Mengingat kebanyakan jenis pohon hutan tidak berbuah sepanjang tahun, maka diperlukan suatu cara penyimpanan yang baik yang dapat menjaga kestabilan benih baik jumlah maupun mutunya. Penyimpanan dalam rangka pembenihan mempunyai arti yang luas, karena yang diartikan penyimpanan di sini adalah sejak benih itu mencapai kemasakan fisiologisnya sampai ditanam. Adapun tempat dan waktunya bisa terjadi ketika benih masih berada pada tanaman, di gudang penyimpanan atau dalam rangka pengiriman benih itu ke tempat atau daerah yang memerlukan. Selama dalam penyimpanan karena pengaruh beberapa faktor, mutu benih akan mengalami kemunduran (Kartasapoetra, 1986). Selama penyimpanan benih, proses fisiologis tetap berlangsung sehingga harus diusahakan agar proses ini berjalan seminimal mungkin (Hendarto, 1996). Tujuan utama penyimpanan benih adalah untuk mempertahankan viabilitas benih selama periode simpan yang lama, sehingga benih ketika akan dikecambahkan masih mempunyai viabilitas yang tidak jauh berbeda dengan viabilitas awal sebelum benih disimpan. Ketahanan benih untuk disimpan beragam tergantung dari jenis, cara dan tempat penyimpanan (Sutopo, 1988). Dalam kegiatan penanganan benih, secara umum benih dikelompokkan ke dalam dua golongan utama sesuai dengan kondisi penyimpanan yang dituntut, yaitu benih recalsitrant dan benih orthodox (Roberts, 1973a dalam Schmidt, 2000). Benih orthodox mampu disimpan dalam waktu yang lama pada kadar air benih yang rendah (2 5%) dan suhu penyimpanan yang rendah. Benih recalsitrant adalah benih yang viabilitasnya segera turun sampai nol jika disimpan dalam waktu yang lama dan kadar air yang rendah (Roberts, 1973 dalam Anonim, 2000). Pada benih recalsitrant, kadar air benih pada waktu masak lebih dari 30% sampai 50%, dan sangat peka terhadap pengeringan di bawah 12% sampai 30%. Kelompok species yang benihnya tahan terhadap pengeringan sampai kadar air benih yang rendah seperti pada benih orthodox, tetapi sangat peka terhadap suhu penyimpanan yang rendah, belakangan ini dikelompokkan dalam benih intermediate (Ellis et al., 1990 dalam Schmidt, 2000). Menurut Schmidt (2000), benih orthodox tahan terhadap pengeringan dan suhu penyimpanan yang rendah, yaitu pada suhu 0 5o C dengan kadar air benih 5 7%.
Dalam kondisi penyimpanan yang optimal, benih yang orthodox akan mampu disimpan sampai beberapa tahun. Pada saat masak, kadar air benih pada kebanyakan benih orthodox sekitar 6 10%. Benih orthodox banyak ditemukan pada zona arid, semi arid dan pada daerah dengan iklim basah, di samping itu juga ada yang ditemukan pada zona tropis dataran tinggi. Menurut Schmidt (2000), benih recalsitrant didefinisikan sebagai benih yang tidak tahan terhadap pengeringan dan suhu penyimpanan yang rendah, kecuali untuk beberapa species temperate recalsitrant. Tingkat toleransinya tergantung dari species masing-masing, umtuk benih species dari daerah tropik kadar air benih yang dianjurkan untuk penyimpanan adalah 20 35% dan suhu penyimpanan 12 15o C. kebanyakan benih recalsitrant hanya mampu disimpan beberapa hari sampai dengan beberapa bulan. Benih recalsitrant pada waktu masak, kadar air benih sekitar 30 70%. Benih recalsitrant banyak ditemukan pada species dari zona iklim tropis basah, hutan hujan tropis, dan hutan mangrove, beberapa ditemukan pada zona temperate dan sedikit ditemukan pada zona panas. Benih yang diproduksi dan diproses seringkali tidak langsung ditanam tetapi disimpan dahulu untuk digunakan pada musim tanam berikutnya, di samping itu ada pula benih yang memang perlu disimpan dalam waktu tertentu terlebih dahulu sebelum ditanam yaitu benih yang mengalami after ripening. Untuk menghambat laju deteriorasi maka benih ini harus disimpan dengan metode tertentu agar benih tidak mengalami kerusakan ataupun penurunan mutu. a. Faktor yang mempengaruhi viabilitas benih sebelum penyimpanan Sering dianggap bahwa benih tumbuhan dapat berkecambah hanya setelah buah yang berisi benih itu telah masak, namun pada kenyataannya ada benih tumbuhan yang dapat berkecambah jauh sebelum benih itu mencapai masak fisiologis atau sebelum mencapai berat kering maksimum. Untuk kebanyakan benih, viabilitas maksimum terjadi beberapa waktu sebelum benih mencapai masak fisiologis. Sampai dengan saat masak fisiologis viabilitas itu konstan dan setelah itu viabilitas turun dengan cepat karena pengaruh lingkungan tempat benih itu berada (Kamil, 1982). Harrington (1972) menyatakan bahwa tekanan lingkungan selama pembuahan sampai masak fisiologis dapat mempengaruhi umur hidup benih yang masak. Tanaman
induk yang tumbuh dalam tanah yang kekurangan suatu unsur hara mineral juga dapat mempengaruhi umur hidup benih yang masak. Faktor lingkungan lain yang mempengaruhi tanaman induk yang mengakibatkan turunnya viabilitas benih yang dihasilkan adalah kekurangan air, suhu udara terlalu tinggi atau terlalu rendah, salinitas tanah, penyakit tanaman dan serangan hama. Menurut Abdul-Baki & Anderrson (1972) dalam Bakri (1986), tingkat kualitas benih paling tinggi, termasuk viabilitasnya, adalah tingkat maksimum teoritis yang dicapai dalam kondisi faktor-faktor lingkungan yang saling mempengaruhi dan menimbulkan interaksi yang paling menguntungkan antara susunan genetis benih dengan lingkungan tempat benih itu dihasilkan, dipanen, diolah dan disimpan. Kemasakan fisiologis dapat ditafsirkan sebagai kondisi fisiologis yang harus tercapai sebelum tingkat kualitas optimum untuk memanen benih dapat dimulai. Normalnya kondisi ini bersamaan dengan tingkat kualitas maksimal. Jadi dalam proses menghasilkan benih yang berkualitas baik, praktek-praktek budidaya yang dijalankan sebelum benih mencapai kemasakan fisiologis sempurna akan membantu mendekatkan kualitas benih dengan kulitas maksimum teoritis, sedangkan cara memanen, mengeringkan dan menyimpan yang baik akan memperlambat kemunduran benih agar nanti kualitasnya bisa sedekat mungkin dengan tingkat kualitas tertinggi seperti pada awal kemasakan fisiologis. Menurut Copeland (1976) dalam Bakri (1986), kondisi fisik dan keadaan fisiologis benih banyak mempengaruhi umur hidupnya. Benih yang pecah, retak atau lecet kondisi fisik dan fisiologisnya akan turun lebih cepat daripada benih yang baik. b. Faktor yang mempengaruhi viabilitas benih dalam penyimpanan Proses kemunduran mutu benih tidak dapat dihindarkan, yang dapat dilakukan hanyalah mengurangi kecepatannya. Untuk mengurangi kecepatan kemunduran dapat dilakukan dengan beberapa usaha dan perlakuan pada penyimpanan benih yaitu dengan cara penyimpanan yang tepat (Harrington, 1972). Faktor yang mempengaruhi viabilitas benih dalam penyimpanan dapat dibedakan menjadi dua, yaitu faktor dalam yang melliputi jenis dan sifat benih, viabilitas awal benih dan kadar air benih, sedangkan faktor luar meliputi kelembaban, temperatur, gas di sekitar benih dan mikroorganisme (Sutopo, 1988). Pada umumnya benih tidak dianjurkan disimpan pada kadar air tinggi, karena akan cepat kehilangan viabilitasnya. Adanya
banyak air dalam benih, maka pernafasan akan dipercepat sehingga benih akan banyak kehilangan energi. Pernafasan yang hebat disebabkan oleh air yang ada dalam biji dan temperatur lingkungan. Penyimpanan benih yang baik harus memperhatikan dua hal, yaitu sifat asli benih dan faktor-faktor lingkungan yang mempengaruhi benih. Antar kedua hal tersebut terdapat hubungan erat yang dapat mempunyai pengaruh yang menguntungkan atau merugikan terhadap viabilitas benih. Menurut Copeland (1977) dalam Kartasapoetra (1986), benih itu higroskopis, sehingga dapat membiarkan kadar airnya berada dalam keseimbangan dengan tingkat kelembaban relatif udara di sekitarnya. Keseimbangan kadar air dicapai apabila benih tidak ada kecenderungan untuk menyerap atau melepaskan air lagi. Jika kadar air benih lebih rendah daripada tingkat keseimbangannya dengan kelembaban udara, maka benih akan menyerap uap air dari uadara. Sebaliknya jika kadar air benih lebih tinggi daripada tingkat keseimbangan dengan kelembaban udara maka kadar air benih akan turun atau benih melepaskan uap air ke udara. Keseimbangan antara kadar air benih dengan kelembaban udara relatif dalam penyimpanan dilukiskan dalam kurva keseimbangan higroskopis. Di daerah yang beriklim tropik seperti di Indonesia kelembaban relatif udara bebas adalah 80% - 90%. Dalam keadaan demikian benih yang mempunyai kadar air yang rendah menyerap uap air dari udara bebas sehingga kadar airnya meningkat. Hal ini menyebabkan benih yang disimpan dalam wadah terbuka segera kehilangan viabilitasnya. Untuk benih orthodox yang berkadar air rendah, kelembaban udara yang rendah sangat baik untuk mempertahankan viabilitasnya, tetapi bagi benih yang recalsitrant kelembaban udara yang rendah dapat merugikan viabilitas benih.
Kelembaban udara tempat penyimpanan berhubungan dengan kelembaban udara bebas. Untuk mempertahankan kelembaban udara dalam tempat penyimpanan, dipakai tempat penyimpanan yang kedap udara (Harrington, 1972). Kelembaban udara tenpat penyimpanan juga berhubungan erat dengan suhu tempat penyimpanan. Kelembaban udara biasanya dinyatakan sebagai kelembaban relatif (relative humidity = RH), yaitu perbandingan antara kandungan uap air dalam udara pada suatu saat dalam suhu tertentu dengan jumlah uap air maksimum yang terdapat dalam udara (udara yang jenuh dengan uap air) pada suhu tersebut (Kartasapoetra, 1986). Kebanyakan benih orthodox dapat disimpan sampai waktu yang lama pada kondisi suhu dan kadar air yang rendah. Penyimpanan dengan kadar air yang tinggi dan pada suhu yang tinggi dapat menyebabkan deteriorasi yang disebabkan karena serangan jamur. Meskipun beberapa jamur bisa bertahan pada suhu dan kadar air yang rendah, aktivitasnya akan menurun dengan cepat bila berada pada suhu 10o C dan kadar air benih di bawah 10% (Schmidt, 2000). Benih recalsitrant sangat peka terhadap pengeringan. Kadar air kritis benih dalam penyimpanan adalah 60 70% untuk benih yang sangat recalsitrant, dan 12 14% bagi benih intermediate. Tingkat toleransi benih recalsitrant terhadap suhu penyimpanan sangat bervariasi, untuk benih dari daerah tropis secara umum sangat peka terhadap penyimpanan pada suhu rendah. Menurut Seeber dan Angpaoa (1976) dalam Schmidt (2000), viabilitas benih dapat dipertahankan lebih lama jika disimpan pada ruang dengan suhu yang konstan dan terjaga dari fluktuasi suhu. Hal ini sangat berhubungan dengan tujuan agar embrio benih tetap dalam keadaan dorman. Pada lantai hutan, dimana suhunya relatif konstan, biji tetap dalam keadaan dorman sampai terbukanya celah kanopi, sehingga menghasilkan perubahan suhu yang dapat menyebabkan perkecambahan biji. Meskipun proses metabolisme bisa diturunkan dengan jalan menurunkan kadar air benih dan suhu ruang simpan, namun untuk species recalsitrant aktivitas metabolisme
tetap berlangsung selama penyimpanan. Konsekuensinya, benih membutuhkan oksigen untuk respirasi, benih tersebut tidak dapat disimpan pada ruang simpan yang bebas dari oksigen. Pada penyimpanan dengan kadar air benih yang tinggi, dengan adanya ventilasi diharapkan dapat mencegah proses peningkatan suhu di sekitar benih dan anoxia (kekurangan oksigen), serta berguna untuk mengeluarkan gas-gas yang bersifat racun (Tompsett, 1992 dalam Schmidt, 2000).
c. Teori-teori penyebab kemunduran biji saat penyimpanan (Soeseno dan Suginingsih, 1984) 1. Kehabisan cadangan makanan, ini adalah teori yang paling tua mengenai kemunduran viabilitas benih. Karena benih yang disimpan melakukan respirasi dari aktifitas fisiologis yang lain, benih akhirnya kehabisan cadangan makanan. Namun diketahui bahwa sebagian besar benih mengandung cadangan makanan yang tidak akan habis dalam waktu yang sangat lama. Lagipula proses pemecahan secara biokimia dalam benih yang kering menghabiskan zat makanan yang sangat sedikit dan tidak mungkin sampai menghabiskan cadangan makanan benih. Jadi teori ini sudah tidak dapat dipertahankan lagi. 2. Sel-sel meristematis kekurangan zat makanan, menurut teori ini respirasi dapat menghabiskan jaringan yang terlibat dalam pengangkutan zat makan dari tempat cadangan makanan dan keadaan ini menyebabkan embrio tidak mendapat penyediaan makanan itu. Dalam hal ini sel-sel meristematis pada embrio itu akhirnya mati karena rusak atau kekurangan makanan. 3. Terkumpulnya senyawa-senyawa beracun, dalam penyimpanan kadar air rendah, respirasi dan aktifitas enzim yang berkurang dapat menyebabkan terkumpulnya atau tertimbunnya senyawa-senyawa beracun yang menurunkan viabilitas benih. Pada beberapa benih asam abesisin yang terdapat dalam benih diduga sebagai penyebab kemunduran benih. 4. Rusaknya mekanisme untuk memulai perkecambahan, teori ini didasarkan pada peranan asam gibberellin dan sitokinin dalam mendorong aktifitas enzim untuk memulai perkecambahan. Beberapa bukti menunjukkan bahwa perkecambahan pada
benih yang merosot atau tua dapat ditingkatkan dengan pemberian hormon pertumbuhan. 5. Ketidak mampuan ribosoma berdisosiasi, suatu bukti yang baru menunjukkan bahwa disosiasi poliribosoma harus terjadi sebelum perlekatan RNA dapat terjadi dan untuk sintesa protein pada benih yang sedang berkecambah. Pada benih yang sudah mati, ribosoma tidak berdisosiasi sehingga sintesa protein tidak dapat terjadi. Jadi diduga bahwa semakin bertambahnya ketidak mampuan ribosoma berdisosiasi adalah penyebab kemunduran benih. 6. Terurai dan tidak aktifnya enzim, penurunan aktifitas enzim adalah simtom kemunduran benih yang dapat diukur., tetapi hal ini hanya merupakan pencerminan perubahan yang lebih mendasar pada enzim itu sendiri. Penurunan aktifitas enzim dalam benih menurunkan potensi respirasinya, yang selanjutnya menurunkan penyaluran energi dan makanan bagi benih yang berkecambah. Perubahan makromolekul enzim dapat menyebabkan menurunnya efektifitasnya. Enzim dapat mengalami perubahan komposisi dengan kehilangan atau memperoleh grup fungsional tertentu, oksidasi group sulfihidril, atau karena konversi asam-asam amino dalam struktur protein. Enzim juga dapat mengalami perubahan konfigurasi seperti: (1) pelipatan atau terbukanya ultrastruktur, (2) kondensasi yang membentuk polimer, (3) penguraian menjadi sub-sub unit. 7. Autoksidasi lipida, pada umumnya kemunduran benih sebagian dihubungkan dengan akumulasi pengaruh sampingan yang merugikan dari gugus radikal bebas yang dihasilkan oleh proses-prosesproses metabolisme dan ditimbulkan oleh radiasi terion. Gugus radikal yang bersifat sementara yang dihasilkan selama autoksidasi bersifat sangat merusak bagi protein, enzim dan senyawa biologis lain disekitarnya. Telah diketahui bahwa gugus radikal bebas dari peroksida lipida merusak cytochrome-C dengan mengubah sifat-sifat fisik dan katalisnya. Lipida yang merupakan bagian dari semua membran sel mengalami kontak rapat dengan semua komponen sel yang lain, termasuk enzim dan protein yang lain ketika benih sangat kering (kadar air 1 5%). Produk autoksidasi itu (misalnya karbonil) mampu berikatan dengan makromolekulmakromolekul yang biasanya dilindungi oleh lapisan air monomolekuler. Meskipun autoksidasi lipida terjadi pada semua sel, tetapi pada sel-sel yang menyerap banyak air,
air itu berfungsi sebagai penyangga antara senyawa-senyawa reaktip itu dengan makromolekul untuk mencegah inaktivasi enzim. Juga ada beberapa senyawa seluler bekerja sebagai antioksidan, diantaranya tokoferol (vitamin E), fosfolipida dan fosforilkholine. Autoksidasi lipida dipercepat pada temperatur tinggi dan konsentrasi oksigen tinggi. Namun autoksidasi lipida dianggap sebagai penyebab kemunduran benih hanya pada kadar air benih dibawah 6%. Pengaruh yang paling besar terhadap mundurnya kualitas biji selama disimpan adalah kadar air biji, temperatur dan lembab nisbi udara (Soeseno dan Suginingsih, 1984). Di Indonesia biji yang akan disimpan, umumnya perlu diturunkan kadar airnya dulu, sebab pada saat pemungutan kadar air biji masih tinggi yaitu n14 20%, bahkan pada musim hujan sering lebih dari itu. Di daerah temperate (sejuk) biasanya kadar air tidak perlu diturunkan, karena sewaktu dipungut kadar air biji sudah rendah. Di California (U.S.A) misalnya, kadar air biji coniferae pada saat dipungut hanya 8%. Kadar air ini sudah baik untuk penyimpanan. Namun ada pula jenis tanaman hutan yang justru menghendaki di simpan dengan kadar air yang tinggi, hingga lebih dari 35%. Pada umumnya biji tidak dianjurkan disimpan dengan kadar air tinggi, karena akan cepat kehilangan viabilitasnya. Dengan adanya banyak air di dalam biji pernafasan akan dipercepat, karena pernafasan itu suatu proses pembakaran, karbohidrat dan lemak dalam biji mengalami perombakan. Dengan terjadinya perombakan dilepaskan energi, sumber enersi yang ada dihabiskan sehingga biji mati. Pernafasan yang hebat disebabkan disebabkan oleh air yang ada dalam biji dan temperatur lingkungan. Pernafasan dapat dikurangi kecepatannya dengan menurunkan kadar air biji dengan jalan mengeringkannya di bawah sinar matahari atau secara artifisial, bahkan dengan jalan ini pernafasan hampir berhenti. Dengan naiknya kadar air 1% saja, pernafasan sudah naik 2 x, 2% empat kali dan 3% sepuluh kali. Kecuali mempercepat pernafasan, kelembaban juga menyebabkan terjadinya serangan bakteri dan jamur. Makin lembab biji, makin hebat serangan jamur dan bakteri, makin cepat pula terjadi perombakan zat-zat cadangan makanan. Adanya jamur dan bakteri menstimulir juga pernafasan biji, enzym dalam biji bertambah dan menjadi aktip. Dengan aktipnya enzym pernafasan diperhebat.
Temperatur juga berperan penting dalam kehidupan biji, meskipun tidak begitu menentukan seperti kadar air. Dalam keadaan lembab, dengan naiknya temperatur, aktivitas biologis biji, aktivitas jamur dan insect naik. Temperatur dan kelembaban saling mengkompensir dan memperkuat dengan macam-macam jalan. Makin tinggi kadar air biji, makin buruk pengaruh temperatur. Ini terjadi pada temperatur rendah maupun tinggi. Makin kering biji, makin tahan terhadap temperatur tinggi. Dalam penyimpanan secara masal, kadar air yang tinggi, menyebabkan aktivitas metabolisme biji dan aktivitas mikroorganisme menghasilkan panas. Panas ini menaikkan temperatur masa biji. Kenaikan temperatur ini mempercepat aktivitas biologis yang menghasilkan panas lagi. Panas yang dihasilkan ini menaikkan temperatur dan mengakibatkan dipercepatnya aktivitas biologis. Ini terus menerus berjalan sehingga akhirnya biji mati. Maka sebaiknya biji disimpan dengan temperatur rendah, tergantung pada jenis biji dan kadar airnya. Hasil dari suatu percobaan menunjukkan bahwa biji dari beberapa Coniferae memberikan hasil baik jika disimpan dengan temperatur antara 0 C - 23 C. d. Mempertahankan viabilitas biji dalam penyimpanan 1. Pengawasan atmosfer Dengan mengawasi baik temperatur dan lembab nisbi ruangan biji dari kebanyakan species dapat disimpan dengan aman untuk beberapa tahun. Misalnya, suatu ruang yang dipergunakan untuk menyimpan biji diperlengkapi dengan alat pengatur lembab nisbi (dehumidifier) dan alat untuk mengatur temperatur (air conditioner). Dalam ruang ini biji disimpan dengan temperatur rendah dan lembab nisbi udara yang rendah pula. Penyimpanan semacam ini biasanya disebut Cold Storage. Penyimpanan semacam ini memang sangat mahal, tetapi sering diperlukan untuk menyimpan germplasm dan biji-biji yang mahal. Di daerah tropika pengawasan atmosfir tempat penyimpanan sangat perlu kalau diharapkan viabilitas biji masih tinggi pada akhir penyimpanan. Cara yang tidak begitu mahal ialah menyimpan biji dalam suatu ruangan yang dilengkapi dengan air conditioner atau kipas angin. 2. Penyimpanan dalam tempat yang tertutup rapat (sealed strorage) Biji disimpan dalam tempat yang tertutup rapat (kaleng, stoples, kantong plastik). Dapat juga dibubuhi dengan desicant seperti kapur, silica gel dan sebagianya.
Tujuan dari cara ini ialah untuk mencegah berubah-ubahnya kadar air biji karena perubahan lembab nisbi udara di kelilingnya. Biji yang disimpan dalam tempat di mana udara kamar dapat keluar masuk akan cepat kehilangan viabilitasnya. Tetapi yang disimpan di tempat di mana udara luar tidak dapat masuk, dapat mempertahankan umur biji lebih lama. Kertas biasa dan bahan kain merupakan tempat penyimpanan yang sangat buruk, sedangkan laminate dan polyethylene lebih baik, kaleng ternyata baik sekali untuk penyimpanan lama. 3. Pengawasan Kelembaban Pengawasan kelembaban dengan suatu alat sangat mahal. Bila tidak ada uang alat yang mahal itu, kelembaban dalam suatu ruangan dapat diawasi dengan pemakaian zat kimia (chemical dessiccant) yang diketahui memiliki nilai keseimbangan kelembaban. Dapat digunakan larutan garam atau asam kenyang, misalnya asam belerang yang diencerkan dengan air untuk mendapatkan lembab nisbi tertentu. Selaian H2SO4 dapat digunakan juga HNO3 atau HCl. Lembab nisbi ruangan tergantung pada kadar larutan temperatur. e. Penerapan prinsip-prinsip penyimpanan Penyimpanan benih harus diusahakan pada ruang dan tempat penyimpanan yang khusus atau yang memenuhi persyaratan dengan mengingat faktor-faktor yang mempengaruhinya seperti (1) jumlah benih yang akan atau harus disimpan, (2) suhu dan kelembaban relatif ruang penyimpanan, (3) macam kemasan atau tempat (wadah) benih, (4) lamanya penyimpanan benih, serta (5) faktor-faktor lain yang ekonomis bagi penyimpanan tersebut (Soeseno dan Suginingsih, 1984). Dengan memperhatikan faktor-faktor di atas serta kepentingan penyimpanan benih sebagai komoditi yang penting maka dapat dikemukakan beberapa prinsip serta perlakuan- perlakuan yang perlu diterapkan, sehingga dengan demikian dapat ditentukan fasilitas penyimpanan mana yang akan dipilih atau diperlukan.
B. Pengemasan Benih a. Beberapa cara dalam pengemasan benih Untuk mempertahankan kualitas benih sehubungan dengan penyimpanannya, selain diperlukan ruang atau gudang penyimpanan yang memenuhi segala persyaratan seperti yang
telah dikemukakan di atas, cara-cara pengemasan benih ke dalam wadah atau tempat, sungguh harus pula memperhatikan cara-cara pengemasan yang baik dan terjamin. Sehingga pada saatnya benih itu ditanam tetap terjamin daya tumbuh atau daya berkecambahnya secara normal. Sifat hati-hati dan pemanfaatan cara-cara yang baik dalam praktek pengemasan itu karena setiap pengemasan yang kurang baik dapat mempengaruhi hal-hal sebagai berikut : Sifat fisik dari benih. Berat benih, besar, warna, kadar air, kemurnian, kebebasan benih dari penyakit dan hama/gulma, insekta, tikus, serta kerusakan mekanis. Aspek fisiologis, tentang daya kemampuan kelangsungan hidup benih selama tanaman, ketahanannya serta kemunduran-kemundurannya (viabilitas, vigor dan dormansi), walaupun tidak berkaitan dengan kualitasnya, kecuali kalau keadaanya memang tidak normal. b. Material kemasan Dalam usaha perbenihan, pengemasan harus diartikan usaha atau perlakuan yang bertujuan untuk melindungi fisik benih agar daya tumbuh dan atau daya berkecambahnya tetap tahan tanpa adanya penyimpanan-pentimpanan dari kelambangan kualitasnya. Karena itu maka jeleknya pengkemsan atau kurang diperhatikannya cara dan ketentuan tentang pengkemasan dapat menimbulkan banyak kerugian pada pengusaha. Dalam hal ini kemasan harus dibuat dari bahan-bahan yang; (1) memiliki kekuatan tekanan, (2) tahan atas kerusakan serta tidak mudah robek, (3) kedap air artinya kurang memberi proteksi terhadap kelembaban relatif yang tinggi, (4) kedap udara luar. Benih dari berbagai jenis mudah kena serangan serangga atau jamur. Pembungkusan atau perawatan dengan berbagai insektisida atau obat jamur (fungicides) merupakan tindakan yang umum sebenarnya terlalu umum dihubungkan dengan kebutuhan sebenarnya atau akibat yang diperoleh. Penerapan tersebut sudah terlalu sering dilakukan tanpa pengetahuan yang tepat tentang biologi dari hama atau penyakit, atau akibatnya dari bahan kimia. Akibat sampingan yang tidak perlu, dapat disebabkan dari cara penanganan benih atau dari lingkungan.
Dari segi fisiologis, campuran bahan organo dan mercury akan dengan mudah masuk kedalam lapisan bibit dari berbagai jenis bibit dengan kandungan air diatas 16%, oleh karena itu dapat menyebabkan hilangnya viabilitas atau menghasilkan semai yang rusak. Benih dengan keretakan kecil ternyata mengabsorbsi obat jamur lebih mudah dari benih yang sehat. Akibat tersebut bertambah dengan lamanya penempatan. Kadang-kadang bahan kimia dapat mempengaruhi dormansi benih. Methyl-bromide terkenal karena akibat yang merusak pada benih. Kerusakan tersebut mungkin karena penggunaan terlalu banyak atau penempatan/ ekspose yang berkepanjangan dikarenakan kurangnya penjemuran (aeration) setelah perlakuan, atau dapat juga disebabkan karena kandungan air yang tinggi didalam bibit. Untunglah bahwa penggunaan campuran yang merusak tersebut sebagian besar telah dilarang atau tidak dianjurkan karena akibat yang negatif pada lingkungan. Beberapa etiket pada campuran, seperti yang digunakan dalam pekerjaan pelapisan, telah digunakan untuk menjelaskan penghisapan bahan kimia kedalam benih. Secara jelas, dimana famili benih berbeda dalam struktur lapisan beniht, keutuhan lapisan benih, atau pada kandungan airnya, antara lain, perawatan dengan bahan kimia dapat menyebabkan akibat yang berbeda pada famili benih tersebut (families). Perbedaan-perbedaan tersebut bahkan dapat diperbesar karena benih yang sehat mungkin mendapatkan manfaat dari tindakan perlakuan (treatments), sementara kelangsungan hidup benih dan kekuatan dari benih yang tidak sehat dapat dikurangi.