Anda di halaman 1dari 16

TEORI INTERTEKSTUAL

OLEH : RISANTI AMELIN RIRI AMANDA FITRIANA (1105120581) RIZKA NOVIANTY RIZKY ULIL A

Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah FKIP Universitas Riau

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Setiap pengarang menciptakan karya sastra akan berbeda dengan pengarang yang lainnya. Perbedaan tersebut dapat terletak pada jenis teks, metode yang digunakan, munculnya proses kreatif, dan cara mengekspresikan apa yang ada dalam diri pengarang. Tetapi, berbedanya proses penciptaan karya sastra oleh beberapa pengarang tidak menutup kemungkinan adanya kemiripan di antara hasil teks-teks tersebut. Hal tersebut juga dikarenakan ada sebagian pengarang yang menciptakan karya sastra dilandasi atau didasari oleh karya sastra pengarang lain. Hal inilah yang dinamakan interteks, interteks akan menciptakan kemiripan cerita yang terkandung antara karya sastra yang satu dengan karya sastra yang lain. Berhubungan dengan Intertekstual, ada banyak pakar yang

membicarakannya. Seperti pendapat Jabrohim (2001: 136) menyatakan bahwa intertekstual berarti setiap teks sastra dibaca harus dengan latar belakang teks-teks lain, tidak ada sebuah teks pun yang sungguh-sungguh mandiri, dalam arti bahwa penciptaan dan pembacanya tidak dapat dilakukan tanpa adanya teks-teks lain sebagai contoh, teladan, dan kerangka. Atau Rahman dan Jalil (2004:) yang berpendapat bahwa kajian intertekstualitas dimaksudkan sebagai kajian terhadap sejumlahteks (sastra), yang diduga mempunyai bentuk-bentuk hubungan tertentu, misalnya untuk menemukan adanya hubungan unsur-unsur intrinsik seperti ide, gagasan, peristiwa, plot, penokohan, (gaya) bahasa, dan lainnya, di antara teks yang dikaji. Mengingat cukup banyaknya karya sastra yang mengilhami karya sastra sebelumnya, membuat penulis memandang bahwa intertekstual menarik dan perlu dikaji.

1.2 Rumusan Masalah 1. Apakah pengertian teori Intertekstual ? 2. Bagaimana sejarah teori Intertekstual dan siapa saja tokoh yang berpengaruh ? 3. Bagaimana perkembangan teori Intertekstual ? 4. Apakah prinsip teori Intertekstual ? 5. Apakah kaidah dari teori Intertekstual ? 6. Bagaimana contoh penerapan teori Intertekstual dan sebuah karya sastra ?

1.3 Tujuan Penulisan Adapun tujuan penulisan makalah ini sebagai berikut: 1. Mendeskripsikan pengertian teori Intertekstual 2. Mendeskripsikan sejarah teori Intertekstual dan siapa saja tokoh yang berpengaruh. 3. Mendeskripsikan perkembangan teori Intertekstual 4. Mendeskripsikan prinsip teori Intertekstual 5. Apakah kaidah dari teori Intertekstual ? 6. Mendeskripsikan contoh penerapan teori Intertekstual dan sebuah karya sastra.

BAB II TEORI INTERTEKSTUAL 2.1 PENGERTIAN TEORI INTERTEKSTUAL Secara luas intereks diartikan sebagai jaringan hubungan antara satu teks dengan teks yang lain. Lebih dari itu, teks itu sendiri secara etimologis (textus, bahasa latin) berarti tenunan, anyaman, penggabungan, susunan, dan jalinan. Produksi makna terjadi dalam intereks yaitu melalui proses proposisi, permutasi, dan transformasi. Penelitian dilakukan dengan cara mencari hubungan-hubungan bermakna diantara dua teks atau lebih. Teks-teks yang dikerangkakan sebagai intereks tidak terbatas sebagai persamaan genre, intereks memberikan kemungkinan yang seluas-luasnya bagi peneliti untuk menemukan hypogram. Mengenai keberadaan suatu hypogram dalam interteks, selanjunya Riffaterre (dalam Ratna,2005:222) mendifinisikan hypogram sebagai struktur prateks, generator teks puitika. Lebih lanjut, Hutomo (dalam Sudikan,2001:118) merumuskan hipogram sebagai unsur cerita (baik berupa ide, kalimat, ungkapan, peristiwa dan lain-lain) yang terdapat dalam suatu teks sastra pendahulu yang kemudian teks sastra mempengaruhinya. Kajian intertekstual berangkat dari pemikiran bahwa kapan pun karya tak mungkin lahir dari situasi kekosongan budaya. Unsur budaya, termasuk semua kesepakan dan tradisi di masyarakat. Dalam wujudnya yang khusus berupa teksteks kesusastraan yang ditulis sebelumnya. Kajian intertekstualitas dimaksudkan sebagai kajian terhadap sejumlah teks (sastra), yang diduga mempunyai bentukbentuk hubungan tertentu, misalnya untuk menemukan adanya hubungan unsurunsur intrinsik seperti ide, gagasan,peristiwa, plot, penokohan, (gaya) bahasa, dan lainnya, di antara teks yang dikaji.Secara khusus dapat dikatakan bahwa kajian interteks berusaha menemukan aspek-aspek tertentu yang telah ada pada karyakarya sebelumnya pada karya yang muncul lebih kemudian. Tujuan kajian interteks itu sendiri adalah untuk memberikan makna secara lebih penuh terhadap karya tersebut. Penulisan dan atau pemunculan sebuah karya sering ada kaitannya

dengan unsur kesejarahannya sehingga pemberian makna itu akan lebih lengkap jika dikaitkan dengan unsur kesejarahan itu (Teeuw, 1983: 62-5 dalam Rahman dan Abdul Jalil:2004) Menurut teori interteks, pembacaan yang berhasil justru apabila didasarkan atas pemahaman terhadap karya-karya terdahulu. Dalam interteks, sesuai dengan hakikat teori-teori pasca strukturalis, pembaca bukan lagi merupakan konsumen, melainkan produsen, teks tidak dapat ditentukan secara pasti sebab merupakan struktur dari struktur, setiap teks menunjuk kembali secara berbeda-beda kepada lautan karya yang telah ditulis dan tanpa batas, sebagai teks jamak. Karya sastra yang dijadikan dasar penulisan bagi karya yang kemudian disebut sebagai hipogram. Istilah hipogram, barangkali dapat diindonesiakan menjadi latar, yaitu dasar, walau mungkin tak tampak secara eksplisit, bagi penulisan karya yang lain. wujud hipogram mungkin berupa penerusan konvensi, sesuatu yang telah bereksistensi, penyimpangan dan pemberontakan konvensi, pemutarbalikan esensi dan amanat teks sebelumnya (Teeuw, 1983: 65). Intertekstual merupakan kajian teks yang melibatkan teks lain dengan mencari dan menelaah hubungan tersebut. Suatu teks, dalam kacamata intertekstual, lahir dari teks-teks lain dan harus dipandang sesuai tempatnya dalam keluasan tekstual. Menurut Kristeva (dalam Worton) Intertekstualitas merupakan sebuah istilah yang diciptakan oleh Julia Kristeva. Istilah intertekstual pada umumnya dipahami sebagai hubungan suatu teks dengan teks lain. Menurut Kristeva, tiap teks merupakan sebuah mozaik kutipan-kutipan, tiap teks merupakan penyerapan dan transformasi dari teks-teks lain (1980: 66). Kristeva berpendapat bahwa setiap teks terjalin dari kutipan, peresapan, dan transformasi teks-teks lain. Sewaktu pengarang menulis, pengarang akan mengambil komponen-komponenteks yang lain sebagai bahan dasar untuk penciptaan karyanya. Semua itu disusun dan diberi warna dengan penyesuaian, dan jika perlu mungkin ditambah supaya menjadi sebuah karya yang utuh.

Untuk lebih menegaskan pendapat itu, Kristeva mengajukan dua alasan: Pertama, peng;Larang adalah seorang pembaca teks sebelum menulis teks. Proses penulisan karya oleh seorang pengarang tidak bisa dihindarkan dari berbagai jenis rujukan, kutipan, dan pengaruh. Kedua,sebuah teks tersedia hanya melalui proses pembacaan.

Kemungkinan adanya penerimaan atau penentangan terletak pada pengarang melalui proses pembacaan (Worton,19901).

Menurut Bakhtin, pendekatan intertekstual menekankan pengertian bahwa sebuah teks sastra dipandang sebagai tulisan sisipan atau cangkokan pada kerangka teks-teks sastra lain, seperti tradisi, jenis sastra, parodi, acuan atau kutipan (Noor 2007: 4-5). Selain itu masala tidaknya hubungan antarteks ada kaitannya dengan niatan pengarang dan tafsiran pembaca. Dalam kaitan ini, Luxemburg (dalam Nurgiyantoro, 1995:50), mengartikan intertektual sebagai kitaa menulis dan membaca dalam suatu interteks suatu tradisi budaya, sosial dan sastra yang tertuang dalam teks-teks. Setiap teks bertumpu pada konvensi sastra dan bahasa yang dipengaruhi oleh teks-teks sebelumnya.

2.2 SEJARAH TEORI INTERTEKSTUAL DAN TOKOH-TOKOHNYA Kata "intertekstualitas" berasal dari intertexto Latin, yang berarti untuk 'berbaur sementara tenun' (Keep et al 2000). The "intertekstualitas" istilah pertama kali diperkenalkan dalam linguistik sastra oleh Bulgaria kelahiran ahli semiotika Julia Kristeva Perancis (1941 -) pada akhir tahun 1960. Dalam manifesto-nya yang meliputi esai seperti The Teks Bounded (Kristeva 1980: 36-63) dan Word, Dialog, dan Novel (Kristeva 1980: 64-91) - Kristeva pecah dari pemikiran tradisional tentang pengaruh penulis dan sumber teks itu. Dia berpendapat bahwa semua sistem yang berarti, dari pengaturan meja untuk puisi, yang didasari oleh

cara mereka mengubah sistem menandakan sebelumnya. Sebuah karya sastra, maka, tidak hanya produk dari seorang penulis tunggal, tetapi dari / nya hubungannya dengan teks-teks lain (baik lisan dan tertulis), dan struktur bahasa itu sendiri. I. Asal-usul intertekstualitas, seperti teori sastra dan budaya modern itu sendiri, dapat ditelusuri kembali ke 20 th abad linguistik. Peran utama dimainkan oleh ahli bahasa Ferdinand de Saussure Swiss (1857-1913). Dengan menekankan fitur sistematis bahasa, ia mendirikan sifat relasional makna dan teks. Teori sastra lain yang memiliki pengaruh besar pada teori intertekstualitas adalah ahli teori sastra Rusia Mikhail Bakhtin dan filsuf (1895-1975). Para pendiri sekolah kritik sastra yang dikenal sebagai dialogism, Bakhtin menekankan hubungan antara penulis dan karyanya, pekerjaan dan pembacanya, dan hubungan ketiga untuk kekuatan-kekuatan sosial dan historis yang mengelilingi mereka (Hernadi 2004). Dengan menggabungkan teori Saussurean dan Baktinian, Kristeva menghasilkan ucapan pertama dari teori intertekstual. II. Kerja Kristeva diterbitkan selama masa transisi dalam teori sastra dan budaya modern. Transisi ini dijelaskan dalam hal bergerak dari strukturalisme ke post-strukturalisme Strukturalis dianalisis teks dari segala jenis, dari karya sastra untuk aspek komunikasi sehari-hari.. Ini teori mendasarkan analisis mereka pada semiologi, yang adalah studi tentang tanda-tanda, gerakan berayahkan Saussure. Post-strukturalis, di sisi lain, percaya pada sifat tidak stabil bahasa dan makna, bersikeras bahwa semua teks memiliki makna ganda. Transisi dari strukturalisme ke post-strukturalisme ditandai oleh penggantian objektivitas, kekuatan ilmiah, dan stabilitas metodologis dengan penekanan pada ketidakpastian, indeterminancy,, incommunicability subjektivitas, keinginan, kesenangan bermain, dan. Strukturalis percaya bahwa kritik adalah tujuan, sementara pasca-strukturalis berpendapat bahwa kritik, seperti sastra, secara inheren tidak stabil.

III.

Lain kritikus sosial dan sastra dan teori yang memanfaatkan teori intertekstual adalah Roland Barthes (1915-1980). Posisi Barthes pada intertekstualitas, keyakinannya pada pluralitas dan kebebasan semua pembaca dari kendala bersifat post-strukturalis. Prihatin dengan peran penulis dalam produksi makna, ia percaya bahwa makna sastra tidak akan bisa sepenuhnya ditangkap oleh pembaca, karena sifat intertekstual karya sastra selalu membawa pembaca ke hubungan tekstual baru. Penulis, oleh karena itu, tidak bertanggung jawab atas beberapa arti pembaca menemukan dalam teks-teks sastra. Dengan demikian, Barthes

memproklamirkan "Kematian Pengarang", dan memandang situasi ini sebagai pembebasan bagi pembaca. Dia percaya bahwa semua produksi sastra berlangsung di hadapan teks-teks lain, dan hanya melalui intertekstualitas teks yang diizinkan untuk terwujud: IV. "Setiap teks adalah jaringan baru dari kutipan terakhir. Bit kode, formula, model berirama, fragmen bahasa sosial, dll, masuk ke dalam teks dan didistribusikan di dalamnya, untuk selalu ada bahasa sebelum dan di sekitar teks. Intertekstualitas, kondisi teks apapun, tidak bisa, tentu saja, dapat dikurangi menjadi masalah sumber atau pengaruh, sedangkan intertext adalah bidang umum formula anonim yang asal hampir tidak dapat pernah ditemukan; kutipan sadar atau otomatis, diberikan tanpa kutip tanda "(Barthes 1981: 39). V. konsep teoritis intertekstualitas dikaitkan dengan pasca-modernisme , perangkat itu sendiri bukanlah hal baru. Perjanjian Baru bagian kutipan dari Perjanjian Lama dan kitab Perjanjian Lama seperti Ulangan atau nabi mengacu pada peristiwa yang dijelaskan dalam Keluaran (meskipun menggunakan ' intertekstualitas 'untuk menggambarkan penggunaan Perjanjian Lama dalam Perjanjian Baru, lihat Porter 1997). Sedangkan kritikus redaksi akan menggunakan intertekstualitas tersebut untuk berdebat untuk urutan tertentu dan proses kepengarangan buku-buku tersebut, kritik sastra mengambil pandangan sinkronis yang berhubungan dengan teks-teks dalam bentuk akhirnya, sebagai badan yang saling

berhubungan dari literatur . Tubuh ini saling berhubungan kemudian meluas ke puisi dan lukisan yang merujuk pada narasi Alkitab, seperti teks-teks lain membangun jaringan di seluruh Yunani dan Romawi klasik sejarah dan mitologi. 1855 pekerjaan yang Bullfinch The Age Of Fable menjabat sebagai pengantar seperti jaringan intertekstual; menurut penulisnya, yang dimaksudkan "... bagi pembaca sastra Inggris, dari kedua jenis kelamin, yang ingin memahami kiasan begitu sering dibuat oleh pembicara publik, dosen, eseis, dan penyair ... ". VI. Bahkan tata-nama "baru" dan "lama" (bukti) reframes konteks nyata bahwa Yahudi Taurat telah dirampas oleh pengikut sebuah agama baru yang ingin mengkooptasi yang asli. VII. Kadang-kadang intertekstualitas diambil sebagai plagiarisme seperti dalam kasus penulis Spanyol Luca Etxebarria yang puisi koleksi Estacin de infierno (2001) ditemukan mengandung metafora dan ayat-ayat dari Antonio Colinas . Etxebarria menyatakan bahwa ia mengaguminya dan diterapkan intertekstualitas.

Tokoh yang berpengaruh dalam teori Intertekstual : Tokoh pertama dalam dunia filsafat yang memperkenalkan pendekatan inia dalah Jecques Derrida, kemudian diperdalam oleh Julia Kristeva, Mikhail Bakhtin, seorang filsuf Rusia yang mempunyai minat besar pada sastra. Ada pula yang bernama Riffaterre

2.3 PERKEMBANGAN TEORI INTERTEKSTUAL Pendekatan intertekstual pertama diilhami oleh gagasan pemikiran Mikhail Bakhtin, seorang filsuf Rusia yang mempunyai minat besar pada sastra. Menurut Bakhtin, pendekatan intertekstual menekankan pengertian bahwa sebuah teks sastra dipandang sebagai tulisan sisipan atau cangkokan pada kerangka teks-teks sastra lain, seperti tradisi, jenis sastra, parodi, acuan atau kutipan (Noor 2007: 45).

Kemudian,

pendekatan

intertekstual

tersebut

diperkenalkan

atau

dikembangkan oleh Julia Kristeva. Menurut Kristeva, Intertekstualitas merupakan sebuah istilah yang diciptakan oleh Julia Kristeva (Worton 1990:1). Istilah intertekstual pada umumnya dipahami sebagai hubungan suatu teks dengan teks lain. Menurut Kristeva, tiap teks merupakan sebuah mozaik kutipan-kutipan, tiap teks merupakan penyerapan dan transformasi dari teks-teks lain (1980: 66). Kristeva berpendapat bahwa setiap teks terjalin dari kutipan, peresapan, dan transformasi teks-teks lain. Sewaktu pengarang menulis, pengarang akan mengambil komponen-komponen teks yang lain sebagai bahan dasar untuk penciptaan karyanya. Semua itu disusun dan diberi warna dengan penyesuaian, dan jika perlu mungkin ditambah supaya menjadi sebuah karya yang utuh. Untuk lebih menegaskan pendapat itu, Kristeva mengajukan dua alasan. Pertama, pengarang adalah seorang pembaca teks sebelum menulis teks. Proses penulisan karya oleh seorang pengarang tidak bisa dihindarkan dari berbagai jenis rujukan, kutipan, dan pengaruh. Kedua, sebuah teks tersedia hanya melalui proses pembacaan. Kemungkinan adanya penerimaan atau penentangan terletak pada pengarang melalui proses pembacaan (Worton, 1990: 1).

Intertekstual menurut Kristeva mempunyai prinsip dan kaidah tersendiri dalam penelitian karya sastra, antara lain: (1) interteks melihat hakikat sebuah teks yang di dalamnya terdapat berbagai teks; (2) interteks menganalisis sebuah karya itu berdasarkan aspek yang membina karya tersebut, yaitu unsur-unsur struktur seperti tema, plot, watak, dan bahasa, serta unsur-unsur di luar struktur seperti unsur sejarah, budaya, agama yang menjadi bagian dari komposisi teks; (3) interteks mengkaji keseimbangan antara aspek dalaman dan aspek luaran dengan melihat fungsi dan tujuan kehadiran teks-teks tersebut; (4) teori interteks juga menyebut bahwa sebuah teks itu tercipta berdasarkan karya-karya yang lain. Kajian tidak hanya tertumpu pada teks yang dibaca, tetapi meneliti teks-teks lainnya untuk melihat aspek-aspek yang meresap ke dalam teks yang ditulis atau dibaca atau dikaji; (5) yang dipentingkan dalam interteks adalah menghargai pengambilan, kehadiran, dan masuknya unsur-unsur lain ke dalam sebuah karya (melalui Napiah, 1994: xv).

Di Indonesia kajian intertekstual berangkat dari asumsi bahwa kapan pun karya tulis, ia tidak mungkin lahir dari situasi kekosongan budaya. Unsur budaya, termasuk semua konvensi dan tradisi di masyarakat, dalam wujudnya yang khusus berupa teks-teks kesastraan yang ditulis sebelumya. Dalam hal ini kita dapat mengambil contoh, misalnya, sebelum para pengarang Balai Pustaka menulis novel, di masyarakat telah ada hikayat dan berbagai cerita lisan lainnya seperti pelipur lara. Sebelum para penyair Pujangga Baru menulis puisi-puisi moderennya, dimasyarakat telah ada berbagai bentuk puisi lama, seperti pantun dan syair, disamping mereka juga berkenalan dengan puisi angkatan 80-an di negeri Belanda yang telah mentradisi. Kemudian, sebelum Chairil Anwar dan kawan-kawan seangkatannya menulis puisi dan prosa di masyarakat juga telah ada puisi-puisi modern ala Pujangga baru, berbagai puisi drama, di samping tentu saja puisi-puisi lama. Demikian pula halnya dengan penulisan prosa, dan begitu seterusnya, terlihat adanya kaitan mata rantai antara penulisan karya sastra dengan unsure kesejarahannya. Penulisan suatu karya sastra tak mungkin dilepaskan dari unsure kesejarahannya, dan pemahaman terhadapnya pun haruslah mempertimbangkan unsur kesejarahan itu. Makna keseluruhan sebuah karya, biasanya, secara penuh baru dapat digali dan diungkap secara tuntas dalam kaitannya dengan unsur kesejarahan tersebut.

2.4 PRINSIP TEORI INTERTEKTUAL Prinsip intertekstualitas yang utama adalah prinsip memahami dan memberikan makna karya yang bersangkutan. Karya itu diprediksikan sebagai reaksi, penyerapan, atau transformasi dari karya yang lain. masalah intertekstual lebih dari sekedar pengaruh, ambilan, atau jiplakan, melainkan bagaimana kita memperoleh makna sebuah karya secara penuh dalam kontrasnya dengan karya yang lain yang menjadi hipogramnya, baik berupa teks fiksi maupun puisi. Prinsip intertekstual merupakan salah satu sarana pemberian makna kepada sebuah teks sastra (puisi). Hal ini mengingat bahwa sastrawan selalu menanggapi teks-teks

penyair mempunyai pikiran-pikiran, gagasan-gagasan, dan konsep estetik dan pengetahuan sastra yang dimilikinya.

Menurut Kristeva, prinsip yang paling mendasar dari intertekstualitas adalah bahwa seperti halnya tanda-tanda mengacu kepada tanda-tanda yang lain setiap teks mengacu kepada teks-teks yang lain. Dengan kata lain, intertekstualitas dapat dirumuskan secara sederhana sebagai hubungan antara sebuah teks tertentu dengana teks-teks lain. Gerakan intertekstualitas ini tanpa batas, sejajar dengan proses semiosis yang juga tak berujung pangkal. Dalam pandangan Kristeva, setiap teks memperoleh bentuknya sebagai mosaik ktipan-kutipan, setiap teks merupakan rembesan dan tranformasi dari teks-teks lain. Bagi dia, sebuah karya hanya dapat dibaca dalam kaitannya dengan atau dalam pertentangannya terhadap teks lain yang menjadi resapannya. Melalui hal terakhir inilah seseorang, beserta harapan-harapannya, dapat membaca dan menstrukturkan teks, menemukan ciriciri yang menonjol di dalam sebuah teks dan memberikannya sebuah struktur (Budiman, 1999: 51-52); (Sobur, 2004: 86).

2.5 KAIDAH TEORI INTERTEKTUAL Intertekstual menurut Kristeva mempunyai prinsip dan kaidah tersendiri dalam penelitian karya sastra antara lain : 1. interteks melihat hakikat sebuah teks yang di dalamnya berbagai teks; 2. interteks menganalisis sebuah karya itu berdasarkan aspek yang membinakarya tersebut, yaitu unsur-unsur struktur seperti tema, plot, watak, dan bahasa, serta unsur-unsur di luar struktur seperti unsur sejarah, budaya, agama yang menjadi bagian dari komposisi teks; 3. intertek smengkaji keseimbangan antara aspek dalaman dan aspek luaran dengan melihat fungsi dan tujuan kehadiran teks-teks tersebut; 4. teori interteks juga menyebut bahwa sebuah teks itu tercipta berdasarkan karya-karya yang lain. Kajian tidak hanya tertumpu pada terdapat

teks yang dibaca, tetapi meneliti teks-teks lainnya untuk melihat aspekaspek yang meresap kedalam teks yang ditulis atau dibaca atau dikaji; 5. yang dipentingkan dalam interteks adalah menghargai pengambilan, kehadiran, dan masuknya unsur-unsur lain kedalam sebuah karya (melalui Napiah, 1994: xv).

2.6 CONTOH PENERAPAN TEORI INTERTEKSTUAL DALAM SEBUAH KARYA SASTRA Telah dijelaskan sebelumnya, prinsip pada teori intertekstual yaitu prinsip memahami dan memberikan makna karya yang bersangkutan. Karya itu diprediksikan sebagai reaksi, penyerapan, atau transformasi dari karya yang lain. Novel Laskar Pelangi yang terbit perdana pada tahun 2005 membuka jalan bagi novel-novel lain yang sejenis dengan mengusung nilai-nilai sosial dan pendidikan. Negeri 5 Menara karya Ahmad Fuadi memiliki kemiripan dengan Laskar Pelangi di samping keduanya merupakan novel pendidikan (menceritakan kondisi pendidikan). Kemiripan yang muncul antara lain pada (1) perwatakan cerita seperti keberadaan tokoh Alif, Baso, Atang, Said, dan Raja dalam Negeri 5 Menara terhadap tokoh-tokoh dalam Laskar Pelangi yaitu Ikal, Lintang, Mahar, Samson, Kucai, dan lain-lain ; (2) unsur peristiwa dalam Negeri 5 Menara terhadap unsur peristiwa dalam Laskar Pelangi, unsur peristiwa ini dideskripsikan melalui peristiwa atau kejadian-kejadian luar biasa atau menarik perhatian yang benar-benar terjadi dan sama-sama dialami oleh tokoh cerita. Baik Laskar Pelangi maupun Negeri 5 Menara berada dalam satu tema utama yaitu tentang pendidikan. Negeri 5 Menara menggunakan latar cerita pondok atau pesantren, sedangkan Laskar Pelangi berlatar sekolah

Muhammadiyah. Keduanya sama-sama berbicara tentang semangat belajar, citacita, dan impian masa kecil. Laskar Pelangi dengan 10 anak luar biasa (Lintang, Ikal, Mahar, Syahdan, Harun, A Kiong, Sahara, Trapani, Samson, dan Kucai) di sebuah sekolah Muhammadiyah di daerah terpencil di Belitong, Negeri 5 Menara

dengan 6 anak Sahibul Menaranya (Alif, Said, Atang, Dulmajid, Raja, dan Baso) di Pondok Madani Gontor, sebuah desa pelosok di Jawa Timur.

BAB III PENUTUP

3.1 KESIMPULAN Intertekstual merupakan kajian terhadap sejumlah teks sastra yang diperkirakan mempunyai kesamaan dalam bentuk-bentuk tertentu, misalnya adanya hubungan intrinsik diantara teks-teks tersebut akibat proses penciptaan sebuah karya sastra diilhami dari karya yang sebelumnya. Prinsip utama dalam intertekstual adalah memahami dan memberikan makna karya yang bersangkutan. Karya itu diprediksi sebagai reaksi, penyerapan atau transformati dari karya-karya yang lain. Karya sastra tidak lahir dari kekosongan budaya. Ini berarti budaya tidak hanya berarti teks-teks kesastraan yang telah ada sebelumnya, tetapi juga seluruh konvensi atau tradisi yang mengelilinginya.

3.2 SARAN Sebagai mahasiswa yang mempelajari tentang sastra, maka sebaiknya kita ketahui teori-teori yang ada di dalamnya. Dan mengingat banyaknya karya sastra yang ditemukan kesamaan, maka perlulah kita pelajari mengenai teori intertekstual.

Anda mungkin juga menyukai