Anda di halaman 1dari 2

PERSISTENT BLEEDING FOLLOWING DENTAL EXTRACTIONS IN CIRRHOTIC HEPATIS PATIENTS: CASE REPORT

Vela Niswa Mustaqbali, Bunga Maulani Iskandar, Dwi Nur Hiqmah, Restyani Daniar, Dwi Sartika, Risqih Shofyani Mufty Abstract Cirrhotic or chirrosis is defined anatomically as a diffuse process with fibrosis and nodule formations. It is the end result of the fibrogenesis that occurs with chronic lever injury. Liver damage due to the formation of fibrotic tissue in the liver nodules can lead to impaired liver function. One of livers function is to synthesize a protein related to blood coagulation. Therefore, these patients need special treatment in tooth extraction especially to prevent and cope bleeding. In this case, does not explain how patient may experience bleeding due to teeth removal and the patient's treatment is given only to cope with the bleeding. Kata Kunci: cirrhotic hepatis, bleeding, extraction. Pendahuluan Hati (hepar) merupakan pusat dari metabolisme karbohidrat, lemak, protein, dan vitamin. Selain itu, hepar juga memiliki peranan sebagai detoksifikasi, fagositosis dan imunitas, serta berperan penting dalam proses hemodinamika dan sintesis protein yang berhubungan dengan pembekuan darah (Baradero, 2008). Sirosis hepatis merupakan penyakit kronis pada hepar dengan inflamasi dan fibrosis hepar yang mengakibatkan distorsi struktur hepar dan hilangnya sebagian besar fungsi hepar. Pada sirosis hepatis, terjadi kematian sel-sel hepar, terbentuknya sel-sel fibrotik (sel mast), regenerasi sel dan jaringan parut yang menggantikan sel-sel normal sehingga timbul kekacauan dalam susunan parenkim hati (Baradero, 2008). Beberapa faktor yang diduga dapat menjadi penyebab sirosis hepatis antara lain: malnutrisi, alkoholisme, virus hepatitis, kegagalan jantung yang menyebabkan bendungan vena hepatika, penyakit Wilson, hemokromatosis, zat toksik dan lainnya. Tanda dan gejala dari sirosis hepatis antara lain: anoreksia, demam, berat badan turun, asites, ikterus, edema, hepatomegali, spider nevi pada permukaan kulit, hiperpigmentasi, impoten, jari tabuh, pembesaran kelenjar parotis sehingga terjadi hipersalivasi, dan perdarahan gusi (Mansjoer, 2001). Insidensi sirosis di Amerika diperkirakan 360/100000 penduduk. Di Indonesia hanya ada laporan dari beberapa pusat pendidikan, seperti di RS. Dr. Sardjito Yogyakarta, jumlah pasien sirosis hati berkisar 4,1% dari pasien yang dirawat di Bagian Penyakit Dalam dalam kurun waktu satu tahun pada tahun 2004. Di Medan, dalam kurun waktu 4 tahun dijumpai pasien sirosis hati sebanyak 819 (4%) pasien dari seluruh pasien di Bagian Penyakit Dalam (Sudoyo Aru, 2009). Kasus Seorang pria berusia 60 tahun, dengan parameter hemostatik normal (Prothrombin Time (PT) = 29,4/ 12,3 detik; Activated Partial Thromboplastin Time (APTT) = 66/36 detik; faktor V = 19%; faktor VII + X = 52%, Jumlah trombosit = 63x109/1) menjalani ekstraksi 4 gigi (14, 17, 44, 48) setelah pemberian Fresh-frozen Plasma (FFP) 6 ml/kg. Tindakan hemostatik lokal termasuk penggunaan kasa intraalveolar (teroksidasi selulosa), lem fibrin dan jahitan. Selama prosedur tidak terdapat perdarahan abnormal, tetapi perdarahan terlihat 18 jam kemudian di tiga dari keempat tempat ekstraksi. Pendarahan terus terjadi meskipun pengobatan lokal diulang, termasuk kasa, lem fibrin, jahitan, dan penggunaan FFP pada dua kesempatan (3 ml/kg, maka 6 ml/kg). Kompresi dengan kasa yang dibasahi tranexamat sudah dilakukan, tetapi tidak berhasil. Pemberian obat anti fibrinolitik umum tidak dipertimbangkan karena diduga berpotensi terjadinya pembekuan intravascular pada pasien sirosis. Tingkat hemoglobin turun 111-66 g/l dalam 28 jam transfusi, dan pasien membutuhkan 5 unit sel darah merah. Dosis pertama rekombinan Factor VIIa (rFVIIa) 68 mg/kg diberikan tanpa pengobatan lokal lebih lanjut. Perdarahan berhenti dalam waktu 10-15 menit tetapi terulang pada tiga lokasi ekstraksi yang sama 6 jam kemudian. PT (15,2-12,3 detik setelah 30 menit; 15,4 detik pada 90 menit; dan 17,8 detik pada 210 menit) dan APTT (50/36 detik setelah 30 menit dan 59 detik pada 90 menit) dikoreksi setelah pengobatan dengan rFVIIa. Dosis kedua rFVIIa (68 g/kg) menghasilkan hasil yang serupa, yaitu penghentian perdarahan yang cepat tetapi terjadi kekambuhan 8 jam kemudian. FFP telah diberikan dua kali sebanyak 9 ml/kg tanpa menghasilkan keberhasilan dan dua unit lebih Red Blood Cell (RBC) telah ditransfusikan. Kemungkinan penelanan jumlah darah berhubungan dengan tanda-tanda ensefalopati. Rekombinan FVIIa (68g/kg) diberikan lagi kemudian perdarahan berhenti. Setelah injeksi ini, tidak ada prosedur lokal yang dilakukan, tetapi pemberian rFVIIa berlangsung sebanyak 5 kali dosis tambahan dengan interval 3-4 jam sebanyak 34 g/kg kemudian 17 g/kg tanpa adanya perdarahan. Setelah administrasi rFVIIa terdeteksi fibrin yang larut monomer kompleks dan/atau peningkatan produk fibrin yang terdegradasi, namun tanpa disertai adanya penurunan faktor V ( 19-33%), fibrinogen (1.1-1.8 g/l) dan platelet (4386 x 109 /l). Namun, perdarahan kambuh 9 jam setelah injeksi rFVIIa (PT = 23.6/12.3 detik; APTT = 60/36 detik; fibrinogen = 1.45 g/l; platelet = 72x109/l). Prosedur lokal dilakukan 2 hari kemudian, berupa pembersihan secara luas, oksidasi intra alveolar selulosa, lem fibrin, dan jahitan baru dengan menggunakan sedasi umum (6 jam) untuk menghindari kontak lidah di daerah yang dioperasikan. Perdarahan berhenti tanpa adanya kekambuhan lebih lanjut. Dua minggu kemudian pasien dengan sirosis hati stadium akhir meninggal dunia karena insufisiensi hati. Diskusi Salah satu malfungsi dari sirosis hati adalah ketidakmampuan hati untuk memproduksi semua faktor pembekuan darah kecuali faktor VIII, faktor XI dan faktor XIII. Vitamin K membantu hati dalam mempertahankan kadar normal atau sintesis faktor protrombin (faktor II, VII, IX, dan X) (Sylvia A. Price, dkk .2005). Hal ini mengakibatkan pasien sirosis hati mengalami kesukaran dalam pembekuan darah ketika terjadi luka.

Pembentukan faktor II, VII, IX, X abnormal

Pembentukan Trombopoitan

Gambar 1. Bagan mekanisme pembekuan darah pada penderita sirosis hati Penderita sirosis hati memerlukan perlakuan khusus dalam manajemen perawatan gigi dan mulut terutama dalam tindakan pencabutan gigi agar tidak terjadi komplikasi perdarahan. Tindakan manajemen ekstraksi gigi pada penderita sirosis hati meliputi: Tindakan pre-operatif diawali dengan anamnesa yang mendalam. Anamnesa yang baik dapat membantu dokter gigi untuk menegakkan diagnosis dan rencana perawatan dengan pendekatan yang paling baik. Pemeriksaan fisik juga penting untuk mengetahui ciri fisik dari pasien sirosis hati. Pasien sirosis hati memiliki ciri fisik yang khas yaitu: jari tabu, asites, ikterus, hiperpigmentasi, eritema, dan spider nevi. Pada intraoral ditemukan pembesaran gingiva, perdarahan gingiva, dan hipersalivasi. Pasien perlu dilakukan uji Prothrombin time (PT) dan Activated partial thromboplastin time (APTT) untuk memastikan waktu perdarahan pasien dalam kondisi normal. Nilai normal PT adalah 11-13 detik, APTT adalah 24-37 detik (Schafer, 2007). Tindakan premedikasi pada pasien sirosis hati perlu dipertimbangkan karena biasanya pasien mengalami inflamasi gingiva. Tindakan ini berupa pemberian obat anti-inflamasi golongan steroid seperti dexametasone, methylprednisolone, dan prednisone. Pemilihan obat ini dikarenakan obat ini tidak dimetabolisme dalam hati sehingga tidak memperberat fungsi hati. Selain itu, pemberian premedikasi berupa vitamin K yang dapat membantu aktivasi faktor pembekuan darah. Sehingga dapat meminimalisasi perdarahan hebat saat prosedur ekstraksi. Tindakan operatif diawali dengan pemilihan obat anestesi lokal. Anestesi yang sesuai dengan kondisi pasien sirosis hati adalah obat anestesi golongan ester seperti prokain dan kloroprokain, karena obat golongan ini dimetabolisme di plasma. Setelah obat anestesi diberikan, baru dapat dilakukan tindakan ekstraksi dengan memperhatikan perdarahan yang terjadi. Tindakan post-ekstraksi dilakukan untuk menangani perdarahan yang terjadi setelah ekstraksi. Tindakan yang dilakukan berupa kompresi dengan pemakaian tampon. Apabila terjadi perdarahan lebih lanjut, dapat diberikan rFVIIa yang cocok untuk mengatasi perdarahan akut pada pembedahan. Pemberian rFVIIa dosis tinggi dapat membuat ledakan trombin sehingga mengakibatkan pencapaian pembekuan darah dan mencegah fibrinolisis Selain itu, dapat juga diberikan obat koagulan. Pemberian obat antibiotik dan analgetik pada penderita sirosis hati harus mempertimbangkan beberapa prinsip umum pemberian obat pada pasien penyakit hati. Beberapa prinsip tersebut diantaranya (Mansjoer, 2001): a. Sedapat mungkin dipilih obat yang eliminasi utamanya melalui ekskresi ginjal.

b. Hindarkan penggunaan: obat-obat yang mendepresi susunan saraf pusat (morfin), diuretik tiazid dan diuretik kuat, obat-obat yang menyebabkan konstipasi, antikoagulan oral, kontrasepsi oral dan obat-obat hepatotoksik. c. Gunakan dosis yang lebih rendah dari normal, terutama obat-obat yang eleminasi utamanya melalui metabolisme hati. Tidak ada pedoman umum untuk menghitung berapa besar dosis yang harus di turunkan, maka gunakan educated guess atau bila ada, ikuti petunjuk dari pabrik obat yang bersangkutan. Kemudian monitor respons klinik pasien, dan bila perlu monitor kadar obat dalam plasma, serta uji fungsi hati pada pasien dengan fungsi hati yang berfluksuasi. Berikut pilihan obat yang tepat untuk penderita sirosis hepatis: Tabel 1: Pilihan obat antibiotik Antibiotik keterangan Amoxicillin Aman. Doxycycline Dosis tetap pada penderita hepatitis, 50% pada sirosis. Gol. Aminoglikosida Vancomycin Gentamycin Kanamycin Amikacin Gol. Flourokiunolon Kecuali Moxifloxacin, sparfloxacin, dan trovafloxacin. Tabel 2: Pilihan obat analgetik Analgetik Keterangan Asetaminofen Sirosis hati: <1-1,5 g / hari dalam dosis yang terbagi, jika diperlukan Pada penderita hepatitis: 2-2,5 g/ hari dalam dosis terbagi, jika diperlukan K Diklofenak Aman Ketorolak Aman Kesimpulan Pada penderita sirosis hati dapat dilakukan tindakan pembedahan minor temasuk ekstraksi gigi dengan syarat telah mendapatkan izin dari dokter ahli Penyakit Dalam dan dalam kondisi indiksi perdarahan yang normal agar meminimalisirkan terjadinya komplikasi yang tidak diinginkan. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan dalam ektraksi gigi pada pasien sirosis hati adalah anamnesa yang mendalam, pemilihan obat yang tepat dan penatalaksanaan komplikasi yang baik. Pemilihan obat yang diberikan adalah obat-obatan yang tidak dimetabolisme di hati. Referensi
A.-M. Berthier, A. Guillygomarch, M.Messner, M. Pommereul, G. Bader, G.De Mello. 2002. Use of recombinant factor VIIa to treat persistent bleeding following dental extractions in two cirrhotic patiens; 82, 119-121.Available: http://www.niceindia.net/knowledge_base/hepatogastro/berthier2002 .pdf diakses tanggal 12 Maret 2012. Baradero, Mary, Mary Walfrid Dayrit, dan Yakabus Siswadi. 2008. Seri asuhan keperawatan pasien dengan gangguan hati. Jakarta: EGC. Mansjoer, Arif. 2001. Kapita Selekta Kedokteran Edisi ketiga Jilid 1. Jakarta: Media Aesculapius. Marta Cruz-Pamplona, Mara Margaix-Muoz , Maria Gracia Sarrin-Prez. 2011. Dental considerations in patients with liver disease. Journal of Oral Medicine and Pathology ; 3(2):e127-34. Available: http://ocw.tufts.edu/data/29/368684.pdf diakses tanggal 26 Maret 2012 Price, Sylvia A. Dan Lorraine M. Wilson. 2005. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, Volume 2. Jakarta : EGC. Schafer Al. 2007. Approach to the patient with bleeding and thrombosis. In: Goldman L, Ausiello D, eds. Cecil Medicine. 23rd ed. Philadelphia: Saunders Elsevier. Sudoyo, Aru W, dkk. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Interna Publising

Anda mungkin juga menyukai