Anda di halaman 1dari 4

Gelisah pada geriatri a.

Delirium Delirium yang dikenal juga dengan sebutan acute confusional state adalah sebuah gangguan yang umum, serius, tetapi secara potensial dapat dicegah. Delirium merupakan sumber morbiditas dan mortalitas di antara pasien-pasien geriatri yang dirawat. Gejala delirium sangat beragam dan, walaupun tidak spesifik, sifatnya yang fluktuatif sangat nyata dan merupakan indikator diagnostik yang sangat penting. Terdapat tiga bentuk delirium yang telah diketahui, yaitu: tipe hiperaktif, hipoaktif, dan campuran. Tipe hipoaktif seringkali tidak dikenali dan dihubungkan dengan prognosis yang buruk secara keseluruhan. Tipe ini juga sering terjadi pada pasien yang usianya cenderung lebih tua.

Kriteria Diagnostik Delirium 1) Gangguan kesadaran (berkurangnya kewaspadaan terhadap lingkungan) dengan penurunan kemampuan untuk memusatkan, mempertahankan dan mengalihkan perhatian 2) Perubahan kognisi (seperti kemunduran ingatan, disorientasi, gangguan berbahasa) atau adanya gangguan persepsi yang tidak dapat dimasukkan ke dalam pre-demensia, demensia yang sudah ada atau demensia yang sedang muncul. 3) Gangguan berlangsung dalam waktu yang singkat (biasanya jam sampai beberapa hari) dan cenderung untuk berfluktuasi selama berlangsungnya. 4) Adanya bukti dari riwayat penyakit, pemeriksaan fisik dan penemuan pemeriksaan laboratorium yang mengindikasikan bahwa gangguan ini merupakan konsekuensi fisiologis dari kondisi medis umum. a) etiologi delirium Beberapa faktor risiko yang berasal dari diri pasien sendiri adalah usia, adanya defisit kognitif yang sudah ada sebelumnya, penyakit medis yang berat, adanya riwayat delirium sebelumnya dan kepribadian sebelum sakit. Pada beberapa operasi, misalnya operasi panggul, delirium juga sering dialami oleh pasien sesudah operasi. Kondisi khusus, misalnya luka bakar, AIDS, fraktur, hipoksemia, insufisiensi organ, infeksi, serta gangguan metabolik, juga dapat merupakan faktor risiko terjadinya delirium. Pemakaian obat-obatan memegang peranan penting terhadap terjadinya delirium. Banyak obat yang dapat menyebabkan delirium, namun ada beberapa obat,

misalnya benzodiazepine, narkotik dan obat-obat dengan aktivitas antikolinergik, yang mempunyai kecenderungan lebih untuk menyebabkan delirium b) Komplikasi Delirium sendiri dapat menimbulkan komplikasi lain yang banyak terjadi pada pasien, misalnya geriatri seperti jatuh dan infeksi. Pasien dengan delirium juga biasanya lebih membutuhkan perawatan di institusi. c) Faktor resiko terjadinya delirium: i. ii. Penambahan usia Penurunan fungsi kognitif Faktor presipitasi yang telah ditemukan yang menurunkan ambang delirium pada usia lanjut adalah pria, tekanan darah tinggi, penggunaan banyak obat terutama obat-obatan antikolinergik, anestesi umum, dan penggunaan alkohol atau benzodiazepine. Lebih jauh lagi, adanya peningkatan konsentrasi sodium di serum, penurunan fungsi fisik, dan penurunan fungsi menghadapi stress juga diidentifikasi sebagai faktor risiko independen pada pasien delirium.

4. Tidak BAB selama 5 hari Konstipasi diartikan sebagai berkurangnya frekuensi BAB, biasanya kurang dari 3x seminggu dengan feses kecil-kecil dan keras, serta kadang-kadang disertai kesulitan hingga rasa sakit saat BAB. a. Penyebab konstipasi Tirah baring yang terlalu lama dapat memperpanjang waktu pergerakan usus. Selain itu terjadi pengurangan response motorik dari sigmoid akibat berkurangnya inervasi intrinsic karena degenerasi pleksus mienterikus. Ditemukan juga berkurangnya rangsang saraf pada otot polos sirkuler yang dapat menyebabkan memanjangnya waktu pergerakan usus. Terdapat pula kecenderungan menurunnya tonus sfingter dan kekuatan otot-otot polos berkaitan dengan usia. b. Komplikasi Konstipasi dapat berakibat impaksi feses. Impaksi feses merupakan akibat dari terpaparnya feses pada daya penyerapan dari kolon dan rectum yang berkepanjangan. Impaksi feses merupakan penyebab yang penting dari morbiditas pada usia lanjut. Penampilannya sering hanya berupa kemunduran klinis yang tidak spesifik. Kadang-

kadang dari pemeriksaan fisis, didapatkan panas sampai 39.50 C, delirium, perut yang tegang, suara usus melemah, aritmia serta takipnea karena peregangan diafragma. c. Faktor risiko 1) Obat-obatan: golongan antikolinergik, golongan narkotik, golongan analgetik, golongan diuretic, NSAID, Ca antagonis, preparat kalsium, preparat Fe, antasida aluminium, penyalahgunaan pencahar. 2) Kondisi neurologis Stroke, penyakit Parkinson, trauma medulla spinalis, neuropati diabetik. 3) Gangguan metabolik Hiperkalsemia, hipokalemia, hipotiroid. 4) Kausa psikologis Psikosis, depresi, demensia, kurang privasi untuk BAB, mengabaikan dorongan BAB, konstipasi imajiner. 5) Penyakit-penyakit saluran cerna Kanker kolon, divertikel, ileus, hernia, volvulus, Irritable bowel syndrome, rektokel, wasir, fistula/fisura ani, inersia kolon. 6) Lain-lain Diet rendah serat, kurang cairan, imobilitas, bepergian jauh, pasca tindakan bedah perut. d. Penatalaksanaan Pengobatan non farmakologis : Latihan usus besar, diet, olahraga. Pengobatan farmakologis, empat tipe golongan pencahar: 1) Memperbesar dan melunakkan massa feses, antara lain Psilium 2) Melunakkan dan melicinkan feses, antara lain minyak kastor golongan docusate 3) Golongan osmotik yang tidak diserap, misal Glycerin 4) Merangsang peristaltik, misal fenolptalein e. Hubungan gejala 1, 2, 3, dan 4 Sejak 5 hari yang lalu, pasien mengalami kesulitan BAB dan makan hanya sedikit. Kesulitan BAB pada usia lajut dapat disebabkan oleh lamanya transit feses di kolon. Hal ini dipengaruhi oleh adanya disfungsi pleksus mienterikus yang menginervasi kolon dalam gerak peristaltik. Selain itu, pada beberapa lansia yang mengalami konstipasi juga ditemukan adanya

peningkatan kadar endorphin yang dapat berikatan dengan reseptor opioid di mukosa kolon dan menghambat gerah peristaltik. Pada pasien dalam skenario ini, kesulitan BAB dipengaruhi juga oleh imobilisasi yang akan semakin meningkatkan lama transit feses di kolon. Akibatnya, penyerapan air akan meningkat dan feses menjadi keras sehingga semakin sulit dikeluarkan. Sementara itu, kesulitan makan pada pasien lansia dipengaruhi beberapa faktor seperti: 1) Kondisi traktus digestifus yang mulai menurun baik secara anatomis maupun fisiologis, misalnya: berkuangnya jumlah gigi sehingga kemampuan mengunyah makanan berkurang, menurunnya peristaltik usus sehingga lama transit makanan meningkat dan mengurangi rasa lapar. 2) Depresi yang mengurangi motivasi untuk makan Penurunan nafsu makan pada pasien juga dapat disebabkan oleh imobilisasi. Hal tersebut disebabkan adanya penurunan kecepatan metabolik sehingga terjadi penurunan rangsang lapar. Rangsang lapar yang menurun menyebabkan pasien makan hanya sedikit. Saat dirawat dirumah anaknya keadaan pasien yang tampak semakin lemas dan tidak mau makan sama sekali. Dengan penyakit yang diderita pasien ditambah dengan keadaan tidak mau makan, asupan gizi pasien menjadi tidak adekuat, menyebabkan pasien tampak semakin lemas.

Andri, Charles E. Damping. 2007.Peranan Psikiatri Geriatri dalam Penanganan Delirium Pasien Geriatri. Maj Kedokt Indon, 57 (7) Pranarka K, Rejeki Andayani R. 2007. Konstipasi dan Inkontinensia Alvi. Dalam : Sudoyo, A.W., Setiyohadi, B., Alwi, I., Simadibrata, M., dan Setiati, S. (eds). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III, Edisi IV. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Hal : 1400-1402

Anda mungkin juga menyukai