Anda di halaman 1dari 146

INFRASTRUKTUR

Memacu Sektor Pemicu

BADAN REHABILITASI DAN REKONSTRUKSI NADNIAS (BRR NADNIAS) 16 April 200516 April 2009

Kantor Pusat Jl. Ir. Muhammad Thaher No. 20 Lueng Bata, Banda Aceh Indonesia, 23247 Telp. +62651636666 Fax. +62651637777 www.eacehnias.org know.brr.go.id Pengarah Penggagas Editor

Kantor Perwakilan Nias Jl. Pelud Binaka KM. 6,6 Ds. Fodo, Kec. Gunungsitoli Nias, Indonesia, 22815 Telp. +6263922848 Fax. +6263922035

Kantor Perwakilan Jakarta Jl. Galuh ll No. 4, Kabayoran Baru Jakarta Selatan Indonesia, 12110 Telp. +62217254750 Fax. +62217221570

: Kuntoro Mangkusubroto : Bastian S. Sihombing : Cendrawati Suhartono (Koordinator) Margaret Agusta (Kepala) Rayagung Hidayat : Ihsan Abdul Salam : Gunawan Wibisono Langit Wahyu Sulistiani

Fotografi Desain Grafis

: Arif Ariadi Bodi Chandra : Bobby Haryanto (Kepala) Didi Suryawan Edi Wahyono

Editor Bahasa Penulis

Penyelaras Akhir : Heru Prasetyo Ratna Pawitra Trihadji Ricky Sugiarto (Kepala)

Alih bahasa ke Inggris Editor Editor Bahasa Penerjemah : Harumi Supit : Margaret Agusta : Leony Aurora Narottama Notosusanto

Penyusunan Seri Buku BRR ini didukung oleh Multi Donor Fund (MDF) melalui United Nations Development Programme (UNDP) Technical Assistance to BRR Project

ISBN 9786028199391

Melalui Seri Buku BRR ini, Pemerintah beserta seluruh rakyat Indonesia dan BRR hendak menyampaikan rasa terima kasih yang mendalam atas uluran tangan yang datang dari seluruh dunia sesaat setelah gempa bertsunami yang melanda Aceh pada 26 Desember 2004 serta gempa yang melanda Kepulauan Nias pada 28 Maret 2005. Empat tahun berlalu, tanah yang dulu porakporanda kini ramai kembali seiring dengan bergolaknya ritme kehidupan masyarakat. Capaian ini merupakan buah komitmen yang teguh dari segenap masyarakat lokal serta komunitas nasional dan internasional yang menyatu dengan ketangguhan dan semangat para korban yang selamat meski telah kehilangan hampir segalanya. Berbagai dinamika dan tantangan yang dilalui dalam upaya keras membangun kembali permukiman, rumah sakit, sekolah, dan infrastruktur lain, seraya memberdayakan para penyintas untuk menyusun kembali masa depan dan mengembangkan penghidupan mereka, akan memberikan pemahaman penting terhadap proses pemulihan di Aceh dan Nias. Berdasarkan hal tersebut, melalui halamanhalaman yang ada di dalam buku ini, BRR ingin berbagi pengalaman dan hikmah ajar yang telah diperoleh sebagai sebuah sumbangan kecil dalam mengembalikan budi baik dunia yang telah memberikan dukungan sangat berharga dalam membangun kembali Aceh dan Nias yang lebih baik dan lebih aman; sebagai catatan sejarah tentang sebuah perjalanan kemanusiaan yang menyatukan dunia.

Saya bangga, kita dapat berbagi pengalaman, pengetahuan, dan pelajaran dengan negaranegara sahabat. Semoga apa yang telah kita lakukan dapat menjadi sebuah standar dan benchmark bagi upayaupaya serupa, baik di dalam maupun di luar negeri.
Sambutan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada Upacara Pembubaran BRR di Istana Negara, 17 April 2009 tentang keberangkatan tim BRR untuk Konferensi Tsunami Global Lessons Learned di Markas Besar PBB di New York, 24 April 2009

Sebuah truk pengangkut eskavator melintasi ruas jalan di Lhoong, Aceh Besar, yang mulus dan berkualitas tinggi, 20 Februari 2009. Ruas Lhoong adalah bagian dari jalan Banda AcehCalang berdana total sekitar US$240 juta bantuan USAID yang peletakan batu pertamanya dilakukan pada 25 Agustus 2005. Jalan itu diharapkan mampu menjadi pemicu pembangunan kawasan pantai barat sehingga terpacu mengimbangi laju pembangunan kawasan pantai timur Aceh. Foto: BRR/Arif Ariadi

Daftar isi
Pendahuluan Bagian 1. Membangun Pilar Kehidupan
Bergerak dari Titik Nadir Bergerak Lincah Menembus Tantangan Bekerja Sambil Lesehan Berkembang Sesuai Kebutuhan Rangkap Jabatan, Rangkap Pekerjaan Mengakhiri Masa Kerja

viii 1
6 8

Bagian 2. Berlayar Sambil Membuat Perahu

13

16 17 22 27 31 38

Bagian 3. Cetak Biru Sejuta Harapan Bagian 4. Mengelola Dana Bantuan


Mengejar Kepercayaan Kisahkisah Bersama Mitra Utama

Mencerna Buku Panduan Sesuai Kebutuhan Program di Lintasan Pembuka

31 47 57
57 71

47 50

Bagian 5. Jalan Berliku Meneguhkan Integritas


Serangan Datang dari Segala Arah Likaliku Proses Pengadaan

Bagian 6. Menaklukkan Masalah Menggapai Tujuan


Jurus Pamungkas Hadapi Tantangan Hasil Apik Garapan Otak dan Otot

77 109

78 91

Bagian 7. Hikmah Ajar dan Kasus Menarik

Budaya Baru dari Penanggulangan Bencana 109 Aksi Afirmasi Membela Pengusaha Lokal 111 Konsisten terhadap Aturan Kontrak 112 Pengutamaan Program Gender 112 Jalan Lintas JanthoKeumala Menerobos Hutan Lindung 113 Rehabilitasi Rekonstruksi Jalan LamnoCalang 114 Lahirnya Water Supply Meeting Group 115 Pembebasan Lahan yang Melelahkan 116 Kontainer Bekas untuk Dermaga 118 Pembangunan Jalan Berbasis Sumber Daya Lokal Menciptakan Lapangan Kerja 118 Pimpinan Daerah yang Mau Turun ke Bawah 121 Komunikasi dan Pendelegasian Wewenang Mempercepat Proses Rekonstruksi 122 Tim Pengawas Konstruksi sebagai Tangan Kanan Manajemen 124 Unit Quality Assurance Memudahkan Pengendalian Teknis 125

Daftar Singkatan

128

INFRASTRUKTUR: Memacu Sektor Pemicu

viii

Pendahuluan
SELAMA tiga kali dua puluh empat jam, terhitung sejak 27 Desember 2004, Sang
Saka Merah Putih berkibar setengah tiang: bencana nasional dimaklumatkan. Aceh dan sekitarnya diguncang gempa bertsunami dahsyat. Seluruh Indonesia berkabung. Warga dunia tercengang, pilu. Tsunami menghantam bagian barat Indonesia dan menyebabkan kehilangan berupa jiwa dan saranaprasarana dalam jumlah yang belum pernah terbayangkan sebelumnya. Bagi yang selamat (penyintas), rumah, kehidupan, dan masa depan mereka pun turut raib terseret ombak. Besaran 9,1 skala Richter menjadikan gempa tersebut sebagai salah satu yang terkuat sepanjang sejarah modern. Peristiwa alam itu terjadi akibat tumbukan dua lempeng tektonik di dasar laut yang sebelumnya telah jinak selama lebih dari seribu tahun. Namun, dengan adanya tambahan tekanan sebanyak 50 milimeter per tahun secara perlahan, dua lempeng tersebut akhirnya mengentakkan 1.600an kilometer patahan dengan keras. Patahan itu dikenal sebagai patahan megathrust Sunda. Episentrumnya terletak di 250 kilometer barat daya Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Retakan yang terjadi, yakni berupa longsoran sepanjang 10 meter, telah melentingkan dasar laut dan kemudian mengambrukkannya. Ambrukan ini mendorong dan mengguncang kolom air ke atas dan ke bawah. Inilah yang mengakibatkan serangkaian ombak dahsyat. Hanya dalam waktu kurang dari setengah jam setelah gempa, tsunami langsung menyusul, menghumbalang pesisir Aceh dan pulaupulau sekitarnya hingga 6 kilometer ke arah daratan. Sebanyak 126.741 jiwa melayang dan, setelah tragedi tersebut, 93.285 orang dinyatakan hilang. Sekitar 500.000 orang kehilangan hunian, sementara 750.000an orang mendadak berstatus tunakarya.

Pada sektor privat, yang mengalami 78 persen dari keseluruhan kerusakan, 139.195 rumah hancur atau rusak parah, serta 73.869 lahan kehilangan produktivitasnya. Sebanyak 13.828 unit kapal nelayan raib bersama 27.593 hektare kolam air payau dan 104.500 usaha kecilmenengah. Pada sektor publik, sedikitnya 669 unit gedung pemerintahan, 517 pusat kesehatan, serta ratusan sarana pendidikan hancur atau mandek berfungsi. Selain itu, pada subsektor lingkungan hidup, sebanyak 16.775 hektare hutan pesisir dan bakau serta 29.175 hektare terumbu karang rusak atau musnah. Kerusakan dan kehilangan tak berhenti di situ. Pada 28 Maret 2005, gempa 8,7 skala Richter mengguncang Kepulauan Nias, Provinsi Sumatera Utara. Sebanyak 979 jiwa melayang dan 47.055 penyintas kehilangan hunian. Dekatnya episentrum gempa yang sebenarnya merupakan susulan dari gempa 26 Desember 2004 itu semakin meningkatkan derajat kerusakan bagi Kepulauan Nias dan Pulau Simeulue. Dunia semakin tercengang. Tangantangan dari segala penjuru dunia terulur untuk membantu operasi penyelamatan. Manusia dari pelbagai suku, agama, budaya, afiliasi politik, benua, pemerintahan, swasta, lembaga swadaya masyarakat, serta badan nasional dan internasional mengucurkan perhatian dan empati kemanusiaan yang luar biasa besar. Dari skala kerusakan yang diakibatkan kedua bencana tersebut, tampak bahwa sekadar membangun kembali permukiman, sekolah, rumah sakit, dan prasarana lainnya belumlah cukup. Program pemulihan (rehabilitasi dan rekonstruksi) harus mencakup pula upaya membangun kembali struktur sosial di Aceh dan Nias. Trauma kehilangan handaitaulan dan cara untuk menghidupi keluarga yang selamat mengandung arti bahwa program pemulihan yang ditempuh tidak boleh hanya berfokus pada aspek fisik, tapi juga nonfisik. Pembangunan ekonomi pun harus bisa menjadi fondasi bagi perkembangan dan pertumbuhan daerah pada masa depan. Pada 16 April 2005, Pemerintah Republik Indonesia, melalui penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang Nomor 2 Tahun 2005, mendirikan Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah dan Kehidupan Masyarakat Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Kepulauan Nias, Sumatera Utara (BRR). BRR diamanahi tugas untuk mengoordinasi dan menjalankan program pemulihan AcehNias yang dilandaskan pada partisipasi aktif masyarakat setempat. Dalam rangka membangun AcehNias secara lebih baik dan lebih aman, BRR merancang kebijakan dan strategi dengan semangat transparansi, untuk kemudian mengimplementasikannya dengan pola kepemimpinan dan koordinasi efektif melalui kerja sama lokal dan internasional. Pemulihan AcehNias telah memberikan tantangan bukan hanya bagi Pemerintah dan rakyat Indonesia, melainkan juga bagi masyarakat internasional. Kenyataan bahwa tantangan tersebut telah dihadapi secara baik tecermin dalam berbagai evaluasi terhadap program pemulihan.
Pendahuluan

ix

INFRASTRUKTUR: Memacu Sektor Pemicu

Pada awal 2009, Bank Dunia, di antara beberapa lembaga lain yang mengungkapkan hal serupa, menyatakan bahwa program tersebut merupakan kisah sukses yang belum pernah terjadi sebelumnya dan teladan bagi kerja sama internasional. Bank Dunia juga menyatakan bahwa kedua hasil tersebut dicapai berkat kepemimpinan efektif dari Pemerintah. Upaya pengelolaan yang ditempuh Indonesia, tak terkecuali dalam hal kebijakan dan mekanisme antikorupsi yang diterapkan BRR, telah menggugah kepercayaan para donor, baik individu maupun lembaga, serta komunitas internasional. Tanpa kerja sama masyarakat internasional, kondisi Aceh dan Nias yang porakporanda itu mustahil berbalik menjadi lebih baik seperti saat ini. Guna mengabadikan capaian kerja kemanusiaan tersebut, BRR menyusun Seri Buku BRR. Kelimabelas buku yang terkandung di dalamnya memerikan proses, tantangan, kendala, solusi, keberhasilan, dan pelajaran yang dituai pada sepanjang pelaksanaan program pemulihan AcehNias. Upaya menerbitkannya diikhtiarkan untuk menangkap dan melestarikan inti pengalaman yang ada serta mengajukan diri sebagai salah satu referensi bagi program penanganan dan penanggulangan bencana di seluruh dunia. Buku berjudul Memacu Sektor Pemicu ini menilik sektor yang memang mendapat prioritas signifikan. Bagi BRR sendiri, infrastruktur ditempatkan sebagai sektor strategis karena pembangunannya bermakna memperlancar akses dari dan ke daerah terpencil. Arti pentingnya sebagai instrumen pemicu tumbuhkembang pembangunan sosialekonomi masyarakat, membuat progres Pemulihan sektor publik ini terus dipacu sejak awal.

Capaian 4 Tahun
Rehabilitasi dan Rekonstruksi
635.384 127.720
orang kehilangan tempat tinggal orang meninggal dan 93.285 orang hilang usaha kecil menengah (UKM) lumpuh

104.500 155.182 195.726

tenaga kerja dilatih UKM menerima bantuan

xi

rumah rusak atau hancur hektare lahan pertanian hancur guru meninggal kapal nelayan hancur

139.195 140.304 73.869 69.979

rumah permanen dibangun hektare lahan pertanian direhabilitasi guru dilatih kapal nelayan dibangun atau dibagikan sarana ibadah dibangun atau diperbaiki kilometer jalan dibangun sekolah dibangun sarana kesehatan dibangun bangunan pemerintah dibangun jembatan dibangun pelabuhan dibangun bandara atau airstrip dibangun

1.927 39.663

13.828 7.109

sarana ibadah rusak kilometer jalan rusak sekolah rusak

1.089 3.781

2.618 3.696

3.415 1.759

sarana kesehatan rusak bangunan pemerintah rusak jembatan rusak pelabuhan rusak bandara atau airstrip rusak

517 1.115

669 996

119 363 22 23

8 13

Membangun Pilar Kehidupan


begitu terik. Peluh bercucuran di sekujur tubuhnya tapi rona gembira tak menghilang dari wajah Sahrul, seorang penarik becak motor. Energi Sahrul kembali menyala saat teringat rombongan penumpang di Pelabuhan Ulee Lheue. Seketika juga, dia bergegas menghampiri becak motornya. Mesin kendaraan itu meraungraung. Asap knalpot kemudian menutupi pandangan mata. Sahrul pun lenyap. Seperti angin, becak motornya berlari melintasi Ulee Lheue Boulevard, menyeberangi jembatan laguna terus melaju hingga akhirnya sampai di pelabuhan feri. Jarak sepanjang lima kilometer itu dilahapnya dalam 10 menit. Perhitungannya sungguh tepat, sesampainya di sana, puluhan penumpang yang baru turun dari Feri Sabang sudah menunggu untuk diantar Sahrul ke Banda Aceh. Mereka adalah rezeki milik Sahrul. Dari mengantar penumpang dari Pelabuhan Ulee LheueBanda Aceh dia bisa mengantongi Rp50 ribu sehari. Cukup untuk menghidupi istri dan satu orang anaknya. Sangat bersyukur, jalan dan jembatan sudah dibangun dengan baik sehingga bisa lancar mencari nafkah, ujar lelaki 34 tahun asal Kecamatan Meuraxa, Banda Aceh, ini. Kawasan Ulee Lheue kini telah berubah. Sisasisa puing tsunami yang porakporanda menumpuk di sepanjang jalan tinggal cerita. Semua berganti menjadi pokokpokok tanaman bakau yang menyembul di perairan tambak sepanjang Ulee Lheue Boulevard. Jalan mulus selebar empat jalur ini mengganti loronglorong jalan yang dulunya sempit

SIANG

Kota Banda Aceh yang lumpuh pascabencana dilihat dari udara, 3 Mei 2005. Foto: BRR/Arif Ariadi

Bagian 1. Membangun Pilar Kehidupan

INFRASTRUKTUR: Memacu Sektor Pemicu

dan sesak. Dua jembatan baru nan kukuh telah dibangun mengganti jembatan lama yang rapuh karena tsunami. Sebagian daratan Ulee Lheue yang semula musnah ditelan tsunami setelah direklamasi berubah menjadi kawasan pelabuhan yang lapang. Jika malam tiba, lampulampu jalan menaburkan cahaya di sepanjang bulevar. Ulee Lheue telah berubah. Pulihnya Ulee Lheue tentu saja menjadi berkah tersendiri bagi Sahrul. Tak mau tinggal diam melihat kondisi yang menguntungkan ini, dia lalu banting setir dari hanya seorang kuli bangunan yang penghasilannya tidak tetap menjadi seorang pengemudi becak motor di Ulee Lheue. Saat tsunami menyapu, dia kehilangan segalanya. Tak hanya harta bendanya namun juga seluruh keluarganya. Ayah, ibu, dan sanak saudaranya tak kembali setelah digulung gelombang raksasa itu. Sahrul harus melupakan kedukaannya dan memulai lagi kehidupannya dari nol. Kini dia telah menikah dengan wanita sesama penyintas tsunami dan telah dikaruniai seorang anak. Seiring pulihnya infrastruktur di Ulee Lheue, kehidupannya pun telah pulih kembali. Tak ada hambatan lagi, mengantar penumpang jadi nyaman. Rute mencari nafkah menuju Pelabuhan Ulee Lheue kini sudah bagus, ujarnya. Harapan untuk hidup yang lebih baik, kini terbentang luas. Kegembiraan ini tentu saja bukan milik Sahrul semata. Tapi juga terjadi di seluruh penjuru kawasan bencana di NAD dan Nias. Selain Ulee Lheue, hingga berakhirnya masa kerja BRR pada April 2009, infrastruktur seluruh wilayah bencana NAD dan Nias relatif pulih kembali. Jalan lintas barat, yang menghubungkan Banda Aceh dan Meulaboh yang semula hancur lebur akibat tsunami, kini sudah tersambung. Total panjang jalan dan jembatan yang telah terbangun mencapai 2.600 kilometer. Demikian juga dengan fasilitas perhubungan lainnya seperti pelabuhan laut, bandar udara, fasilitas telekomunikasi, terminal, hingga fasilitas air minum. BRR telah menyelesaikan tugasnya. Tentu saja tidak ada gading yang sempurna, sebab masih pekerjaan yang belum rampung, yang jumlahnya mencapai lima persen dari total keseluruhan pembangunan. Hal ini wajar karena selama perencanaan dan pelaksanaan sempat terjadi beberapa kendala. Kekurangan itu akan dilanjutkan lembaga lain seperti Departemen Pekerjaan Umum, Departemen Perhubungan, dan pemerintah daerah. Tentu bukan perkara mudah memulihkan infrastruktur di Serambi Mekkah ini. Apalagi BRR hanya punya waktu empat tahun untuk memulihkan seluruh infrastruktur yang lumpuh total akibat gempa dan tsunami. Kerusakan yang terjadi begitu parah. Kawasan yang tersapu langsung ombak besar itu seperti Kota Banda Aceh, Kabupaten Aceh Besar, Kabupaten Aceh Jaya, Kabupaten Aceh Barat, Kabupaten Singkil, dan Kepulauan Nias. Kedua wilayah terakhir lebih parah setelah diguncang gempa, Maret 2005. Jalan raya yang menghubungkan kotakota di Pantai Barat Aceh misalnya luluh lantak diterjang ombak raksasa. Bahkan sejumlah ruas jalan di beberapa wilayah di sana hilang

tergerus hingga ke fondasinya, seolah terhapus begitu saja dari peta. Sebagian lagi tenggelam di dasar laut, akibat garis pantai yang maju beratus meter ke arah daratan atau juga permukaan tanah yang turun akibat gempa. Ombak tsunami menggerus hampir seluruh Pantai Barat Aceh, yang ratarata tidak memiliki pelindung pantai alami, baik berupa hutan bakau maupun pelindung buatan. Jangankan pantai, pelabuhan laut pun yang rusak atau hancur total akibat air raksasa itu mencapai 24 pelabuhandi antaranya Pelabuhan Meulaboh, Calang, Ulee Lheue, dan Singkil. Ini belum termasuk rusaknya jaringan telekomunikasi, listrik, dan air minum di Banda Aceh dan Calang serta Meulaboh. Stasiun sentral telepon di Meulaboh bahkan hancur sehingga melumpuhkan jaringan di sekitarnya. Yang merepotkan, saat sistem dan jaringan di Meulaboh mulai diperbaiki, kapasitas stasiun sentral otomat di Tapaktuan ikut terimbas kapasitasnya. Mau tak mau, sentral telepon di Tapaktuan harus diperbesar. Sentra ini menjadi penghubung jaringan telepon Meulaboh ke sistem jaringan telepon nasional. Fasilitas air minum juga rusak parah. Di Banda Aceh misalnya, PDAM Tirta Daroy sebagai penyuplai utama air minum lumpuh akibat gempa. Kerusakan terutama terjadi pada jaringan pipa distribusi, instalasi penjernih air, jaringan pipa penyedotan air (intake), dan

Pelabuhan Ulee Lheue, Banda Aceh, yang setiap hari melayani rute Banda AcehPulau Weh, mengalami kehancuran sangat parah, 3 Agustus 2005. Foto: BRR/Arif Ariadi

Bagian 1. Membangun Pilar Kehidupan

INFRASTRUKTUR: Memacu Sektor Pemicu

RUMAH SAKIT

KANTOR AGA MA

1.000 Km 21 Kab/kota 8 Unit 24 Unit 3.440 Km 120 Unit 2.495 Km 107.216 Ha 126.146 M2 69.058 M2 1.052 Unit 2.000 Unit

Pantai rusak Sistem jaringan PDAM rusak Bandara rusak Pelabuhan rusak/hancur Jaringan tegangan listrik rusak Jembatan arteri rusak/hancur Jalan utama hancur Jaringan irigasi rusak Sungai rusak Rawa dan pantai rusak Gedung pemerintahan rusak/hancur Sekolah rusak/hancur

TRADISIONAL

PASAR

Bagian 1. Membangun Pilar Kehidupan

INFRASTRUKTUR: Memacu Sektor Pemicu

fasilitas pendukung lainnya. Hal ini membuat fasilitas ini tidak bisa menyuplai air minum ke seluruh kota. Kapasitas suplai air minum yang tersisa tinggal 20 persen saja. Dapat dibayangkan betapa sulitnya kondisi saat itu. Air merupakan kebutuhan yang sangat mendesak untuk menolong para penyintas tsunami. Rusaknya berbagai sarana dan prasarana infrastruktur saat itu membuat pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi menjadi semakin sulit dilakukan. Banyak daerah terisolasi dan tidak terjangkau. Jangankan untuk mendistribusikan bahan konstruksi bangunan, untuk menyalurkan bantuan logistik pada masa tanggap darurat pun sangat sulit.

Bergerak dari Titik Nadir


Di luar kerusakan yang akibat bencana gempa dan tsunami, kondisi wilayah Aceh sendiri memang menyedihkan. Akibat didera konflik berkepanjangan membuat wilayah ini amat tertinggal, termasuk dalam soal pembangunan infrastruktur. Sebelum tercapainya perdamaian, Aceh adalah kawasan konflik bersenjata yang sangat rawan dan berisiko untuk dimasuki kegiatan pembangunan infrastruktur. Akibatnya pembangunan banyak terpusat di kawasan perkotaan, daerah padat penduduk, atau di daerah sepanjang jalan utama saja. Jangankan fasilitas jalan atau perhubungan, prasarana pertanian seperti irigasi saja tidak terpelihara. Demikian halnya dengan bendungan utama irigasi, banyak yang tidak berfungsi. Pertanian pun sunyi senyap. Kondisi ini makin buruk setelah tsunami datang, terutama di kawasan pantai. Akibat tsunami, lebih dari 11 ribu hektare kawasan pertanian, akibat tertimbun pasir dan tanah, tidak produktif lagi. Di beberapa wilayah, pembangunan infrastruktur jalan juga terhambat. Secara kasatmata kondisi infrastruktur strategis di beberapa wilayah berada dalam kondisi baik, seperti kondisi jalan tingkat nasional dan provinsi. Walaupun di beberapa titik masih butuh perawatan, pada masa sebelum tsunami beberapa ruas jalan seperti jalan lintas timur, lintas barat, dan lintas tengah Provinsi NAD sudah berlapis aspal hotmix. Namun di tingkat yang lebih rendah (kabupaten) infrastuktur jalan terbangun seadanya. Selain tingkat pembangunannya masih rendah, pemeliharaannya juga seadanya. Sebagian besar jalan kabupaten bahkan belum beraspal hotmix atau masih berupa jalan batu atau kerikil. Pasokan tenaga listrik? Sama saja. Sebelum tsunami, pasokan utama listrik untuk Provinsi Aceh berasal dari sistem jaringan Sumatera Bagian Utara melalui transmisi tegangan tinggi di sepanjang Pantai Timur Sumatera. Itu pun, jangkauan pelayanannya masih sangat kecil dan umumnya hanya memasok kawasan pantai timur dan perkotaan. Di luar itu, pasokan listrik didapat dari jaringan setempat berupa pembangkit listrik tenaga diesel yang sering mengalami gangguan. Voltasenya naikturun atau minim sehingga sering mengakibatkan pemadaman. Kondisi ini makin buruk dengan munculnya

pencuri kabelkabel listrik dan besi menara listrik. Tak heran sering terjadi, beberapa menara tegangan tinggi roboh. Pada akhirnya, pembangunan infrastruktur tidak sampai ke daerah pedalaman. Pasokan listrik sangat terbatas karena bergantung pada generator kecil hasil swadaya masyarakat yang hanya berfungsi pada malam hari. Lebih jauh lagi ke pegunungan tengah dan pantai barat, pelayanan listrik belum ada sama sekali. Kondisi infrastruktur sebelum tsunami ini mau tidak mau menjadi bagian dari program rehabilitasi dan rekonstruksi infrastruktur BRR. Terlebih karena dengan mandat build back better dalam membangun kembali Aceh, di luar membangun kawasan tsunami, kawasan lain juga harus dibangun. Hal lainnya juga karena sebagian program itu masuk ke dalam cetak biru yang dibuat Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. Memang itu tidak semua. Pada beberapa kasus, seperti ruas GeumpangTutut yang merupakan program pemerintah sebelumnya (bagian dari jalan Ladia Galaska) bukanlah ruas yang terkena tsunami. Ruas itu kemudian dibangun dengan alasan dapat menjadi jalur alternatif untuk menembus Meulaboh dan wilayah pantai barat lainnya. Walaupun pada akhirnya pembangunan jalan lintas tengah yang memotong pegunungan Leuser ini harus berbenturan dengan masalah lingkungan. Kerusakan infrastruktur yang menyeluruh ini jelas sangat menghambat distribusi bantuan pada masa tanggap darurat. Beruntung beberapa fasilitas pelabuhan dan bandara masih bisa digunakan. Walaupun kondisinya darurat karena kapasitasnya sangat kecil, arus bantuan baik dari dalam maupun luar negeri masih bisa tertampung.

Jalan di Lhoong, Aceh Besar, dari waktu ke waktu selalu tergenang air pasang laut, 3 Oktober 2006. Hal tersebut menjadi tantangan tersendiri bagi pembangunan infrastruktur pantai barat Aceh. Foto: BRR/Arif Ariadi

Bagian 1. Membangun Pilar Kehidupan

INFRASTRUKTUR: Memacu Sektor Pemicu

Pelabuhan Lhokseumawe dan Malahayati, di antaranya, saat itu perannya sangat krusial sebagai pintu masuk logistik, peralatan, dan personel bagi misi kemanusiaan di Aceh. Kedua pelabuhan ini sendiri sejatinya tak luput dari terjangan tsunami. Namun dengan kondisi minimal itu kedua pelabuhan tersebut masih bisa beroperasi. Dari kedua pelabuhan inilah material, peralatan, dan personel kemudian dimobilisasi ke Banda Aceh dan sekitarnya. Selain melalui laut, bantuan juga datang melalui udara. Saat itu Bandara Sultan Iskandar Muda (SIM) yang tidak terimbas tsunami menjadi tumpuan utama. Pada masa tanggap darurat itu, Bandara SIM seketika berubah menjadi bandara internasional karena juga harus melayani padatnya lalu lintas pesawat dari luar negeri. Oleh karena kapasitasnya terbatas, Bandara Maimun Saleh di Sabang akhirnya juga diberdayakan sebagai bandara alternatif bagi pesawatpesawat yang membawa bantuan kemanusiaan. Saat itu Bandara SIM juga menjadi base camp bagi puluhan helikopter internasional yang menyuplai bantuan ke segala penjuru kawasan bencana yang terisolasi akibat putusnya jalur darat dan laut. Pada saat bersamaan, di masa tanggap darurat jalur darat lintas barat, yakni Banda AcehMeulaboh juga mulai dirintis. Pembangunan jalan darurat sepanjang 235 kilometer itu dikerjakan TNI Angkatan Darat. Hingga masa tanggap darurat selesai, jalur darat yang berhasil mereka kerjakan mencapai 35 persen. Ini sudah termasuk diperbaikinya 17 jembatan dari total 53 jembatan yang rusak di jalur tersebut. Sementara itu untuk mengatasi putusnya jaringan komunikasi, pada masa tanggap darurat itu, jaringan telepon seluler mulai diperbaiki. Demikian halnya dengan jaring komunikasi berbasis satelit, terutama sistem very small aperture terminal (VSAT) juga mulai dibangun. Sistem ini boleh dibilang menjadi dewa penolong pulihnya komunikasi darurat. Selain mudah dirakit, sistem ini juga terbukti mampu menembus komunikasi (baik suara maupun data) hingga kawasan paling terpencil dan terisolasi, terutama di sepanjang Pantai Barat Aceh. Terlebih adanya bantuan Yayasan Air Putih, yang menggagas jaringan internet hingga ke pelosokpelosok kawasan bencana. Sarana ini tentu saja mempermudah berbagai lembaga donor dan LSM baik nasional maupun internasional, dalam mengirim data dan informasi ke kantor pusat mereka di belahan bumi mana pun.

Bergerak Lincah Menembus Tantangan


Untuk memulai sebuah proses rehabilitasi dan rekonstruksi, tentu saja semua proses yang terjadi pada masa tanggap darurat itu masih kurang. Satu hal yang menjadi persoalan saat BRR mulai bekerja pada April 2005 adalah pengangkutan peralatan dan material konstruksi ke wilayah bencana. Toh, semua itu tak lantas menjadi hambatan. Badan ini harus segera bergerak. Melihat urgensi ini, salah satu keputusan pertama yang dibuat BRR adalah membangun Pelabuhan Meulaboh secepatnya. Dermaga ini

akan membantu proses mobilisasi peralatan dan material konstruksi untuk menjangkau wilayah pantai barat. Penetapan lokasi pelabuhan dilakukan dengan cepat, yakni beberapa hari setelah BRR resmi bekerja. Lokasi pelabuhan itu terletak tepat di samping Pelabuhan Penyeberangan Meulaboh yang hancur total. Pembangunan dermaga yang mendapatkan bantuan dari Singapore Red Cross Society ini pun terbilang cepat, yaitu setahun saja. Pada April 2006 dermaga ini sudah dapat digunakan. Hasilnya sangat membantu pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi di wilayah barat. Berbagai pengalaman dan mengatasi berbagai kendala yang terjadi di lapangan selama melakukan proses rekonstruksi dan rehabilitasi inilah yang dituangkan dalam buku ini. Tujuannya selain menjadi dokumentasi, berbagai pengalaman yang telah dilalui badan ini semoga dapat dijadikan referensi membangun kembali infrastruktur di ranah pascabencana. Dengan begitu, kebingungan yang dialami badan ini pada saat memulai proses rekonstruksi dan rehabilitasi tidak lagi terjadi. Pada saat memulai kerja, lembaga ini tak ubahnya berjalan seperti orang buta. Badan ini tidak memiliki buku panduan resmi dari

Kesibukan di pelabuhan Meulaboh, Aceh Barat, setelah pelabuhan laut itu diresmikan, 7 November 2006. Foto: BRR/Arif Ariadi

Bagian 1. Membangun Pilar Kehidupan

INFRASTRUKTUR: Memacu Sektor Pemicu

10

Alat berat menapaki jalan yang dibangun USAID di Lamno, Aceh Jaya, 18 Maret 2006. Foto: BRR/Arif Ariadi

lembaga mana pun di dunia yang bisa dijadikan referensi membangun dan menghadapi musibah mahadahsyat seperti ini. Namun lembaga ini tetap berupaya mengembalikan kehidupan masyarakat yang luluh lantak akibat bencana. Pekerjaan yang tidak ringan. Kerja raksasa ini tidak akan mungkin dilakukan sendiri pemerintah daerah yang tak berdaya akibat infrastruktur pemerintahannya juga lumpuh dan personelnya banyak yang hilang serta mengalami trauma yang berat. Di luar itu, kondisi lapangan yang hancur lebur akibat tsunami menjadi tantangan tersendiri. Ketersediaan material dan peralatan konstruksi seperti semen, alatalat berat, dan aspal yang sangat terbatas. Yang tak kalah penting, suasana psikologis yang belum begitu aman dan kondusif memperlambat gerakan rehabilitasi dan rekonstruksi infrastruktur. Hambatan lainnya adalah tenaga kerja untuk membangun infrastruktur. Soal ini menjadi masalah tersendiri. Pascatsunami, tenaga kerja yang ada di Aceh lebih berhubungan dengan masalah sosial. Selain terbatas, tenaga kerja lokal kebanyakan masih trauma tsunami karena banyak yang kehilangan harta benda dan keluarga. Sedangkan untuk mendatangkan tenaga kerja dari luar pun tidak mulus karena ada sejumlah penolakan tenaga kerja level bawah. Di saat bersamaan, kebutuhan tenaga kerja besarbesaran di Banda Aceh pun meningkat. Pasalnya, pihak swasta pun saat itu mulai membangun ruko dan bangunan lainnya.

Semua hal itu berjalan simultan. Masalah pendanaan termasuk di dalamnya. Siapa pun memahami, pemulihan pascabencana tentu memerlukan dana sangat besar dan organisasi khusus untuk mengelolanya. Sedangkan dana yang disediakan pemerintah Indonesia sendiri sangat terbatas. Untuk itulah berbagai tawaran bantuan dana dari lembagalembaga internasional yang baru sebatas komitmen harus terus dikejar dan dibuatkan skema pendanaannya, termasuk pula saat mulai bekerja sesuai dengan program kerja yang telah ditentukan dalam cetak biru yang ditetapkan pemerintah. Masalah kemudian timbul karena ternyata di dalam cetak biru itu terdapat banyak program yang tidak sesuai dengan urgensi bencana. Bahkan cenderung tumpangtindih dengan program lembaga pemerintah lainnya selain BRR. Tidak hanya itu, cetak biru tersebut disusun tanpa disertai desain perencanaan yang detail. Karena itulah kebijakankebijakan terobosan akhirnya dibuat untuk mempercepat proses rekonstruksi, termasuk di dalamnya bagaimana menyelenggarakan pelelangan dan konstruksi di lapangan, serta bagaimana menentukan skema pendanaan dan anggaran. Kalau tidak boleh disebut berakrobat, seluruh upaya dilakukan badan ini untuk mengatasi persoalan yang dihadapinya. Tentu semua bermuara untuk memulihkan infrastruktur di seluruh kawasan bencana gempa dan tsunami sehingga kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat kembali normal.

Bagian 1. Membangun Pilar Kehidupan

Urusan ke dalam juga bermasalah. Badan ini belum memiliki struktur organisasi yang jelas. Alhasil, menyusun struktur organisasi kerja dan personel Kedeputian Bidang Infrastruktur menjadi hal mutlak, terutama bagaimana menyusun struktur organisasi dan personel Kedeputian Bidang Infrastruktur termasuk dalam soal reorganisasi sesuai dengan perubahan di lapangan. Untuk itu, sesuai dengan kebutuhan, dari tahun pertama hingga berakhirnya masa kerja BRR, sempat terjadi beberapa kali perombakan struktur organisasi Kedeputian Bidang Infrastruktur .

11

Berlayar Sambil Membuat Perahu


HARI itu sebuah helikopter terbang rendah mengitari pesisir Meulaboh. Di
dalamnya, tim relawan Singapore Red Cross Society (SRCS) yang ditemani Djoko Sasono, staf Deputi Bidang Infrastruktur BRR, yang baru saja terbentuk beberapa hari sebelumnya, serius mengamati kota yang luluh lantak akibat tsunami itu. Pada April 2005, mereka melakukan survei udara untuk mencari lokasi yang tepat untuk membangun dermaga baru. Pelabuhan yang lama, selain kecil, garagara tsunami kondisinya sudah tak layak lagi. Pelabuhan baru dengan ukuran yang lebih besar sangat penting dalam proses merehabilitasi dan merekonstruksi tidak saja bagi Meulaboh, tapi juga wilayah lainnya di Aceh. Pelabuhan ini akan menjadi pintu gerbang kapalkapal yang datang membawa bantuan. Meulaboh, kota yang menghadang langsung ombak raksasa di Pantai Barat Aceh itu, memang hancur total. Dari 120 ribu penduduk, tersisa 80 ribu orang. Mereka kehilangan segalanya. Tak ada satu pun bangunan berdiri utuh. Kota itu bagai dimasukkan ke dalam mesin blender lalu ombak raksasa itu menggilingnya tanpa ampun. Akibatnya, puluhan ribu rumah, jembatan, bangunanbangunan umum, dan seluruh jaringan infrastrukturnya hilang tergerus ombak tsunami, termasuk Pelabuhan Laut dan Penyeberangan Kota Meulaboh. Di masa tanggap darurat, kota ini terisolasi. Akses dari Banda Aceh hancur total. Saat itu, bantuan yang datang hanya bisa dilakukan melalui udara dan laut. Itu juga dengan seadanya.
Jembatan kokoh tak luput dari amukan tsunami, Lamno, Aceh Besar, 18 Maret 2006. Foto: BRR/Arif Ariadi

Bagian 2. Berlayar Sambil Membuat Perahu

13

INFRASTRUKTUR: Memacu Sektor Pemicu

Dari atas helikopter, lokasi baru akhirnya ditemukan. Tak jauh dari puingpuing pelabuhan lama. Beberapa bulan kemudian, pelabuhan tersebut selesai dibangun dan siap digunakan. Hingga masa rehabilitasi dan rekonstruksi berakhir, pelabuhan itu terbukti tidak hanya menjadi tulang punggung distribusi barang dan logistik bagi Meulaboh tapi juga seluruh wilayah Pantai Barat Aceh. Keputusan blitzkrieg atau gerak kilat ini tentu tidak lazim. Biasanya, untuk menetapkan lokasi suatu pelabuhan dibutuhkan sebuah studi yang mendalam dan membutuhkan waktu yang panjang. Namun waktu tak bisa menunggu. BRR yang baru saja menetas pun tak ingin kehilangan kesempatan. Meski struktur organisasi dan personel Kedeputian Bidang Infrastruktur belum terbentuk, keputusan cepat dan tetap sangat dibutuhkan. Keputusan cepat seperti ini bukanlah sekali ini terjadi dilakukan dalam pelaksanaan pemulihan infrastruktur di AcehNias. Meskipun telah dibekali cetak biru pemulihan bencana, sejatinya tidak ada buku panduan resmi di belahan bumi mana pun yang bisa dijadikan referensi memulai pemulihan infrastruktur di kawasan akibat bencana mahadahsyat seperti yang terjadi di Aceh. Yang pasti, dari semua itu salah satu hal yang harus dilakukan adalah merapatkan barisan dan menyusun personel untuk memulai pekerjaan dan itu tidak mudah. Hal itu sebenarnya sudah disadari seluruh staf BRR. Alkisah, sebelum BRR resmi dibentuk, bersama Junius Hutabarat (Mantan Direktur Jenderal Tata Ruang, Departemen Pekerjaan Umum), Bastian Sihombingyang belakangan menjabat sebagai Kepala Deputi Bidang Infrastruktur Lingkungan dan Pemeliharaan BRRsempat bertemu dengan Kuntoro Mangkusubroto di sebuah kantor LSM di Jakarta. Kuntoro dan Junius sebelumnya sudah sering terlibat dalam forumforum diskusi penanganan bencana dan penataan ruang

14

Infrastruktur dan Lingkungan Hidup


Perubahan Kedeputian Infrastruktur, Perumahan, dan Koordinasi Penatagunaan Lahan menjadi Infrastruktur, Lingkungan, dan Pemeliharaan tidak saja ditujukan untuk memindahkan bidang perumahan dari Kedeputian Infrastruktur tapi juga sebagai apresiasi terhadap bidang lingkungan. Pada awalnya tanggung jawab bidang lingkungan di Kedeputian Infrastruktur hanya menangani koordinasi penyediaan amdal kegiatan yang dibiayai donor yang sebenarnya hal ini sudah melekat sebagai bagian dari suatu perencanaan. Hal ini terjadi karena walaupun penamaan Kedeputian Infrastruktur termasuk menangani lingkungan, pada kenyataannya bidang ini ditaruh di Kedeputian Operasi. Hal ini hanya pertimbangan kepraktisan mengingat lingkungan tidak hanya untuk kegiatan pada Kedeputian Infrastruktur, tapi juga merupakan bagian kegiatan yang ada di Kedeputian Kesehatan untuk pembangunan rumah sakit, Kedeputian Pendidikan untuk kegiatan pembangunan gedung sekolah, dan Kedeputian Ekonomi untuk pembangunan pelabuhan perikanan. Aspek lingkungan diaplikasikan dalam semua sektor sehingga posisinya dilekatkan pada kedeputian yang bisa link dengan seluruh sektor tersebut, yaitu Kedeputian Operasi. Kemudian pada 2008, menjelang berakhirnya tugas BRR, organisasi yang berkaitan dengan lingkungan dipindah ke Kedeputian Infrastruktur bersama dengan masuknya bidang tata ruang.

akibat bencana tsunami, salah satunya di Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). Diskusidiskusi tersebut membangun sebuah pemahaman yang sama di antara mereka tentang penanganan dan pemulihan daerah bencana. Dalam pertemuan itu, mereka pun langsung sepakat saat membahas rencana rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh dan Nias pascatsunami, termasuk juga dibahas struktur organisasi institusi yang akan segera dibentuk. Kuntoro saat itu tidak menyodorkan organisasi dengan pendekatan sektoral seperti yang jamak digunakan dalam pemerintahan. Dia mengusulkan kegiatan yang tidak menyentuh konstruksi semata tapi juga harus dimasukkan aspek sosial, budaya, agama, ekonomi, kesehatan, dan pendidikan. Struktur itu direncanakan dan dilaksanakan saling mendukung dan melengkapi satu sama lain selama 60 hari sebagai masa transisi. Mungkin inilah yang disebut pendekatan holistik, pikir Bastian Sihombing, yang dalam pertemuan itu masih hadir sebagai tamu. Pada awalnya organisasi yang disodorkan itu sulit dipahami karena bertumpu pada penugasan dan target masingmasing sektor. Setiap bidang pelaksana selain menangani kegiatan konseptual juga menangani konstruksi pembangunan fisik sehingga setiap bidang dituntut memahami masalah konstruksi dan administrasi teknis. Sektor infrastruktur misalnya. Selain menangani pembangunan fisik juga mengurusi pertanahan dan lingkungan. Sektor pendidikan tidak hanya menangani sistem pendidikan dan pengajaran, tapi juga konstruksi bangunan sekolah dan fisik laboratoriumnya. Demikian halnya sektor agama dan sosial, yang seharusnya hanya menangani pemulihan kegiatan beribadah dan yang transformasi sosial, disatukan dengan kegiatan pembangunan prasarana sosial dan keagamaan.
Bagian 2. Berlayar Sambil Membuat Perahu

15

Latar belakang penambahan kata lingkungan ke dalam Kedeputian Infrastruktur sebagai penegasan bahwa pembangunan kembali (rekonstruksi) infrastruktur akan selalu memperhatikan persyaratan lingkungan. Selanjutnya, kata pemeliharaan di belakang kata lingkungan, juga mempunyai makna tertentu. Ada unsur peringatan di balik kata pemeliharaan, yaitu kita sudah pandai membangun, tapi masih belum pandai memelihara. Dengan meningkatkan kepandaian memelihara, berarti pelayanan

infrastruktur yang dibangun semakin panjang karena umur hidupnya semakin panjang. Apa keterkaitan infrastruktur dengan lingkungan hidup? Infrastruktur termasuk kategori lingkungan buatan (manmade environment). Infrastruktur selalu dibangun di suatu lingkungan hidup yang berupa ruang atau wadah yang terletak di atas maupun di dalam bumi. Oleh karena itu, keberadaannya selalu bersentuhan dengan lingkungan hidup, untuk memastikan agar infrastruktur bisa hidup

berdampingan dengan lingkungan di sekitarnya. Tujuannya untuk mengurangi dampak terhadap lingkungan dan juga untuk memelihara infrastruktur yang telah dibangun kembali. Pemeliharaan dilakukan dengan mencegah atau meminimalkan daya rusak pembangunan infrastruktur terhadap lingkungan. Semakin terpelihara, umur hidup dan umur layanan infrastruktur akan semakin panjang.

INFRASTRUKTUR: Memacu Sektor Pemicu

Saat itu, struktur ini sepertinya hanya dipahami Junius Hutabarat. Latar belakangnya sebagai mantan Dirjen Tata Ruang membuatnya berpengalaman dalam bidang perencanaan yang juga mempertimbangkan tidak hanya aspek fisik. Namun bagi mereka yang biasa berkecimpung dalam bidang konstruksi hal ini tentunya butuh waktu. Apalagi melihat kerusakan fisik yang parah, seharusnya hanya menitikberatkan pada pembangunan infrastruktur dan berbagai fasilitas lainnya. Secara umum, harusnya, organisasi yang dibentuk lebih berat pada penanganan fisik dibanding sektorsektor nonfisik lainnya. Dari referensi Departemen Pekerjaan Umum soal pembentukan organisasi BRR, organisasi yang diusulkan pun lebih berat di kegiatan konstruksi. Organisasi itu terdiri atas bidangbidang konstruksi sesuai dengan sektornya dan satu bidang yang berurusan dengan kegiatan nonkonstruksi. Semuanya dipimpin langsung Kepala Badan Pelaksana (Kabapel) BRR. Usulan awal Kuntoro yang sejatinya memahami pendekatan sektoral pemerintahan itu pun dianggap tidak lazim, terutama bagi para birokrat pemerintahan yang saat itu telah dilibatkan. Pada akhirnya usulan awal itu hanya dapat diadopsi pada pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi di Kepulauan Nias yang ditangani oleh satu organisasi khusus yang bersifat multisektor.

16

Bekerja Sambil Lesehan


Singkat kata, berdasarkan Perpu Nomor 2 Tahun 2005, BRR diresmikan. Lembaga ini dipimpin Kuntoro Mangkusubroto sebagai Kabapel. Sejak itu, dimulailah perekrutan relawan yang mau bergabung dengan BRR. Eddy Purwanto, doktorandus ekonomi dan master kebijakan publik, yang dipilih sebagai Deputi Bidang Infrastruktur adalah pejabat deputi pertama yang ditetapkan BRR (berdasar Keppres Nomor 63/M Tahun 2005). Dia memiliki latar belakang pendidikan di bidang kebijakan publik dan sebelumnya bekerja sebagai asisten deputi di Kementerian Perekonomian. Eddy Purwanto dipilih dari hasil wawancara calon deputi yang ke5. Tugasnya saat itu adalah mengelola kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi di bidang perumahan, infrastruktur, dan koordinasi penatagunaan lahan. Secara fungsional dia juga bertugas merumuskan kebijakan teknis, menyusun dan pelaksanaan rencana kerja, memantau dan evaluasi serta pengkajian dan pelaporan. Kemudian kedeputian sektor ini dibagi menjadi empat direktorat. Bidang itu adalah perhubungan dan telekomunikasi, yang mengurusi pembangunan jalan dan jembatan serta urusan perhubungan lainnya. Kemudian bidang perumahan dan fasilitas umum, bidang penatagunaan lahan, dan terakhir bidang sumber daya air dan energi. Direktorat Perumahan dan Fasilitas Umum selain menangani masalah perumahan juga menangani masalah air bersih, sanitasi lingkungan, dan penataan bangunan fasilitas umum. Sedangkan direktoratdirektorat lainnya ditugaskan mengelola bidangnya sesuai dengan penamaan direktorat masingmasing. Inilah struktur organisasi pertama Kedeputian Bidang Infrastruktur . Sederhana dan ramping.

Cakupan wilayah kerja Kedeputian Bidang Infrastruktur sendiri meliputi seluruh wilayah bencana di Aceh dan Nias. Awalnya, pada 2005, program pembangunan infrastruktur hanya fokus di 13 kabupaten serta dua kabupaten di Kepulauan Nias. Di antaranya Kota Banda Aceh, Kabupaten Aceh Besar, Aceh Jaya, Aceh Barat (termasuk Meulaboh), Nagan Raya, Pidie, Bireuen, Aceh Utara, Lhokseumawe, dan Singkil. Saat itu Nias masih dimasukkan ke dalam wilayah kerja Kedeputian Bidang Infrastruktur karena pada tahun pertama wilayah ini masih belum kuat untuk berdiri sendiri. Jangankan personel khusus untuk Nias, personel deputi bidang ini saja masih kurang. Barulah pada tahun kedua, wilayah Nias dipisah menjadi regional kerja terpisah, kecuali untuk program khusus berupa pengadaan kapal dan teknologi informasi.

Deputi Perencanaan dan Pemrograman Junius Hutabarat beserta staf mendiskusikan pembangunan jaringan infrastruktur pantai barat Nanggroe Aceh Darussalam, 10 Juli 2005. Foto: BRR/Arif Ariadi

Berkembang Sesuai Kebutuhan


Selama pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi, Kedeputian Bidang Infrastruktur mengalami perubahan struktur organisasi berkalikali. Ratarata perubahan itu terjadi kurang dari setahun. Dinamika perubahan ini bertujuan untuk menyesuaikan agar organisasi seimbang dan lebih produktif sesuai dengan kondisi lapangan.

Bagian 2. Berlayar Sambil Membuat Perahu

17

INFRASTRUKTUR: Memacu Sektor Pemicu

Satker/PPK sebagai Mitra Kerja dan Ujung Tombak


pelaksanaan proses rehabilitasi dan rekonstruksi, bisa dikatakan satuan kerja (Satker) dan pejabat pembuat komitmen (PPK) adalah ujung tombaknya. Dalam struktur organisasi, satuan kerja, atau gugus proyek (kepala Satker biasa dikenal masyarakat dengan istilah pemimpin proyek/pimpro) berada di bawah direktorat per sektor pekerjaan. Dalam satu direktorat, misalnya Direktorat Jalan dan Jembatan, dapat terdiri atas beberapa satuan kerja. Sementara PPK, dalam struktur berada di bawah Satker, yang juga terdiri atas beberapa PPK. PPK inilah yang mengurusi sebuah program/proyek pembangunan, dan juga para panitia lelang. Beban dan tanggung jawab mereka tentunya sangat berat, mulai dari proses pelelangan, kontrak, pelaksanaan pekerjaan, pengendalian hingga pemeliharaan. Keberhasilan pelaksanaan program Deputi Infrastruktur sangat bergantung pada kemampuan dan kompetensi tim ini. Selain itu juga diperlukan kemampuan koordinasi dan komunikasi antara Satker/PPK dan direktorat untuk memastikan bahwa fungsi pengawasan dan pengendalian berjalan dengan baik. Berbekal koordinasi dan komunikasi yang baik di antara mereka, setiap permasalahan yang timbul dalam pelaksanaan program kegiatan dapat segera diketahui dan diatasi. Dengan demikian proses rehabilitasi dan rekonstruksi dapat berjalan dengan baik, sesuai dengan target yang telah ditetapkan.

DALAM

Sebelumnya, pada 2005, BRR sempat mendelegasikan pelaksanaan program ini kepada kementerian atau lembaga terkait dan pemerintah daerah. Saat itu, BRR juga menitipkan pemilihan Kepala Satker/ PPKnya. BRR saat itu memang tidak memiliki wawasan yang cukup untuk mengevaluasi setiap calon Kepala Satker/PPK yang diusulkan dan kemampuan yang bersangkutan. Mengingat usulan berasal dari menteri, gubernur atau bupati dan wali kota, BRR menganggap personel yang diangkat tersebut sangat layak dipercaya. Di kemudian hari, kepercayaan ini tenyata tidak cukup. Faktor pengalaman dalam memegang proyek besar merupakan hal penting. Organisasi secara formal tidak berjalan sebagaimana mestinya terutama bagi kepala Satker dari pemerintah kabupaten. Salah satu kewenangan yang berbeda antara Kepala Satker BRR dan Kepala Satker kementerian/lembaga adalah otoritas untuk mengganti PPK/bendahara dan penguji SPM. Penggantian personel ini dapat dilakukan setelah adanya persetujuan dari deputi sebagai atasan Kepala Satker. Hal ini ditujukan untuk mengurangi beban administrasi di tingkat Kepala BRR dan mempercepat proses penggantian, jika muncul kebutuhan tersebut. Walaupun otoritas ini diberikan, Kepala Satker tidak dapat semenamena melakukan penggantian karena memerlukan persetujuan atasan. Loyalitas PPK kepada Kepala Satker bertambah sehingga pelaksanaan koordinasi pengendalian di tingkat bawah dapat berjalan lebih cepat.

18

Perubahan organisasi atau reorganisasi ini sudah pasti ada kelebihan dan kekurangannya. Positifnya adalah untuk menyesuaikan kebutuhan organisasi dan mengurangi kerancuan tugas. Negatifnya, dinamika ini sedikit banyak justru mengganggu jalannya pekerjaan. Banyak proses serah terima jabatan tidak diikuti dengan mekanisme serah terima tugas dan aset dari pejabat lama ke pejabat baru. Namun itu tidak dilakukan karena pejabat baru harus sudah segera bekerja sesuai dengan tugas barunya. Jika hal ini terjadi di tingkat Satker dan pejabat pelaksana komitmen (PPK) pelelangan, keadaan ini menyulitkan pendataan dan penyimpanan asetaset proyek. Selain itu, para KaSatker dan PPK sangat konservatif dalam menjalankan tugasnya. Mereka umumnya berusaha mencegah limpahan kesalahan Satker sebelumnya berpindah menjadi tanggung jawabnya, walaupun periode masalah ini di luar tanggung jawabnya. Syaratsyarat kepemimpinan di kalangan Satker, yaitu akuntabilitas atau keberanian mengambil risiko atas keputusan yang diambil, juga hampir tidak terwujud. Mereka lebih takut diperiksa daripada membiarkan proyeknya terlambat. Keadaan ini menunjukkan bahwa tingkat kompetensi SDM yang direkrut untuk itu harus mempertimbangkan kualitas kepemimpinan, ujar Bastian. Pengurangan kewenangan Deputi Bidang Perencanaan dan Pemrograman misalnya, awalnya mencakup perencanaan program, pengendalian mutu, pengadaan tata ruang dan lingkungan, diumumkan secara tibatiba dalam forum terbuka dan tanpa surat keputusan, menjadi hanya perencanaan strategis, tata ruang, dan lingkungan. Sebelumnya pada Juli 2005, kedeputian ini awalnya bernama Deputi Bidang Pembangunan Infrastruktur, Perumahan, dan Penatagunaan Lahan. Belakangan, dengan beban pekerjaan yang semakin menumpuk, pada 2006, deputi ini dimekarkan menjadi dua deputi, yaitu Deputi Bidang Perumahan dan Permukiman serta Deputi Bidang Infrastruktur, Lingkungan, dan Pemeliharaan. Kedua bidang ini memang tidak mungkin disatukan. Pasalnya, karena perumahan adalah tugas besar BRR yang harus ditangani dengan lebih fokus. Sedangkan pembangunan infrastruktur juga merupakan tugas berat yang harus dipikul BRR. Apalagi cakupan wilayah kerjanya tidak hanya di daerah tsunami atau di Aceh, tapi juga meliputi kawasan akibat gempa di Nias. Selain itu, Deputi Bidang Infrastruktur juga mendapat tambahan pekerjaan dengan adanya program donor baik berupa MDF, AFD, dan JBIC. Selanjutnya untuk mengefektifkan kerja di lapangan dibentuklah kantorkantor cabang atau kantor regional. Pada 2006, kegiatan konstruksi berjalan semakin berat. Apalagi muncul bermacam tuntutan program dari seluruh kabupaten di Aceh. Tuntutan ini bukan hanya karena alasan tsunami, tapi juga keseimbangan dan pemerataan pembangunan di seluruh Aceh. Mereka menganggap terkena imbas kegiatan pembangunan kawasan tsunami. Selain menangani infrastruktur tingkat nasional dan tingkat provinsi, kedeputian ini mulai menangani infrastruktur tingkat kabupaten. Tuntutan diakomodasi dengan memberdayakan Pemda melalui kantor regional.
Bagian 2. Berlayar Sambil Membuat Perahu

19

Regionalisasi
INFRASTRUKTUR: Memacu Sektor Pemicu

meregionalisasikan organisasi atau membuat kantor. Beberapa kabupaten disatukan pengendalian programnya dan dipimpin seorang kepala regional. Di kabupaten dan kota dibentuk kantor distrik sebagai pasangan bupati atau wali kota dalam berkoordinasi. Tugas awalnya adalah koordinasi dalam perencanaan program, terutama dalam menyerap aspirasi yang berada dalam koridor cetak biru. Pelaksanaan konstruksinya sendiri baru dilaksanakan mulai awal 2007, sesuai dengan anggaran daftar isian proyek anggaran yang diterbitkan. Program regionalisasi ini di beberapa titik cukup menguntungkan dalam mempercepat proses rehabilitasi dan rekonstruksi. Bidangbidang kerja yang berada di level kabupaten, seperti jalan kabupaten, diserahkan pengendaliannya kepada kantor regional. Demikian halnya dengan pembangunan tanggul pengaman pantai dan tanggul penahan air pasang. Dari Direktorat Perhubungan, pembangunan gedung pengujian kendaraan dan terminal bus juga diserahkan ke regional. Bahkan ada kantor regional yang cukup berani mengambil program pembangunan landasan udara (airstrip) dan water treatment plant, walaupun tidak memiliki staf memiliki kompetensi di bidang tersebut. Sering kali dalam penetapan program antara kedeputian dan regional terjadi tarikmenarik. Kecuali program yang bersifat strategis, Kepala Badan pelaksana BRR memiliki kebijakan untuk memindahkan program pemulihan sebanyakbanyaknya ke tingkat regional. Berangkat dari kebijakan ini, penentuan program awalnya dilakukan deputi sektor, kemudian diberikan keleluasaan kepada regional memilih dan melaksanakannya. Program yang tersisa kemudian dikerjakan sendiri oleh kedeputian BRR. Kantor regional dengan bupati berkoordinasi membentuk suatu forum bernama sekretariat bersama (sekber). Ide ini pertama sekali diperkenalkan di Nias dan kemudian disebarkan ke Aceh. Sekber juga berfungsi untuk mengoordinasi pertemuan antara pemerintah daerah dan BRR dalam hal penentuan program tahunan.

PADA paruh 2006, BRR membuat kebijakan

Sayangnya, sekber sering kali datang dengan daftar program yang panjang, tanpa mempertimbangkan keterbatasan dana dan skala prioritas. Program yang diusulkan bukan program strategis pemerintah kabupaten dan kota, tetapi program kecil yang bahkan tidak sesuai dengan cetak biru rehabilitasi dan rekonstruksi. Beberapa program definitif akhirnya gagal dilaksanakan karena keterbatasan dana. Tidak masuknya beberapa program konstruksi di Acah Barat Daya membuat Bupati meminta agar sekretariat bersama dibubarkan. Banyak pihak tidak memahami bahwa fungsi sekber bukan hanya menampung aspirasi atau usulan, tapi sebagai proses screening dan prioritas program untuk kemudian dimasukkan ke Deputi Perencanaan dan Keuangan untuk disetujui ke dalam daftar isian proyek. Fungsi lain dari sekber adalah memberi persetujuan terhadap program yang dibiayai hibah MDF dan menyetujui komitmen pemeliharaannya. Jika sekber dibubarkan, program MDF di kabupaten tersebut harus dibatalkan karena program ini mensyaratkan harus ada pihak yang akan melanjutkan pemeliharaan. Dalam hal ini forum sekberlah yang dimaksud. Pemindahan program yang berjalan juga diikuti dengan pengalihan dana ke tingkat regional. Akibatnya beberapa kedeputian akhirnya hanya mengelola sedikit dana karena sudah dipindahkan ke regional. Selain dana, mutasi staf deputi juga terjadi karena di tingkat regional personel ahli di bidangnya terbilang kurang. Proses mutasi staf ke regional berakibat berkurangnya staf di tingkat deputi karena tidak ada penggantinya. Belakangan muncul indikasi konflik antara pemerintah daerah dan BRR. Konflik yang sempat terjadi antara Kantor Regional Meulaboh dan Bupati Aceh Barat akhirnya membuat kantor regional harus ditutup dan pengendaliannya dipindahkan kembali ke Banda Aceh. Dengan pembentukan regional, BRR kemudian memiliki organisasi sampai tingkat kabupaten, sebagai mata dan telinga dalam pengendalian proyek. Keberadaan regional kemudian sangat membantu menyelesaikan persoalan di tingkat lapangan dan menjadi ujung tombak dalam menyerap aspirasi dan respons masyarakat.
Pembukaan Kantor Perwakilan III BRR NADNias untuk wilayah kerja bagian timur, Takengon, Aceh Tengah, 24 Agustus 2006. Foto : BRR/Arif Ariadi

20

INFRASTRUKTUR: Memacu Sektor Pemicu

Melalui kantor regional ini sebagian tugastugas pun didistribusikan ke daerah tingkat kabupaten. Untuk mengendalikan kantorkantor regional ini dibentuklah sebuah deputi bidang baru, yaitu Deputi Bidang Operasi yang dipimpin Eddy Purwanto yang awalnya memimpin Kedeputian Bidang Infrastruktur . Mengganti posisinya, Bastian Sihombing ditunjuk sebagai Deputi Bidang Infrastruktur yang baru, mulai Juni 2006. Selama beberapa bulan deputideputi baru sempat bekerja tanpa landasan hukum yang resmi. Barulah pada September 2006 ketiga deputi bidang yang baru itu dikukuhkan melalui Keppres Nomor 86/M Tahun 2006. Detail tugas Deputi Bidang Infrastruktur ditetapkan dua bulan berikutnya. Kedeputian baru yang dipimpin Bastian Sihombing ini dibantu oleh satu wakil deputi saja. Ada pun fungsi wakil deputi tersebut utamanya adalah melakukan pengendalian internal dan memastikan seluruh prosedur dan aturan dilaksanakan dan ditaati dengan saksama. Sayangnya, efektivitas wakil deputi tersebut terganggu dengan perangkapan jabatan sebagai direktur di bawah Kedeputian Bidang Infrastruktur . Hal ini merupakan ciri BRR mengingat jumlah SDM yang selalu lebih sedikit dibanding jumlah posisi yang ada dalam organisasi.

22

Rangkap Jabatan, Rangkap Pekerjaan


Setelah dipisahkan, Kedeputian Bidang Infrastruktur , Lingkungan, dan Pemeliharaan memiliki enam direktorat dan satu satuan tugas . Sesuai dengan kebutuhan, di bawah direktorat dibentuk satu atau lebih unit manajer. Tugasnya selain memastikan tersedianya dan terselenggaranya pekerjaan infrastruktur, manajer juga melaksanakan pekerjaan manajerial sesuai dengan bidangnya dan juga atas target pembangunan yang ditetapkan. Kemudian, posisi manajer dipecah menjadi dua subsektor. Direktorat Perhubungan misalnya, terdapat dua subsektor, yaitu transportasi laut dan darat serta transportasi udara serta SAR dan Postel. Demi efisiensi dan kompetensi tugas, struktur ini pun terus berkembang menjadi lebih sederhana dengan munculnya level asisten manajer dan dilanjutkan dengan staf senior/ junior. Saat itu terdapat satu posisi direktur, tiga manajer (yaitu Manajer Transportasi Udara dan Manajer Darat, Laut dan SAR, serta Manajer TI) dan didukung beberapa asisten manajer dan staf. Hingga 2008 jumlah staf di direktroat ini tetap hanya tujuh orang inti plus dua orang technical assistance. Jumlah tersebut tentunya relatif kecil dibandingkan dengan beban mengendalikan anggaran yang tidak kurang dari Rp 400 miliar setiap tahunnya. Sebagai perbandingan, Dinas Perhubungan Provinsi NAD mengelola anggaran yang jauh lebih kecil, namun memiliki jumlah staf/pegawai lebih dari 100 orang.

Rampingnya struktur organisasi membuat setiap staf memiliki beban pekerjaan yang cukup tinggi. Itu sebabnya rangkap jabatan dan rangkap pekerjaan. Namun, hal ini sudah dianggap sebagai sebuah hal yang wajar. Sering terjadi staf dari Direktorat Perhubungan, misalnya, diminta untuk membantu sektor lain menjadi panitia lelang atau narasumber seperti pada sektor perumahan, ekonomi, dan Project Management Unit (PMU) Infrastructure Reconstruction Enabling Programme (IREP) Infrastructure Reconstruction Finance Facility (IRFF). Pekerjaan tambahan ini sudah pasti di luar job description yang telah ditetapkan. Bahkan pernah terjadi, pada awal 2007, posisi kepala satuan kerja, manajer, dan direktur dirangkap satu orang saja. Demikian pula dengan posisi manajer, sering tidak memiliki staf pendukung. Akibatnya, mulai dari urusan administrasi kantor hingga terjun ke lapangan pun dilakukan sendiri. Bahkan bekerja pada harihari libur atau sampai larut malam pun sudah menjadi hal yang lazim. Hal ini menunjukkan kompetensi dari para staf dalam bekerja keras. Bagi tim Deputi Bidang Infrastruktur dalam sebuah kondisi darurat hal ini bukanlah hambatan, melainkan sebuah tantangan. Walaupun pekerjaan tambahan menumpuk, tugastugas utama tetap harus dijalankan.

Deputi Infrastruktur, Bastian Sihombing, mendampingi Kepala Bapel BRR, Kuntoro Mangkusubroto, saat kunjungan lapangan di Tiro, Pidie, 10 Februari 2006. Foto: BRR/Arif Ariadi

Bagian 2. Berlayar Sambil Membuat Perahu

23

Project Management Unit


INFRASTRUKTUR: Memacu Sektor Pemicu

merupakan badan yang mengelola pelaksanaan program bantuan luar negeri seperti grant MultiDonor Fund(MDF) untuk pembiayaan technical assistance Infrastructure Reconstruction Enabling Programme (IREP) dan pembiayaan konstruksi Infrastructure Reconstruction Financing Facilities (IRFF) rehabilitasi dan rekonstruksi infrastruktur. Lembaga ini dijabat rangkap oleh Deputi Infrastruktur. Untuk menjalankan kegiatan seharihari, pimpinan lembaga ini dibantu Kepala Sekretariat PMU yang juga ditetapkan sebagai atasan langsung dari satuan kerja/PPK pengelola dana IREP. Apabila biasanya PMU di departemen teknis hanya merupakan suatu unit koordinasi fungsional, dalam konteks ini PMU IREP/IRFF dimasukkan dalam struktur organisasi Kedeputian Infrastruktur dengan kedudukan setingkat direktorat. Kepala sekretariat memiliki lima project officer. Nah, merekalah yang melakukan supervisi dan pengendalian terhadap konsultan manajemen, konsultan supervisi dan desain, serta konsultan manajemen keuangan proyekproyek konstruksi yang didanai bantuan MDF tersebut. Kelima tim konsultan ini terdiri atas konsultan Program Manajemen Infrastruktur (Infrastructure Program Management), konsultan Supervisi dan Desain (Planning, Design and Construction Supervision, PDCS), untuk wilayah Utara dan Barat Aceh, tim konsultan PDCS di Nias, tim konsultan PDCS untuk proyekproyek infrastruktur strategis tingkat provinsi dan tingkat nasional serta tim konsultan Manajemen Keuangan. Keseluruhan konsultan ini aktivitasnya dikendalikan oleh PMU. Dalam kaitan koordinasi dan komunikasi dengan pihak donor (MDF), yang dalam hal ini diwakili oleh pihak Bank Dunia, selaku administrator atau penanggungjawab pengelolaan dana IREP/IRFF, telah disepakati untuk memberlakukan sistem komunikasi satu pintu (one door policy). Semua komunikasi ke Bank Dunia harus dilakukan melalui PMU. Demikian pula halnya dalam konteks koordinasi dengan instansi terkait di tingkat pusat, terutama dalam hal koordinasi pelaksanaan program dan atau konsultasi teknis untuk halhal yang merupakan kewenangan dan tanggung jawab kementerian atau departemen di pusat.

PROJECT Management Unit (PMU)

Terkait dengan implementasi, dalam PMU berkoordinasi dengan Direktur Pertanahan dan Direktur Lingkungan di Kedeputian Perumahan. Hal ini untuk menyelesaikan persoalan pembebasan lahan dan screening lingkungan program infrastruktur. Untuk mengarahkan program pengembangan infrastruktur, dibentuklah Komite Pengembangan Infrastruktur yang terdiri atas seluruh deputi yang terkait dengan infrastruktur. Komite ini dipimpin Deputi Operasi, yang anggotanya terdiri dari Deputi Operasi, Deputi Keuangan dan Perencanaan, Deputi Infrastruktur, Deputi Perumahan, dan Deputi Kelembagaan. Komite ini berjalan fungsinya terutama dalam kaitannya dengan penyelesaian persoalan dengan donor, rencana induk atau cetak biru yang baru. Bank Dunia terutama meminta advis dengan komite, baik sendirisendiri maupun secara bersamaan dalam penyelesaian persoalan hibah, arah pengembangan, dan pencapaian target. Dalam hal organisasi, PMU bertanggung jawab kepada Kepala Badan dan Komite Infrastruktur bukan atasan PMU. Dalam pelaksanaannya, kebijakan strategis pengembangan infrastruktur dari Kepala Badan dilakukan oleh Komite Infrastruktur. Organisasi PMU ini bagi banyak unit lain di BRR terkesan tidak efisien dan tidak membantu. Bagi mereka yang berkecimpung di bidang konstruksi, hanya paham bahwa ada program, dana, lelang, dan konstruksi. Pemahaman soal supervision mission, evaluasi kinerja, evaluasi proses, pelaporan secara periodik, perubahan grant agreement, penyesuaian dengan aturan pemerintah Indonesia dan akuntabilitas tidak terlalu terasa efeknya terhadap konstruksi. Banyak pihak menganggap hal ini tidak pernah ada, tidak muncul ke permukaan, dan tidak memberi banyak bantuan terhadap konstruksi. Tapi bagi donor, penyediaan informasi ini menjadi bagian yang penting harus dipenuhi dan menjadi tugas yang melekat dari suatu PMU. Donor juga tidak mau berhubungan dengan banyak unit di BRR, seperti masingmasing direktorat, SatkerSatker atau PPK. Persyaratan akan komunikasi satu pintu menjadi keharusan untuk dipenuhi dalam rangka menghindarkan kebingungan dan variasi administrasi.

24

Gambar 2.1. Struktur Project Management Unit

Ketua PMU (Project Monitoring Unit)

Kepala Tugas (Chief of Unit)

Direktur/Ketua Sekretariat PMU

Sekretariat & Administrasi

Pelaksana Proyek-1
Infrastruktur Project Management

Pelaksana Proyek-2
West Coast Infrastructure Planning & Design

Pelaksana Proyek-3
Nias Roads, Transports & City Development

Pelaksana Proyek-4
Provincial Level Strategic Infrastructure Planning & Design

Pelaksana Proyek-5
Financial Management

Asisten 1 Asisten 2

Asisten 1 Asisten 2

Asisten 1 Asisten 2

Asisten 1 Asisten 2

Asisten 1 Asisten 2

Tugas ini seluruhnya di luar tugas pokok dan fungsi direktorat teknis atau sektor. Untuk itu fungsi komunikasi dengan donor ini dibebankan ke PMU. Ini pemahaman penting bagi masyarakat konstruksi bahwa ada dapur yang mengolah seluruh proses pembentukan loan dan hibah, yang lebih banyak menyita pemikiran dan kepiawaian dalam bernegosiasi dalam bahasa asing daripada sekadar pemahaman soal pelelangan dan konstruksi. Khusus untuk kegiatan yang berkaitan dengan JBIC dan AFD, juga dibentuk unit PMU yang dipimpin pejabat setingkat direktur yang dalam hal ini dirangkap Wakil Deputi Bidang Infrastruktur. Tugasnya sama dengan PMU IREP/IRFF sebagai fasilitasi hubungan antara BRR dan donor karena prosesnya masih pada tingkat awal dan penyiapan dokumen loan. Tahap ini adalah tahap yang paling sulit dibanding tahap konstruksi. Di sinilah dibicarakan dan disepakati semua persyaratan dan proses. Jika sudah masuk pada tahap implementasi, itu hanya masalah manajemen konstruksi. Tugas berhubungan dengan donor ini, jika di kementerian/lembaga umumnya menjadi tugas Biro

Perencanaan, Biro Hubungan Luar Negeri, atau Bina Program. Di BRR, tugas ini melahirkan personel lokal yang paham akan pembentukan hibah dan pinjaman luar negeri yang kelak dapat menjadi resource pemerintah daerah. Menjelang berakhirnya BRR, tugas fasilitasi manajemen seluruh program hibah serta pinjaman luar negeri ini disatukan dalam PMU yang terintegrasi. Untuk itu dibentuk PMU baru yang dikoordinasikan dengan Departemen PU, sebagai executing agency selanjutnya. Kepala PMU diserahkan kepada Deputi Operasi yang bertanggung jawab kepada Kepala Badan. Organisasi dan personel PMU yang dibentuk dengan surat keputusan Kepala Badan tersebut akan melanjutkan tugas yang sama di Departemen PU setelah masa kerja BRR berakhir pada 16 April 2009 dengan surat keputusan Menteri PU. Kepala PMU setelah di bawah Departemen PU bertanggung jawab kepada Menteri PU. Pola ini berupa exit strategy yang mulus tanpa adanya jeda akibat serah terima dan proses belajar. Hal ini bisa dilakukan mengingat personel PMU BRR adalah juga personel Departemen PU.

Bagian 2. Berlayar Sambil Membuat Perahu

25

INFRASTRUKTUR: Memacu Sektor Pemicu

Yang menarik, komposisi personel dalam deputi ini tergolong cukup beragam latar belakang kultur dan profesinya. Kebijakan rekrutmen untuk mengisi formasi organisasi BRR memang lebih didasarkan pada kemampuan dan profesionalitas, bekerja dengan integritas, serta komitmen. Dalam program infrastruktur tuntutan pemahaman tentang spesifikasi, prosedur, dan standard operating procedure (SOP) merupakan persyaratan utama. Mereka yang terpilih harus mempunyai kemampuan dengan memahami spesifikasi pekerjaan dan dokumendokumen kerja. Untuk itulah, dalam deputi ini, personel dari luar Aceh tidak terelakkan terutama dalam lingkup pengendalian dan manajemen bidang keteknikan. Sedangkan dalam lingkup pelaksanaan di lapangan, hampir seluruh personel berasal dari Aceh. Hal ini sekaligus menjadi proses pembinaan terhadap personel Pemda Aceh, terutama saat masa tugas BRR berakhir, dan program rekonstruksi harus diserahterimakan. Toh begitu, kenyataannya dibandingkan program sosial budaya BRR, jumlah personel lokal dalam kedeputian ini termasuk sedikit. Dalam tingkat pengendalian dan manajemen pun, komposisi personel yang ada cukup beragam. Walaupun BRR NADNias, notabene adalah organisasi pemerintah, jumlah personel BRR yang berlatar belakang pegawai negeri sipil (PNS) jumlahnya sangat sedikit, sebaliknya yang berasal dari LSM dan swasta jumlahnya lebih banyak. Kultur pegawai negeri sipil yang berlandaskan birokrasi tentu saja berbeda dengan kultur swasta yang lebih mengandalkan tercapainya tujuan dan efisiensi. Perbedaan tersebut membuat para staf harus selalu membuka wawasan terbuka dalam menerima perbedaan pendapat. Pada akhirnya kombinasi keduanya membentuk sebuah pola kerja yang sangat baik dalam menyelesaikan permasalahan. Yang pasti, untuk mendukung integritas kerja mereka, Ketua BRR bersedia membuat sistem pembayaran yang berbeda dengan sistem penggajian pemerintah (PNS). Dengan sistem ini karyawan BRR menerima pembayaran yang lebih baik dan tidak perlu mencari tambahan lagi sehingga dituntut harus bersedia bekerja keras, cepat, berintegritas, dan profesional. Keunikan lainnya adalah banyak terdapatnya tenaga nonorganik (staf ahli) dari nasional maupun internasional. Mereka dibayar dari uang bantuan atau hibah (nonAPBN). Hampir di setiap unit organisasi BRR, yang dimulai dari kepala badan sampai tingkatan direktorat, dibantu dengan tenaga nonorganik tersebut. Persoalannya apakah tenaga bantuan itu juga memahami tugas pokok dan fungsi organisasi pemerintahan yang dibantunya? Apabila tidak, keberadaan tenaga itu menjadi tidak efektif karena kontribusi ideide mereka bisa tidak sejalan dengan kebutuhan rekonstruksi pada umumnya dan khususnya pada kebutuhan pelayanan publik. Oleh karena itu, tenaga ahli ini dibatasi jumlahnya pada bidang yang spesifik atau bila tidak ditemukan keahlian tertentu dari internal organisasi BRR. Proses pemberhentian tenaga organik maupun tenaga ahli menjadi hal yang biasa. Penghentian tersebut tidak selalu karena berakhirnya masa kontrak tapi juga di tengah perjalanan. Salah satu sebabnya adalah soal kompetensi.

26

Dengan komposisi dan pola rekrutmen demikian, kebijakan internal BRR NADNias terkadang bocor dan diterima oleh mereka yang tidak memahami maknanya. BRR NADNias tidak bermaksud melanggar asas transparansi tapi terkadang intervensi pihak luar atas kebijakan internal malah berpengaruh negatif terhadap pengambilan keputusan atau penetapan kebijakan publik.

Staf Ahli Menteri Pekerjaan Umum, Bambang Guritno, dan Kepala Bapel BRR, Kuntoro Mangkusubroto, menandatangani dokumen serah terima aset infrastruktur milik negara, Jakarta, 8 April 2009. Foto: BRR/Arif Ariadi

Mengakhiri Masa Kerja


Memasuki 2008, tuntutan perubahan atau revisi struktur organisasi terus terjadi. Penyempurnaan susunan organisasi dan tata kerja tahun ini lebih bertujuan untuk akselerasi pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi menjelang berakhirnya masa tugas BRR, April 2009. Tentu saja tantangan dan medan kerja berbeda di saat memulai tugas. Kali ini dua jabatan wakil deputi diperluas tanggung jawabnya. Wakil deputi pertama merangkap juga sebagai Kepala PMU Aceh Reconstruction Projectpinjaman luar negeri dari Jepang melalui Japan Bank for International Cooperation (JBIC) dan pinjaman dari negara Prancis melalui Aliance France Development (AFD). Wakil deputi kedua merangkap sebagai Kepala Sekretariat PMU IREP/IRFF.

Bagian 2. Berlayar Sambil Membuat Perahu

27

INFRASTRUKTUR: Memacu Sektor Pemicu

Di samping itu Kedeputian Bidang Infrastruktur dilengkapi juga dengan beberapa tenaga ahli, Satuan Tugas Penyelesaian Audit dan Satuan Tugas Manajemen Aset dan Monitoring. Sedangkan unit atau satuan lama, yakni Satuan Tugas Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (amdal) dikembangkan dan diperluas menjadi Direktorat Lingkungan dan Tata Ruang dengan berpindahnya tugas bidang tata ruang dan lingkungan dari Kedeputian Perumahan dan Operasi. Demikian juga, unit lama, Direktorat Air Bersih, Sanitasi, dan Fasilitas Umum direvisi menjadi Direktorat Sanitasi dan Drainase dengan masuknya pekerjaan drainase besar dari pinjaman JBIC dan AFD. Penyempurnaan lainnya, dengan peraturan Kabapel BRR yang baru ini, jabatan lama yang disebut manajer diganti menjadi kepala bidang. Pada tahun terakhir, sejak 1 Januari 2009, tugas Kedeputian Bidang Infrastruktur dikonsentrasikan pada penyelesaian serah terima aset, penyelesaian temuan, pembuatan laporan akhir dan fasilitasi manajemen program hibah (grant) serta pinjaman luar negeri (loan). Seluruh kegiatan konstruksi yang ada di Kedeputian Bidang Infrastruktur juga dipindahkan ke Kedeputian Operasional. Sedangkan pekerjaan konstruksi yang melebihi 15 Maret 2009 diserahkan pada Departemen PU dan Departemen Perhubungan Provinsi NAD. Konsekuensinya, karena tidak lagi menangani pekerjaan fisik dan konstruksi, tujuh direktorat di Kedeputian Bidang Infrastruktur dirampingkan menjadi empat unit dan jumlah staf berkurang menjadi sekitar sepertujuhnya, atau menjadi delapan orang saja. Sementara itu, dalam struktur Satker Kedeputian Bidang Infrastruktur, tenaga konsultan manajemen infrastruktur yang dibiayai MDF melalui program IREP termasuk tenaga outsourcing yang dipekerjakan Satkeryang awalnya berjumlah 23 orang berkurang menjadi tujuh orang saja. Setelah masa tugas BRR benarbenar resmi selesai pada 16 April 2009, unit kerja Deputi Bidang Infrastruktur yang dipertahankan adalah unit yang menangani fasilitasi donor dan hubungan kementerian/lembaga. Sesuai dengan proses serah terima, unit ini berada dibawah Departemen PU dengan tugas yang sama. Hal ini terbilang unik. Sebelumnya tidak pernah terjadi di kelembagaan pemerintahan mana pun sebelumnya, pengalihan tugas terjadi dari organisasi setingkat kementerian ke organisasi departemen. Hal ini memang hanya terjadi dalam proses rehabilitasi dan rekonstruksi bencana di AcehNias. Kenyataannya, banyak hal luar biasa terjadi dalam proses rehabilitasi dan rekonstruksi di AcehNias ini, terutama di kedeputian ini. Tantangan tinggi, menuntut organisasi BRR harus kuat bukan saja karena target rekonstruksi, tapi juga karena menghadapi tekanan mental, penghindaran kesalahan karena perhatian publik, dan tuntutan pengambilan keputusan yang cepat. Dinamika perubahan organisasi yang sangat cepat disesuaikan dengan tuntutan kerja dan perubahan target serta perubahan tujuan BRR. Hal ini tidak hanya karena pentingnya tugas negara yang diemban, tapi juga kebutuhan pemulihan

28

kawasan bencana yang demikian mendesak membutuhkan ketepatan dan kecepatan dalam merencanakan, memutuskan, dan bertindak. Berbeda dengan organisasi di departemen, di BRR seseorang harus mampu bekerja untuk berbagai hal, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, dan monitoring. Perubahan organisasi yang sangat cepat disesuaikan dengan tuntutan kerja dan perubahan target serta perubahan tujuan organisasi. Hal ini dengan mudah dapat dilakukan karena kepala badan, sesuai dengan Perpres Nomor 34 Tahun 2005, memiliki kewenangan secara penuh dalam penetapan organisasi tanpa harus dikonsultasikan dengan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara, sebagaimana kementerian dan lembaga lainnya. Hal ini diberikan agar kecepatan gerakan dapat dipenuhi. Tepat rasanya dengan ungkapan Kabapel BRR, yang menggambarkan bahwa semua pekerjaan mereka itu layaknya berlayar sambil membuat perahu. Pada akhirnya semua menyadari, dengan segala macam dinamika di lapangan, organisasi BRR adalah sebuah organisasi yang ramping dan efektif terutama bila dibandingkan dengan organisasi pemerintahan lain. Kini pulihnya infrastruktur akibat gempa dan tsunami di kawasan AcehNias adalah sebuah bukti nyata dari hasil kerja dan integritas mereka.

Deputi Infrastruktur, Perumahan, dan Koordinasi Penatagunaan Lahan, Eddy Purwanto, berkoordinasi sebelum memulai pemantauan udara terhadap dampak bencana, Banda Aceh, 29 November 2005. Foto: BRR/Arif Ariadi

Bagian 2. Berlayar Sambil Membuat Perahu

29

Cetak Biru Sejuta Harapan


Mencerna Buku Panduan Sesuai Kebutuhan

ATJEH Spoorweg Maatschappij. Itulah nama perusahaan kereta api Aceh

peninggalan Belanda di era 1950an. Aceh tram, demikian sepur tua itu juga biasa disebut, menghubungkan Serambi Mekkah hingga Medan, Sumatera Utara, untuk mengangkut segala macam hasil bumi, rempah, hingga tikar pandan Aceh yang terkenal kala itu. Tak banyak yang tahu, di masa itu, kereta api yang menjadi transportasi utama menjadi salah satu simbol kejayaan perekonomian Aceh hingga akhir 1970an. Kini semua itu hampir tak bersisa. Jaringan rel kereta dari Banda AcehMedan terbengkalai begitu saja. Dengan berbagai alasan, salah satunya karena konflik berkepanjangan, Perusahaan Jawatan Kereta Api (PJKA), perusahan kereta api milik pemerintah saat itu, tidak lagi bisa melanjutkan pengoperasiannya. Puncaknya terjadi pada 1980an, jerit lonceng kereta tak pernah lagi terdengar. Kisah di atas bukan sekadar romantisme sejarah. Rencana rehabilitasi dan rekonstruksi jalur kereta api MedanLangsaLhokseumaweBanda Aceh tersebut tercetak jelas dalam cetak biru 2005 yang dibuat Bappenas untuk BRR. Dalam cetak biru disebutkan, jalur transportasi kereta api sepanjang 233 kilometer itu harus direhabilitasi berikut pengadaan gerbonggerbong dan fasilitas stasiunnya. Tujuannya tak lain untuk
Masyarakat di sekitar Samalanga, Bireuen, menikmati hasil rekonstruksi jalan desa yang dibangun dengan dana APBN, 22 Mei 2006. Foto: BRR/Arif Ariadi

Bagian 3. Cetak Biru Sejuta Harapan

31

mengembalikan denyut ekonomi Aceh yang porakporanda oleh tsunami dan konflik bersenjata berkepanjangan. Rencana yang ideal tentu saja. Namun, hal itu sesungguhnya jauh api dari panggang.
INFRASTRUKTUR: Memacu Sektor Pemicu

Setelah dipertimbangkan, rencana pemulihan infrastruktur kereta api tersebut tidak bisa menjadi prioritas program pemulihan infrastruktur BRR. Lagi pula, program jangka panjang itu ternyata juga sudah masuk pula dalam rencana program Departemen Perhubungan. Apa boleh buat, cetak biru yang seharusnya menjadi pedoman penting sebuah pembangunan, tidak semuanya dapat dilaksanakan BRR. Apalagi, selain program kereta api tersebut, dalam cetak biru yang disusun Bappenas dengan bantuan pemerintah NAD itu (sesuai dengan PP 30, 15 April 2009), banyak program yang sebenarnya tidak ada hubungannya dengan bencana gempa dan tsunami. Banyak pula kabupaten yang memasukkan semua rencana program pembangunan wilayah mereka tanpa mempertimbangkan prioritas bencana, ujar Bastian Sihombing, Deputi Infrastruktur BRR. Pembangunan jalan misalnya, hampir semua jalan nasional dan provinsi di Aceh masuk ke dalam cetak biru untuk direhabilitasi dan rekonstruksi. Dengan demikian, program ini akan tumpangtindih dengan program Ditjen Bina Marga dan pemerintah Aceh. Ada beberapa wilayah bahkan jauh dari lokasi wilayah yang terkena bencana tsunami. Meski demikian Kedeputian Bidang Infrastruktur tetap berusaha untuk konsisten dengan program yang tercantum dalam cetak biru, perencanaan awal kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi. Hal ini juga sesuai dengan arahan Kabapel BRR, Kuntoro Mangkusubroto, yang menyatakan setiap program harus diteliti kembali sesuai dengan tingkat kebutuhan dan prioritas. Tak bisa dielakkan, program yang tercantum dalam cetak biru tersebut sudah tidak sesuai dengan kondisi lapangan. Pembangunan jalur kereta api salah satu contohnya. Sebaliknya, beberapa kebutuhan prioritas dan sangat mendesak malah justru tidak tercantum dalam cetak biru tersebut. Di antaranya pembangunan escape airstrip di Blangkejeren (Kab. Bener Meriah) dan Teluk Dalam (Kab. Nias Selatan) serta Calang (Kab. Aceh Jaya) dapat dibangun Mission Aviation Fellowship (MAF) pada 2006. Sesuai dengan namanya, airstrip itu dibutuhkan saat kondisi darurat seperti terjadi bencana tsunami untuk memudahkan proses evakuasi, terutama bagi masyarakat di wilayahwilayah yang sulit terjangkau transportasi darat maupun laut. Selain itu, airstrip tersebut juga diperlukan untuk mempermudah pengedropan logistik dan material konstruksi. Idealnya, escape airstrip tersebut harus dikembangkan sehingga mampu didarati pesawat sejenis Hercules C130. Masalah lainnya, meskipun bernama cetak biru, ternyata tak satu pun program yang ada memiliki desain perencanaan. Dalam kondisi darurat, sebuah bencana luar biasa baru saja terjadi, hal ini memang tidak memungkinkan untuk dilaksanakan. Apalagi biasanya pada proses desain dan perencanaan dibutuhkan lagi waktu yang cukup lama.

32

Selain membangun infrastruktur, BRR juga membangun kapasitas kelembagaan untuk memelihara infrastruktur. Dengan melengkapi dinas teknis dengan peralatan pemeliharaan diharapkan akan memperpanjang umur layanan infrastrutur yang dibangun. Untuk itu BRR juga berpikir melengkapi Pemda, baik provinsi maupun kabupaten/kota, dengan peralatan pemeliharaan. Program ini diperlukan namun belum tercantum di dalam cetak biru. Akhirnya untuk memecahkan masalah ini, BRR memakai konsep review design. Dengan konsep ini, pada tahuntahun berikutnya, setiap memulai pembangunan BRR hanya menyediakan konsep dasar perencanaan, dokumen lelang, dan perhitungan nilai kuantitas proyeknya. Semua ini kemudian dilelang. Berikutnya pemenang lelang yang harus merencanakan detail desainnya. Cara ini efektif untuk mempercepat proses rekonstruksi. Berbagai kenyataan ini memaksa BRR untuk cermat dalam menyusun strategi dan memilah kembali program infrastruktur saat membedah cetak biru. Program mana yang akan menjadi prioritas tahun pertama dan mana yang memerlukan perencanaan jangka panjang dan dibutuhkan desain mendalam. Dalam memilih program infrastruktur yang mendesak, selain dari cetak biru, BRR juga mempertimbangkan usulan dari Pemda dan kondisi di lapangan. Pada prinsipnya, BRR menempatkan build back better sebagai landasan target konstruksi dalam program

Helikopter PBB melintas di atas airstrip kota Calang, 4 Oktober 2006. Sejumlah airstrip dibangun di daerah strategis atau terpencil untuk tujuan transportasi penumpang dan logistik serta pengurangan risiko bencana di masa mendatang. Foto: BRR/Arif Ariadi

Bagian 3. Cetak Biru Sejuta Harapan

33

Tabel 3.1 Perubahan Sasaran Program/Kegiatan Cetak Biru No. I. PERHUBUNGAN Program/Kegiatan Satuan Sasaran Baru Capaian Pendanaan Keterangan

INFRASTRUKTUR: Memacu Sektor Pemicu

1 2 3 4 5 6

Pelabuhan Laut Pelabuhan Ferry Bandara Airstrip Helipad Jalan Kereta Api

Unit Unit Unit Unit Unit Unit

16 8 9 3 1

13 8 9 3 1

APBN BRR, MDF, Singapura & Belanda APBN BRR, AUSAID APBN BRR APBN, MAF APBN BRR

3 Unit Sedang Berjalan (MDF) Operasional Operasional Operasional Operasional Dilanjutkan Oleh Dep. PU (MDF, ADB, JBIC) Dilanjutkan Oleh Dep. PU (MDF, ADB, JBIC) Dilanjutkan Oleh Pemda

II. JALAN & JEMBATAN 1 2 3 Jalan Nasional Jalan Provinsi Jalan Kabubaten km km km 933 782 3.511 831 748 1.100 APBN BRR, MDF APBN BRR, MDF APBN BRR, MDF

34

III. TERMINAL & LLAJ 1 2 3 4 1 2 3 4 5 6 Pembangunan Terminal dan Damri Sarana keselamatan Lalu lintas Ged. Pengujian Kendaraan Bermotor Pengadaan Bus Bantuan Kantor SAR Meteorologi dan Geofisika Pos dan Telematika BMF UPT Postel Sirine Peringatan dini Tsunami Fasilitas Telematika/IT di kab/kota Unit Unit Unit Unit Unit Unit Unit Unit Unit Kab/ Kota 16 325 2 56 1 8 23 1 5 24 16 325 2 56 1 8 23 1 5 24 APBN BRR APBN BRR APBN BRR APBN BRR APBN BRR APBN BRR APBN BRR APBN BRR BMG APBN BRR Selesai Selesai Selesai Selesai Selesai Selesai Selesai Selesai Selesai Selesai

IV. POS & TELEMATIKA

V. ENERGI & KELISTRIKAN 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Generator/PLTD Kantor PT. PLN PLTMH (Mikro HIdro) PLTS Jaringan Listrik (JTM & JTR) Sambungan Pelanggan Gardu Distribusi / Induk Gedung ESDM Pemantau Gunung Api pkt pkt Unit Unit km Unit Unit Unit Unit 13 1 8 4.084 2.123 122.000 598 3 3 13 1 8 4.084 2.123 116.748 598 3 3 APBN BRR APBN BRR APBN BRR APBN BRR,LSM APBN BRR APBN BRR APBN BRR APBN BRR APBN BRR Selesai Selesai Selesai Selesai Selesai Dilanjutkan PLN Selesai Selesai Selesai

No.

Program/Kegiatan

Satuan

Sasaran Baru

Capaian

Pendanaan

Keterangan

VI. SUMBER DAYA AIR 1 2 3 1 2 1 2 3 Irigasi Pengendalian Banjir Pengamanan Pantai Bangunan Publik Bangunan Pemerintah Alat Berat Rangka Jembatan (rangka Baja & Balley) IREP (Peningkatan Kapasitas Rekonstruksi Infrastruktur) ha m' m' Unit Unit Unit Unit Paket 121.884 98.765 72.454 9 126 170 126 5 121.884 115.078 97.058 1 126 170 126 5 APBN BRR, ADB APBN BRR APBN BRR, MDF APBN BRR APBN BRR APBN BRR APBN BRR APBN BRR, MDF Selesai

Melampaui Target Selesai Selesai Selesai Selesai Dilanjutkan oleh Dep. PU

VII. BANGUNAN PUBLIK

VIII. PEMELIHARAAN INFRASTRUKTUR

rehabilitasi dan rekosntruksi di NAD dan Nias. Implikasi langsung dari strategi ini tentunya adalah dukungan pendanaan yang kuat. Dana itu nantinya akan dipakai untuk melaksanakan segala kebijakan pokok dalam pembangunan infrastruktur sesuai dengan visi dan misi Kedeputian Bidang Infrastruktur, Lingkungan, dan Pemeliharaan. Sesuai dengan skema pendanaan program berbagai program dipilah ke dalam status strategis dan nonstrategis. Program nonstrategis biasanya berskala kecil dengan waktu pelaksanaan kurang dari satu tahun anggaran. Program ini pada umumnya melayani kebutuhan jangka pendek seperti jalan kabupaten/kota, tempat pendaratan ikan di pedesaan dan jembatan atau jalan di permukiman penduduk. Program nonstrategis dilakukan sesuai dengan pertimbangan waktu, manfaat, dan nilainya yang cukup besar. Pengelolaannya dilakukan BRR sendiri. Sementara pelaksanaannya sendiri diserahkan kepada pemangku kepentingan setempat atau yang lebih dekat dengan lokasi kegiatan, yaitu regional. Sementara itu, program strategis umumnya berskala besar dengan waktu pengerjaan yang relatif lama dan fungsi yang berorientasi jangka panjang. Level status infrastrukturnya sendiri adalah tingkat nasional. Pelaksanaan pembangunannya dilakukan sendiri oleh BRR melalui Kedeputian Bidang Infrastruktur. Contoh kegiatan jangka panjang yang strategis adalah pembangunan Bandara SIM dan Pelabuhan Malahayati di Kabupaten Aceh Besar, dan jalan nasional di lintas barat Aceh. Selain dikerjakan sendiri oleh BRR, ada beberapa program strategis yang ditempatkan pengerjaaannya di tingkat regional. Pembangunan airstrip di Blangkejeren misalnya, adalah konstruksi yang sebenarnya membutuhkan keahlian khusus dalam membangunnya, namun diambil kantor regional Takengon. Ada juga pembangunan

Bagian 3. Cetak Biru Sejuta Harapan

Melampaui Target

35

drainase Lhokseumawe yang ditempatkan di regional memang karena percaya akan kemampuan staf regional di sana. Penempatan beberapa program strategis juga dibagi berdasarkan pengerjaannya langsung pada para donor maupun LSM intenasional. Skema pembiayaan program dari MultiDonor Fund (MDF) misalnya, diserahkan pelaksanaannya kepada UNDP. Program itu di antaranya untuk merehabilitasi persawahan, persampahan, air minum, dan rehabilitasi jalan. Sementara pada International Labour Organization (ILO) diberikan tanggung jawab untuk merehabilitasi jalan berbasis tenaga kerja yang juga dibiayai MDF. Kemudian ada pemerintah Jepang dan Amerika yang mendanai dan melaksanakan sendiri konstruksi rehabilitasi CalangMeulaboh dan rekonstruksi Banda AcehCalang. Mengingat kapasitas BRR dalam menangani kegiatan APBN dan hibah onbudget (masuk dalam skema APBN) sudah sangat besar, pelaksanaan konstruksi strategis donor dan LSM internasional tersebut sangat membantu pencapaian target rehabilitasi dan rekonstruksi BRR. Dalam program MDF itu, BRR masih tetap terlibat aktif dengan menempatkan dana pendamping sebesar US$ 200 juta yang dibantu pengawasannya oleh Bank Dunia.

Kebijakan Pemaketan Program dan Pelelangan


KEBIJAKAN lain yang digunakan BRR yang akan dalam proses konstruksi adalah pemaketan program. Paketpaket yang sejenis di dalam satu kabupaten dipaketkan menjadi satu. Hal ini agar mengarah pada pemaketan yang besar sehingga dapat dilelang di antara kontraktor besar, dengan anggapan kontraktor besar akan melaksanakan lebih cepat dan lebih baik, karena memiliki kapital dan peralatan yang cukup. Kebijakan ini terutama diterapkan bagi konstruksi yang didanai oleh donor. Tujuan lainnya adalah untuk mengurangi kesulitan dalam proses pelelangan. Paket yang dipecah menjadi kecilkecil akan membutuhkan pelelangan yang berulang dan membutuhkan banyak tenaga untuk menyelesaikannya. Sedangkan kelemahannya adalah jika pelelangannya gagal, maka konstruksi beberapa kegiatan dalam satu kabupaten akan tertunda. Namun, dengan masuknya proses pelelangan dalam supervisi oleh Central Procurement Unit, maka kemungkinan gagal dapat dikurangi, karena beberapa aturan Keppres 80 dapat diatasi dengan adanya aturan dari donor. Aturan lain yang tidak selalu mudah diperoleh kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah adalah izin tahun jamak atau multiyears. Dalam Revisi Keppres 80 untuk Rehabilitasi dan Rekonstruksi, Kepala BRR diberikan kewenangan untuk menentukan paketpaket yang dapat dilaksanakan dengan tahun jamak. Hal ini memudahkan dalam pelaksanaan konstruksi karena dapat mengurangi proses pelelangan pada setiap awal tahun anggaran. Persoalannya adalah dapat menimbulkan moral hazard, konstruksi yang seharusnya selesai dalam satu tahun anggaran, menjadi tahun jamak karena keterlambatan dalam pelaksanaan. Tapi sekali lagi, hal ini tetap menjadi keuntungan dalam proses percepatan, karena bagi konstruksi yang terlambat dan tahun anggaran pendanaannya berakhir, harus dilelang ulang. Perubahan konstruksi satu tahun menjadi multiyears tetap saja mengurangi proses pelelangan dan pekerjaan dapat langsung masuk ke tahap konstruksi dengan harga tahun sebelumnya.
Bagian 3. Cetak Biru Sejuta Harapan

37

Adapun tahapan yang ditetapkan dalam cetak biru dibagi dalam dua tahap, yakni rehabilitasi dan rekonstruksi. Pada tahap rehabilitasi antara April 2005 hingga Desember 2006, program ditujukan untuk mengembalikan dan memulihkan fungsi bangunan dan infrastruktur, dengan sasaran memperbaiki pelayanan publik pada tingkat yang memadai. Sementara pada tahapan rekonstruksi antara Juli 2006 hingga Desember 2009 adalah proses membangun kembali kawasan perkotaan, desa, dan keterpautan (aglomerasi) kawasan. Sasarannya adalah terbangunnya kawasan dan kehidupan masyarakat yang terkena bencana langsung maupun tidak langsung.

Jalur baru jalan CalangMeulaboh di ruas Arongan dalam proses pembangunan, Aceh Barat, 8 April 2006. Foto: BRR/Arif Ariadi

Program di Lintasan Pembuka


INFRASTRUKTUR: Memacu Sektor Pemicu

Khusus untuk 2005, paket program rehabilitasi yang diprioritaskan adalah pemulihan jalan lintas barat Banda AcehMuelaboh, sanitasi dan sarana air minum, penanganan sampah tsunami, serta perbaikan fasilitasfasilitas umum dan instalasi perlistrikan. Sedangkan untuk program rehabilitasi jalan dan jembatan, pada 2005, BRR memfokuskan pada penanganan jalan nasional dan jalan provinsi yang rusak akibat tsunami. Di pantai barat, selain ruas Banda AcehMeulaboh, ruas jalan MeulabohTapaktuanbatas Sumatera Utara yang mulai rusak juga ditangani. Setelah lembaga internasional seperti JICS dari Jepang berkomitmen membantu menangani ruas CalangMeulaboh dan USAID mempersiapkan rekonstruksi Banda AcehMeulaboh, BRR hanya fokus pada rehabilitasi ruas Banda AcehLamnoCalang. Program BRR untuk ruas jalan Banda AcehLamnoCalang menjadi sangat penting karena jalan tanggap darurat yang dikerjakan TNI sebelumnya sudah rusak kembali dan mengakibatkan putusnya jalur transportasi dan distribusi logistik ke Calang. Di masa tanggap darurat, jalan ini sangat membantu untuk membuka Kota Calang yang terisolasi. Di kawasan Ligan misalnya, akibat tsunami jalan lama sudah terendam laut dan terputus sepanjang empat kilometer. Untuk menghubungkan LamnoCalang, TNI merintis jalan baru ke arah pegunungan sepanjang 25 km. Selain itu BRR juga fokus pada lintas tengah Aceh, yaitu pada ruas GeumpangTutut. Sebelumnya, pada masa tanggap darurat ruas ini dikerjakan Dinas Prasarana Wilayah Provinsi Aceh. Ruas ini juga sangat penting karena apabila lintas barat putus lagi, ruas ini bisa menjadi jalan alternatif Banda AcehMeulaboh. Bagian penting lainnya adalah jalan provinsi di Kuala TuhaLamie di pantai barat dan di jalan sekitar pegunungan tengah IsakJagong Jeget. Sesuai dengan cetak biru, BRR juga memprioritaskan pemulihan infrastruktur jalan nasional lintas utara, lintas tengah, dan lintas timur bagian utara. Pada tahun berikutnya, 2006, untuk lintas tengah BRR hanya sempat menyiapkan konsep dan pendanaan dari JBIC dan kemudian dilanjutkan oleh Departemen Pekerjaan Umum. Dalam menyusun program rehabilitasi jalan dan jembatan, BRR juga berkoordinasi dengan departemen atau dinas terkait sehingga program yang tumpangtindih dapat dihindari. Di samping itu, untuk rehabilitasi jalan kabupaten/kota, BRR meminta Dinas PU kabupaten bersama Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah untuk menetapkan ruas jalan mana yang akan diprogramkan. Cara ini terbukti kemudian sangat bermanfaat dalam menghadapi masyarakat suatu kabupaten yang datang ke BRR memprotes mengapa ruas jalan tersebut yang dibangun, bukan yang di depan rumah saya. BRR menjawab bahwa pembangunan ruas jalan tersebut bukan ditentukan oleh BRR, melainkan oleh Pemda yang bersangkutan. Jika

38

keberatan dapat disampaikan kepada Pemda yang bersangkutan atau usulkan kepada Pemda agar menjadi program tahun berikutnya. Belakangan pada 2006, program ini tidak lagi menjadi lingkup kerja Deputi Infrastruktur tapi tugas regional, sementara jalan lingkungan masuk menjadi tugas Kedeputian Perumahan. Untuk memulihkan perekonomian masyarakat yang terpuruk akibat bencana gempa bumi dan gelombang tsunami, sektor perhubungan dan telekomunikasi memiliki program merehabilitasi berbagai fasilitas pelabuhan laut yang rusak akibat bencana. Selanjutnya adalah program merekonstruksi dan membangun baru pelabuhan yang dianggap strategis yang mampu menstimulasi bangkitnya perekonomian wilayah untuk jangka panjang. Kegiatan utama diarahkan pada pembukaan pelabuhan baru di pantai barat, seperti Meulaboh, Calang dan Sinabang, serta peningkatan kapasitas pelabuhan yang sudah ada meliputi Pelabuhan Malahayati, Lhokseumawe, Kuala Langsa, Tapaktuan, dan Gunungsitoli di Nias. Selain itu, untuk memperkuat Pemda dalam hal komunikasi data elektronik, BRR kemudian memprogramkan pembangunan jaringan teknologi informasi dan komunikasi di seluruh kabupaten. Program itu termasuk memberi layanan kepada pemerintah, pendidikan, dan masyarakat umum.

Proyek perpanjangan landasan pacu Bandara Sultan Iskandar Muda, Aceh Besar, memungkinkan pesawat sebesar Boeing 747 hilir mudik di atasnya, 23 Juni 2007. Foto: BRR/Arif Ariadi

Bagian 3. Cetak Biru Sejuta Harapan

39

Prinsipprinsip Dasar Kebijakan Pemrograman Bidang Infrastruktur Melaksanakan Misi


1.
INFRASTRUKTUR: Memacu Sektor Pemicu

Memilih infrastruktur yang mendesak. Pemilihan ini didasari atas pertimbangan perencanaan nasional (blueprint), aspirasi/usulan dari pemerintah daerah, dan kondisi lapangan. Dari pertimbangan ini lahir paket program yang diberikan prioritas pada 2005 seperti paket rehabilitasi dan rekonstruksi drainase Kota Banda Aceh, rehabilitasi jalan CalangLamno dan merehabilitasi dan rekonstruksi fasilitas umum, seperti sekolah, pasar, air minum, dan jalan kota. Memberikan kebebasan dan mempersilakan donor untuk membantu melaksanakan rehabilitasi dan rekonstruksi sesuai dengan pilihannya. Atas dasar ini, terdapat kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi yang dikerjakan sendiri oleh para donor: Amerika/IRD: memperbaiki dan mengerjakan reservoir Singapura: Pembangunan Pelabuhan Meulaboh Belanda: Pembangunan Pelabuhan Malahayati Jepang: menyuplai pipa, untuk saluran primer sampai sambungan ke rumah dan merehabilitasi jalan CalangMeulaboh. USAID: melaksanakan pelatihan dan perbaikan gedung PDAM dan membangun jalan Banda AcehCalang UNICEF: memperbaiki WTP Siron American Red Cross banyak membangun infrastruktur kecil di Kab. Aceh Jaya.

40

2.

Menegaskan pengaturan wewenang dan tanggung jawab utama pemrograman dan pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi antara BRR dan pemerintah daerah. Masalah ini diatur bahwa paket rehabilitasi dan rekonstruksi infrastuktur yang strategis, bersifat nasional dan provinsi dan membutuhkan biaya yang besar, dikerjakan oleh BRR. Sedangkan paket rehabilitasi dan rekonstruksi yang bersifat lokal dikerjakan oleh pemda. Pengaturan ini lebih didasarkan kepada pragmatisme, yakni dari aspek tersedianya biaya, teknologi dan ekspertis dalam pelaksanaannya, karena terbatasnya waktu pelaksanaannya (3,5 tahun). Dalam kenyataannya kadang ada dilema, seperti paket mana yang dipilih, umpamanya antara paket perbaikan irigasi dan atau paket pengaman pantai. Pada intinya penetapan program rehabilitasi dan rekonstruksi diserahkan kepada wilayah/pemda. Harusnya mereka yang membuat daftar paketpaket program untuk wilayah masingmasing. Atas dasar sifat strategis dari paketpaket tersebut BRR menetapkan paketpaket mana yang masuk ke dalam program BRR. Tentu, paketpaket yang belum/tidak terpilih BRR, berdasarkan prioritas wilayah seyogyanya dikerjakan dengan dana pemda (APBA/APBK). Adanya kebijakan dalam rangka menangani infrastruktur yang terkena tsunami langsung atau yang terpengaruh karena fungsinya. Memfasilitasi wilayahwilayah yang kena tsunami dan yang terpengaruh tsunami dilandasi atas pertimbangan pemerataan dalam rangka keadilan. Alasanalasan pemerataan itu juga didukung oleh banyaknya masyarakat yang terkena tsunami memasuki wilayah yang terpengaruh tersebut, misalnya kabupaten di daerah pegunungan. Denyut ekonomi harus dirasakan di semua wilayah. Kaitannya dengan donor dan LSM, mereka tidak melakukan pembedaan jenisjenis infrastruktur, tapi donor dan LSM kita beri kemungkinan untuk memilih program mana yang akan mereka tangani, sisanya baru BRR yang menangani. Sejauh mungkin menghindar dari paketpaket program yang komersial. Contoh, ini dalam kaitan dengan beberapa aspek rehabilitasi dan rekonstruksi telekomunikasi dan kelistrikan, BRR hanya memperbaiki stasiun telepon di Meulaboh dan Tapaktuan serta menangani sambungan rumah dan jaringan lokal karena sangat dekat dengan masyarakat penerima manfaat. Tersedianya sharing dari pihak pemda. Dalam pelaksanaan, kebijakan/strategi ini dipakai kelaziman yang ada, yakni pihak pemda memberikan sharing untuk paketpaket program yang dikerjakan BRR terutama dalam bentuk pembebasan lahan. Dengan demikian BRR dapat fokus untuk melaksanakan pembangunan fisiknya saja. Tapi dalam realitanya masalah ini terus membayangi, sebagai salah satu penyebab utama kelambatan pelaksanaan paket program.

3.

4.

5.

6.

Perbaikan terminal dan fasilitas transportasi darat pun dilakukan agar fungsi angkutan terutama di wilayah barat semakin kuat dan integrasi Aceh dari selatan dan pantai barat ke timur semakin kuat. Program penting juga berupa pengembangan kapasitas bandara utama di Banda Aceh dan kawasan lainnya. Selain programprogram di atas, program prioritas selanjutnya adalah rehabilitasi sanitasi dan air minum. Hal ini penting, karena setelah tsunami air sumur tercemar air laut sehingga praktis suplai air minum sangat bergantung pada instalasi pelayanan air minum yang ada. Masalahnya, fasilitas air minum milik Perusahaan Air Minum Daerah (PDAM) yang ada rusak parah akibat gempa sehingga pemulihan fasilitas ini menjadi prioritas. Pada umumnya, pembangunan water supply di Aceh sejak awal diserahkan penentuannya kepada donor dan LSM. Hal ini disebabkan banyak donor yang lebih berminat pada pembangunan fasilitas publik dan berhubungan dengan kemanusiaan. Pembangunan water supply secara langsung melayani publik, apalagi biayanya juga relatif lebih murah. Prinsip pembangunan penyediaan air minum bagi suatu kawasan sendiri dapat diintegrasikan dengan program pembagunan kawasan perumahan. Suplai air minum akan disediakan melalui pembangunan dan rehabilitasi instalasi penjernihan air yang dikoordinasikan dengan PDAM setempat, terutama yang berada di kota besar dan ibu kota kabupaten, seperti Banda Aceh, Calang, Meulaboh, Sigli, Lhokseumawe, dan Sabang. Pada masa tanggap darurat berbagai lembaga internasional telah membantu rehabilitasi fasilitas ini. Fasilitas pengolahan air minum atau water treatment plant (WTP) di Banda Aceh, misalnya, dibangun Palang Merah Swiss. Mereka juga berkomitmen memperbaiki kerusakan pada WTP Lambaro, sampai kapasitas distribusinya kembali pulih, termasuk membangun fasilitas pengolahan sumber air (intake) yang baik. Selain itu ada American Red Cross yang membangun jaringan air minum di Kabupaten Aceh Jaya dan Aceh Barat. Sementara UNICEF membangun jaringan air minum di Aceh Besar dan Jepang melalui JICSnya di Banda Aceh. Sesuai dengan cetak biru, pada 2005, BRR sendiri membangun WTP di beberapa kabupaten seperti Siron, Kemala, Pidie, Sigli, Bireuen, Aceh Jaya, Langsa, Aceh Barat Daya, dan Sabang. Ada kasus menarik di Sabang. Di Kota Sabang, fasilitas rusak bukan karena tsunami tapi akibat gempa. Sumber utama air bersih kota itu, yaitu Danau Aneuk Laot, berkurang kemanfaatan airnya untuk keperluan apa pun juga. Akibat gempa, lapisan batuan di dasar danau tersebut retak dan mengakibatkan kebocoran air danau. Kebocorannya lumayan besar sehingga permukaan air danau menyusut. Bila pemanfaatan air tidak dibatasi maka kemungkinan besar danau itu akan kering. Dengan kondisi ini, pengambilan air dari Danau Aneuk Laot untuk air minum Kota Sabang secara bertahap dihentikan. Uniknya, gempa juga telah mengakibatkan munculnya mata air baru di sekitar danau, di antaranya adalah mata air Krueng Pancu. Pada 2005, mata air ini lalu diberdayakan menjadi sumber mata air baru untuk menanggulangi krisis air minum Kota Sabang. Program ini sifatnya darurat dan dikerjakan dengan dana yang terbatas. Selanjutnya, untuk untuk jangka panjang, sumber air baku baru pengganti Danau Aneuk Laot dipilih sumber air lain yang cukup layak, yaitu dari Sungai Pria Laot.
Bagian 3. Cetak Biru Sejuta Harapan

41

Semua ini harus dilakukan secara akurat. Jika tidak, fasilitas yang dibangun hanya akan menjadi monumen karena tidak ada sumber air yang diolah, ujar Bastian. Hal ini terjadi saat BRR berusaha merehabilitasi fasilitas air minum untuk Kota Banda Aceh dan Kabupaten Aceh Besar. Studi kelayakan sumber air Krueng Aceh di bawah kewenangan PDAM Tirta Montala Jantho (Kabupaten Aceh Besar) dibuat oleh sebuah LSM dari Belanda dan dilaksanakan oleh sebuah kontraktor lokal. Studi itu sendiri baru selesai pada Maret 2007. Hasilnya diketahui bahwa debit air Krueng Aceh cukup layak untuk disedot sebesar 600 liter/detik dan secara investasi cukup aman. Dengan dasar studi itu, Gubernur Aceh lalu mengajukan usulan pembangunan IPA ke Bank Dunia dan BRR. Program ini menjadi isu yang cukup hangat dan didukung oleh berbagai pihak, terutama LSM internasional. Sayangnya, setelah dilakukan studi kelayakan ulang, ditemukan beberapa kesalahan. Studi itu ternyata tidak memakai data dari Balai Besar Sungai Wilayah Aceh, pada musim kemarau debit minimal air hanya 500 lt/detik dan peraturan menyatakan hanya sepertiganya yang bisa disedot. Akibatnya program ini ditunda. Kasus lemahnya studi potensi air juga terjadi tidak hanya di PDAM Tirta Montala. Kasus serupa terjadi pada studi kelayakan sumber air di Sungai Ie Suum, Krueng Raya, yang juga membuat program ini dibatalkan pembangunannya. Sementara itu, program rehabilitasi saranaprasarana drainase kawasan juga dilaksanakan. Tujuannya untuk mengendalikan wilayah daerah kabupaten/kota terhadap kemungkinan terjadinya banjir maupun genangan air. Hal ini karena umumnya kotakota di Aceh memiliki elevasi sangat dekat dengan elevasi permukaan laut sehingga aliran air bergerak sangat lambat menuju laut. Kondisi ini makin parah pada saat pasang biasa dan pasang purnama, karena air buangan kota terhambat bergerak menuju laut. Pembangunan infrastruktur pengaman pantai diprioritaskan pada daerah dengan tingkat penduduk yang padat dan kegiatan ekonomi yang tinggi. Selain pengaman pantai, juga dibuatkan tanggul air asin di beberapa kota yang pantainya mengalami penurunan muka tanah akibat gempa. Dalam skala kawasan yang lebih besar, yakni DAS yang melingkupi dua atau lebih wilayah daerah, penanganannya dimasukkan dalam program sektor sumber daya air. Kegiatannya meliputi perbaikan sistem perlindungan sungai, perlindungan kawasan pantai, dan pengendalian banjir lintas daerah atau regional.

Di daerah pantai bergelombang besar seperti Johan Pahlawan, Meulaboh, Aceh Barat, konstruksi pengaman pantai yang kokoh sangat penting bagi keamanan masyarakat pesisir, 6 Maret 2008. Foto: BRR/Arif Ariadi

Bagian 3. Cetak Biru Sejuta Harapan

Saat membuat program rehabilitasi air minum, sesuai dengan cetak biru, BRR berusaha melakukan studi kelayakan sebelum membangun fasilitas, terutama dalam hal menentukan lokasi sumber air minum. Prinsip dasar yang dipakai adalah harus ada jaminan ketersediaan air pada musim kemarau dan tidak tercemar air laut. Hal ini juga bisa dilakukan dengan membuka catatan sejarah debit kritis kemarau di lokasi tersebut. Jika tidak ada, dilakukan wawancara dengan masyarakat setempat atau studi khusus hidrologi.

43

INFRASTRUKTUR: Memacu Sektor Pemicu

Untuk mengatasi banjir, di beberapa sungai di daerah urban ditangani berdasarkan tingkat kerusakan akibat banjir. Ini ditujukan terutama untuk melindungi kegiatan ekonomi masyarakat. Target panjang sungai yang ditangani mencapai 126.146 m. Penanganan yang ditangani meliputi rekonstruksi muara sungai, tanggul banjir, pengerukan dasar sungai dan pemasangan pompa banjir. Drainase juga ditangani di kota yang mengalami genangan, dataran rendah, dan rusak karena gempa. Penanganannya dibuat satu sistem antara buangan dari permukiman, jaringan drainase tersier dan sekunder, sampai ke pembuangan primer. Jika diperlukan maka sistem drainase juga dilengkapi dengan pompa dan reservoir penampung sementara. Hal ini ditujukan agar daerah genangan teratasi dan banjir dapat dihindarkan. Untuk penanganan sampah sendiri, program ditekankan pada penyediaan alternatif pengolahan sampah. Kapasitas pengolahan sampah yang ada sebelumnya sudah mendekati batas maksimal karena kapasitasnya kecil. Selain konstruksi pengolahannya, perbaikan manajemen pengumpulan dan pengolahan juga menjadi program penting. Apalagi kapasitas unit operasinya rendah, baik karena peralatan maupun karena sistem kerja. Sementara itu, di antara sektorsektor lainnya, sejatinya Direktorat Sumber Daya Air dan Kelistrikanlah yang pertama melakukan koordinasi dan evaluasi terhadap cetak biru. Pada Agustus 2005 diadakan rapat di Medan dengan peserta Pemerintah Aceh, Pemerintah Provinsi Sumatera Utara, Bappeda, donor, dan Bappenas, untuk merumuskan target SDA dan listrik. Di rapat ini juga dilakukan pendalaman cetak biru dan menjadi rencana program jangka menengah. Direktorat inilah yang pertama sekali mempersiapkan rencana revisi cetak biru atau target pencapaiannnya. Program prioritasnya antara lain meliputi pembangunan pembangkit listrik, jaringan tegangan menengah (gardugardu listrik), jaringan tegangan rendah (tiang listrik), dan sambungan listrik perumahan. Di kalangan masyarakat penyintas tsunami sempat muncul keluhan, kenapa rumah mereka dibangun tapi listrik tak ada. Rupanya mereka tidak memahami cara kerja sektor ini, yaitu listrik baru disambung bila pemilik rumah sudah jelas atau rumah sudah dihuni, ujar Bastian. Rumahrumah yang telah selesai dibangun BRR atau LSM/donor secara otomatis ditangani sambungan listriknya di mana pun rumah tersebut dibangun. Rumahrumah yang tidak berada di daerah yang mempunyai jaringan listrik, maka pelayanan listrik ditangani melalui pemberian secara cumacuma pembangkit listrik tenaga surya (PLTS). Untuk sambungan rumah, BRR dan PLN membebaskan masyarakat korban tsunami dari biaya pemasangan. Bagi pelanggan lama, mereka dibebaskan dari biaya sambungan dan jaminan, sedangkan pelanggan baru harus tetap membayar uang jaminan pelanggan.

44

Tahun pertama bagi infrastruktur BRR merupakan batu pijakan penting dalam memulai proses rekonstruksi tahun berikutnya. Di sini, BRR harus jeli menampung dan mendengar harapan dari berbagai pihak. Tidak hanya dari para korban tsunami tapi juga dari berbagai pihak termasuk kalangan intenasional yang berharap agar Aceh dan Nias segera pulih. Kenyataannya, cetak biru yang disusun dalam kondisi darurat memang tidak sepenuhnya dapat dijadikan pedoman. Akhirnya, berbekal sejuta harapan itulah BRR bisa melangkah menyusun program dan kebijakan untuk melaksanakan rehabilitasi dan rekonstruksi di tanah bencana.

Bagian 3. Cetak Biru Sejuta Harapan

Sementara itu, untuk mengatasi ketersediaan pasokan listrik, BRR mencoba membuat pembangkit listrik baru. Di Provinsi Aceh sendiri, sebelum tsunami pasokan sumber daya listrik sangat bergantung pada pembangkit listrik tenaga diesel. Masalahnya kapasitas pembangkit ini sangat terbatas karena fasilitas dieseldiesel yang ada sudah tua dan sering rusak. Selain merehabilitasi pembangkit ini, dibangun juga pembangkit listrik mikrohidro (PLTMH). Pembangunan ini selain menjadi program utama kelistrikan untuk daerah pedalaman yang terisolasi juga menjadi stimulan melindungi hutan di DAS, dengan moto gerbang penjaga hutan lindung.

45

Mengelola Dana Bantuan


Mengejar Kepercayaan

ADB Boulevard, itulah julukan bagi kawasan Ulee Lheue. Infrastruktur di kawasan

yang terparah digerus tsunami kini memang telah berubah. Jalan selebar empat jalur sepanjang lima kilometer membentang hingga Pulau Ulee Lheue, mulai dari Jembatan Punge di Kecamatan Meuraxa dan berakhir tepat di pintu pelabuhan feri baru. Tak ada lagi loronglorong sempit menembus permukiman padat seperti dulu sebelum tsunami. Jalan yang lebar itu juga dilengkapi dengan median jalan dan deretan lampu penerangan jalan. Malam tak lagi gulita. Trotoar dan taman berderet di kirikanan jalan. Inilah upaya yang dilakukan BRR dengan bantuan dana hibah dari Asian Development Bank (ADB) senilai Rp 50 miliar, untuk menjadikan kawasan Ulee Lheue sebagai kawasan wisata pantai. ADB sendiri hanyalah satu dari sekian banyak lembaga yang membantu pendanaan seluruh kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi AcehNias. Tak hanya lembaga internasional asing, berbagai instansi pemerintah serta lembaga swasta dalam negeri pun turut terlibat dalam kegiatan tersebut. Bentuknya bermacammacam, ada hibah, pinjaman, sharing maupun bentuk lainnya. Semua itu di luar dana dari pemerintah pusat (APBN), baik berupa dana Rupiah Murni (RM) maupun rupiah pendamping. Sesuai dengan perencanaan program dan pendanaan, semua bantuan itu dibutuhkan untuk menuntaskan proses rehabilitasi dan rekonstruksi BRR. Karena menyangkut dana sejuta
Pelabuhan penumpang antarpulau di Ulee Lheue, Banda Aceh, yang pembangunannya dibantu Pemerintah Australia mengalami peningkatan kapasitas hingga 50% dan mampu melayani hingga 1.000 penumpang per harinya, 2 November 2008. Foto: BRR/Arif Ariadi

Bagian 4. Mengelola Dana Bantuan

47

INFRASTRUKTUR: Memacu Sektor Pemicu

umat, tentunya penggunaan dan pertanggungjawabannya harus direncanakan sesuai dengan ketentuan atau standar yang berlaku. Pendaanan mulai dari konstruksi, mutu hasil akhir, bahkan batas waktu pengerjaan yang sudah ditentukan sekalipun harus bisa dipertanggungjawabkan. Sedikit rumit memang. Dana yang bersumber dari pemerintah pusat (melalui APBN) misalnya, setelah dibelanjakan, pada akhir tahun akan diadakan pemeriksaan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sebagai auditor independen. Pendanaan dari APBN tentu juga harus mengikuti mekanisme dan ketentuan daftar isian proyek anggaran (DIPA) Departemen Keuangan, termasuk nantinya bagaimana pertanggungjawabannya. Dana pemerintah pusat (APBN) sudah pasti tidak cukup untuk mendanai seluruh program rehabilitasi dan rekonstruksi BRR. Tawaran bantuan dana dari berbagai pihak di atas tentunya akan sangat meringankan beban anggaran pemerintah. Masalahnya adalah dari seluruh tawaran dana tersebut beberapa masih sekadar berupa janji, belum komitmen pasti. Bagaimana BRR mengejar pemenuhan kebutuhan anggaran tadi? Tentu dibutuhkan kecerdikan tersendiri. Langkah pertama adalah memberikan kepercayaan kepada donor untuk mengerjakan sendiri proses pembangunan sesuai dengan program pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi BRR. Mulai dari pengadaan, konstruksi, evaluasi hingga audit, seluruhnya mereka kerjakan sendiri. BRR hanya berfungsi sebagai koordinasi dalam penentuan program dan memfasilitasi. Pendekatan ini membuahkan hasil. Dana pun dikucurkan. Sebagai contoh, pemerintah Belanda membangun sendiri konstruksi Pelabuhan Malahayati. Pemerintah Amerika membangun jalan Banda Aceh Calang. Kemudian ada pemerintah Jepang yang membangun jalan Calang Meulaboh atau pemerintah Singapura yang membangun Pelabuhan Meulaboh. Hal serupa dilakukan di sektor lainnya seperti pendidikan, perumahan, kesehatan, sosial, dan budaya. Strategi ini selain mendorong realisasi komitmen, juga meringankan kerja BRR karena ada partner yang membantu dalam pelaksanaan. Pendekatan kedua adalah dengan memasukkan dana donor tersebut ke dalam DIPA, tapi program tetap dilaksanakan oleh donor. Bila dana tersebut ditempatkan dengan mekanisme onbudget (masuk anggaran pemerintah pusat sesuai dengan ketentuan DIPA) harus mengikuti ketentuan APBN dengan tetap dalam hal pelaporan anggarannya mengikuti aturan donor. Pendekatan ketiga dilakukan dengan jalan memberlakukan dana donor sebagai dana APBN, namun sistem pengawasan dan pengendaliannya sesuai dengan aturan donor. Dana ini digabung dengan dana APBN yang telah menjadi komitmen pemerintah. Pola terakhir ini melibatkan manajemen BRR dan personel Satker dalam proses pelelangan. Proses rehabilitasi dan rekonstruksi infrastruktur menggunakan pola dana hibah MDF dan ADB. Lalu ada juga dana pinjaman dari Bank Pembangunan Islam (IDB), dari pemerintah Jepang melalui JBIC dan JICA, dan dari pemerintah Prancis melalui AFD. Pada

48

dasarnya persyaratan utama untuk pengucuran dana dengan prosedur onbudget adalah kepercayaan. Pendekatan ketiga ini dilakukan karena donor biasanya sangat khawatir kalau dana yang mereka berikan mengalami kebocoran atau terindikasi korupsi. Oleh sebab itu, mulai proses pelelangan sampai konstruksi akuntabilitas dan transparansi sangat penting. Sementara itu ada juga sistem pendanaan offbudget yang pengelolaan dan pertanggungjawabannya dikerjakan sendiri oleh donor maupun LSM. Dana itu berupa hibah dari Pemerintah Amerika, Pemerintah Korea, Pemerintah Singapura, Pemerintah Belanda, Pemerintah Australia, Pemerintah Jepang, lembaga PBB, lembaga Palang Merah dan Bulan Sabit Merah, lembaga donor, lembaga swasta, dan LSM lainnya (lihat tabel Pendanaan Proyek Infrastruktur On & Off Budget). Meskipun demikian, pada 2009, pemerintah pusat masih menganggarkan dana sebesar Rp 1,6 triliun untuk meneruskan program rehabilitasi dan rekonstruksi infrastruktur yang dikerjakan Pemerintah Daerah Aceh dan Pemerintah Provinsi Sumatera Utara untuk Nias. Yang pasti, di luar semua kerumitan itu, BRR sangat menghargai dan mengapresiasi bantuan dana dari seluruh pihak. Tanpa mereka, proses rehabilitasi dan rekonstruksi infrastruktur tak akan terjadi.

Pelabuhan Barang Malahayati dibangun dengan bantuan Pemerintah Belanda, Krueng Raya, Aceh Besar, 30 Agustus 2006. Foto: BRR/Arif Ariadi

Bagian 4. Mengelola Dana Bantuan

49

Kisahkisah Bersama Mitra Utama


Multi Donor Fund (MDF) & Bank Dunia (World Bank, WB)
INFRASTRUKTUR: Memacu Sektor Pemicu

MDF memberikan mandat kepada Bank Dunia sebagai mitra pengawas (partner agency) program infrastruktur IREP dan IRFF yang dilaksanakan BRR dalam rangka mempercepat proses rekonstruksi infrastruktur. Ide program percepatan rekonstruksi infrastruktur ini datang dari Eddy Purwanto pada Januari 2006 yang diusulkan kepada MDF yang saat itu dipimpin oleh Josef Leitmann. Program ini mendapat dukungan dari Direktur Sektor Infrastruktur Bank Dunia Washington, Christian Delvoie, dengan menugasi Aniruddha Dasgupta untuk mempersiapkan konsep sampai menjadi program IRFF dan IREP. Program IREP dan IRFF mulai efektif pada saat Sekretariat MDF dipimpin oleh Christian Rey. Sektor yang dibiayai program IRFF meliputi sumber daya air, sanitasi, pengamanan pantai, pelabuhan laut, jalan, dan jembatan. Dana yang diberikan MDF sebesar US$ 100 juta untuk kegiatan fisik IRFF dengan pendamping rupiah sebesar US$ 191 juta dan US$ 42 juta untuk bantuan teknis konsultan IREP. Dalam pelaksanaan program kegiatan ini Bank Dunia melakukan pengawasan khusus dari Washington di bawah Direktur Sektor Urban Bank Dunia, Keshav Varma, serta manajemen Bank Dunia Indonesia di bawah pimpinan Andrew Steer yang kemudian digantikan oleh Joachim von Amsberg. Pada masa pelaksanaan program IRFF dan IREP, Bank Dunia menugaskan task team leader dari Washington yang secara berturutturut antara lain Aniruddha Dasgupta, Dean Cira, dan Suhail J.S. JmeAn dengan dukungan koordinator tim infrastruktur Banda Aceh Lixin Gu. Program utama rekonstruksi yang dibiayai dari MDF adalah sektor jalan, sanitasi, tanggul pengamanan pantai, drainase, dan pelabuhan. Bank Dunia sangat ketat dalam melakukan pengendalian rekonstruksi infrastruktur, mulai dari penyiapan persetujuan hibah, penerbitan no objection letter, persetujuan rencana pengadaan, AMDAL, dan LARAP. Seluruh proses ini bertujuan untuk menyelesaikan target sesuai dengan prosedur untuk memastikan kualitas output dan outcome yang baik. Dengan berakhirnya masa kerja BRR pada 16 April 2009 maka implementing agency program IREP/IRFF berikutnya diserahkan kepada Departemen Pekerjaan Umum dan Departemen Perhubungan melalui kemitraan lanjutan dengan Bank Dunia. Dalam pengendalian program IREP/IRFF ini tim Bank Dunia dan BRR merupakan mitra yang seimbang dan kuat namun tetap saling memahami bahwa pencapaian tujuan bersama lebih penting dari semua prosedur pelaksanaan yang berlaku.

50

Bank Pembangunan Asia (Asian Development Bank, ADB)


Enam bulan pascaterjadinya tsunami dan gempa bumi pada Juni 2005, ADB mendirikan Earthquake and Tsunami Emergency Support Project (ETESP), sebuah proyek yang memberikan bantuan dalam upaya rekonstruksi dan rehabilitasi Aceh dan Nias. Pada awalnya, semua persetujuan untuk program dikendalikan dari Manila, namun kemudian, melalui Peter Smidt, kepala ADB Extended Mission in Sumatera, BRR mengajukan permintaan untuk memindahkan seluruh kendali persetujuan ke Banda Aceh. Dengan adanya kendali persetujuan di Banda Aceh ini pekerjaan proyek dapat dipercepat. Khususnya dalam bidang infrastruktur, ADB banyak memberikan dukungan dalam proyekproyek jalan dan jembatan, perbaikan jaringan irigasi serta air minum dan sanitasi. Tenaga ahli yang berperan penting dalam mendukung upaya pengendalian proyek infrastruktur di Banda Aceh adalah Aminul Huq dan Pieter Seyler.

Tabel 4.1 Pendanaan Proyek Infrastruktur On & OffBudget PENDANAAN ON BUDGET (Milyar) No. 1 2 3 4 5 6 7 8 SEKTOR Perhubungan Telekomunikasi Jalan & Jembatan Sumber Daya Air Energi & Kelistrikan Air minum & Sanitasi Fasilitas Bangunan Umum Infrastructure Reconstruction Enabling Programe Pemeliharaan Infrastruktur & Infrastruktur lainnya TOTAL APBN 1.692 84 4.372 1.471 1.017 1.403 979 MDF JBIC/ ADB AFD IDB (US&RP) JICA 406 1.470 80 228 405 358 270 89 65 582 41 USA 2.489 241 JICS 282 277 32 PENDANAAN OFF BUDGET (MILYAR) UNDP/ SINGA LAIN DUTCH AUSAID KOICA UNICEF PURA LAIN 35 14 674 41 84 78 40 4 46 10 13 29 500

345 466

37 11.055

20.569

781 15,839

41

2.730

591

723

41 5,275

84

78

44

387 984

927 466

21,114 Total anggaran keseluruhannya mencapai lebih dari Rp 21 triliun Rupiah. Hampir sebesar 90% dari dana tersebut sudah selesai diimplementasikan dalam masa BRR. Sedangkan sisanya seperti MDF, AFD, JICA dan IDB akan dilanjutkan proses implementasinya oleh Kementerian/Lembaga Pusat pada tahun 2009. Bersamaan dengan program tersebut, melalui APBN tahun 2009, Pemerintah juga menyediakan pendanaan sebesar Rp. 1,6 triliun yang dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah Aceh dan Rp 200 miliar lebih untuk program rehabilitasi dan rekonstruksi.

Bagian 4. Mengelola Dana Bantuan

51

INFRASTRUKTUR: Memacu Sektor Pemicu

Bank Jepang untuk Kerja Sama Internasional (Japan Bank for International Cooperation, JBIC), Badan Kerja Sama Internasional Jepang (Japan International Cooperation Agency, JICA), dan Sistem Kerja Sama Internasional Jepang (Japan International Cooperation System, JICS)
JBIC adalah institusi resmi pemerintah Jepang yang bertujuan untuk mempromosikan kegiatan eksporimpor serta perekonomian Jepang di luar negeri serta mendukung pengembangan stabilitas pembangunan ekonomi baik di Jepang maupun di negaranegara berkembang. JBIC itu sendiri terdiri atas dua bagian besar, yaitu Operasi Pembiayaan Internasional yang bertugas menyediakan kredit ekspor dan Operasi Pembangunan Perekonomian di Luar Negeri yang kegiatannya meliputi pemberian soft loan G to G. Lembaga yang ditugaskan menyalurkan hibah dan technical assistance dari pemerintah Jepang adalah JICA. Pada Oktober 2008, JBIC memisahkan fungsi penyediaan soft loan G to G dan meleburnya ke dalam organisasi JICA. Peleburan ini bertujuan untuk membuat bantuan dari pemerintah Jepang ke dunia internasional melalui satu pintu sehingga lebih memudahkan dalam pengendalian administrasi dan pengawasannya. Sementara fungsi penyedia kredit ekspor tetap berada di dalam JBIC. Dalam urusan pinjaman, pemerintah Indonesia selanjutnya berhubungan dengan JICA yang baru. Berkaitan dengan proses rehabilitasi dan rekonstruksi akibat musibah tsunami di NAD dan Nias, pemerintah Jepang memberikan pinjaman yang dikelola oleh BRR berupa Aceh Rehabilitation Project (loan IP545) yang loan agreementnya ditandatangani pada 29 Maret 2007. Total nilai pinjaman 11,593 juta dan tingkat bunganya sebesar 0,75 persen. Proyek ini adalah perbaikan saluran drainase dan normalisasi sungai dengan tujuan untuk pengendalian banjir di Banda Aceh dan Meulaboh. Diharapkan proyek ini akan selesai pada pertengahan 2010 yang pengendaliannya dilakukan kemudian oleh Departemen PU. Saat ini JICA Indonesia dipimpin oleh Takashi Sakamoto sebagai chief representative. Sedangkan representative untuk loan IP545 (Aceh Rehabilitation Project) ini ditunjuk Masahiro Asaeda dan sebagai project officernya adalah Sutrisno, yang bertugas menangani semua urusan seharihari berkaitan dengan proyek ini. Hibah pemerintah Jepang untuk kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh disalurkan melalui JICSperusahaan konsultan pengawas yang ditunjuk oleh pemerintah Jepang untuk melakukan pelelangan dan pengendalian bantuan mereka pascatsunami. Dalam kegiatan ini JICS langsung di kendalikan oleh Kedutaan Besar Jepang di Jakarta. Bidang yang ditangani meliputi rehabilitasi jalan CalangMeulaboh, pengaman banjir dan drainase Banda Aceh, sistem sanitasi, jalan di Ulee Lheue, bangunan escape building, dan pengadaan jembatan bailey sebanyak 34 set. Seluruhnya bantuan ini melebihi dari US$ 75 juta. Di dalam JICS, pengendalian implementasi dan pelelangan ini di Banda Aceh dipimpin oleh Shoji Hasegawa.

52

Badan Pembangunan Prancis (Agence Franaise de Dveloppement, AFD)


AFD terbilang baru berpartisipasi di Indonesia, AFD hadir di Indonesia pada September 2005. Bantuan pembiayaan pertama yang dikeluarkan oleh AFD di Indonesia adalah berupa pinjaman untuk proyek Rehabilitation Drainage System of Banda Aceh. BRR menjadi executing agency untuk proyek ini. Pinjaman dengan nomor CID 3004 01 B ini ditandatangani pada 24 September 2008 dengan total pembiayaan 36,8 juta euro. Pinjaman ini akan berakhir pada 31 Desember 2011 dengan tingkat bunga per tahun sebesar satu persen. AFD di Indonesia dipimpin oleh Joel Daligault sebagai country director dan sebagai wakil country director adalah Patrick Abbes. Contact person dalam menangani proyek ini sehariharinya ditunjuk seorang project officer, yaitu Morgane Leterrier. Tim ini dibantu oleh Herve Breton selaku Senior Sector Specialist Infrastructure and Urban Development yang berkedudukan di Bangkok, Thailand. Pada masa persiapan, Pin Yathai sebagai Resident Representative AFD di Jakarta sangat banyak membantu proses percepatannya. Proyek Rehabilitation Drainage System of Banda Aceh ini pada intinya memperbaiki sistem drainase utama sepanjang 150 km di zona 4, 5, 6, 7, dan zona Darussalam, Banda Aceh, untuk mencegah terjadinya banjir tahunan. Diharapkan dengan berfungsinya secara baik sistem drainase ini akan dapat meningkatkan nilai kesehatan dan ekonomi dari Kota Banda Aceh. Proyek ini terdiri atas jasa konsultasi pengawasan serta jasa konstruksi pembangunan drainase, termasuk di dalamnya pembangunan gedung dan pengadaan peralatan yang diperlukan.

Kemitraan AustraliaIndonesia untuk Rekonstruksi dan Pembangunan (AustraliaIndonesia Partnership for Reconstruction and Development, AIPRD)
Program bantuan yang diberikan utamanya adalah pendidikan, yang sering dikenal sebagai program beasiswa Colombo Plan, ekonomi, infrastruktur, kemanusiaan, dan sosial. Khusus untuk Aceh, pemerintah Australia mengadakan program yang spesifik yang disebut AIPRD, senilai 1 miliar dolar Australia untuk masa lima tahun. Program ini bertujuan mendukung Indonesia dalam upayaupaya rekonstruksi dan pembangunan kembali, baik di dalam maupun di luar wilayah yang terkena dampak tsunami. Salah satu program infrastrukturnya adalah rekonstruksi Pelabuhan Penyeberangan Ulee Lheue dengan nilai A$ 10,6 juta yang telah diselesaikan pada 2008. Konstruksi yang dibiayai meliputi pengerukan kolam pelabuhan, pembangunan dermaga, pemecah gelombang, terminal penumpang, dan jalan akses. Kerja sama rekonstruksi ini selain masuk dalam pengawasan BRR melalui Project Concept Note, pelaksanaan koordinasinya secara penuh dilakukan bersama Pemerintah Provinsi Aceh.

Bagian 4. Mengelola Dana Bantuan

53

Badan Amerika Serikat untuk Pembangunan Internasional (United States Agency for International Development, USAID)
INFRASTRUKTUR: Memacu Sektor Pemicu

Program rekonstruksi ini dibentuk pada saat William (Bill) M Frej, yang kemudian pindah ke USAID di Kazakhstan, masih menjabat Direktur USAID di Indonesia. Walter North kemudian melanjutkan tugas Bill memimpin USAID Indonesia, terutama di Aceh untuk melancarkan penyelesaian jalan Banda AcehCalang yang terhambat dengan persoalan pembebasan tanah. Pihak yang sangat erat berhubungan dengan BRR dalam kegiatan rekonstruksi jalan ini adalah Roy Ventura, Muhammad Khan, dan Edi Setianto. Yang menarik dalam kerja sama program ini adalah contoh pelaksanaan definisi koordinasi yang tepat. Koordinasi dilakukan pada tahap perencanaan, desain, dan pembebasan lahan, kemudian masingmasing menjalankan tugasnya sendirisendiri pada tahap pelelangan dan pelaksanaan.

54

Badan Kerjasama Internasional Korea (Korea International Cooperation Agency, KOICA)


Kisah sukses pembangunan ekonomi di Korea bukan merupakan hal yang baru bagi dunia, banyak negara berkembang berharap dapat mengikuti jejak keberhasilan Korea. Sebagai negara dengan pembangunan ekonomi terbesar ke11 di dunia, Korea secara bertahap menaikkan jumlah bantuan pembangunan untuk memenuhi harapan masyarakat internasional dan juga untuk mendukung tujuan pembangunan millennium. KOICA merupakan lembaga pemerintah yang dibentuk pada 1991 di bawah wewenang Menteri Perdagangan dan Hubungan Luar Negeri. Sejak itu KOICA berperan sebagai lembaga pelaksana dari bantuan hibah bilateral dan program hubungan teknis untuk negara berkembang yang diberikan pemerintah Korea. Dengan 28 kantor perwakilan di 27 negara mitra, KOICA mulai memperkirakan kebutuhan yang diperlukan untuk pembangunan di negara tersebut dan aktif bekerja sama dengan lembaga pembangunan lain. KOICA memulai kegiatan di Indonesia pada Oktober 1991 dipimpin oleh resident representative of KOICA yang saat ini jabatan tersebut dipegang oleh Lee Jongseon. Program yang diberikan antara lain bantuan teknik untuk proyek seperti pemberian pelatihan dengan mendatangkan tenaga ahli dari Korea maupun dengan mengirimkan personel untuk mendapatkan pelatihan di Korea. Pada saat resident representative dijabat oleh Han Choongsik, KOICA memberikan bantuan untuk emergency relief, termasuk peralatannya. Bantuan yang diberikan untuk pembangunan kembali Aceh di bidang infrastruktur antara lain berupa pembangunan rumah sakit di Abdya, pembangunan sekolah di Nagan Raya dan Abdya, pengadaan 3 crane untuk pelabuhan dan bantuan alat berat.

Total nilai bantuan KOICA, untuk masa tanggap darurat US$ 1,5 juta, untuk proses rehabilitasi dan rekonstruksi mencapai US$ 15,7 juta.

UNDP adalah salah satu organisasi internasional di bawah bendera Perserikatan BangsaBangsa (PBB) yang berfokus pada programprogram pembangunan di negara berkembang pada khususnya dan pembangunan di seluruh dunia pada umumnya. Saat ini UNDP telah tersebar di 166 negara, bekerja sama dengan pemerintah di negaranegara tersebut. Lembaga ini bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat. UNDP Indonesia bergerak dalam bidang pembangunan yang bertujuan mengurangi tingkat kemiskinan, meningkatkan taraf hidup masyarakat, memperkuat kapasitas pemerintah baik lokal maupun nasional, mencegah dan melawan penyebaran HIVAIDS serta memperjuangkan kesamaan hakhak antara pria dan wanita. Pada intinya, badan PBB ini mendukung penuh programprogram pembangunan yang sudah ditetapkan oleh pemerintah Indonesia, baik program prioritas jangka menengah maupun jangka panjang. Sebagai bagian dari keterlibatan UNDP dalam masa rehabilitasi dan rekonstruksi di Aceh dan Nias pascatsunami dan gempa bumi, UNDP Indonesia banyak melaksanakan program yang mendukung proses pemulihan tersebut. Pada awal 2005, UNDP Indonesia membentuk field office di Banda Aceh (UNDP Banda Aceh). Simon Field adalah program coordinator untuk programprogram yang dilaksanakan di Nanggroe Aceh Darussalam dan Nias. Programprogram tersebut antara lain technical assistance support to BRR (TA support to BRR), Tsunami Recovery Waste Management Programme (TRWMP), dan Emergency Response and Transitional Recovery (ERTR).

Bagian 4. Mengelola Dana Bantuan

Program Pembangunan PBB (United Nations Development Programme, UNDP)

55

Jalan Berliku Meneguhkan Integritas


Serangan Datang dari Segala Arah

mengunci pintu dari dalam. Ia berteriak dan menebar ancaman. Pokoknya, proyek ini punya saya, katanya sambil mengacungkan senjata api laras pendeknya. Seketika pula ia merebut dokumendokumen dari tangan orangorang di ruangan itu. Semua terkunci mulutnya. Tak ada yang berani melawan. Sekejap, dokumen tender itu berpindah tangan. Kejadian menegangkan itu tidak terjadi dalam sebuah film tapi nyata terjadi di Banda Aceh. Ketika itu panitia lelang BRR baru saja menggelar rapat penjelasan proyek untuk tender pengadaan alat berat pembangunan sebuah pelabuhan. Nilainya mencapai miliaran rupiah. Lelaki bersenjata api tadi berpikir dengan memegang dokumendokumen tender peserta lain, mereka tidak akan memiliki bahan untuk menyiapkan penawaran. Panitia tentu saja terkejut. Namun, langkah taktis harus segera diambil. Mereka mengevaluasi ulang dokumen lelang untuk mengubah dan menyesuaikan teknis sebagai dokumen adendum terhadap dokumen lelang yang telah dirampas lelaki itu. Sesuai dengan aturan, panitia dapat mengirim kembali dokumen kepada seluruh peserta, termasuk kepada perusahaan yang dirampas itu. Belakangan pelelangan ini akhirnya dibatalkan. Sebagai gantinya, BRR menerima tawaran bantuan pemerintah Korea untuk melakukan pengadaan alat bongkar muat pelabuhan tadi.
Suasana pendaftaran peserta lelang pekerjaan berbagai proyek pembangunan di kantor BRR NADNias, Banda Aceh, 8 Mei 2006. Foto: BRR/Arif Ariadi

DENGAN tergopohgopoh, pria itu masuk ke dalam sebuah ruangan lalu

Bagian 5. Jalan Berliku Meneguhkan Integritas

57

INFRASTRUKTUR: Memacu Sektor Pemicu

Insiden seperti itu memang kerap terjadi pada saat BRR memasuki tahap pengadaan barang dan jasa atau yang dikenal masyarakat sebagai proses tender atau lelang proyek. Pada awal 2005, setelah cetak biru selesai dibedah yang berlanjut pada penentuan program pembangunan dan skema anggaran, tahap selanjutnya adalah proses lelang ini. Tahap ini mahapenting. Melalui proses inilah, hasil akhir dan kredibilitas pembangunan infrastruktur itu dipertanggungjawabkan. Terlebih merekalah para pelaksana pekerjaan pembangunan infrastruktur BRR di lapangan. Di sektor pembangunan infrastruktur, lelang yang dilakukan antara lain jasa pelaksana kontraktor dan konsultan, pengadaan alat berat untuk program pemeliharaan infrastruktur yang dilakukan saat tugas BRR berakhir. Sesuai dengan program, proyek yang dilelang jumlahnya mencapai puluhan yang melibatkan anggaran yang berjumlah triliunan rupiah. Pembiayaan pembangunan ini berasal dari bantuan dari seluruh dunia. Sayangnya, tidak semua orang paham akan tugas dan tanggung jawab BRR dalam merehabilitasi dan merekonstruksi NAD dan Nias. Selain pembangunan harus dilakukan dengan baik, BRR juga harus mempertanggungjawabkan akuntabilitas dalam mengelola dana bencana. Mereka yang tidak mengerti itu menganggap seolah semua proses tender tersebut bisa diatur demi mendapat proyek miliaran rupiah itu. Pada tahun pertama, misalnya, ketika BRR mulai melakukan proses lelang, saat itu mulai bermunculan orangorang yang ingin menjadi pengusaha besar tapi tidak memiliki pengalaman cukup dalam bidang konstruksi. Mereka datang meminta pekerjaan dengan berbagai macam cara. Ada yang mengaku punya perusahaan atau meminjam perusahaan konstruksi lain, termasuk pengusaha dari luar Aceh yang datang dengan menggandeng masyarakat Aceh. Mereka berusaha dengan menyampaikan pesan bagaimana caranya agar pekerjaan ini dapat saya menangkan. Tak sedikit dari mereka yang melakukan berbagai cara, termasuk intimidasi atau sekadar provokasi pada panitia lelang. Pada pelelangan jalan nasional di Pantai Barat Aceh misalnya. Sebuah perusahaan kontraktor nasional bekerja sama dengan perusahaan lokal mendaftar sebagai peserta. Bergabungnya kontraktor nasional dengan lokal sebenarnya merupakan hal yang baik, sayangnya mereka mengajukan harga penawaran yang tertinggi. Lucunya, dengan harga seperti itu mereka ngotot ingin menjadi pemenang. Saat proses lelang kengototannya tidak lantas berhenti, malah kian menjadi. Seseorang yang menjadi wakil kontraktor itu datang dengan tensi nan tinggi. Itu terjadi karena dia sudah tidak memiliki peluang untuk menang. Garagara itu pula suasana pun menjadi tegang. Menghadapi situasi seperti ini, Bastian Sihombing tertantang untuk menundukkan dan mengatasi ketegangan tersebut. Hanya dengan sentuhan di bahu, emosi berkepanjangan lelaki tadi reda, dan dia bisa diajak berkomunikasi. Ternyata dia berhati lembut. Rona wajahnya berubah dengan terbukanya peluang berkomunikasi, ujar Bastian.

58

Caracara personal seperti itu memang terpaksa harus ditempuh untuk menghadapi berbagai ancaman yang lebih berlatar belakang sosial. Walaupun akhirnya kalah dalam proyek jalan, belakangan lelaki tadi tetap bisa bekerja sama dengan BRR. Lain waktu, dalam proyek pembangunan jembatan di Lhokseumawe lelaki itu ikut mengajukan penawaran. Kali ini klop dan berjodoh. Namun, tentunya insiden senjata api dan tepukan di bahu itu tidak boleh terus terjadi. Mengantisipasi halhal seperti itu, BRR membuat strategi dan aturan yang ketat dalam pelelangan, terutama dalam persyaratan calon peserta lelang. Hal ini juga sesuai dengan ketentuan lelang yang diajukan para donor internasional seperti Bank Dunia, ADB, JBIC, AFD, JICS, dan USAID. Pertama, pelelangan harus diumumkan secara terbuka, secara lokal, nasional, dan internasional melalui harian berbahasa Inggris dan UNDB. Hal ini untuk menjaga transparansi dan paket yang dilelang benarbenar diketahui khalayak ramai dan kontraktor secara luas. Persyaratan teknis bagi para peserta lelang ditekankan pada pengalaman perusahaan. Pertama, mereka harus memiliki average annual turn over (AATO) atau pengalaman selama lima tahun dalam mengerjakan proyek yang setara dengan proyek yang ditenderkan. Kedua, mereka juga harus pernah mengerjakan dua proyek yang nilai dan kualifikasinya sama dengan nilai proyek yang dilelang atau kuantitas masingmasing komponen utama dalam bill of quantity minimal sama.

Lintasan jalan nasional di kawasan Nagan Raya, 7 Maret 2008. Foto: BRR/Arif Ariadi

Bagian 5. Jalan Berliku Meneguhkan Integritas

59

INFRASTRUKTUR: Memacu Sektor Pemicu

60

Proses pembukaan dokumen lelang pekerjaan proyek Infrastruktur di kantor BRR NADNias dilakukan secara transparan, 14 Juni 2006. Foto: BRR/Arif Ariadi

Untuk beberapa donor, acap kali besaran nilai ini bisa berbeda sampai satu setengah hingga dua kali, tergantung dari kompleksnya pekerjaan yang dilelang. Kesesuaian kualifikasi ini dihitung dengan produktivitas, yakni bahwa spesifikasi pekerjaan yang pernah dikerjakan harus minimal sama dengan pekerjaan yang dilelang, seperti pengalaman untuk pekerjaan, galian, pengaspalan, beton atau pekerjaan pelapisan batuan fondasi. Syarat lainnya bersifat administratif. Penerapan pada lelang internasional terbilang sangat kaku. Penolakan terhadap keabsahan jaminan misalnya, dapat berakibat pada diskualifikasi sehingga pemenang kedua dapat naik ke urutan yang lebih tinggi. Donor memang mengutamakan fairness, kesamaan perlakuan (equal treatment), disesuaikan pengalaman, tanpa mempertimbangkan pagu atau nomor urut. Klausul dalam jaminan memang harus sedemikian kaku sehingga panitia sertamerta dapat melakukan pencairan jaminan dalam kondisi apa pun. Rumit memang. Tapi itulah persyaratan mutlak untuk mempertahankan akuntabilitas BRR dalam melaksanakan pembangunan. Apalagi BRR memiliki lembaga Satuan Antikorupsi yang selalu siap untuk melakukan pemeriksaan terhadap semua proyek pembangunan infrastruktur. Selain itu, BRR juga menetapkan ketentuan dan syarat bagi para anggota Satker dan pejabat pembuat komitmen (PPK) dan para panitia lelangnya. Mereka adalah orangorang yang benarbenar harus teruji independensi dan kredibilitasnya.

Sistem ini tidak sempat dilaksanakan pada tahun pertama Kedeputian Bidang Infrastruktur bertugas di NAD dan Nias. Pada 2005 itu, tugas kepanitiaan diserahkan pada pemerintah daerah (provinsi dan kab/kota), Departemen Pekerjaan Umum, dan Departemen Perhubungan. Saat itu, sesuai dengan pedoman lelang yang dipakai (Keppres 80 Tahun 2003) panitia lelang (Satker dan PPK) harus melakukan konsultasi terhadap setiap hasil pelelangan dengan BRR sebagai pemegang dana. Pada tahun itu para peserta lelang umumnya masih murni pengusaha. Belum ada indikasi peserta yang membawa atau meminjam perusahaan milik orang lain. Namun setiap proses konsultasi dilaksanakan, BRR sering kali menemukan adanya indikasi kolusi. Tandatandanya bisa dilihat dari kesamaan atau kemiripan penulisan, teknik, gaya, dan penampilan dokumen antara sesama peserta. Melihat keganjilan ini, BRR mengirimkan seluruh dokumen tersebut ke Satuan Antikorupsi (SAK) untuk meninjau ulang. Setelah terbukti, banyak paket pelelangan di proyek konstruksi jalan yang dibatalkan dan dilelang ulang. Hal ini sempat terjadi beberapa kali dan akibatnya menjadi dilema sendiri bagi BRR karena menghambat proses konstruksi proyek. Mempertahankan akuntabilitas dalam pelelangan memang penting namun konsekuensinya banyak, target pekerjaan konstruksi terabaikan, ujar Bastian. Akibatnya pada 2005 itu, dana anggaran (APBN) 2005 tidak terserap. Sebabnya, ya itu tadi, karena lambatnya proses pelelangan. Untungnya menjelang akhir tahun anggaran, BRR mendapat kebijakan untuk memperpanjang masa penggunaan anggaran hingga April 2006. Mulai 2006, barulah BRR menangani langsung pelaksanaan pelelangan, di antaranya dengan membentuk sendiri Satker dan panitia pengadaan. Sebelumnya, sempat ada usulan agar proses pelelangan dilakukan secara terpadu melalui sebuah pusat layanan pelelangan. Namun karena keterbatasan personel BRR dan juga keterbatasan waktu, ide itu tidak sempat terealisasi. Proses pelelangan akhirnya sepenuhnya diserahkan kepada panitia lelang (Satker/PPK) dan dilakukan serentak di Banda Aceh. Saat pengumuman pemenang pun demikian. Hal ini dilakukan untuk menghemat waktu dan biaya pelelangan. Proses pelelangan selanjutnya memang berjalan relatif lebih mulus, terutama untuk paket proyek besar. Ketatnya persyaratan pengalaman peserta lelang dapat terpenuhi oleh para peserta lelang yang pada umumnya terdiri atas kontraktor nasional dengan pengalaman tinggi.

Bagian 5. Jalan Berliku Meneguhkan Integritas

Strategi yang dipakai BRR pada saat itu adalah dengan memilih panitia dari beberapa sumber. Setiap kabupaten diminta untuk mengirimkan seorang wakil untuk menjadi anggota Satker dan bertugas sebagai sekretaris panitia. BRR sendiri menempatkan satu orang panitia tambahan berasal dari Dinas Prasarana Wilayah (Jalan dan Jembatan) dan Dinas Perhubungan. Dengan sistem ini, panitia sulit untuk saling mengenal, melakukan kolaborasi, dan terjaga integritasnya.

61

INFRASTRUKTUR: Memacu Sektor Pemicu

Toh begitu bukan berarti tak ada ancaman. Para peserta tender yang menghalalkan segala cara kerap menebar ancaman persuasif maupun ancaman kekerasan fisik. BRR memiliki taktik sendiri dalam mengatasi persoalan ini, yaitu dengan mengungsikan para panitia dari jangkauan publik. Dengan begitu, pekerjaan panitia tidak terganggu, terutama pada masa evaluasi dokumen. Untuk proses pelelangan proyek di Nias misalnya, pendaftaran lelangnya dilakukan di Banda Aceh atau Medan. Cara itu tak hanya berhenti di situ. Untuk menghindarkan terjadi komunikasi antara panitia dan peserta, nomor telepon panitia diganti untuk sementara. Seperti berlebihan, tampaknya. Tapi telepon menjadi cara para peserta untuk mengintimidasi panitia lelang. Sering terjadi, panitia menjadi ketakutan atau turun mentalnya saat dia mendapatkan ancaman dari si penelepon. Misalnya, telepon yang memberi tahu rute perjalanan anak para panitia pergi ke sekolah, atau rute istrinya pergi ke kantor. Nah, cara itu terbilang efektif. Para peserta lelang yang menghalalkan segala cara itu kebingungan mencari si panitia. Namun, pada kenyataan, mereka pun tetap gigih. Tak tembus pada panitia lelang, mereka melakukan pendekatan pada pihak manajemen BRR, mulai dari tingkat manajer, direktur, bahkan hingga deputi. Bila sudah begini, tentu saja, taktik lain harus dilakukan. Mereka diminta bertanya pada orang yang lebih tinggi jabatannya. Para manajer mengoper ke direktur. Nah, sampai di puncak, mereka justru dilempar ke panitia lelang. Sedangkan para panitia lelang sendiri sudah diungsikan. Cara ini tentu saja meningkatkan ketegangan di antara mereka, bahkan sempat menimbulkan amarah. Tapi inilah teknik buying time sehingga panitia memiliki cukup waktu untuk menghasilkan evaluasi. Sehingga pada saatnya diumumkan, setelah calon pemenangnya ditentukan, calon pemenang lelang langsung dikontak. Kasus seperti ini terjadi proyek konstruksi museum tsunami Aceh di Banda Aceh, yang akhirnya diselesaikan dengan cara bermain panjang yang cantik. Sejak proses pelelangan tekanan yang diterima para panitia sudah sangat tinggi sehingga mereka harus diungsikan ke Sabang untuk melakukan evaluasi. Tekanan yang awalnya diarahkan kepada panitia dan BRR, kemudian berpindah ke kontraktor yang dinyatakan sebagai pemenang, tepat pada saat konstruksi mulai dikerjakan. Mereka yang kalah melakukan hambatan terhadap masuknya peralatan dan bahan. Hal ini dilakukan di luar wilayah kerja kontraktor dan merupakan cara ampuh untuk mencari perhatian dari berbagai pihak agar keinginan mereka diperhatikan. Intinya, karena tidak bisa menjadi pemenang lelang, mereka ingin tetap berpartisipasi dalam kegiatan konstruksi. Negosiasi akhirnya dilakukan secara persuasif dengan tujuan agar proses konstruksi dapat berjalan karena waktu yang sangat pendek, hanya tujuh bulan, ungkap Bastian. Di sini, pemerintah daerah, baik gubernur, wakil gubernur, dan wali kota pun turut berperan dalam meyakinkan bahwa penghambatan merupakan bukan cara yang baik

62

dan lebih merugikan. Negosiasi kemudian menjadi sangat cair, yang awalnya menuntut kompensasi atas kekalahan sebesar 10 persen dari nilai kontrak, turun secara perlahan dan bertahap sampai akhirnya pada angka yang sangat kecil. Dengan kata lain, cukup untuk membeli susu kaleng sebagai tanda terima kasih untuk tidak mengganggu lagi. Kombinasi adu mental, hit and run discussion, penjelasan persuasif yang panjang membuat mental menjadi lelah dan akhirnya menyerah pada kondisi yang ada. Inilah salah satu teknik buying time yang bisa menjadi pelajaran panitia lain. Komunikasi menjadi kunci penting untuk mendinginkan suasana yang mudah memanas. Walaupun negosiasi akhirnya tidak berujung, pada saat bersamaan Museum Tsunami Aceh akhirnya selesai dibangun. Mereka yang kalah akhirnya turut mengagumi. Berbagai kendala dalam proses pelelangan juga terjadi di Satker tingkat kabupaten. Meskipun telah ditetapkan persyaratan yang baku, sebagian besar pelelangan di tingkat kabupaten banyak dibatalkan oleh Satuan Antikorupsi BRR. Sehingga proses pelelangan tersebut harus diulang kembali. Beberapa penyebabnya adalah kesalahan panitia dalam mengevaluasi penawaran serta keterbatasan panitia terhadap pemahaman dan penafsiran Keppres 80 Tahun 2003.

Konstruksi bangunan Museum Tsunami Aceh, Banda Aceh, saat masih dalam tahap pengerjaan, 13 Oktober 2008. Foto: BRR/Arif Ariadi

Bagian 5. Jalan Berliku Meneguhkan Integritas

63

INFRASTRUKTUR: Memacu Sektor Pemicu

Beberapa kasus pembatalan bahkan sempat menimbulkan trauma. Ini terjadi saat BRR harus melelang alatalat berat untuk pemeliharaan jalan. Program pengadaan alatalat berat ini bertujuan untuk memperkuat kapasitas pemerintah daerah dalam pemeliharaan jalan, terutama setelah tugas BRR selesai di Aceh dan Nias. Alat berat itu di antaranya grader, vibrating roller, wheel loader, air compressor, asphalt mixing plant (AMP) mini, asphalt sprayer, trailer, truck crane, dan dump truck kecil. Peralatan ini lalu didistribusikan kepada Dinas Prasarana Wilayah dan Dinas Teknis Jalan di kabupatenkota, baik di Aceh maupun di Nias. Melalui proses pelelangan di Banda Aceh, paket pengadaan alat berat dimenangkan peserta lelang nomor urut dua, yaitu sebuah perusahaan yang menawarkan peralatan Jepang, seperti Mitsubishi, Sakai, dan TCM. Nomor urut berikutnya berdasarkan nilai proyek yang lebih rendah adalah perusahaan nasional yang bekerja sama dengan perusahaan lokal dari Aceh yang menawarkan peralatan dari Korea. Perusahaan yang dinyatakan kalah, karena mitra daerahnya tidak memiliki pengalaman dalam pengadaan alat berat ini, mengajukan keberatan. Alasannya pengalaman bukanlah hal yang penting karena pengadaan alat berat bisa dilakukan hanya dengan melakukan order ke pabrik. Selanjutnya tugas pabrik untuk menyelesaikan pemenuhan kontrak tersebut. Menurut mereka, semuanya cukup dengan uang muka, telepon pabrik, kontrak, mobilisasi alat berat, dan kemudian BRR bayar. Mereka juga punya trik lain, yakni dengan menggunakan isu keberpihakan lokal sebagai perusahaan daerah. Pertimbangan lainnya yang dipakai berkaitan dengan merek dari Korea Selatan, yang juga telah menyumbangkan alat berat melalui Palang Merah Indonesia. Alhasil, menurut mereka, sepantasnyalah merekalah yang menang. BRR bergeming. Bagaimanapun menurut aturan, perusahaan tetap harus memiliki pengalaman sebagai dealer atau agen. Konsistensi panitia lelang BRR terhadap aturan sangat kukuh sehingga akhirnya berbuah sanggah yang berjenjang. Hingga akhirnya sampai ke tingkat Kepala Badan Pelaksana BRR dan masih dapat dijawab dengan alasan lengkap. Sampai kemudian ditemukan dokumen keagenan agen tunggal pemegang merek (ATPM) alat berat asal Jepang itu tidak terdaftar di Departemen Perindustrian. Walaupun menurut perwakilan Mitsubishi di Singapura, perusahaan itu masih memiliki kuasa keagenan alat berat tersebut. Ternyata konfirmasi di Departemen Perindustrian dan Perdagangan itu ditemukan sendiri oleh perusahaan yang kalah tadi, dan BRR menganggapnya sebagai persaingan bisnis biasa. Namun ketika temuan tersebut dilaporkan ke Kepolisian Daerah NAD dengan tuduhan pemalsuan, hal ini menjadi sebuah persaingan tidak sehat. Kalaupun benar, seharusnya hal itu menjadi tugas panitia untuk menindaklanjutinya. Semua pihak akhirnya diperiksa polisi, mulai dari Deputi Bidang Infrastruktur, Direktur Perhubungan, Kepala Satker Perencanaan dan Pengawasan, panitia lelang, hingga perusahaan pemenang lelang.

64

Pengumuman lelang pekerjaan proyekproyek infrastruktur di media massa, Banda Aceh. Foto: Oni Imelva

INFRASTRUKTUR: Memacu Sektor Pemicu

Inilah pelelangan pertama di BRR yang berbuah pemeriksaan pihak berwajib. Hasil pemeriksaan polisi sendiri menyatakan tidak ditemukan tindak pemalsuan oleh pemenang lelang. Rupanya, Departemen Perindustrian dan Perdagangan belum sempat meregistrasi dokumen keagenan itu. Dokumen keagenan tadi sudah habis masa daftarnya pada saat dilakukan konfirmasi dan sedang dalam proses perpanjangan. Walaupun dari hasil pemeriksaan polisi tidak ditemukan indikasi pemalsuan yang dilakukan perusahaan tersebut, BRR akhirnya raguragu untuk melanjutkan eksekusi pelelangan tersebut. Bahkan berikutnya, pelelangan alat berat untuk excavator dan loader juga dibatalkan karena trauma terhadap proses pelelangan yang demikian keras dan panjang, terlebih setelah diperiksa polisi. Tapi kemudian auditor investigator BPK memberi masukan. Pelelangan yang bersih memang hal penting, namun yang tak kalah penting adalah juga penyelesaian target. Jika polisi sudah menyatakan tidak ada masalah hukum dan tidak ada indikasi mark up harga, BRR harus yakin untuk melanjutkan program tersebut. BRR akhirnya melanjutkan program dan meminta perusahaan itu menyelesaikan kontrak pengadaan alat berat tersebut. Pengadaan alat berat tetap dilakukan dan didistribusikan pada pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota sehingga mereka memiliki unit pemeliharaan jalan yang semakin kuat. Peliknya kasuskasus pelelangan berdampak pada kinerja dan efisiensi pelaksanaan rekonstruksi itu sendiri. Pengulangan lelang misalnya membutuhkan biaya tambahan. Hal itu terjadi karena BRR harus mengumumkan kembali di media masa, harus ada pengadaan dokumen lagi, dan dalam beberapa kasus harus membayar dobel honor panitia lelang. Pelelangan ulang tersebut juga menyebabkan banyak waktu terbuang. Padahal saat itu banyak orang mengharapkan BRR segera memperbaiki kerusakan yang terjadi akibat tsunami, bukan menghabiskan waktu pada proses pelelangan. Pada akhirnya, BRR hanya unggul dari sisi pelaksanaan pelelangan yang benar tapi kalah dari sisi progres. Pada 2006 misalnya. Selama hampir lebih empat bulan pertama sejak daftar isian proyek anggaran (DIPA) diluncurkan, ternyata tidak banyak kemajuan pembangunan fisik yang dapat diraih. Kondisi ini tentunya bervariasi di setiap direktorat. Proses pelelangan pada Direktorat Sumber Daya Air, misalnya, bisa lebih cepat dilakukan karena menuai sedikit proses sanggah sehingga pencapaian targetnya lebih baik. Beda halnya dengan sektor jalan dan jembatan, walaupun proses sanggah tidak terlalu banyak, kesamaan dokumen lelang acap kali ditemukan. Keadaan ini tentu saja menyulitkan panitia lelang. Di lain pihak, para peserta lelang umumnya sulit untuk diyakinkan bahwa lelang harus dilaksanakan secara obyektif dengan penilaian yang adil. Belum lagi dengan banyaknya protes, sanggahan terhadap proses, dan hasil kerja panitia lelang. Terkadang protes atau sanggahannya itu tidak

66

berdasar pada aturan yang harus ditaati. Akibatnya semua proses ini menjadi melelahkan dan mengurangi produktivitas panitia. Keadaan ini membuat panitia harus bekerja makin hatihati dalam melaksanakan tugasnya. Yang paling berat dihadapi para panitia lelang adalah para makelar atau agen dari peminjam perusahaan. Biasanya mereka lebih ngotot daripada pemilik perusahaan. Mereka mengintimidasi, mengancam akan melakukan kekerasan, langsung atau melalui pesan pendek. Tak jarang ditemukan juga pemalsuan dokumen bank garansi dalam pelelangan maupun dokumen perizinan, yang berakibat masuknya BRR ke wilayah hukum, dan akhirnya melambatkan proses konstruksi. Panitia lelang dengan pemahaman yang standar juga ikut menentukan karena bisa berakibat pada perdebatan serta voting nilai dan menghabiskan waktu. Inilah yang dialami Djamaludin Abubakar yang saat itu menjabat sebagai Direktur Sumber Daya Air, yang merangkap jabatan sebagai ketua dan anggota panitia pengadaan konsultan untuk studi planning, design, and construction supervision (PDCS) pantai barat. Dalam proses lelang yang disupervisi pakar dari Crown Agent (perusahaan Inggris bidang pengadaan), Djamaludin harus berhadapan dengan anggota panitia lelang yang memiliki variasi pemahaman yang tidak seragam dan juga dengan pakar Crown Agent.

Salah satu ruas jalan di New Town, Banda Aceh, sepanjang 4,5 kilometer, 20 Februari 2008. Ruas jalan baru di sekitarnya dilengkapi dengan prasarana pendukung yang lengkap dan ramburambu evakuasi bencana. Foto: BRR/Arif Ariadi

Bagian 5. Jalan Berliku Meneguhkan Integritas

67

INFRASTRUKTUR: Memacu Sektor Pemicu

Sedari awal proses penilaian usulan teknis dari konsultan peserta lelang sudah berjalan alot dan penuh dengan perdebatan penilaian. Pada pertengahan Desember 2006, dia harus pergi ke Jakarta untuk mengikuti sebuah rapat. Sebelum berangkat, variasi penilaian panitia lelang dari para peserta sudah terkumpul dan dikonsolidasikan padanya sebagai ketua panitia. Namun saat kembali ke Banda Aceh tiga hari kemudian, penilaian para anggota tersebut sudah berubah yang otomatis mengubah urutan peserta lelang. Tidak mungkin dalam waktu kurang dari tiga hari para anggota panitia mampu melakukan penilaian kembali terhadap proposalproposal yang tebal, ujarnya mengisahkan. Melihat kondisi itu, Djamaludin mengirim surat pengunduran diri sebagai ketua dan anggota panitia lelang pada Kepala Bapel BRR. Kuntoro Mangkusubroto tentu saja heran. Saat itu ada wacana untuk mencari pengganti ketua panitia. Tapi belakangan setelah diketahui alasan kenapa Djamaludin meminta mundur, Kuntoro meminta agar Djamaludin bersama Deputi Bidang Infrastruktur membicarakan hal ini dengan beberapa pihak terkait di BRR. Kepala BRR juga meminta agar proses penilaian lelang dilanjutkan dengan Djamaludin tetap menjabat sebagai ketua panitia. Selain itu, agar pemahaman para panitia lelang pun diluruskan. Bagaimanapun hasil evaluasi harus akurat dan dapat dipertanggungjawabkan secara teknis dan dengan framework penilaian yang sama. Fungsi konsultan Crown Agent di sini adalah memastikan konsistensi panitia untuk menilai dengan standar yang sama. Bercermin dan belajar dari pengalaman pelaksanaan tender tahuntahun awal, pelaksanaan lelang pada 2007 dan 2008 dapat berjalan. Hal ini karena pelaksanaan tender program/proyek infrastruktur yang memakai dana pendamping dari Bank Dunia atau MDF (program/proyek IREP/IRFF) menggunakan pedoman sistem lelang national competitive bidding (NCB) dan international competitive bidding (ICB). Keduanya dilakukan untuk pengadaan pekerjaan konsultansi dan konstruksi. Dalam proses perekrutan konsultan, Bank Dunia menyarankan agar menggunakan agen pengadaan untuk melakukan pelelangan. Hal ini ditujukan agar konsultan yang dipilih bersih dari persoalan KKN, berlangsung fair, dan menggunakan kerangka berpikir yang sama. Pada dasarnya dengan menggunakan sistem ini, BRR tinggal menerima saja hasil dari proses pelelangan. Hanya saja karena dana IREP ditempatkan dalam skema APBN , ada aturan perundangan tentang APBN yang harus ditaati. Aturan itu mengharuskan panitia lelang diangkat oleh Satker dan memiliki latar belakang perencanaan, keuangan, administrasi, dan hukum dari proyek itu sendiri. Usulan penggunaan jasa agen pengadaan tadi sebenarnya didasari keraguan terhadap kemampuan BRR dalam melaksanakan prosedur ICB untuk konsultan. Padahal sebenarnya hal ini bukan masalah. Apalagi beberapa staf BRR yang berasal dari Departemen PU juga

68

sudah terbiasa dengan sistem pelelangan ICB yang berdasar murni pada kualitas atau gabungan penilaian antara kualitas dan harga. Djamaludin Abubakar misalnya adalah ahli dalam lembaga lelang Bappenas. Demikian halnya dengan staf lain yang sudah biasa menjadi panitia ICB untuk pengadaan konsultan di Departemen PU. Dengan kondisi seperti itu, sempat terjadi tarikmenarik dalam menentukan lembaga pelelangan tadi. Bagaimanapun harus ada kepercayaan terhadap BRR dalam melakukan sendiri kegiatannya, kecuali alur pendanaan diubah menjadi offbudget dan tanggung jawab dialihkan langsung ke Bank Dunia. Akhirnya lahir kompromi, pelelangan tetap dilakukan oleh BRR tapi disupervisi oleh ahli internasional. Supervisi dilakukan mulai dari proses hingga pembuatan laporannya. Tenaga ahli yang ditugaskan untuk melakukan supervisi pelelangan itu berasal dari bantuan pemerintah Inggris melalui lembaga Department for International Development (DFID). DFID lalu menugaskan Crown Agent untuk membantu panitia pelelangan konsultan yang dibiayai IREP tersebut. Fungsinya antara lain sebagai pembanding hasil evaluasi yang dilakukan oleh panitia lelang BRR dan menjaga konsistensi penilaian. Fungsi lainnya, mereka bertugas menyiapkan laporan pelelangan untuk menjelaskan proses dan hasil pelelangan pada internasional. Tugas mereka termasuk memberi argumentasi hasil pelelangan. BRR pada

Pengolahan limbah tsunami yang diprakarsai World Bank, 28 Agustus 2005. Foto: BRR/Bodi CH

Bagian 5. Jalan Berliku Meneguhkan Integritas

69

INFRASTRUKTUR: Memacu Sektor Pemicu

akhirnya sangat diuntungkan dengan bantuan ini, terutama dalam menguji hasil evaluasi panitia lelang, yang ternyata toh hasilnya tidak jauh berbeda dengan evaluasi mereka. Sayangnya, masa bantuan DFID ini tidak terlalu lama dan sistem ini hanya berlaku untuk pelelangan konsultan IREP. Untuk pelelangan konstruksi sendiri, pada triwulan pertama 2007, BRR membentuk lagi sebuah lembaga bernama Central Procurement Unit (CPU). Lembaga ini disyaratkan dalam perjanjian hibah IREP dan IRFF, pelelangan dilakukan terpusat. Keanggotaannya terdiri atas satu orang berasal dari konsultan atau insinyur independen, beberapa staf ahli nasional untuk NCB, dan staf ahli internasional untuk ICB. Berbeda dengan pelelangan konsultan yang menempatkan tenaga ahli hanya sebagai supervisor,dalam pelelangan konstruksi mereka menjadi salah satu anggota panitia lelang. CPU lalu bertugas melaksanakan lelang untuk programprogram rehabilitasi dan rekonstruksi yang dikoordinasi PMU IREPIRFF. Beberapa paket program mereka dilelang secara bersamaan. Bahkan pernah program tersebut dilaksanakan sebanyak 25 paket sekaligus, terdiri atas paket jalan kabupaten, fasilitas air bersih, dan sanitasi, dengan perkiraan total nilai Rp 300 miliar pada Desember 2007. Pengumuman lelang dilakukan melalui media lokal, nasional, dan untuk ICB ditempatkan juga dalam media berbahasa Inggris dan United Nation Development Business (UNDB) media pelelangan internasional yang berada di bawah PBB. Terbukti, proses pelelangan ini berjalan dengan sangat efektif. Bank Dunia bahkan mengomentari hasil kerja BRR ini dalam Aide Memoire IREP and IRFF Supermission Mission edisi 416 Mei 2008. Mereka mengaku puas dengan pekerjaan BRR yang tepat waktu dan efisien sesuai dengan sumbersumber yang termaktub dalam IPM. Meskipun demikian, kendala tetap saja ditemukan, terutama karena lambatnya proses administrasi secara keseluruhan. Banyaknya persetujuan, mulai dari persetujuan program, dokumen lelang, izin pelelangan, hingga hasil lelang, menyita banyak waktu proses administrasi. Hal ini karena Bank Dunia memberi syarat tidak hanya proses pelaksanaan lelangnya yang harus berurut, tapi juga kualitas laporan lelangnya harus cukup deskriptif dan akurat. Dengan demikian terbit surat persetujuan atau no objection letter (NOL). Jika pada dokumen terdapat kekurangan atau kesalahan, maka Bank Dunia tidak akan memberikan persetujuan. Proses yang sama juga diterapkan oleh donor lain seperti ADB. Perbedaannya adalah persetujuan terhadap pelelangan seluruhnya diterbitkan oleh perwakilan ADB di Banda Aceh sehingga keputusannya bisa cepat. Meskipun demikian, prosedur yang diberlakukan Bank Dunia nyatanya membuat BRR menjadi lebih paham dalam menghadapi prosedur lelang para donor internasional sehingga dalam menghadapi donor lain seperti JBIC (Jepang) dan AFD (Prancis), menjadi

70

Potensi keterlambatan ini juga disumbangkan oleh kapasitas kelembagaan dan personel dalam menyiapkan dokumen tender, termasuk proses evaluasi lelang yang lama, akibat dari tekanantekanan di atas. Apalagi halhal seperti tuntutan harus menang dari para peserta lelang atau pengungsian panitia ke tempat yang aman masih terjadi. Para panitia juga memiliki keyakinan penuh atas keakuratan hasil evaluasi. Ini tentu saja menyita waktu karena panitia tetap harus melakukan evaluasi berkalikali dan saling cross check. Apalagi mereka juga masih khawatir akan munculnya proses sanggah yang bertingkat dari para peserta yang kalah, terutama bila hasil evaluasi tidak didasari oleh alasan yang kuat. Bagaimanapun, semua proses pelelangan di atas adalah jalan panjang yang harus ditempuh BRR demi mempertahankan sebuah integritas dalam melaksanakan rehabilitasi dan rekonstruksi di tanah bencana. Pelajaran paling berharga yang dapat diambil dari tahun pertama pelelangan hingga terakhir tersebut adalah bahwa BRR telah berhasil melakukan proses pelelangan yang jauh lebih baik. Bahkan bisa dikatakan ini adalah sebagai prestasi mengingat masa kerja BRR yang hanya empat tahun, sementara program infrastruktur yang harus dilaksanakan demikian banyak.

Likaliku Proses Pengadaan


Fleksibilitas Persyaratan Pelaksana Pelelangan
Dalam urutan manajemen proyek, studi amdal masuk dalam proses perencanaan. Dalam proses ini termasuk proses pengadaan lahan yang kemudian hasilnya dilaporkan dalam sebuah dokumen yang bernama Land Acquisition and Resettlement Action Plan (LARAP). Selanjutnya, rencana penanganan atau mitigasi pengaruh konstruksi terhadap lingkungan itulah yang tecermin dalam bill of quantity. Semua proses itulah yang disyaratkan donor untuk melakukan pelelangan. Ideal memang. Namun, bila proses seluruh ini harus dipenuhi boleh jadi akan menghabiskan waktu yang sangat lama dan mengakibatkan banyak pelaksanaan rekonstruksi tidak dapat berjalan dalam masa kerja BRR. Itu sebabnya BRR memberikan fleksibilitas. Proses studi amdal dapat dilaksanakan sambil pelelangan berjalan. Dengan begitu, waktu, terutama mulai dari proses pengumuman sampai menjelang penandatanganan kontrak, akan lebih dipercepat. Walaupun awalnya terlihat berat, akhirnya Bank Dunia setuju. Penyiapan amdal tidak masuk dalam proses perencanaan tapi menjadi syarat bagi persetujuan kontrak.

Bagian 5. Jalan Berliku Meneguhkan Integritas

lebih mudah. Proses Pelelangan mereka pada dasarnya mirip dengan prosedur Bank Dunia. Bedanya mereka ada proses prakualifikasi, persetujuan terhadap daftar peserta lelang yang eligible sangat cepat diterbitkan. Selebihnya mereka tidak terlalu detail atau baru dalam detail proses pelelangan tersebut.

71

INFRASTRUKTUR: Memacu Sektor Pemicu

Dalam proses perencanaan, terdapat dua proses perencanaan yang bisa dilakukan. Pertama perencanaan lebih dulu sampai selesai, lalu baru pelaksanaan. Atau yang kedua, perencanaan merupakan bagian dari proses pelaksanaan. Yang dilakukan dalam rehabilitasi dan rekonstruksi, adalah bahwa tahap perencanaan dilakukan dalam tahap pelaksanaan, yang berakibat kemungkinan ada deviasi. Selama deviasi masih dalam batas yang bisa diterima (1020 persen) maka pengajuan izin (no objection letter, NOL) atas pertambahan biaya atau volume kepada donor dapat diajukan dan akan mendapatkan persetujuan yang tidak terlalu lama. Namun, jika pertambahan dananya melebihi batas tersebut, harus melalui proses yang lebih panjang di kantor pusatnya.

Pengadaan Lahan
Pada program yang dibiayai donor, masalah pengadaan lahan menjadi persyaratan bagi suatu paket dilelangkan. Setelah lahan tersedia, barulah suatu paket memiliki status layak untuk dibiayai. Hanya saja, banyak pihak khawatir. Kendati lahan telah tersedia pun, ternyata kadangkala pihak donor masih enggan membiayainya. Sebabnya, masih banyak persyaratan lainnya yang harus dipenuhi, seperti tanggung jawab pengembalian, lembaga pelaksana pekerjaan, pendekatan pengadaan, dan kelayakan proyek. Proses pengadaan lahan harus diidentifikasi dan perencanaan pengadaannya harus didokumentasi dalam LARAP. LARAP menjadi penilaian terhadap kemungkinan tercapainya target pembebasan lahan. Harga lahan harus merupakan harga yang disepakati bersama antara pemilik dan pemerintah. Asumsinya, dengan harga tersebut masyarakat dapat memperoleh kembali lahan dengan kualitas yang sama di lokasi lain. Dalam hal ini penekanan yang menggunakan otoritas pemerintah dalam penentuan harga sangat diharamkan. Bank Dunia misalnya, tidak setuju jika lahan untuk proyek dibebaskan secara gratis atau tanpa penggantian. Walau masyarakat setuju menghibahkan lahannya untuk digunakan pemerintah dalam pembangunan fasilitas publik, tetap perlu dilakukan penilaian dan harus ada penggantian. Jika dihibahkan secara gratis pun, masyarakat perlu tahu berapa nilai tanah yang mereka berikan kepada negara. Seluruh proses ini harus didokumentasi dan tercatat. Dengan cara ini dikhawatirkan masyarakat akan menuntut ganti rugi dan tidak paham akan keuntungan tidak langsung akibat terbukanya jalan di depan rumah mereka. Contoh di Nias, masyarakat rela tanahnya dijadikan jalan, tetapi Bank Dunia tidak dapat menerima karena tidak didokumentasi dan dituliskan nilainya dalam dokumen serah terima. Dalam kasus ini, akhirnya pemerintah tidak melakukan pelebaran jalan dan tetap menggunakan lahan yang sempit.

72

ADB bahkan memberikan syarat yang lebih ketat. Pembebasan tanah tidak hanya membayar sesuai dengan harga pasar atau harga yang disepakati, tapi juga harus menyantuni ekonomi rakyat yang tanahnya terkena proyek minimum selama tiga bulan jika di atas tanah tadi ada kegiatan ekonomi, seperti warung, tambak ikan atau bengkel. Dalam aturan pemerintah Indonesia, tidak ada kompensasi untuk halhal seperti ini. Yang lain, ADB mengharuskan agar proyek memperhatikan klaim yang ada di atas tanah tersebut. Tidak peduli apakah klaim tadi benar atau tidak. Jika terdapat keberatan dari masyarakat, maka proyek sementara harus dihentikan sampai urusan dengan masyarakat tersebut selesai. Kesulitan ini dengan cerdik juga disiasati sehingga pada bagian proyek yang memiliki persoalan, proyek dihentikan. Semetara bagian lain yang sudah benarbenar bebas konstruksi, tetap dilanjutkan. BRR sadar betul bahwa target penyelesaian paketpaket ADB merupakan target bersama yang jika tersendat oleh pembebasan lahan, maka ADB juga berkepentingan untuk mempercepat. Kondisi ini dimanfaatkan juga dalam mengurangi ketatnya persyaratan ADB tadi. Misalnya kalau masyarakat sudah sepakat dan menerima pembayaran, maka sebenarnya sudah paham juga bahwa harga tersebut dapat digunakan membeli lahan pengganti di tempat lain dengan kualitas yang setara. Contoh berbeda terjadi saat USAID membangun proyek jalan di CalangLamno. Bagi USAID, tanah yang dipakai proyek harus sudah benarbenar bebas. Hal ini ternyata berakibat kelambatan pembebasan tanah dimanfaatkan kontraktor. Kontraktor tak mau bekerja kalau tanah tersebut belum dibebaskan. Selanjutnya kontraktor mengajukan klaim atas idlenya peralatan.

Penunjukan atau Pemilihan Langsung


Sedikit waktu, sejuta proyek. Itulah keadaan yang dihadapi BRR dalam melaksanakan proses rehabilitasi dan rekonstruksi di NAD dan Nias. Selama empat tahun bertugas, praktis mereka hanya memiliki konstruksi selama tiga tahun dua bulan. Semester pertama dilakukan untuk persiapan dan empat bulan terakhir merupakan masa penuntasan. Masa kerja selama itu tentu saja sangat singkat. Akibatnya perlu adanya kewenangan untuk melakukan penunjukan langsung berdasarkan dua aspek, yakni kebijakan dan teknis.

Bagian 5. Jalan Berliku Meneguhkan Integritas

Kedua belah pihak tentunya tidak memperoleh manfaat karena jalan yang dibangun menjadi terbatas atau kurang lebar. Pemerintah tidak mampu menyediakan jalan yang layak bagi masyarakat, sedangkan Bank Dunia melihat proyek yang dibiayainya tidak memberi manfaat secara optimal. Inilah hasil dari kekakuan akan aturan.

73

INFRASTRUKTUR: Memacu Sektor Pemicu

Dalam tataran kebijakan, Kepala Badan punya otoritas dalam menentukan pemilihan proses penunjukan langsung. Sedangkan pada tingkatan teknis, panitia pengadaan bisa memilih kontraktor yang sesuai dengan harga satuan yang wajar, justifikasi kondisi kedaruratan, waktu yang tidak cukup, dan terbatasnya perusahaan yang memiliki produk spesifik. Masa yang singkat tersebut tidak akan cukup terutama untuk kegiatankegiatan yang mengharuskan prosedur normal seperti perencanaan, amdal, pembebasan lahan, pelelangan, konstruksi, dan pemeliharaan. Secara legal, penunjukan langsung diperbolehkan untuk pekerjaan perencanaan di awal tahun pertama dan pembangunan perumahan yang pernah dilakukan juga hingga tahun kedua masa operasi BRR. Contohnya dalam proyek perumahan yang tidak dilanjutkan oleh donor atau LSM, demi hak para penyintas, BRR harus melanjutkan kegiatan tersebut. Proses penunjukan langsung kerapkali berlaku diterapkan dalam kondisi ini. Dalam kegiatan konstruksi besar atau kegiatan di luar perumahan hal ini memang tidak terlalu tegas diizinkan. Namun, pada beberapa pekerjaan yang spesifik, seperti pengadaan peralatan untuk bandara, pengadaan lift, alat teropong hilal, meteorologi, SAR dan peralatan uji kendaraan, tidak banyak perusahaan yang memiliki produk seperti itu. Yang banyak tersedia di pasaran adalah perusahaan yang memiliki lisensi pemasaran produk tersebut. Jika pelelangan dapat dilakukan di antara pabrik atau produsen peralatan tersebut, maka akan sangat beralasan dilakukan proses penunjukan langsung. Berikutnya persoalan teknis seperti penentuan owner estimate tentunya menjadi tugas panitia. Penetapan harga yang wajar diperoleh dengan perbandingan terhadap paketpaket yang pernah dilaksanakan sebelumnya. Harga dari provinsi terdekat juga dapat menjadi referensi selama itu diperoleh dari hasil pelelangan. Hal yang sulit dilaksanakan adalah pemilihan rekanan karena semua pihak merasa mampu untuk melaksanakan kegiatan yang ditawarkan, tanpa peduli apakah memiliki pengalaman atau tidak. Dalam hal seperti ini, proses penunjukan menjadi sangat sulit dilakukan karena otomatis akan menuai protes. Namun jika hal ini berupa repeat order, terutama pada konteks kontraktor yang diperoleh dari hasil pelelangan, proses penunjukkan menjadi lebih sederhana. Dengan menggunakan harga dari proses pelelangan yang transparan, harga yang bersaing dan pelaksanaan yang memenuhi kualitas dan tepat waktu, repeat order dapat diberikan.

74

Dengan persetujuan ADB, pembangunan jalan di Desa Lamteh, Ulee Lheue, Banda Aceh, dengan pembiayaan badan donor tersebut pun dilakukan dengan proses penunjukan langsung. Hal ini mengingat kontraktor sebelumnya dapat menyelesaikan pekerjaan dengan tepat waktu dan dengan kualitas yang sesuai dengan persyaratan.

Bagian 5. Jalan Berliku Meneguhkan Integritas

Hal ini sama dengan penunjukan langsung bagi kontraktor yang melaksanakan pekerjaan sebelumnya, selama seluruh ketentuan lainnya dapat dipenuhi. Pembangunan bandara, pembangunan bangunanbangunan pemerintah, dan pembangunan jalan di Pulau Simeulue dilakukan dengan proses repeat order dengan menggunakan harga pelelangan sebelumnya.

75

Menaklukkan Masalah Menggapai Tujuan


Udara Sultan Iskandar Muda (SIM) berbeda penampilannya. Dari kejauhan, bahkan sudah terlihat sebuah kubah tinggi dibangun menjadi puncak bangunan utama bandara. Seolah ingin menyambut, inilah gerbang baru Serambi Mekkah. Landasan pacunya sudah diperpanjang dari 2,5 km menjadi 3 km sehingga dapat didarati pesawat jumbo sekelas Boeing 747400. Demikian halnya dengan perluasan dan peningkatan kapasitas konstruksi apron dan penambahan taxiway pesawat, memungkinkan sembilan pesawat jenis B 737300 parkir sekaligus secara bersamaan. Bandara yang dibangun dengan dana Rp 349,1 miliar ini memenuhi syarat sebagai bandara internasional yang telah diperoleh pada 2003. Aslinya, sebagai tempat embarkasi dan debarkasi haji, bandara ini hanya dapat didarati pesawat jumbo sejenis Airbus 320. Bandara SIM hanyalah satu dari banyak hasil proses rehabilitasi dan rekonstruksi yang telah dilakukan BRR di Aceh. Tentu bukanlah hal yang mudah. Mengelola proyek pembangunan infrastruktur berbasis pemulihan kawasan bencana, jelas berbeda dengan kondisi normal. Dengan skala kerusakan infrastruktur sedemikian masif, BRR harus menyusun strategi dan kebijakan untuk mengatasi berbagai kendala, terutama dalam pelaksanaan. Apalagi paket proyek yang harus dikerjakan BRR mencapai puluhan dan tersebar di seluruh kawasan bencana.

BANDAR

Tempat parkir pesawat udara (apron) di Bandara Sultan Iskandar Muda, Aceh Besar, 13 Maret 2009. Foto: BRR/Arif Ariadi

Bagian 6. Menaklukkan Masalah Menggapai Tujuan

77

INFRASTRUKTUR: Memacu Sektor Pemicu

Yang pasti, setiap personel yang terlibat dalam kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi harus memiliki sense of urgency yang tinggi. Mereka melakukan learning by doing. Persiapan program hingga implementasi di lapangan harus dilaksanakan dengan cepat dan terukur. Percepatan ini sangat dibutuhkan agar masyarakat korban tsunami dapat segera memanfaatkan sarana dan prasarana yang dibangun. Terlambatnya pelaksanaan proyek berarti kehilangan momentum memulihkan penderitaan masyarakat yang tertimpa bencana.

Jurus Pamungkas Hadapi Tantangan


Menerobos Demi Percepatan
Dalam keadaan normal, apa pun harus berjalan dengan sempurna. Namun tatkala kondisi darurat, melakukan terobosanterobosan bukan sesuatu yang keliru. Inilah yang terpaksa harus dilakukan dalam pengendalian programprogram pembangunan. Lazimnya, dalam kondisi normal, sebuah proyek memiliki urutan tahapan berupa perencanaan (plan), studi kelayakan (feasibility study/FS), dan desain enjinering detail (detail engineering design/ DED). Selanjutnya disusul dengan penyusunan anggaran (budgeting), akuisisi lahan (land acquisition/LA), pengadaan barang/jasa (procurement), konstruksi (construction) operasi dan pemeliharaan (operation & maintenance, OM). Sementara itu, sesuai dengan kondisi di lapangan, pengendalian program rekonstruksi Aceh yang diusulkan adalah planFSDEDbudgetingmonitoring & quality assurance. Proses ini berada di bawah Kedeputian Bidang Perencanaan dan Pemrograman. Sementara Kedeputian Bidang Infrastruktur sendiri hanya diberi tugas untuk melaksanakan konstruksi. Saat BRR mulai masuk dalam fase konstruksi, yang dibutuhkan saat itu adalah adanya suatu kesiapan master plan, FS, DED, budget, dan sistem monitoring evaluation dan quality assurance (QA). Semua ini dapat mendukung secara efektif seluruh pelaksanaan tiap langkah. Prosedur membangun sarana dan prasarana dengan urutan normal seperti di atas mulai dari penyiapan dokumen FS, amdal dan DED yang sempurna pun mulai dilanggar. Apalagi proses persiapan kegiatan tersebut menyita waktu yang lama. BRR menetapkan jika prosedur tersebut harus diikuti, hanya ada waktu maksimal tiga bulan, diharapkan dokumen tersebut sudah selesai pada Oktober 2005. Dengan asumsi, dokumen Studi kelayakan, amdal, dan DED dibuat hanya memenuhi syarat minimal dulu agar dengan cepat dapat dihasilkan pembangunan yang maksimal. Sebagai contoh, penentuan lokasi Pelabuhan Meulaboh dilakukan tanpa dokumen Studi kelayakan dan amdal serta DED yang lengkap. Seluruh proses tersebut dilakukan secara paralel dengan kegiatan konstruksi. Demikian juga terjadi pada proyekproyek lainnya seperti air bersih, drainase, sanitasi air limbah, penanganan persampahan, jalan darurat, dan dermaga darurat.

78

Semua fasilitas ini statusnya dibutuhkan segera untuk menanggulangi kendala dan penyediaan pelayanan publik. Toh, ternyata cara ini tidaklah keliru. Jika prosedur tersebut tetap dilakukan pun, mungkin baik lokasi dan dimensinya tidak jauh berbeda. Inilah salah satu terobosan yang menyelamatkan. Pelanggaran ini kemudian yang menghasilkan prosedur amdal dengan pendekatan cluster yang disetujui dan didukung oleh Menteri Negara Lingkungan Hidup, karena sesuai aturan setiap kegiatan konstruksi harus dilakukan pertimbangan lingkungannya. Kenyataannya, pada saat programprogram mulai dilaksanakan hampir semua komponen prasyarat di atas sendiri belum tersedia, hingga kuartal ketiga 2005. Sedangkan tekanan dan tantangan bagi BRR untuk segera bertindak dan menghasilkan infrastruktur yang dapat mendukung pembangunan sektor lain sangat diperlukan. Kenyataan lain yang terjadi pada 2005 adalah bahwa anggaran rehabilitasi dan rekonstruksi yang berasal dari APBN baru dapat disahkan pada Juli 2005. Sementara itu, sudah jelas, untuk melaksanakan kegiatan rekonstruksi tentunya tidak cukup hanya mengandalkan dana APBN, tapi juga tawaran bantuan dana donor yang bisa dimanfaatkan. Lalu bagaimana caranya melibatkan dana donor?

Sebagai pengganti jembatan yang putus akibat bencana, sejumlah perahu difungsikan untuk mengangkut kendaraan, Lamno, Aceh Jaya, 3 Oktober 2006. Foto: BRR/Arif Ariadi

Bagian 6. Menaklukkan Masalah Menggapai Tujuan

79

INFRASTRUKTUR: Memacu Sektor Pemicu

Yang pertama perlu dilakukan adalah dimulainya komunikasi dengan para donor dan memberitahukan program dan kegiatan BRR serta menanyakan minat para donor untuk membantu aktivitas rehabilitasi dan rekonstruksi. Komunikasi dan pendekatan ini kemudian dilakukan oleh semua pihak termasuk Deputi Bidang Infrastruktur. Inisiatif untuk menemui para donor ini adalah untuk menyampaikan rencana program dan kegiatan yang akan dilakukan BRR dan menanyakan minat mereka untuk membantu. Pada akhirnya, Kedeputian Bidang Infrastruktur adalah yang paling awal mempunyai daftar para donor dan berapa besar dana yang dapat mereka disediakan untuk kegiatan rekonstruksi di Aceh dan Nias. Inisiatif penganggaran pun kemudian ditetapkan tanpa analisis distribusi kebutuhan pendanaan yang sangat detil dan akan memakan waktu lama. Disepakati bahwa 80 persen dana dialokasikan untuk kegiatan fisik dan 20 persen dialokasikan untuk kegiatan yang bersifat nonfisik. Prioritas program ditujukan untuk daerah yang terkena dampak besar tsunami dan gempa, yaitu Aceh bagian barat dan Kepulauan Nias, serta Aceh bagian utaratimur. Selanjutnya prioritas diberikan untuk membangun sarana dan prasarana yang rusak berat dan dapat mendukung pembangunan sektor lain dan tahap lanjutannya. Prioritas program ditetapkan juga pada yang dapat segera mendukung pemulihan mata pencaharian masyarakat korban. Terakhir, program diprioritaskan untuk mengembalikan masyarakat yang terkena dampak tsunami dan gempa pada kehidupan sosialekonomi aslinya (pendidikan, kesehatan, agama, dan sosial). Inilah kriteria yang disepakati dalam pemrograman, suatu langkah terbalik dibanding dengan terlebih dahulu melakukan kajian awal, baru kemudian mendistribusikan anggaran. Masalah lain adalah adanya dikotomi mazhab transportasi logistik sejak awal. Mazhab pertama sejatinya cukup realistis, arus material logistik suplai rekonstruksi dari Medan ke Sibolga lalu ke Nias, dari Medan menyusur Pantai Timur Aceh menuju Banda Aceh. Atau dari Medan melalui laut ke Banda Aceh, lalu Pelabuhan Malahayati juga dari Medan menuju Singkil, Tapaktuan lewat darat ke Meulaboh. Pandangan ini lebih fokus pada persoalan aktual yang penting untuk dijadikan dasar pencapaian hasil. Pandangan berikutnya adalah berpola pada kondisi ideal, Aceh telah dalam kondisi masa depan yang maju. Arus barang komoditas perekonomian Aceh bergerak dari selatan ke utara baik melalui lintas timur, tengah dan barat, Banda Aceh sebagai pintu keluar menuju nasional dan internasional. Seluruh infrastruktur akan dibangun di sepanjang alur tersebut. Pandangan ini lebih bersifat jangka panjang, namun ternyata juga tidak menjamin bahwa arus barangnya seperti itu, karena yang terjadi sekarang adalah kebalikannya. Orientasi ekspor bergerak menuju Medan keluar ke pasar nasional maupun pasar internasional. Akhirnya, keputusan program kemudian dilaksanakan bersandar pada mazhab realistis yang lebih bersifat jangka pendek. Suatu pertimbangan yang tidak

80

lazim dalam kajian Studi kelayakan yang lebih bersifat jangka panjang. Apa pun itu, pada akhirnya, dalam pelaksanaan infrastruktur, sebagian besar proses pengambilan keputusan dilakukan dengan cepat. Banyak tahapan pengambilan keputusan yang dipangkas sehingga faktor birokrasi bukanlah hambatan, termasuk aslinya proses pelelangan yang tahapannya dilaksanakan lebih cepat. Bahkan terkadang mendahului terbitnya daftar isian proyek anggaran. Cara ini terbukti sangat efektif dan mampu meningkatkan penyerapan anggaran untuk tahun berjalan. Kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi di kawasan bencana memang membutuhkan kecepatan pembangunan yang tinggi. Meskipun demikian, perencanaan yang matang tetap harus diutamakan untuk menghindari timbulnya permasalahan di kemudian hari.

Pelabuhan Feri di Singkil, 21 Desember 2009. Foto: BRR/Arif Ariadi

Masalah Desain Ulang


Perencanaan berdasar data yang akurat merupakan kunci keberhasilan pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi. Tahun pertama pelaksanaan rehabilitasi NAD dan Nias, manajemen BRR tetap mengacu pada dokumen cetak biru dengan koordinasi dengan Pemda NAD dan Nias. Sayangnya, data perencanaan teknis pembangunan yang ada di cetak biru sangat terbatas. Kondisi ini mengakibatkan pada tahun awal pelaksanaan

Bagian 6. Menaklukkan Masalah Menggapai Tujuan

81

konstruksi BRR dilakukan bersamaan dengan penyiapan desain atau perencanaan. Data perencanaan yang ada pada dinasdinas teknis dimanfaatkan sebisa mungkin dengan melakukan penyesuaian secukupnya.
INFRASTRUKTUR: Memacu Sektor Pemicu

Untuk proses pelaksanaan tahuntahun berikutnya tentu saja dibutuhkan desain yang lebih detail. Desain yang detail ini juga dibutuhkan sebagai bagian dari dokumen dalam proses lelang proyek. Namun, dalam kondisi normal, tahap ini jelas sangat menyita waktu. Menyikapi hal ini, salah satu strategi yang dipakai BRR adalah dengan menerapkan review design. Pola ini memungkinkan BRR hanya cukup menyiapkan dokumen lelang secukupnya. Sementara proses desain perencanaan diserahkan kepada kontraktor dan konsultan supervisi. Pola seperti ini aslinya lazim dipakai Departemen PU dalam mengerjakan tuntutan kecepatan berproduksi. Pada awal 2006 misalnya, sektor perhubungan sambil melakukan perencanaan teknis yang lengkap, perencanaan simpel (draf) dikerjakan untuk keperluan memenuhi dokumen lelang. Perencanaan itu termasuk menyiapkan perhitungan bill of quantity dan dokumen lelang lainnya. Barulah setelah proses lelang, kontraktor yang menang akan melakukan review design tadi, atau desain ulang yang lebih spesifik dengan melakukan pengukuran detail di lapangan hingga membuat cetak biru konstruksi proyek. Agaknya, tak tersedianya desain lengkap sejak tahun pertama untuk program terutama seluruh program jalan dan jembatan, kelistrikan, bangunan dan pelabuhan, mengakibatkan konstruksi sektor ini paling lambat selesai. Hingga 2009, beberapa proyek, bahkan harus dilanjutkan konstruksinya lembaga pemerintah lain juga oleh pemda. Beruntung, sektor air minum, sektor irigasi, serta sektor drainase dan pengaman pantai dibantu donor Belanda dan LSM untuk perencanaannya. Pelabuhan Calang, Simeulue, dan Gunungsitoli juga banyak dibantu oleh UNDP dengan menggunakan dana MDF. Walaupun sempat timbul masalah pada pembangunan Pelabuhan Calang misalnya. Kontraktor yang menang akhirnya harus diputus kontraknya. Akibatnya, sempat selama satu tahun pembangunan pelabuhan itu terbengkalai. Kontraktor itu tidak mampu melaksanakan proses konstruksi sesuai desain yang disediakan sejak proses lelang. Desain itu memang hasil perencanaan UNDP (dengan skema pendanaan MDF), tiang pancang utama pelabuhan harus memakai fondasi sheet pile untuk dermaganya. Fondasi ini berupa lempenganlempengan baja yang dipancang ke tanah, lalu mengisi bagian dalamnya dengan beton atau material lainnya. Sistem ini sebenarnya sangat ideal untuk menghemat proses konstruksi dan lebih kuat. Masalahnya adalah material sheet pile tersebut tidak diproduksi di Indonesia dan harus diimpor dari Belgia. Selain itu, secara teknis proses konstruksinya juga terbilang lebih sulit. Fondasi yang dipancang akan keluar lagi karena tekanan tanah yang naik atau turun. Dengan peralatan yang terbatas, lalu muncul masalah mobilisasi tenaga kerja, sistem konstruksi ini menjadi mahal. Menyadari akan mengalami kerugian finansial, kontraktor itu meminta desain

82

Akhirnya masalah ini dibahas oleh BRR dan diajukan ke Bank Dunia. Keputusannya jelas, Bank Dunia tetap meminta kontraktor melaksanakan pekerjaan sesuai dengan spesifikasi dalam TOR, dan jika tak sanggup akan determinasi atau diputus kontrak dengan sanksi. Kontraktor itu sempat menyanggupi, namun minta waktu hingga Desember 2009. Hal ini jelas tidak mungkin karena dalam kontrak, Juni 2009 konstruksi sudah harus selesai (18 bulan). Akhirnya, mereka diminta tetap bekerja hingga Juni 2009 dengan tambahan waktu tiga bulan tapi dengan masa denda. Alihalih menyanggupi, kontraktor itu malah mengajukan klaim sebesar Rp 150 miliar sebagai tambahan pembayaran. Menanggapi hal tersebut, konsultan menganggap kontraktor tidak memiliki niat untuk menyelesaikan konstruksi sehingga akhirnya kontraknya diputus. Bila sudah seperti ini jelas BRR dirugikan karena Pelabuhan Calang tidak terbangun dalam periode BRR. BRR menyadari, memang pada awalnya, volume pembangunan Pelabuhan Calang memang sangat besar. Seharusnya seperti Pelabuhan Tapaktuan dibangun lebih kecil. Pelabuhan Calang memang awalnya diproyeksikan untuk mendukung rencana rekonstruksi Kota Calang menjadi Eco City, sehingga dipandang perlu harus memiliki pelabuhan laut yang besar. Meskipun demikian sesuai kebutuhan pelabuhan tetap harus dibangun. Akhirnya, dalam APBN 2009 Departemen Perhubungan, menganggarkan dana sebesar Rp 40 miliar untuk biaya pembangunan pelabuhan tersebut sesuai dengan standar yang ada. Di tahun kedua dan berikutnya, BRR memang mulai masuk proses rekonstruksi lintas barat, lintas tengah dan program beratberat lainnya seperti pelabuhan. Selain itu, infrastruktur air minum juga ditangani oleh BRR, terutama air minum yang dekat pantai timur dan barat.

Belajar dari Kesalahan


Dari pengalaman yang ada, proses perencanaan yang juga dilakukan dengan data seadanya secara simultan dengan pembangunan fisik sering kali menimbulkan permasalahan. Pekerjaan fisik tidak dapat berjalan sesuai dengan jadwal yang telah direncanakan. Bahkan pada beberapa kasus, biaya pembangunan bertambah sebagai akibat dari penyesuaianpenyesuaian kondisi lapangan yang berbeda dengan perencanaan. Salah satunya adalah program pembangunan jalan nasional GeumpangTutut. Jalan nasional ini adalah lintasan penting dalam mendukung perekonomian wilayah Pantai Barat Aceh karena merupakan jalur suplai logistik dari pantai timur ke arah Meulaboh. Ruas ini akhirnya dibangun sesuai dengan program dalam cetak biru, setelah aslinya dilakukan studi mendalam dan berkelanjutan terutama karena ada justifikasi lingkungan yang peka terhadap pembangunan.

Bagian 6. Menaklukkan Masalah Menggapai Tujuan

diubah dengan mengganti fondasi memakai tiang pancang (bore pile). Dari awal pihak konsultan sudah menolak karena kalau mengganti desain akan mengubah total desain awal. Lagi pula, bila desain diubah akan muncul komplain dari kontraktor lain yang kalah tender. Mereka dapat beranggapan jika desain diubah mereka juga akan sanggup mengerjakan proyek ini.

83

INFRASTRUKTUR: Memacu Sektor Pemicu

Ruas jalan GeumpangTutut adalah jalan lintas diagonal yang memotong pegunungan Leuser, kemiringan tanahnya sangat kritis atau labil, gembur serta mudah berlumpur. Kondisi lingkungan ini akan menyebabkan ruas jalan GeumpangTutut sering longsor dan aspalnya mudah retak setelah selesai dibangun. Untuk itu, setelah dibangun pemerintah wajib memelihara jalan ini secara simultan. Benar saja. Setelah terbangun, pemeliharaan yang harus dilakukan adalah bagaimana mengatasi longsoran, saluran air (drainase). Karena tanahnya labil dan terus menerus retak, harus diterapkan teknologi penahan longsor yang mahal, mulai dari pemancangan fondasi yang dalam, penggeseran bidang tanah hingga pembangunan turap secara bertingkat pada pinggiran jurang yang dalam. Dengan teknologi seperti itu, mau tidak mau pemerintah harus menanggung biaya pemeliharaan yang tidak murah dari tahun ke tahun. Program penanganannya pun harus terstruktur dan terlembaga melibatkan peralatan berat karena longsor akan terjadi terusmenerus terjadi terutama pada musim hujan. BRR sempat menyediakan dana sebesar Rp 20 miliar untuk segmen jalan yang aslinya tidak tertangani itu. Namun, karena hujan setiap hari, maka konstruksi yang telah dibangun pun sebagian rusak kembali. Inilah persoalannya. BRR yang tidak memiliki unit pemeliharaan dan tidak memiliki peralatan diminta untuk terus bertanggung jawab atas pemeliharaan dan penanganan longsor di daerah labil tersebut. Sementara Dinas Prasarana Wilayah atau Dinas Bina Marga yang peralatan pemeliharaannya diadakan oleh BRR juga malah meminta BRR bertanggung jawab terhadap segmen ini. Dari pembangunan ruas jalan ini, BRR mendapat pelajaran berharga. Bahwa justifikasi lingkungan yang aslinya menyatakan bahwa ruas GeumpangTutut terdapat di daerah di kemiringan yang ekstrem dan labil adalah benar. Kondisi lingkungan ini sebenarnya tergambar di seluruh wilayah yang berada di pegunungan Leuser yang juga sensitif terhadap air sehingga semua ruas jalan yang dibangun di pegunungan ini akan membutuhkan biaya pemeliharaan yang besar dan berkelanjutan. Sebenarnya, hal ini juga sudah terlihat pada jaringan jalan Ladia Galaska (program pemerintah aslinya) yang dibangun Departemen PU. Bahkan, di jalan Ladia Galaska, yang saat itu tidak dibangun sekaligus, dan kini cenderung terbengkalai, tumbuh rumput dan pepohonan yang menembus dari bawah aspal. Longsor juga terjadi di banyak tempat. Jika struktur dasarnya tidak keras, dipastikan hal yang sama akan terjadi di ruas jalan yang dibangun oleh pemerintah Aceh di JanthoLamno ini.

84

Beda Persepsi Koordinasi


Di luar permasalahan pembangunan yang disebabkan karena perencanaan di atas, BRR berusaha selalu mengantisipasi sejak awal, di antaranya menghadapi banyaknya pemangku kepentingan yang terlibat dalam setiap kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi. Menyadari hal ini, dibutuhkan adanya koordinasi dan komunikasi yang baik dan intensif dengan

seluruh pihak yang terlibat tersebut. Pada akhirnya, koordinasi selalu menjadi kata kunci keberhasilan seluruh kegiatan. Koordinasi ini penting, terutama dalam pemrograman, perencanaan dan desain, termasuk dalam pembebasan lahan. Pokoknya sampai pada titik sebelum konstruksi dilaksanakan, segala macam input dan aspirasi dibahas. Ada beberapa forum yang dibentuk untuk koordinasi itu. Pertama adalah forum pengajuan Project Concept Note, proposal yang disiapkan oleh lembaga lain, biasanya LSM. Proposal ini lalu dibahas dalam rapat forum, ditetapkan, dan dipetakan siapa mengerjakan apa misalnya. Dengan begitu sesuai dengan kebutuhan lapangan dan tidak tumpangtindih. Forum ini sendiri, selain dihadiri LSM pemohon tadi, terdiri atas dinas teknis pemerintah daerah dan BRR. Terkadang bila perlu bupati, wali kota, dan LSM yang memiliki interest sama diikutsertakan. Forum berikutnya adalah pengelolaan portofolio. Dalam forum ini para donor diarahkan untuk membiayai bidang yang masih kosong, sehingga penanganan rehabilitasi dan rekonstruksi seimbang. Hal ini karena umumnya para donor lebih tertarik membantu di bidang sosial, kesehatan, perumahan atau air minum, sementara banyak bidang lain tertinggalkan, termasuk infrastruktur. Padahal kebutuhan untuk memperbaiki infrastruktur sangat besar dan membutuhkan biaya yang mahal dan manajemen proyek yang kuat.

Terutama di saat hujan, jalur GeumpangTutut seringkali menjadi licin dan rawan kecelakaan, Tutut, Bireuen, 4 Januari 2005. Foto: Dokumentasi IFRC

Bagian 6. Menaklukkan Masalah Menggapai Tujuan

85

INFRASTRUKTUR: Memacu Sektor Pemicu

Yang tak kalah penting adalah forum regionalisasi yang diikuti BRR maupun donor. Forum ini sejatinya berada di tingkat kabupaten dalam menangani dan menyelesaikan seluruh persoalan konstruksi di daerahnya. BRR berpendapat forum di tingkat pusat atau tersentralisasi terkadang memperlambat keputusan di lapangan. Untuk itu, forum regionalisasi ini penting untuk menyelesaikan masalah dan koordinasi penyusunan program dengan pemerintah kabupaten/kota menjadi lebih mudah. Dalam forum ini, donor juga diharapkan dapat segera mendelegasikan penyelesaian dan pengambilan keputusan penting langsung ke tingkat regional. ADB misalnya, lewat forum ini sudah dapat memindahkan seluruh penerbitan no objection letter (NOL) ke Banda Aceh. Demikian halnya dengan beberapa LSM, banyak yang telah menyerahkan penyelesaian masalah pada tingkat pelaksana proyek di lapangan. Bandingkan dengan Bank Dunia yang masih bergantung pada penentuan keputusan di Washington. Demikian juga JBIC harus ke Jepang dan AFD ke Prancis. Pokoknya, melalui forumforum seperti inilah, semua koordinasi di bidang infrastruktur dibahas sebelum memasuki fase pelaksanaan. Sampai batas ini jika seluruh pihak mengerti, maka semua koordinasi telah berjalan dengan baik. Selanjutnya, pelaksanaan diserahkan kepada masingmasing pihak. Sayangnya, begitu masuk tahap pelaksanaan, ternyata pengertian koordinasi ini diartikan berbeda bagi sebagian pihak. Contohnya begini, BRR melakukan koordinasi dengan USAID sampai pada tingkat perencanaan dan desain untuk sebuah proyek. Begitu masuk pada tahap pengadaan dan pelaksanaan, maka masingmasing pihak telah paham tanggung jawab masingmasing. Contoh lain, BRR membentuk sekretariat bersama (Sekber) di tingkat provinsi dan tingkat kabupaten. Artinya dalam forum ini, seluruh program dipilah dan dibicarakan.

86

Menguji Konsep Tugas


Di luar masalah koordinasi dengan pihak luar tersebut, untuk memperlancar manajemen konstruksi di lapangan, BRR juga membuat kebijakan khusus, yaitu dengan memakai pola pendekatan konsep tugas atau task concept. Junius Hutabarat, Deputi Perencanaan dan Pemrograman, yang mengusulkan sistem hubungan kerja konsultan dan kontraktor yang lazim digunakan dalam dunia konstruksi internasional ini. Dengan pola ini, pemimpin proyek (pimpro/Satker atau PPK), komando dan pertanggungjawaban konsultan dan kontraktor berada dalam garis vertikal. Artinya, yang menjadi atasan langsung kontraktor adalah konsultan, sementara atasan konsultan adalah kontraktor. Untuk itu, konsultan langsung bertanggung jawab untuk semua hal yang berkaitan dengan teknis di lapangan, mulai dari pengawasan proses konstruksi, kualitas, progres konstruksi, hingga sertifikasi pembayaran. Pola ini berbeda dengan hubungan kerja yang umum diterapkan dalam konstruksi di Departemen PU, yang memiliki garis hubungan kerja dengan pola segi tiga. Pemimpin proyek (Satker/PPK) mempunyai garis komando langsung kepada konsultan dan

Pola konsep tugas ini tentu saja memiliki keuntungan. Tugastugas teknis yang ada diserahkan kepada konsultan, termasuk pekerjaan administrasi teknis yang menjadi tugas personel Satker. Dengan demikian jumlah personel dapat dikurangi karena lazimnya dalam Satker harus ada personel untuk mengurusi tugas administrasi tersebut. Keuntungan lain adalah risiko teknis di lapangan menjadi tanggung jawab konsultan. Karena tanggung jawab konstruksi berpindah dari pemimpin proyek atau kepada konsultan pengawas, baik insinyur maupun penanggung jawab perusahaan harus benarbenar memiliki pemahaman konstruksi dan kualitas teknik yang baik. Bahkan juga harus mengerti hukum. Pada akhirnya bila muncul persoalan teknis yang berakibat kepada kerugian negara, yang harus bertanggung jawab adalah kontraktor dan konsultan, baik secara perdata maupun pidana. Pola kerja ini ternyata teruji pada saat muncul masalah di salah satu pelaksanaan program BRR, yaitu program di sektor sumber daya air yang membangun tanggul air asin sepanjang 2.000 meter di daerah permukiman di Lampulo Krueng Titi Panjang. Pelaksanaan program ini ada di bawah Satker Pengendalian Banjir dan Pengaman Pantai. Sebagai catatan, selain menangani proyek ini, Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) proyek itu juga harus mengendalikan proyek lain sebanyak 28 paket dan tersebar di seluruh Banda Aceh dan Kabupaten Aceh Besar. Untuk menangani paket sebanyak itu, si PPK hanya dibantu oleh lima orang staf sehingga keberadaan konsep tugas jelas sangat membantunya. Seluruh hal yang berkaitan dengan teknis dan kualitas diserahkan dan menjadi tanggung jawab konsultan supervisi. Kontrak pembangunan tanggul air asin itu sendiri bernilai Rp 2,3 miliar dan dikerjakan oleh kontraktor berpengalaman. Belakangan, setelah tanggul selesai dibangun, muncul laporan masyarakat yang menemukan adanya indikasi kecurangan di proyek tersebut. Berdasar temuan itu, Kejaksaan Negeri Banda Aceh lalu melakukan penyidikan. Dengan dukungan teknis Universitas Syiah Kuala dan perhitungan teknis BPKP, jaksa akhirnya menuduh si PPK terlibat tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh kontraktor sebesar ratusan juta Rupiah. Sesuai dengan pendekatan konsep tugas, seluruh pengendalian teknis menjadi tanggung jawab konsultan pengawas, tuduhan tersebut seharusnya dialamatkan pada konsultan supervisi. Apalagi semua itu didukung dengan adanya penetapan konsultan sebagai direksi pekerjaan yang memperkuat pelimpahan tanggung jawab teknis kepada konsultan supervisi. Tugasnya di proyek itu adalah melakukan pengawasan seharihari, menyertifikasi kemajuan pekerjaan dan pembayaran, memberikan advis teknis kepada kontraktor terhadap kekurangan volume dan persoalan teknis di lapangan. Argumentasi ini diperkuat dengan fakta si PPK terkait tidak pernah menerima imbalan apa pun dari

Bagian 6. Menaklukkan Masalah Menggapai Tujuan

kontraktor secara bersamaan. Artinya, kontraktor dan konsultan memiliki posisi sejajar dengan atasan langsung mereka adalah pimpronya. Kepala Satker atau PPK juga bertanggung jawab penuh terhadap hasil kerja baik konsultan maupun kontraktor.

87

INFRASTRUKTUR: Memacu Sektor Pemicu

pekerjaan konstruksi yang berada di bawah pengendaliannya. Dengan adanya konsep tugas itu, pengadilan akhirnya membebaskan semua tuduhan serta meminta pemerintah merehabilitasi nama baiknya serta mengembalikannya pada jabatan semula. Sementara pihak konsultan supervisi divonis selama 15 bulan dan denda puluhan juta Rupiah. Kontraktornya sendiri divonis 18 bulan dengan membayar denda dan uang pengganti senilai ratusan juta Rupiah. Kontraktor dan konsultan yang keberatan dengan keputusan hakim sempat mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Aceh. Namun, keputusan Pengadilan Tinggi Aceh ternyata malah memperkuat putusan Pengadilan Negeri Banda Aceh yang bahkan menambah masa hukuman kontraktor dan konsultan menjadi empat tahun. Keputusan Pengadilan Negeri Banda Aceh yang diperkuat Keputusan Pengadilan Tinggi Aceh, serta dibebaskannya si PPK dari semua tuduhan, menunjukkan bahwa sistem konsep tugas teruji, baik secara manajemen maupun secara hukum. Hal ini menjadi preseden baik untuk digunakan oleh lembaga teknis lainnya seperti Departemen PU dan Departemen Perhubungan. Pemerintah memang harus bertanggung jawab dalam mengendalikan kegiatan. Namun saat tanggung jawab tersebut didelegasikan pada pihak lain (konsultan) penugasannya harus jelas dan sistemnya diakui oleh lembaga. Penyalahgunaan wewenang oleh penerima tanggung jawab tersebut tentunya bukan menjadi tanggung jawab pemberi tugas yang dalam hal ini adalah pemerintah. Selain menggunakan pola konsep tugas di atas, pada tahap pelaksanaan, di luar pengawasan yang dilakukan oleh konsultan pengawas BRR sebenarnya juga melakukan pengecekan lapangan. Pengecekan itu bernama quality assurance yang dilaksanakan oleh unit Pusat Pemeriksaan Mutu Konstruksi (PPMK). Hasil pengawasan konsultan di lapangan diperiksa lagi kebenarannya oleh PPMK secara random kapan saja tanpa harus melalui pemberitahuan awal. Kegiatan ini menguntungkan unit pengendali karena dapat memberikan masukan bagi manajemen BRR bahwa kualitas suatu konstruksi telah memenuhi syarat atau belum. Melalui kegiatan inilah dapat diketahui ketebalan lapisan batuan jalan (agregat) dan aspalnya, kekuatan beton atau dimensi bangunan yang dilaksanakan tidak memenuhi standar. Proses ini sekaligus memberi jaminan bahwa hasil pengawasan benarbenar telah sesuai dengan yang direncanakan. Lembaga lain yang terlibat dalam pengendalian proyek adalah Pusat Pengendalian Program dan Proyek Wilayah (P4W). Lembaga ini mengawasi proyekproyek regional. Sementara untuk proyek di bawah sektor Deputi Bidang Infrastruktur yang mengawasi adalah Pusat Pengendalian Program dan Proyek Sektor (P4S). Mereka melakukan pengawasan progres secara keseluruhan, mulai dari proses penetapan program sebelum DIPA ditetapkan, pelelangan, bahkan sampai masa pelaksanaan. Dari hasil pengawasan unit ini dapat diketahui kemajuan dari suatu pekerjaan dan konsolidasi progres per unit ataupun untuk seluruh BRR.

88

Unit ini bekerja dengan melakukan konfirmasi kebenaran terhadap kemajuan kegiatan. Apakah pekerjaan itu sudah mulai berjalan, atau memiliki progres yang lambat dan bahkan mandek sekalipun semua dapat diketahui. Dengan sistem pengawasan yang detail seperti ini seharusnya manajemen BRR dapat mengevaluasi kemajuan masingmasing wilayah dan kedeputian. Sayangnya, terkadang muncul persoalan karena hasil pengawasan lembaga ini sering kali tidak up to date. Hal ini memang disebabkan karena luasnya cakupan wilayah kerja. Persoalan lain adalah sering terjadi konflik internal atau adu argumentasi sesuai dengan keyakinan masingmasing pihak dalam menghadapi temuan P4W atau P4S. Perhitungan lain yang harus dilakukan BRR dalam pelaksanaan proyek adalah juga kenyataan bahwa sesudah bencana besar mengakibatkan hargaharga menjadi lebih mahal, baik jasa maupun barang. Berdasar fakta di lapangan, sering kali BRR harus membangun infrastruktur tambahan yang sifatnya sementara. Hal ini karena sering kali, saat memulai proyek infrastruktur tersebut, infrastruktur pendukungnya belum ada. Saat membangun sebuah fasilitas bangunan misalnya, harus dibangun dulu tanggul air agar lokasi proyek tidak kebanjiran. Bahkan juga harus dibangun jalan darurat dulu untuk jalur transportasi material karena aksesnya tidak ada. Tentu saja semua ini membutuhkan dana tambahan. Dana yang diperoleh BRR saat itu

Pembangunan pengaman pantai di sepanjang Alue NagaLampulo, Banda Aceh, 17 November 2005. Foto: BRR/Arif Ariadi

Bagian 6. Menaklukkan Masalah Menggapai Tujuan

89

Pada akhirnya, perlu ditegaskan, sungguh tidak mudah membangun kembali tanah bencana. Terlebih semuanya dilakukan dengan darurat dan tak ada satu pun panduan resmi dari belahan bumi mana pun yang bisa dijadikan pegangan dalam bagaimana melaksanakan pembangunan di daerah bencana yang sedemikian dahsyatnya. Dengan teratasinya satu persatu permasalahan di lapangan, pada intinya, melalui upaya rehabilitasi dan rekonstruksi, infrastruktur Aceh dan Nias telah menapaki masa depannya yang cerah. Bukan hanya terbangun kembali, tapi terbangun kembali dengan lebih baik.

Hasil Apik Garapan Otak dan Otot


Pelabuhan dan Telekomunikasi
Melalui pembiayaan oleh pemerintah Belanda, di Pelabuhan Malahayati dibangun dermaga baru sepanjang 140 m sehingga mampu menerima kapal sandar dengan kapasitas 10.000 DWT. Pada 2008, kemudian kapasitas pelabuhan ini diperbesar dengan menambah dermaga baru sepanjang 140 m sehingga secara total menjadi 380 m. Hal ini terutama ditujukan untuk menampung kapal angkutan penumpang. Bersamaan dengan pengembangan Pelabuhan Malahayati, BRR dengan pendanaan dari MDF juga melakukan rehabilitasi Pelabuhan Lhokseumawe berupa rehabilitasi dermaga, pembangunan penahan gelombang pantai dan pengerukan. Di Pelabuhan Langsa juga dibangun dermaga baru sepanjang 70 meter untuk mendukung fungsi pelabuhan tersebut sebagai pelabuhan agroindustri. Di Calang direncanakan dibangun pelabuhan baru dengan panjang dermaga 100 meter dari konstruksi sheet pile baja. Tapi dengan gagalnya penyelesaian konstruksi oleh kontraktor bersangkutan, maka penyelesaian konstruksi pelabuhan ini diserahkan kepada Departemen Perhubungan. Pelabuhan Sinabang merupakan pemindahan dari pelabuhan lama ke wilayah yang lebih bebas. Pengembangan pelabuhan ini jauh dari kota memberikan keleluasaan membangun dermaga baru serta pergudangannya dengan kapasitas yang lebih besar dari dermaga lama. Demikian juga Pelabuhan Tapaktuan dan Pelabuhan Gunungsitoli, dilakukan penggantian seluruh konstruksi di lokasi yang sama sehingga ukuran kapal yang berlabuh menjadi lebih besar. Di samping membangun prasarana pelabuhan, BRR juga menyediakan sarana transportasi antarpulau berupa tiga unit feri dengan kapasitas 750 hingga 1.000 GT untuk melayani lintasan SibolgaNias, Labuhan HajiSimeulue, dan Banda AcehSabang. Hal ini utamanya untuk mendukung gerakan logistik yang sekaligus sebagai angkutan
Salah satu ruas jalan raya Banda AcehCalang di Lhoong, Aceh Besar, 20 Februari 2009. Jalan raya tersebut dibangun USAID di atas tapak jalan yang baru atau bahkan menembus bukit. Foto: BRR/Arif Ariadi

Bagian 6. Menaklukkan Masalah Menggapai Tujuan

memang jumlahnya cukup besar, tapi dana tersebut masih jauh dari total kebutuhan. Apalagi tidak banyak donor yang tertarik untuk terjun ke sektor infrastruktur. Alasannya, selain anggaran yang dibutuhkan sangat besar, sektor infrastruktur dianggap tidak langsung menyentuh kebutuhan masyarakat yang terkena dampak tsunami.

91

INFRASTRUKTUR: Memacu Sektor Pemicu

penumpang. Selain itu diadakan pula peralatan bongkar muat pelabuhan sehingga diharapkan pelayanan di pelabuhan menjadi lebih baik dan mampu melayani dengan lebih cepat. Peralatan ini merupakan batuan dari pemerintah Belanda dan pemerintah Korea yang didistribusikan ke Pelabuhan Malahayati, Lhokseumawe, dan Gunungsitoli. Dari dana APBN juga disediakan peralatan handling yang lebih kecil seperti forklift untuk seluruh pelabuhan di Aceh dan Nias. Dalam sektor perhubungan udara, BRR melakukan rekonstruksi di antaranya di Bandara Sultan Iskandar Muda, Sabang, Takengon, Meulaboh, Sinabang, Tapaktuan, dan Nagan Raya berupa perpanjangan dan pelapisan ulang runway serta pembangunan fasilitas keamanan penerbangan. Untuk bandara di pantai barat, umumnya ditujukan untuk memberi kemungkinan pendaratan bagi pesawat logistik sejenis Hercules jika terjadi bencana. Di Bandara Sultan Iskandar Muda, Angkasa Pura juga berpartisipasi dalam membangun terminal baru, sementara BRR membangun terminal baru di Simeulue, Sabang, Takengon, Meulaboh, dan Gunungsitoli. BRR juga melakukan program pengadaan bus untuk dioperasikan oleh Perum Damri, dengan dasar pemikiran, bahwa busbus tersebut dapat dioperasikan guna melayani daerahdaerah yang moda transportasi daratnya masih hancur (seperti untuk daerah Pantai Barat NAD) yang menghubungkan kota terjauh (Singkil dan Kutacane) dengan Banda Aceh. Adanya angkutan bus ini diharapkan dapat memacu pertumbuhan ekonomi dan transportasi daerah tersebut. Untuk mendukung maksud tersebut maka dibangun pula beberapa terminal angkutan penumpang di Abdiyah, Bireun, dan Banda Aceh. Diharapkan pula dengan adanya terminalterminal tersebut, penataan sistem transportasi darat di perkotaan menjadi lebih terarah dan terencana/teratur sehingga meningkatkan keselamatan dan kenyamanan pengguna jasa angkutan umum. Mengingat bahwa perairan Provinsi NAD adalah sangat padat dan terletak di daerah yang menjadi alur lalu lintas laut internasional sehingga bagi negara yang menguasainya berkewajiban untuk bisa menjaga keselamatan dan keamanannya. Khusus untuk itu, BRR NADNias mengadakan peralatan search and rescue (SAR) berupa kapal rescue dengan panjang 40 m dan sea rider guna dapat memberikan pertolongan, khususnya jika terjadi kecelakaan laut. Untuk bidang telekomunikasi, yang paling utama dilakukan adalah perbaikan jaringan komunikasi. Perbaikan jaringan sentral telepon otomat di Maulaboh dan Tapaktuan memfungsikan kembali jaringan telepon yang rusak. Kesulitan ditemukan dalam proses serah terima aset kepada PT Telkom karena sudah menjadi perusahaan terbuka dan harus mendapat izin dari pemegang saham, yang sudah go internasional. Hingga akhir tahun anggaran 2008, ditargetkan sektor perhubungan dan telekomunikasi telah dapat menyelesaikan rehabilitasi dan rekonstruksi sarana dan prasarana di bidang transportasi dan telekomunikasi yang meliputi 15 pelabuhan laut, 8

92

Jalan dan Jembatan


Dalam pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi, BRR sejak awal telah melakukan koordinasi dengan dinasdinas terkait, terutama dengan wilayahwilayah yang terkena bencana. Koordinasi ini termasuk dalam penentuan program yang diharapkan datang dari masingmasing pemerintah daerah yang terkena bencana karena dianggap mereka sangat mengenal wilayah dan mengetahui programprogram yang sangat urgen. Tambahan pula, pada tahap awal BRR memiliki tenaga yang terbatas dan pemahaman akan wilayah yang sangat sedikit. Terus terang tim BRR sedang mencari dari titik mana dan bagaimana cara pekerjaan akan dimulai. Alokasi program rehabilitasi pertama dilakukan pada bidang jalan yang berada di antara LamnoCalang, MeulabohSubulussalam, GeumpangTutut dan JanthoKeumala, ditambah pembangunan jalan kabupaten yang disebarkan ke 13 pemerintah kabupaten/ kota di Aceh dan dua kabupaten di Nias. Syarat utama rehabilitasi adalah kabupaten yang terkena bencana dan kabupaten yang terkena pengaruh bencana secara tidak langsung seperti jalur logistik atau daerah pengungsian. Yang paling serius kebutuhan penanganan jalan pada saat itu adalah pada ruas LamnoCalang. Beberapa titik/lokasi pada ruas jalan tersebut hilang atau rusak dan berlumpur dalam. Tidak jarang kendaraan berat logistik bahan makanan atau bahan bangunan tertahan berharihari pada kubangan lumpur. Ruas LamnoCalang merupakan satusatunya jalur transportasi vital dari Banda Aceh ke Calang yang melewati pantai barat selain jalan lintas diagonal (Banda AcehPidieKeumalaTutut). Upaya rehabilitasi jalan LamnoCalang yang awalnya diprogramkan melalui APBN sempat dihapuskan karena adanya kemungkinan pendanaan melalui hibah dari Bank Dunia. Tapi ternyata hibah yang rencananya disalurkan melalui mekanisme MDF itu dibatalkan karena, selain membutuhkan persetujuan yang panjang, juga harus melalui lembaga pelaksana nonpemerintah. Akhirnya program ini dikembalikan lagi melalui mekanisme APBN. Perubahan yang bolakbalik pada penanganan jalan ini menghabiskan waktu yang cukup panjang, tiga bulan. BRR menyediakan dana Rp 33 miliar yang dilaksanakan melalui Satker Rehabilitasi dan Rekonstruksi Jalan Nasional yang dititipkan di Departemen Pekerjaan Umum. Sementara itu Departemen PU menyediakan dana Rp 1,8 miliar pada ruas tersebut melalui Satker Pemeliharaan Jalan Nasional NAD. Hasil penanganan ini memperlancar gerakan logistik dan program rehabilitasi oleh donor dan LSM. Walaupun masih adanya penyeberangan dengan rakit dan kerusakan pada lantai jembatan, tapi perubahan waktu angkut berkurang dengan sangat berarti, dari empat hari menjadi sepuluh jam.

Bagian 6. Menaklukkan Masalah Menggapai Tujuan

pelabuhan feri, 9 bandar udara, 16 terminal dan pul Damri, 6 kantor dan peralatan SAR, 22 kantor pos serta fasilitas telematika di 23 kabupatenkota seAcehNias.

93

INFRASTRUKTUR: Memacu Sektor Pemicu

Tahun berikutnya, untuk jalan nasional BRR berkonsentrasi di sepanjang pantai barat (MeulabohTapaktuanBatas Sumatera Utara), lintas diagonal (PidieKeumalaGempang TututMeulaboh) dan lintas timur bagian utara (Banda AcehBireuen). Lintas ini adalah lintas yang sangat sulit akibat kondisi permukaan yang rusak, kemiringan topografis yang sangat terjal, dan geologi yang sangat labil terutama di lintas diagonal. Dalam kondisi organisasi BRR yang tidak memiliki satuan unit pemeliharaan, sangat terlalu berani memasuki wilayah terutama pada lintas diagonal. Selebihnya adalah rekonstruksi jalan provinsi yang lebih tersebar utamanya di pantai barat (Kuala TuhaLamie dan SubussalamSingkil) dan pegunungan tengah (IsaqJagongJeget dan jalan ke Pelabuhan Malahayati), lingkar Pulau Simeulue dan Pulau Nias. Jalan yang lebih rendah hierarkinya seperti jalan kabupaten dan kota akhirnya masuk ke seluruh kabupaten/kota, termasuk penanganan jalan lingkungan baik di Aceh maupun di Nias. Untuk ruas jalan kabupaten kota ini, pada 2005 dan 2006 ditangani oleh Kedeputian Bidang Infrastruktur, dan 2007 dan 2008, pengendaliannya diserahkan ke organisasi regional. Khusus untuk lintas barat di Banda AcehCalang dan CalangMeulaboh, pembangunannya dibiayai oleh USAID dan pemerintah Jepang. Untuk jalan Banda AcehCalang, program utamanya adalah membangun jalan baru sepanjang 145 km sebagai pengganti jalan lama yang rusak dan hilang di banyak tempat. Penyelesaian konstruksinya diperkirakan pada awal 2010, sehingga melebihi masa kerja BRR. Koordinasi selanjutnya akan dilanjutkan oleh Departemen PU. Penanganan ruas CalangMeulaboh berupa kegiatan rehabilitasi di atas jalan lama tanpa adanya pelebaran. Selesainya ruas ini sangat membantu dalam memperlancar aktivitas rekonstruksi di pantai barat. Keseluruhan dananya dibiayai oleh pemerintah Jepang melalui JICS. Dalam proses pelaksanaan konstruksi, ditemui masalah bahwa hampir semua pekerjaan di sektor jalan dan jembatan tidak dapat diselesaikan tepat waktu seperti yang direncanakan semula. Selain itu, juga ditemukan bahwa beberapa personel konsultan supervisi yang ternyata kurang memenuhi persyaratan. Evaluasi lalu dilakukan untuk menemukan penyebab semua masalah ini. Hasilnya adalah sesuatu yang tidak terpikirkan oleh banyak orang aslinya. Hal ini terutama disebabkan karena beberapa faktor yang terjadi di lapangan, seperti salah dalam perhitungan rencana anggaran biaya (RAB), kurangnya kesiapan kontraktor dalam melaksanakan pekerjaan, kurangnya peralatan kerja, dan kendala dari masyarakat sekitar. Ternyata kontraktor yang mengerjakan proyek BRR sebenarnya tidak hanya bekerja untuk BRR. Mereka juga mengerjakan pekerjaan yang sejenis pada Dinas PU kabupaten, provinsi maupun yang berasal dari LSM. Awal dan akhir masa pelaksanaan pekerjaan pun juga relatif sama.

94

Akibatnya adalah tidak semua pekerjaannya dapat selesai tepat waktu karena sebenarnya peralatan yang dimiliki tidak bertambah. Yang terjadi adalah alat pada suatu paket tertentu dipindahkan ke paket lain untuk menyelesaikan paket tersebut, kemudian dipindah lagi ke paket lain dan seterusnya. Situasi yang dihadapi personel konsultan supervisi juga tak jauh berbeda. Diduga hal ini disebabkan karena begitu banyaknya paket pekerjaan selama masa rehabilitasi/ rekonstruksi berlangsung di Provinsi NAD dan Nias. Dan pada saat yang sama sangat sulit untuk selalu mendapatkan orang yang berkualitas dalam bidang pengawasan pekerjaan dalam jumlah yang memadai.

Sarana dan Prasarana Bangunan


Kegiatan dalam sektor ini umumnya berupa pembangunan gedung perkantoran pemerintah daerah dan bangunan publik. Bangunan yang paling banyak dikerjakan adalah bangunan pemerintah daerah terutama di Kabupaten Aceh Jaya, Banda Aceh, Meulaboh, Nagan Raya, Bireuen, Pidie, dan Simeulue. Sementara bangunan untuk Pemerintah Provinsi Aceh, TNI, kepolisian dan kejaksaan dibangun berupa penggantian bangunan lama yang rusak atau membutuhkan rehabilitasi. Bangunan pemerintah utamanya membangun kantor bupati dan dinas teknis di Aceh Jaya, kantor dinas teknis dan rumah dinas Wali Kota/Wakil Wali Kota Banda Aceh serta 10 buah kantor kejaksaan negeri. Sementara untuk tingkat provinsi berupa kantor Kejaksaan Tinggi Banda Aceh, kantor kapolda, gedung arsip, gedung keuangan, dinas teknis tingkat provinsi dan gedunggedung TNI termasuk fasilitasnya. Keseluruhan program ini ditujukan untuk pemulihan fungsi pemerintah dan fungsi pelayanan baik administrasi, keuangan maupun hukum. Bangunan publik berupa pembangunan escape building di Kota Banda Aceh, Sigli, Lhokseumawe, Meulaboh, dan Calang. Untuk Kota Banda Aceh, pembiayaannya disediakan oleh pemerintah Jepang melalui JICS, sementara selebihnya dari APBN yang dilaksanakan oleh BRR. Di Banda Aceh dan Pidie, dibangun museum yang berfungsi untuk merekam kejadian tsunami dalam bentuk foto, data elektronik, dan bendabenda peninggalan yang mengesankan kejadian tsunami. Kegiatan penting lain dalam bidang bangunan gedung adalah penyediaan bantuan teknis bagi semua pihak di BRR yang memiliki program bangunan gedung. Jenis bangunan yang dievaluasi mencakup rumah sakit, perkantoran pemerintah, rumah ibadah, dan bangunan publik.

Bagian 6. Menaklukkan Masalah Menggapai Tujuan

Kontraktor ini sebenarnya memiliki keterbatasan kemampuan terhadap jumlah paket yang dapat ditangani. Akan tetapi kepentingan bisnis mendorongnya untuk mengikuti dan berusaha memenangkan lelang semua paket yang ada.

95

INFRASTRUKTUR: Memacu Sektor Pemicu

Kawasan Percontohan dengan Infrastruktur Lingkungan Permukiman Desa dan Kota


sudah mulai menunjukkan hasil di akhir 2005, banyak pihak mengkhawatirkan bahwa kawasan Meuraxa (di sekitar Ulee Lheue) akan menjadi wilayah kumuh, dengan pendekatan rekonstruksi yang dilakukan oleh BRR saat itu. Memang pada saat itu pembangunan rumah bantuan LSM di Meuraxa sudah mulai dilaksanakan dengan pendekatan membangun di atas tapak lokasi rumah yang lama sehingga terkesan tidak teratur. Bersamaan dengan masa itu, BRR sudah melaksanakan beberapa penyiapan village planning, suatu perencanaan desa atau kampung dengan pendekatan komunitas. Antara LSM, BRR ada diskusi, bagaimana membangun permukiman yang baik. Inisiatif dari masyarakat pun sudah mulai tumbuh sejak awal sebagai inisiatif masyarakat sendiri, terutama di Desa Deah Geulumpang, Kecamatan Meuraxa, yang desanya dipimpin oleh Geuchik John. Bahkan peta desa tersebutlah yang pertama disebut village planning. Proses planning tersebut dihasilkan dari kesepakatan masyarakat berkaitan dengan rencana akhir kampung mereka. Dalam proses kesepakatan ada juga usul untuk restrukturisasi infrastruktur kampung yang berakibat pada konsolidasi lahan. Tapi kebanyakan desa ini tidak menyepakati adanya konsolidasi lahan karena akan mengambil lahan mereka untuk ruang infrastruktur publik. Diputuskan infrastrukturnya dibangun mengikuti lahan yang tersedia dan letak rumah pun tetap dibangun di atas tapak lama. Setelah periode tersebut, kegiatan village planning berjalan secara agresif. Banyak pihak mulai dari UNDP, AUSAID,

PADA saat pembangunan rumah

USAID dan BRR serta LSM lainnya membiayai penyiapannya. Awalnya bergerak di sekitar Meuraxa kemudian diikuti desa lain di hampir seluruh kawasan yang terkena langsung tsunami di sepanjang pantai barat. Dari semua itu, terdapat desa yang bersedia mengakomodasi konsolidasi lahan, dan terdapat juga yang menolak proses konsolidasi tersebut. Hasil konsolidasi lahan selain memperbaiki infrastruktur, juga mengatur tata letak rumah sehingga menjadi tertata rapi seperti di real estate. Proses penyiapan village planning dengan konsolidasi lahan berjalan lebih lambat karena membutuhkan waktu untuk bersepakat, akhirnya mereka sepakat dan mewujudkan full land consolidation di Desa Lambung. Dengan adanya kekhawatiran para pihak mengenai kekumuhan kawasan Meuraxa, maka BRR melalui Kedeputian Infrastruktur membuat program perbaikan kampung dengan menggunakan village planning sebagai dasar pengembangan infrastruktur tingkat desa yang terintegrasi dengan infrastruktur kota. Program ini membutuhkan desain teknis dan penyiapan dokumen lelang. Untuk seluruh Kecamatan Meuraxa dibuat oleh konsultan Sogreah dan konsultan lokal, TA sumbangan dari pemerintah Prancis. Desain infrastrukturnya, terutama jalan berhasil dengan baik, mengikuti kaidah teknis, lengkap dengan drainase dan kemiringan permukaan jalan. Untuk tahap awal, konstruksi dimulai di dua desa, yaitu Lambung dan Gampong Baro. Kedua kampung ini menjadi contoh ekstrem dari dua pola, desa dengan konsolidasi lahan dan desa dengan

96

mengikuti pola apa adanya. Konstruksi yang dilaksanakan mencakup peningkatan jalan, drainase dan perpipaan untuk air minum. Lambung menggunakan village planning dengan pola konsolidasi lahan sehingga bentuk jalannya berupa grid yang teratur. Gampong Baro dengan mengikuti lahan apa adanya sehingga bentuk jalannya mengikuti pola jalan lama, kadang lebar atau sempit. Di Lambung rumah yang dibangun oleh Kedeputian Perumahan di Lambung dibiayai oleh dana MDF ReKompak dengan pola partisipasi masyarakat. Termasuk dengan rumah, selain dari APBN, dibangun juga dua paket jalan dengan dana MDF ReKompak. Di Gampong Baro, MDF ReKompak, LSM dan BRR membangun rumah di atas tapak lama tanpa adanya pengaturan tata letak. Pada kedua desa, tapak rumah dilakukan juga penimbunan lahan agar genangan air di lahan yang rendah teratasi. Hasilnya?

Lambung menjadi desa dengan gaya real estate, sementara Gampong Baru menjadi kampung dengan infrastruktur yang cukup berfungsi baik tetapi tidak teratur. Dari dua kampung, Kedeputian Infrastruktur kemudian mengembangkan konstruksi infrastruktur kawasan di sekitar Kecamatan Meuraxa menjadi 16 kampung dan satu desa Jelingke di luar Kecamatan Meuraxa dengan biaya dari BRR tapi mencontoh praktek desain dari desadesa sebelumnya. Pada saat konstruksi Desa Lambung dan Gampong Baro dilaksanakan Kedeputian Infrastruktur, Kedeputian Perumahan pun memulai program yang sama, dari ratusan village planning yang ada untuk seluruh Aceh, dipilih yang perlu ditangani dengan lebih baik untuk dilanjutkan dengan proses penyiapan detail engineeirng design (DED) dan kemudian proses konstruksi.

Tenaga kerja lokal terlatih berperan serta dalam proyekproyek pembangunan di masa pemulihan, Banda Aceh, 14 Juni 2005. Foto : BRR/Arif Ariadi

Bagian 6. Menaklukkan Masalah Menggapai Tujuan

97

INFRASTRUKTUR: Memacu Sektor Pemicu

Domain pembangunan infrastruktur kawasan pun kembali ke pemiliknya di Kedeputian Perumahan dan Regional, setelah ada contohcontoh persiapan dan pelaksanaan infrastruktur di Kawasan Percontohan Meuraxa, dan Kedeputian Infrastruktur kemudian hanya menangani infrastruktur strategis. Kembali ke Desa Deah Gelumpang, tempat village planning berawal, konsolidasi lahan yang ditawarkan tidak diterima, tapi di Desa Lambung, desa yang bersebelahan dengan Deah Gelumpang, dapat menerima dan menerapkannya. Pemilik lahan dengan luasan yang besar, mau mengorbankan lahan yang lebih besar dibanding dengan pemilik lahan yang lebih kecil. Masyarakat Deah Gelumpang kemudian menyadari bahwa proses konsolidasi lahan ternyata menjadikan desa lebih baik dan terstruktur, tapi tidak dapat diubah lagi karena sudah selesai dikonstruksi. Harga ratarata lahan yang dikonsolidasi pun meningkat lebih baik. Inilah buah dari kerja sama dan kesepakatan. Dipadu dengan program jalan hibah ADB, program jalan hibah JICS dan program pelabuhan hibah Australia, program perbaikan kampung ini menjadikan Meuraxa atau Ulee Lheuemenjadi mahkotanya Banda Aceh. Titik di jembatan Ulee Lheue di depan Masjid Ulel, adalah permatanya. Perpaduan kedua ini menjadikan Simpang Ulee Lheue menjadi Jewel of the Crown. Kawasan ini juga ditata dengan baik untuk kegiatan publik seperti taman laguna, pusat kuliner, dan tempat wisata.

Demikian seriusnya BRR ingin mengubah image kawasankawasan perumahan yang awalnya disinyalir akan menjadi kumuh, dan melalui rekonstruksi infrastruktur pedesaan kemudian mengubah wajah desa atau kampung di Aceh, menjadi lebih baik dari kondisi sebelumnya. Konsep build back better kemudian dapat dicapai. Namun banyak pihak membayangkan bahwa membangun kembali lebih baik akan seperti kota besar penuh dengan bangunan modern. Build back better dimaksud adalah membangun kembali menjadi lebih baik dari kondisi kampung semula dengan fasiltitas tambahan escape building dan escape road bagi desa, berupa fasilitas sosial dan fasilitas umum kebutuhan desa, dan yang paling penting adalah mengubah paradigma pembangunan dan pandangan masyarakat setempat bagaimana dapat hidup sehat dan aman terutama dalam mengantisipasi bila ada bencana yang sama terjadi di masa depan.

98

Selain untuk memenuhi kelayakan bangunan, kegiatan ini berfungsi sebagai koordinasi antara BRR dan pemerintah daerah terutama agar proses serah terima gedung tidak terkendala akibat proses desain, konstruksi, dan fungsinya. Dalam kegiatan ini dilibatkan juga pemerintah daerah yang secara aktif melakukan evaluasi.

Air Minum, Drainase, dan Persampahan


Pembangunan sektor air bersih mencakup sistem perpipaan (transmisi dan distribusi), instalasi pengolahan air (IPA), intake, bak penampung air (reservoir), dan bangunan penunjang lainnya. Instalasi yang dibangun BRR sendiri berada di lokasi Aceh Besar, Sabang, Sigli, Bireuen, Aceh Jaya, Langsa, Aceh Barat Daya, Tapaktuan, dan Singkil. Sementara yang dibangun oleh donor atau LSM berada di Lambaro Banda Aceh yang dibangun oleh Swiss Red Cross, jaringan air minum di Aceh Jaya dan Aceh Barat oleh American Red Cross, jaringan air minum di Aceh Besar oleh UNICEF melalui IRD dan di Banda Aceh oleh Jepang melalui JICS. Melihat komplikasi dalam penanganan air minum di Aceh, pada 2006 Eddy Purwanto kemudian mengusulkan, regionalisasi water supply. Ada tiga regional yang berpotensi untuk membentuk integrasi PDAM, yaitu Banda Aceh dengan Aceh Besar, Langsa, Lhoksumawe dan Aceh Timur serta Aceh Barat (Meulaboh) dengan Nagan Raya. Dari ketiga regional tersebut, yang pertama dapat segera dilaksanakan adalah regionalisasi PDAM Banda Aceh dengan Aceh Besar. Kajian yang dibiayai Bank Dunia ini diperlebar juga untuk bidang persampahan, terutama untuk Kota Banda Aceh yang bersebelahan dengan Aceh Besar. Persoalan sampah di Banda Aceh sudah menjadi persoalan mulai dari manajemen pembersihan sampai lokasi pembuangannya yang sudah sangat terbatas. Lokasi pembangunan sampah di Kampung Jawa, selain direhabilitasi oleh UNDP, juga memperbesar kapasitasnya oleh BRR melalui dana MDF. Lokasi ini hanya cukup untuk kapasitas dua tahun ke depan dan harus dicari lokasi baru yang lebih besar, untuk kemudian setelah dibangun, lokasi Kampung Jawa kemudian ditutup. Institusi utama yang banyak terjun dalam bidang persampahan adalah GTZ dan UNDP. Salah satu rekomendasinya bahwa untuk Banda Aceh diperlukan satu tempat pembuangan akhir (TPA) baru yang harus diletakkan di luar Kota Banda Aceh. Lokasi yang paling tepat adalah di Aceh Besar dekat Bandara SIM (Blangbintang). BRR juga membangun instalasi pengolahan tinja (IPLT) di Lhokseumawe dan Langsa. Instalasi ini terutama di kota besar sudah mulai bermasalah, air tanahnya dangkal dan volume buangannya besar. Efeknya akan berakibat pada kesehatan lingkungan terutama

Bagian 6. Menaklukkan Masalah Menggapai Tujuan

Kegiatan utamanya berupa penilaian evaluasi kekuatan struktur untuk persetujuan oleh dinas teknis bangunan gedung baik di tingkat provinsi maupun di tingkat kabupaten/ kota, kelayakan bangunan, penyelesaian masalah, dan pendaftaran bangunan gedung.

99

bagi pengguna air tanah. Untuk Kota Banda Aceh, IPLT yang ada di Kampung Jawa yang terletak di pinggir pantai diperbaiki konstruksinya oleh JICS. Di samping itu berdekatan dengan lokasi yang lama, juga dibangun IPLT baru dengan dana dari UNICEF. Untuk kapasitan yang lebih kecil, BRR juga membangun MCK komunal di Aceh Barat, Aceh Jaya, Aceh Timur, Aceh Selatan, Simeuleu, Aceh Singkil, Aceh Besar, dan Pulau Nias. Hal ini ditujukan untuk peningkatan kesehatan lingkungan dan membangun budaya bersih di masyarakat pedesaan. Program drainase perkotaan dikonsentrasikan terutama di Kota Banda Aceh, Lhokseumawe, dan Meulaboh. Dengan menggunakan perencanaan yang tersistem yang dihasilkan oleh konsultan DHV Belanda yang dibiayai oleh hibah juga dari pemerintah Belanda, Banda Aceh dibagi dalam tujuh zona. Dalam masa BRR, konstruksi yang dapat diselesaikan adalah drainase Kota Banda Aceh zona II dan zona III yang dibiayai oleh pemerintah Jepang dan MDF. Kedua proyek ini telah dapat mengatasi genangan air di kota dan mengurangi risiko banjir kala hujan deras terjadi. Drainase Kota Lhokseumawe sementara ini sedang dalam masa konstruksi yang penyelesaiannya akan dilanjutkan oleh Departemen PU. Konstruksi sistem pembuangan air limbah ini dengan menggunakan sistem reservoir dan pompa yang digelontor secara periodik. Sementara drainase Kota Meulaboh akan menjadi satu kesatuan dengan drainase Kota Banda Aceh yang konstruksinya akan berjalan di luar masa BRR. Pembiayaan program ini akan diperoleh melalui pinjaman dari pemerintah Jepang dan pemerintah Prancis. Hingga Desember 2008 telah dibangun saluran drainase sepanjang 82.714 ribu meter oleh BRR NADNias dan hampir sepanjang 517.753 ribu meter oleh LSM, yang terdiri dari saluran primer, sekunder, dan tersier/kuarter, termasuk bangunan/ peralatan penunjangnya (pintu air, bangunan perlintasan, pompa air, dan lainlain).

100

INFRASTRUKTUR: Memacu Sektor Pemicu

Kelistrikan dan Energi


Rehabilitasi dan rekonstruksi kelistrikan dimulai dari down stream (sambungan rumah) kemudian ke jaringan tegangan rendah (JTR), jaringan tegangan menengah (JTM), dan terakhir masuk ke pembangkit listrik tenaga diesel. Bagian penting dari semua ini adalah tersedianya sambungan rumah yang dibangun oleh BRR dan donor/LSM. Setiap rumah yang dibangun oleh kedeputian perumahan atau donor/LSM dilengkapi dengan jaringan listrik di dalamnya. Kemudian Kedeputian Bidang Infrastruktur melengkapinya dengan meteran dan sambungan listrik PLN. Sampai akhir 2008, hampir 122 ribu sambungan rumah telah diselesaikan, termasuk di rumah bangunan baru maupun rehabilitasi sambungan yang rusak akibat tsunami. Dalam melakukan sambungan, BRR dan PLN membebaskan masyarakat korban tsunami dari biaya untuk pemasangan sambungan rumah. Eks pelanggan dibebaskan

Rumahrumah yang telah selesai dibangun BRR NADNias atau LSM/donor secara otomatis ditangani sambungan listriknya di mana pun rumah tersebut dibangun. Terhadap banyak keluhan bahwa banyak rumah dibangun tapi listrik tak ada, hal itu karena mereka tidak memahami prosedur pemasangan listrik. Listrik akan disambungkan bila pemilik rumah sudah jelas atau rumah sudah dihuni guna menjamin adanya kontrak penyambungan serta adanya jaminan pembayaran tagihan setiap bulan. Jika ditemukan adanya rumah yang sudah selesai tapi tidak memiliki listrik, sangat dimungkinkan karena belum adanya penghuni. Untuk jaringan listrik besar, hal itu sebenarnya menjadi tugas PLN. Tapi karena PLN tidak memiliki program yang khusus untuk menyambungkan jaringan lingkungan perumahan dengan jaringan tegangan yang lebih tinggi, maka BRR menangani pengembangan jaringan juga. Kondisi ini sangat dilematis, rumahrumah yang telah selesai dan memiliki jaringan dalam rumah, tidak memiliki aliran listrik akibat tidak adanya jaringan. Ditambah lagi, persoalan pasokan listrik yang kurang bagi Aceh dan wilayahwilayah yang terisolasi, maka BRR juga harus menyediakan pembangkit listrik tenaga diesel sebanyak 12 unit dengan pasokan keseluruhan melebihi 10 MW, terutama di Meulaboh, Sabang, Pulau Aceh, Calang, dan Nias. Kebutuhan listrik di Aceh sangat tinggi. Pasokan utama saat ini, selain oleh listrik tenaga diesel yang ada di Aceh, juga disuplai dari PLN Provinsi Sumatera Utara. BRR tidak masuk menangani pembangkit listrik besar, tapi turut mendorong adanya penanganan pembangunan Bendung Peusangan oleh PLN dengan dana JBIC serta kajian dan eksplorasi panas bumi di Seulawah oleh donor Jerman. Ada banyak rencana pengembangan listrik di Aceh, di antaranya memanfaatkan pembangkit yang ada di Lhokseumawe yang dimiliki PT Pupuk Iskandar Muda (PIM) jika adanya pasokan gas untuk pembangkit tersebut. Selanjutnya swasta dari Media Group juga membangun pembangkit listrik tenaga batu bara, dengan ditemukannya deposit batu bara muda di sekitar Nagan Raya. Kedua program terakhir ini lebih banyak digeluti oleh pemerintah Aceh. Rumahrumah yang tidak berada di daerah yang mempunyai jaringan listrik PLN, seperti di daerah pedalaman, maka pelayanan listrik ditangani melalui pemberian secara cumacuma pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) dengan kapasitas 50 watt per unit. Sebanyak 4.127 unit terpasang di seluruh Aceh. Di daerah yang memiliki potensi air terjun dikembangkan pembangkit listrik mikrohidro (PLTMH) yang utamanya di daerah pegunungan di sekitar Takengon, Nagan Raya, dan Gayo Lues. Sebanyak enam buah dibangun oleh BRR dan dua buah oleh Yayasan IBEKA dengan total 850 KW. Selain untuk memasok kebutuhan listrik, hal ini juga untuk menjaga

Bagian 6. Menaklukkan Masalah Menggapai Tujuan

dari biaya sambungan dan jaminan pelanggan. Sedangkan pelanggan baru dibebaskan dari biaya sambungan rumah tapi tetap masih harus membayar uang jaminan pelanggan.

101

pelestarian hutan. Masyarakat diminta ikut serta menjaga kelestarian hutan agar pasokan air selalu terjamin dengan demikian mereka bisa mendapat listrik secara kontinu. Dengan sangat terbatasnya suplai BBM di Simeulue, maka harga solar dan bensin sangat mahal, bahkan sampai mencapai tiga kali lipat. Bahkan bisnis bahan bakar di Simeulue sangat sarat dengan persoalan perizinan pasokan, izin angkutan dan persoalan penimbunan. Untuk mengatasi hal ini, BRR bekerja sama dengan Pertamina membangun depo BBM agar suplainya memenuhi kebutuhan dan harga dapat diturunkan. Mekanisme yang digunakan dalam program ini adalah dengan membiayai sebagian pembangunan infrastruktur depo, sebagai lanjutan pembangunan yang telah dilaksanakan oleh Pertamina. Persoalan BBM di Simeulue akhirnya dapat diselesaikan dan segera bisnis BBM di sana berubah normal sebagaimana yang terdapat di wilayah Pulau Sumatera.

INFRASTRUKTUR: Memacu Sektor Pemicu

102

Sumber Daya Air dan Pengaman Pantai


Penanganan sungai untuk pengendalian banjir konstruksinya dikaitkan dengan pembangunan drainase. Kota Banda Aceh, Sigli, Lhokseumawe, Calang, Singkil, dan Meulaboh dibangun jaringan drainase sekaligus juga dengan sistem pengendali banjir. Rencana kegiatannya berupa pembangunan pengaman bantaran sungai, pengerukan dan pembangunan saluran drainase. Khusus untuk Kota Lhokseumawe, Banda Aceh dan Meulaboh, paket konstruksinya didanai dari hibah dan pinjaman. Kegiatan yang telah selesai dilaksanakan adalah rehabilitasi Sungai Krueng Aceh yang dibiayai oleh pemerintah Jepang melalui JICS. Sungai ini merupakan salah satu zona makrodrainase Banda Aceh. Pelaksanaan kegiatan ini bersamaan dengan pelaksanaan drainase yang dibiayai oleh MDF melalui LSM MuslimAID. Selanjutnya pemerintah Jepang membiayai satu zona di Banda Aceh melalui pinjaman lunak dari JBIC, dan seluruh zona drainase di Kota Meulaboh. Pemerintah Prancis memberikan pinjaman lunak melalui AFD untuk membiayai pembangunan makro dan mikrodrainase di lima zona di Banda Aceh. Pengaman pantai umumnya berupa pembangunan konstruksi penahan gelombang. Kegiatan ini utamanya diprogramkan di kota besar yang padat penduduk seperti Banda Aceh, Lhokseumawe, Meulaboh, Calang, dan Singkil. Di Banda Aceh misalnya, sepanjang pantai di Ulee Lheue dibangun tanggul penahan gelombang berupa susunan batu alam. Bagi daerah yang mengalami genangan pada saat air pasang seperti Banda Aceh dan Meulaboh, dibangun juga tanggul air pasang. Lokasinya terutama untuk memisahkan daerah genangan seperti tambak, penampungan air, dan dataran rendah dengan permukiman masyarakat. Di Kecamatan Meuraxa misalnya, sepanjang laguna berseberangan dengan pelabuhan penyeberangan dibangun tanggul air pasang sehingga wilayah permukiman terebas dari banjir akibat pasang naik.

ADB merupakan donor yang paling intens untuk rehabilitasi dan rekonstruksi bidang irigasi melalui program ETESP. Kegiatan ini dilakukan dengan pola partisipasi masyarakat. Kontrak langsung dikerjakan dengan komunitas pemanfaatan saluran irigasi tersebut. Faktor yang sangat berperan menyukseskan program kemitraan ini adalah tersedianya pendamping sebagai fasilitator. BRR sendiri melaksanakan perbaikan saluran irigasi dengan pola konstruksi. Konstruksi berupa perbaikan saluran irigasi untuk melayani 124.590 ribu hektare sawah yang hampir seluruhnya berada di sepanjang wilayah pantai, mulai dari Kabupatan Aceh Timur sampai Aceh Selatan, kecuali satu di Aceh Tenggara dan Pulau Simeulue.

Jalan dan jembatan yang memotong Sungai Alas di Kutacane, Aceh Tenggara, 22 Desember 2008. Foto: BRR/Arif Ariadi

Tata Ruang
Salah satu tugas penting dalam bidang ini adalah menyiapkan rencana tata ruang wilayah (RTRW) provinsi, kabupaten dan kota, sebagaimana yang diamanatkan dalam Perpres 30 Tahun 2005. Walaupun hal ini sebenarnya menjadi tanggung jawab pemerintah daerah, BRR membantu dalam proses penyusunan RTRW tersebut. Sampai akhir 2007, kemajuan yang telah dicapai hingga saat ini adalah sebanyak 300 buah RTRW dalam berbagai tingkatan mulai dari tingkat provinsi dan desa.

Bagian 6. Menaklukkan Masalah Menggapai Tujuan

103

INFRASTRUKTUR: Memacu Sektor Pemicu

Namun menjelang proses ke arah qanun (peraturan daerah), pemerintah menerbitkan UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Bagian yang berbeda dengan perpres aslinya adalah jangka waktu perencanaan yang semula 15 tahun diubah menjadi 20 tahun dan harus disesuaikan dengan jangka waktu RPJM. Kondisi ini mengakibatkan seluruh RTRW (provinsi/kabupaten/kota) yang telah disusun BRR perlu disesuaikan kembali. Agar RTRW yang disusun oleh BRR dapat dimanfaatkan dalam pembuatan qanun, maka pada 2008, BRR bekerja sama dengan pemerintah daerah melakukan penyesuaian RTRW sebagaimana amanat UU No. 26 Tahun 2007. Secara hierarkis, penyusunan RTRW dimulai dari RTRW provinsi, RTRW kabupaten/kota, RTRW kecamatan, dan RTRW desa. Namun bila prosedur normal ini dipilih maka sampai 2011 BRR mungkin baru menyelesaikan rencana tata ruang saja belum melaksanakan pembangunan fisik. Apalagi kondisi wilayah setelah tsunami yang rusak berat serta data dasar wilayah sebelum dan pascatsunami yang minim akan memerlukan waktu yang cukup panjang untuk menyiapkan RTRW, sementara proses rehabilitasi dan rekonstruksi tidak akan cukup waktu sampai rencana tata ruang selesai. Dalam pelaksanaan praktisnya, RTRW provinsi, kabupaten dan kota kurang dapat dipakai untuk pedoman pembangunan di lapangan. Justru yang lebih berperan adalah RTRW desa dan RTRW kecamatan. Sekitar 6070 persen dari rencana tata ruang dapat dijadikan sebagai pedoman pelaksanaan pembangunan fisik. Sinkronisasi antara berbagai tingkatan rencana tata ruang tersebut sangat diperlukan sehingga tidak terjadi tumpangtindih perencanaan. Kritik yang sering muncul dari masyarakat adalah mengapa BRR tetap membangun perumahan di dalam garis sempadan pantai, padahal telah disarankan bahwa dua kilometer menjauhi pantai tidak dimanfaatkan untuk permukiman. Hal ini sulit diwujudkan karena, (i) dalam perpres tidak dijelaskan secara rinci, terdapat dua pendapat yang berbeda, pada satu sisi menetapkan garis sempadan pantai, namun bagian lain tidak disebutkan bahwa tata ruang mengikuti sempadan pantai, (ii) memindahkan penduduk yang tinggal di kawasan pantai ke wilayah yang aman jauh dari pantai akan memerlukan biaya besar untuk pembebasan lahan kawasan pantai dan pembelian lahan baru pengganti. BRR tidak memiliki dana untuk kedua pos pengeluaran tersebut dan (iii) penduduk yang tinggal di kawasan pantai umumnya bermata pencaharian sebagai nelayan, sehingga memindahkan mereka ke wilayah yang lebih jauh dari pantai akan menyulitkan mereka dalam mendukung kegiatan ekonomi seharihari dan dalam kehidupan sosial yang sudah solid di pantai.

104

Lingkungan
Pelaksanaan rekonstruksi infrastruktur juga sangat ketat mengikuti prosedur lingkungan. Hal ini diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Amdal dan peraturan Menteri Lingkungan Hidup yang terkait dengan amdal meliputi pedoman pelaksanaan studi analisis mengenai dampak lingkungan, Penyusunan Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL) dan Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL), penetapan baku mutu lingkungan, pedoman penilaian kerusakan lingkungan, dan jenisjenis pengaturan lainnya. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang amdal, proses rekonstruksi yang mengubah bentang alam dan mengeksploitasi sumber daya alam tersebut juga wajib dilengkapi dengan analisis mengenai dampak lingkungan. Kewajiban tersebut ditetapkan untuk mengantisipasi timbulnya dampak penting terhadap lingkungan. Apabila dampaknya termasuk kategori tidak penting, maka perlu dilakukan upaya pengelolaan lingkungan dan upaya pemantauan lingkungan yang terencana melalui penyiapan RKL dan RPL yang sama pentingnya dengan dokumen perencanaan konstruksi lainnya. Program utama bidang lingkungan di infrastruktur adalah menyiapkan dokumen amdal untuk paketpaket terutama yang besar seperti pembangunan pelabuhan, bandara, pembangunan jalan baru dan drainase besar. Bersamaan dengan dokumen ini adalah juga dokumen pembebasan tanah yang disebut Land Acquisition and Resettlement Action Plan (LARAP). Karena sebagai bagian dari dokumen perencanaan, maka kedua jenis dokumen harus sudah selesai sebelum pekerjaan dilelang. Pada kenyataannya kedua dokumen penting ini bisa menjadi memperlambat proses rekonstruksi karena penyiapannya lama dan membutuhkan persetujuan Bappedalda dan donor. Bagi rekonstruksi yang dibiayai dengan APBN, meskipun hal penting, BRR mengambil langkah melanjutkan tetap rekonstruksi namun proses amdalnya dilakukan berbarengan dengan proses konstruksi atau dan diaplikasikan melalui mekanisme review design. Bagi yang ketinggalan, atau pelaksanaan rekonstruksinya sudah selesai, maka prosedur lingkungan dilakukan dengan penyiapan dokumen pengelolaan dan pemantauan lingkungan dalam suatu kawasan atau kluster. Prosedur ini adalah merupakan fleksibilitas yang diberikan oleh Kementerian Negara Lingkungan Hidup bagi infrastruktur yang telah selesai dibangun, bahwa semuanya harus dipantau dampaknya melalui pengumpulan rona lingkungan hidup (fisik, biologi, sosial, ekonomi, dan budaya) dan diperkirakan beban akumulasi dampak negatif yang timbul misalnya pencemaran air, pencemaran udara dan kebisingan, potensi konflik dengan satwa, kerusakan hutan, dan jenis dampak rekonstruksi lainnya dalam suatu kawasan.
Bagian 6. Menaklukkan Masalah Menggapai Tujuan

105

INFRASTRUKTUR: Memacu Sektor Pemicu

Rekomendasi umumnya yang keluar adalah sama dengan dokumen amdal berupa mitigasi terhadap dampak atau pemeliharaan lingkungan. Penanganan dampak negatif tersebut dilakukan secara terintegrasi oleh semua sektor terkait dalam suatu wilayah. Integrasi penanganan dampak negatif tersebut juga dapat mengurangi waktu maupun biaya yang harus disediakan oleh masingmasing sektor. Bagi pekerjaan yang dibiayai oleh donor, prosedur ini tidak dapat ditiadakan atau dilompati. Bahwa seluruh infrastruktur yang dibangun harus memiliki dokumen amdal atau RKL/RPL dan yang memerlukan lahan, harus menyiapkan dokumen LARAP terlebih dahulu. Bank Dunia dan ADB sangat ketat menerapkan prosedur ini dan menjadi bagian persetujuan proyek atau no objection letter (NOL). Fleksibilitas yang diberikan kedua donor ini adalah bahwa pelelangan dapat dilakukan namun penandatanganan kontrak harus didahului dengan persetujuan amdal. Persetujuan LARAP juga hampir sama, hanya pada ADB selain nilai penggantian lahan yang dapat diterima oleh masyarakat, juga harus dipenuhinya biaya hidup keluarkan terkena dampak, jika pada lahan tersebut pemilik lahan memiliki kegiatan ekonomi seperti warung, tambak atau pertanian. Prosedur ini sangat tidal lazim dan tidak dapat diakomodasi dalam sistem penganggaran pemerintah. Hal ini mengakibatkan lambatnya proses rekonstruksi kawasan Ulee Lheue karena konstruksi dapat dimulai jika dalam LARAP dimasukkan juga pembiayaan terhadap pembiayaan akibat terganggunya perekonomian pemilik lahan yang dibebaskan. Pengalaman dengan donor lain seperti JBIC dan AFD, karena proses persiapannya cukup panjang, maka dokumen amdal atau RKL/RPL dan LARAP telah dapat disediakan sebelum proses pelelangan dilakukan. Untuk kegiatan rehabilitasi, Meneg KLH merekomendasikan cukup dengan penyediaan SOP mengingat dampaknya terhadap lingkungan sangat kecil atau bahkan dapat ditoleransi. Rekomendasinya berupa penyediaan tandatanda atau ramburambu dan penambahan infrastruktur penampungan air, atau kolam penampungan limbah. Terutama di base camp, hal ini sangat penting diperhatikan karena memproduksi banyak limbah konstruksi maupun limbah dari pekerja. Kegiatan amdal besar yang pernah dilakukan adalah amdal untuk jalan konstruksi jalan Banda AcehCalang, proyekproyek infrastruktur yang dibiayai oleh MDF seperti drainase Lhokseumawe, Pelabuhan Calang, Malahayati, Lhokseumawe dan Langsa serta jalan di sekitar Ulee Lheue yang dibiayai oleh ADB.

106

Tabel 6.1 Capaian Program Infrastruktur per Desember 2008 No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 Pelabuhan Laut Pelabuhan Ferry Rehabilitasi Rekonstruksi Bandara Airstrip Helipad Jalan Nasional Jalan Provinsi Jalan Kabubaten NAD dan Nias Pembangunan Terminal dan stasiun/pool Damri Pengadaan bus bantuan Meteorologi dan Geofisika Kantor pos Sistem Penyiaran Radio Peringatan Dini (EWSEarly Warning System) Pengadaan generator/PLTD Perbaikan Kantor PT. PLN Pembangunan PLTA Peusangan Pembangunan PLTMH (Mikro HIdro) Pembangunan PLTS Transmission Line Distribution Line Sambungan Pelanggan Gardu Distribusi Listrik Gardu Induk Listrik Depo BBM Irigasi Pengendalian Banjir Pengamanan Pantai Air Bersih Pembuangan Limbah (PLT) Tempat Pembuangan Sampah Akhir Drainase Pusat Pelatihan Mitigasi Bencana Banda Aceh Escape Building Museum Tsunami Banda Aceh Program/Kegiatan Satuan Unit Unit Unit Unit Unit km km km Unit Unit Unit Unit Paket Paket Paket Unit Unit Unit km Km Unit Unit Unit Unit ha m' m' Lt/dtk Unit Unit m Unit Unit Unit Target Sesuai Perpres 47/2008 16 8 9 3 1 933 782 3.511 16 56 8 23 1 13 1 84 8 4.084 930 1.271 122.000 597 1 1 121.884 98.765 72.454 1.430 6 7 200.000 1 5 1 Capaian 15 8 9 3 1 694,80 584,32 2.417,25 15 68 9 22 1 12 1 84 8 4.127 935 1.392 122.000 669 1 1 124.590 152.902 108.694 2.843 6 13 600.467 1 8 1 % Capaian 94% 100% 100% 100% 100% 74% 74% 69% 94% 121% 113% 96% 100% 92% 100% 100% 100% 101% 101% 109% 100% 112% 100% 100% 102% 155% 150% 199% 100% 186% 300% 100% 160% 100%

Dalam cetak biru 2005 dan atau PP 47 Tahun 2008 terdapat 73 program kegiatan untuk program 20052009. Bila dilihat dari capaian RR 20052008, sebagian besar program kegiatan sudah tercapai, kecuali beberapa proyek jalan nasional dan provinsi. Jalan Provinsi NAD dan Jalan Kabupaten NAD dan Nias diusulkan oleh Pemda NAD dan Sumatera Utara dinaikkan volumenya, tidak terselesaikan pada akhir 2008, akan diselesaikan oleh Pemda pada 2009. Sebanyak 14 pelabuhan utama sudah selesai akhir 2008. Dan ada tiga pelabuhan yang sedang dalam terlaksana yang akan diselesaikan pada 2009 di bawah pengendalian Departemen Perhubungan.

Bagian 6. Menaklukkan Masalah Menggapai Tujuan

107

Hikmah Ajar dan Kasus Menarik


Budaya Baru dari Penanggulangan Bencana

SEPANJANG sejarah di negeri ini agaknya belum pernah ada badan yang

melakukan pekerjaan seperti yang dilakukan Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi (BRR) Nanggroe Aceh Darussalam dan Nias. Badan ini diberi mandat oleh Pemerintah Republik Indonesia untuk memimpin proses rehabilitasi dan rekonstruksi di NAD dan Nias yang hancur total akibat gempa dan sapuan gelombang tsunami. Dengan beratnya tugas yang diembannya, badan ini harus menjalin hubungan dan kerja sama yang baik dengan kalangan birokrasi, pihak swasta, dan LSM. Ke dalam, badan ini juga harus mengelola tim agar bisa bekerja dengan solid dan mengelola anggaran yang ada, sehingga semua pekerjaan dapat berjalan sesuai yang diinginkan dalam cetak biru yang telah disusun meskipun dalam kenyataan di lapangan cetak biru itu tidak bisa dijadikan patokan sepenuhnya, karena setiap kawasan memiliki karakter berbeda sesuai dengan dampak bencana. Bencana alam memang tidak direncanakan, namun manusia harus menyiapkan diri bila suatu bencana datang menimpa. Itulah yang menjadi filosofi BRR dalam melaksanakan tugasnya. BRR tidak semata membangun gedung, jalan, atau jembatan. BRR berharap agar semua hasil proses rehabilitasi dan rekonstruksi menumbuhkan budaya baru.

Sejak jembatan di desa Tongkol, Ulee Lheue, Banda Aceh, rampung dibangun ADB, masyarakat tidak lagi mengalami kemacetan lalu lintas di daerah tersebut, 13 Juli 2008. Foto: BRR/Arif Ariadi

Bagian 7. Hikmah Ajar dan Kasus Menarik

109

INFRASTRUKTUR: Memacu Sektor Pemicu

Model pembangunan yang digunakan BRR bisa dijadikan pedoman dalam membangun. Staf pemerintah daerah dan kontraktor lokal bisa belajar dari kegiatan yang ada di BRR dengan cara aktif berkecimpung dalam kancah proses rehabilitasi dan rekonstruksi. Sedangkan pemerintah daerah dapat meningkatkan kemampuan mereka dalam melaksanakan pembangunan di daerahnya. Kini, setelah proses rehabilitasi dan rekonstruksi usai, menjadi kewajiban bagi pemerintah untuk menerapkan program pemeliharaan yang terstruktur dan melembaga. Banyaknya pertambahan infrastruktur ini sebagai lompatan aset yang besar bagi pemerintah daerah, sekaligus beban pemeliharaan. Jika tidak dilakukan pemeliharaan yang baik, bukan mustahil umur aset ini pun akan pendek dan menimbulkan persoalan baru. Sedangkan bagi masyarakat sendiri harus mulai diberikan pemahaman dan pelatihan mengenai pemanfaatan asetaset yang sudah dibangun. Caranya mudah saja, di antaranya tidak membuang sampah di selokan dan menghindarkan bahu jalan dari penggunaan yang tidak tepat. Untuk aset lain, misalnya sambungan listrik dan air bersih, masyarakat harus dibiasakan membayar iuran listrik, air, dan bahkan iuran sampah. Tentu saja ini merupakan hal baru bagi mereka yang sebelumnya tidak menerima fasilitas seperti yang dibangun dalam rekonstruksi.

110
Pekerjaan pipa jaringan air bersih di kawasan Kahju, Aceh Besar, 24 Oktober 2008. Foto: BRR/Arif Ariadi

Aksi Afirmasi Membela Pengusaha Lokal


Anggota parlemen dari daerah pemilihan Aceh sangat menaruh perhatian terhadap keterlibatan pengusaha Aceh dalam kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi. Kondisi pengusaha Aceh masih sangat lemah dan belum bangkit akibat hilangnya aset, dokumen administrasi, sumber daya manusia, dan kemampuan finansial. Mereka tidak bisa berbuat banyak pada saat BRR mulai bekerja pada Mei 2005. Para pengusaha Aceh adalah orangorang Aceh yang berdomisili dan beraktivitas di Aceh, atau yang tinggal di luar Aceh dan kemudian datang ke Aceh untuk berbisnis, serta orangorang Aceh yang mendukung pengusaha mana saja, baik di luar atau dari Aceh sendiri, dan berperan sebagai penghubung atau agen. Pada Juli 2005 Daftar Isian Proyek Anggaran (DIPA) bidang infrastruktur yang disetujui masih kecil, berkisar Rp 1,24 triliun. Waktu itu, kapasitas BRR masih belum penuh, dokumen desain, dan dokumen lelang belum tersedia. Informasi aktual lapangan pun belum dimiliki. Begitu pelelangan dimulai, BRR diminta menyampaikan affirmative action untuk berpihak pada pengusaha Aceh. Faktanya, pelelangan berjalan, pada tahun pertama tidak banyak pengusaha luar yang berani masuk ke Aceh. Hampir seluruh kegiatan konstruksi dilakukan pengusaha lokal Aceh, termasuk BUMN yang berkecimpung di Aceh. Pada tahun kedua mulai ada pengusaha kecil yang berusaha masuk ke bisnis besar rehabilitasi dan rekonstruksi. Namun mereka tidak memiliki perusahaan yang sesuai, kemudian meminjam perusahaan besar dari luar Aceh untuk mengikuti lelang. Dari hasil evaluasi keterlibatan pengusaha Aceh pada tiga tahun pertama, dalam hal jumlah paket berkisar 8088 persen jatuh ke tangan pengusaha lokal sesuai definisi di atas. Pada tahun kedua, jumlah tersebut berkisar 7074 persen dari total nilai pada dua tahun pertama. Selebihnya, kegiatan konstruksi dipegang pengusaha luar. Agaknya para pengusaha Aceh sebagian besar sudah cukup mampu bersaing dengan pengusaha luar. Kompetisi yang fair justru lebih membuka peluang bagi pengusaha lokal karena pertimbangan lokasi, penguasaan wilayah, dan penguasaan sumber daya. Baik dengan atau tanpa affirmative action pun, mayoritas kegiatan konstruksi tersebut akan dipegang pengusaha Aceh. Dengan capaian tiga tahun pertama dan semakin kuatnya peran para pengusaha Aceh dalam kegiatan rekonstruksi, isu tentang keterlibatan masyarakat tidak menjadi persoalan lagi.

Bagian 7. Hikmah Ajar dan Kasus Menarik

Penyediaan fasilitas dan pemberian pelayanan optimal kepada publik adalah tanggung jawab pemerintah, tetapi untuk menjaga kelangsungan fasilitas tersebut masyarakat turut memelihara dan dengan penuh kesadaran membayar iuran sesuai penggunaan fasilitas publik tersebut. Sikap baru ini hendaknya tumbuh dari generasi ke generasi, sehingga menjadi budaya baru.

111

Konsisten terhadap Aturan Kontrak


INFRASTRUKTUR: Memacu Sektor Pemicu

Di paruh kedua kegiatan rekonstruksi, timbul persoalan dengan sejumlah kontraktor yang terlibat dalam konstruksi. Saat pelelangan acapkali ditemukan dokumen jaminan yang tidak sahih. Ada pula kontraktor yang tidak mampu menyelesaikan kegiatan sesuai waktu yang tertera dalam kontrak, persoalan kualitas konstruksi, dan pengunduran diri atau mangkir dari pekerjaan konstruksi yang telah disepakati. Pada tahap pertama terdapat 58 kontraktor yang masuk daftar hitam. Di tahap berikutnya ada 46 kontraktor lagi dimasukkan dalam daftar hitam. Terakhir jumlah itu bertambah lagi sebanyak 24 perusahaan, sehingga seluruhnya mencapai 129 perusahaan. Di antara para kontraktor tersebut ada 18 perusahaan yang terlibat dalam kegiatan infrastruktur. BRR sangat ketat menerapkan aturan kualitas, jaminan, dan ketepatan jadwal. Alhasil tak jarang kontraktor harus mengganti sebesar nilai jaminan akibat kegagalan dalam menyelesaikan tugas. Sikap ini menunjukkan konsistensi terhadap klausul kontrak, agar dapat menimbulkan efek jera atau bahkan pelajaran bagi kontraktor lain.

112

Pengutamaan Program Gender


Salah satu fokus kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi di Kota Sabang selain menyelamatkan sumber air bersih Sungai Pria Laot adalah menyediakan fasilitas domestik bagi kaum perempuan setempat, berupa bangunan tempat mencuci. Program ini merupakan bentuk perhatian kepada kaum perempuan di Kota Sabang, mengingat kaum perempuan adalah kelompok masyarakat yang paling langsung merasakan dampak bencana alam. Awalnya, program BRR hanya membangun fasilitas instalasi pengolahan air (IPA) di tepi Sungai Pria Laot, mulai dari hulu hingga agak ke hilir sungai. Namun rupanya lokasi sumber pasokan air bagi IPA tersebut, terutama di arah hulu, dimanfaatkan penduduk setempat terutama kaum ibu untuk mandi dan mencuci pakaian. Mereka memanfaatkan kejernihan dan tawarnya air Sungai Pria Laot, karena di hilir air sungai sudah agak payau akibat pengaruh air laut. Untuk menjaga stabilnya debit pasokan air sebesar 40 lt/dt dan kebersihannya, kegiatan mencuci pakaian harus dipindahkan lebih ke arah hilir atau berada sesudah lokasi intake air. Jika tidak, dalam jangka panjang hal ini bisa menyebabkan terganggunya pasokan air dan menurunnya kualitas air. Sementara itu, kalau tempat cuci tidak dibuat, warga setempat akan memindahkan kegiatan mereka ke arah hulu dan menimbulkan persoalan bagi IPA Pria Laot, karena kegiatan mencuci tersebut dapat mengakibatkan pencemaran air baku yang akan diolah IPA tersebut. Kebiasaan kaum perempuan yang sudah berlangsung lama itu tidak mungkin dipindahkan begitu saja atau dipertahankan. Akhirnya ditempuh jalan tengah dengan

membuat tempat khusus mencuci yang dibuat permanen dari semen dan ditempatkan di tepi sungai dekat lokasi IPA Pria Laot. Tempat mencuci ini dibuat sederhana, dilengkapi keran air, dan didesain sesuai kebiasaan mereka mencuci seharihari. Ternyata, pembuatan tempat cuci berbiaya sangat murah itu dapat menyelesaikan masalah: mengamankan air baku IPA Pria Laot, sekaligus kaum perempuan dapat tetap melakukan kegiatan mencuci di sungai dengan tempat lebih baik dan pasokan air yang memadai. Inilah hasil kerja sama. Jika kedua pihak dapat memahami tujuan pembangunan, dengan memenuhi kebutuhan masyarakat sekitar akan tercapai sasaran pembangunan sekaligus memberi apresiasi terhadap kaum perempuan.

Proyek pembangunan terminal tipe B di Takengon, Aceh Tengah. Proses pembangunan terminal ini pernah mengalami masalah. Foto diambil pada 23 Desember 2008. Foto: BRR/Arif Ariadi

Jalan Lintas JanthoKeumala Menerobos Hutan Lindung


Lintas JanthoKemala adalah bagian segmen lintas tengah Banda Aceh mulai dari Seulimun, Jantho, Keumala, Geumpang, sampai Takengon. Pembangunan lintas JanthoKemala akan memperpendek jarak Banda Aceh ke Takengon. Ruas ini termasuk jalan nasional, sebagian ruas tersebut pernah ditangani Departemen Pekerjaan Umum

Bagian 7. Hikmah Ajar dan Kasus Menarik

113

melalui Dinas PU Aceh. Karena memasuki kawasan hutan lindung pinus yang termasuk jenis tanaman langka, pada 1992 Departemen Kehutanan menghentikannya sampai studi amdal (analisis dampak lingkungan) disiapkan.
INFRASTRUKTUR: Memacu Sektor Pemicu

Dengan selesainya studi amdal pada 1993, konstruksi dilanjutkan kembali. Hasil seluruh kegiatan konstruksi tersebut dapat diketahui dari bekasbekas pembangunan jalan yang ada di lapangan. Pada 1998, pekerjaan konstruksi kembali terhenti lantaran tertembaknya staf PT Pembangunan Perumahan semasa konflik. BRR memasukkan ruas ini ke dalam program rekonstruksi dengan harapan Jantho dapat menjadi kota lintasan, sehingga dapat meningkatkan perekonomian penduduknya. Kegiatan ini ada di dalam cetak biru. Sayangnya keputusan masuknya program ini tanpa informasi bahwa pernah ada perintah penghentian dari Departemen Kehutanan. Pada saat konstruksi baru dimulai, Januari 2006, Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) menghentikan pekerjaan ini bersama polisi kehutanan. BKSDA mengadukan BRR beserta jajarannya mulai dari Direktur Perhubungan, Kepala Satuan Kerja Konstruksi, Kepala Satuan Kerja Pengawasan, konsultan, dan kontraktor ke polisi karena dianggap melanggar undangundang. Sementara itu, BKSDA beranggapan BRR melakukan pelanggaran hukum, memasuki wilayah hutan lindung dan melakukan konstruksi di dalamnya. BRR lantas menarik seluruh kegiatan konstruksinya dan memindahkannya ke segmen lain. Pengadilan memutuskan staf BRR bersalah dan diberi hukuman percobaan. Kasus proyek jalan JanthoKemala ini memberi pelajaran berharga. Usulan program meskipun dalam konteks kemanusiaan, tetap harus melalui prosedur yang baku dengan informasi yang lengkap. Evaluasi terhadap latar belakang dan kelengkapan syaratsyaratnya harus tetap dilakukan secara hatihati sebelum menerima usulan, termasuk memperhatikan isuisu lingkungan.

114

Rehabilitasi Rekonstruksi Jalan LamnoCalang


Jalan LamnoCalang hancur karena tsunami. Kondisinya yang tergenang lumpur dapat menyebabkan kendaraan terperosok selama 34 hari. Untuk mendukung kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi, jalan itu harus diperbaiki, sehingga pasokan logistik untuk pembangunan maupun kebutuhan masyarakat dapat dipenuhi. Program yang ditempatkan di ruas ini hanya rehabilitasi berupa penimbunan, pengerikilan, dan pembangunan saluran, bukan pengaspalan kembali karena jalur ini akan digantikan jalur baru yang dibiayai USAID. Mengingat kondisinya darurat, dengan cepat dilakukan perencanaan kebutuhan volume jalan. Pelaksananya kontraktor dengan proses penunjukan langsung. Seluruh proses berjalan dalam otoritas Dinas Prasarana Wilayah, karena pendanaannya dikuasakan dan Satuan Kerjanya diangkat Departemen PU.

Selain volume jalan, dipersoalkan juga perbedaan harga satuan material antara perhitungan awal dan kenyataan di lapangan. Awalnya dihitung jarak kirim materialnya jauh dan mengikuti alur transportasi yang ada. Lalu kontraktor karena pertimbangan waktu melakukan pembangunan jalan baru untuk angkutan dan pembuatan jembatan sementara di sepanjang sungai. Hasil investigasi Satuan Antikorupsi (SAK) BRR menyatakan temuan berupa pengembalian terhadap kerugian negara. Penilaian didasari atas perbedaan ketebalan setelah selesai konstruksi dibandingkan dengan ketebalan kerikil setelah terjadi masa banjir dan hujan serta perawatan yang setiap minggu yang telah berumur setahun. Meyakinkan pemeriksa bahwa harga satuan usulan kontraktor adalah sesuatu yang tidak dapat dievaluasi ulang menjadi sesuatu yang sulit. Sama halnya dengan menilai harga satuan material dan tenaga kerja yang sangat mahal pada saat tsunami terjadi, tetapi diaudit pada saat situasi masyarakat sudah menjelang normal. Tidak ada yang dimark up atau diselewengkan. Penilaian dalam waktu dan situasi berbeda ternyata menyudutkan pelaksana. Hal ini menjadi pelajaran di kemudian hari, tindakan penyelamatan hendaknya dilakukan dengan hatihati, karena dapat berakibat pada tuntutan hukum.

Lahirnya Water Supply Meeting Group


Setelah tsunami, baik donor maupun LSM datang membantu proses pemulihan. Pada periode tersebut kebutuhan air minum dan perumahan sangat vital. Timbul persoalan mulai dari lokasi pelayanan, kesulitan teknis, pengadaan air minum dan perumahan, pengelolaan serta kesulitan pelaksanaan dan perizinan. Semua pihak menghadapi banyak masalah, tapi tidak tahu kepada siapa hal itu harus dibicarakan. Atas inisiatif UNICEF, pada Februari 2005 diadakan pertemuan yang membahas semua kesulitan tersebut serta sharing penyelesaian masalah air minum dan perumahan. Hasil pembahasan disampaikan kepada pemerintah untuk dicarikan solusinya. UNICEF lantas menjadikan kedua pertemuan itu sebagai rutinitas dan disebut water supply meeting group serta housing meeting group. Pertemuan tersebut merupakan forum koordinasi menyelesaikan persoalan serta membagi tugas dan wilayah pelayanan. Sebagai ketua forum diangkatlah Kepala Dinas Perumahan dan Permukiman setempat dan sekretaris dari UNICEF. BRR yang hadir di Aceh sejak Mei 2005 dilibatkan pula dalam kepemimpinan meeting group itu.

Bagian 7. Hikmah Ajar dan Kasus Menarik

Hasil rehabilitasi jalan tersebut harus dipelihara setiap minggu, karena selalu tergerus air dan kendaraan. Begitu pula lantai jembatan harus diganti setiap bulan, karena rusak akibat kendaraan berat. Setahun setelah konstruksi dilakukan audit teknik dan ditemukan terdapat ketebalan yang tidak sesuai dengan kondisi pada saat selesai konstruksi.

115

INFRASTRUKTUR: Memacu Sektor Pemicu

Pada tahap awal sampai Desember 2005, umumnya penyelesaian masalah berkaitan dengan pasokan ke barak penyintas dan distribusi air minum. Mulai Januari 2006 diskusi masuk ke penyediaan air minum dalam skala besar dan cara menyediakan air minum untuk jangka panjang. Kerja sama dimulai dari penyediaan desain oleh LSM, konsultan hibah, dan BRR. Koordinasi ini termasuk menyelesaikan masalah perizinan, pendanaan, penyediaan lahan, dan Project Concept Note untuk pengajuan pembiayaan kepada donor yang lebih besar. Di antara berbagai persoalan yang diselesaikan lewat forum ini adalah penyelesaian masalah distribusi air minum, pembangunan jaringan pipa air minum, dan pemanfaatan bantuan dari Kuwait (Kuwait Red Cross) untuk penyediaan air bersih siap minum dari air laut yang beroperasi mulai April 2005 termasuk pendistribusiannya ke barak penyintas. Setelah kondisi normal, pada Maret 2006 pengoperasian penjernihan air minum tersebut diserahkan ke pemerintah daerah. BRR membantu pembiayaan pengoperasiannya sampai Juli 2007. Inilah contoh hibah yang pada saat kritis sangat bermanfaat dan sesudah masa krisis berlalu instalasi ini masih dapat ditingkatkan pemanfaatannya secara optimal.

116

Pembebasan Lahan yang Melelahkan


Pembebasan lahan merupakan persoalan besar dalam proses rekonstruksi Aceh. Terdapat dua proses pembebasan lahan yang besar dan sulit penyelesaiannya, yaitu jaringan jalan Ulee Lheue yang dibiayai hibah ADB dan jalan Banda AcehCalang dengan dana hibah USAID. ADB menginginkan, pembebasan lahan tidak saja memberikan ganti rugi kepada pemilik lahan, melainkan juga mengganti biaya hidup minimum selama tiga bulan jika pada lahan tersebut terdapat kegiatan ekonomi. Tambahan lagi, harga yang digunakan harus harga pasar dan nilai bangunan dihitung tanpa depresiasi, walaupun bangunan sudah berumur lama. Persoalannya, dalam aturan pembebasan lahan di Indonesia tidak dikenal adanya prosedur seperti itu. Selain itu, sebagian besar pemilik lahan tidak ditemukan karena meninggal akibat tsunami. Proses pembebasan lahan kemudian dilakukan dengan menitipkan dana pengganti di Baitul Mal Banda Aceh. Jika pemilik atau keluarga pemilik lahan muncul, maka Baitul Mal kemudian akan memroses penggantiannya. Dasar yang dipakai donor dalam proses pembebasan lahan adalah dokumen Land Acquisition and Resettlement Action Plan (LARAP). Di dalamnya mencakup rencana pembebasan lahan, nilai, dan termasuk biaya pengganti kegiatan ekonomi pemilik yang terkena dampak. Selama tidak jelas pembebasan lahannya, donor tidak setuju proses pelelangan atau konstruksi dilanjutkan.

Untuk pengadaan lahan jalan Banda AcehCalang, proses awal pembebasannya paling cepat berlangsung, mulai dari negosiasi sampai pembayaran. Masalahnya, jumlah lahan yang dibebaskan sangat besar, hampir 150 kilometer, dan kapasitas panitia sangat kurang. Hal yang berbeda dibanding dengan proses pembebasan lahan umumnya adalah pembayaran dikirim langsung ke rekening pemilik lahan. Persoalan yang muncul umumnya sangat klasik seperti pemilik lahan ganda, pertengkaran di antara pemilik lahan yang bersaudara, harga yang tidak sesuai dengan keinginan walaupun sudah disepakati khalayak ramai, dan ketidakpercayaan dalam penghitungan luas. Akibatnya banyak lahan yang sudah dibebaskan dan diserahkan kepada kontraktor ternyata terhambat pelaksanaannya di lapangan. Kegiatan konstruksi kemudian terhenti. Klaim atas terhentinya alat membuat harga konstruksi meningkat, sementara dana konstruksi secara keseluruhan tetap. Biaya manajemen konstruksi dan konsultan supervisi bertambah seiring perpanjangan waktu. Untuk mengatasinya, target konstruksi dikorbankan dengan mengurangi panjang jalan. Sementara itu, pembangunan jalan di dekat Kota Meulaboh harus ditunda, selain karena belum masuk dalam kontrak konstruksi akibat terbatasnya dana, dikhawatirkan masalah pembebasan lahan akan sama persoalannya dengan di Aceh Besar dan Aceh Jaya.

Papan yang memuat tuntutan pembayaran pembebasan tanah warga yang belum terselesaikan dipasang di tepi jalan di Teunom, Aceh Jaya, 6 Maret 2008. Foto: BRR/Arif Ariadi

Bagian 7. Hikmah Ajar dan Kasus Menarik

117

INFRASTRUKTUR: Memacu Sektor Pemicu

Sampai akan berakhirnya masa kerja BRR, masalah pembebasan lahan masih bergulir. Pemerintah Aceh kemudian mengambil alih pembiayaan dan melaksanakan proses pembebasan lahan sendiri. Selayaknya semua pihak menyadari, lambatnya proses konstruksi merugikan masyarakat dan pemerintah daerah. Target pembangunan tidak dapat diselesaikan tepat waktu hanya karena masalah pembebasan lahan.

Kontainer Bekas untuk Dermaga


Ide ini diusulkan seorang pensiunan kolonel yang menjadi pakar logistik BRR pada awal rehabilitasi. Bermula dari rusaknya jaringan transportasi darat seperti jalan, dicarilah solusi untuk membangun banyak dermaga di sepanjang Pantai Barat Aceh. Penggunaan angkutan udara saat itu tidak disarankan karena biayanya sangat mahal. Sementara penggunaan dermaga pelabuhan pun tidak diusulkan karena kesulitan mengangkut bahan bangunan ke wilayah pembangunan. Solusi yang diusulkan adalah menggunakan kontainer bekas sebagai dermaga. Kontainer ini diletakkan di lokasi yang tepat dengan kedalaman yang cukup, lalu diisi pasir sebagai pemberat dan di atasnya dicor beton 20 cm. Keuntungan menggunakan kontainer, proses konstruksi berjalan lebih cepat, biaya lebih murah, dan dapat dipakai selama paling tidak dua tahun. Dermaga jenis ini ditempatkan di sekitar Calang di sepanjang pantai barat dan Pulau Aceh. Sistem ini berhasil menyelesaikan persoalan logistik saat itu karena landing craft tank (LCT) dapat bersandar dan menyampaikan logistik langsung ke dekat wilayah konstruksi.

118

Pembangunan Jalan Berbasis Sumber Daya Lokal Menciptakan Lapangan Kerja


Jaringan jalan merupakan sektor yang paling parah terkena tsunami, sehingga dibutuhkan perbaikan besar. Sementara itu, jalan di tingkat kabupaten banyak juga berada dalam kondisi sangat buruk, karena selama dekade sebelumnya pemeliharaan jalan di tingkat kabupaten dan kecamatan memang sangat kurang. Rusaknya jalan di tingkat kabupaten memang tidak semua bisa ditangani BRR. Padahal, untuk merehabilitasi seluruh jaringan jalan itu dibutuhkan tenaga insinyur, teknisi terampil, dan kontraktor dalam jumlah besar. Dengan adanya kebutuhan tersebut, muncullah kesempatan membangun jaringan jalan sekaligus membangun kapasitas dan melibatkan masyarakat lokal lebih jauh. Program dengan pendekatan sumber daya lokal ini tentu saja secara langsung membuka kesempatan kerja bagi masyarakat setempat.

Tujuannya adalah memberdayakan pemerintah kabupaten dan kontraktor lokal berskala kecil untuk mengerjakan proyek jalan berbasis sumber daya lokal. UNDP/ILO menyediakan teknik, standar, sistem, dan strategi serta melibatkan langsung masyarakat lokal, terutama di proyek jalan di pedesaan. Awalnya kesepakatan dibuat dengan Pemerintah Kabupaten Pidie. Selanjutnya nota yang sama dijalin dengan kabupaten lain, seperti Bireuen. Kesepakatan itu meliputi penyelenggaraan unit pelatihan oleh Kimpraswil, serta skema pembiayaan proyek sepanjang 10 km oleh pemerintah kabupaten. Pemerintah juga berkomitmen mendanai pemeliharaan proyek jalan yang terbangun lewat program ini dan bersedia mengalokasikan dana untuk kegiatankegiatan unit pelatihan yang diselenggarakan Kimpraswil. Program ini kemudian dilaksanakan dalam dua tahap. Tahap pertama dimulai pada Maret 2006 hingga September 2008 mencapai hasil sangat memuaskan. Pada tahap pertama itu, 97,39 km jaringan jalan selesai dibangun dengan melibatkan 38 teknisi lokal, 77 supervisor dari kontraktor, dan 71 manajer yang dilatih berbasis sumber daya lokal. Sementara itu, di tingkat pemerintahan kabupaten sebanyak 67 teknisi dan supervisor menghadiri pelatihan yang diselenggarakan ILO. Mereka semua telah terlibat dalam proses tender. Mereka juga mengikuti pelatihan kontrak manajemen dan pengawasan konstruksi. Selanjutnya mereka mengikuti pelatihan lebih spesifik di bidang laboratorium peralatan, perencanaan pencapaian pedesaan terpadu, dan teknik pelapisan jalan berbasis emulsi. Pada tahap pertama ini, ratarata lebih dari tiga penawaran diajukan para kontraktor lokal dari total 85 pelelangan di lima kabupaten. Dari seluruh kegiatan rehabilitasi dan pekerjaaan pemeliharaan, jumlah hari orang kerja yang dapat dicapai adalah 218.636 hari dengan partisipasi ratarata 73,1 persen lakilaki dan 26,9 persen perempuan. Pelaksanaan tahap pertama tersebut kemudian dievaluasi. Ternyata keterlibatan perempuan masih terbatas, terutama dalam kegiatankegiatan pelatihan untuk staf teknis Kimpraswil dan kontraktor. Alokasi anggaran untuk pemeliharaan jalan kabupaten dan jalan desa juga terbilang masih kecil. Selain itu tidak tersedia perencanaan umum jaringan jalan di tingkat kabupaten, sehingga pemerintah kabupaten sulit mengalokasikan anggaran untuk rehabilitasi dan pemeliharaan jalan secara efisien. Keberlanjutan kegiatan pelatihan setelah proyek berakhir juga belum jelas.

Bagian 7. Hikmah Ajar dan Kasus Menarik

Pendekatan yang dilaksanakan UNDP/ILO tersebut membuktikan, pendekatan ekonomi dan teknis dapat berjalan cukup baik. Dirancanglah proyek pekerjaan umum di tingkat kabupaten dengan kontraktor berskala kecil. Awalnya fokus pelaksanaan proyek dilaksanakan di Kabupaten Pidie, Bireuen, Nias, dan Nias Selatan. Berikutnya, tiga kabupaten juga mengikuti program ini, yaitu Kabupaten Aceh Jaya, Aceh Barat, dan Nagan Raya untuk program irigasi seperti yang diminta BRR.

119

Rekomendasi untuk Kimpraswil misalnya, agar memasukkan pemeliharaan rutin dalam perencanaan dan implementasi untuk jalan kabupaten dan jalan desa. Sementara itu, untuk KDP karena tidak ada alokasi dana untuk pemeliharaan, masyarakat diharapkan membangun jalan yang membutuhkan pemeliharaan minim. Masyarakat juga perlu dibekali kemampuan teknis untuk memelihara jalan dan pengetahuan pembiayaan serta kemampuan mengaturnya. Selanjutnya dalam pelaksanaan tahap II, yang dilaksanakan mulai Desember 2008 hingga Desember 2009, dilanjutkan oleh Departemen PU/MDF, program lebih terfokus pada kegiatankegiatan pelatihan yang diselenggarakan Kimpraswil di dua kabupaten di Provinsi NAD. Pelatihan lebih berfokus pada kelompokkelompok perempuan, terutama pada pekerjaan pemeliharaan rutin serta keterampilan konstruksi. Kimpraswil Provinsi NAD tersebut difokuskan untuk mengalokasikan anggaran rehabilitasi dan pemeliharaan jalan dengan masih menggunakan pendekatan sumber daya lokal. Pada tahap II ini juga lebih fokus pada cara mengolaborasikan KDP dalam sistem program berbasis sumber daya masyarakat ini, terutama untuk jalan desa di Aceh. Proses disetujuinya program tahap II ini memakan waktu lebih lama dari yang diperkirakan. Awalnya proses pengesahan program MDF dan pemerintah Indonesia tersebut sudah keluar pada Juli 2008 yanng diikuti proses pelaksanaan selama 18 bulan. Sayangnya, program yang akan dikerjakan ILO tersebut baru disetujui pada Oktober 2008 sementara tanggal berakhirnya program tidak berubah. Hingga berakhirnya masa kerja BRR, jaringan jalan sepanjang 15,27 km yang ditenderkan pada tahap kedua belum selesai dibangun.

Pimpinan Daerah yang Mau Turun ke Bawah


Pembebasan lahan untuk pelabuhan, bandara, jalan, terminal, dan infrastruktur publik lainnya meskipun relatif tidak luas sering menjadi masalah. Akibatnya proyek bisa tertunda dan bahkan dibatalkan. Gubernur NAD Irwandi Yusuf dan Wali Kota Banda Aceh adalah contoh pejabat publik yang sangat memperhatikan permasalahan tersebut dan seringkali turun tangan untuk membantu menyelesaikannya.

Pembangunan ruas jalan di kawasan Lhok Kruet, Aceh Jaya, 18 Maret 2006. Foto: BRR/Arif Ariadi

Bagian 7. Hikmah Ajar dan Kasus Menarik

UNDP/ILO menyadari pemeliharaan jalan merupakan faktor penting untuk mengamankan investasi. Sayangnya, tidak ada solusi sederhana untuk masalah ini, walaupun sebenarnya secara teknis kesulitan untuk implementasi pemeliharaan tersebut relatif mudah. Untuk itu, pada periode FebruariMaret dan Oktober 2008 dilakukan tinjauan terhadap pemeliharaan jalan pedesaan. Tinjauan terutama pada masalah anggaran, kondisi jalan, desain, dan standar konstruksi jalan yang dibangun Kecamatan Development Programme (KDP) dan Kimpraswil yang mencakup wilayah Kabupaten Bireuen, Aceh Besar, dan Pidie.

121

INFRASTRUKTUR: Memacu Sektor Pemicu

Kasuskasus Gubernur turun tangan membantu memberi pengertian kepada rakyat antara lain pada kasus pembebasan lahan untuk Bandara Sultan Iskandar Muda (SIM) dan pembebasan lahan di Gampong Leupeung (jalan Banda AcehMeulaboh), juga kasus pemberian kompensasi pembebasan jalan di Ulee Lheue. Selain masalah lahan, Gubernur juga sering turun tangan menyelesaikan pajakpajak liar kepada para kontraktor di lapangan. Gubernur adalah dokter hewan yang pernah bekerja di Fauna Flora Internasional (FFI). Oleh karena itu, wajar apabila dia sangat memperhatikan masalahmasalah lingkungan seperti konflik manusia dengan satwa dan pembalakan liar. Di bidang penerapan pengurangan risiko bencana, Gubernur dan Wakil Gubernur NAD mempresentasikan sendiri proposal untuk memperoleh dukungan pendanaan dari multi donor fund (MDF). Presentasi tersebut adalah bukti komitmen pemerintah NAD terhadap penerapan kebijakan pengurangan risiko bencana, selain menyediakan dana pembebasan lahan dan dana pendamping untuk kegiatankegiatan terkait dengan peningkatan kesadaran masyarakat dalam menangani bencana. Wali Kota Banda Aceh termasuk wakilnya juga sangat aktif ikut terjun dalam acaraacara pelaksanaan kebijakan pengurangan risiko bencana yang menggunakan dana onbudget dari APBN maupun dana offbudget dari para donor. Kegiatankegiatan tersebut meliputi penataan kembali ruang wilayah, pemetaan sanitasi, dan latihanlatihan menghindari bencana tsunami. Inilah contoh dukungan para pimpinan pemerintahan daerah berupa bantuan penyelesaian persoalan yang terkait program rehabilitasi dan rekonstruksi. Semua pihak sadar bahwa tugas ini bukan tugas BRR semata Dengan cara turun langsung, itu akan menyelesaikan persoalan dengan cepat dan menjadi bentuk dukungan terhadap BRR.

122

Komunikasi dan Pendelegasian Wewenang Mempercepat Proses Rekonstruksi


Banyak pihak beranggapan, orangorang di BRR memiliki kemampuan melebihi ratarata, sehingga mampu menyelesaikan pelaksanaan berbagai program, baik yang dikerjakan sendiri maupun dikoordinasikan dengan donor dan LSM. Sistem yang digunakan sebenarnya tidak ada yang baru. Semua sudah tersedia dalam tatanan pemerintahan, referensi manajemen konstruksi, dan dokumen teknis kementerian/lembaga seperti Keppres 80, UndangUndang, APBN, dokumen lelang dan spesifikasi, serta petunjuk pelaksanaan konstruksi. Jika BRR dapat bergerak cepat melaksanakan rehabilitasi dan rekonstruksi semata karena proses pengambilan keputusan di BRR berlangsung sangat cepat. Rapat

kedeputian biasanya menjadi ajang argumentasi, tetapi sekaligus pengambilan keputusan. Argumentasi digunakan untuk menguji kesesuaian terhadap peraturan dan mengukur risiko suatu keputusan. Banyak keputusan yang disampaikan secara lisan lalu didokumentasikan menjadi surat keputusan. Kepala Bapel BRR membuka ruang bagi para stafnya untuk menyampaikan pendapat atau menantang keputusannya daripada menerima seluruh ucapannya. Komunikasi dari bawah ke atas maupun dari atas ke bawah tidak memiliki sekat. Setiap saat deputi dapat berkomunikasi dengan kepala Bapel, demikian juga para staf dengan deputi masingmasing. Selain itu, Kepala Bapel BRR memberikan otoritas penuh kepada para stafnya untuk mengambil keputusan sendiri di lapangan, sesuai kewenangan yang sudah didelegasikan dengan mengedepankan kepentingan masyarakat. Percepatan proses rekonstruksi juga didukung kemudahan persetujuan DPR, dukungan peraturan pendanaan dari Menteri Keuangan, izin luncuran DIPA, pembentukan trans fund bagi kegiatan yang belum terserap, izin revisi DIPA yang didelegasikan ke level lebih bawah, serta kepiawaian berkomunikasi dengan kementerian/lembaga dan pemerintah daerah dalam menyelesaikan masalah.

Pengukuran ruas jalan di kawasan Arongan, Aceh Barat, 6 Maret 2006. Foto: BRR/Arif Ariadi

Bagian 7. Hikmah Ajar dan Kasus Menarik

123

124

INFRASTRUKTUR: Memacu Sektor Pemicu

Kesibukan di Kedeputian Pusat Pengendalian Program dan Proyek Wilayah (P4W) di kantor BRR NADNias, Banda Aceh, 16 Desember 2008. Foto: BRR/Arif Ariadi

Tim Pengawas Konstruksi sebagai Tangan Kanan Manajemen


Dengan semakin meningkatnya target BRR untuk mempercepat proses konstruksi, manajemen BRR kemudian menciptakan unit baru, Pusat Pengendalian Program dan Proyek Wilayah (P4W) bagi kegiatan yang dikendalikan kantorkantor perwakilan BRR serta Pusat Pengendalian Program dan Proyek Sektor (P4S) bagi kegiatan yang dikendalikan deputi sektoral BRR. Unit tersebut awalnya melakukan pengawasan kemajuan konstruksi, kemudian mendapat kepercayaan untuk mempercepat proses percepatan pembangunan mulai dari persetujuan program, persetujuan DIPA, dan pelaksanaan konstruksi. Unit ini sangat besar kekuasaannya, sehingga tugastugas yang tadinya berada di Kedeputian Keuangan dan Perencanaan, serta pengendalian proyek yang ada di kedeputian sektor beralih menjadi kewenangan tim P4W/P4S. Tim ini memiliki kemampuan mempresentasikan kemajuan tiap paket, kemudian dikonsolidasikan kemajuan tiap sektor, baik di regional maupun di kedeputian, sampai kemudian dikonsolidasikan menjadi satu lembar laporan yang berisi kemajuan keseluruhan BRR.

Kemampuan BRR mengintegrasikannya dengan informasi pembayaran SPM di Kantor Pelayanan Perbendaharaan NegaraKhusus (KPPNK) yang dibentuk untuk melayani pembayaran proses rekonstruksi, dan kemudian mempresentasikannya dalam media TV yang real time, membuat setiap orang terjaga dengan kemajuan yang dicapai setiap saat. P4W/P4S diberi keleluasaan untuk menjelaskan secara lugas keterlambatan masingmasing pihak dan apa seharusnya yang dilakukan, sekaligus mengargumentasi penjelasan pihak lain. P4W/P4S dihadirkan di dalam rapat, secara terbuka menjelaskan kemajuan semua kedeputian dan regional, secara bersamaan juga diberi kesempatan berdebat sampai kemudian dari argumentasi terbuka tersebut dihasilkan suatu solusi dan langkah teknis yang harus diambil. Proses pengambilan keputusan yang cepat, hanya dari hasil argumentasi, memberi kejelasan bagi BRR untuk melangkah dan bertindak. Menariknya, perdebatan yang keras dalam rapat tidak terbawa keluar ruang rapat menjadi konflik pribadi. Semua menyadari, kelugasan P4W/P4S membuka kelambatan sektor dan regional tujuannya adalah pencapaian target BRR. Pengolahan data untuk dashboard monitoring dimulai dari data dasar yang rinci, kemudian dikonsolidasikan sampai tingkat paling tinggi, berlembarlembar data, menjadi satu lembar, dan akhirnya hanya satu angka. Tenaga kerja yang dibutuhkan memang besar, saling memanfaatkan sumber daya kedeputian dan regional. Diawali dengan sistem yang tidak terintegrasi sampai akhirnya menjadi layanan BRR yang sistematis dan terintegrasi. Pemerintah Aceh dan pemerintah Papua sangat tertarik dengan model ini, sehingga berkeinginan mengadopsinya.

Unit Quality Assurance Memudahkan Pengendalian Teknis


Rencana penerapan quality assurance (QA) telah muncul sejak awal BRR berdiri. Kebijakan pelaksanaan program 2005 diserahkan pada kementerian/lembaga dan pemerintah daerah melahirkan pertanyaan, mekanisme apa yang digunakan BRR sebagai kontrol? Jawabannya adalah mekanisme no objection letter (NOL) untuk setiap langkah. Tetapi, apakah mekanisme NOL ini tidak menjadi bumerang bagi BRR? Akan banyak permintaan NOL baik untuk persetujuan hasil lelang, persetujuan pembayaran, dan persetujuan serah terima; menjadikan BRR lembaga audit dan lebih banyak mengurus urusan administrasi. Selain itu, mampukah BRR menyelesaikan penerbitan NOL dengan cepat sesuai prosedur yang benar?

Bagian 7. Hikmah Ajar dan Kasus Menarik

Untuk kebutuhan manajemen BRR, pengawasan ini sangat bermanfaat karena hanya dengan beberapa lembar informasi sudah dapat diketahui posisi pencapaian dalam waktu tertentu sehingga dapat diambil langkah percepatan. Ini yang disebut dashboard monitoring.

125

Tim QA yang pertama merupakan hibah dari pemerintah Australia. Terpilihnya konsultan CardnoAcil Pty Australia sebagai technical assistance untuk procurement and quality assurance management (PQAM) ini memperkenalkan suatu sistem baru bagi lembaga negara, karena QA adalah mekanisme umum di dunia industri seperti pabrikasi, tetapi bukan hal yang lazim bagi lembaga pemerintah. BRR memulai sistem tersebut dengan tujuan menimbulkan keyakinan bahwa apa yang dikerjakan Satuan Kerja dan PPK serta diawasi konsultan telah berjalan dengan benar. Sayangnya kecepatan konstruksi tidak dapat diimbangi konsultan PQAM, sehingga BRR tidak selalu memperoleh data kemajuan terkini, selalu berbeda dua minggu sampai satu bulan dari data proyek yang dikirim ke BRR. Untuk memperkuat PQAM maka direkrut tenaga dari beberapa perguruan tinggi, sehingga aliran informasi proyek ke BRR masuk lebih cepat dan temuan tim QA dapat menjadi acuan dalam mengambil tindakan teknis terhadap Satuan Kerja dan PPK. Mekanisme ini dirasakan sangat membantu, sehingga tim infrastruktur melengkapi tim QA dengan fasilitas transportasi dan peralatan laboratorium lengkap serta kantor yang ditempatkan di Dinas Prasarana Wilayah. Tim QA yang kemudian dibuat independen di luar tim infrastruktur ini akhirnya dipindah menjadi tim di bawah Kedeputian Operasi, sehingga proses QA bisa dilaksanakan untuk seluruh sektor di BRR. Organisasinya pun diubah menjadi Pusat Pengendalian Mutu Konstruksi (PPMK). Memperkuat unit QA di instansi pemerintah menjadi program yang sangat penting dan membantu manajemen pemerintahan. Bagi lembaga yang telah memiliki laboratorium, dapat memfungsikan lembaganya, agar melakukan program QA yang terstruktur dan periodik dengan hanya menambah kekuatan SDM dan biaya kunjungan lapangan. Penempatan lembaga sejenis di luar dinas teknis akan meningkatkan kemampuan pemerintah dalam melakukan pengendalian kualitas atau bahkan menjadi sparring partner bagi dinas teknis untuk meningkatkan akuntabilitas dan integritas tim.

Kepala Bapel BRR, Kuntoro Mangkusubroto, Deputi Operasi, Eddy Purwanto, dan Deputi Infrastruktur, Bastian Sihombing, mengunjungi proyek jalan di Lhok Kruet, Aceh Besar, 12 Juni 2008. Foto: BRR/Arif Ariadi

Bagian 7. Hikmah Ajar dan Kasus Menarik

Dengan pertimbangan tersebut, BRR akhirnya melepaskan seluruh proses pembayaran kepada kepala Satuan Kerja dan PPK tanpa mekanisme NOL. BRR memakai mekanisme QA dengan melakukan pengecekan berkala secara acak. Proses pemeriksaan kualitas yang dilakukan konsultan supervisi (quality control, QC) diperiksa kembali kebenarannya secara acak oleh tim QA.

127

Daftar Singkatan
TSUNAMI: Habis Bencana Terbitlah Terang Singkatan Indonesia Inggris

AATO ADB AFD AIPRD APBA APBN ATPM bandara Bappeda Bappenas BKSDA BPK BPKP BRR

Ratarata Jumlah Siklus Tahunan Bank Pembangunan Asia Aliansi Pembangunan Perancis Kemitraan AustraliaIndonesia untuk Rekonstruksi dan Pembangunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh/Kabupaten Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Agen Tunggal Pemegang Merek Bandar udara Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Balai Konservasi Sumber Daya Alam Badan Pemeriksa Keuangan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah dan Kehidupan Masyarakat Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Kepulauan Nias Provinsi Sumatera Utara Badan Usaha Milik Negara Unit Pengadaan Barang/Jasa Pusat Djawatan Angkutan Motor Republik Indonesia Daerah Aliran Sungai Rancangan Teknis Rinci Department for International Development

Average Annual Turn Over Asian Development Bank Aliance France Development (Agence Franaise de Dveloppement) AustraliaIndonesia Partnership for Reconstruction and Development Aceh Provincial Annual Budget Government of Indonesias National Annual Budget Brand holding sole agent Airport Regional Development Planning Agency National Development Planning Agency Natural Resources Conservation Center Supreme Audit Agency Financial and Development Supervisory Agency Agency for the Rehabilitation and Reconstruction of the Regions and Community of Nanggroe Aceh Darussalam and the Nias Island of the Province of North Sumatra National Governmentowned State Enterprise Central Procurement Unit Indonesian Motor Vehicle Company River Flow Area Detail Engineering Design Departemen Pembangunan Internasional

128

BUMN CPU Damri DAS DED DfID

Singkatan

Indonesia

Inggris

DHV

Perusahaan Belanda untuk konsultan dan

International consultancy and engineering group that provides services ad sustainable solutions for various sectors Issuance of Spending Authority Directorate General Energy and Mineral Resource

DIPA Ditjen ESDM ETESP

Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran Direktorat Jenderal Energi Sumber Daya Mineral

Proyek Sektor Bantuan Darurat Earthquake and Tsunami Emergency Gempa Bumi dan Tsunami yang Sector Project funded by Asian dibiayai oleh Bank Pembangunan Asia Development Bank (ADB) (ADB) Organisasi Pangan Dunia Flora dan Fauna Indonesia Studi Kelayakan Gesselschaft for Technische Zusammenarbeit (Badan Kerjasama Jerman) Pelelangan Kompetitif Internasional Bank Pembangunan Islam Organisasi Buruh Internasional Organisasi Internasional untuk Migrasi Penduduk Instalasi Pengolahan Air Instalasi Pengolah Limbah Tinja Indeks Pembangunan Manusia International Relief and Development; Nama sebuah LSM Sarana Pendanaan Rekonstruksi Prasarana Program Pemampuan Rekonstruksi Prasarana Bank Jepang untuk Kerjasama Internasional Badan Kerjasama Internasional Jepang Badan Jepang mengenai Sistem Kerjasama Internasional jaringan tegangan menengah jaringan tegangan rendah Food and Agriculture Organisation Flora and Fauna Indonesia Feasibilities Study Gesselschaft for Technische Zusammenarbeit (German Cooperation Agency) International Competitive Bidding Islamic Development Bank International Labour Organization Internal Organization for Migration Water Treatment Plant (WTP) Septage Treatment Plant Human Development Index International Relief and Development Infrastructure Reconstruction Financing Facilitiy Infrastructure Reconstruction Enabling Program Japan Bank for International Cooperation Japan International Cooperation Agency Japan International Cooperation System medium voltage line low voltage line

FAO FFI FS GTZ

129

ICB IDB ILO IOM IPA IPLT IPM IRD IRFF IREP JBIC JICA JICS JTM JTR

Singkatan

Indonesia

Inggris

Kabapel Kasatker
TSUNAMI: Habis Bencana Terbitlah Terang

Kepala Badan Pelaksana Kepala Satuan Kerja Proyek Pengembangan Kecamatan Keputusan Presiden Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme

Head of Executing Agency Head of Project Implementing Unit Kecamatan Development Project Presidential Decree Corruption, Collusion, and Nepotism

KDP Keppres KKN KOICA KPPNK Ladia Galaska LARAP LCT LLAJ LSM MAF MCK MDF KLH Mw NAD NCB NOL P4S P4W PBB PDAM PDCS Pemda PIM PJKA PLN PLTD

Badan Kerjasama Internasional Korea Korea International Cooperation Agency Kantor Pelayanan dan Perbendaharaan NegaraKhusus Lautan Hindia, Gayo, Alas, dan Selat Malaka Rencana Aksi untuk Pembebasan Lahan dan Relokasi Permukiman Kendaraan Tank Pendaratan Lalu Lintas Angkutan Jalan Lembaga Swadaya Masyarakat Mission Aviation Fellowship; Nama sebuah LSM (Fasilitas) Mandi, Cuci, Kakus Dana MultiDonor Kementerian Lingkungan Hidup Megawatt Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Pelelangan Kompetitif Nasional Surat Pernyataan Tidak Berkeberatan Pusat Pengendalian dan Pelaksanaan Proyek Sektoral Pusat Pengendalian Program dan Proyek Wilayah Perserikatan BangsaBangsa Perusahaan Daerah Air Minum Supervisi Konstruksi Desain Perencanaan Pemerintah Daerah Pupuk Iskandar Muda Perusahaan Jawatan Kereta Api Perusahaan Listrik Negara Pusat Listrik Tenaga Diesel Special Office for State Services and Treasury Indian Ocean, Gayo, Alas, and Malacca Strait Land Acquisition And Resettlement Action Plan Landing Craft Tank Railroad Traffic NonGovernmental Organisation (NGO) Mission Aviation Fellowship Shower, Wash, and Toilet Facilities MultiDonor Fund Ministry of Environment Megawatt Nanggroe Aceh Darussalam Province National Competitive Bidding No Objection Letter Center of Sectoral Project Controlling and Implementing Center of Regional Program and Project Controlling United Nations (UN) Regional Potable Water Company Planning Design Construction Supervision Regional Government Iskandar Muda Fertilizer State Train Company State Electricity Company DieselPowered Plant Center

130

Singkatan

Indonesia

Inggris

PLTMH PLTS PMU PNS Postel PP PPK PPMK PQAM

Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro Pembangkit Listrik Tenaga Surya Unit Manajemen Proyek Pegawai Negeri Sipil Post dan Telekomunikasi Peraturan Pemerintah Pejabat Pembuat Komitmen Pusat Pengendalian Mutu Konstruksi (dalam BRR) Nama konsultan di bidang Pengelolaan Pengadaan Jasa dan Penjaminan Mutu Pekerjaan Umum Jaminan Mutu Pengendalian Mutu Rencana Anggaran dan Belanja Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pemukiman Berbasis Komunitas Rencana Pengelolaan Lingkungan Rencana Pemantauan Lingkungan Rupiah Murni Rupiah Rencana Tata Ruang Wilayah Satuan Antikorupsi Mencari dan Menyelamatkan Satuan Kerja Sumber Daya Air Sumber Daya Manusia Sekretariat Bersama Sultan Iskandar Muda Prosedur Operasi Standar Sistem Pengendalian Manajemen Palang Merah Singapura informasi dan Teknologi Tentara Nasional Indonesia

Micro Hydropowered Electrical Generator Solarpowered Electrical Generator Project Management Unit Civil Servant Post and Telecommunication Government Regulation Contract Preparation Officer Center of Construction Quality Control (within BRR) Procurement and Quality Assurance Management Public Works Quality Assurance Quality Control Bill of Quantity Communitybased Rehabilitation and Reconstruction of Settlements Environment Management Plan Environmental Monitoring Plan Pure national budget, exculding foreign loan/grant Rupiah (Indonesian currency) The Standardized Nomenclature of Spatial Plans in Indonesia Anticorruption Unit Search and Resque Project Implementing Unit Water Resources Human Resources Joint Secretariat Sultan Iskandar Muda Standard Operating Procedure Management Control System Singapore Red Cross Society Information and Technology Indonesian National Army

131

PU QA QC RAB ReKompak RKL/RPL RPL RM Rp RTRW SAK SAR Satker SDA SDM Sekber SIM SOP SPM SRCC IT TNI

Singkatan

Indonesia

Inggris

TPA UNDB
TSUNAMI: Habis Bencana Terbitlah Terang

Tempat Pembuangan Akhir Pengembangan Usaha Perserikatan BangsaBangsa Program Pembangunan Perserikatan BangsaBangsa Program Lingkungan Perserikatan BangsaBangsa Komisi Tinggi Perserikatan BangsaBangsa untuk Urusan Pengungsi Dana Perserikatan BangsaBangsa untuk urusan Anakanak Dana Perserikatan BangsaBangsa untuk Perempuan Dollar Amerika Serikat Badan Amerika Serikat untuk Pembangunan Internasional Stasiun penerima sinyal dari satelit dengan antena penerima berbentuk piringan dengan diameter kurang dari tiga meter Bank Dunia Badan Pangan Dunia Wajar Tanpa Pengecualian

Final Disposal Area United Nation Development Business United Nations Development Programme United Nations Environmental Program United Nations High Commission for Refugees United Nations Childrens Fund United Nations Development Fund for Women American Dollars United States Agency for International Development Very Small Aperture Terminal

UNDP UNEP UNHCR

UNICEF UNIFEM US$ USAID VSAT

132

WB WFP WTP

World Bank World Food Programme Unqualified Opinion on Financial Report

Anda mungkin juga menyukai