Anda di halaman 1dari 5

MENCUNDANGI FAJAR

Semua pasti berakhir. Lutut ini pun akan tertekuk. Bersimpuh penuh harap, penuh malu, dan bergetar karena takut. Mata pun hanya bisa melihat diri, hati hanya merasai diri, pikiran hanya berpusat pada diri. Semua pasti berakhir. Diri pun akan menjadi bagian dari anai-anai yang ditebarkan. Gunung pun jadi layaknya bulu yang dihamburkan. Semua pasti berakhir. Dan untuk pertama kalinya manusia membenci melihat bintang, karena ia jatuh berserakan. Dan untuk pertama kalinya pula, lautan menjadi layaknya api yang membara. Semua pasti berakhir. Dan ketika saat itu datang, aku... Aku tak mau... Tak mau menjadi... XXXXXXXXX

Di suatu fajar di pelataran ----------||---------Sebelum fajar bekunjung. Matanya perlahan terbuka. Mencoba

mengumpulkan seberkas cahaya remang tempat ia berada. Dengan pelan ia angkat kepalanya dari, kemudian sedikit menggerakkan bahu. Ia tarik lengannya ke depan. Mengangguk-anggukan kepala, lalu terdiam sejenak. Huuufft... Gagah. Pikirnya sekali waktu di bangun tidurnya. Deretan kotak berukuran raksasa menjadi pemandangan di tiap ia membuka mata. Kotak-kotak raksasa dari baja yang mengeluarkan suara yang teramat bising baginya. Baginya yang masih berumur delapan tahun saat itu. Saat dimana ia harus memilih antara mati, atau tetap hidup dalam kesendiriannya. Dan ia pun memutuskan untuk mengakhirinya. Mengakhiri pikiran buruknya untuk mati. Mati ketika fajar kerap menyapanya. Menyapanya dengan senyuman sinisnya. Senyuman sinis yang tak mau ia lihat lagi.

Matanya kini terbuka lebar. Suara bising kotak-kotak raksasa yang berjejer rapi itu memaksanya bangun dengan kesadaran yang penuh. Ia pun berdiri, kini. Menolehkan kepala ke kiri dan ke kanan. Mencoba mengamati gelapnya pagi sebelum fajar datang. Kakinya melangkah, menyusuri sebuah lorong sempit dan sedikit kotor bercampur bau menuju sebuah tempat dimana ia biasa meletakkan harta berharganya. Sebuah sapu lidi dan sapu ijuk. Diraihnya kedua jenis sapu itu, dan ia pun kembali ke tempat semula. Lagi-lagi ia terdiam, sejenak. Menatap lurus ke depan. Mengambil nafas panjang, dan memamerkan senyum kecilnya pada fajar yang baru membuka selimut malamnya yang tebal. Dalam sekejap, tubuhnya telah berada di dalam kotak besar itu. Sambil memegang kedua hartanya yang berharga, ia berjalan menuju ke salah satu sudutnya. Ia ayunkan sapu ijuk yang ada di tangan kanannya. Sedikit membungkuk untuk membersihkan kotoran yang ada dalam kotak raksasa itu. Sesekali ia tepuk-tepuk punggungnya. Menghilangkan rasa letih, lelah karena membungkuk. Manusia, itu manusia. Manusia itu maha karya yang sempurna. Tapi, manusia menghilangkan kesempurnaan dirinya. Gerutunya setiap kali ia temukan terlampau banyak kotoran dan sampah yang berserakan di sana. Mungkin baginya, melihat manusia itu seperti melihat sebuah lukisan yang teramat indah. Tapi di saat melihat sampah itu berserakan, lukisan indah tak ubahnya seperti lukisan abstrak yang tak dapat dimengerti. Itulah manusia. Gerutunya lagi. Kini tangannya mencoba meraih sesuatu. Salah satu jenis sampah yang paling ia gemari. Lembar-lembar surat kabar yang terbuang. Oh bukan terbuang, tapi memang dibuang. Dipungutnya lembaran itu satu persatu. Dan senyum kecil pun bersarang di bibirnya. Begini memang manusia. Lembar-lembar surat kabar itu mengingatkannya pada satu hal. Hal yang tak mungkin ia lupakan selama jantungnya masih berdetak. Kematian. Kematian seorang lelaki yang dipanggilnya Bapak. Lelaki yang menemaninya hingga usianya yang ke

delapan tahun, tiga bulan, empat belas hari. Lelaki yang banyak berkisah padanya. Kisah-kisah segolongan orang yang telah membuktikan baha mereka memang sebuah maha karya pencipta. Manusia sejati itu adalah manusia yang merdeka. Manusia yang merdeka itu, yang hanya menghamba padaNya. Wejangan Bapaknya di suatu fajar menjelang shubuh. Itu berat. Anggapnya hingga saat ini. Saat hidup malah mencekik, seolah mengundang malaikat pencabut nyawa bertamu padanya. Ah sudahlah.. Tepisnya. Dan dengan cepat ia keluar dari kotak raksasa itu, menuju sebuah mushola kecil yang diurusnya tiap hari. Adzan shubuh dikumandangkan. Mulutnya terbuka lebar saat melafadzakn huruf dengan harakah fathah. Suaranya melengking indah. Tapi tak bertahan lama di telinga manusia di sekitarnya. Suara bising kotak-kotak raksasa itu menutupinya. Perhatian kepada para penumpang kereta api Sri Tanjung. Kereta Api akan segera tiba melalui jalur tiga. Sekali lagi perhatian kepada para penumpang kereta Api Sri Tanjung. Kereta api akan segera tiba melalui jalur tiga. Suara petugas stasiun itu terdengar olehnya yang sedang khusyuk menghadapNya. Dan setelah salam pun, untuk kesekian kalinya ia tersenyum. Tersenyum karena akhirnya ada kotak-kotak raksasa lagi yang akan tiba. Yang itu berarti menambah penghasilannya sebagai pembersih gerbong kereta. Ia pun dengan segera bangkit dari duduknya. Menujur tiang tempat ia sandarkan kedua sapunya. Dengan sedikit berlari kecil, ia kembalikan kedua hartanya itu di tempatnya yang aman, dan kembali ke depan mushola untuk mengambil aset berharganya yang lain. Beberapa belas nasi pecel berbungkus daun pisang khas. Ia jajakan kepada para penumpang kereta api yang sedang berhenti. Satu, dua, tiga, empat, lima bungkus terjual sudah. Huuft. Keringatnya menetes di dahi. Panas, karena matahari naik tahta menjadai raja di siang hari. Di usapnya tetesan keringat yang terus menerus mengucur.

Kak Althof, pakai ini. Seorang anak kecil dengan sebungkus besar tisu menghampirinya. Anak perempuan kecil yang ditinggal kedua orang tuanya semenjak ia bayi. Anak perempuan kecil yang bernama Faza. Ia melempar senyum hangat pada sang anak. Mengusap rambutnya yang sudah mulai kusut. Ini barang untuk dijual, Faza. Jadi kakak ndak mau kalau diberi gratis. Kakak beli satu ya... Sang anak pun membalasnya dengan senyuman yang lebih hangat. Faza janji akan lebih giat belajar lagi, biar bisa seperti kakak. Kata sang anak sambil berlari riang meninggalkannya. ---------- || ---------Alif, ba, ta, tsa, ja, kha, kho,,,, Beberapa orang anak kecil menirukan bacaan di buku iqra mereka. Terdengar indah di telinganya, meski ada beberapa kesalahan dalam melafadzkannya. Tak apa. Pikirnya. Masih ada cukup waktu bagi mereka untuk terus belajar. Belajar bagaimana membaca, dan belajar bagaimana bertahan hidup. Yang baginya, belajar itu sudah terlambat. Sekali lagi, tak mengapa. Masih ada kesempatan untuk memberikan pembelajaran. Setidaknya pada anak-anak itu. Anak-anak yang entah bagaimana nasibnya di masa depan. Anak-anak yang mungkin dunia enggan meliriknya. Anak-anak yang bagian dari generasi manusia yang terlupakan. Allahu Akbar...Allahu Akbar..Allahu Akbar, Allahu Akbar.

Asyhaduallaillahaillllah... Asyhaduallaillahaillallah... Adzan maghrib pun berkumandang. Mengakhiri pertemuan singkatnya dengan anak-anak kecil itu. Pertemuan singkat yang ia harap bisa jadi perisai, pelindung tubuhnya dari api neraka. Seperti kata Bapaknya di sebuah Shubuh di November tua. Manusia itu tak mungkin berhenti polah, jika ajal tidak datang padanya. Dan polah manusia ini yang akan menentukan tempat bersemayamnya di sebuah kehidupan yang abadi. Dong, dong, dong, dong, dong, dong, dong ,dong... Jam berdentang delapan kali. Pertanda jarum pendek ada di angka delapan.

Malam bertamu kembali. Batinnya. Ya, malam seperti tamu untuknya. Yang membuatnya terjaga. Terjaga karena tumpukan ribuan lembar koran yang harus ia susun dengan rapi, agar terjual mahal di pasar loak. Kelopak matanya mulai sering berkedip. Tanda kantuk menyerangnya. Di saat yang kurang tepat. Masih banyak lembar koran yang belum tertata. Sesekali ia angkat kedua tangannya ke atas. Mengumpulkan segenap tenaga untuk kembali menyusun kertas-kertas itu. Dan untuk kesekian kalinya, fajar pun ia cundangi. Karena masih terlelap ketika ia terjaga. Terjaga karena berdirinya yang tegak menghadap Rabbnya. Manusia itu tugasnya hanya satu. Berkarya. Berkarya untukNya. Berkarya di jalanNya. Dan untuk kesekian kalinya, kalimat itu terbersit di console otaknya. Sebuah kalimat yang membuatnya memilih untuk bertahan hidup meski hantu kesendirian itu menakuti setiap jejaknya. Sebuah kalimat yang membuatnya bertekad,akan selamanya mencundangi fajar.

Anda mungkin juga menyukai