diuntungkan.
Mulai berpikir ulang, mengenai hambatan perdagangan (tarif dan nontarif), seperti: kuota, subsidi, autarchy policy, standar produk, isu administrasi, isu devisa, dll. Menguatnya ide solusi yang saling menguntungkan (cooperative solution), etc.
Perang dominasi dan kolonialisasi masih belum usai. Intervensi ekonomi berkedok peluang investasi dan pertumbuhan ekonomi, dijadikan dalil bagi keterbukaan ekonomi. Negara yang tidak mau membuka diri, akan dikucilkan.
Terdapat fakta adanya ketimpangan kapasitas dan gap kinerja ekonomi, meskipun antar negara, dalam satu kawasan yang sama. Hal ini akan menimbulkan eksploitasi satu negara kepada negara lainnya
Kondisi yang tidak setara ini, mendorong masih adanya pengenaan tarif dan non-tariff policies). Terkadang, satu negara masih menetapkan hambatan perdagangan, dalam rangka melindungi kepentingan domestik, meskipun negaranya sudah sejahtera.
Contoh Terkait
WTO (World Trade Organization) dalam satuan lingkup dunia AFTA, NAFTA, Uni Eropa, dll dalam satuan lingkup kawasan geografis
Amerika bertahan untuk memberi perlindungan pada produk pertaniannya. Produk pertanian yang masuk ke Amerika, tetap diberi hambatan tarif yang tinggi.
Risiko
Dimungkinkan, munculnya negara-negara yang menjadi the looser, akibat kebijakan perdagangan kawasan internasional ini. Indonesia, menjadi contoh negara yang berpotensi kalah, dalam perdagangan intra kawasan (dengan sesama negara anggota CAFTA). Negara yang lebih murah biaya produksinya, akan mengalami limpahan relokasi industri
4 Nop 2002, GOI bersama ASEAN menyetujui Framework Agreement on Comprehensive Economic Co-operation between the Association of South East Asian Nations and the Peoples Republic of China. Melalui China-ASEAN Free Trade Area (CAFTA) ini, maka ASEAN dan China menjadi kawasan pasar bebas. Khusus negara ASEAN-6 (Indonesia, Singapura, Thailand, Malaysia, Filipina dan Brunai) telah menerapkan bea masuk 0% per Januari 2004 untuk beberapa produk berkategori Early Harvest Package
Terdapat kelonggaran waktu bagi 4 negara baru ASEAN, dalam memnuhi standar persetujuan CAFTA
Maret 2012, Indonesia dan beberapa negara ASEAN, meminta tinjau ulang beberapa hal terkait CAFTA.
Perkembangan Tariff
Sejak 2004, tiap tahun pemerintah Indonesia terus mengurangi besaran/persen bea masuk (BM) produk impor dari China. Dalam 5 tahun terakhir (2004-2009), sekitar 65% produk impor dari China telah mendapat stempel BM nol persen dari Dirjen Bea & Cukai Departemen Keuangan RI. Pada Januari 2010 ini, sebanyak 1598 atau 18% produk China akan mendapat penurunan tarif BM sebesar 5%. Sebanyak 83% dari 8738 produk impor China akan bebas masuk ke pasar Indonesia tanpa dikenai BM sepersenpun pada Januari 2010. Ini berarti pemerintah Indonesia telah menerapkan sistem pasar bebas yang seluas-luasnya dengan China.
Dampak CAFTA
Sejak 2010 ini jumlah produk China semakin membanjiri pasar Indonesia. Peningkatan permintaan produk China akan menguntungkan China karena secara langsung memperluas lapangan pekerjaan di China, disisi lain industri-industri kecil Indonesia akan mulai berguguran yang akhirnya dapat mengurangi lapangan pekerjaan. Jauh sebelum penerapan pasar bebas Indonesia-China ini, selama 5 tahun terakhir Indonesia mengalami kerugian BoP Indonesia-China. Dalam kurun 2003-2009, Indonesia mengalami defisit perdagangan non-migas dengan China sebesar 12.6 miliar dolar AS atau hampir Rp 120 triliun .
Tingkat Suku bunga mempengaruhi inflasi dan tingkat pengembalian modal investasi (return of investment). Suku bunga yang terlalu rendah dapat menyebabkan kenaikan inflasi, dan sebaliknya, akan menyebabkan resiko usaha sektor riil semakin berat. Oleh karena itu, dunia perbankan harus jeli menjalankan fungsi intermediasinya dengan benar antara tingkat suku bunga yang kompetitif terhadap return investasi di sektor riil serta inflasi. Dalam hal ini, tingkat kompetitif Indonesia masih jauh dibanding China. Suku bunga kredit Indonesia mencapai lebih dari 10% per tahun, sementara pengusaha China hanya membayar suku bunga tidak lebih 7% (data tahun awal 2009 : Indonesia - China). Ini berarti pengusaha China akan jauh lebih mudah memainkan harga yang lebih murah dibanding
Dampak CAFTA
Dari analisis, daya saing produk-produk industri dan manufaktur, ditemukan daya saing produk Indonesia ke sesama negara ASEAN hanya 15% yang daya saingnya bersifat kuat, hampir 60% lemah; sedangkan daya saing produk Indonesia terhadap China yang kuat hanya 7%, sedang 29% dan lemah 55%. Sektor yang kemungkinan akan mengalami kekalahan perdagangan dalam ACFTA adalah usaha dalam skala UMKM. (analisis lebih lanjut, dapat dilihat melalui analisis Kementrian Perindustrian dan juga analisis Pariaman Siregar) Berdasarkan indeks kompetitif ekonomi China vs Indonesia, maka dapat disimpulkan pula bahwa biaya ekonomi produksi Indonesia tergolong lebih tinggi dibanding dengan China. Hal tersebut terutama disebabkan ketidakefisienan birokrasi pemerintah yang mengakibatkan ekonomi biaya tinggi dan ketidakstabilan politik. Infrastruktur yang buruk meliputi kualitas jalan raya, alat transportasi, fasilitas telekomunikasi, dan listrik. Itu pula yang menjadi alasan mengapa para investor asing lebih suka mengambil alih (take over) pabrik di Indonesia daripada membangun pabrik baru. Dan sebagian diantaranya lebih senang menginvestasi dalam bentuk pasar modal (hot money).
CAFTA
CAFTA
CAFTA