Anda di halaman 1dari 11

Pendahuluan Hampir semua agama meyakini bahwa hidup manusia didukung oleh dua unsur atau komponen, yakni

unsur yang bersifat fisik dan unsur metafisik (ruhani/spiritual). Fisik terdiri atas tubuh atau raga. Sedangkan metafisik adalah unsur dalam (inner self) diri manusia yang biasanya disebut dengan ruh atau nafs (jiwa). Namun substansi ruh atau jiwa sampai saat ini baik secara ilmiah maupun agama tetap merupakan sesuatu yang misterius. Kalaupun bisa diketahui masih terbatas pada gejala-gejalanya yang dalam ilmu modern disebut dengan psikologi, ilmu tentang gejala-gejala jiwa. Bahkan nabi Muhammad SAW pun saat ditanya oleh seseorang mengenai hakekat ruh, Tuhan memberi jawaban lewat nabi Katakanlah wahai Muhammad, ruh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit (AQ.S.17.Al-Isra.A; 85).

Rupanya nalar manusia tidak dipersiapkan untuk mengetahui hal-hal yang memang di luar jangkauan dan kapasitasnya, salah satunya adalah masalah ruh.

Keyakinan seperti itu terdapat juga pada agama-agama budaya misalnya Mesir Kuno, Babilonia dan Yunani Kuno. Temuan terhadap kuburan-kuburan dan kuil-kuil yang mereka buat menunjukkan keyakinan mereka bahwa disamping kehidupan yang bersifat fisik, ada kehidupan lain di sana yang bersifat metafisik. Mereka meyakini kehidupan tersebut berbeda dengan kehidupan fisik. Karena sifatnya yang diluar kehidupan fisik maka bukan fisik yang bertempat di sana melainkan roh (disebut roh untuk membedakan dengan makna ruh dalam kamus Islam).

Nilai tambah manusia dalam kehidupan sesungguhnya tidak ditentukan oleh unsur fisiknya, tetapi oleh unsur metafisiknya yang berupa ruh atau jiwa dan kualitas-kualitas internal lainnya. Menurut Prof. Muhammad Al-Ghazali, salah seorang cendekiawan dan ulama Mesir dalam bukunya Nadharat Al-Quran (pandangan-pandangan di dalam AlQuran)., sekiranya dihitung atau diuraikan unsur-unsur apa yang terdapat dalam tubuh manusia sangatlah murah dan tidak ada nilainya. Dalam setiap raga manusia, katanya, kira-kira ada satu unsur lemak yang kalau dikumpulkan hanya cukup untuk membuat tujuh potong sabun kecil-kecil. Kemudian ada unsur karbon yang kalau dikumpulkan (dijadikan satu) kira-kira cukup untuk membuat beberapa potong isi pensil. Ada lagi unsur fosfor yang kira-kira paling banyak bisa dipakai untuk membuat 120 batang korek api. Di samping itu ada unsur salt (garam) magnesium yang cukup untuk minum obat sakit perut satu kali. Dan lain sebagainya.

Lalu apa yang menjadikan manusia mahal dan dihargai tinggi?. Mengapa seseorang dihargai lebih tinggi dibandingkan dengan orang lain, padahal tubuhnya sama, warna kulit dan rambutnya sama, kelengkapan tubuhnya sama, mungkin pakaiannya juga sama. Ada dua orang berjalan bersama yang satu pejabat dan satunya ulama besar. Tetapi mengapa penghormatan orang terhadap ulama lebih besar daripada pejabat. Disinilah ada nilai tambah yang bukan bersifat fisik melainkan non fisik atau (metafisik).

Menyadari kenyataan ini, Islam melarang ummatnya hanya memikirkan hal-hal yang bersififat fisik saja. Sebaliknya Islam mengajak kepada ummatnya agar memperhatikan unsur yang mendukung hidup terutama yang menyangkut unsur metafisik, seperti ilmu, agama, dan moral.

Kalau demikian hakikat hidup, bagaimana pandangan Islam terhadap hidup manusia?. Pertama-tama Islam memandang manusia sebagai makhluk unggulan (makhluqun kariimun). Dalam Al-Quran disebut ;

Artinya, Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan (AQ.S.17.Al-Isra.A;70)

Dilihat dari substansinya, yang membuat manusia mendapat predikat makhluk unggulan, bukan karena kesempurnaan fisik biologisnya seperti perawakan, postur tubuh dan kelengkapan fisik. Akan tetapi lebih pada keseluruhan kepribadiannya yang meliputi kemampuan intelektual, moral dan spiritual. Keunggulan inilah yang menjadikan manusia menduduki posisi terhormat.

Malaikatpun dalam banyak hal oleh Tuhan diletakkan di bawah derajat manusia. Sebagai contoh, dari segi akal manusia mempunyai akal kreatif, sedangkan malaikat mempunyai akal normative, karena Al-Quran tidak pernah menyebut malaikat itu yatafakkarun (berfikir).

Kedudukan Manusia & Kehidupan Semesta Pada dasarnya, fungsi hidup manusia itu ada dua hal yang pokok, yaitu fungsi ibadah dan fungsi khilafah. Dengan kata lain, manusia hidup di dunia ini untuk mengabdi kepada Tuhan (abdullah) dan menjadi mandataris Tuhan di bumi (khalifatullah). Kalau begitu fungsi manusia, bagaimana bentuk hubungan manusia dengan masalah-masalah di alam sekitarnya?. Hubungan manusia dengan sumberdaya alam ini dalam Islam ada tiga macam peran.

Pertama, hubungan al-intifau bih, hubungan utility, yaitu mengambil manfaat. Manusia diperintahkan untuk mengambil manfaat dari sumberdaya dan kekuatan alam yang ada. Kalau manusia hidup tetapi tidak bisa mengambil manfaat dari alam ini namanya sudah keterlaluan.

Kedua, hubungan Itibar, mengambil pelajaran. Hubungan manusia dengan alam merupakan hubungan view point, bahwa alam dapat menambah pandangan dan menambah pelajaran bagi manusia. Pelajaran (Itibar) berarti mengambil hikmah, dalam arti tidak sampai mendekat barang karena membahayakan atau menjaga agar tidak membahayakan, atau alam bisa digunakan sebagai pelajaran dengan cara mengambil temuan-temuan yang dapat dijadikan teori dan menjadi pengetahuan secara umum. Jadi, dengan Itibar alam merupakan sumber pengetahuan bagi manusia.

Ketiga adalah hubungan al-ihtifadh atau hubungan untuk pelestarian alam, konservasi atau saving (menyelamatkan alam). Jika manusia hidup di tengah alam semesta alam dengan segala kekuatan dan kekayaannya maka sebagai manusia seharusnya bisa menempatkan diri dalam hubungan mengambil manfaat, mengambil pelajaran dan melestarikan alam. AlQuran banyak sekali menunjukkan maksud ini, misalnya, apa yang ada disekitarmu itu merupakan mataan lakum wa lianamikum, yang berarti suatu kenikmatan, kesenangan fasilitas bagimu (Lih, AQ.S.An-Naziat (79). A-33 & S.Abbasa (80). A-32)

Tiga macam hubungan manusia ini dengan alam dalam Al-Quran disebut konsep taskhir atau penundukan. Artinya Tuhan memberi konsesi kepada manusia bahwa semua kekuatan, kekayaan alam dan sekitarnya untuk kepentingan manusia. Jadi, semua kekuatan alam ini pada prinsipnya bisa dikendalikan manuisa karena Tuhan telah memberikan konsesi penundukan alam itu untuk manusia. Kalimat dalam Al-Quran berbunyi, sakhara lakum (Tuhan menundukkan kekuatan alam ini untuk kepentinganmu). Lih, AQ.S.Al-Haj(22). A-65 ; S.Luqman(31), A-20 ; S.Al-Jatsiyah(45), A-12).

Manusia Dalam Al-Quran Al-Quran memperkenalkan tiga istilah kunci (key term) yang mengacu pada makna pokok manusia, yaitu basyar, alinsan dan an-nas. Ahli lain menambahkan istilah lain yang mengacu pada makna manusia yaitu bani adam, reperesentasi dari manusia.

Penggunaan ketiga istilah itu jelas memiliki makna signifikan. Oleh karena itu, agar tidak terjadi kerancuan semantic, kita harus memahami dalam konteks manusia disebut basyar dan dalam konteks apa manusia disebut al- insan dan an-nas.

Kata Basyar disebut Al-Quran sebanyak 35 kali yang dikaitkan dengan manusia dan 25 kali dihubungkan dengan nabi dan rasul. Dalam seluruh ayat tersebut, kata basyar memberikan referensi kepada manusia sebagai makhluk biologis. Dengan alasan yang sama dapat dimengerti mengapa suatu kaum yang diseru para nabi menolak ajarannya, sebab mereka beranggapan bahwa nabi hanyalah basyar, manusia biasa seperti kita yang makan dan minum, jalan-jalan di pasar dan aktifitas lain. Dalam banyak ayat disebutkan bahwa nabi itu seperti kamu dan berasal dari komunitasmu sendiri.

Kata al-insan disebut sebanyak 65 kali dalam Al-Quran. Hampir semua ayat yang menyebut manusia dengan menggunakan kata al-insan, konteksnya selalu menampilkan manusia sebagai makhluk yang istimewa, secara moral maupun spiritual.. Makhluk yang mempunyai keunggulan-keunggulan yang tidak dimiliki oleh makhluk lain. Keunggulan manusia terletak pada wujud kejadiannya sebagai makhluk yang diciptakan dengan kualitas ahsanu taqwim, sebaik-baik penciptaan (At-Tin 95:5) meskipun ia diciptakan dari segumpal darah atau tanah liat.

Kata al-insan dipakai untuk menyebut manusia dalam konteks kedudukannya sebagai makhluk yang mempunyai kelebihan-kelebihan. Pertama, manusia sebagai makhluk berfikir, kedua makhluk pembawa amanah, ketiga makhluk yang bertanggungjawab atas apa yang diperbuatnya.

Kata an-nas mengacu pada manusia sebagai makhluk sosial. Manusia dalam arti an-nas ini paling banyak disebut AlQuran yakni 240 kali. Penjelasan konsep ini dapat ditunjukkan dalam dua hal. Pertama, banyak ayat yang menunjukkan kelompok-kelompok sosial dengan karakteristinya masing-masing yang satu sama lain tidak sama. Ayat-ayat ini biasanya menggunakan ungkapan wa minan-nas (dan di antara segolongan manusia). Memperhatikan ungkapan ini kita menemukan petunjuk Tuhan bahwa ada kelompok manusia yang menyatakan beriman padahal sebetulnya tidak beriman.

Kedua, pengelompokkan manusia berdasarkan mayoritas, yang umumnya menggunakan ungkapan aktsaran-nas (sebagian besar manusia). Memperhatikan ungkapan ini kita menemukan bahwa sebagian besar (mayoritas) manusia mempunyai kualitas rendah, baik dalam segi ilmu maupun iman.

Fungsi Manusia Dalam Kehidupan Bagaimanakah menempatkan kedudukan manusia dalam fungsi ibadah dan khilafah? Semua perintah Tuhan yang menyangkut fungsi manusia dalam ibadah tidak bisa lepas dari keadaan dan realitas kedudukan manusia sebagai makhluk biologis, makhluk istimewa dan makhluk sosial. Sebagai contoh, manusia diperintahkan untuk mengerjakan shalat. Hukum shalat adalah berdiri. Akan tetapi pada saat manusia mengalami sakit parah diperbolehkan melaksanakan shalat sambil duduk ataupun berbaring.. Artinya Tuhan memberikan dispensasi keringanan. Sebab, masalah sakit adalah persoalan biologis manusia. Meskipun shalat merupakan perintah Tuhan dan hukumnya wajib, tetapi tidak berarti harus dilaksanakan secara apriori apa adanya.

Hal yang sama berlaku juga pada tugas manusia sebagai makhluk sosial. Mengapa nabi Muhammad Saw yang biasanya shalat dengan khusyu dan dzikirnya panjang, tetapi beberapa kali Nabi Saw mempercepat shalatnya gara-gara ada tamu yang menunggu?. Hal itu dilakukan oleh Nabi Saw karena masalah ibadah tidak bisa menafikan begitu saja dengan konteks manusia sebagai makhluk sosial. Mengerjakan shalat itu wajib, tetapi menerima tamu juga wajib hukumnya. Nabi Saw mengingatkan agar para imam shalat tidak sujud terlalu lama sehingga jika ada mamum yang sedang sakit encok, misalnya tidak mengeluh. Contoh lain bisa disebutkan misalnya berkenaan dengan masalah zakat, sedekah, puasa dan haji. Singkatnya selalu ada kaitan antara ibadah yang diperintahkan Tuhan dengan fungsi dan kedudukan manusia sebagai makhluk biologis dan sosial. Artinya, ada kepedulian agama atau Tuhan dalam semua perintahNya dengan hakikat kehidupan manusia.

Kepedulian yang sama berlaku dalam kaitan ibadah dengan fungsi khilafah manusia. Islam sangat memperhatikan bahwa manusia yang akan diajak untuk mengembangkan peradaban atau masalah-masalah bersama itu memiliki aspek biologis. Perintah nikah dianggap penting dan dianjurkan oleh agama karena berkenaan dengan kebutuhan biologis manusia. Namun demikian pemenuhan hak-hak biologis tidak boleh mengabaikan hak-hak orang lain dan kedudukannya sebagai makhluk istimewa serta fungsi hidupnya sebagai khalifah Tuhan.

Al-Quran menawarkan konsep hidup manusia di dunia secara berkualitas sembari mengingatkan manusia supaya tidak lengah dan selalu waspada terhadap gangguan yang bisa memalingkan orientasi hidupnya. Dalam ayat-ayat Al-Quran menyebutkan bahwa hidup manusia di dunia ini adalah hidup yang penuh dengan permainan-permainan (laibun) dan keadaan atau perilaku yang dilakukan tanpa tujuan yang jelas dan tanpa arti, perilaku yang hanya semata-mata memenuhi kesenangan/hobi.

Manusia akan bisa memerankan fungsinya dengan baik dalam kehidupan apabila mampu menempatkan tahap-tahap kehidupan sosial dengan waktu dan tempatnya. Sangat manusiawi ketika seorang pemuda berbangga karena gelar sarjananya, dan menempati kedudukan sebagai manajer perusahaan. Wajar jika pensiunan menikmati masa tuanya dengan berkebun atau melakukan aktifitas-aktifitas untuk menjaga kebugaran. Sebaliknya manusia yang tidak mampu menempatkan diri dengan baik pada tahap-tahap kehidupan akan mengalami kesulitan hidup.

Bagaimana orang yang berumur 80 tahun bisa berfungsi sebagai ayah yang baik padahal dia sendiri membutuhkan bantuan orang lain. Bagaimana wanita bisa melahirkan dengan selamat jika baru nikah setelah berumur 50 tahun. Hal-hal semacam ini sangat diperhatikan Al-Quran. Sebab itu dalam Al-Quran manusia dijadikan oleh Tuhan dari kondisi lemah (min dhofin) dan beranjak menjadi kuat (quwwatan) dan akhirnya lemah /menurun lagi (dhofin), akhirnya wa syaibah (tua renta). Tahap-tahap kehidupan semestinya dilalui oleh manusia secara baik dan tepat. Belajar, bekerja dan beraktifitas pada saat diri masih pada kondisi quwwah, bukan pada saat masih lemah (dhofin pertama atau dhofin kedua, apalagi sudah tua renta. Orang yang berhasil menempatkan diri secara tepat akan mendapat kemuliaan dan kebahagiaan hidup, sebagai makhluk biologis, istimewa dan sosial.

Kebahagiaan Hidup Menurut Islam Kebahagiaan hidup menurut istilah Prof. Dr. Al-Qordhawi disebut jannatul-ahlam, surga impian. Maksudnya semua orang memimpikan memperoleh kebahagiaan hidup tanpa memandang status sosial atau tingkat pendidikan. Seoarang raja yang hidup di istana juga masih memimpikan kebahagiaan hidup, sebagaimana buruh pekerja kasar.

Ada suatu ungkapan yang sangat menarik. Konon ungkapan ini berasal dari Asiyah, istri firaun. Pada suatu waktu Asiyah dipanggil oleh suaminya. Sembari marah Firaun mengancam Asiyah dengan mengatakan, Saya akan mencelakakan dan menyengsarakan kamu. Dengan sikap yang tenang Asiyah menjawab , engkau tidak mempunyai kekuasaan apapun

untuk melaksanakan hal itu seperti halnya engkau tidak dapat berbuat apa-apa untuk membahagiakan saya. Firaun yang tengah marah penasaran mendengar jawaban istrinya. Kata Firaun selanjutnya, apa betul kamu menganggap saya tidak bisa memberikan kebahagiaan dan kesengsaraan kepadamu. Asiyah menjawab dengan mantap. Betul. Kalau menurutmu kebahagiaan seseorang terletak pada kecukupan belanja hidup, memang kamu bisa menghilangkan hal itu dari saya. Kalau kebahagiaan ditemukan pada perhiasan-perhiasan yang indah indah, kamu mungkin bisa mengurangi atau mencabut perhiasan dari saya. Dan semuanya itu tidak bisa dijadikan penentu kebahagiaan. Asiyah melanjutkan bicaranya, buktinya kamu sendiri. Dengan segala kekayaan dan kekuasaan yang ada di tanganmu, apakah kamu pernah merasakan kebahagiaan?. Sebaliknya, engkau selalu merasa gelisah dan curiga kepada orang lain. Firaun dengan cepat menukas. Lalu menurutmu di mana letak kebahagiaan itu?. Di sini ada jawaban yang sangat filosofis dari Asiyah Saya temukan kebahagiaan itu didalam hatiku, dan hatiku yang memberikan kebahagiaan, maka kamu tidak akan memiliki kekuasaan apapun untuk mengatur hatiku sendiri, yang bisa mengatur hatiku adalah Tuhanku.

Dalam konsep Islam ternyata faktor dominan yang menentukan kebahagiaan tidak dapat ditemukan di luar diri. Faktorfaktor luar seperti kemakmuran, kekayaan, keluarga, kedudukan, pengetahuan adalah faktor penunjang kebahagiaan. Artinya faktor penunjang akan dapat menyempurnakan kebahagiaan hidup apabila sudah ditemukan faktor dominatifnya. Dan faktor yang menentukan itu berada pada diri manusia. Seseorang tidak akan mungkin menemukan kebahagiaan kalau dicari dari luar dirinya. Kebahagiaan itu ditemukan dalam dirinya sendiri.

Apa yang selanjutnya yang menjadi faktor dominatif kebahagiaan itu. Al-Quran maupun Sunnah Rasul telah memberikan jawaban bahwa faktor dominatif yang menyebabkan orang bisa memperoleh kebahagiaan adalah sakinatul qalb, ketenangan hati. Orang yang memiliki hati yang tenang, tentram dan stabil berarti sudah mempunyai modal yang sangat besar untuk memperoleh kebahagiaan hidup. Jika modal ini ditunjang oleh kekayaan, keluarga dan karir yang baik, kesehatan yang prima akan merupakan kesempurnaan kebahagiaan duniawi. Sebaliknya orang yang hanya memiliki kesehatan, keluarga, kedudukan, dan jabatan tetapi tidak memiliki ketenangan hati, belum tentu semua itu bisa menjadi penunjang kebahagiaan.

Dengan demikian, kebahagiaan hidup itu memiliki dua faktor. Pertama, faktor dominan, yaitu berupa sakinatul qalb, ketenangan atau ketentraman hati karena adanya iman dan kedekatan dengan Allah SWT. Sifatnya inner-self didalam diri. Kedua, faktor penunjang, seperti kekayaan, jabatan, kesehatan, dan sebagainya itu melengkapi faktor dominan. Dengan kata lain faktor dominan itu mesti ada untuk timbulnya kebahagiaan.

Kata Islam itu berasal dari bahasa Arab al-islam ( .)Kata al-islam ini ada di dalam Al-Quran dan di dalamnya terkandung pula pengertiannya, diantaranya dalam surat Ali Imron (3) ayat 19 dan surat Al-Maidah (5) ayat 3. Apa yang dapat kita pahami dari kedua ayat ini? Berikut ini penjelasannya. Al-Quran surat Ali Imron (3) ayat 19, lafalnya, innad-dina indallohil-islam, artinya, Sesungguhnya ad-din di sisi Alloh (adalah) al-islam Yang dapat dipahami dari ayat ini adalah bahwa al-islam adalah nama suatu ad-din (jalan hidup) yang ada di sisi Alloh (indalloh). Ad-din maknanya adalah al-millah atau ash-shirot atau jalan hidup, ia berupa bentuk-bentuk keyakinan (al-aqidah) dan perbuatan (al-amal). Al-islam sebagai ad-din yang ada di sisi Alloh, tentunya berupa bentuk-bentuk keyakinan dan perbuatan yang ditentukan dan ditetapkan oleh Alloh dan bukan hasil dari buah pikiran manusia, karenanya ia dinamakan juga dinulloh (QS 110 ayat 2). Al-islam itu diperuntukkan bagi manusia sebagai petunjuk dari Alloh (huda minalloh) kepada manusia (QS 28 ayat 50) di dalam mengarungi kehidupan di dunia ini. Sementara itu Alloh berfirman, lafalnya, al-haqqu mir-robbika fala takunanna minal-mumtarin (QS 2 ayat 147), artinya, Al-Haq (kebenaran) itu dari robb (Tuan, Tuhan) engkau (wahai Muhammad saw) (yakni dari Alloh) maka janganlah engkau termasuk orang-orang yang ragu . Firman Alloh ini menyatakan dengan jelas sekali bahwa al-haqqu (kebenaran) itu dari Alloh (robb-nya Muhammad saw). Oleh karena al-islam itu ada di sisi Alloh, sementara itu al-haqqu itu dari Alloh maka tentunya al-islam itu tidak lain adalah al-haqqu (kebenaran) yang berasal dari Alloh itu. Sementara itu pula Alloh berfirman, lafalnya, wa innaka latahdi ila shirothim mustaqim , shirothillahil-ladzi lahu ma fis-samawati wa ma filardhi (QS 42 ayat 52-53), artinya, dan sesungguhnya engkau (wahai Muhammad saw) benar-benar memberi petunjuk kepada ash-shirothol-mustaqim (jalan yang harus ditegakkan) (yakni) ash-shiroth (jalan) (yang ditentukan

dan ditetapkan oleh) Alloh yang mana milik-Nya (segala) apa-apa yang ada di langit-langit dan apa-apa yang ada di bumi. Firman Alloh ini menyatakan dengan jelas sekali bahwa ash-shirothol-mustaqim adalah ash-shiroth (jalan) yang ditentukan dan ditetapkan oleh Alloh yang tentu berasal dari Alloh pula. Oleh karena al-islam itu di sisi Alloh, sementara itu ash-shirothol-mustaqim adalah jalan yang ditentukan dan ditetapkan oleh Alloh dan berasal dari Alloh, maka tentunya al-islam itu tidak lain adalah juga ash-shirothol-mustaqim yang berasal dari Alloh. Yang mana misi Iblis dan bala tentaranya berusaha menjauhkan manusia dari ash-shirothol-mustaqim ini (QS 7 ayat 16) yang berarti pula menjauhkan manusia dari al-islam. Jika al-islam itu ada di sisi Alloh, lalu bagaimana ia bisa sampai kepada manusia? Ya tentu hanya melalui wahyu Alloh dan penjelasannya yang Alloh turunkan kepada para Nabi dan Rosul-Nya dari Adam as hingga Muhammad saw, termasuk Isa putra Maryam as, Musa as, Nuh as, Ibrohim as, dll. Dan al-islam dalam bentuknya yang final (tidak ada lagi perubahan) dan sempurna (mencakup segala segi kehidupan dan tidak perlu penambahan atau pengurangan) yang tentu diturunkan kepada Nabi dan Rosul-Nya yang terakhir, Muhammad saw, melalui Al-Quran dan penjelasannya(QS 75 ayat 19). Dari ayat ini pula kita pahami bahwa penamaan ad-din ini dengan al-islam adalah penamaan dari Alloh sendiri, bukan dari manusia. Suatu nama biasanya memiliki arti, demikian juga dengan al-islam juga memiliki arti, yakni al-inqiyadu liamaril-amiri wa nahihi bila itirodh , yang artinya, tunduk/patuh/berserah-diri kepada perintah dan larangan yang memerintah tanpa penolakan . Namun dalam hal ini al-islam itu adalah tunduk/patuh/berserah-diri kepada Alloh saja, bukan tunduk/patuh/berserah-diri kepada apa saja yang dianggap sebagai robb (Tuan, Tuhan) dan ilah (Tuan, Tuhan), karena Alloh berfirman, lafalnya, wa man ahsanu dinan mimman aslama wajhahu lillahi wa huwa muhsinun(QS 4 ayat 125), artinya, Dan siapakah yang labih baik ad-din-(nya) dari pada orang-orang yang tunduk/patuh/berserah-diri kepada Alloh dan dia berbuat baik. Maka tunduk/patuh/berserah-diri kepada robb-robb dan ilah-ilah selain Alloh tidak berhak dinamakan al-islam dan lebih tepat jika dinamakan ghoirul-islam. Dan karena al-islam itu dari Alloh tentu saja ia diridhoi Alloh. Al-Quran surat Al-Maidah (5) ayat 3, lafalnya, al-yauma akmaltu lakum dinakum wa atmamtu alaikum nimati wa rodhitu lakumul-islama dina, artinya, pada hari ini telah Aku sempurnakan bagi kalian ad-din kalian dan telah Aku sempurnakan pula nimat-Ku atas kalian dan Aku ridho al-islam sebagai ad-din bagi kalain Kata al-yauma yang artinya pada hari ini , yang dimaksud adalah hari diturunkannya ayat ini yakni pada hari jumat di padang Arofah setelah waktu Ashr ketika Muhammad saw menunaikan haji wada. Lalu kalimat akmaltu lakum dinakum , yang artinya, telah Aku sempurnakan untuk kalian ad-din kalian , yang dimaksud dengan kata kalian dalam frasa ad-din kalian adalah Muhammad saw dan para sahabat ra. Kenapa? Karena ayat ini turun kepada mereka dan berbicara tentang mereka. Jadi yang dimaksud dengan ad-din kalian adalah dinu Muhammad saw dan para sahabat ra yang berupa bentuk-bentuk keyakinan (al-aqidah) dan perbuatan (al-amal) yang ada pada Muhammad saw (secara individu) dan para sahabat ra ( secara komunitas), yang mana itu merupakan penerapan, tafsir, penjelasan dari pada Al-Quran atas petunjuk langsung dari Alloh yang dari-Nya al-islam itu berasal (QS 3 ayat 19). Hal itu karena Muhammad saw hanyalah mengikuti apa saja yang diwahyukan kepadanya dari Alloh (QS 10 ayat 15, QS 46 ayat 9) dan menerima penjelasan bagaimana menerapkannya, maka terbentuklah suatu bentuk-bentuk keyakinan dan perbuatan atau ad-din atau jalan hidup yang ada pada Muhammad saw, sehingga Aisyah ra mensifati Muhammad saw dengan kalimat kana khuluquhul-quran , yang artinya, Akhlak Beliau saw adalah Al-Quran. Dan para sahabat adalah sekelompok orang yang paling baik dalam mengikuti Muhammad saw (QS 9 ayat 117) karena perkataan mereka samina wa athona, yang artinya, kami dengar dan kami taat (QS 2 ayat 185). Lalu kalimat wa rodhitu lakumul-islama dinan, yang artinya, dan Aku telah ridho al-islam sebagai ad-din bagi kalian. Dalam kalimat ini Alloh menyebut dinu Muhammad saw dan para sahabat ra dengan sebutan al-islam. Oleh karena dalam ayat ini digunakan kata ad-din (kata tunggal, bentuk jamaknya adalah ad-adyan), maka ini berarti dinu Muhammad saw dan para sahabat itu satu, sama. Oleh karena Muhammad saw pihak yang meneirma wahyu dan penjelasannya dan menerapkan wahyu tersebut dengan baik (QS 33 ayat 2) maka al-islam itu pastilah dinu Muhammadin saw ataumillatu Muhammadin saw atau sunnatu Muhammadin saw atau jalan hidup Muhammad saw (tapi bukan Beliau saw yang yang membikinnya) atau yang sering disebut dengan as-sunnah. Jadi dengan demikian al-islam adalah as-sunnah dan as-sunnah adalah al-islam. Sesuatu bentuk keyakinan dan perbuatan yang tidak ada di dalam as-sunnah tidak bisa dinamakan Islami. Dan dikatakan di dalam Al-Quran surat 27 ayat 79, lafalnya, innaka alal-haqqilmubin, artinya, sesungguhnya engkau (wahai Muhammad saw) berada di atas al-haqq (kebenaran) yang nyata. Dan yang ada pada Muhammad saw adalah as-sunnah. Sementara itu as-sunnah adalah al-islam dan al-islam adalah al-haqq yang berasal dari Alloh, maka tentu Muhammad saw itu berada di atas al-haqqu. Dan dikatakan pula dalam Al-Quran surat 36 ayat 3-4, lafalnya, innaka laminal-mursalin. ala shirotim mustaqim, artinya, Sesungguhnya engkau (wahai Muhammad saw) benar-benar (salah seorang diantara) para Rosul. (Yang berada) diatas ash-shirothol-mustaqim (jalan yang harus ditegakkan) . Dan yang ada pada Muhammad saw adalah as-sunnah. Sementara itu as-sunnah adalah al-islam

dan al-islam adalah ashirothol-mustaqim yang merupakan ash-shiroth (jalan) (yang ditentukan dan ditetapkan) Alloh, maka tentu Muhammad saw berada di atas ash-shirothol-mustaqim (jalan yang harus ditegakkan). Sementara itu Muhammad saw telah bersabda, lafalnya, man amila amalan laisa alaihi amruna fa huwa roddun , artinya, Barang siapa yang beramal dengan suatu amalan yang tidak ada perintah/urusan (tidak ada contohnya) pada kami (yakni Muhammad saw dan para sahabat ra) maka (amalan tersebut) tertolak (HR Muslim dari Aisyah ra). Dan sementara itu pula Muhammad saw telah bersabda, lafalnya, wa iyyakum wa muhdatsatil-umur fa inna kulla muhdatstin bidatun wa kulla bidatin dholalatun, artinya, dan berhati-hatilah (janganlah) kalian membuat perkara-perkara baru (dalam addin) karena setiap perkara baru (dalam ad-din) adalah bidah dan setiap bidah a dalah kesesatan (HR Tirmidzy dan Abu Dawud dari Irbadh bin Sariyyah ra). Kedua sabda Muhammad saw ini menegaskan bahwa al-islam, yang berasal dari Alloh itu, seluruhnya ada di dalam as-sunnah. Muhammad saw dan para sahabat ra adalah sekelompok orang yang paling tahu al-islam karena kepada mereka al-islam itu (melalui Al-Quran dan penjelasannya) turun dan karenanya pula mereka dipuji oleh Alloh dengan sebutan khoiru ummah (umat yang terbaik) (QS 3 ayat 110). Sebutan itu diberikan bukan karena kemajuan sains dan tehnologi atau apa, tapi lebih disebabkan oleh karena mereka meyakini dan mengamalkan al-islam dengan sebaik-baiknya. Kita yang hidup di zaman sekarang ini mengetahui al-islam hanya dari Al-Quran dan as-sunnah yang tercatat di dalam hadits-hadits (kabar-kabar) yang shohih (yang valid). Sehingga kita bisa tahu suatu keyakinan dan perbuatan itu Islami atau bukan kalau kita tahu banyak tentang Al-Quran dan hadits-hadits yang shohih. Kalau suatu keyakinan dan perbuatan itu ada dasarnya dalam Al-Quran dan hadits yang shohih itu pasti keyakinan dan perbuatan yang Islami, bila tidak dari mana bisa disebut Islami. Islam (Arab: al-islm, dengarkan (bantuaninfo): "berserah diri kepada Tuhan") adalah agama yang mengimani satu Tuhan, yaitu Allah. Dengan lebih dari satu seperempat miliar orang pengikut di seluruh dunia,[1][2] menjadikan Islam sebagai agama terbesar kedua di dunia setelah agama Kristen.[3] Islam memiliki arti "penyerahan", atau penyerahan diri sepenuhnya kepada Tuhan (Arab: ,Allh).[4] Pengikut ajaran Islam dikenal dengan sebutan Muslim yang berarti "seorang yang tunduk kepada Tuhan"[5][6], atau lebih lengkapnya adalah Muslimin bagi laki-laki dan Muslimat bagi perempuan. Islam mengajarkan bahwa Allah menurunkan firman-Nya kepada manusia melalui para nabi dan rasul utusan-Nya, dan meyakini dengan sungguh-sungguh bahwa Muhammad adalah nabi dan rasul terakhir yang diutus ke dunia oleh Allah.

tujuan pendidikan islam dapat dirumuskan sebagai berikut :


Untuk membentuk akhlakul karimah. Membantu peserta didik dalam mengembangkan kognisi afeksi dan psikomotori guna memahami menghayati dan mengamalkan ajaran islam sebagai pedoman hidup sekaligus sebagai kontrol terhadap pola fikir pola laku dan sikap mental. Membantu peserta didik mencapai kesejahteraan lahir batin dangan membentuk mereka menjadi manusia beriman bertaqwa berakhlak mulia memiliki pengetahuan dan keterampilan berkepribadian integratif mandiri dan menyadari sepenuh peranan dan tanggung jawab diri di muka bumi ini sebagai abdulloh dan kholifatulloh.

Pendidikan Islam baik sebagai konsep maupun sebagai aktivitas yg bergaerak dalam rangka pembinaan kepribadian yg utuh paripurna atau syumun memerlukan suatu dasar yg kokoh. kajian tentang pendidikan Islam tak lepas dari landasan yg terkait dgn sumber ajaran Islam yaitu :

Al-Quran

Al-Quran ialah firman Allah berupa wahyu yg disampaikan oleh Jibril kepada Nabi Muhammad SAW. Di dalam terkandung ajaran pokok yg dapat dikembangkan utk keperluan aspek kehidupan melalui ijtihad. Ajaran yg terkandung dalam Al-Quran itu terdiri dari dua prinsip besar yaitu yg berhubungan dgn masalah keimanan yg disebut aqidah dan yg berhubungan dgn amal disebut syariah. Oleh krn itu pendidikan Islam harus menggunakan Al-Quran sebagai sumber dalam merumuskan berbagai teori tentang pendidikan Islam sesuai dgn perubahan dan pembaharuan (Darajat 2000: 19).

As-Sunnah

As-Sunnah ialah perkataan perbuatan ataupun pengakuan rasul. Yang di maksud dgn pengakuan itu ialah kejadian atau perbuatan orang lain yg diketahui oleh Rasulullah dan beliau membiarkan saja kejadian atau perbuatan itu berjalan.

Sunnah merupakan sumber ajaran kedua sesudah Al-Quran yg juga sama berisi pedoman utk kemaslahatan hidup manusia dalam segala aspek utk membina umat menjadi manusia seutuh atau muslim yg bertaqwa. Untuk itulah rasul Allah menjadi guru dan pendidik utama. Maka dari pada itu Sunnah merupakan landasan kedua bagi cara pembinaan pribadi manusia muslim dan selalu membuka kemungkinan penafsiran berkembang. Itulah sebab mengapa ijtihad perlu ditingkatkan dalam memahami termasuk yg berkaitan dgn pendidikan. As-Sunnah juga berfungsi sebagai penjelasan terhadap beberapa pembenaran dan mendesak utk segara ditampilkan yaitu :

Menerangkan ayat-ayat Al-Quran yg bersifat umum Sunnah mengkhitmati Al-Quran.

Ijtihad Ijtihad adl istilah para fuqoha yaitu berfikir dgn menggunakan seluruh ilmu yg dimiliki oleh ilmuan syariat Islam utk menetapkan atau menentukan sesuatu hukum syara dalam hal-hal yg ternyata belum ditegaskan hukum oleh Al-Quran dan Sunnah. Namun dgn demikian ijtihad dalam hal ini dapat saja meliputi seluruh aspek kehidupan termasuk aspek pendidikan tetapi tetap berpedoman pada Al-Quran dan Sunnah. Oleh krn itu ijtihad dipandang sebagai salah satu sumber hukum Islam yg sangat dibutuhkan sepanjang masa setelah rasul Allah wafat. Sasaran ijtihad ialah segala sesuatu yg diperlukan dalam kehidupan yg senantiasa berkembang. Ijtihad dalam bidang pendidikan sejalan dgn perkembangan zaman yg semakin maju bukan saja dibidang materi atau isi melainkan juga dibidang sistem. Secara substansial ijtihad dalam pendidikan harus tetap bersumber dari Al-Quran dan Sunnah yg diolah oleh akal yg sehat dari para ahli pendidikan Islam.

Al-Kaun

Maksud Allah menurunkan ayat kauniyah tersebut yaitu utk mempermudah pemahaman manusia terhadap lingkungan sekitar sehingga dapat mengakui kebesaran seperti yg terdapat dalam Al-Quran surat Ar- Radu ayat 3 yg berbunyi : Arti : Dialah Tuhan yg mmembentangkan bumi dan menjadikan gunung-gunung sungai-sungai padanya. Dia menjadikan pada buah-buahan berpasang-pasangan. Allah jualah yg menutup malam kepada siang sesungguh pada yg demikian itu terdapat tanda-tanda kebesaran Allah bagi kaum yg berfikir (Depag RI 1992: 368). Berdasarkan firman Allah di atas bahwa tiap orang berfikir harus mengakui kebesaran Allah dan hal ini relevan utk dijadikan dasar dalam pendidikan Islam. Ruang lingkuang ajaran Islam itu di antaranya: Aqidah, ibadah, akhlak dan muamalah duniawiyah. a. Aqidah Kata aqidah berasal dari bahasa Arab, yaitu yang berarti ( menghimpun atau mempertemukan dua buah ujung atau sudut/ mengikat).[1] Secara istilah aqidah berarti keyakinan keagamaan yang dianut oleh seseorang dan menjadi landasan segala bentuk aktivitas, sikap, pandangan dan pegangan hidupnya. Istilah ini identik dengan iman yang berarti kepercayaan atau keyakinan.[2] Sekiranya disinergiskan antara makna lughawi dan istilah dari kata aqidah di atas dapat digambarkan bahwa aqidah adalah suatu bentuk keterikatan atau keterkaitan antara seorang hamba dengan Tuhannya, sehingga kondisi ini selalu mempengaruhi hamba dalam seluruh perilaku, aktivitas dan pekerjaan yang ia lakukan. Dengan kata lain keterikatan tersebut akan mempengaruhi dan mengontrol dan mengarahkan semua tindak-tanduknya kepada nilai-nilai ketuhanan. Masalah-masalah aqidah selalu dikaitkan dengan keyakinan terhadap Allah, Rasul dan hal-hal yang ghaib yang lebih dikenal dengan istilah rukun iman. Di samping itu juga menyangkut dengan masalah eskatologi, yaitu masalah akhirat dan kehidupan setelah berbangkit kelak. Keterkaitan dengan keyakinan dan keimanan, maka muncul arkanul iman, yakni, iman kepada Allah, Malaikat, Kitab, Rasul, hari akhirat, qadha dan qadar.[3] Di dunia Islam, permasalahan aqidah telah terbawa pada berbagai pemahaman, sehingga menimbulkan kelompok-kelompok di mana masing-masing kelompok memiliki metode dan keyakinan masing-masing dalam pemahamannya. Di antara kelompok-kelompok tersebut adalah Muktazilah, Asyariyah, Mathuridiyah, Khawarij dan Murjiah. Menurut Harun Nasution[4], timbulnya berbagai kelompok dalam masalah aqidah atau teologi berawal ketika terjadinya peristiwa arbitrase (tahkim) ketika menyelesaikan sengketa antara kelompok Muawiyah dan Ali ibn Abi Thalib. Kaum Khawarij memandang bahwa hal tersebut bertentangan dengan QS al-Maidah/ 5: 44 yang berbunyi;

Siapa yang tidak menentukan hukum dengan apa yang diturunkan Allah adalah kafir (QS al-Maidah/ 5: 44). Peristiwa tersebut membuat kelompok Khawarij tidak senang, sehingga mereka mendirikan kelompok tersendiri serta memandang bahwa Muawiyah dan Ali ibn Abi Thalib adalah Kafir, sebab mereka telah melenceng dari ketentuan yang telah digariskan al-Quran. Dengan berdirinya kelompok ini, juga memicu berdirinya kelompok-kelompok lain dalam masalah teologi, sehingga masing-masing memiliki pemahaman yang berbeda dengan yang lainnya. Namun demikian, perbedaan tersebut tidaklah sampai menafikan Allah, dengan kata lain perbedaan pemahaman tersebut tidak sampai menjurus untuk lari dari tauhid atau berpaling pada thgh t. Di antara sumber perbedaan pemahaman antara masing-masing golongan tersebut antara lain adalah masalah kebebasan manusia dan kehendak mutlak Tuhan. Ada kelompok yang menganggap bahwa kekuasan Tuhan adalah maha mutlak, sehingga manusia tidaklah memiliki pilihan lain dalam berbuat dan berkehendak. Kelompok ini diwakili oleh kelompok Asyariyah. Ada pula kelompok bahwa Tuhan memang maha kuasa, tetapi Tuhan menciptakan sunnah-Nya dalam mengatur kebebasan manusia, sehingga manusia memiliki alternatif dan pilihan dalam berkehendak dan berbuat sesuai dengan sunnah yang telah ditetapkan. Dengan kata lain manusia bebas dalam berbuat dan berkehendak. Kelompok ini diwakili oleh kelompok Muktazilah. Ada pula kelompok yang mengambil sikap pertengahan antara kedua kelompok tersebut, namun mereka tetap meyakini bahwa Allah maha kuasa terhadap seluruh tindak-tanduk dan kehendak manusia. Kelompok ini diwakili oleh Mathuridiyah. Itulah sekilas tentang permasalahan aqidah serta pemikiran masing-masing kelompoknya, di mana semua itu beranjak dari pemahaman mereka terhadap kekuasaan Allah dan kebebasan manusia. b. Ibadah Ibadah berasal dari kata yang berarti hamba. Kemudian dari kata ini muncul kata yang berarti ( memperlihatkan/ mendemonstrasikan ketundukan dan kehinaan).[5] Secara istilah ibadah berarti usaha menghubungkan dan mendekatkan diri kepada Allah SWT sebagai Tuhan yang disembah.[6] Ulama fiqh mendefenisikan ibadah sebagai ketaatan yang disertai dengan ketundukan dan kerendahan diri kepada Allah SWT. Redaksi lain menyebutkan bahwa ibadah adalah semua yang dilakukan atau dipersembahkan untuk memperoleh keredhaan Allah dan mengharapkan imbalan pahala-Nya di akhirat kelak. Ibn Taimiyah menjelaskan bahwa ibadah berawal dari suatu hubungan dan keterkaitan yang erat antara hati dengan yang disembah. Kemudian hubungan dan keterkaitan tersebut meningkat menjadi kerinduan karena tercurahnya perasaan hati kepada-Nya. Kemudian rasa rindu itu pun meningkat menjadi kecintaan yang kemudian meningkat pula menjadi keasyikan. Sehingga akhirnya membuat cinta yang amat mendalam yang membuat orang yang mencitai bersedia melakukan apa saja demi yang dicintai. Oleh karena itu, betapapun seseorang menundukkan diri kepada sesama manusia, ketundukan demikian tidak dapat disebut sebagai ibadah sekalipun antara anak dan bapaknya. Dari segi manfaatnya ibadah dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu; pertama, ibadah perorangan (fardhiyah/mahdhah), yakni ibadah yang menyangkut diri pelakunya sendiri serta tidak ada hubungannya dengan orang lain seperti shalat dan puasa. Kedua, ibadah kemasyarakatan (ijtimiyah/ghaira mahdhah), yakni ibadah yang memiliki keterkaitan dengan orang lain, terutama dari segi sasarannya seperti sedekah, zakat dan sebagainya. Berkaitan dengan ini, Dalam Putusan Majelis Tarjih Muhammadiyah dijelaskan bahwa ibadah ialah bertaqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah, dengan mentaati segala perintah-Nya, menjauhi segala larangan-larangan-Nya dan mengamalkan segala yang diizinkannya. Ibadah ada yang umum dan ada yang khusus. Ibadah umum ialah segala amalan yang dizinkan Allah sedangkan ibadah khusus ialah apa yang telah ditetapkan Allah akan perinciannya, tingkat dan cara-caranya yang tertentu.[7] Menurut Nazaruddin Razak, dalam konteks ibadah yang dikerjakan, terdapat lima pokok ibadah, yakni: shalat, zakat, puasa dan naik haji serta disusul dengan thaharah, di mana thaharah merupakan kewajiban yang menyertai shalat, zakat, puasa dan naik haji.[8] Yusuf al-Qaradhawiy menjelaskan lima persyaratan agar suatu perbuatan dapat bernilai ibadah, yaitu: 1) Perbuatan yang dimaksud tidak bertentangan dengan syariat Islam. 2) Perbuatan tersebut dilandasi dengan niat yang suci dan ikhlas. 3) Untuk melakukan perbuat tersebut, yang bersangkutan harus memiliki keteguhan hati dan percaya diri bahwa perbuatan yang dilakukan akan membawa kepada kebaikan. 4) Harus memperhatikan garis-garis atau aturan-aturan Allah SWT, tidak ada unsur kelaliman, khianat, penipuan dan lain-lain. 5) Perbuatan-perbuatan duniawi yang dilakukan dengan niat ibadah tidak boleh menghalangi kewajibankewajiban agama seperti berjual beli yang membuat diri lalai mengerjakan shalat dan sebagainya.[9] c. Akhlak

Akhlaq merupakan bentuk jamak dari ( al-khuluq) yang berarti (kekuatan jiwa dan perangai yang dapat diperoleh melalui pengasahan mata bathin).[10] Dari pengertian lughawi ini, terlihat bahwa akhlaq dapat diperoleh dengan melatih mata bathin dan ruh seseorang terhadap hal yang baik-baik. Dengan demikian dari pengertian lughawi ini tersirat bahwa pemahaman akhlaq lebih menjurus pada perbuatan-perbuatan terpuji. Konsekuensinya adalah bahwa perbuatan jahat dan melenceng adalah perbuatan yang tidak berakhlaq (bukan akhlq al-madzmmah). Secara istilah akhlaq berarti tingkah laku yang lahir dari manusia dengan sengaja, tidak dibuat-buat dan telah menjadi kebiasaan.[11] Sedangkan Nazaruddin Razak, mengungkapkan akhlak dengan makna akhlak islam, yakni suatu sikap mental dan laku perbuatan yang luhur, mempunyai hubungan dengan Zat Yang Maha Kuasa dan juga merupakan produk dari keyakinan atas kekuasaan dan keeasaan Tuhan, yaitu produk dari jiwa tauhid.[12] Dari pengertian ini terlihat sinergisitas antara makna akhlaq dengan al-khalq yang berarti penciptaan di mana kedua kata ini berasal dari akar kata yang sama. Dengan demikian pengertian ini menggambarkan bahwa akhlaq adalah hasil kreasi manusia yang sudah dibiasakan dan bukan datang dengan spontan begitu saja, sebab ini ada kaitannya dengan al-khalq yang berarti mencipta. Maka akhlaq adalah sifat, karakter dan perilaku manusia yang sudah dibiasakan. Al-Quran memberi kebebasan kepada manusia untuk bertingkah laku baik atau berbuat buruk sesuai dengan kehendaknya. Atas dasar kehendak dan pilihannya itulah manusia akan dimintai pertanggungjawabannya di akhirat atas segala tingkah lakunya. Di samping itu, akhlaq seorang muslim harus merujuk kepada al-Quran dan sunnah sebagai pegangan dan pedoman dalam hidup dan kehidupan. Secara garis besar menurut Endang Saifuddin Anshari, akhlak terdiri atas; pertama, akhlak manusia terhadap khalik, kedua, akhlak manusia terhadap sesama makhluk, yakni akhlak manusia terhadap sesama manusia dan akhlak manusia terhadap alam lainnya.[13] Menurut Muhammad Quraish Shihab, akhlaq manusia terhadap Allah SWT bertitik tolak dari pengakuan dan kesadarannya bahwa tidak ada Tuhan Selain Allah yang memiliki sifat terpuji dan sempurna. Dari pengakuan dan kesadaran itu akan lahir tingkah laku dan sikap sebagai berikut: 1) Mensucikan Allah dan senantiasa memujinya. 2) Bertawakkal atau berserah diri kepada Allah setelah berbuat dan berusaha terlebih dahulu. 3) Berbaik sangka kepada Allah, bahwa yang datang dari Allah kepada makhluk-Nya hanyalah kebaikan. Adapun akhlaq kepada sesama manusia dapat dibedakan kepada beberapa hal, yaitu: 1) Akhlaq kepada orang tua, yaitu dengan senantiasa memelihara keredhaannya, berbakti kepada keduanya dan memelihara etika pergaulan dengan keduanya. 2) Akhlaq terhadap kaum kerabat, yaitu dengan menjaga hubungan shilaturrahim serta berbuat kebaikan kepada sesama seperti mencintai dan merasakan suka duka bersama mereka. 3) Akhlaq kepada tetangga, yaitu dengan menjaga diri untuk tidak menyakiti hatinya, senantiasa berbuat baik (ihsn) dan lain-lain sebagainya.[14] d. Muamalah Secara etimologi muamalah semakna dengan yang berarti saling berbuat. Kata ini menggambarkan suatu aktivitas yang dilakukan seseorang dengan orang lain atau beberapa orang dalam memenuhi kebutuhan masing-masing. Secara terminologi kata ini lebih dikenal dengan istilah fiqh muamalah, yaitu hukum-hukum yang berkaitan dengan tindak-tanduk manusia dalam persoalan-persoalan keduniaan. Misalnya dalam persoalan jual beli, utang-piutang, kerjasama dagang, persyarikatan, kerjasama dalam penggarapan tanah, sewa menyewa dan lain-lain sebagainya.[15] Satu hal yang perlu ditekankan adalah bahwa tidak boleh ada sesuatupun dari tindak-tanduk manusia yang lari dari prinsip-prisip ketuhanan, termasuk dalam masalah muamalah atau yang lebih dikenal dengan tindak-tanduk manusia dalam berinteraksi dengan sesamanya untuk memenuhi kehidupannya masingmasing. Walau semua itu diatur hanya secara global, namun Allah telah memberikan konsep dan prinsipprinsip umum bagi manusia dalam berhubungan dengan sesamanya. Dengan demikian, maka seluruh aktivitas dan tindak-tanduk manusia harus sesuai, menjurus dan sinergis dengan apa yang telah ditetapkan di dalam nash, baik dari nash al-Quran maupun dari hadits. Di samping itu, juga terdapat beberapa keistimewaan ajaran muamalah yang bersumber dari alQuran dan sunnah, antara lain yaitu: 1) Prinsip dasar dalam persoalan muamalah adalah untuk mewujudkan kemaslahatan umat manusia, dengan memperhatikan dan mempertimbangkan berbagai situasi dan kondisi yang mengitari manusia itu sendiri. Dari prinsip pertama ini terlihat perbedaan muamalah dengan persoalan aqidah, akhlaq dan ibadah. Dalam persoalan aqidah, syariat Islam bersifat menentukan dan menetapkan secara tegas hal-hal yang menyangkut masalah aqidah tersebut dan tidak diberikan kebebasan bagi manusia untuk melakukan suatu kreasi. Dalam bidang akhlaq juga demikian, yaitu dengan menetapkan sifat-sifat terpuji yang harus diikuti oleh umat Islam serta sifat-sifat tercela yang harus dihindari. Selanjutnya di bidang ibadah dan bahkan prinsip dasarnya adalah tidak boleh dilakukan atau dilaksanakan oleh setiap muslim jika tidak ada dalil yang memerintahkan untuk dilaksanakan.

2)

Bahwa berbagai jenis muamalah, hukum dasarnya adalah boleh sampai ditemukan dalil yang melarangnya. Ini artinya, selama tidak ada dalil yang melarang suatu kreasi jenis muamalah, maka muamalah itu dibolehkan. Namun demikian, walau pada prinsipnya muamalah dibolehkan selama tidak ada dalil yang melarangnya, tetapi semua itu tidak boleh lepas dari sikap pengabdian kepada Allah SWT, di mana terdapat kaidah-kaidah umum yang mengatur dan mengontrolnya, antara lain yaitu; Tidak boleh terlepas dari nilai-nilai ketuhanan dan nilai-nilai kemanusiaan; Berdasarkan pertimbangan kemaslahatan pribadi dan masyarakat; Menegakkan prinsip kesamaan hak dan kewajiban sesame manusia; Seluruh perbuatan kotor adalah haram dan seluruh tindakan yang baik adalah halal, dan lain-lain.[16] Secara umum muamalah mencakup antara lain yaitu; hal-hal yang berkaitan dengan hak-hak dan hal lain yang terkait dengannya; Hal-hal yang berkaitan dengan harta seperti hibah, sedekah dan sebagainya; Hal-hal yang berkaitan dengan perdagangan seperti jual beli, khiyr, ihtikr, syirkah, mudhrabah dan sebagainya; Hal-hal yang berkaitan dengan pemberian amanah kepada orang lain seperti hiwlah, ijrah, ariyah, al-rahn dan sebagainya; Hal-hal yang berkaitan dengan lahan pertanian seperti muzraah, musqah, dan lain-lain.

Anda mungkin juga menyukai