Anda di halaman 1dari 16

Hal

: Kesimpulan Akhir

Kepada Yth.: Majelis Komisioner Sidang Ajudikasi Komisi Informasi Provinsi Banten diTempat. Dengan hormat, Perkenankan saya, SUHENDARsaat ini bekerja sebagai Wakil Koordinator Tangerang Public Transparency Watch (TRUTH)dalam kedudukan sebagai Pemohon, pada kesempatan ini menyampaikan kesimpulan akhir atas hasil rangkaian sidang ajudikasi sengketa informasi terhadap PEMERINTAH KOTA TANGERANG SELATAN c.q. Walikota Tangerang Selatan c.q. Sekretaris Daerah Kota Tangerang Selatan selaku Termohon, dengan nomor register sengketa: 04/I/Reg-KI Banten/2012.

PENDAHULUAN
Sebelum kita membuat kesimpulan atas apa yang terungkap dari rangkaian sidang, khususnya Majelis Komisioner yang memeriksa danakanmemutus sengketa informasi ini, kiranya perlu kita cermati dan telaah secara seksama atas setiap tahapan yang telah ditempuhsebuah proses dan prosedur yang cukup panjangsebagai manifestasi penegasan: ajudikasi non litigasi merupakan harapan dan semangat baru atas asa yang telah pupus melawan kokohnya kekuasaan berbalut arogansi feodalistik, semata demi tegaknya hak konstitusional dan asasi manusia dalam paradigma keterbukaan informasi di Kota Tangerang Selatan. Kita sama-sama tahu, hak atas informasi atau right to know merupakan hak fundamental, hingga sejak 1946 majelis umum Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) menilai bahwa hak ini (sangat) penting bagi perjuangan hak-hak yang lainnya. Artinya, hak ini menjadi sokoguru pemerintahan yang transparan dan partisipatoris, di mana hak ini menyediakan jalan lempang bagi tersedianya jaminan pemenuhan hak-hak fundamental dan kebebasan lainnya. Dengan pertimbangan itu pula, maka hak atas informasi sebagai bagian dari kebebasan berpendapat kemudian dimasukkan ke dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM). Penguatan atas hak informasi ini dinyatakan dalam Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik 1966 (Kovenan Sipol) yang sudah diratifikasi melalui UU No. 12 Tahun 2005. Di dalam Pasal 19 Kovenan Sipol dinyatakan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan untuk menyatakan pendapat; hak ini termasuk kebebasan untuk mencari, menerima dan memberikan informasi dan ide apapun, tanpa memperhatikan medianya, baik secara lisan, tertulis atau dalam bentuk cetakan, dalam bentuk seni, atau melalui media lainnya,

Hal 1 dari 16 hal

sesuai dengan pilihannya. Norma yang tercantum di dalam instrumen-instrumen pokok ini mengikat Negara Indonesia dan berlaku sebagai hukum nasional (supreme law of the land). Pemerintah Indonesia selanjutnya mempunyai kewajiban untuk menjalankan ketentuan-ketentuan tersebut. Kewajiban yang diembannya terdiri atas tiga bentuk, yaitu menghormati (to respect), melindungi (to protect) dan memenuhi (to fulfil). Kewajiban untuk menghormati (obligation to respect) adalah kewajiban negara untuk menahan diri untuk tidak melakukan intervensi, kecuali atas hukum yang sah (legitimate). Semangat ini juga tertuang dalam UU No.14/2008 tentang Kebebasan Informasi Publik (UU KIP). UU ini mengatur tentang kewajiban-kewajiban badan publik, dalam melayani informasi publik sesuai dengan klasifikasinya, yaitu informasi serta merta, informasi reguler, dan informasi yang tersedia setiap saat. Misalnya, terhadap informasi yang bersifat serta merta, badan publik wajib mengumumkannya tanpa penundaan, sebab jika tidak diumumkan segera, akan mengakibatkan kerugian besar bagi kehidupan. Informasi dalam kategori ini antara lain informasi tentang bencana dan endemi suatu penyakit di daerah tertentu. Jika tidak menjalankan kewajiban, badan publik (lembaga pemerintah) dapat dikenakan sanksi. Dengan begitu, ke depan badan publik diharapkan akan jauh lebih terbuka. Keterbukaan ini akan membuka peluang bagi publik untuk melakukan kontrol terhadap tindakan dan kebijakan badan publik dalam penyelenggaraan negara. UU KIP direalisasikan untuk menciptakan ruang bagi terciptanya akuntabilitas publik yang menjamin hak masyarakat untuk mengetahui rencana pembuatan program kebijakan dan proses pengambilan keputusan publik serta alasan pengambilan suatu keputusan yang mempengaruhi hajat hidup orang banyak. Dengan demikian ia akan mendorong terwujudnya penyelenggaraan negara yang baik, transparan, akuntabel, efektif, dan efisien. Di samping itu, UU ini juga akan mampu mendorong dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan kebijakan publik. Dengan kata lain: keterbukaan informasi publik merupakan sarana untuk mengoptimalkan penyelenggaraan pemerintah secara umum, mengoptimalkan peran dan kinerja badan publik, anggaran serta segala sesuatu yang berakibat pada kepentingan publik. Sebuah keniscayaan menyongsong tata kelola pemerintahan yang baik dan bersih (good governance) menuju Indonesia yang dicita-citakan. Maka, dalam konteks rangkaian sidang ajudikasi diselenggarakan oleh Komisi Informasi Provinsi Banten saat ini, tentu saja hal ini diselenggarakan semata untuk menjaga dan menjamin hak informasi masyarakat Banten pada umumnya dan Kota Tangerang Selatan pada khususnya. Sengketa informasiajudikasi non litigasiini, kini memasuki babak akhir dimana Majelis Komisioner akan segera memutus, setelah sebelumnya telah berlangsung sidang pemeriksaan pada rabu 29 Februari 2012, pembuktian pada rabu 21 Maret 2012 dan sidang pembuktian lanjutan pada rabu 11 April 2012 yang kemudian membawa kita berada pada kesimpulan akhir pra-putusan.

Hal 2 dari 16 hal

PENJELASAN
1. Kedudukan Termohon dan Entitas Termohon Termohon adalah Sekretaris Daerah Kota Tangerang Selatan dan/atau Walikota Tangerang Selatan, berdasarkan UU KIP dalam kedudukannya selaku atasan pejabat pengelola informasi dan dokumentasi (PPID). Hal ini dipertegas kemudian berdasarkan PP No. 61 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan UU KIP yang mewajibkan keberadaan PPID dan peralihannya, serta peraturan lain yang menegaskan: Termohon a. UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik Pasal 35 ayat (1) Setiap Pemohon Informasi Publik dapat mengajukan keberatan secara tertulis kepada atasan Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi Pasal 36 ayat (2) Atasan pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1) memberikan tanggapan atas keberatan yang diajukan oleh Pemohon Informasi Publik dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak diterimanya keberatan secara tertulis. b. PP No. 61 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik Pasal 12: (1) Pejabat yang dapat ditunjuk sebagai PPID di lingkungan Badan Publik Negara yang berada di pusat dan di daerah merupakan pejabat yang membidangi Informasi Publik. (2) PPID sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditunjuk oleh pimpinan setiap Badan Publik Negara yang bersangkutan. (3) PPID di lingkungan Badan Publik selain Badan Publik Negara ditunjuk oleh pimpinan Badan Publik yang bersangkutan. Pasal 21: (1) PPID harus sudah ditunjuk paling lama 1 (satu) tahun terhitung sejak Peraturan Pemerintah ini diundangkan. (2) Dalam hal PPID belum ditunjuk, tugas dan tanggung jawab PPID dapat dilakukan oleh unit atau dinas di bidang informasi, komunikasi, dan/atau kehumasan.

Hal 3 dari 16 hal

c. PERMENDAGRI No. 35 Tahun 2010 Tentang Pedoman Pengelolaan Pelayanan Informasi dan Dokumentasi di Lingkungan KEMENDAGRI dan Pemerintahan Daerah Pasal 7 Ayat (5): PPID di lingkungan Pemerintahan Kabupaten/Kota ditetapkan oleh Bupati/Walikota. Pasal 8 Ayat (3): PPID di lingkungan Pemerintahan Kabupaten/Kota bertanggungjawab kepada Bupati/Walikota melalui Sekretaris Daerah d. UU 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 121 ayat (3): Dalam pelaksanaan tugas dan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (2), sekretaris daerah bertanggung jawab kepada kepala daerah. Pasal 122 ayat (4): Sekretaris Daerah karena kedudukannya sebagai pembina pengawai negeri sipil di daerahnya. Penjelasan: yang dimaksud dengan pembina pegawai negeri sipil dalam ketentuan ini adala pelaksanaan pengembangan profesionalisme dan karier pegawai negeri sipil di daerah dalam rangka peningkatan kinerja. Entitas Termohon a. Undang-undang 14 Tahun 2008: Pasal 1 angka 3 : Badan Publik adalah lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif, dan badan lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara, yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, atau organisasi nonpemerintah sepanjang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, sumbangan masyarakat, dan/atau luar negeri. b. UU 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 1 angka 3 : Pemerintah daerah adalah Gubernur, Bupati, atau Walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.

Hal 4 dari 16 hal

Pasal 1 angka 5 : Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pasal 14 angka (1) : Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah untuk kabupaten/kota merupakan urusan yang berskala kabupaten/kota meliputi: huruf: m. pelayanan administrasi umum pemerintahan; o. penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya; dan p. urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundangundangan. Pasal 22 : Dalam menyelenggarakan otonomi, daerah mempunyai kewajiban: huruf : c. mengembangkan kehidupan demokrasi; n. menerapkan peraturan perundang-undangan sesuai dengan kewenangannya;dan o. kewajiban lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Pasal 27 ayat (1) : Dalam melaksanakan tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 dan Pasal 26, kepala daerah dan wakil kepala daerah mempunyai kewajiban: huruf : d. melaksanakan kehidupan demokrasi; e. menaati dan menegakkan seluruh peraturan perundang-undangan; f. menjaga etika dan norma dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah; h. melaksanakan prinsip tata pemerintahan yang bersih dan baik; c. Peraturan Komisi Informasi Nomor 1 Tahun 2010: Pasal 3 ayat: (1) : Ruang lingkup Badan Publik sesuai dengan peraturan ini mencakup: a. lembaga eksekutif; (2) : Badan Publik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara lain tercantum pada Lampiran I tentang Badan Publik sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan ini. Lampiran I huruf A angka 6: c. Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota d. DPRD Kabupaten/Kota

Hal 5 dari 16 hal

2. Fakta-Fakta Persidangan Beberapa hal pentingsesuai arahan Ketua Majelis pada 11 April 2012yang belum disampaikan selama dan dalam rangkaian sidang ajudikasi non litigasi, adalah: a. Sidang Pemeriksaan (Rabu, 29 Februari 2012) 1) Termohon menyatakan tegas dan jelas dalam persidangan tentang keberatan memberikan 33 informasi/dokumen yang diminta Pemohon, dengan mengatakan bahwa: Pemerintah Kota Tangerang Selatan keberatan memberikan 33 informasi/dokumen karena dilindungi UU Perbendaharaan Negara dan KUHP; 2) Selain itu disebabkan tidak ada alasan untuk memenuhi permohonan Pemohon, karena tidak semua informasi/dokumen yang diminta adalah dokumen yang bisa dibuka/diketahui oleh publik; 3) Pemohon menyatakan bahwa seluruh 33 informasi/dokumen adalah dapat dibuka dan diperoleh setiap orang, termasuk pemohon Pemohon, hal ini berdasarkan Pasal 2, 3 dan 4 UU KIP, sehingga tidak perlu dipertegas dan dipertanyakan peruntukannya; 4) Pemohon juga menyampaikan bahwa Termohon serta saksi ahli Termohon tidak dapat membuktikan kebenaran secara hukum alasan untuk tidak memberikan dokumen yang diminta Pemohon, oleh karenanya berdasarkan PERKI 2/2010 tentang Prosedur Penyelesaian Sengketa, dalam Pasal 52 ayat (1) huruf a maupun b, jelas bahwa perkara ini tidak membutuhkan proses pembuktian lagi, oleh karenanya meminta Majelis Komisioner untuk memutus sengketa informasi ini; 5) Namun Majelis Komisioner memutuskan sidang dilanjutkan dengan agenda pembuktian; b. Sidang Pembuktian (Rabu 21 Maret 2012) 1) Termohon memastikan peruntukan dokumen tersebut bagi Pemohon, dan Termohon memiliki hak untuk menolak itu, apabila dokumen itu tidak jelas peruntukannya; 2) bahwa berdasarkan Pasal 53 ayat (1) PERKI 2 tahun 2010 tentang prosedur penyelesaian sengketa informasi publik, maka kewajiban untuk melakukan pembuktian adalah pihak Termohon, namun Termohon menolak menjawab pertanyaan Majelis Komisioner tentang status keberadaan 33 informasi/dokumen yang diminta Pemohon, dan meminta kesaksian ahli di dahulukan ; 3) Majelis Komisioner kemudian mengabulkan dan meminta saksi ahli Pemohon: DEDY RAMANTA didahulukan, di mana pada pokoknya menyatakan: a) Dalam konteks desentralisasi, partisipasi masyarakat dalam sangat penting, karena keterbatasan pemerintah daerah, oleh karenanya
Hal 6 dari 16 hal

peran aktif masyarakat sangat diperlukan untuk mencapai tujuan pembangunan yang dicita-citakan; b) Menurut saya, berdasarkan Surat Edaran Komisi Informasi Pusat bahwa DIPA, RKA, dan dokumen anggaran lainnya wajib dipublikasikan kepada masyarakat luas, oleh karenanya permohonan Pemohon sudah sangat sesuai dan relevan dengan sistem demokrasi dan transparansi seperti saat ini; 4) Majelis Komisioner kemudian memerintahkan saksi ahli Termohon: SYARIFUDIN NATABAYA di mana pada pokoknya menyatakan: a) Apabila permohonan iniformasi Pemohon adalah untuk kajian ilmiah tentu harus diawali dan memiliki proposalnya, selanjutnya apa obyeknya? apakah untuk penelitian atau kajian ilmiah. Oleh karenanya Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum, karena tidak ada proposal; b) Harus dibuktikan kepentingannya dengan dokumen yang diminta, serta diperjelas peruntukannya, hal ini untuk memenuhi ketentuan perundang-undangan, artinya memiliki kepentingan atau tidak? c) Seorang pejabat dibatasi ruang dan waktu serta perundang-undangan, artinya bahwa dia tidak bisa memberikan seenak perutnya karena dibatasi oleh ketentuan-ketentuan hukum, seperti ditegaskan dalam pasal 4, 5, dan 7 UU KIP, artinya seorang pejabat terikat oleh UU KIP. d) Selain itu KUHP juga melarang/membatasi pejabat; e) Oleh karenanya juga harus jelas apa tujuannya permohonan Pemohon, jika untuk publikasi apa tujuan publikasi, menurut saya Pemohon ini tidak konsen dan sangat berbahaya ketika tidak dibatasi; 5) Selanjutnya Pemohon menyampaikan keterangan bahwa: kedudukannya meminta dokumen tersebut adalah sebagai warga Negara, adapun peruntukan dokumen tersebut sudah sangat jelas, sebagaimana diatur dalam: a) UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah: Pasal 147 ayat (3), Pasal 20 Ayat (1), Pasal 23; b) UU 28/1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN: Pasal 3; c) PP 58/2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah: Pasal 4 ayat (1); d) PERMENDAGRI 59/2007 tentang Perubahan Atas PERMENDAGRI 13/2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah: Pasal 4 ayat (1) dan (7); c. Sidang Pembuktian Lanjutan (Rabu 11 April 2012) 1) Termohon diberikan kesempatan lebih dahulu untuk menjawab pertanyaan Majelis Komisioner tentang keberadaan dokumen/informasi yang dimohon oleh Pemohon, dibawah penguasaannya atau tidak; 2) Termohon menyatakan bahwa surat pertanggungjawaban (SPJ) tidak ada dalam nomenklaturnya, sehingga permohonan informasi dengan

Hal 7 dari 16 hal

3)

4)

5)

6)

7)

penyebutan tersebut dianggap/di sebut tidak ada dalam kekuasaan Termohon; Selanjutnya Termohon juga menyatakan bahwa permohonan informasi/dokumen Pemohon harus sesuai baik nama maupun nomornya, ketika tidak sesuai maka kami anggap/sebut tidak ada dalam kekuasaan, seperti halnya informasi/dokumen nomor urut 18: surat kontrak ada, SPMK tidak ada, Berita Acara Serah Terima Pekerjaan tidak ada, Surat Perintah Pencairan Dana perihal salah, maka dianggap tidak ada; Dari 33 informasi/dokumen yang dimohon Pemohon (yang dibacakan/dipertanyakan) oleh Majelis Komisioner kepada Termohon, hanya 2 informasi/dokumen yang dinyatakan di bawah kekuasaannya, yaitu: 1). informasi/dokumen nomor urut 6 (Surat Keputusan Walikota No. 446/Kep.506-Huk/2010 Tanggal 11 Nopember 2010 tentang Pemberian Bantuan Sosial Kepada DKM Dalam Rangka Idul Adha 1431 H Tahun Anggaran 2010), dan 2). informasi/dokumen nomor urut 33 (DPA-SKPD Pelaksanaan APBD Pemkot Tangsel Tahun Anggaran 2011), selebihnya informasi/dokumen yang dimohon Pemohon tidak ada di bawah kekuasaan; Pemohon meminta secara lisan kepada Majelis Komisioner salinan rekaman elektronik seluruh rangkaian sidang ajudikasi sejak pertama hingga akhir, hal ini sesuai dengan Pasal 50 ayat (2) PERKI 2 tahun 2010 Tentang Prosedur penyelesaian sengketa informasi publik; Pemohon kemudian menyampaikan dan mengingatkan bahwa apa yang disampaikan oleh kuasa Termohon adalah pernyataan pemberi kuasa, yaitu Sekretaris Daerah Kota Tangerang Selatan, oleh karenanya sangat tidak mungkin jika 33 informasi/dokumen yang diminta Pemohon tidak ada, mengingat informasi/dokumen yang diminta, adalah apa yang Pemohon lihat, baca dan kutip (ambil) berdasarkan dokumen otentik yang dibuat dan dikeluarkan oleh Pemerintah Kota Tangerang Selatan, yaitu: Laporan Keterangan Pertanggungjawaban Penjabat Walikota Tangerang Selatan Tahun Anggaran 2010 tertanggal 28 Maret 2011 dan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) RI Perwakilan Provinsi Banten tanggal 27 Mei 2011. Selanjutnya Majelis Komisioner meminta dibuktikan nama informasi/dokumen serta meminjam kedua dokumen tersebut untuk diperiksa. Selanjutnya sidang di tunda untuk pembacaan putusan pada hari dan tanggal yang akan ditentukan kemudian oleh Komisi Informasi Provinsi Banten

3. Kedudukan Nama/Nomenklatur Informasi/Dokumen Bahwa 33 nama/nomenklatur (penyebutan) informasi/dokumen yang Pemohon minta dalam permohonan informasi adalah apa yang pemohon

Hal 8 dari 16 hal

lihat, baca dan kutip (ambil) berdasarkan dokumen otentik yang dibuat dan dikeluarkan oleh: a. Pemerintah Kota Tangerang Selatan, dalam Laporan Keterangan Pertanggungjawaban Penjabat Walikota Tangerang Selatan Tahun Anggaran 2010 tertanggal 28 Maret 2011, sebagaimana bukti telah diserahkan dan diperiksa oleh Majelis Komisioner pada persidangan 11 April 2012 b. Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) RI Perwakilan Provinsi Banten dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) No. 09/LHP/XVIII.SRG/05/2011, No. 09a/LHP/XVIII.SRG/05/2011 atas Sistem Pengendalian Intern dan No. 09b/LHP/XVIII.SRG/05/2011 atas Kepatuhan Terhadap Peraturan Perundang-undangan tanggal 27 Mei 2011 sebagaimana bukti telah diserahkan dan diperiksa oleh Majelis Komisioner pada persidangan 11 April 2012 Sehingga jika kemudian nama/nomenklatur (penyebutan) informasi/dokumen dikatakan tidak dikenal oleh Termohon adalah sesuatu yang tidak beralasan dan mengada-ada, bahkan lebih jauh merupakan sikap tidak mengakui keberadaan lembaga/pejabat lain yang telah bersumpah untuk itu serta secara hukum dibenarkan untuk membuat dokumen tersebut. Selain itu, jika kemudian menggunakan logika sederhana bahwa sangatlah tidak mungkin bila dokumen tersebut yang telah (sempurna) dibuat/dihasilkan, bermuatan (isi) fiktif dan tidak mendasarkan pada kebenaran yang terjadi sesungguhnya. Oleh karenanya Pemohon berprasangka baik bahwa Majelis Komisioner tidak meragukan kebenaran isi dalam dokumen tersebut tentang apa yang tertulis secara nyata dan jelas, pun seandainya meragukan, maka Pemohon memohon Majelis Komisioner untuk meminta keterangan kepada kedua entitas yang telah mengeluarkan dokumen tersebutdalam hal ini pejabat yang membubuhkan tandatangan (validasi) dokumen tersebutsebagaimana diatur dalam Pasal 56 dan 57 Peraturan Komisi Informasi Nomor 2 Tahun 2010; - Terlepas dari itu, pernyataan Termohon terhadap 33 informasi/dokumen yang dimohon Pemohon hanya 2 informasi/dokumen yang dinyatakan di bawah kekuasaannya merupakan sikap inkonsistensilebih jauh dapat dikatakan contemp of court jika menggunakan asumsi bahwa sidang ajudikasi non litigasi ini merupakan Persidangan seperti pada umumnya, sebagaimana Komisioner Toni Anwar Mahmud pernah mengatakan hal tersebut kepada Pemohon. Sebab saat Mediasi ke-2 (dua) berlangsung antara Pemohon dengan Termohon yang diwakili oleh: 1. Ismunandar (Assda III), 2. Azhar Syamun (Kabag Humas & Protokoler), 3. Ade Iriana (Kabag Hukum, dan 4 Taufik Ismail (Kasubag Dokumentasi) serta Pihak Mediator Achmad Nashrudin dan Mediator Pembantu (Toni Anwar Mahmud pada Rabu 8

Hal 9 dari 16 hal

Februari 2012 menyatakan: bahwa terhadap 34 dokumen yang diminta, saat ini kami (Termohon) sudah siap untuk memberikan sebanyak 8 dokumen, yaitu:
(1) Data Rincian Realisasi dan Surat Pertanggungjawaban (SPJ) Bantuan Desa (Rp. 506.5000.000) Pemkot Tangsel Tahun Anggaran 2010 (no urut 2 dari list permohonan) (2) Data Rincian Realisasi dan Surat Pertanggungjawaban (SPJ) pengembangan dan pemeliharaan Website Kota Tangsel (www.tangerangselatankota.go.id) Tahun Anggaran 2010 (no urut 4 dari list permohonan) (3) Data Rincian Realisasi dan Surat Pertanggungjawaban (SPJ) Dana BOS 2010 & 2011 (no urut 15 dari list permohonan) (4) Data Rincian Realisasi dan Surat Pertanggungjawaban (SPJ) pengadaan komputer notebook pada Dinas Pendidikan Tahun Anggaran 2010 (no urut 17 dari list permohonan) (5) Surat Perjanjian Kontrak No : 027/01.2.50-KPBJ/PIL/DISPEND/2010 tertanggal 27 Agustus 2010, SPMK, Berita Acara Serah Terima Pekerjaan No:027/01.2.50BASTP/DISPENDA/2010 tertanggal 31 Agustus 2010, Surat Perintah Pencairan Dana No:03950/BL.LS/DPPKAD/2010 tertanggal 6 September 2010 pekerjaan pengadaan komputer notebook Dinas Pendidikan Tahun Anggaran 2010 (no urut 18 dari list permohonan) (6) Data Rincian Realisasi dan Surat Pertanggungjawaban (SPJ) pengadaan UPS/Stabilizer pada Dinas Pendidikan Tahun Anggaran 2010 (no urut 19 dari list permohonan) (7) Surat Perjanjian Kontrak No. 027/01.2.51-KPBJ/PIL/DISPENDA/2010 tertanggal 27Agustus 2010, SPMK No:027/01.2.51-SPMK/PIL/PPBJ/DISPENDA/2010 tertanggal 27 Agustus 2010, Berita Acara Serah Terima Pekerjaan No : 027/01.2.51BASTP/DISPENDA/2010 tertangal 31 Agustus 2010, Surat Perintah PencairanDana No: 04063/BL.LS/DPPKAD/2010 tertanggal 7 September 2010 tentang pengadaan UPS/Stabilizer Dinas Pendidikan Tahun Anggaran 2010 (no urut 20 dari list permohonan) (8) Data Rincian Realisasi dan Surat Pertanggungjawaban (SPJ) Belanja Jasa Konsultasi Pembuatan Website DISHUBKOMINFO Kota Tangsel Tahun Anggaran 2010 (no urut 28 dari list permohonan);

Dan/atau jika (sebab) kedua dokumen itu diasumsikan benar-benar telah salah oleh Termohon dalam penulisan serta tidak sesuai dengan nama/nomenklatur (penyebutan) informasi/dokumen yang dimiliki oleh Termohon, maka sesungguhnya (akibat) tidak dapat dibebankan kepada Pemohon yang juga telah keliru karenanya, sehingga kesalahan tersebut tidak berdampak pada permohonan Pemohon untuk mendapatkan informasi yang telah dijamin oleh Negara; Bahwa pun seandainya permohonan informasi Pemohon diasumsikan telah salah oleh Termohon dalam penulisan serta tidak sesuai dengan nama/nomenklatur (penyebutan) informasi/dokumen secara rigid, baik kalimat maupun angka yang dimiliki oleh Termohon, dari perspektif lain adalah sebuah kesalahan yang dapat dimaklumi, mengingat Pemohonserta masyarakat pada umumnyatidaklah mengerti secara pasti teknis internal birokrasi, sehingga kesalahan tersebut juga tidak berakibat pada tersumbatnya hak atas informasi Pemohon. Atau secara argumentum a contrario, jelas bahwa mereka yang mengetahui secara benar nama/nomenklatur (penyebutan) informasi/dokumen secara rigid, baik

Hal 10 dari 16 hal

kalimat maupun angka yang dimiliki oleh Termohon adalah hanya kalangan internal birokrasi, sehingga ketika hal ini menjadi indikator penentu dipenuhinya permohonan informasi atau tidak, maka dapat dipastikan permohonan informasi masyarakat umum pasti akan selalu kandas, disebabkan Permohonan informasi umumnya adalah pihak ekternal dari badan publik yang dimohon, yang tidak megetahui secara rigid nama/nomenklatur (penyebutan) informasi/dokumen--baik kalimat maupun angka. Oleh karena itu, pada prinsipnya asas keterbukaan informasi publik adalah: Setiap Informasi Publik harus dapat diperoleh setiap Pemohon Informasi Publik dengan cepat dan tepat waktu, biaya ringan, dan cara sederhana, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 2 ayat (3) UU KIP; Bahwa kemudian jika hak atas informasi Pemohon dianggap atau bahkan tidak terpenuhi hanya atas dasar ketidaksamaan nama/nomenklatur (penyebutan) informasi/dokumen secara rigid baik secara kalimat maupun angka oleh Termohon, maka Pemohon meminta kepada Majelis Komisioner untuk menggali nilai-nilai dan semangat yang terkandung dalam UU KIP, demikian hal ini ditegaskan dalam: Pasal 43 ayat (5) Peraturan Komisi Informasi Nomor 2 Tahun 2010 tentang Prosedur Penyelesaian Sengketa Informasi Publik: Majelis Komisioner bersifat aktif dalam proses persidangan. Yaitu aktif menggali kebenaran materil berdasarkan bukti yang ada, demikian dijelaskan dalam penjelasannya. Bahwa kata: aktif pada pasal tersebut merupakan penegasan dan perintah (imperatif yuridis) agar melekat pada para komisioner yang memeriksa dan memutus, bila kemudian membandingankannya dengan peradilan umum dalam memeriksa dan memutus, terikat dengan sebuah prinsip bahwa hakim dilarang memutus melebihi apa yang dimohonkan, yang kemudian dikenal dengan istilah ultra petita. Namun sejalan dengan perkembangan dan kebutuhan pemenuhan tuntutan keadilan, larangan ultra petita ini tidak berlaku secara mutlak karena adanya kewajiban hakim bersikap aktif. Dengan demikian hakim harus berusaha memberikan putusan yang benarbenar menyelesaikan perkara, seperti halnya Mahkamah Konstitusi (MK) dalam memutus pengujian terhadap UU Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan, UU Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi serta undang-undang lain yang kemudian MK mendapat predikat telah melanggar prinsip larangan ultra petita. Pada akhirnya publik menyadari berdasarkan karakteristik perkara yang menjadi wewenangnya yang bersifat publik (ius publicum)artinya kepentingan publik lebih dominanmaka larangan ultra petita tersebut tidak dapat diterapkan dalam peradilan MK, hal ini guna melindungi kepentingan masyarakat yang lebih luas dari pada Pemohon maupun Termohon; Sejalan dengan pemikiran tersebut, UU KIP serta dalam hal ini Komisi Informasi bagi Pemohon adalah termasuk dalam domain hukum publik (ius
Hal 11 dari 16 hal

publicum), konsekuensinya sengketa informasi ini adalah tidak hanya berkutat pada persoalan kepentingan para pihak yang berperkara (ius privatum)baik Pemohon maupun Termohon, melainkan kepentingan masyarakat Banten maupun Tangerang Selatan yang lebih luas sebagai warga yang telah berkonstribusi besar dalam APBD Kota Tangsel, APBD Provinsi Banten bahkan APBN. Lebih dari itu adalah kepentingan bagaimana tercapainya nilai-nilai keterbukaan informasi, sejalan dengan semangat UU KIP dan agenda reformasi: penguatan nilai-nilai demokrasi, pemberantasan KKN, serta terbangunnya tata kelola pemerintahan yang baik dan bersih yang akan menstimulasi, mendorong dan mewujudkan masyarakat adil dan sejahtera, sesuai dengan cita-cita bernegara serta otonomi daerah di Provinsi Banten secara umum serta Kota Tangerang Selatan pada khususnya; Oleh karena itu, keberadaan UU KIP serta Komisi Informasi bagi Pemohon secara substansial adalah untuk menjamin hak atas informasi masyarakat, demi tercapainya sarana dalam mengoptimalkan pengawasan publik terhadap penyelenggaraan Negara sebagaimana ditegaskan dalam konsideran undang-undang a quo. Dengan demikian hak informasi masyarakat pada umumnya serta Pemohon pada khususnya tidak akan tersumbat hanya disebabkan ketidaksamaan nama/nomenklatur (penyebutan) dokumen secara rigid dalam kalimat maupun angka, mengabulkan dalil Termohon merupakan kekeliruan besar serta bertentangan dengan semangat undang-undang itu sendiri, lebih jauh hal ini merupakan bentuk legitimasi kembalinya rezim ketertutupan di era keterbukaan informasi; Selanjutnya kiranya Majelis Komisioner agar memperhatikan, mempelajari dan berpedoman kepada beberapa putusan yang memiliki kesamaan dan/atau kesesuaiansebagaimana telah Pemohon sampaikan 7 (tujuh) daftar putusan pada sidang pembuktian rabu 21 Maret 2012, mengingat yurisprudensi juga merupakan salah satu sumber hukum di Indonesia. Utrecht dalam bukunya Pengantar Dalam Hukum Indonesia (1989) pada halaman 84-85 mengatakan yurisprudensi menjadi determinan formil membentuk hukum (formele determinanten van de rechtsvorming); Atau setidaknya dapat kembali menjiwai semangat keterbukaan sebagaimana tercermin dalam putusan sengketa informasi dengan Nomor 028/12/REG-KIBanten/2011, atas nama Pemohon Mohammad HS terkait permintaannya dengan nama/nomenklatur (penyebutan) yang sangat sederhana yaitu: 1). meminta data laporan lengkap kegiatan pengadaan barang dan jasa di lingkungan Setda Provinsi Banten Tahun 2011, dan 2). meminta data dokumen lengkap pencairan anggaran untuk kegiatan pengadaan barang dan jasa di lingkungan Setda Provinsi Banten beserta seluruh lampiran dokumen. Majelis Komisioner kemudian tidak mengintrepetasikan nama/nomenklatur (penyebutan) permohonan informasi Pemohon secara rigid, dalam kalimat maupun angka, sehingga memberikan
Hal 12 dari 16 hal

putusan progressif mengabulkan permohonan informasi yang diajukan dengan memerintahkan Termohon: Komari selaku Kepala Biro Humas dan Protokol Pemprov Banten untuk memberikan laporan lengkap kegiatan pengadaan barang/jasa di Sekretariat Daerah Pemprov Banten pada tahun anggaran 2011, baik yang sudah selesai dilaksanakan, yang masih dalam proses berjalan, dan yang akan dilaksanakan; Selanjutnya asas keterbukaan informasi publik sebagaimana tersebut ditegaskan dalam: UU 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik Pasal 2 ayat (3) : Setiap Informasi Publik harus dapat diperoleh setiap Pemohon Informasi Publik dengan cepat dan tepat waktu, biaya ringan, dan cara sederhana. Dalam penjelasannya, yang dimaksud dengan tepat waktu adalah pemenuhan atas permintaan Informasi dilakukan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini dan peraturan pelaksanaannya. Cara sederhana adalah Informasi yang diminta dapat diakses secara mudah dalam hal prosedur dan mudah juga untuk dipahami. Dan Biaya ringan adalah biaya yang dikenakan secara proporsional berdasarkan standar biaya pada umumnya. Selanjutnya pada: Pasal 44 Peraturan Komisi Informasi Nomor 2 Tahun 2010 Tentang Prosedur Penyelesaian Sengketa Informasi Publik menegaskan bahwa: Proses ajudikasi harus selesai selama-lamanya 40 (empat puluh) hari kerja sejak pelaksanaan ajudikasi pertama. Bahwa berdasarkan uraian ketentuan tersebut diatas, serta relevansinya dengan proses Pemohon adalah terjadi sidang ajudikasi yang telah keluar dari ketentuan tersebut, hal ini berdasarkan perhitungan selama-lamanya 40 (empat puluh) hari kerja sejak pelaksanaan ajudikasi pertama, yaitu pada Rabu 29 Februari 2012. Itu berarti saat ini (2 Mei 2012) adalah telah memasuki 48 (empat puluh delapan) hari kerja;

KESIMPULAN
Keberadaan Undang-undang keterbukaan informasiyang memberikan kewenangan kepada Komisi Informasi Publik untuk menjaga dan menjamin, dalam konteks memeriksa dan memutus hak informasi masyarakattelah membawa paradigma baru dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Artinya, Hak atas informasi merupakan hak dasar yang menjadi sokoguru pemerintahan yang transparan dan partisipatoris, yang dengannya menyediakan jalan yang lempang bagi tersedianya jaminan pemenuhan hakhak fundamental dan kebebasan lainnya.

Hal 13 dari 16 hal

Hanya saja diperlukan kesadaran bersama bahwa existing saja tidak cukup, melainkan selanjutnya bagaimana lembaga ini secara progressif mampu menjawab persoalanpersoalan keterbukaan informasi di tengah budaya dan watak yang sudah nyaman dengan ketertutupan. Sehingga pada akhirnya keterbukaan informasi publik bukan hanya terbatas pada instrumen dan lembaga formalnya, melainkan secara substansial, baik instrumen maupun lembaga formalnya benar telah menjelma dalam kerangka penegakan dan implementasinya. Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan diatas, maka dengan ini Pemohon memberikan kesimpulan akhir agar kiranya Majelis Komisioner dapat memutus: 1. Termohon maupun saksi ahli Termohon tidak dapat membuktikan alasan pembenar secara hukum untuk tidak memberikan informasi/dokumen yang dimohon Pemohon, dengan demikian informasi yang dimohon adalah informasi yang bersifat terbuka sehingga wajib dibuka dan diberikan kepada Pemohon, mengingat hak atas informasi atau right to know merupakan hak fundamental yang menjadi dasar bagi pemenuhan hak-hak lainnya. Hak ini mencakup kebebasan untuk berpegang teguh pada suatu pendapat tanpa ada intervensi, dan untuk mencari, menerima dan menyampaikan informasi dan buah pikiran melalui media apa saja dan tanpa memandang batas-batas wilayah; 2. Menyatakan Termohon telah salah karena tidak menanggapi dan tidak memenuhi permohonan informasi sebagaimana yang dimohon, sehingga Termohon wajib menanggapi dan memenuhi permohonan informasi sesuai permohonan, sebab Hak atas informasi tidak tergolong dalam nonderogable rights (hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun). Oleh karena itu, pelaksanaan hak atas informasi dapat dibatasi, namun pembatasan hak atas informasi tidak bisa diberlakukan secara semena-mena. Pembatasan hanya diperbolehkan apabila diatur menurut hukum dan dibutuhkan untuk melindungi hak dan kebebasan orang lain atau melindungi keamanan nasional, ketertiban umum, kesehatan, atau moral masyarakat. Di dalam UUD 1945 dan UU No. 39/1999 dinyatakan bahwa pembatasan hanya dapat oleh dan berdasarkan UU semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis. Di dalam Siracusa Principles (Prinsip-Prinsip Siracusa) disebutkan bahwa pembatasan hak tidak boleh membahayakan esensi hak. Prinsip-prinsip pembatasan atas alasan ini lebih rinci dituangkan para ahli hukum internasional dalam Johannesburg Principles (Prinsip-Prinsip Johannesburg), yakni: (a) Pembatasan tidak dapat diterapkan jika pemerintah tidak dapat menunjukkan secara valid bahwa pembatasan tersebut sesuai dengan ketentuan hukum dan diperlukan dalam masyarakat demokratis untuk melindungi kepentingan keamanan nasional yang sah. Sebuah UU atau ketentuan hukum yang mengatur pembatasan hak atas informasi penting untuk melindungi
Hal 14 dari 16 hal

hak tersebut sekaligus menjamin kepastian hukum dan mencegah penyalahgunaan kekuasaan; (b) Pembatasan harus ditentukan oleh hukum yang dapat diakses, tidak bersifat ambigu, dan dibuat secara hati-hati dan teliti, yang memungkinkan setiap individual untuk melihat apakah suatu tindakan bertentangan dengan hukum atau tidak; (c) Pembatasan harus memiliki tujuan yang sesungguhnya dan harus menunjukkan dampak melindungi kepentingan keamanan nasional yang sah tersebut; Pemerintah harus dapat menunjukkan bahwa informasi yang dibatasi merupakan ancaman yang serius terhadap kepentingan keamanan nasional yang sah. Pembatasan yang dilakukan adalah sarana pembatasan yang serendah mungkin untuk melindungi kepentingan tersebut. Pembatasan tersebut juga harus sejalan dengan prinsip-prinsip demokrasi; (d) Tidak sah suatu pembatasan jika tujuan yang sesungguhnya atau dampak yang dihasilkannya adalah untuk melindungi kepentingan-kepentingan yang tidak berhubungan dengan keamanan nasional, termasuk, misalnya, untuk melindungi suatu pemerintahan dari rasa malu akibat kesalahan yang dilakukan atau pengungkapan kesalahan yang dilakukan, atau untuk menutup-nutupi informasi tentang pelaksanaan fungsi institusi-institusi publiknya, atau untuk menanamkan suatu ideologi tertentu, atau untuk menekan kerusuhan industrial; (e) Dalam keadaan darurat, negara dapat menerapkan pembatasan tetapi hanya sampai pada batasan sebagaimana dibutuhkan oleh situasi tersebut dan hanya ketika hal tersebut tidak bertentangan dengan kewajiban pemerintah berdasarkan hukum internasional; dan (f) Diskriminasi berdasarkan apapun tidak boleh menjadi dasar pembatasan hak atas informasi. 3. Menyatakan Termohon telah salah dan/atau melakukan pembohongan publik atas pernyataannya sendiri saat Mediasi ke-2 (dua) dengan sidang ajudikasi pembuktian, serta pembohongan publik atas membantah dan tidak mengakui isi dari Laporan Keterangan Pertanggungjawaban Penjabat Walikota Tangerang Selatan Tahun Anggaran 2010 tertanggal 28 Maret 2011 dan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) RI Perwakilan Provinsi Banten tanggal 27 Mei 2011, memohon agar memuatnya dalam amar putusan dan/atau setidak-tidaknya dalam konsideran putusan; 4. Memerintahkan Termohon untuk menyerahkan informasi yang dimohon Pemohon segera sejak putusan dibacakan serta memerintahkan Termohon untuk membuat pernyataan permohonan maaf melalui 3 (tiga) surat kabar lokal dan 1 (atau) surat kabar nasional atas setiap hari kelalaian menjalankan putusan; 5. Apabila Majelis Komisioner berpendapat lain, mohon memberikan putusan seadil-adilnya menurut rasa keadilan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, serta relevansinya atas hasil pemeriksaan selama sidang ajudikasi ini, dengan pertimbangan bahwa substansi UU KIP ini adalah untuk membangun akuntabilitas publik yang menjamin hak masyarakat untuk mengetahui rencana pembuatan program kebijakan maupun proses pengambilan keputusan publik
Hal 15 dari 16 hal

serta alasan pengambilan suatu keputusan yang mempengaruhi hajat hidup orang banyak;

Hal 16 dari 16 hal

Anda mungkin juga menyukai