Anda di halaman 1dari 5

POLEMIK KENAIKAN HARGA BBM 1 APRIL 2012 SBB : Kendati Pemerintah berencana akan menaikan Bahan Bakar Minyak

(BBM) per 1 April 2012 mendatang namun dampak kenaikan bahan bakar minyak (BBM) mulai dirasakan oleh masyarakat bawah. Hal itu dikatakan Ketua Umum Pengurus Besar Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PB PMII), Addin Jauharudin. "Dampak kenaikan BBM sudah dirasakan oleh masyarakat bawah, dari mulai kenaikan bahanbahan pokok juga kelangkaan premium, belum lagi adanya mata rantai mafia yang mengambil keuntungan dari isu kenaikan BBM ini," ucapnya melalui keterangan persnya, Senin (5/3/2012). Kata Addin, setiap kali BBM akan dinaikan, asumsi dan logika pemerintah tidak pernah berubah, dari dahulu selalu bersandar pada kenaikan minyak dunia, dan semakin beratnya beban subsidi yang harus ditanggung oleh negara. Addin menambahkan, ada beberapa alasan klasik pemerintah untuk menaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM). "Yang pertama Harga minyak dunia melebihi angka USD.100, dan yang kedua asumsi harga minyak di APBN 2011 pada angka USD80 per barel, dan jika harga minyak mencapai USD100 per barel, dibutuhkan tambahan subsidi sebesar Rp64 triliun," tambahnya. Tahun 2012, kata Addin, anggaran subsidi BBM Rp123 triliun dan listrik Rp45 triliun dengan asumsi harga minyak mentah dunia USD90, dan setiap kenaikan harga minyak mentah dunia sebesar USD1 akan menambah beban subsidi BBM dan listrik sebesarRp3,2 triliun. "Alasan pemerintah di atas adalah alasan yang sama pada setiap kenaikan BBM, yang membedakan hanya angka-angkanya saja. Persoalannya, apakah logika pemerintah ini benar sepenuhnya ataukah ada manipulasi?," tegasnya. Kata Addin, bahwa beban subsidi BBM yang bersumber dari APBN begitu banyak, tetapi ini semua demi hajat hidup rakyat banyak. "Subsidi merupakan tanggung jawab negara, dan negara kita bukan negara kapitalis, tetapi negara Indonesia, berasaskan pancasila, dimana kepentingan hajat hidup rakyat banyak harus dibantu dan dipenuhi atau disubsidi oleh negara," lanjutnya. Kata Addin, pemerintah seharusnya mencari solusi alternatif yang cerdas dan mendasarkan pada kepentinan nasional, bukan kepentingan asing. Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia mencatat, beberapa hal yang seharusnya pemerintah lakukan untuk meningkatkan Pendapatan Negara dari sektor Migas tanpa harus mencabut atau mengurangi subsidi, yaitu Windfall Profit Tax atau pajak tambahan atas keuntungan perusahaan minyak akibat lonjakan harga minyak mentah dunia, mengevaluasi dan memangkas Cost Recovery atas biaya non-operasional dan CSR kontraktor kontrak kerja sama dengan cara merenegosiasi semua kontrak kerja sama, memangkas alur perdagangan minyak dalam rangka ekspor-impor, menerapkan pajak tambahan kepada kendaraan roda empat pribadi atas penggunaannya terhadap BBM Bersubsidi.

Selain itu, menambah kapasitas kilang Pertamina sesuai dengan spesifikasi minyak mentah Indonesia dan mengharuskan semua kontraktor asing menjual semua jatah minyaknya kepada Pertamina agar diproses di dalam negeri dan untuk kebutuhan domestik, mempersiapkan infrastruktur BBG dalam jangka 1 tahun untuk seluruh Indonesia, menciptakan iklim investasi yang ramah untuk kebutuhan eksplorasi agar ada penemuan baru dan tambahan cadangan minyak bumi. "Dengan argumentasi diatas tadi, maka kenaikan BBM harus di tolak, karena tidak mencerminkan asas keadilan dan keberpihakan pemerintah terhadap rakyat kecil. Tidak ada yang dilakukan oleh pemerintah, kecuali hanya bersandar pada alasan-alasan klasik," tutupnya.

Sumber: http://www.acehsaya.com/2012/03/polemik-kenaikan-harga-bbm-1-april2012.html#ixzz1pwUjQNd1 Pemerintah berencana menaikkan harga BBM berkisar antara Rp. 500 Rp. 1500, pada tanggal 1 April 2012. Salah satu faktor utama mengapa rencana ini menuai kritikan adalah dampaknya terhadap makin tingginya inflasi. Kenaikan BBM mendorong meningkatnya biaya produksi dan biaya transportasi, yang pada akhirnya sangat memengaruhi kenaikan harga jual barang dan jasa. Menaikkan harga BBM itu merupakan jalan terakhir, apabila tidak ada jalan lain yang bisa ditempuh pemerintah untuk menekan kebocoran anggaran guna memberikan subsidi BBM. Jika kenaikan BBM dijawab dengan bantuan langsung tunai (BLT) kepada masyarakat miskin, pengalaman menunjukkan bahwa langkah ini tidak efektif. Alasan klasik yang kita dengar yaitu seringkali BLT salah alamat dan bahkan dipolitisisasi. Pertanyaan saya pribadi kepada pemerintah, mengapa indonesia mesti mengikuti hara minyak internasional, bukankah kita kaya, kekurangan pasokan yang hanya 25 % dari kebutuhan total kan bisa di tutupi dengan mengimpor minyak dari luar, dengan catatan hanya harga pertamax aja yang dinaikkan. Rakyat yang ekonominya kurang semakin terjepit dengan adanya kebijakan ini, dan dari posisi pertamina mereka serba salah. Trus apa gunanya pemerintah kalau hanya semakin membuat rakyat semakin menderita

Tiga tahun sudah masa Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berjalan. SBY hanya memiliki waktu tiga tahun untuk memenuhi target pembangunan yang dicanangkan sejak terpilih sebagai presiden yang kedua kalinya. Diantara target itu, adalah swasembada pangan, termasuk swasembada gula, berbasis produksi dalam negeri. Namun sampai sejauh ini target-target yang dijanjikan itu masih belum terealisasikan bahkan cenderung mengalami kegagalan. Tanda-tanda kegagalan itu nampak pada program swasembada gula pada 2014 mendatang, bahkan Meteri Pertanian Suswono dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi VI DPR RI menjelaskan swasembada gula pada tahun 2014 mendatang terancam gagal. Pemerintah kesulitan menyediakan lahan membuat petani terhambat mengembangkan tanaman tebu. Selain kesulitan pemenuhan lahan, pabrik gula yang ada di beberapa wilayah di Indonesia saat ini, merupakan pabrik lama, sehingga lambat dalam proses pembuatan gula. Selain itu, produksi gula tak kunjung beranjak naik mendekati sasaran 5,7 juta ton gula kristal putih (GKP). Padahal Menteri Koordinator bidang Perekonomian Hatta Rajasa telah menugaskan kepada seluruh pemerintah provinsi di Indonesia agar memprioritaskan perluasan lahan kebun tebu.
Bahkan dalam rapat koordinasi dengan Kementerian Kehutanan Hatta menekankan, lahan-lahan yang dicabut izinnya karena sudah tidak sesuai lagi dengan fungsinya, agar diberikan kepada tebu. Untuk memenuhi swasembada tebu pada 2014, pemerintah butuh tambahan 350 ribu hektar lahan tebu. Untuk memnuli lahar 350 he ini, pemerintah akan mengincar Jawa Timur, Jawa Tengah, Lampung, Sumatera Selatan, Aceh, Sulawesi, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Maluku Utara, dan Papua.

Dukungan percepatan penyediaan lahan untuk perkebunan tebu dilakukan Kementrian Kehutanan. Menteri Kehutanan telah mengeluarkan surat edaran kepada seluruh pemda propisni untuk memberikan prioritas perkebunan tebu. Pemanfaatan potensial tebu pada proses alih hutan. Lahan yang telah dicabut seluas 539. 916 ha dapat diprioritaskan untuk penambahan penanaman tebu. Produksi Gula Nasional Stagnan Dalam tiga tahun terakhir ini produksi gula pasir berbasis tebu dalam negeri mengalami stagnan. Produksi gula pasir dalam negeri pada tahun 2003 sebesar 1,632 juta ton melonjak drastis menjadi 2,052 juta ton tahun 2004 karena pemerintah menerapkan program bantuan bagi petani untuk bongkar tanaman lama (ratoon) dan mengganti dengan bibit baru. Pada tahun 2008 produksi gula mengalami puncak tyertinggi yaitu sebesar 2,668 juta ton, tetapi setelah itu terus turun hingga 2,3 juta ton pada 2009, sementara jumlah produksi pada tahun 2010 senesar 2,214 juta ton. Di tahun ini diperkirakan paling banter 2,57 juta ton, lebih rendah dari target awal 2,73 juta ton. Penyebabnya, adalah rendemen atau kadar gula dalam batang tebu yang dapat diekstraksi di pabrik turun dari perkiraan awal 7,6 persen menjadi 7,4 persen. Sebaliknya dari tahun ke tahun impor gula terus melonjak. Dari periode 2005- 2010, besar kenaikan 9,8 persen. Dewan Gula Indonesia (DGI) menyebutkan impor tahun 2003 sebesar 2,456.642 ton. Di tahun 2010 impor gula semakin menjadi yaitu sebesar 3.622.738 ton atau 62 persen dari total gula di dalam negeri..

Hulu hingga hilir Persoalan swasembada gula ada mulai dari hulu, yakni budidaya pertanian hingga hilir, yaitu tata niaga. Di hulu, tanaman tebu banyak merupakan tanaman keprasan sehingga rendemennya rendah. Program bantuan bongkar ratoon terakhir dilakukan tahun 2003, setelah itu tidak menjadi prioritas. Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia memiliki bibit unggul yang potensi rendemennya mencapai 12 persen dan tebu 113,1 ton per hektar atau setara 13,7 ton gula pasir, tetapi petani harus mendapat insentif berupa pabrik gula (PG) bekerja efisien sehingga rendemen akhir tinggi. Lahan juga menjadi persoalan. Untuk mencapai swasembada gula, perlu tambahan areal 350.000 hektar. luasan 820.000 hektar diperlukan untuk mencapai kapasitas giling 396.000 ton tebu per hari (TCD) bila produktivitas tebu seperti sekarang, yakni 80 ton per hektar. Persoalan laten adalah efisiensi pabrik yang menentukan rendemen (hasil) berupa gula pasir dan kualitasnya. Hingga 2010 ada 61 PG dengan total kapasitas 225.018 TCD dan areal 418.259 hektar serta 8 PG rafinasi dengan total kapasitas 3,2 juta ton gula kristal rafinasi per tahun. Sebagian besar PG tersebut, terutama milik BUMN, usianya tua yang sebagian merupakan peninggalan Belanda. Akibatnya, rendemen pun rendah. Peta jalan menuju swasembada menargetkan rendemen tahun 2010 sebesar 8 persen, nyatanya hanya mencapai 6,47 persen. Tahun 2011 ditargetkan 8,1 persen, kemungkinan hanya mencapai 7,4 persen atau mungkin lebih rendah. PG-PG tesebut jelas butuh revitalisasi. Program revitalisasi PG terhambat kebijakan impor gula rafinasi dan gula mentah bahan baku gula rafinasi pada tahun 2007. Impor gula rafinasi langsung oleh industri makanan dan minuman (mamin) 715.000 ton, lalu ada impor gula mentah oleh PG yang kapasitasnya tak terpenuhi dari tebu sebanyak 448.000 ton, dan produksi gula rafinasi berbahan baku gula mentah sebesar 1,441 juta ton. Akibatnya terjadi kelebihan stok gula 900.000 ton yang menjadi cadangan tahun berikut. Harga lalu jatuh. Ini memengaruhi program revitalisasi pabrik. Bank ragu menyalurkan kredit yang umumnya harus kembali dalam delapan tahun. Akibatnya, program revitalisasi periode 20072009 dengan dana Rp 4,5 triliun hanya bisa menyerap Rp 0,5 triliun. Setelah itu, PG merevitalisasi dengan modal sendiri sehingga tak menyeluruh. Gula rafinasi Saat petani mengeluh dengan gula rafinasi yang membanjiri pasar yang berdampak pada turunnya harga. Padahal, dalam peraturan Kementerian Perdagangan, gula rafinasi hanya diperboleh untuk industri mamin. Ketua DPP Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) Sumitro Samadikoen menjelaskan, gula rafinasi yang merek Bola Manis yang diproduksi di Makassar masuk ke pasar umum hingga ke Pontianak. Menurut Sumitro Gula rafinasi itu menekan harga gula pasir di pasar yang berimbas pada rendahnya harga gula petani di pabrik. Ketua Forum Pengembangan Perkebunan Berkelanjutan, Ir. Achmad Mangga Barani MM, menjelaskan, alur distribusi gula nasional carut-marut. Melihat stok gula yang ada, seharusnya

tahun ini tidak perlu impor lagi, katanya. Berdasarkan perkiraan, kebutuhan konsumsi langsung 1,983 juta ton, sedangkan ketersediaan 2,557 juta ton sehingga ada sisa 500.000 ton GKP. Sebelum tahun 2007, gula rafinasi tidak pernah dihitung dalam neraca gula Dewan Gula Indonesia. Industri mamin besar dan sedang mengimpor sendiri dengan menyertakan bukti kapasitas dan lokasi industrinya. Namun, setelah 2007, pemerintah mengizinkan gula rafinasi juga untuk industri kecil dan rumah tangga. Meski begitu, besar kebutuhan itu tidak dikurangkan dari hitungan kebutuhan GKP. Pemerintah Tidak Konsisten Tangani Gula Nasional
Pemerintah dinilai tak konsisten dalam mewujudkan swasembada gula pada 2014. Ini terlihat dari menjamurnya gula rafinasi di beberapa daerah yang sangat merugikan petani tebu lokal. Oleh Karena itu, Komisi VI DPR akan menagih keseriusan Pemerintah dalam usaha mewujudkan swasembada gula 2014. Wakil Ketua Komisi VI DPR Aria Bima menegaskan tidak ada kemajuan Pemerintah dalam melaksanakan rekomendasi - rekomendasi yang telah diberikan oleh komisi VI.

Komisi VI akan melihat progress report mengenai rencana Pemerintah untuk mewujudkan swasembada gula 2014. Aria Bima menambahkan, ada 36 rekomendasi yang akan diberi ke masing-masing kementerian. Yang mana masing-masing kementerian harus melaksanakan kesepakatan rekomendasi tersebut. Para Dirjen di Kementerian masing-masing belum terlihat progresnya, sampai sejauh ini belum Nampak keseriusan Pemerintah dalam upaya penyelesaian kebutuhan gula nasional ini. Selain itu Aria menilai Pemerintah tidak konsisten dalam mengawasi gula rafinasi. Swasembada Gula jangan hanya sekedar wacana Sementara itu Anggota Komisi VI DPR, Abdul Wachid, berjanji akan menagih janji pemerintah mengenai swasembada gula. Komisi VI juga meminta pembinaan dan pengembangan industri gula dikembalikan kepada Kementerian Perindustrian dengan meneruskan program revitalisasi PG memakai APBN. Kami juga minta Menteri Perdagangan mempertegas sistem pengaturan distribusi gula dengan mengakomdasi kepentingan daerah secara adil. Yang penting juga, Kementerian Perdagangan harus mengaudit distribusi dan penyaluran gula rafinasi, kata Wachid. Komisi VI juga akan meminya BKPM untuk tidak memberi izin pendirian pabrik gula baru yang tidak mendahulukan pengusahaan kebun tebu. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah kelebihan produksi dan akal-akalan pengusaha importir gula mentah dengan alasan pabrik sudah berdiri. Tambahan penyediaan lahan 350.000 hektar juga menjadi tuntutan Komisi VI, sementara selain itu Komisi VI akan mendorong Kementerian Keuangan untuk menyediakan insentif, program bantuan dan subsidi untuk pupuk, bantuan bongkar ratoon dan kredit, serta revitalisasi pabrik gula. Persoalan penyelesaian gula sudah terpetakan, tinggal diperlukan keseriusan dan keberpihakan pemerintah. Gula sebagai komiditas strategis yang menghidupi jutaan petani, ekonomi nasional dengan nilai industry triliunan rupiah.

Anda mungkin juga menyukai