Anda di halaman 1dari 4

Uang sebagai Candu Masyarakat

Oleh A Sonny Keraf Uang dalam masyarakat modern telah mengalami sebuah proses metamorfosis yang menarik sedemikian rupa sehingga telah menjadi candu yang benar-benar menyihir masyarakat modern. Bahkan lebih dari itu, uang telah menjadi kekuasaan baru yang tidak sekadar berfungsi sebagai alat tukar melainkan sebagai kekuasaan ampuh untuk melakukan dan membeli apa saja, termasuk kedudukan dan nyawa manusia. Ia telah membuat orang-orang yang dianggap terhormat karena kedudukan politiknya dengan mudah tunduk tak berdaya dan menjadi begitu rendah harkat dan martabatnya. Dengan fenomena modern seperti itu, adalah menarik mengamati proses perkembangan makna uang dalam sejarah umat manusia, tidak hanya secara ekonomis, tetapi juga secara sosiologis kultural. Nilai Kerja Uang telah mengalami sebuah proses evolusi sejalan dengan peradaban umat manusia, tetapi sekaligus membentuk dan menentukan peradaban manusia. Dalam proses evolusi dan peradaban manusia tersebut, uang telah mengalami paling kurang lima makna atau fungsi yang sangat dominan dan sekaligus mewarnai peradaban manusia pada setiap proses evolusi tersebut. Kelima makna tersebut tidak hanya bersifat tersurat dan resmi berlaku secara ekonomis, tetapi juga tersirat-laten yang secara sosiologis-kultural berlaku dan dipahami secara tidak resmi dalam masyarakat. Pertama, uang sebagai valuasi milik pribadi. Milik pribadi yang oleh John Locke dikategorikan sebagai hak asasi manusia karena merupakan hasil aktivitas tubuh manusia demi menunjang dan mempertahankan hidupnya, telah mengalami perubahan dengan munculnya uang (atau benda berharga seperti emas) sebagai simbol nilai dari milik pribadi. Pengaruh langsung dan nyata dari munculnya uang sebagai valuasi milik pribadi adalah, kerakusan dan ketamakan serta sifat egoisme manusia dalam mengejar dan menumpuk kekayaan milik pribadi telah menemukan daya dorong baru. Dengan uang manusia mampu menumpuk milik pribadi yang tidak habis dikonsumsinya bersama keluarganya. Terjadilah akumulasi kekayaan secara tanpa batas dan tanpa kendali di satu pihak, sambil memperkuat kecenderungan egoisme individu di pihak lain untuk hanya memikirkan dan mengejar milik/kepentingan pribadinya yang diakumulasi dalam bentuk uang. Ini tidak hanya menimbulkan konflik sosial antara individu dan kelompok yang satu dengan yang lain dalam merebut dan mengakumulasi milik pribadi. Ini pada gilirannya memicu munculnya imperialisme dan kolonialisme dengan merebut tanah dan daerah-daerah jajahan oleh bangsa yang satu terhadap bangsa yang lain. Karena uang memungkinkan manusia menumpuk kekayaan, manusia telah dipacu untuk mencari tanah jajahan baru untuk mengambil kekayaan tanah jajahan baru itu untuk kemudian disimpan dalam bentuk uang. Dengan kata lain, sesungguhnya tanpa uang, rasanya tidak ada kolonialisme dan imperialisme karena manusia hanya membutuhkan milik pribadi secukupnya yang habis dikonsumsi seketika. Dalam perkembangan selanjutnya, dalam era kapitalisme, uang sebagai valuasi milik pribadi semakin mempunyai tempat sentral dalam wujud modal di satu pihak dan valuasi hasil kerja di pihak lain dalam bentuk upah. Di sini uang telah membuka peluang, dalam bahasa Marx,

bagi timbulnya eksploitasi manusia atas manusia oleh kaum kapitalis atas kaum proletar. Nilai kerja manusia dalam bentuk hasil karya tidak dimiliki langsung oleh buruh tetapi menjadi milik kapitalis yang mengompensasi nilai kerja buruh tadi dengan sejumlah uang dengan telah menahan nilai lebihnya sebagai keuntungan bagi dirinya. Karena menyadari posisi buruh yang lemah, sebaliknya posisinya sebagai pemilik modal atau uang jauh lebih kuat dan menentukan, si kapitalis lalu mengeksploitasi buruh dengan menen-tukan upah buruh seenaknya sambil merampas hak-hak buruh atas hasil kerjanya sendiri. Kedua, uang sebagai alat tukar. Bersamaan dengan itu, uang juga memperoleh makna baru sebagai alat tular, alat perantara dagang. Pada tahap ini, ketamakan, kerakusan dan kecenderungan egoistis manusia menemukan daya dorong baru, juga karena uang. Aristoteles, misalnya, prihatin dengan masuknya uang sebagai alat tukar dalam relasi dagang di antara manusia. Karena, sebelum adanya uang sebagai alat tukar, relasi dagang manusia hanya berlangsung sebatas untuk memenuhi kebutuhan hidup masing-masing pihak dengan menggunakan pola barter. Dengan masuknya uang sebagai alat tukar, manusia tidak hanya sekadar memenuhi kebutuhan hidupnya (needs), tetapi lebih dari itu berusaha untuk memenuhi juga apa yang sesungguhnya lebih tepat disebut sebagai sekadar keinginannya (desires). Sasaran dagang bukan lagi pemenuhan kebutuhan melainkan juga menyangkut pemenuhan keinginan, dalam bentuk keuntungan finansial. Inilah yang dikutuk Aristoteles, karena ini memacu ketamakan manusia yang melahirkan berbagai pola perilaku tidak bermoral dalam menyiasati keuntungan finansial sebesar mungkin yang diinginkannya. Terjadilah praktik-praktik dagang yang curang tak terkendali, hanya sekadar demi memenuhi keinginan belaka. Aristoteles memang hanya bisa mengimbau agar manusia menahan diri sedemikian rupa untuk terlibat dalam transaksi dagang hanya demi memenuhi kebutuhan hidupnya satu sama lain. Manusia jangan tergiur untuk memenuhi keinginan-keinginan yang berlebihan sampai melakukan praktik-praktik dagang yang tidak terpuji. Tapi, realitas perkembangan ekonomi selanjutnya justru menunjukkan uang telah memerangkap manusia dalam praktik-praktik dagang yang curang justru karena dorongan akumulasi kekayaan di satu pihak dan dorongan pemenuhan keinginan yang berlebihan. Candu dan Kekuasaan Dalam masyarakat modern, uang telah mengalami perubahan makna dan fungsi yang sangat signifikan. Uang tidak hanya berfungsi sebagai valuasi hak milik dan alat tukar. Tetapi, ketiga, uang juga telah berubah menjadi komoditas yang diperdagangkan. Ini pun telah mengubah wajah peradaban manusia. Dengan fungsi baru ini, ketamakan, kerakusan dan kecenderungan egoistis manusia semakin berkembang tanpa kendali. Selain untuk semakin mengakumulasi kekayaan, uang telah dijadikan alat untuk mengontrol dan bahkan sebaliknya menghancurkan ekonomi dan kehidupan berjuta-juta rakyat sebuah negara atau lebih. Krisis ekonomi tahun 1997 adalah bukti paling nyata dari pengaruh uang sebagai komoditas. Di sini sekali lagi, kerakusan, ketamakan dan kecenderungan egoistis manusia semakin berkembang tanpa kendali. Pada tahap ini, tidak lagi sekadar satu atau dua orang yang dirugikan dalam perdagangan curang demi pemuasan keinginan. Berjuta-juta orang mengalami guncangan hebat dalam dimensi yang sangat beragam hanya karena permainan nilai tukar mata uang kuat sebagai sebuah komoditas.

Keempat, perkembangan paling baru sekarang ini, khususnya di Tanah Air, adalah, uang telah berubah makna dan fungsi sebagai semacam candu bagi masyarakat. Orang telah memuja-muja dan menyembah uang secara sangat eksesif. Tidak bisa disangkal bahwa orang membutuhkan uang demi memenuhi berbagai kebutuhannya yang tidak bisa dipenuhi dalam zaman modern tanpa melalui uang. Tapi, uang ternyata telah merusak seluruh cara pikir dan mental manusia sedemikian rupa sampai uang telah didewa-dewakan secara sangat memprihatinkan. Demi uang orang bisa melakukan apa saja, tidak hanya menyalahgunakan kekuasaan, tetapi juga membunuh. Kasus pembunuhan Direktur Utama sebuah perusahaan besar baru-baru ini untuk mendapat imbalan empat juta rupiah adalah salah satu contoh nyata dari sekian contoh serupa di mana uang telah menjadi candu hingga orang tega membunuh sesamanya. Pemilihan Kepala Daerah adalah panggung paling memuakkan dari pengaruh uang sebagai candu yang telah menggerogoti sendi-sendi fisik dan mental para anggota dewan kita. Pencurian kayu dan ikan adalah panggung lain lagi dari bagaimana uang menghancurkan sumber daya alam kita secara tidak legal. Kasus suap dan jual beli perkara adalah arena lain lagi di mana uang juga telah menjadi candu yang menghalalkan segala cara termasuk melecehkan hukum yang dibela berbusa-busa oleh para petinggi hukum, termasuk pengacara kita. Tetapi, sebaliknya, kelima, dalam fenomena-fenomena politik di atas, uang pun pada sisi yang lain telah berubah makna dan fungsi sebagai kekuasaan tak terkalahkan. Dengan uang orang bisa membeli apa saja, termasuk kekuasaan dan kedudukan politik itu sendiri. Kasus pemilihan Kepala Daerah, sekali lagi, menunjukkan betapa uang telah menjadi kekuasaan yang begitu menentukan dan membungkam seluruh nurani, aspirasi, protes dan keberatan masyarakat. Demokrasi dan kontrol telah dikalahkan dengan uang. Demokrasi dan kontrol masyarakat hanya basa basi dan hiasan politik formal belaka. Pada akhirnya, kalah atau menang ditentukan oleh uang. Demikian pula, dengan uang orang bisa saja membayar dan memobilisasi cara-cara kekerasan yang bertentangan dengan hukum, sambil pada saat yang sama dimenangkan oleh hukum karena uang menjadi penentu terakhir sebuah proses hukum. Pada titik ini, kita lalu tiba-tiba tersadar, ternyata uang begitu mengerikan. Tidak ada lagi yang bisa mengontrolnya, karena hati nurani pun telah ditaklukkan oleh uang. Lebih mengerikan lagi, ternyata manusia, baik yang menyogok maupun disogok lebih rendah nilainya daripada uang. Penulis adalah staf pengajar Universitas Atma Jaya Jakarta.

*** ELSHAM NEWS SERVICE adalah suatu bagian pelayanan informasi reguler tentang situasi sosial politik dan implikasinya terhadap HAM dan demokrasi di Papua. ELSHAM NEWS SERVICE menyebarkan secara rutin laporan-laporan investigative aktual yang diperoleh secara langsung dari jaringan ELSHAM yang tersebar di seluruh pelosok Papua, nasional dan internasional. ELSHAM adalah lembaga HAM yang berdiri 5 Mei 1998 bekerja untuk mengakhiri militerisme, kekerasan dan impunitas serta melakukan pendidikan HAM

dan demokrasi bagi masyarakat Papua. Bagi anda yang ingin berlangganan silahkan kirimkan permohonan dengan menyertakan identitas yang jelas.

Anda mungkin juga menyukai