Anda di halaman 1dari 6

Globalisasi bukanlah sesuatu yang masih asing di telinga kita.

Kata globalisasi menjadi sesuatu yang sudah wajar di dalam keadaan dunia yang semakin berhubungan tanpa batasan. Ketika sebuah negara tidak membuka diri dalam persaingan dunia maka bisa jadi negara tersebut akan mengalami isolasi besar-besaran dari negara lain. Bisa jadi pula dalam hal ekonomi ia akan tertinggal jauh, tidak ada lagi perkembangan dan hanya akan berhenti pada kehancuran yang kelamaan datang. Apalagi ketika teknologi sudah berkembang, sebuah negara harus membuka diri seluas-luasnya untuk menerima teknologi yang ada jika ia tidak mau ditindas hingga dijajah oleh negara lain yang kekuatan teknologinya sudah berkembang pesat. Sesuai dengan bahasan di awal, sebuah negara seperti halnya Indonesia yang notabene masih merupakan negara berkembang sudah tentu harus membuka diri dalam keadaan globalisasi ini. Indonesia yang bosan akan penjajahan jika tidak ingin kembali diperlakukan demikian haruslah mau mengikuti alur yang ada. Banyak lini yang akan terpengaruh terhadap adanya globalisasi ini. Begitu pula yang berhubungan dengan ekonomi politik Indonesia. Di sini kami tidak akan membahas secara keseluruhan permasalahan yang ada. Namun kami hanya akan mengambil satu topik bahasan yaitu adanya Mcdonalisasi yang mempengaruhi keadaan Indonesia. Seakan Indonesia menjadi ladang subur pertumbuhan makanan yang serba cepat ini. Mcdonalisasi adalah salah satu istilah yang digunakan ketika bentuk-bentuk perusahan waralaba dalam hal makanan sudah semakin menjamur di Indonesia. Perusahaan seperti McDonald, KFC, dan beberapa perusahaan waralaba (makanan) lain mendatangi Indonesia yang notabene memiliki tingkat konsumsi yang tinggi. Mereka, para investor asing ini berpikir bahwa dengan dalih kerjasama dan peningkatan ekonomi Indonesia ternyata banyak memberikan kontribusi dan efek untuk keadaan ekonomi di Indonesia. Bukan hanya itu, McDonalisasi ternyata juga mengubah konsep dan persepsi konsumen makanan di Indonesia. Memang seperti yang kita ketahui bahwa

masyarakat Indonesia lebih mudah tertarik dengan sesuatu yang dapat meningkatkan prestise atau harga diri mereka di depan khalayak demi mengubah perspektif menjadi ke arah strata yang lebih tinggi. Ada rasa yang berbeda ketika mereka memasuki dan makan di tempat-tempat yang identik dengan panganan elit. Tidak hanya rasa tetapi mereka membeli pola dan gaya hidup, agar mereka menjadi orang modern, inilah efek sampingan dari pencitraan media melalui iklan-iklan. Sebagaimana yang telah digambarkan secara singkat di atas bahwa masuknya makanan siap saji berimplikasi tidak hanya pada sekor ekonomi ditandai pada matinya dan terhimpitnya bisnis-bisnis makanan lokal. Tetapi lebih besar dari itu berimplikasi pada perubahan gaya hidup. Inilah bentuk dari hegemoni global dari perkembangan kapitalis modern yang menarik dipelajari. Perkembangan restoran waralaba fast-food yang awalnya diilhami oleh Ray Kroc. McDonald menjadi sosok beride besar dan ambisi yang luar biasa. Bahkan pemilik idenyapun tidak mampu mengantisipasi dampak dahsyat dari kreasi itu. McDonald menjelma sebagai tengkorak perkembangan penting yang berpengaruh pada kehidupan Amerika di abad 20. Bisnis waralaba fast-food Kentucky Fried Chicken (KFC) memulai bisnis lebih dulu pada tahun 1954. Sedangkan McDonald memulai bisnis waralaba pada 15 April 1954, membuka outlet ke 12.000 pada 22 Maret 1991 dan di akhir 1993,ia telah menjadi sekitar 14.000 restoran di seluruh dunia. Keuntungannya pada tahun 1993 sekitar USD 1,6 miliar pertahun, total aset jualnya mencapai USD 23,6 miliar. Pada tahun 2000 aset perjualan mencapai 40 miliar dolar Amerika Serikat (US) dari 29.000 outlet yang tersebar. Ekspansi industri pangan dalam bentuk bisnis waralaba fast food (KFC, McDonalds, dan lain sebagainya), telah merambah di berbagai kota belahan dunia khususnya di negara berkembang seperti Indonesia. Negara berkembang sebagai ruang transisi antara masyarakat tradisional menuju masyarakat modern, menjadi pasar yang cukup signifikan bagi penjualan produk-produk kapitalisme tersebut, untuk memperbesar akumulasi modal atau dengan kata lain sebagai bentuk eksploitasi. Kondisi tersebut sejalan dengan hukum dasar dari kapitalis menurut Marx dalam sirkulasi komoditas kapitalis yaitu MI-C-M2, bahwa kapital adalah

uang yang menghasilkan lebih banyak lagi, selain itu menurut Marx bahwa kapital tidak hanya uang tetapi adanya relasi sosial tertentu. Masuknya bisnis waralaba (franchise) makanan siap saji khususnya di Indonesia muncul pada tahun 1970-an. Masuknya Shakey Pisa, KFC, Swesen dan Burger King merupakan generasi awal franchise di Indonesia. Adanya lisensi franchise plus yang tidak sekedar penyalur, namun juga memiliki hak untuk memproduksi manandakan perkembangan selanjutnya. Sejak tahun 1995 sistem franchise mulai berkembang pesat pada tanggal 18 Juni 1997 dikeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) RI No. 16 Tahun 1997 tentang Waralaba . Peraturan pemerintah tersebut telah melegalkan dan memberikan kekuatan hukum bagi ekspansi dan eksploitasi para pemilik modal dalam hal ini perusahaan-perusahaan waralaba makanan siap saji (fast-food). Peraturan Pemerintah tersebut kemudian diganti dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 42 Tahun 2007 tentang Waralaba. Pasal 1. poin pertama bahwa waralaba adalah hak khusus yang dimiliki oleh orang perseorangan atau badan usaha terhadap sistem bisnis dengan ciri khas dalam rangka mamasarkan barang dan/atau jasa yang telah terbukti berhasil dan dapat dimanfaatkan dan/atau digunakan pihak lain berdasarkan perjanjian waralaba. Poin kedua pemberi waralaba adalah orang perseorangan atau badan usaha yang memberikan hak untuk memanfaatkan dan/atau menggunakan Waralaba yang dimilikinya kepada penerima waralaba. Poin ketiga penerima waralaba orang perseorangan atau badan usaha yang diberikan hak oleh Pemberi Waralaba untuk memanfaatkan dan/atau menggunakan Waralaba yang dimiliki Pemberi Waralaba. Akselerasi bisnis waralaba makanan siap saji (fast-food) semakin melebar seiring penerimaan oleh masyarakat di Indonesia. Perkembangan outlet-outlet restoran siap saji (McD, KFC dan lain sebaginya), semakin meningkat bahkan hampir disetiap kota sudah dimasuki oleh agen perusahaan transnasional tersebut. Sebuah realitas yang cukup mengerikan inilah gambaran kecil dari sebuah sketsa besar hegemoni kapitalis. Perdagangan bebas (free trade) dan adanya landasan

hukum formal untuk berkembangnya sistem kapitalisme di negara berkembang, merupakan entri point bagai eksploitasi dan akumulasi modal yang besar bagi kapitalisme asing di negara berkembang. Sehingga cengkeraman tangan-tangan tak nampak dari kapitalisme merongrong sendi-sendi kehidupan dan terjadilah penghisapan agen kapitalisme global terhadap negara berkembang. Menurut Paul Baran, munculnya kekuatan ekonomi asing dalam bentuk modal kuat dari dunia Barat ke negara-negara Dunia Ketiga, membuat surplus yang terjadi disana, diambil alih oleh kaum pendatang, melalui berbagai macam cara. Maka yang terjadi di negara-negara pinggiran bukanlah akumulasi modal melainkan penyusutan modal . Dengan keterkaitan antara satu negara dengan negara lainnya ini, salah satu implikasi yang muncul adalah ketatnya persaingan antar bangsa, baik dalam hal produk barang dan jasa, kapasitas sumber daya manusia, maupun dalam hal penyediaan fasilitas dan prosedur yang memadai untuk kegiatan investasi dari negara tertentu. Jika suatu negara tidak memiliki basis keunggulan berbanding (comparative advantage) apalagi keunggulan bersaing (competitive advantage), maka dapat dipastikan bahwa negara tersebut akan tergilas oleh negara lain, sehingga pada gilirannya, secara internasional akan menempatkan negara tersebut pada posisi terbelakang. Akibatnya muncul sifat konsumerisme yang berhubungan dengan produk global. Merek-merek global (global branding) menjadi incaran para individu global ini, seperti McDonald, Coca-Cola dll. Individu cenderung mengejar global branding tersebut alasannnya adalah untuk meningkatkan pandangan masyarakat terhadap dirinya. Seolah-olah dengan memasuki McDonald merupakan suatu kebanggaan bagi mereka. Namun hal lain yang dirasakan ketika memasuki warung yang bisa dikatakan tradisional. Tidak ada suatu kebanggaan atau nilai prestise yang didapatkannya. Globalisasi seakan-akan membius individu yang tergila-gila dengan global branding tadi. Sehingga apapun menjadi prioritas utama bagi mereka jika itu dipandang dapat meningkatkan pandangan masyarakat terhadap dirinya. Itu adalah fenomena sebagian kecil dari masyarakat perkotaan. Globalisasi juga merambah pada masyarakat pedesaan. Hal tersebut dibuktikan dengan adanya McDonald ala pedesaan dengan hadirnya Fresh Chicken, Kentucky,

dll di mana sistem penyajiannya sama seperti ala McDonald di perkotaan. Kebanyakan masyarakat di negara berkembang terjangkit penyakit konsumerisme. Secara singkat bahwa konsumerisme merupakan suatu pola pikir dan tindakan di mana orang melakukan tindakan membeli barang bukan karena ia membutuhkan tetapi tindakan membeli itu memberikan statu kepuasan pada dirinya. Tentunya penyebaran produk-produk kapitalis, dalam hal ini outlet-outlet restoran siap saji (fast-food), misalnya McDonald, Kentucky Fried Chicken dan lain sebagiannya. Di ikuti oleh penyebaran atau penduniaan budaya konsumtif yang mengancam peradaban manusia. Budaya konsumtif dikemas dalam gaya hidup internasional dan merupakan simbol modernitas. Hegemoni fast food sangatlah dipengaruhi oleh banyak faktor yang mendukung, salah satunya adalah media. Sebagai agen dari kapitalis negara maju yang mengembangkan bisnis waralaba fastfood, khususnya Amerika merupakan salah satu negara yang memiliki berbagai macam kemajuan teknologi, baik dari segi informasi maupun ilmu pengetahuan. Media massa, baik elektronik maupun cetak, tidak dapat dipungkiri sebagai corong utama penyebaran epidemi global. Gaya memakan makanan fast-food seperti Hamburger McDonald, KFC, Texas, dan lain-lain merebak di seantero jagat termasuk di Indonesia . Perubahan gaya hidup yang menjadi serba instan telah merasuki relung-relung kehidupan terutama generasi muda dewasa ini. Tentunya peran media sangat signifikan dalam pembentukan opini dan propaganda dengan simbol-simbol modern. Sehingga masyarakat terhipnotis dan merasa bahwa untuk menjadi modern harus mengikuti pola hidup atau gaya hidup seperti yang dipropagandakan oleh iklan-iklan di media massa. Inilah wujud utuh dari hegemoni kapitalis dalam mencengkeramkan tanganya ke negara-nagara berkembang. Adanya arus globalisasi seakan akan kita harus mengikuti permainan yang dibuat oleh negara-negara maju, khusnya negara yang berkuasa di bidang ekonomi, seperti Amerika, Jepang dan Eropa. Globalisasi sebenarnya lebih menguntungkan negara maju karena negara maju dengan adanya globalisasi ini semakin maju begitupula juga dengan sebaliknya. Negara yang terbelakang akan semakin jauh terbelakang. Jurang antara kaya dan yang miskin akan semakin terlihat karena terjadinya persaingan ekonomi. Persaingan ekonomi terjadi karena misalnya yang

telah disebutkan tadi, pasar bebas atau free trade. Dengan pasar bebas, persaingan ekonomi akan semakin meruncing. Misalnya perusahaan multinasional yang akan terus melebarkan jangkauan wilayahnya. Investasi asing yang semakin banyak masuk dan mendominasi sebuah negara. Hal ini berakibat dengan semakin meluasnya hegemoni asing terhadap negara, mematikan pasar-pasar tradisional, dll. Apalagi diperparah dengan pemerintah yang notebene cenderung agak berpihak pada pihak asing dimana dibuktikan dengan adanya Peraturan pemerintah yang memberikan kekuatan hukum bagi ekspansi dan eksploitasi para pemilik modal. Selain itu faktor pendorong globalisasi ekonomi adalah dengan adanya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Ini semua meningkatkan arus transaksi ekonomi antarnegara dalam laju yang semakin pesat. Pemicu lainnya adalah semakin terbukanya sistem perekonomian dari negara-negara di dunia baik dalam perdagangan, produksi maupun investasi/keuangan. Dengan pesatnya perkembangan globalisasi, maka dalam mengembangkan kehidupan politik demokratis yang berlandaskan hukum, faktor perkembangan pasar dunia mendapatkan perhatian yang lebih khusus karena akan sangat mempengaruhi hubungan yang dinamis antara negara dan masyarakat. Dengan demikian, selain faktor negara dan masyarakat, faktor pasar makin tidak mungkin untuk diabaikan begitu saja.

Anda mungkin juga menyukai