Anda di halaman 1dari 2

Peruntukan Kawasan Lapangan Banteng Daerah sekitar Istana Weltevreden (di sekeliling Pasar Senen dan Lapangan Banteng

sekarang) pada awal abad ke-19 sudah menggantikan kota sebagai pusat militer dan pemerintahan. Karena itu, makin banyaklah orang meninggalkan kota yang mulai tidak sehat itu, akibat tertimbunnya kali dengan lumpur, pendangkalan karena pembuangan kotoran, sampah serta ampas tebu serta oleh pasir Gunung Salak setelah ledakannya pada 1699 serta oleh salah urus, misalnya akibat penggalian Mookervaart (kini Kali Pesing). Tak lama setelah Overstraten memutuskan untuk membangun markas militer baru, dua belas batalion Prancis tiba dari Pulau Mauritius. Para tentara ini ditempatkan di daerah antara Jl. Dr. Wahidin dan Kali Lio. Sampai beberapa tahun yang lalu, daerah bekas Jl. Siliwangi I - V masih merupakan daerah perumahan personel militer. Dan, sejak abad ke-18 selalu terdapat tangsi-tangsi di sekitar Lapangan Banteng (kini tinggal markas Korps Komando (KKO) Marinir; Brimob dan RSPAD). Sejak saat inilah Lapangan Banteng disebut Paradeplaats, yakni lapangan untuk mengadakan parade. Pada awal pemerintahan Daendels (1809), ia telah mulai membangun sebuah istana yang besar dan megah di lapangan banteng dan kini dipakai Departemen Keuangan. Daendels bermaksud menjadikan istana ini sebagai pusat ibukota barunya di Weltevreden. Istana dirancang oleh Kolonel J.C.Schultze. Adapun bahan bangunannya diambil dari benteng lama atau Kasteel Batavia yang mulai dirobohkan pada 1809. Namun, bangunan ini baru dapat diselesaikan pada 1826 dan 1828 oleh Insinyur Tromp atas perintah Pejabat Gubernur Jenderal Du Bus de Ghisignies. Di sebelah utara istana didirikan gedung Hoogeregtshof (Mahkamah Agung). Pada 1828 pula, di tengah lapangan banteng didirikan Monumen Pertempuran Waterloo (Belgia), tempat dimana Napoleon mendapatkan kekalahan secara definitif. Dan karena itu pula, lapangan di sekitarnya mendapat nama Waterlooplein (Lapangan Waterloo). Selama abad ke-19, lapangan Waterloo merupakan pusat kehidupan sosial. Orang-orang Batavia pada sore hari berkumpul dengan menunggang kuda atau kerata untuk saling bertemu. Untuk latihan militernya, Daendels mengalokasikannya di lapangan Buffelsveld (lapangan kerbau) yang kini menjadi Lapangan Monumen Nasional. Kala itu, mereka menyebutnya sebagai Champs de Mars. Sesudah masa kuasa sementara Inggris, lapangan itu diberi nama baru lagi (1818), yakni Koningsplein (Lapangan Raja), karena gubernur jenderal mulai tinggal di Istana Merdeka (sekarang).

Kondisi Aspek Sosial yang mempengaruhi Wilayah Lapangan Banteng di zaman Dahulu Pegawai-Pegawai VOC yang lebih kaya memamerkan kekayaan mereka dengan rumah yang sangat mewah. Di Timur, katanya, orang harus menunjukkan kekayaan dan monopoli yang dikuasainya dengan memamerkan kemewahan dan kemakmuran. Ini kadang-kadang terwujud melalui ekspresi arsitektur yang Ekstravaganza. Salah satu contoh adalah rumah Weltervreden yang dibangun sekitar 1750 oleh Gubernur Jenderal J. Mossel dan diperbesar oleh penerusnya Gubernur Jenderal A. Van der Parra. Arsitektur bagian depan yang mencolok dengan sengaja dirancang untuk menunjukkan kedudukan penghuninya dalam hierarki sosial dan tentu saja kekayaan finansialnya. Rumah dan

tamannya mirip Versailles. Bangunan utamanya terdiri atas dua lantai-namun dengan tampak depan palsu yang membuat orang mengira ada tiga lantai. Kemewahan masih ditambah dengan dekorasi pahatan atap dalam wujud rajawali-rajawali besar. Rumah itu diruntuhkan pada tahun 1820, tetapi namnya masih ada. Itu sebabnya kita masih mengenal tempat yang disebut sebagai Weltervreden VOC secara resmi dinyatakan bangkrut pada 31 Desember 1799 dan wilayah-wilayah yang telah mereka kuasai diambil alih oleh pemerintah Belanda. Insinyur militer tentara kolonial juga termasuk kelompok ahli teknik sipil yang dikaryakan sebagai arsitek. Perwira-perwira militer ini pada awalnya bertugas mengawasi pembangunan fasilitas-fasilitas militer, seperti benteng pertahanan dan jembatan, tetapi mereka juga ditugasi merancang barak-barak untuk pasukan dan rumah-rumah untuk perwira. Dalam sebuah lingkungan sosial yang didominasi pejabat pemerintah serta tentara, arsitek yang sesungguhnya sebetulnya tidak ada, baik di pemerintah maupun swasta. Dalam dasawarsa-dasawarsa pertama abad kesembilan belas, para perwira sering dilibatkan dalam konstruksi bangunan-bangunan umum dan sektor swasta Fedung Pemerintahan (1809) di Waterlooplein (sekarang Lapangan Banteng) dirancang oleh J.C. Schultze, yang juga Arsitek gedung pertemuan De Harmonis (1809). Di Surabaya, Kapten J.P. Ermeling menjadi arsitek gedung pertemuan Concordia dan sebuah panti asuhan (1849) Contoh yang sangat mengagumkan adalah Willemskerk di Batavia ( Gereja Emmanuel, 1834). Rancangannya dibuat oleh seorang juru ukur tanah yang bekerja di departemen pekerjaan umum (Departemen Waterstaat), Jan Hendrik Horst, seorang pegawai kelahiran Hindia Belanda berpangkat tidak begitu tinggi. Tidak ada bangunan lain yang tercatat telah dibangun olehnya. Boleh jadi ia hanya kadang-kadang bekerja sebagai arsitek atau mungkin saja ia hanya seorang juru gambar mewakili seorang arsitek yang tak dikenal (sampai sekarang) di Negeri Belanda. Gereja yang mengagumkan ini mempunyai denah lantai berbentuk lingkaran, dengan sebuah atap kubah dan sebuah portico di bagian depan, yang dihiasi dengan pilar-pilar Doric. Dilihat dari hasilnya, gedung ini karya seorang arsitek berpengalaman, namun sejauh yang diketahui, Horst bukan orang dengan kualifikasi seperti itu.

Anda mungkin juga menyukai