Anda di halaman 1dari 19

Tugas kmb Konjungtivitis

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang B. Rumusan Masalah

BAB II PEMBAHASAN A. Definisi Beberapa pendapat ahli mengenai definisi konjungtivitis sebagai berikut: 1. Inflamasi konjungtivita yang ditandai dengan pembengkakan dan eksudat. Konjungtivitis ini sering disebut dengan mata merah karena seringkali kondisi mata nampak merah (Brunner & Suddarth. 2002). 2. Konjungtivitis adalah inflamasi konjungtiva yang ditandai dengan sensasi mata terasa ada pasirnya (adanya benda asing), hyperemia (konjungtiva kemerahan dan sedikit bengkak), fotofobia, rabas purulen dengan infeksi bakteri atau rabas cair pada konjungtivitis alergi atau karena virus (Brooker, 2008) Konjungtivitis adalah infeksi pada konjungtiva, yaitu lapisan halus yang melapisi mata, infeksi ini menyebabkan konjungtiva menjadi merah dan sakit (Hidayat, 2008) B. Etiologi Penyebab dari konjungtivitis adalah
1. Virus, seperti Adenovirus, Herpes simpleks, Herpes zoster,

Klamidia, Pikoma, Enterovirus.


2. Bakteri,

seperti

Stafilococcus,

Streptococcus,

Pseudomonas

aeruginosa, Neisseria gonorrhoe, dan Haemophilus influenza. 3. Alergi, terjadi pada reaksi hipersensitivitas tipe cepat atau lambat, atau reaksi antibody humoral terhadap allergen. Pada keadaan berat merupakan bagian dari sindrom steven Johnson, eritema multiforme berta akibat reaksi alegri pada orang dengan predisposisi alergi obat,i penggunaan lensa mata yang terlalu lama, penggunaan kosmetik mata atau tetes mata juga dapar menyebabkan alergi (Mansjoer, 1999). C. Klasifikasi

Klasifikasi Konjungtivitis berdasarkan penyebabnya 1. Konjungtivitis virus Konjungtivitis adenoviral sulit dibedakan dari konjungtivitis bakteri. Konjungtivitis adenoviral biasanya dimanifestasikan dengan kedua mata tampak memerah, serosa pada mata tampak jelas dan nodu preaurikulernya teraba disertai dengan nyeri. Alat yang cepat dan dapat digunakan untuk mendeteksi antigen adenoviral adalah immunochromatography tes dengan cara mengambil cairan pada mata (Sambursky, 2006). Penanganan konjungtivitis adenoviral ini biasanya dengan memberikan agen-agen antimikroba, namun apabila agen antimikroba ini tidak efektif maka perawatan dilakukan dengan manajemen adenoviral dengan menjaga kebersihan dan perawatan suportif misalnya kompres dingin dan pemberian obat topical untuk memberikan kenyamanan. Pasien dan perawat diharapkan untuk selalu menjaga kebersihan tangan dan mencuci tangan, menghindari menyentuh mata, dan menghindari memeganng bantal atau alat lainnya setelah memegang mata supaya mencegah penyebaran infeksi. Pasien disarankan untuk menghindari kontak langsung dengan orang lain selama sedikitnya 7 hari setelah muncul gejala (Trobe, 2006). Penderita biasanya juga mengalami peningkatan prevalensi di ocular hipertic karena penyebaran infeksi virus herpes simpleks dan HIV. Infeksi herpes pada mata dapat menyebabkan kondisi seperti keratitis, iritis, atau stroma yang semuanya dapat menyebabkan kerugian permanen ketajaman visual. Pasien dengan diduga terserang karena herpes harus dirujuk ke dokter mata untuk manajemen dengan topikal yang sesuai dan atau agen antivirus sistemik (Boughton, 2011) 2. Kinjungtivitis bakteri Konjungtivitis bakteri mempengaruhi salah satu atau kedua mata, dan adanya drainase purulen atau mukopurulen pada mata terutama pada pagi hari. Gejala terjadi ketika pasien merasa mata

seperti terbakar, iritasi dan merasa kelopak mata seperti berkulit. Bakteri patogen utama yang menyebabkan konjungtivitis bakteri adalah Moraxella catarrhalis, Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenzae, Pseudomonas aeruginosa, dan Staphylococcus. Paparan Chlamydia trachomatis di jalan lahir sebagai penyebab paling umum dari konjungtivitis pada bayi baru lahir. Meskipun konjungtivitis bakteri biasanya tidak menyebabkan suatu kerusakan yang serius tetapi pengobatan untuk mengurangi risiko penyakit di bagian mata lain yang lebih luas atau mengancam komplikasi pada visi mata (misalnya, kornea ulserasi), mengurangi penyebaran infeksi interpersonal (Shields, 2000). Kasus yang biasanya terjadi adalah konjungtivitis yang ringan sehingga dapat diobati dengan obat oles yang aman dan hemat biaya. Penggunaan antibiotik harus dipilih sesuai dengan kemungkinan besar penyebab mikro-organisme berdasarkan usia pasien dan faktor-faktor lain. 3. Konjungtivitis alergi Tanda dadi konjungtivitis alergi adalah adanya gatal yang berat ataupun ringan. Drainase dari mata biasanya serosa atau berlendir, dan kondisi ini biasanya terjadi secara unilateral. Konjungtivitis alergi paling sering terjadi karena adanya reaksi hipersensitifitas dan peningkatan kadar seri Ig E. Penatalaksanaan dapat dilakukan dengan memberikan perawatan alergen dengan cara menghindari alergen, pemberian kompres dingin, tetes antihistamin, vasokonstriktor, mastcell stabilizers (misalnya, cromolyn natrium atau lodoxamide), dan oral (sistemik) antihistamin. Jika pengobatan tidak efektif maka konjungtivitis alergi telah berhasil diobati dengan levocabastine, antihistamin topikal, dan dua topikal yang mengandung non-steroid anti-inflamasi yaitu ketorolac trometamin dan diklofenak. Meskipun kortikosteroid topikal mudah cara pemberiannya namun pemberian ini harus dilakukan seorang terapis yang spesialis () mungkin diperlukan

pada kasus yang berat, terapi ini harus hanya diberikan di bawah arahan mata spesialis (Morrow, 1998). D. Manifestasi Klinis Tanda dan gejala konjungtivitis bisa meliputi hiperemia (kemerahan), cairan, edema, pengeluaran air mata, gatal, rasa terbakar, atau rasa tercakar atau ada benda asing. Tanda dan gejala konjungtivitis gonorea, yang dapat mengancam penglihatan, meliputi cairan purulen yang berlimpah dan pembengkakan kelopak mata. Penyakit ini dapat ditularkan ke bayi baru lahir dan ditangani secara awal dengan perak nitrat dan antibiotika sistemik (Brunner dan Suddarth, 2002). Konjungtiva bukbi hiperemis, lakrimasi, eksudat dengan sekret mukopurulen terutama di pagi hari, pseudoptosis akibat pembengkakan kelopak, kemosis, hipertrifi papil, folikel, membran, pseudomembran, granulasi, flikten, mata terasa seperti ada benda asing, dan limfadenopati preaurikular. Kadang disertai keratitis dan blefaritis. Biasanya dari satu mata menjalar kemata yang lain dan dapat menjadi kronik. Pada konjungtivitis gonore, dapat terjadi sekret yang purulen padat dengan masa inkubasi 12 jam-5 hari, disertai perdarahan subkonjungtiva dan kemosis. Terdapat tiga bentuk, oftalmia neonatorum (bayi berusia 1-3 hari), konjungtivitis gonore infantum (lebih dari 10 hari), dan konjungtivitis gonore adultorum.Pada orang dewasa terdapat kelopak mata bengkak, sukar dibuka dan konjungtiva yang kaku disertai sakit pada perabaan; pseudomembran pada konjungtiva tarsal superior; konjungtiva bulbi merah, kemosis, dan menebal; gambaran hipertrofi papilar besar; juga tanda-tanda infeksi umum. Biasanya berawal dari satu mata kemudian menjalar ke mata sebelahnya. Tidak jarang ditemukan pembesaran dan rasa nyeri kelenjar preaurikular. Sekret semula serosa kemudian menjadi kuning kental, tetapi dibandingkan pada bayi, maka pada dewasa sekret tidak kental sekali (Mansjoer, 2001). E. Patofisiologi

Konjungtiva karena lokasinya terpapar pada banyak mikroorganisme dan faktor lingkungan lain yang menganggu. Beberapa mekanisme melindungi permukaan mata dari substansi luar. Pada film air mata, unsur berairnya mengencerkan materi infeksi, mukus menangkap debris dan kerja memompa dari palpebra secara tetap menghanyutkan air mata ke duktus air mata dan air mata mengandung substansi antimikroba termasuk lisozim. Adanya agens perusak, menyebabkan cedera pada epitel konjungtiva yang diikuti edema epitel, kematian sel dan eksfoliasi, hipertrofi epitel atau granuloma. Mungkin pula terdapat edema pada stroma konjungtiva ( kemosis) dan hipertrofi lapis limfoid stroma (pembentukan folikel). Sel-sel radang bermigrasi dari stroma konjungtiva melalui epitel ke permukaan. Sel-sel ini kemudian bergabung dengan fibrin dan mukus dari sel goblet, membentuk eksudat konjungtiva yang menyebabkan perlengketan tepian palpebra saat bangun tidur (Ilyas, et.all. 2001). Adanya peradangan pada konjungtiva ini menyebabkan dilatasi pembuluh-pembuluh konjungtiva posterior, menyebabkan hiperemi yang tampak paling nyata pada forniks dan mengurang ke arah limbus. Pada hiperemia konjungtiva ini biasanya didapatkan pembengkakan dan hipertrofi papila yang sering disertai sensasi benda asing dan sensasi tergores, panas, atau gatal. Sensasi ini merangsang sekresi air mata. Transudasi ringan juga timbul dari pembuluh darah yang hiperemia dan menambah jumlah air mata. Jika klien mengeluh sakit pada iris atau badan silier yang berarti kornea juga terterkena (Ilyas, et.all. 2001). Perjalanan penyakit pada orang dewasa secara umum, terdiri atas 3 stadium : 1. Stadium Infiltratif. Berlangsung 3 4 hari, dimana palpebra bengkak, hiperemi, tegang, blefarospasme, disertai rasa sakit. Pada konjungtiva bulbi terdapat injeksi konjungtiva yang lembab, kemotik dan menebal, sekret serous, kadang-kadang berdarah. Kelenjar preauikuler membesar, mungkin disertai demam. Pada orang dewasa selaput konjungtiva lebih bengkak dan lebih menonjol dengan gambaran

hipertrofi papilar yang besar. Gambaran ini adalah gambaran spesifik gonore dewasa. Pada umumnya kelainan ini menyerang satu mata terlebih dahulu dan biasanya kelainan ini pada laki-laki didahului pada mata kanannya (Ilyas, et.all, 2000; Voughan, 2000). 2. Stadium Supurativa/Purulenta Berlangsung 2 3 minggu, berjalan tak begitu hebat lagi, palpebra masih bengkak, hiperemis, tetapi tidak begitu tegang dan masih terdapat blefarospasme. Sekret yang kental campur darah keluar terus-menerus. Pada bayi biasanya mengenai kedua mata dengan sekret kuning kental, terdapat pseudomembran yang merupakan kondensasi fibrin pada permukaan konjungtiva. Kalau palpebra dibuka, yang khas adalah sekret akan keluar dengan mendadak (memancar muncrat), oleh karenanya harus hati-hati bila membuka palpebra, jangan sampai sekret mengenai mata pemeriksa (Ilyas, et.all,2000). 3. Stadium Konvalesen (penyembuhan). Berlangsung 2 3 minggu, berjalan tak begitu hebat lagi, palpebra sedikit bengkak, konjungtiva palpebra hiperemi, tidak infiltratif. Pada konjungtiva bulbi injeksi konjungtiva masih nyata, tidak kemotik, sekret jauh berkurang. Pada neonatus infeksi 2konjungtiva terjadi pada saat berada pada jalan kelahiran, sehingga pada bayi penyakit ini ditularkan oleh ibu yang sedang menderita penyakit tersebut. Pada orang dewasa penyakit ini didapatkan dari penularan penyakit kelamin sendiri. Pada neonatus, penyakit ini menimbulkan sekret purulen padat dengan masa inkubasi antara 12 jam hingga 5 hari, disertai perdarahan sub konjungtiva dan konjungtiva kemotik (Wegman, 2008).

F. Pathway

Bakteri, virus, alergen Film air mata mengencerkan bakteri, virus dan allergen Mucus menangkap debris Keluar lizosim Merusak epitel konjungtifa Edem epitel, kematian sel tereksfoliasi , hipertrofi epitel Sel radang bermigrasi dari epitel ke permukaan Fibrin dan mukus Eksudat konjungtifa di mata Gangguan konsep diri Dilatasi pembuluh - pembuluh konjungtiva Hiperemi, hipertrofi papilla, rasa panas, gatal, sensasi tergores

Gang. ketidaknyama nan

Air mata banyak keluar

Perubahan proses sensori, persepsi (penglihatan

G. Komplikasi Stafilokok dapat menyebabkan blefarokonjungtivitis,Gonokok menyebabkan perforasi kornea dan endoftalmitis, dan Meningokok dapat menyebabkan septikemia atau meningitis (Mansjoer, 2001). Penyakit radang mata yang tidak segera ditangani/diobati bisa menyebabkan kerusakan pada mata/gangguan pada mata dan menimbulkan komplikasi. Beberapa komplikasi dari konjungtivitis yang tidak tertangani diantaranya: 1. Glaucoma 2. Katarak 3. ablasi retina
4. komplikasi pada konjungtivitis kataral teronik merupakan segala

penyulit dari blefaritis seperti ekstropin, trikiasis 5. komplikasi pada konjungtivitis purulenta seringnya berupa ulkus kornea 6. komplikasi pada konjungtivitis membranasea dan pseudomembranasea adalah bila sembuh akan meninggalkan jaringan perut yang tebal di kornea yang dapat mengganggu penglihatan, lama- kelamaan orang bisa menjadi buta 7. komplikasi konjungtivitis vernal adalah pembentukan jaringan sikratik dapat mengganggu penglihatan
H. Penatalaksanaan

Bila konjungtivitis disebabkan oleh mikroorganisme, pasien harus diajari bagaimana cara menghindari kontraminasi mata yang sehat atau mata orang lain. Perawat dapat memberikan intruksi pada pasien untuk tidak menggosok mata yang sakit dan kemudian menyentuh mata yang sehat, mencuci tangan setelah setiap kali memegang mata yang sakit, dan menggunakan kain lap, handuk, dan sapu tangan baru yang terpisah untuk

membersihkan mata yang sakit. Asuhan khusus harus dilakukan oleh personal asuhan kesehatan guna mengindari penyebaran konjungtivitis antar pasien. Pengobatan spesifik tergantung dari identifikasi penyebab. 1. Konjungtivitis Bakteri Sebelum hasil pemeriksaan mikrobiologi, dapat diberikan antibiotic tunggal, sepertigestamisin, klorafenikol, polimiksin dan sebagainya, selama 3-5 hari. Apabila tidak menghasilkan hasil maka hentikan dan menunggu hasil pemeriksaan. Bila tidak ditemukan kuman dalam sediaan langsung, diberikan tetes mata antibiotic spectrum luas tiap jam disertai salep mata untuk tuidur atau salep mata 4 -5 kali sehari. Untuk konjungtivitis gonore, pasien dirawat serta diberikan penisilin salep dan suntikan. Untuk bayi dosisnya 50.000 unit /kg BB selama 7 hari. Secret dibersihkan dengan kapasyang dibasahi air rebus bersih atau garam fisiologis setiap 15 menit dan diberikan salep penisilin. Dapat diberikan oenisilin tetes mata dalam bentuk larutan penislin G 10.000-20.000 unit /ml setiap menit selama 30 menit, dilanjutkan setiap 5 menit selama 30 menit berikut, kemudian diberikan setiap 1 jam selama 3 hari. Antibiotic sistemik diberikan sesuai dengan pengobatan gonokok. Terapi dihentikan setelah pemeriksaan mikroskopik menunjukan hasil negative selama 3 hari brturut-turut. 2. Konjungtivitis Viral Pengobatan umumnya hasnya bersifat sistomatik dan antibiotic diberikan untuk mencegah terjadinya infeksi sekunder. Dalam dua minggu akan sembuh dalam sendirinyahindari pemakaian steroid topical kecuali bila radang sangat hebat dan memungkinkan reaksi virus herpes simpleks telah dieliminasi. Konjungtivitis viral akut biyasa disebabkan adenovirus dan dapat sembuh sendiri sehingga pengobatan hanya bersifat suportif,

berupa kimpres, astringen, lubrikasi. Pada kasus yang berat diberika antibiotic untuk mencegah infeksi sekunder dan steroid topical. Konjungtivitis herpatik diobati dengan anti virus, asklovir 400mg/hari selama 5 hari. Steroid tetes deksametason 0,1 % diberikan bila terdapat episkleritis, skleritis, dan iritis, tetapi steroid berbahaya karena dapat menyebabkan penyebaran sistemik. Dapat diberikan analgesic untuk menghilang rasa sakit. Pada permukaan dapat diberikan salep tertrasilkin. Jika terjadi ulkus kornea perlu dilakukan debridement dengan cara mengoles salep pada ulkus dengan swab kapas kering, tetesi obat anti virus dan ditutup selama 24 jam. 3. Konjungtivitis Alergi Biasanya akan sembuh sendiri. Pengobatan ditujukan untuk menghindarkan penyebab dan menghilangkan gejala. Terapi yang dapat diberikan misalnya vasokonstriktor local pada keadaan akut (epinefrin 1: 1.000), astrigen, steroid topical dosis rendah dan kompres dingin untuk menghilangkan edema. Untuk pencegahan diberika natrium kromoglikat 2 % topical 4 kali sehari untuk mencegah degranulasi sel mast. Pada kasus yang berat dapat digunakan antihistamin dan steroid sistemik. Penggunaan steroid berkepanjangan harus dihindari karena bisa terjadi infeksi virus, katarak, hingga ulkus kornea oportunistik. Antihistamin sistemik hanya sedikit bermanfaat. Pada sindrom Steven Johnson. Pengobatan bersifat sistomatik dengan pengobatan umum. Pada mata dilakukan pembersihan secret, midriatik, steroid topical, dan pencehagan simblefaron.

4.

Konjungtivitis Sika Diberikan air mata buatan seumur hidup dan diobati penyakit

yang mendasarinya. Sebaiknya diberikan air mata buatan tanpa zat pengawet karena bersifat toksik bagi kornea dan dapat menyebabkan reaksi idiosinkrasi. Dapat dilakukan terapi bedah untuk mengurangi drainase air mata melalui oklusi pungtum dengan plug silicon atau plug kolagen. I. Asuhan Keperawatan 1. Pengkajian a. Anamnesa Pemeriksaan 1) 2) fisik (inspeksi) untuk mencari tanda

konjungtivitis yang meliputi : Hiperemi konjungtiva yang tampak paling nyata pada Kemungkinan adanya sekret : a) Mukopurulen dan berlimpah pada infeksi bakteri, yang menyebabkankelopak mata lengket saat bangun tidur. b) Berair/encer pada infeksi virus.
3) 4)

fornix dan megurang ke arah limbus.

Edema konjungtiva Blefarospasme atau kontraksi kelopak mata untuk Lakrimasi Konjungtiva palpebra (merah, kasar seperti beludru Konjungtiva bulbi, injeksi konjungtiva banyak, Kadang kadang disertai perdarahan

berkedip tanpa kendali. 5) 6) 7)

karena ada edema dan infiltrasi). kemosis, dapat ditemukan pseudo membrane pada infeksi pneumokok. subkonjungtiva kecil kecil baik di konjungtiva palpebra

maupun bulbi yang biasanya disebabkan pneumokok atau virus.


8)

Pemeriksaan visus, kaji visus klien dan catat derajat

pandangan perifer klien karena jika terdapat sekret yang menempel pada kornea dapat menimbulkan kemunduran visus/melihat. b. Pengkajian Fungsi Gordon 1)
a)

Pola manajemen kesehatan-persepsi kesehatan Keluhan Utama : Nyeri, rasa ngeres (seperti ada pasir dalam mata), gatal, panas dan kemerahan disekitar mata, epipora mata dan sekret, banyak keluar terutama pada konjungtiva, purulen / Gonoblenorroe.
b)

Sifat Keluhan : keluhan terus menerus; hal yang

dapat memperberat keluhan, nyeri daerah meradang menjalar ke daerah mana, waktu keluhan timbul pada siang malam, tidur tentu keluhan timbul.
c)

Keluhan

Yang

Menyertai:

apakah

pandangan

menjadi kabur terutama pada kasus Gonoblenorroe.


d)

Riwayat Kesehatan Yang Lalu: Klien pernah

menderita penyakit yang sama, trauma mata, alergi obat, riwayat operasi mata.
e)

Riwayat

Kesehatan

Keluarga:

dalam

keluarga

terdapat penderita penyakit menular (konjungtivitis, TBC, infeksi pernafasan) 2) Gejala : 3) Gejala : 4) Aktivitas/Istirahat Perubahan aktivitas biasanya/hobi sehubungan Neurosensori Gangguan penglihatan (kabur/tak jelas), kehilangan Kenyamanan

dengan gangguan penglihatan.

bertahap penglihatan perifer.

Gejala : kepala. c.

Ketidaknyamanan ringan/mata berair. Nyeri tiba-

tiba/berat, menetap atau tekanan pada dan sekitar mata, sakit

Pemeriksaan penunjang
1.

Pemeriksaan ketajam penglihatan dengan kartu Pemeriksaan dengan uji konfrontasi, kampimeter,

Snellen.
2.

dan perimeter. Pemeriksaan lapang pandangan diperlukan untuk mengetahui adanya penyakit tertentu ataupun untuk menilai progresivitas penyakit.
3.

Pemeriksaan laboratorium kultur sitologik

Pemeriksaan kultur dan sitologik secret konjungtiva untuk mengetahui kemungkinan penyebab infeksi, seperti : a) Sel eusinofil umumnya merupakan akibat atopi terutama konjungtivitis vernal atau alergi dan peningkatan serup IgE. b) c) d) Sel polimorfonuklear leukosit merupakan akibat Sel imfosit merupakan gambaran karakteristik infeksi bakteri atau chalmidia infeksi akibat virus atau infeksi kronis Sel epitel dengan multinukleus dengan atau tanpa badan inklusi intraseluler, merupakan gambaran yang dapat ditemukan pada infeksi virus.
4.

Pemeriksaan dengan uji festel untuk mengetahui Pemeriksaan oftalmoskop Pemeriksaan dengan slitlamp dan loupe dengan

letak dan adanya kebocoran kornea


5. 6.

sentolop. Dengan Slit Lamp tampak sebagai tonjolan bulat ukuran 1-3 mm, berwarna kuning atau kelabu, jumlahnya satu atau lebih yang di sekelilingnya terdapat pelebaran pembuluh darah

konjungtiva (hiperemia). Bisa unilateral atau mengenai kedua mata.


7.

Pemeriksaan dengan melakukan uji fluoresein (untuk

melihat adanya efek epitel kornea). 2. Diagnosa


a)

Gangguan sensori/persepsi (visual) berhubungan dengan Gangguan ketidaknyamanan berhubungan dengan gangguan Gangguan konsep diri

perubahan penerimaan sensori transmisi


b)

penglihatan c)

3. Intervensi
a)

Gangguan sensori/persepsi (visual) berhubungan dengan

perubahan proses sensori, persepsi (penglihatan) NOC Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan :
1. Ketajaman penglihatan kembali normal dengan skala 3

NIC 1. Kaji derajat dan durasi gangguan visual 2. Kaji adanya tanda dan gejala seperti hiperemia (kemerahan), cairan, edema, pengeluaran air mata, gatal, rasa terbakar, atau rasa tercakar atau ada benda asing 3. Berikan terapi antibiotika sistemik atau topikal sesuai penyebab 4. Ajari klien tentang prosedur yang memadai ketika memberikan obat mata 5. Anjurkan klien untuk menjaga kebersihan kelopak mata 6. Anjurkan klien melakukan kompres air hangat pada sekitar mata

7. Instruksikan klien untuk tidak menggosok mata yang sakit dan kemudian menyentuh mata yang sehat 8. Instruksikan klien untuk mencuci tangan setelah setiap kali memegang mata yang sakit, dan menggunakan kain lap, handuk dan sapu tangan baru yang terpisah 9. Kolaborasikan dengan tenaga kesehatan lain b) Ketidaknyaman berhubungan dengan gangguan proses

penglihatan Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan dapat : NOC
1. Mengungkapkan rasa aman nyaman dengan skala 4 2. Klien mendapatkan kembali fungsi penglihatannya dengan

skala 4 NIC 1. Mengkaji persepsi klien mengenai ketidaknyamananya 2. Berikan kesempatan klien untuk mengungkapkan gangguan penglihatan 3. Lakukan modifikasi lingkungan 4. Anjurkan keluarga untuk menemani klien 5. Kolaborasikan dengan tenaga kesehatan lainnya
c)

Gangguan citra tubuh berhubungan dengan konjungtivitis

yang kemerahan pada mata, edema perubahan vision Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan dapat : NOC 1. Menunjukan sikap positif dengan skala 2 2. Mampu menghasilkan masalah terkait dengan status penyakitnya dengan skala 2 3. Klien menunjukan kesediaan untuk dirawat dengan skala 3

NIC 1. Monitor tanggapan klien terhadap dirinya 2. Menentukan persepsi percaya diri menurut penilaian klien 3. Bantu klien untuk mengenal segi positif yang klien miliki 4. Bantu klien untuk menyadari respon positif yang diberikan oleh orang lain
5. Bantu klien untuk menentukan goal treatment yang

seimbang
6. Monitor tanda-tanda self-negatif

DAFTAR PUSTAKA Boughton B. Herpetic Eye Disease: An Update on Three Culprits. Available at http://www.aao.org/publications/eyenet/200701/ comprehensive.cfm. Last accessed September 27, 2011. Brooker. (2008). Ensiklopedia Keperawatan. Jakarta: EGC. Brunner & Suddarth. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC. Hidayat. (2008). Pengantar Ilmu Kesehatan Anak Untuk Pendidikan Kebidanan. Jakarta: Salemba Medika. Ilyas, Sidarta et.all. 2005. Ilmu Penyakit Mata. Balai Penerbit FKUI. Jakarta. Mansjoer, Arif dkk. 2001. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 3 Jilid I, Medica Jakarta : Aesculapius FKUI. Morrow GL, Abbott RL. Conjunctivitis. Am Fam Physician. 1998;57(4):735-746. Saefudin, Mukhamad.2010. Konjungtivitis, http://desays.blogspot.com/2010/04/vbehavio rurld efaultvml-o.html Sambursky R, Tauber S, Schirra F, Kozich K, Davidson R, Cohen EJ. The RPS Adeno Detector for Diagnosing Adenoviral Conjunctivitis. Ophthalmology. 2006;113(10):1758-1764. Shields SR. Managing eye disease in primary care. Part 2: how to recognize and treat common eye problems. Postgrad Med. 2000;108(5):83-86, 91-96. Trobe JD. The Physicians Guide to Eye Care. 3rd ed. San Francisco, CA: American Academy of Ophthalmology; 2006. Voughan, D G, et.all. 2000. Oftalmologi Umum (General Ophthalmology). Ed. 14. Jakarta : Widya Medika. Wegman, John MD. 2008. Neonatal Conjunctivitis. http://www.ncbi.nihgov/. diakses 17 desember 2011

Anda mungkin juga menyukai