Anda di halaman 1dari 10

Perspektif Vol. 10 No. 1 /Juni 2011.

Hlm 01 - 10 ISSN: 1412-8004

PROSPEK AGRO-INDUSTRI AREN (Arenga pinnata)


ABNER LAY dan BAMBANG HELIYANTO

Balai Penelitian Tanaman Kelapa dan Palma Lain Indonesian Coconut and Palmae Research Institute Jl. Raya Mapanget, Kotak Pos 1004, Manado 95001
Diterima: 25 Februari 2010; Disetujui: 2 Januari 2011

ABSTRAK
Nira aren adalah produk ekonomi tanaman aren. Teknologi pengolahan produk aren secara tradisional dijumpai pada unit pengolahan gula cetak dan tuak. Teknologi inovatif pada pengolahan gula semut, anggur palma, dan alkohol teknis, dan teknologi maju dijumpai pada pengolahan gula kristal dan alkohol absolut. Faktor-faktor penentu pengembangan agroindustri aren antara lain pemberdayaan petani, teknologi pengolahan, dana/investasi, pengembangan produk dan pemasaran. Pengengembangan agroindustri aren di masa mendatang dapat mengacu pada agro-industri model HariangBanten dan MasarangTomohon, dengan orientasi produk bernilai ekonomi cukup tinggi dan mempunyai pasar yang luas. Kata kunci: Arenga pinnata, nira, produk gula aren, model agro-industri gula aren

ABSTRACT Prospect of Sugar Palm Agro-Industry


Palm juice is the economic product of sugar palm tree. Traditionally sugar processing technology is found in sugar and alcohol processing units. Innovative technology is found in brown sugar, crystal sugar, palm wine, and absolute alcohol or ethanol an-hydrate. Determinants of sugar palm agro-industry development consist of empowerment of farmers, processing technology, funding/investment, product development and marketing. Future sugar palm agro-industry may follow agro-industrial model by Hariang-Banten and Masarang-Tomohon, with the orientation on high economic value products and based on broad and sustainable market. Keywords: Arenga pinnata, palm juice, sugar palm products, palm sugar agro-industry model

PENDAHULUAN
Di Indonesia, tanaman aren tumbuh di daerah-daerah perbukitan dengan curah hujan yang relatif tinggi dan merata sepanjang tahun.

Sentra pertanaman aren meliputi Provinsi Nangroe Aceh Darussalam, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Bengkulu, Jawa Barat, Banten, Jawa Tengah, Kalimantan Selatan, Gorontalo, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Maluku Utara, dan Papua (Departemen Pertanian, 2006). Agro-industri dengan skala kecilmenengah dihadapkan pada masalah keadaan pertanaman aren tersebar dalam wilayah yang luas dengan produktivitas rendah, pengumpulan nira aren untuk memenuhi kapasitas terpasang, teknologi pengolahan, modal kerja, dan terbatasnya jaringan pemasaran. Menurut Soewono (2005) permasalahan menonjol pada agro-industri adalah pekerja yang tidak terlatih, organisasi dan manajemen kurang memadai, institusi yang lemah dan kurangnya dukungan pemerintah dalam pembinaan, penyediaan kredit dan informasi pasar. Produk bernilai ekonomis dari tanaman aren adalah nira. Pengolahan produk aren beragam sesuai tingkat teknologi. Pengolahan gula cetak dan tuak secara tradisional, sedangkan gula semut dan gula kristal sudah mulai dikembangkan dalam skala industri kecilmenengah. Anggur palma sebagai produk baru yang cukup lama diperkenalkan belum meluas pengembangannya. Pengolahan alkohol teknis (kadar alkohol 70-96 %) belum dikenal masyarakat, umumnya dilakukan pada skala industri menengah-besar, karena membutuhkan peralatan dan keterampilan spesifik. Pengolahan alkohol absolut (kadar alkohol 99,5% atau lebih) membutuhkan peralatan yang lebih spesifik, sistem proses terkontrol, dan tenaga operator profesional (Tjokroadikoesoemo, 1986). Produk etanol anhidrat, digunakan sebagai bahan bakar, lebih populer dengan sebutan Fuel

Prospek Agroindustri Aren (Arenga pinnata) (ABNER LAY dan BAMBANG HELIYANTO)

Grade Ethanol atau FGE (Prihandana et al., 2006). Etanol dengan kadar 99,5 % digunakan sebagai bahan bakar dalam bentuk campuran dengan bensin (Hambali et al., 2008).

TEKNOLOGI PENGOLAHAN AREN


Tingkat teknologi agro-industri Teknologi pengolahan dapat dibagi dalam tiga tingkat, yaitu : teknologi tradisional, teknologi inovatif, dan teknologi maju. Teknologi tradisional sudah lama dikenal masyarakat pedesaan, namun yang perlu diperbaiki adalah mengoptimalkan operasionalnya dan memperbesar kapasitas olah. Teknologi Inovatif merupakan pengembangan teknologi yang sudah ada, dirancang perubahan dan penyempurnaan sistem proses, sehingga biaya produksi lebih murah dan waktu proses lebih singkat. Teknologi maju adalah teknologi proses untuk menghantar perusahaan menjadi market leader, yang dihasilkan merupakan produk baru menurut kualitas dan spesifikasinya serta dibutuhkan pasar, sehingga dukungan riset secara terus menerus agar posisi market leader tetap terpelihara (Irawadi, 2000). Pengolahan produk aren secara tradisional umumnya digunakan pada skala pengrajin dengan hasil olahan seperti gula cetak dan tuak. Teknologi inovatif dijumpai pada pengolahan skala kecil-menengah yang cenderung mengikuti perkembangan teknologi untuk meningkatkan produktivitas, efisiensi proses, perbaikan kualitas sesuai permintaan konsumen, seperti pengolahan gula semut, anggur palma, dan alkohol teknis. Teknologi maju dijumpai pada unit pengolahan dengan investasi cukup besar. Pengolahan produk aren yang menggunakan teknologi maju antara lain pengolahan etanol anhidrat. Teknologi inovatif sangat berpeluang digunakan dalam pengembangan agro-industri aren, namun pada langkah awal pengembangannya sangat membutuhkan dukungan peralatan, pembinaan dan pengendalian pasar dari pemerintah/instansi teknis. Teknologi pengolahan produk aren Gula cetak Pengolahan gula cetak oleh petani sejak proses pemilihan mayang hingga pengolahannya dilakukan berdasarkan ketrampilan dan pengetahuan turun-temurun. Penyadapan nira aren dila-

POTENSI AREN
Produksi Tahun 2003, luas areal tanaman aren di Indonesia 60.482 ha dengan produksi 30.376 t/th (Ditjenbun, 2004). Perkiraan potensi produksi dan produktivitas nira beragam antara daerah. Di Minahasa-Sulawesi Utara pada areal homogen aren terdapat sekitar 100 pohon/ha. Kemampuan petani menyadap aren 5-10 pohon atau rata-rata 7 pohon/ha, dengan produksi nira 10-20 l nira/pohon/hari (Lay et al., 2004). Dilaporkan Dalibard (1999) bahwa pada populasi homogen, produktivitas aren sekitar 20 t gula/ha/th, dibanding tebu menghasilkan 5-15 t gula/ha/tahun. Konversi nira aren menjadi gula cetak adalah 10 liter menghasilkan 1 kg gula (Mondoringin, 2000). Nira 10 liter akan menghasilkan 1 liter tuak (kadar alkohol 45%), dan 10 l tuak menghasilkan 4-5 l alkohol teknis dengan kadar alkohol 70-90% (Talumewo, 2004). Konservasi Departemen Kehutanan sejak tahun 1987/1988 telah memanfaatkan tanaman aren sebagai tanaman hutan kemasyarakatan (Social forestry) sebagai zona penyangga dan penghijauan untuk perlindungan jurang, tebing dan daerah aliran sungai (Ardi, 2004). Dilaporkan Alam dan Baco (2004) bahwa tanaman aren dapat dikembangkan menjadi tanaman konser-vasi karena sifat perakaran yang dalam 10-30 m dan daya cengkeraman yang kuat, juga dapat tumbuh dengan baik pada ketinggian 0-1.400 m dml, di daerah pegunungan, lembah-lembah, dekat aliran sungai dekat mata air, dan secara alami banyak dijumpai di daerah hutan. Sistem alley cropping (tanaman lorong) dan agroforestry adalah alternatif model konservasi yang layak dikembangkan dengan memanfaatkan tanaman aren.

Volume 10 Nomor 1, Juni 2011 : 01 - 10

kukan saat mayang siap panen ditandai buah kuning, dan disadap pangkal mayang setiap hari sekali selama 3-4 minggu, dipotong ujung mayang dengan ukuran tertentu, nira aren akan mengalir secara perlahan dan tertampung pada wadah tampungan yang diikat dengan erat pada mayang yang sedang disadap. Nira aren disaring, dimasukkan dalam wajan, dimasak hingga kental, diaduk sampai merata, dituang pada cetakan tempurung kelapa atau cetakan tertentu, didinginkan selama 1-2 jam, diperoleh gula aren dalam bentuk gula cetak. Pada pengolahan gula cetak, faktor penting yang harus diperhatikan adalah keru-sakan nira (nira menjadi asam). Nira yang telah menjadi asam jika diolah menjadi gula, tidak menghasilkan gula yang mengkristal. Untuk mengatasi permasalahan ini, wadah penampung nira dicuci bersih dan dibilas dengan air mendi-dih atau diisi kapur sebanyak satu sendok (20-25 g) bagi penampungan dengan volume 7-10 liter. Hasil sadapan pada pagi hari dikumpul, dipa-naskan sampai mendidih dan digabungkan dengan hasil sadapan sore hari, dimasak bersama pada malam hari. Penggunaan kayu bakar dalam pengolahan gula cetak berkisar 0,25 m3 untuk pemasakaan nira sebanyak 100 liter nira, dengan menghasilkan gula sekitar 10-12 kg (Lay et al., 2004). Dilaporkan Lay dan Karouw (2006) bahwa pengawetan terhadap nira hasil sadapan sebelum dilakukan pengolahan, dengan pemberian kapur 2 g/l nira. Cara ini, dapat mempertahankan keawetan nira cukup lama, ditandai pH dan kadar gula nira aren cukup stabil selama 8 jam. Aplikasi metode ini, lebih sesuai dilakukan pada penyediaan jumlah nira yang cukup banyak yang akan diangkut ke unit pengolahan yang cukup jauh. Gula semut Pengolahan gula semut hampir sama dengan pengolahan gula cetak, yakni dalam hal penyediaan bahan baku nira dan pemasakan sampai nira mengental. Perbedaan-nya yakni pada pengolahan gula cetak, nira yang mengental dimasukkan ke wadah cetakan sampai mengering. Sedangkan pada pengolahan gula semut, saat nira yang dimasak mengental, panas pemasakkan secara perlahan dikurangi secara

bertahap dan pengadukan dilanjutkan sampai gula mengkristal. Pengolahan gula semut di Desa Hariang Kecamatan Sobak, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten dilakukan dalam dua tahap, yakni (a) pengolahan dilakukan anggota kelompok tani/ koperasi yang menghasilkan gula semut kasar, dan (b) pengolahan lanjut pada unit pengolahan di koperasi dihasilkan gula semut. Proses pengolahan gula semut kasar pada tingkat petani, dimulai dengan pengambilan nira hasil penyadapan pada tempat penampungan nira dari bambu atau jerigen, yang dilakukan pada pagi dan sore hari. Nira hasil penyadapan, diproses lebih lanjut untuk menghasilkan gula aren. Pemasakan gula aren membutuhkan waktu 4-6 jam, tergantung banyaknya nira yang akan dimasak. Penyadapan nira dilakukan pada pagi dan sore hari. Pengawetan nira menggunakan bahan pengawet alami daun pohon Mara dan kulit pohon Cangel. Nira yang disadap pagi hari dipanaskan sampai mendidih dan nira hasil sadapan sore ditambahkan pada nira hasil sadapan pagi hari, kemudian nira dimasak untuk memperoleh gula semut kasar. Nira yang diolah menjadi gula semut dengan pH 5,8-6,8 dan kadar sukrosa 12-15 %. Karakteristik gula semut kasar, sebagai berikut : kadar air 6,51%, kadar sakarosa 86,84%, cemaran logam Pb kurang dari 0,05 ppm dan kadar abu 1,36 %. Gula semut kasar produksi kelompok tani berkadar air tinggi (lebih dari 3,0%) sebagaimana disyaratkan SII dan ukuran butiran yang tidak seragam. Pengolahan pada tingkat koperasi meliputi kegiatan pengeringan, pengayakan, dan pengepakan. Pengeringan gula semut dilakukan dengan dua cara, yakni dengan sinar matahari (jika cuaca baik) dan oven sistem rak. Sebanyak 70% produk dikeringkan dengan oven dan 30% dengan sinar matahari. Pengayakan secara manual dengan ayakan stainless steel 18-20 mesh. Produk dikemas dalam karung propi-lien dua lapisan seberat 50 kg/karung. Gula semut hasil olahan dengan karakteristik : kadar air 2,88%, kadar sakarosa 92,02%, cemaran logam Pb kurang dari 0,05 ppm, dan kadar abu 1,35%. Gula kristal Gula kristal adalah gula aren dalam bentuk butiran menyerupai gula semut, dengan ukuran

Prospek Agro-industri Aren (Arenga pinnata) (ABNER LAY dan BAMBANG HELIYANTO)

butiran mengikuti gula pasir dari nira tebu. Pengolahan gula kristal yang dilakukan di unit pengolahan gula kristal di Masarang-Tomohon, Sulawesi Utara dilakukan secara mekanis. Pengolahan gula kristal dari nira aren meliputi beberapa tahap : (a) persiapan dan pemekatan nira, (b) pemekatan lanjutan, (c) sentrifugasi masakan gula, (d) pengeringan dan pengepakan gula. Bahan baku nira aren berasal dari petani aren di wilayah Tomohon dan sekitarnya. Nira aren mudah mengalami fermentasi secara alami. Oleh karena itu untuk keawetan nira agar tidak menjadi asam sebelum pengolahan, petani melakukan cara pemanasan sampai nira mendidih dan didinginkan. Proses penguapan nira menjadi gula membutuhkan energi panas yang cukup besar, yang berasal dari energi panas bumi dalam bentuk uap panas dari Pertamina Lahendong, yang terletak di sekitar unit pengolahan. Uap panas yang dibutuhkan adalah saturated stream sekitar 0,5 t/jam dengan suhu kurang lebih 107C pada tekanan 1 kg/cm. Nira aren yang berasal dari petani dilakukan proses pendahuluan, yakni pemekatan awal nira dari petani (pH nira 6-8), dengan menggunakan open pan, hingga diperoleh larutan nira agak kental berkadar gula 50-60%. Pemekatan lanjutan dengan menggunakan close open, sehingga diperoleh gula yang kering namun saling lengket antar butiran gula. Proses selanjutnya adalah butiran gula disentrifus pada unit sentrifugal, dengan kecepatan 1.200 rpm, agar terbentuk kristal gula yang agak kering dan tidak lengket antar butiran. Selanjutnya butiran gula dikering-kan agar diperoleh gula kristal yang memenuhi standar SII. Pengolahan gula kristal di Masarang Tomohon, kapasitas produksi sekitar 1 t/hari, membutuhkan nira aren mentah sebanyak 10.000-15.000 l/hari, dengan menghasilkan produk gula kristal dikategorikan cukup baik (Purnomo et al., 2004). Anggur palma Pengolahan anggur palma skala laboratorium terdiri dari dua tahap, yakni pembuatan starter dan pembuatan anggur palma. Pembuatan starter diawali dengan penyaringan nira aren dan pengaturan kadar gula nira dari 11-15% menjadi

2%, nira dipanaskan sampai mendidih dan didinginkan. Nira diinokulasi dengan kultur murni ragi Saccharomyces cerevisiae atau Saccharomyces ellipsoides dengan takaran 3 g/100 ml cairan nira, dan diikubasi selama 24 jam pada suhu ruang. Pengolahan anggur palma dilakukan melalui penyaringan nira dan penyesuaian kadar gula nira aren menjadi 15%. Nira dipanaskan sampai mendidih, didinginkan, dan diatur keasamannya (pH menjadi 4,0-4,5) dengan penambahan asam sitrat, kemudian nira aren dinokulasi starter takaran 10% v/v dan difermentasi, dilanjutkan proses penuaan selama 3 bulan. Pada pengolahan anggur palma menggunakan mikro organisme, sehingga faktor higienis penting diperhatikan untuk menghindari kontaminasi selama proses fermentasi dan penuaan. Anggur palma yang menggunakan ragi S. cerevisiae berwarna merah, mengandung gula 3,3-3,8 %; pH 3,9-4,1; dan kadar alkohol 7%. Sedangkan yang menggunakan ragi S. Ellipsoides, berwarna merah; mengandung gula 10,4%; pH 4,3; dan kadar alkohol 1,6%. Anggur palma yang menggunakan ragi S. Ellipsoides mempunyai rasa seperti hasil fermentasi buah anggur. Tuak Pengolahan tuak sudah umum dilakukan petani aren di berbagai daerah sentra produksi aren, antara lain di daerah Minahasa Sulawesi Utara. Pengolahan tuak, dimulai dengan menampung nira hasil sadapan dalam tangki selama 2-3 hari, tanpa menggunakan stater atau ragi, nira hasil fermentasi kemudian didestilasi atau disuling dengan alat sederhana. Wadah pemasakan menggunakan drum, pipa destilasi menggunakan bambu yang saling bersambungan dengan panjang berkisar 21-24 m. Penentuan kadar etanol pada tingkat petani dilakukan berdasarkan kebiasaan dengan pengamatan pada hasil penyulingan, yaitu tetesan cairan etanol pada botol pertama dan kedua diperkirakan berkadar etanol 40-45%, tetesan cairan pada botol ketiga sampai kelima berkadar etanol 30-35%, dan tetesan selanjutnya diperkirakan kadar etanol 20-25%. Untuk keseragaman kadar etanol 30-35%, dilakukan dengan cara mencampurkan etanol hasil penyulingan. Pengo-lahan tuak dari nira aren

Volume 10 Nomor 1, Juni 2011 : 01 - 10

membutuhkan tujuh liter nira aren untuk menghasilkan satu liter alkohol kadar 25-35% (Lay et al., 2004). Dalam pengolahan nira aren hasil fermentasi, sekitar 400 liter (satu drum) menjadi tuak/ tuak sebanyak 55-60 liter, membutuhkan bahan bakar berupa kayu sebanyak 0,25 m3. Permasalahan pengolahan tuak adalah kadar etanol yang tidak seragam dan tidak diketahui pasti. Untuk itu, perlu dilakukan : (a) pemasangan termo-koppel pada wadah pemasakan nira hasil fermentasi, untuk kontrol suhu pemasakan, (b) tungku sebaiknya tertetak di atas permukaan tanah agar memudahkan kontrol kayu bakar dan pembakaran lebih efektif, (c) pengukuran kadar etanol dengan alkohol meter, apabila kadar etanol kurang dari 30% dapat dilakukan penyulingan ulang, jika lebih dari 30% dilakukan pengenceran, agar diperoleh produk etanol yang seragam (Karouw dan Lay, 2006). Pada pengolahan nira menjadi etanol melalui proses fermentasi, dan faktor penentu proses fermentasi adalah mikroba atau ragi yang digunakan dan kondisi lingkungan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konversi gula nira aren menjadi etanol akan efektif pada penggunaan ragi Gold-Pakmaya dan Fermipan dengan lama fermentasi dua hari, dibanding dengan ragi lain yang diuji dan tanpa penggunaan ragi. Fermentasi selama 2-3 hari dengan ragi Gold-Pakmaya menghasilkan etanol 5,0-5,1% dan ragi Fermipan menghasilkan etanol 4,8-5,0%, sedangkan tanpa ragi menghasilkan etanol 4,0-4,5 %. Proses fermentasi nira aren selama dua hari cukup efektif (Lay, 2009a). Etanol hidrat Etanol hidrat dihasilkan dari proses destilasi bertingkat dan dehidrasi dari etanol berkadar rendah (25-35%). Pengolahan etanol hidrat tidak memungkinkan dilakukan oleh petani pengolah tuak, karena peralatan yang ada belum memadai. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengolahan etanol anhidrat memerlukan proses destilasi dan dehidrasi. Proses destilasi pertama dengan alat destilator tunggal skala laboratorium terhadap hasil fermentasi akan menghasilkan etanol kadar 28-43%, jika dilanjutkan proses destilasi kedua dengan alat yang sama dan suhu

pemanasan sekitar 100C, akan menghasilkan alkohol kadar 72-77%. Proses destilasi-dehidrasi menggunakan alat pengolahan bioetanol sistem sinambung, dengan saringan molekuler impor dan bahan baku alkohol kadar 25-35% akan menghasilkan alkohol kadar 80-85%. Pada proses ini, menggunakan bahan bakar minyak tanah sebanyak 4,55 l untuk sekali proses selama 8 jam. Pengolahan lanjut alkohol kadar 83% menjadi alkohol kadar 95-97% pada alat yang sama, membutuhkan bahan bakar minyak tanah sebanyak 4,00 l. Pengolahan dengan alat destilator-dehidrator sistem sinambung, regenasi hidrat menggunakan oven, sehingga etanol yang diserap hidrat dalam proses dehidrasi akan menguap dan terbuang ke udara atau losses product (Lay, 2009b). Hasil kajian ekonomi menunjukkan bahwa (a) pengolahan nira aren menjadi etanol, yang didasarkan harga berlaku pada bulan Juni 2009, dengan kapasitas olah nira aren sebanyak 3.000 l/th akan menghasilkan alkohol 70% sebanyak 2.160 l/th dan pendapatan bersih sebesar Rp. 5.700.000/ th (Lay, 2009b). Pendapatan bersih yang diperoleh tergolong kecil. Apabila dilakukan petani bersama keluarga, pendapatannya akan jauh lebih besar, yakni Rp. 41.700.000/th. Pendapatan ini merupakan jumlah yang cukup besar untuk memenuhi kebutuhan keluarga dan menunjang pengembangan usaha pengolahan etanol. (b) pengolahan etanol 30% sebanyak 36.000 l/th akan menghasilkan 1.020 liter etanol 90% dan 7.284 liter etanol 95-96%, akan diperoleh pendapatan bersih sebesar Rp. 11.940.000,-/th. Jika pengolahan ditangani keluarga/kelompok tani, maka pendapatan setahun adalah pendapatan bersih ditambah upah kerja selama 12 bulan sebesar Rp. 47.940.000,Alkohol absolut Pengolahan alkohol absolut atau etanol anhidrat dapat dilakukan dengan cara dehidrasi (Tjokroadikoesoema, 1986). Pengolahan tersebut dapat pula menggunakan kombinasi destilasidehidrator dengan suhu terkontrol, dan pada proses dehidrasi menggunakan saringan molekuler (molecular sieve). Untuk proses regenerasi hidrat, juga dilengkapi unit pemanasan hidrat dan pompa vakum agar uap alkohol

Prospek Agro-industri Aren (Arenga pinnata) (ABNER LAY dan BAMBANG HELIYANTO)

hasil pemanasan unit dehidrator tidak terbuang percuma, tetapi dapat diproses ulang (Fornoff, 1981). Hasil pengujian unit dehidrator etanol skala pilot dengan menggunakan saringan molekuler, bahan baku etanol kadar 95%, kecepatan alir dalam unit dehidrator 150-168 ml/menit, suhu adsorpsi 71,6-93C, akan menghasilkan etanol anhidrat kadar 99,7-99,8%. Regenerasi hidrat (saringan molekuler) dapat menggunakan oven dengan suhu desorbsi 175C selama 60-120 menit. Pada skala laboratorium metode regenerasi hidrat mudah diterapkan, namun untuk skala besar menjadi kurang efektif, karena harus membongkar seluruh saringan molekuler pada kolom dehidrator (Kurniawan et al., 2009). Tahun 2010, Balai Penelitian Kelapa dan Palma Lain Manado, merencanakan pengembangan alat pengolahan etanol anhidrat dari etanol kadar 25-35%. Alat pengolahan etanol anhidrat dirancang dengan konstruksi tangki penguapan, destilator, dan dehidrator sistem ganda, dilengkapi unit pemanas dehidrator dan pompa vakum, sebagai pengembangan dari alat pengolahan bioetanol sistem sinambung (Lay, 2009b) dan dikombinasikan dengan desain destilator-dehidrator sistem proses kontinu model Fornoff (1981). Produk bioetanol dengan kadar etanol 97% belum dikategorikan sebagai FGE. Kategori FGE adalah etanol kadar 99,5% atau lebih (Fornoff, 1981). Nurianti dalam Bustaman (2008) melaporkan bahwa bioetanol dengan kadar 95-99% dapat dipakai sebagai bahan subtitusi premium atau bensin. Dilaporkan Lay (2009b) bahwa bioetanol 97% dapat digunakan sebagai bahan bakar mesin bensin. Penggunaan campuran bensin-etanol 90:10 pada mesin bensin 2 tak (mesin pemotong rumput Tanaka Sum 328SE buatan Jepang) dan 4 tak (mesin Robin 6.0 Hp EX17 buatan Jepang), akan menghemat bahan bakar bensin murni sebesar 12,5-29,0% dan mesin beroperasi secara normal pada kondisi stasioner. Hasil analisis ekonomi pengolahan etanol 97%, yang didasarkan pada harga jual alkohol 97% yakni Rp. 42.500/l dan harga Pertamax bulan November 2009 di Manado Rp. 9.100/l. Komponen etanol absolut dari Pertamax = [(Rp. 9.100) (0,9 x Rp. 4.500)] x 10 = Rp. 50.500/l. Apabila

dibandingkan harga komponen etanol pada Pertamax dengan harga etanol 97% (Rp. 42.500/l), cukup menguntungkan dengan nilai tambah FGE terhadap etanol kasar adalah Rp. 8.000/l. Pengolahan etanol kadar 83% diolah menjadi etanol 97% untuk digunakan sebagai bahan bakar substitusi bensin adalah layak dan menguntungkan (Lay, 2009b).

FAKTOR-FAKTOR PENENTU PENGEMBANGAN AGRO-INDUSTRI


Pemberdayaan Petani Pemberdayaan petani sebagai upaya untuk membangkitkan potensi serta kemampuan petani ke arah peningkatan produktivitas dan efsiensi secara berkelanjutan. Sasarannya adalah untuk memberikan motivasi dan membangkitkan kepercayaan masyarakat pada kemampuan sendiri. Keterbatasan kompotensi yang dimiliki petani (pendidikan, ketrampilan, dan wawasan) serta keterbatasan lahan dan dana menjadi faktor utama, yang harus dipertimbangkan dalam pemberdayaan petani (Suryonotonegoro, 2002). Menurut Suryonotonegoro (2002) pemberdayaan petani dapat dilakukan dalam dua tahap, yakni tahap pemulihan dan tahap pengembangan. Tahap pemulihan, untuk mendidik dan mendorong motivasi petani dalam meningkatkan produktivitas dan efisiensi pengolahan, sehingga petani mampu meningkatkan motivasi dan kepercayaan pada kemampuan sendiri. Tahap pengembangan, diarahkan untuk mengembangkan agribisnis-agro-industri dan kelembagaan ekonomi yang mandiri. Pada tahap pengembangan diharapkan petani mampu mengembangkan kelembagaan ekonomi yang mandiri. Lembaga petani perlu dibangun dengan tujuan untuk memberikan pelayanan kepada petani-petani yang merupakan anggotanya, serta pendekatan kepada pemerintah dalam hal kepentingan pengembangan usaha pertanian. Melalui lemba-ga pertanian diharapkan dapat tercipta komu-nikasi, sehingga petani dapat menyalurkan aspi-rasi dan kepentingan dengan lebih baik, dan hendaknya lembaga petani ini dibangun atas inisiatif petani, bukan dari pemerintah (Handaka, 2005).

Volume 10 Nomor 1, Juni 2011 : 01 - 10

Teknologi pengolahan Teknologi pengolahan hasil pertanian menjadi produk agro-industri ditujukan untuk meningkatkan nilai tambah komoditas. Teknologi untuk agro-industri merupakan pengubahan kimia, biokimia, dan/atau fisik pada hasil pertanian menjadi produk, dengan nilai ekonomi yang lebih tinggi. Produk agro-industri ini, dapat merupakan produk akhir yang siap digunakan oleh manusia ataupun produk yang merupakan bahan baku industri lain (Mangunwidjaja dan Sailah, 2008). Produk aren yang siap digunakan atau dikonsumsi antara lain gula cetak, gula semut, gula kristal, dan tuak. Sedangkan pro-duk yang merupakan bahan baku industri lain seperti gula cetak, gula semut, etanol hidrat, dan etanol anhidrat. Pada pengembangan teknologi pengolahan, penguasaan sistem proses dan ketersediaan alat pengolahan merupakan faktor penting. Diupayakan penyediaan alat-alat pengolahan, terutama untuk skala kecil-menengah dengan teknologi inovatif yang diproduksi dalam negeri, dengan kinerja yang memadai. Menurut Handaka (2005) bahwa dengan memproduksi alat dan mesin pertanian di dalam negeri, maka devisa dapat dihemat, juga membuka lapangan kerja di sektor manufaktur. Dalam memproduksi alat/mesin pertanian, produsen juga melakukan usaha pengurangan komponen impor. Pengembangan agro-industri bukanlah sekedar membangun industri di pedesaan, melainkan menumbuhkan budaya industri, yang dicirikan dengan disiplin, orientasi usaha pada benefit, efisiensi sumber daya dan waktu, kreatif terhadap adopsi teknologi, dan pasar. Pengembangan produk Efektifnya pembinaan dan pengendalian kegiatan pengembangan membutuhkan wadah permanen yakni kelompok tani dengan unit pengolahannya. Peran petani menyediakan bahan baku, mengolah, dan memasarkan produk yang dihasilkan, dengan bimbingan teknis dan manajemen usaha dari instansi teknis, sehingga petani termotivasi mengembangkan usaha dengan pola pikir bisnis-komersial.

Menurut Ulrich dan Eppinger (2001) bahwa pengembangan dikatakan sukses jika produk yang diproduksi dapat dijual dengan menghasilkan laba. Lima dimensi spesifik yang berhubungan dengan laba dan digunakan untuk menilai kinerja usaha pengembangan produk, yakni: (a) kualitas produk; menentukan berapa besar harga yang ingin dibayar pelanggan, (b) biaya produk; menentukan berapa besar laba yang akan dihasilkan oleh unit usaha pada volume penjualan dan harga penjualan tertentu, (c) waktu pengembangan; akan menentukan kemampuan dalam berkompetisi, perubahan teknologi, dan kecepatan menerima pengembalian ekonomis dan usaha yang dilakukan, (d) biaya pengembangan; merupakan komponen yang penting dari investasi untuk mencapai profit, dan (e) kapasitas pengembangan; merupakan aset mengembangkan produk lebih efektif dan ekonomis di masa yang akan datang. Modal/investasi Modal atau investasi merupakan faktor pembatas bagi petani/pengolah dalam pengembangan usahanya. Pemerintah telah mengambil inisiatif dengan meluncurkan Skim Kredit Agribisnis (SKA) suku bunga 4% untuk alat dan mesin perkebunan. Kredit ini dalam bentuk usaha individu, kelompok atau koperasi (Anonim, 2003). Dukungan sarana dan prasarana pertanian termasuk alat dan mesin pertanian untuk percepatan pembangunan daerah yang tertinggal atau pilot pembangunan, sangat perlu mendapat porsi bantuan yang memadai dari pemerintah (Handaka, 2005). Pada awal pengembangan agro-industri aren, tidak memungkinkan dilakukan sendiri oleh petani/kelompok tani dan koperasi, melainkan diperlukan kerjasama dengan berbagai pihak terkait, terutama dengan pemerintah daerah. Mengacu pada pengembangan agroindustri gula semut model Hariang-Banten (Lay dan Karouw, 2005), peran pemerintah daerah/ instansi teknis dan lembaga keuangan sangat membantu untuk pengembangan agro-industri aren Hariang-Banten, demikian pula agroindustri aren di Masarang-Tomohon dan TapaGorontalo.

Prospek Agro-industri Aren (Arenga pinnata) (ABNER LAY dan BAMBANG HELIYANTO)

MODEL AGRONDUSTRI AREN


Model Minahasa Di Minahasa Sulawesi Utara, produk aren hasil olahan petani adalah gula cetak dan captikus yang umum dilakukan secara perorangan. Pengolahan tuak di Desa Langsot Tareran Minahasa dilakukan secara berkelompok yang beranggotakan 35 petani. Kelompok ini membentuk kelompok yang lebih kecil berjumlah 3-4 petani, bertugas melakukan pengolahan pada satu unit pengolahan secara bergiliran. Pemasaran gula cetak dan tuak hanya dilakukan oleh masing-masing petani/anggota kelompok ke pedagang pengumpul di desa atau pasar setempat. Pemasaran produk gula cetak dan tuak cukup lancar. Pengolahan gula semut belum berkembang di Minahasa, karena membutuhkan waktu kerja yang lebih banyak dibanding dengan waktu kerja pada pengolahan gula cetak dan tuak. Model Hariang-Banten Model Hariang merupakan model pengembangan agro-industri gula semut yang dikembangkan di Desa Hariang-Sobak Kabupaten Lebak Propinsi Banten. Usaha pengolahan gula semut dilakukan kelompok perajin gula semut yang dimulai tahun 1989, membentuk koperasi tahun 1995, melakukan pengadaan satu unit pengolahan gula semut sistem mekanis, dan bantuan modal kerja dari kredit bank. Pengolahan gula semut terdiri dari dua tahap, tahap pertama adalah pengolahan yang dilakukan anggota kelompok tani/anggota koperasi secara manual yang menghasilkan gula semut kasar. Tahap kedua adalah pengolahan lanjut yang dilakukan pada unit pengolahan di koperasi secara mekanis, agar gula semut yang dihasilkan memenuhi syarat mutu Standar Industri Indonesia (SII). Tahun 2005, produk gula semut kasar yang berasal dari petani dibeli koperasi dengan harga Rp. 4.000/kg (untuk petani yang bukan anggota koperasi) dan Rp. 4.500/kg (untuk petani anggota koperasi). Biaya pengolahan gula semut kasar menjadi gula semut sebesar Rp. 2.500. Petani selaku anggota koperasi memperoleh

tambahan pendapatan sebesar Rp. 600/kg, dibanding dengan petani yang bukan anggota koperasi. Tambahan pendapatan tersebut bersumber dari selisih harga penjualan (Rp. 500/kg), SHU (Rp. 50/kg), dan jasa kelompok (Rp. 50/kg). Kapasitas riil KUB Mandala Hariang 15 ton gula semut/bulan, juga mengolah kolang kaling dengan produksi 2 t/th. Model Masarang-Tomohon Pengolahan gula kristal aren di Masang Tomohon berupa perusahaan/yayasan yang menggunakan pengolahan sistem mekanis, mulai pemekatan awal bahan baku sampai dengan permutuan hasil. Tingkat teknologi yang diaplikasikan pada pengolahan gula kristal dapat dikategorikan inovatif menuju teknologi maju. Pengadaan bahan baku nira aren mentah dari petani dibayar tunai, demikian pula dengan tenaga kerja pada unit pengolahan dan admistrasi diupahkan bulanan. Penyediaan bahan baku oleh petani di desadesa penghasil nira aren wilayah Tomohon dan sekitarnya, penanganannya dilakukan oleh orang kepercayaan perusahaan. Nira yang terkumpul dari tiap-tiap desa diangkut ke unit pengolahan. Model Tapa-Gorontalo Model Gorontalo merupakan model agroindustri aren introduksi, dirancang tahun 2009 untuk menangani pengolahan gula cetak dan alkohol teknis. Kelompok tani yang menjadi kelompok sasaran, sekarang aktif menangani pengolahan gula cetak. Pengembangan agroindustri ini diprakarsai Badan Lingkungan Hidup Riset dan Teknologi Informasi (Balihristi) Provinsi Gorontalo, bekerja sama dengan Balai Penelitian Tanaman Kelapa dan Palma Lain (Balitka) Manado. Agro-industri model Tapa-Gorontalo terdiri dari dua unit proses, yakni pengolahan gula cetak yang sudah dimiliki kelompok tani dan etanol teknis dengan komponen peralatan utama terdiri dari alat destilasi sistem tunggal, berfungsi mengolah hasil fermentasi nira menjadi etanol kadar 25- 35%, serta unit destilator-dehidrator sistem sinambung Model LaB-2009, berfungsi memproses etanol kadar 25-35 % menjadi etanol

Volume 10 Nomor 1, Juni 2011 : 01 - 10

hidrat. Pengelolaan agro-industri dilakukan kelompok tani dengan bimbingan instansi teknis (Lay dan Pasang, 2009).

aren diikuti dengan penanaman pohon sebagai sumber kayu bakar.

KESIMPULAN DAN SARAN


Kesimpulan (1) Pengembangan teknologi tradisional kurang menunjang perbaikan pendapatan petani. Teknologi maju membutuhkan biaya/investasi yang besar dengan manajemen profesional, Teknologi inovatif sangat berpeluang untuk digunakan dalam pengembangan agro-industri aren di pedesaan. (2) Penyediaan mesin pengolahan yang diproduksi dalam negeri akan sangat menunjang pengembangan agro-industri aren dan industri manufaktur serta perluasan lapangan kerja. (3) Agro-industri aren Model Hariang dan Masarang-Tomohon dapat menjadi contoh pengembangan agrondustri di daerah sentra produksi aren, dengan penyesuaian kelembagaan, sistem pengolahan, pengelolaan usaha dan pola kerjasama. (4) Prakarsa Badan Riset Lingkungan Hidup dan Teknologi Informasi Propinsi Gorontalo dalam pengembangan agro-industri aren, patut menjadi acuan bagi pengembangan agro-industri aren di berbagai daerah sentra produksi aren. Saran (1) Pengembangan agro-industri aren tidak mungkin dilakukan hanya oleh petani/kelompok tani sendiri. Dukungan dan pembinaan dari pemerintah, instansi teknis terkait, dan lembaga keuangan sangat diperlukan dalam menunjang pengadaan alat pengolahan, modal kerja, dan membantu jaringan pemasaran. (2) Pengolahan gula dan alkohol membutuhkan bahan bakar kayu dan minyak tanah yang cukup banyak. Untuk kecukupan bahan bakar dan keseimbangan lingkungan, perlu penanaman pohon penghasil kayu bakar di antara pohon aren atau usaha penanaman

DAFTAR PUSTAKA
Alam, S. dan D. Baco. 2004. Peluang pengembangan dan pemanfaatan aren di Sulawesi Selatan. Prosiding Seminar Nasional Pengembangan Aren di Tondano, 9 Juni 2004. Hlm. 15-21. Ardi, H. 2004. Tantangan dan peluang pengembangan aren untuk konservasi lahan di Propinsi Kalimantan Tengah. Prosiding Seminar Nasional Pengembangan Aren di Tondano, 9 Juni 2004; hal. 44-57. Bustaman S. 2008. Strategi pengembangan bioetanol berbasis sagu di Maluku. Perspektif, Review Penelitian Tanaman Industri, Bogor; 7(2):65-79. Dalibard, C. 1999. Overall view on the tradition of tapping palm tress and prospects for animal production. Livestock Research Rural Development, 11 (1) : 1-53. Departemen Pertanian. 2006. Data statistik tanaman aren. Departemen Pertanian, Jakarta. Ditjenbun. 2004. Pengembangan tanaman aren di Indonesia. Prosiding Seminar Aren Nasional, di Tondano Sulawesi Utara, 9 Juni 2004. Fornoff, L.L. 1981. Process for dehydrating ethanol and for the production of gasohol. United States Patent 4.273.621. Hambali, E., S. Mujdalipah, A.H. Tambunan, A.W. Pattiwi, dan R. Hendroko. 2008. Teknologi bioenergi. AgroMedia. Jakarta. Handaka, 2005. Posisi strategis mekanisasi pertanian bagi revitalisasi pertanian. Lokakarya Hasil Litbang Mekanisasi Pertanian. Jakarta, 29-30 November 2005. Irawadi, D. 2000. Kontribusi teknologi proses dalam pembangunan agrindustri perkebunan menuju otonomi daerah. Ekspose Hasil Penelitian dan Pengembangan Tanaman Perkebunan. Jakarta. Karouw, S. dan A. Lay. 2006. Nira aren dan teknik pengendalian produk olahan. Buletin Palma (31):116-125.

Prospek Agro-industri Aren (Arenga pinnata) (ABNER LAY dan BAMBANG HELIYANTO)

Kurniawan, Y., Triantarti, H. Santoso, dan S. Yuliatun. 2009. Pengembangan teknologi untuk meningkatkan produksi bioetanol berbahan baku tebu minimal 20%. Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia, Pasuruan. Lay, A., R.T.P. Hutapea., J. Tuyuwle, J.O. Sondakh, dan A. Polakitan. 2004. Pengembangan komoditas aren di daerah Minahasa, Sulawesi Utara. Prosiding Seminar Nasional Pengembangan Aren di Tondano, 9 Juni 2004. Hlm. 83-106. Lay, A. dan P.M. Pasang. 2009. Laporan penelitian pengolahan aren untuk menghasilkan bioetanol sebagai energi alternatif. Kerjasama Balihristi Provinsi Gorontalo dan Balitka Manado (Tidak dipublikasikan). Lay, A. 2009a. Penggunaan ragi komersial pada pengolahan etanol dari nira aren. Buletin Palma (37): 60-66. Lay, A. 2009b. Rekayasa teknologi alat pengolahan bioetanol dari nira aren. Buletin Palma (37): 100-113. Mangunwidjaja, D. dan I. Sailah. 2008. Pengantar teknologi pertanian. Penebar Swadaya, Jakarta. Hlm. 124-125. Mondoringin, S.G.O. 2000. Analisis biaya produksi pada industri rumah tangga gula aren di Kecamatan Tareran Minahasa. Skripsi-S1 pada Fakultas Pertanian Universitas Sam Ratulangi. Manado.

Purnomo, E., Nahdodin, dan P.D.N. Mirzawan. 2004. Pengolahan nira aren menjadi gula kristal. Prosiding Seminar Aren Nasional. Tondano, 9 Juni 2004. Hlm. 113-124. Rindengan, B. dan S. Karouw. 2004. Palm wine aren. Prosiding Seminar Aren Nasional. Hlm. 125-130. Tondano, 9 Juni 2004. Soewono, L. 2005. Pemanfaatan teknologi pascapanen dalam pengembangan agroindustri. Makalah Seminar Nasional Teknologi Inovatif Pascapanen untuk Pengembangan Industri Berbasis Pertanian. Bogor, 7-8 September 2005. Suryonotonegoro, G.A. 2002. Pemberdayaan petani kelapa. Prosiding KNK V. Tembilahan-Indragiri Hilir, Riau, 22-24 Oktober 2002. Talumewo, D. 2004. Analisis tingkat keuntungan usaha tuak di desa Atep Kecamatan Langowan Timur Minahasa. Skripsi-S1 pada Fakultas Pertanian Universitas Sam Ratulangi. Manado. Tjokroadikoesoemo, P.S. 1986. HFS dan industri ubi kayu lainnya. Penerbit Gramedia, Jakarta. Ulrich, K.T. dan S.D. Eppinger. 2001. Product design and development (Perancangan dan pengembangan produk). Diterjemahkan N. Azmi dan I.A. Marie. Penerbit Salemba Teknika, Jakarta.

10

Volume 10 Nomor 1, Juni 2011 : 01 - 10

Anda mungkin juga menyukai