http://ekonomi.kompasiana.com/moneter/2011/11/09/menyoal-bunga-kre...
Kompasiana
KOMPAS.com
Cetak
ePaper
Kompas TV
Bola
Entertainment
Tekno
Otomotif
Female
Health
Properti
Urban Serpong
Images
Games
Registrasi | Masuk
Selasa, 07 Pebruari 2012
Berita
Politik
Humaniora
Ekonomi
Hiburan
Olahraga
Lifestyle
Wisata
Kesehatan
Tekno
Media
Green
Lipsus
KULINER UNIK Bisnis kuliner menjamur dimana-mana. Bila Anda pernah menikmati hidangan atau masakan yang unik atau pernah
300 18 1 dari 1 Kompasianer menilai aktual
Kuliner Unik dan Konsep Keamanan Pangan Meneropong Buah Alkesa Yang Masih
Suku bunga kredit bank di Indonesia ternyata tertinggi di ASEAN. Informasi tersebut disajikan pada Kompas.com hari ini (09/11/2011), dengan judul: Bunga Kredit Bank RI Paling Tinggi di ASEAN. Berita tersebut berkonotasi negatif, atau bukan prestasi yang patut dibanggakan. Kinerja perbankan nasional pun dipertanyakan, terutama kesiapannya untuk bersaing ketika AFTA (ASEAN Free Trade Area) diberlakukan. Mengapa perbankan nasional tega menawarkan kredit dengan bunga tinggi? Saya coba menelaahnya dari dua aspek saja, yakni struktur biaya dana, atau cost of fund, dan struktur pasar perbankan nasional. Dana Murah Efisiensi Rendah? Bunga kredit bisa dianalogikan sebagai harga jual produk yang dijajakan bank. Produk tersebut berasal dari bahan baku berupa uang yang dipasok dari masyarakat juga. Bank mematok harga jual, pasti sudah memperhitungkan keuntungan. Keuntungan, sederhananya, dapat dihitung sebagai Harga Jual dikurangi biaya produksi. Bank pun dapat menghitung seberapa banyak keuntungannya jika biaya produksi-nya dapat ditekan lebih rendah. Keuntungan semakin tinggi jika bank dapat menekan biaya produksi dengan harga jual tetap. Sebagai lembaga profit oriented, bank mungkin merasa wajar dan biasa-biasa saja jika mengeruk keuntungan. Jadi selisih harga jual dengan biaya produksi tersebut dikenal dengan Interest Margin. Kita lihat nilai Net Interest Margin (NIM) bank umum di Indonesia berdasarkan Statistik Perbankan Indonesia (SPI) yang dirilis BI per Agustus 2011.
TEREKOMENDASI
Suamiku Anak Mami
Uli Elysabet Pardede | 11 jam yang lalu
Ternyata, bank milik pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang mempunyai NIM tertinggi, yaitu 6,49% untuk Bank Persero dan 8,12% BPD Regional. Seolah ironis, justru bank pelat merah juga berkontribusi besar terhadap tingginya bunga kredit di Indonesia. Bagaimana menghitung biaya produksi di bank?
TERAKTUAL
Mau Mendapatkan Kaus Kompasiana & Tiket XXI? Ikuti
Fungsi utama bank adalah sebagai perantara keuangan, yang membeli dana dari masyarakat yang kelebihan uang- dikenal sebagai surplus unit atau kreditur, lalu menjual kembali dana tersebut ke pihak kekurangan- dikenal defisit unit atau debitur. Sebagai pedagang, bank maunya membeli dana dari masyarakat secara murah, lalu menjual-nya dengan harga tinggi. Saat ini bank membeli dana dari masyarakat relatif murah. Coba kita tengok bunga simpanan masyarakat, baik itu giro, tabungan, atau deposito. Menurut catatan Statistik Perbankan Indonesia yang dipublikasikan BI per Agustus 2011, bunga rata-rata Giro, Tabungan, Deposito 12 bulan, dan tabungan berturut-turut hanya 2,22%, 2,46%, dan 6,94%. Tingkat bunga sebesar itu menunjukkan bahwa jika kita menyimpan dalam bentuk giro dan tabungan maka nilai uangnya malah tergerus inflasi, yang mengacu ke BI, sampai Oktober sudah mencapai 4.42% (year on year). Jadi, menyimpan uang di bank malah menciut nilai riilnya.
Karl Marx: Kompasiana Membuat Otak Saya Tumpul Nasi Aking, Kuliner Bagi Mereka Yang Kurang Mampu Reuni Sang Guru dan Murid yang Politikus Miris, Situ Cipondoh Sebagai Lahan Konservasipun T ergadai!
1 of 5
07/02/2012 11:46
http://ekonomi.kompasiana.com/moneter/2011/11/09/menyoal-bunga-kre...
Kepala Sat Pol PP Beli Teranno 2003 Hanya Rp 26 Juta Nazaruddin, "SBY Tahu Soal Bagi-Bagi Uang" Adu Gombal Berhadiah PNS Dominasi Tersangka Korupsi 5 Karir Paling Cocok Bagi Para Pemalu
Jika bunga simpanan murah, mengapa bunga kredit masih tinggi? Pertama, motif bank adalah nyari untung, syukur-syukur dengan resiko rendah dan tanpa sport jantung. Biaya bahan baku yang rendah (baca: bunga simpanan masyarakat rendah) bukan menjamin keuntungan bank bisa tinggi. Masih ada biaya lain dalam faktor produksi bank. Biaya tersebut mencakup overhead cost, berupa gaji pegawai, listrik, biaya iklan, dll. Jika biaya-biaya tersebut tinggi, maka biaya produksi per unit uang-nya semakin tinggi juga. Namun, kelihatannya, selisih harga jual dengan biaya produksi yang semakin besar - yang ditunjukkan dengan NIM yang lebar- cenderung diperolah dengan cara menekan harga beli atau bunga simpanan masyarakat, bukan dengan melakukan efisiensi. Dilihat dari struktur biaya dana bank (cost of fund), bunga kredit akan semakin tinggi jika overhead cost bank semakin tinggi. Gaji bankir yang tinggi atau ketidakefisienan penggunaan biaya bisa menyebabkan biaya dana semakin tinggi. Ujung-ujungnya, cara gampang untuk menutup semua biaya tersebut adalah dengan menjual kredit dengan harga tinggi. Jadi, bunga kredit tinggi bisa disebabkan karena ketidakefisienan bank. Bank seolah menekan bunga simpanan bank serendah-rendahnya, namun membiarkan pengeluaran biaya tinggi di internalnya. Jika bunga kredit mau rendah, bank harus efisien. Itu simpulan dari struktur biaya dana bank. Walaupun kenyataannya tidak begitu, setidaknya untuk rata-rata perbankan secara nasional. BI Tak Berkutik Menghadapi Pasar? Namun, harga jual dan harga beli uang di Indonesia sudah dipasrahkan ke mekanisme pasar. Orang bilang, Tergantung permintaan dan penawaran. Namun, jika ada pelaku pasar yang bisa mendikte pasar sehingga pembeli dengan terpaksa harus menerima harga jual yang ditawarkan bank, maka pasar perbankan mulai mengarah ke oligopoli yang cenderung berprilaku monopoli. Hanya sebagian kecil bank yang beraset besar, namun mereka menguasai aset perbankan nasional. Hanya 15 dsri 120 bank yang mempunyai aset di atas 50 Triliun. Inilah faktor kedua yang kelihatannya patut diduga sebagai penyebab tingginya bunga kredit. Kita lihat komposisi jumlah bank dilihat dari total asetnya.
Jumlah bank umum berdasarkan total aset (sumber: SPI BI Agustus 2011)
Jadi, bunga kredit tinggi berhubungan dengan struktur pasar perbankan nasional. Masalahnya, ketika semua dipasrahkan ke pasar, BI seolah haram melakukan interfensi secara langsung, misalnya dengan mematok bunga kredit maksimal. Ini setidaknya dari pengakuan BI, yang juga merasa sebal dengan tingginya bunga kredit. Namun, sedikit melenceng pada kasus lain, BI justru mulai mematok bunga pinjaman melalu kartu kredit, yakni 3% per bulan. Mungkin karena kartu kredit tergolong produk fee based income yang sarat dengan masalah, jadi BI pun intervensi. Lalu, mengapa BI tidak melakukan intervensi pada kasus tingginya bunga kredit bank? Padahal dua bank milik pemerintah menduduki peringkat atas bank umum dilihat dari total asetnya. Sebagai pemegang saham mayoritas, pemerintah mungkin bisa menghimbau para pengelola Bank Persero untuk menurunkan bunga kredit. Atau, jangan-jangan pemerintah pun tidak berani untuk mengotak-atik dapurnya bank persero atas nama Good Corporate Governance?
2 of 5
07/02/2012 11:46
http://ekonomi.kompasiana.com/moneter/2011/11/09/menyoal-bunga-kre...
Sepuluh bank besar ternyata menguasai 63 persen pasar perbankan. Ini yang dikhawatirkan para pengamat bank. Struktur yang mengarah ke oligopoli tersebut berpotensi monopolistik dalam penentuan tingkat suku bunga. Pemain besar bisa saja mendikte pasar. Tingkat suku bunga kredit pun tidak hanya ditentukan oleh struktur biaya dana. Debitur harus menerima harga yang relatif mahal. Menurut saya, pemerintah harusnya bisa memainkan kekuasaannya melalui dua bank persero yang menjadi raja di Indonesia untuk memelopori penurunan tingkat suku bunga kredit, termasuk dengan memperbaiki efisiensinya juga.
Bank terbesar milik pemerintah, harusnya menjadi pelopor penurunan bunga kredit
Dengan dalih BI tidak mau mencederai mekanisma pasar perbankan, BI pun cuma bisa berteriak, namun tidak memberikan solusi cespleng yang bisa menurunkan bunga kredit bank. BI hanya bisa menghimbau saja, sambil berharap semoga pelaku perbankan nasional mau dengan ikhlas untuk menurunkan bunga kreditnya. BI pun cuma harap-harap cemas saja, jika barrier to entry pasar perbankan nasional dibuka untuk bank asing dalam rangka AFTA. Bisa jadi, jika ada serbuan eksternal dari bank asing yang menawarkan bunga kredit yang lebih rendah, perbankan nasional baru mau menurunkan bunga kreditnya. Biar tetap untung ketika bunga kredit turun, bank harus mencermati kembali ketidakefisienannya. Dan itu tidak harus menunggu area perdagangan bebas ASEAN saja, toh penyaluran kredit murah bisa membantu sektor riil agar mulai menggeliat lagi, yang muara akhirnya adalah menggairahkan perekonomian nasional.
T weet 2
Share
jawabnya gampang, mas: karena bank di Indonesia adalah LEMBAGA RENTENIR YANG DILINDUNGI UNDANG2! maka tiada aneh jika banyak pula bank asing bersukaria BEROPERASI DI NEGERI INI macam lintah darat! HANYA DI INDONESIA HAL INI TERJADI.
Balas | Suka
Budi Hermana
jadi UU-nya tidak pro lintah darat ya Mas Prabu? Terima kasih sudah berkunjung, salam
3 of 5
07/02/2012 11:46
http://ekonomi.kompasiana.com/moneter/2011/11/09/menyoal-bunga-kre...
Balas |
Suka
Prabu Bolodowo
mas Budi yg baik, mo nanya: kenapa tabungan Rp. 1 juta bunganya kecil, ga sampe 3%pa. sebaliknya tabungan Rp.1 milyar bisa dpt bunga lebih 6%pa? Kalau hal ini diatur oleh kebijakan, alangkah benar2 tragis jadi orang miskin di negeri ini?
Balas | Suka
Budi Hermana
Begitulah prime customer bisa mendikte pihak bank karena punya dana besar ironis memang, hanya yang tergolong surplus unit saja kan yg punya tabungan? Salam
Balas | Suka
Andreas Hassim
Sebagai praktisi dan terkadang mengamati saya juga bertanya kok suku bunga ga turun2 ya, btw salah satunya setuju saya oligopoli, tp interest rate simpanan dari bbrp bank sangat ajaib jauh di atas BI Rate, ya terkadang itulah dinamika bisnis, kalo ada waktu saya banyak tulisan mengenai suku bunga http://www.kompasiana.com/andreashassim. Sukses selalu Pak Budi. Salam
Balas | Suka
Budi Hermana
Terima kasih, Mas Andreas, senang ada teman yang banyak menulis tentang keuangan dan bank, Nanti saya mampir ke sana untuk berguru dan menambah wawasan. Salam
Balas | Suka
Iwan Gunawan
Saya pernah bicara dgn salah 1 pejabat bank BUMN saat mengajukan pinjaman Menurut mrk belanja dana yg mahal justru dr BUMN yg menaruh uang d bank. Mrk meminta special rate dan rate ini d atas counter rate Jd beban bunga atas dana BUMN tsb di bebankan kpd masyarakat dlm bentuk bunga pinjaman yg cukup tinggi.. Terkadang dana BUMN ini nilainya sangat signifikan sehingga mempengaruhi beban bunga bank
Balas |
Suka
Budi Hermana
Tanggapan Mas Iwan, senada dengan Mas Prabu. yang banyak uang mempunyai bargaining power yang besar, apalagi jika jumlah dananya luar biasa. Paling banknya pusing juga untuk memutarkan kembali dana tersebut biar balik modal. Salah satu modusnya ya dengan meningkatkan bunga kredit. Kasihan ya Debitur bank. Terima kasih atas informasi tambahannya, salam
Balas | Suka
Iwan Gunawan
Mgkn baiknya BUMN tdk meminta bunga terlalu bsr d bank pemerintah Dan pemerintah bs mengeluarkan permen menkeu khusus ttg hal ini Perputaran uang BUMN sangatlah besar.
Balas | Suka
Budi Hermana
jadi inget dulu, gebrakan Sumarlin yang menarik dana BUMN dari perbankan ya Cuma dulu sasarannya memang memperketat likuiditas, yg ujung2nya malah tingkat suku bunga naik sih Terima kasih, salam
Balas | Suka
4 of 5
07/02/2012 11:46
http://ekonomi.kompasiana.com/moneter/2011/11/09/menyoal-bunga-kre...
About Kompasiana
Tutorial |
FAQ |
Contact Us
Kompasiana Toolbar
2008 2012
5 of 5
07/02/2012 11:46