Anda di halaman 1dari 2

PIPIN CEPLOS

Entah kenapa sejak kemarin malam 19/03 pikiran saya terganggu dengan akan berlangsungnya Pemilihan kepala daerah DKI Jakarta. Mungkin karena halangan saat pulang kantor ketika saya (ternyata) melalui kantor KPUD DKI yang sedang dipenuhi massa pendukung FOKE NARA, atau mungkin karena memang sedang iseng atau bisa jadi karena pikiran lagi kepingin dibawa serius. Namun yang pasti hingga malam ini 20/03, gangguan tersebut masih tersisa dikepala saya. Pagi tadi, saya coba berselancar di jagat maya, mencari tahu siapa saja yang sudah mendaftarkan diri sebagai bakal calon pemimpin di DKI Jakarta ini. Ternyata sudah ramai pasangan yang mendaftarkan diri di KPUD DKI. Ada Alex Nono, Hendardji-Riza, Jokowi-Ahok, Foke-Nara, Hidayat-Didik JR yang kesemuanya didukung partai atau koalisi partai atau mencoba untung dari dukungan partai. Hanya satu pasangan bakal calon yang menarik perhatian saya Faisal-Biem yang diusung melalui jalur independen. Dari awal memang saya sudah menaruh antipati terhadap calon yang disokong oleh partai politik. Hal ini karena, saya masih merasa bahwa partai politik apapun azas (ideologi) yang menjadi nafas organisasinya telah cukup terbukti sarat dengan prilaku korup. Sudah bukan berita aneh lagi kalau pegiat partai tertangkap korupsi kemudia berusaha dibela oleh partainya melalui gerakan politik dan sejenisnya. Belum lagi kalau nantinya para bakal calon yang diusung melalui mahar politik ini terpilih, niscaya mereka akan dapat menjadi pemimpin yang amanah. Hal ini karena banyaknya kepentingan yang perlu menjadi pertimbangan mereka dalam pengambilan setiap kebijakannya. Intinya saya masih cukup dalam kecewa terhadap perilaku partai. Secara formal memang bukan hanya Faisal-Biem yang menggunakan jalur independen untuk maju dalam pilkada DKI Jakarta. Ada Hendardji Riza yang juga maju lewat jalur independen. Namun setelah saya berselancar lebih dalam, saya temukan jejak yang kurang berkenan bagi saya dari pasangan Hendardji-Riza. Pertama, jejak tentara Hendardji dan kasus Mile 62, Papua yang menyeret Antonius Wamang ke penjara. Kedua, Jejak partai Riza (bakal calon wakil gubernur dari Hendardji), jejak organisasi para-militer yang diikutinya, dan jejak partai pendukungnya melalui Adhyaksa Dault. Dari hal ini saya hanya mendapati Faisal Biem yang benar-benar murni sebagai bakal calon yang mewakili jalur independen. Faisal-Biem memang tidak saya kenal secara dekat, dan tidak pula saya miliki rekam jejak yang mendalam tentang keduanya. Namun, dari sedikit hal yang saya ketahui tentang mereka berdua nampaknya mereka berdualah yang lebih mendekati kriteria yang saya inginkan. Mereka berdualah yang bersusah-payah mengumpulkan suara rakyat melalui jalur independen, yang mungkin juga memiliki kegelisahan yang sama seperti saya terhadap partai politik. Walaupun saya belum tahu apakah mereka akan mampu memimpin jajarannya nantinya untuk bekerja sesuai arah kebijakan yang digariskan, saya percaya mereka dapat lebih amanah. Hal ini karena sejak dari awal mereka berdua sudah menjanjikan akan mundur jika mampu memenuhi janjinya. Saya percaya mereka akan mundur atau bahkan dimundurkan jika mereka tidak tepat janji. Karena hal ini jelas lebih mudah dilakukan oleh partai-partai lawannya yang bertengger di DPRD DKI Jakarta. Saya melihat bahwa jika mereka berdua terpilih maka peluang parlemen untuk memundurkan mereka berdua jika ingkar janji sama besarnya dengan peluang mereka didukung oleh rakyat ketika mereka berhasil menepati janji-janji kampanyenya. Namun dari mereka lah rakyat Jakarta dapat

lebih ber partisipasi aktif dalam mengawasi jalannya roda pemerintahan tanpa perlu melalui parlemen yang nota bene sudah tercemar virus merusak yang dibawa partai politik. Politik dagang sapi a la partai politik yang begitu sudah mendarah daging, akan terhambat dengan adanya partisipasi aktif rakyat melalui komunitas-komunitas pendukung jalur independen. Sangat disayangkan apabila, salah satu peluang besar partisipasi aktif rakyat dalam politik melalui jalur independen ini kemudian harus dikebiri oleh karena pembatalan sejumlah bukti dukungan kepada Faisal-Biem. Karena itu perlu gerakan sosial yang kuat untuk tetap dapat meloloskan calon independen ini kekancah pemilihan gubernur-wakil gubernur DKI Jakarta. Sebelumnya saya adalah orang yang lebih senang memilih untuk tidak memilih dalam ajang seperti ini. Namun kali ini perlu kiranya saya mendaratkan pilihan saya pada peluang yang lebih menjanjikan untuk masa yang akan datang dengan terbukanya kesempatan memilih pemimpin dengan keterlibatan langsung zonder partai politik (baca: partai korup). Istilah Pipin Ceplos terlontar begitu saja saat saya membuat tulisan ini. Pipin Ceplos adalah sebuah akronim acak yang akan saya pakai untuk menunjuk sebuah gerakan Pilih Pemimpin Independen atau Centang (v) yang polos. Niatan dari pemakaian akronim ini adalah untuk kemudahan dalam mengingat semata. Pipin Ceplos adalah luapan kegelisahan sekaligus pengutaraan harapan saya dalam Pilkada DKI. Saya hanya akan memilih pemimpin (bakal) calon dari jalur Independen dan kalau ternyata tertutup kemungkinan untuk itu maka saya akan tetap berpartisipasi dengan cara mencentang yang polos. Saya tidak akan biarkan hak suara saya menjadi sia-sia sebagaimana pada periode-periode sebelumnya. Saya akan tetap hadir di saat pemungutan suara walaupun harus kecewa dengan digagalkannya calon independen. Mungkin saya diindikasikan sebagai salah satu tim kampanye Faisal-Biem, saya tegaskan, saya bukan bagian dari tim kampanye mereka. Saya hanya merasa sedikit tergugah untuk ikut serta dalam arus ide proses pemajuan demokratisasi yang diusung melalui jalur independen, hanya itu. Harapan besar saya adalah nantinya, masyarakat luas dapat juga turut serta berpartisipasi dalam segala ide-ide besar pemajuan demokratisasi politik yang melibatkan dirinya secara langsung. Karena saya menyenangi independensi dan kemandirian lah saya akan Pipin Ceplos.

Surya

Anda mungkin juga menyukai