Anda di halaman 1dari 9

Price Earning Ratio Senin, 4 Oktober 2010 08:16 wib

Logo BEI. Dok BEI Salah satu problem yang kerap dihadapi investor atau pelaku pasar dalam berinvestasi di saham adalah bagaimana memilih saham yang bagus dan prospektif sehingga menghasilkan profit yang maksimal.

Artinya, sebagai instrumen investasi, saham yang dipilih seharusnya memiliki masa depan cerah yang terefleksi pada pertumbuhan harga saham di pasar.

Jika harga saham tumbuh positif berarti investor akan memetik keuntungan investasi, tapi jika harga saham tidak tumbuh atau stagnan berarti investasi investor itu sia-sia karena nilai uang yang diinvestasikan tidak bertambah. Apalagi jika harga saham tumbuh negatif, investor justru akan menderita rugi karena nilai uangnya berkurang.

Karena itu, proses memilih saham dalam berinvestasi di pasar modal merupakan

tahapan yang cukup mengasyikkan. Adrenalin pelaku pasar akan terpacu. Di sana tidak hanya membutuhkan proses berpikir yang cukup keras dan teliti, tapi seringkali juga melibatkan emosi atau rasa.

Nah, dalam proses memilih inilah, selalu dicari dasar pertimbangan yang logis, rasional, masuk akal dan dapat dipertanggung jawabkan. Maklum, bursa efek menyediakan banyak jenis saham yang dapat dipilih menjadi instrumen investasi. Setiap investor juga manager investasi memiliki perhitungan dan selera sendiri dalam memilih saham yang diminati.

Salah satu acuan yang kerap dipergunakan oleh pelaku pasar modal dalam memilih saham adalah apa yang dikenal dengan istilah price earning ratio (PER). Sesuai dengan istilahnya, PER berarti perbandingan antara harga pasar dengan laba bersih per saham atau earning per share (EPS). Untuk menghitung PER, caranya sederhana dan mudah. Jika harga saham ABCD di pasar Rp1.000 dan ia memiliki EPS Rp100, maka berarti PER saham ABCD adalah 10 kali.

PER dalam hal ini mencerminkan beberapa hal. Pertama, ia mencerminkan murah atau mahalnya harga satu saham. Jika satu saham diperdagangkan dengan PER yang tinggi berarti harga saham itu termasuk mahal.

Dengan kata lain semakin tinggi PER, semakin mahal harga sahamnya. Meski

begitu bukan berarti harga yang mahal tidak diminati investor. Karena itu, yang kedua, PER juga merefleksikan tingkat kepercayaan investor atau pelaku pasar terhadap performance saham tersebut.

Jika ada saham yang diperdagangkan dengan PER tinggi, tetapi tetap diminati investor artinya investor atau pelaku pasar memiliki tingkat kepercayaan kepada saham dan atau perusahaan tersebut.

Ketiga, PER juga mencerminkan rentang waktu pengembalian investasi, berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk pengembalian investasi yang dilakukan. Jika sebuah saham diperdagangkan dengan PER 10 kali misalnya, itu berarti nilai investasi yang ditanam investor akan kembali dalam kurun waktu 10 tahun dengan asumsi seluruh laba bersih yang dihasilkan dibagikan sebagai dividen.

Jika seorang investor belanja saham ABCD tersebut sebanyak 20 lot atau 10.000 lembar, maka nilai uang yang harus diinvestasikan di saham tersebut adalah Rp10 juta. Dan jika diasumsikan seluruh EPS dibagikan sebagai dividen kepada pemegang saham, maka nilai investasi investor tadi akan kembali dalam tempo 10 tahun.

Implementasi

Meskipun dalam perhitungan tampak mudah dan sederhana, namun sebaiknya investor tidak buru-buru menyederhanakan dan menerapkan perhitungan seperti di atas. Dalam implementasi di lapangan akan lebih baik jika investor kembali ke khittah investasi yakni bahwa investasi itu bertujuan memperoleh keuntungan maksimal.

Kata maksimal di sini disederhanakan menjadi keuntungan yang diharapkan (expected return). Artinya, ada harapan di sana. Harapan berarti sesuatu yang belum terjadi. Karena itu untuk mengukur PER satu saham, EPS yang menjadi patokan adalah bukan EPS yang sudah terjadi atau tercapai, melainkan EPS proyeksi. Berapa proyeksi laba bersih per saham yang akan dicapai oleh perusahaan.

Dengan menyadari hal itu, maka dapat dipahami bahwa besaran PER selalu berubah-ubah dari waktu ke waktu tergantung pada perubahan harga dan juga perubahan proyeksi laba. Jika EPS perusahaan menunjukkan peningkatan dari waktu ke waktu, maka biasanya hal itu juga terefleksi pada perubahan harga saham di pasar.

Gambarannya begini. Tahun ini misalnya, saham ABCD diperdagangkan di Rp1.000 dan proyeksi EPS Rp 100, maka pada harga itu PER saham ABCD 10 kali. Tahun depan, dengan PER yang sama harga saham ABCD bisa lebih

mahal. Jika EPS diproyeksikan 20 persen menjadi Rp120, maka dengan asumsi PER tetap 10 berarti harga saham ABCD di pasar mestinya naik menjadi Rp1.200.

Karena itu jangan heran jika ada saham yang harganya naik dari tahun ke tahun. Itu bukan berarti PER saham tersebut naik lebih tinggi, tetapi karena ekspektasi EPS-nya juga tumbuh lebih tinggi. (Tim BEI) (//ade)

rice Earning Ratio

Jum`at, 1 Mei 2009 15:19:01oleh: ketua1_himatansidibaca : 11786 kali komentar : (2) Currently 1.00/10 1 2 3 4 5 6 7 8 9

10 Rating: 1.0/10 (2 votes cast)

Faktor fundamental selalu menjadi acuan investor dalam membuat keputusan investasi di pasar modal. Untuk mengukur dan menganalisa kondisi fundamental sebuah saham, alat ukur utama yang

dipergunakan adalah laporan keuangan perusahaan yang terdiri dari laporan rugi laba (profit and loss), neraca (balance sheet) dan kondisi arus kas (cash flow) perusahaan. Bagaimana besar posisi rugi laba

perusahaan,

masih

untungkah,

seberapa

keuntungannya,

seberapa besar dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Bagaimana neracanya, perbandingan antara ekuitas dan utang, dan bagaimana kondisi arus kasnya, apakah masih cukup likuid untuk operasional perusahaan atau ada masalah.

Itulah garis besar yang tertera dalam laporan keuangan perusahaan. Bagi perusahaan publik, laporan keuangan adalah rapor yang berisi informasi material tentang sepak terjang perusahaan selama setahun. Melalui rapor itu, semua kejadian penting selama setahun bisa dibaca dan dianalisa. Dan selama Maret lalu, masyarakat atau investor telah menyaksikan bersama bagaimana rapor emiten yang tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI) selama 2008, ketika krisis keuangan global mencapai puncaknya.

Tidak bisa dipungkiri, memang ada beberapa perusahaan yang gagal mencetak laba, namun jumlahnya kecil. Data yang ada menunjukkan bahwa dari 398 emiten yang tercatat di BEI, 300 di antaranya membukukan laba. Ini menunjukkan bahwa performance emiten sepanjang 2008 masih bagus.

Dalam analisa fundamental, cukup banyak analisa ratio-ratio yang dipergunakan. Salah satu ratio yang paling favorit dipergunakan adalah ratio harga dengan laba bersih (price earning ratio -- PER). PER menjadi favorit karena cukup mudah dipahami oleh investor maupun calon investor.

PER sangat mudah dihitung. Dengan mengetahui harga di pasar dan laba bersih per saham, maka investor bisa menghitung berapa PER saham tersebut. Semakin besar earning semakin rendah PER saham tersebut dan sebaliknya. Namun perlu dipahami, karena investasi di saham lebih banyak terkait dengan ekspektasi maka laba bersih yang dipakai dalam perhitungan biasanya laba bersih proyeksi untuk tahun berjalan.. Dengan begitu bisa dipahami jika emiten berhasil

membukukan laba besar, maka sahamnya akan diburu investor karena proyeksi laba untuk tahun berjalan kemungkinan besar akan naik.

Besaran PER akan berubah-ubah mengikuti perubahan harga di pasar dan proyeksi laba bersih perseroan. Jika harga naik, proyeksi laba tetap, praktis PER akan naik. Sebaliknya jika proyeksi laba naik, harga di pasar tidak bergerak maka PER akan turun.

PER kerap dijadikan indikator oleh investor untuk membuat keputusan investasi di saham. Ada asumsi, semakin rendah PER berarti semakin murah harga saham yang bersangkutan. Begitu sederhananya

indicator ini, pada tahun 1990-an, Bapepam pernah menerapkan kebijakan terhadap perusahaan yang akan go public, tidak boleh memiliki PER di atas 13. Ini dimaksudkan untuk memberi kesempatan agar investor yang membeli saham baru IPO bisa membeli dengan harga relatif murah sehingga bisa mendapatkan capital gain saat

saham

diperdagangkan

di

pasar

sekunder.

Pertanyaannya apakah saham yang memiliki PER rendah menarik untuk investasi ? Di atas kertas ya. Tapi faktor lain yang ikut menentukan adalah lukuiditas saham itu sendiri. PER rendah, tanpa didukung likuiditas yang bagus, tidak cukup menarik untuk obyek investasi. Investor akan sulit menjual jika likuiditas rendah.

Karenanya, selain PER, indikator lain yang perlu disimak adalah likuiditas saham harus bagus. (Tim BEI)

Perdana Wahyu Santosa Chief Knowledge Officer CAPITAL PRICE Definisi: adalah suatu rasio yang menggambarkan bagaimana keuntungan perusahaan atau emiten saham (company's earnings) terhadap harga sahamnya (stock price). Perhitungan rasio P/E atau PER dilakukan dengan cara membagi harga saham saat ini (current price of the stock) dengan keuntungan tahunan persaham (annual earnings per share). Misalkan emiten saham ABCD mempunyai keuntungan bersih persaham (earning per share) sebesar Rp.200, dimana saat ini harga sahamnya Rp.2.000,perlembar maka PER ABCD adalah 10. Artinya jika kita berinvestasi saat ini pada saham ABCD maka payback period-nya sekitar 10 tahun karena kita membeli saham tsb dengan 10 kali laba bersih persahamnya dengan asumsi inflasi 0% dan ABCD mempunyai tingkat keuntungan tetap Rp. 200,- per saham. Untuk mendapatkan tingkat imbal hasil saham (return) maka cukup dihitung dengan 1/PER saja, sebagai contoh imbal hasil ABCD adalah 1/10 yaitu 10% pertahunnya. Kemudian kita bandingkan dengan return pasar, apabila return saham lebih tinggi dari return pasar maka saham tsb layak dibeli begitu juga sebaliknya. PER juga dapat dipakai untuk membandingkan kinerja antar saham atau antar sektor bahkan antar pasar dalam skala regional ataupun global. PER juga merupakan angka psikologis bagi value investor dimana PER yang kecil akan lebih menarik dibandingkan dengan PER tinggi. PER rendah ini disebabkan oleh laba per saham yang relatif tinggi dibandingkan dengan harga sahamnya sehingga tingkat returnnya lebih baik dan payback period-nya lebih singkat lagi. PER yang kecil merupakan salah satu pertimbangan utama bagi

value investing disamping faktor-faktor lainnya. Maka PER saham yang lebih tinggi dari PER pasar kurang baik untuk investasi jangka panjang namun dapat dilakukan untuk short-run atau trading dengan pertimbangan teknikal saja. Seorang investor yang cerdas akan menghindari saham dengan PER tinggi apalagi saham tsb mempunyai volatilitas yang tinggi sehingga memiliki potensi resiko yang tinggi pula. Pada saat ini dimana harga saham berjatuhan, maka PER saham anjlok drastis hampir sebesar rata-rata 60% dan PER pasar sudah di bawah 10, maka ini merupakan sinyal kuat untuk memulai investasi nilai seiring dengan momentum krisis ekonomi. Bahkan beberapa saham unggulan sudah mencapai PER di bawah 5. Bagi value investor momentum ini merupakan peluang investasi jangka panjangnya.

Anda mungkin juga menyukai