Anda di halaman 1dari 7

BAB 5 APLIKASI STUDI ARSITEKTUR, LINGKUNGAN DAN PERILAKU 51.

PENGANTAR Sebagaimana pernah dikatakan oleh Bertrand Russel, pengarang dan filosof ternama abad ini, ilmu pengetahuan mempunyai sekaligus dua fungsi dasar, yaitu (1) memungkinkan kita mengetahui berbagai hal dan (2) memungkinkan kita menciptakan berbagai hal. Apa yang ia katakan sebenarnya adalah bahwa setiap pengembangan ilmu pengetahuan atau science harus mempunyai kegunaan praktis dan tidak hanya karena obsesi para ilmuwan belaka. Dalam kaitannya dengan pengembangan bidang kajian arsiktektur lingkungan dan perilaku ini, kalau kita simak perkembangannya di dunia Barat, sejak awal telah menunjukan unsur-unsur aplikasi atau penerapan yang bermanfaat. Dikatakan oleh Stokols (1977) bahwa perkembangan bidang kajian arsitektur lingkungan dan perilaku ini diawali oleh obsesi para ahli psikologi lingkungan yang dihadapkan pada persoalan-persoalan psikologi manusia (misalnya stress) yang disebabkan karena aspek-aspek lingkungan, baik lingkungan mikro (kamar), meso (rumah dan lingkungannya), maupun makro (kota). Lebih lanjut, dengan keterlibatan para arsitek dalam kajian bidang ini, aspek aplikasi atau kegunaan praktisnya semakin berkembang, terutama sebagai masukan bagi proses-proses perancangan bangunan dan lingkungan. Sebagai mana telah dijelaskan pada bagian pendahuluan buku ini, keinginan untuk mengembangkan bidang kajian arsitektur lingkungan dan perilaku ini diharapkan dapat mendukung usaha-usaha yang nyata untuk meningkatkan kualitas lingkungan terbangun kita, termasuk menjaga dari proses-proses perusakan lingkungan yang tidak terkendali. Bagian ini akan menunjukan beberapa kegunaan praktis atau aplikasi dari kajian bidang arsitektur lingkungan dan perilaku agar pembaca dapat mempunyai gambaran yang lebih lengkap mengenai prospek bidang kajian arsitektur lingkungan dan perilaku ini untuk berbagai kepentingan yang luas. Aplikasi kajian arsitektur lingkungan dan perilaku dapat diklasifikasikan menjadi lima area yakni (1) Perancangan Arsitektur; (2) Evaluasi Purna Huni (EPH); (3) Perancangan dan perencanaan Kota, dan (4) Analisis Mengnai Dampak Lingkungan. Sebelumnya, akan diuraikan secara umum kerangka dasar hubungan antara riset dan perancangan di bidang lingkungan/environmental-design resarch. 52.KERANGKA DASAR RISET DAN PERANCANGAN LINGKUNGAN (ENVIRONENTAL-DESIGN RESEARCH) Sebagaimana telah diuraikan dalam Bab 2 dan 3, kajian arsitektur lingkungan dan perilaku sangat berperan bagi pengembangan perancangan, khususnya untuk memecahkan banyak persoalan lingkungan masa kini. Perkembanganh bidang kajian arsitektur liingkungan dan perilaku juga disepakati oleh bnyak asli merupakan sesuatu yang integral antara teori, riset, dan aplikasi. Saat ini bahkan berkembang disiplin yang dikenalkan dengan Riset dan Perancangan lingkungan (RPL), yakni satu paket kegiatan yang meliputi studi dan perancangan yang sekaligus diarahkan untuk mengembangkan reori serta memecahkan masalah-masalah perancangan dan perencanaan. Bidang ini telah banyak menarik perhatian baik para akademis maupun praktisi, dan berkembang menjadi semacam kelompok minat yang terkenal dengan nama Environmental Design Researcb Association (EDRA). Prinsip dasar RPL adalah bahwa kita harus melakukan proses perancangan dan perencanaan secara berbeda, terutama meningglkan pendekatan otoritas, yakni memberikan sepenuhnya keputusan perancangan pada para profesional (designer and planner).

RPL menekankan bahwa perancangan adalah suatu akses belajar/ learning process baik bagi klien maupun bagi perencana dan perancang. Karena perancangan merupakan proses belajar, kita harus selalu mengevaluasi kegagalan dan keberhasilan perancangan, baik dari perspektif klien maupun perancang, untuk memperbaikinya dimasa mendatang. Perlu digarisbawahi bahwa perancangan sebagai proses belajar ini juga penting bagi klien, untuk terus meningkatkan apa yang pada Bab 2 disebut sebagai unvironmental learning. Dengan terlibat secara penuh dalam proses perancangan, klien akan mendapatkan banyak pengetahuan baru mengenai kompleksitas lingkungan terbangun, yang berarti pula kognisi lingkungannya berkembang. Secara timbal balik, klien yang mempunyai kognisi lingkungan baik, serta kritis, akan memberikan masukan yang bermanfaat bagi perancang. Berbeda dengan model-model riset konvensional, RPL menekankan perlunyaseting yang spesifik, apabila kita ingin benar-benar mempelajari kesuksesan dan kegagalan suatu perancangan. Dengan kata lain, pendekatan RPL adalah melalui studi kasus yang spesifik. Sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 51, dijelaskan kerangka dasar RPL, meliputi tahap, tujuan dan kriteria dalam menganalisis kasus-kasus dalam RPL. Masing-masing tahap, dapat dijelaskan sebagai berikut. Tabel 5-1 Kerangka Dasar, Proses Riset dan Perancangan Lingkungan /RPL Menurut Cherulnik 1 . TAHAPAN Analisis belakang acting TUJUAN latar Identifikasi pemakaian, dari kegiatanKegiatan penting, dan konteks Sosio- sejarah yang berkaitan untuk seting Tujuan-tujuan dan Spesifikasi perilaku-perilaku perilaku untuk yang menunjang atau perancanaan memfasilitasi seting perancangan Hubungan Pemambahan dan penelitian lingkungan dan dan/atau teori lingkungan perilaku yang dan perilaku yang relevan menyarankan unsur lingkungan untuk tujuantujuan perilaku yang lebih spesifik di masa datang Rancangan Membentuk lingkungan dan spesifik/ perilaku berdasarkan unsurkomponen unsur perencanaan perancangan/perencanaan yang cocok untuk persyaratan spesifik dari seting Perancangan/ Menyatukan lingkungan dan perencanaan perilakuyang didasarkan pada unsur-unsur kedalam keseluruhan perancangan/perencana Evaluasi Evaluasi secara KRITERIA Kejelasan, kepentingan, dan dampak dari informasi latar belakang Kejelasan tujuan dan kepentingan perilaku untuk perencanaan dan perancangan Jumlah, tipe, dan kualitas dari lingkungan dan perilaku berdasarkan dan unsur-unsur perancangan/perancanga n

2 . 3 .

4 .

5 .

Identifikasi dan kecocokan dari lingkungan dan perilaku yang didasarkan unsurunsur dalam perancangan/perencanaa n Pengembangan dan pesan spesifik dari lingkungan dan perilaku yang di dasarkan unsurunsur dalam keseluruhan perancaangan/perencana sistematis Jumlah dan kualitas dari

purnahuni

7 .

tujuan-tujuan perilaku dari data yang dikumpulkan, perancangan/perencanaan dan tingkatkan dari selang dicapai keberhasilan yang di indikas Dampak pada Pemakaian pengetahuan Pengembangan dan jenis perancangan/ yang didapat dari proses dari dampak proyek pada Perencanaan serta perancangan/perencana arahan pengetahuan sebagai upaya peningkatan perancangan/perencana lingkungan dan perancangan/perencana di dan/atau proyek-proyek perilaku masa dating untuk seting lain serta pada sistem pengetahuan lingkungan dan perilaku

5.2.1. Tahap 1: Pemahaman tentang Seting Aplikasi riset di bidang arsitektur lingkungan dan perilaku cenderung menggunakan generalisasin hasil-hasil studi yang bahkan konteks lingkungan dan sosialnya sama sekali berada dengan perancangan yang akan diproses. Dalam RPL, hal ini diatasi dengan memahamii secara komprehensif latar belakang seting yang akan dikaji. Ini akan menyangkut informasi histori akan seting yang dikaji, kemungkinan pengguna seting tersebut, serta kegiatan-kegiatan yang penting yang akan terjadi. Pemahaman tentang seting ini menjadi dasar bagi proses RPL selanjutnya. Artinya, apabila tahap ini tidak secara baik dilakukan, boleh jadi bahwa keseluruhan proses RPL tidak akan optimal. 5.2.2 Tahap 2: Menetapkan Tujuan-tujuan Perilaku dalam RPL Pada tahap ini perancang atau perencana harus menetapkan tujuan-tujuan utama perancangan, terutama yang berkaitan dengan perilaku. Dengan kata lain, dari isu-isu yang berkaitan dengan perilaku pengguna seting yang dikaji, perlu dirumuskan atau dikaji mana isu pokok yang harus ditetapkan sebagai tujuan perancangan. Dalam tahaap ini, perancang harus mempunyai perbendaharaan pengetahuan yang cukup mengenai isu-isu perilaku yang berkaitan dengan perancangan, comfont dan way fanding. Perbendaharaan pengetahuan mengenai isu-isu lingkungan ini, kemudian dikaitkan dengan pemahaman akan seting yang dilakukan pada tahap sebelumnya. Hasilnya adalah satu set persoalan yang harus dipecahkan dalam RPL atau dapat dikatakan juga tujuan RPL, terutama dari aspek perilaku. 5.2.3 Tahap 3: Memahami Kaitan antara Perilaku dan Lingkungan tahap ketiga RPL adalah mengkaji hubungan antara lingkungan dan perilaku secara lebih spesifik, terutama mengaitkan antara isu-isu persoalan perilaku yang telah ditemukan dalam tahap kedua dengan konteks seting yang dikaji. Dengan kata lain, pada tahap ini dianalisis faktor-faktor yang berpengaruh terhadaap isuisu atau persoalan yang dipilih untuk dipecahkan. Dalam tahap ini dikaji pula

unsur-unsur fisik lingkungan yang dominan mempengaaruhi munculnya perilaku tertentu. Dalam konteks persoalan crowding, sebagian misal, dalam tahap ini dikaji unsur-unsur fisik yang menyebabkan crowding tersebut. 5.2.4 Tahap 4: Penentuan Unsur-unsur Perancangan Pada tahap ini, berbagai alternatif perancangan dianalisis serta ditentukan beberapa yang dianggap dapat menyelesaikan persoalan-persoalan yang telah didentifikasikan sebelumnya. Dengan kata lain, alternative solusi terhadap persoalan perilaku yang muncul, terutama dikaji dari aspek fisik alternatifalternatif ini harus dikaji kecocokannya dengan isu atau tujuan RPL yang telah ditentukan sebelumnya. 5.2.5 Tahap 5: Mengintegrasikan Keseluruhan Komponen Perancangan Tahap ini merupakan pengembangan dari perancangan alternatif yang telah di kaji sebelumnya, di mana seluruh tujuan perancangan diharapkan telah terakomodasi dalam berbagai alternatif perancangan yang di sodorkan, terutama antara unsur-unsur perancangan yang secara spesifik berkaitan dengan isu-isu perilaku yang pilih, dengan unsur-unsur perancangan yang secara tidak langsung berkaitan dengan isu-isu perilaku. 5.26 tahap 6 Mengevakuasi Pencapaian Tujuan tujuan Behavioral Setelah perancangan diimplementasikan dan dipakai, proses RPL selanjutnya adalah mengevaluasi perancangan terutama dari perspektif perilaku. Proses ini di kenal dengan istilah post-occupancy evaluation (POE) yakni suatu evaluasi yang sistematis terhadap keberhasilan dan kegagalan perancangan. 5.2.7 Tahap 7 Rekomendasi Bagi Pengembangan Teori dan Proses Perancangan Lanjut Tahap terakhir RPL adalah perumusan rekomendasi bagi pengembangan teori dan perancangan untuk kasus yang sejenis. Berdasar hasil EPH yang dilakukan pada tahap sebelumnya, beberapa kesimpulan atas keberhasilan dan kegagalan perancangan yang dilakukan harus di rumuskan secara jelas dan tajam, agar dapat dipakai sebagai masukan bagi proses perancangan selanjutnya. Keseluruhan proses RPL di atas menegaskan bahwa proses perancangan merupakan sesuatu yang berkesinambungan dan berputar, dimana setiap perancang sebenarnya mempunyai kewajiban untuk secara terus menerus mengkaji hasil-hasil perancangannya, kemudian memperbaikinya dimasa mendatang. Saat ini, cenderung dipahami bahwa proses perancangan telah selesai ketika gambar-gambar rancangan diimplimintasikan atau direalisasikan. Perancangan tidak pernah melakukan proses evaluasi terhadap karya atau hasil perancangannya. Proses RPL, sebagaimana dijelaskan di atas, membeikan pedoman sederhana bahwa setiap arsitek atau perencana kota dapat melakukan proses perancangan yang lengkap. 5.3 APLIKASI RPL DALAM PERNACANGAN ARSITEKTUR

Telah disinggung di depan bahwa para arsitek dan planner telah memberikan andil yang cukup besar bagi perkembangan kajian arsitektur lingkungan dan perilaku, terutama dalam kaitannya dengan proses-proses penciptaan lingkungan binaan. Secara umum, dalam bidang perancangan arsitektur, kajian arsitektur lingkungan dan perilaku mempunyai tujuan utama untuk mengoptimasikan proses interaksi antara satu atau sekelompok orang dengan sistem setingnya. Dengan kata lain, melalui teori-teori yang dikembangkan oleh para peneliti di bidang arsitektur dapa lebih mempertimbangkan dimensi dimensi psikologis dan kultural manusia-manusia penngguna ruang tersebut. Aplikasi kajian arsitektur lingkungan dan perilaku dalam pernacangan arsitektur ini, sebagaimana dikatakan altman (1975), dapat dilakukan pada setiap tahap proses perancangan, yakni mulai dari programming, perancangan, konstruksi, pengguna dan evaluasi. Altman mencoba mengkerangkakan tiga aspek dalam kajian arsitektur lingkungan dan perilaku dan menunjukan posisi proses perancangan dalam kerangka tersebut. Ketiga aspek dalam kerangka kajian arsitektur lingkungan dan perilaku tersebut adalah: (1) dimensi spasial atau unit spasial yang dikaji (the spatial units of study), (2) prosesproses perilaku yang terjadi (the behavioral pocesses), serta (3) perancangan proses (the planning process). Kerangka diatas menegaskan bahwa aspek-aspek perilaku yang perlu mendapat perhatian dalam proses perancangan arsitektur, yakni: privacy, personal space, territory, home range, dan banyak lagi. Sebagaimana ditunjukan dalam beberapa buku yang ditulis oleh Rapoport khususnya dalam human Aspects of Urban form: Towards a Environment Approach to Urban Form and Design (rapport, 1989) para arsitek dapat melakukan proses perancangan yang lebih optimal dengan mempelajari dan mengaplikasikan teory-teory yang di kembangkan dalam kajian arsitektur lingkungan dan perilaku. Dikatakan oleh rapoport bahwa perancangan arsitektur pada dasarnya menyangkut pengorganisasian ruang (space), waktu (waktu), arti (meaning), serta komunikasi (communication) . Masing-masing dapat dijelaskan sebagai berikut. Pengorganisasian ruang dalam pernacangan diartikan sebagai susunan ruang untuk berbagai kebutuhan dikaitkan dengan aturan-aturan yang merfleksikan kebutuhan, nilai, dan keinginan suatu kelompok masyarakat. Dalam konteks arsitektur lingkungan dan perilaku, susunan ruang ini di tunjukan untuk mendapatkan kualitas lingkungan yang baik, dimana proses interaksi antara ruang dan masyarakat penggunanya dapat dilakukan secara optimal. Organisasi ruang ini, akan tetapi, tidak sekadar susunan spasial saja, karena aspek perancangan yang berikutnya juga perlu di wadahi, yakni organisasi dari arti/makna/meaning. Dalam perancangan, makana ini biasanya diwujudkan dalam bentuk warna, detail, tanda-tanda, dekorasi, dan bentuk,yang oleh Rapoport di sebut sebagai aspek eikonic dari lingkungan terbangun.unsur-unsur pembentuk maknaini mungkin menjadi satu dengan organisasi ruang, tetapi bisa saja terpisah. Lingkungan terbangun juga harus dipahami dalam dimensi temporalnya. Artinya, bahwa pada satu ruang yang sama secara temporal dapat digunakan untuk berbagai keperluan. Atau, karena manusia pengguna suau ruang mempunyai ritme kegiatan yang berbeda, bahwa mereka mempunyai persepsi yang berbeda terhadap ruang tersebut. Dalam perancangan, aspek pengorganisasian tempo atau waktu akan ruan ini sangat penting karena akan menyangkut aspek optimalisasi penggunaan ruang serta berkaitan dengan crowding. Aspek perancangan lainnya berkaitan dengan lingkungan terbangun sebagai mesia komunikasi atau organization of communication. Ini berarti bahwa ruang mempunya makna-makna tertentu yang dimaksudkan sebagai media komunikasi antar penghuni ruang tersebut, ataupun antar penghuni dengan orang lain. Berbagai dimensi ruang ini harus di wadahi oleh perancang secara seimbang agar

wujud ruang yang di hasilkan mampu memenuhi persepsi dan preferensi penghuninya. Di Indonesia, aplikasi kajian arsitektur lingkungan dan perilaku dalam perancangan arsitektur belum berkembang, tapi perlu terus dirintis untuk pemperbaiki prosesproses perancangan, baik dalam sekala ruang yang sederhana (misalnya rumah tinggal) maupun yang kompleks (misalnyasuatu bangunan superblok). Di jurusan Teknik Arsitektur Universitas Gajah Mada, tempat penulis mengajar, beberapa usaha untuk mengaplikasikan kajian arsitekktur lingkungan dan perilaku dalam proses perancangan telah dimulai, meskipun masih terbatas sebagai proses perancaangan yang eksperimental untuk tugaas-tugaas perancaangan ataupun tugas akhir. Beberapa mahasiswa dibawah pembimbingan penulis, sebagai misal,dalam tugas akhirnya mengangkat aspek perilaku sebagai isu utama perancangan. Para mahasiswa ini, dalam menyusun landasan konseptual perancangannya, tidak saja mengambil beberapa konsep arsitektur lingkungan dan perilaku yang telah dikembangkan di negara-negara Barat dari buku-buku yang ada, tapi juga mengadakan suatu kajian langsung tersendiri untuk melihat konteks suaatu teori dengan kenyataan di ndonesia. Beberapa mahasiswa di Jurusan Teknik arsitektur Gajah Mada, misalnya, melakukan secara langsung observasi perilaku pada beberapa seting (seperti: rumah sakit playgroup (kelompok bermain), mall, rumah untuk paa penyandang cacat, dan lain-lain), mencoba merumuskan haasil observasi mereka dalam pedoman perancangan, kemudian mengembangkan dan mengaplikasikan pedoman perancaangan tersebut dalam perancangan sesungguhnya di studio. Proses yang sederhana tapi penting ini sesungguhnya dapat dilakukan pula oleh para arsitek profesional di Indonesia. Dengan meluangkan sedikit waktu, pikiran, serta biaya, mereka dapat melakukan proses perancangan yang lebih optimal dan bermanfaat dengan melakukan suatu penelitian sederhana terhadap obyek yang akan dirancang, sebelum proses perancangan yang sesungguhnya dilakukan. Dalam bentuk yang paling sederhana dan singkat, paea arsitek profesional sebenarnya dapat melaakukan suatu kajian banding sebelum melakukan perancangan. Dengan berbagai hasilrancangan yang telah cukup beragam di indonesia, setiap proses perancangan sebenarnya dapat dimulai dengan melakukan suatu studi komparatif terhadap hasil sejenis yang pernah dilakukan arsitek lain. Observasi ini dapat dilakukan secara singkat, terutama kalau isu-isu utama suatu kasus perancangan sudah dipaahami. Dengan memahami isu-isu utama suatu kasus rancangan, arsitek profesional dapat secara cepat melakukan studi banding, menangkaap serta mengkaji bagaimana arsitek lain telah melakukan solusi terhadap isu-isu tersebut. Dengan observasi sederhana ini, berbagai kesalahan perancangaan yang secara berulang kita jumpai dapat dihindari. Dengan kata lain, apa yang perlu dilakukan oleh para arsitek profesional adalah meningkatkan ragam vocabulary arsitek serta common sense-nya terhadap persoalan-persoalan arsitektur yang sederhana tetapi penting. Sebagaimana juga akan dijelaskan dalam kasus Evaluasi purna Huni di bawah ini, proses dan produk perancangn di indonesia dapat di perbaiki apabila para arsitek profesional sadar bahwa proses perancangan sebenarnya bukanlah suatu yang deterministikdalam arti bahwa segalanya boleh ditentukan oleh perancang. Aspirasi dan kehendak seseorang atau sekelompok orang yang akan memanfaatkan hasil rancangan arsitek harus lebih diperhatikan dan dituangkan dalam rancangan. Sebagaimana dikatakan oleh Rapoport lingkungan binaan sebenarnya dapat dilihat sebagai bentuk dari komunikasi yang tidak verbal (environment as a form of non-verbal communication) apabila perancangan lingkungan yang dilakukan oleh para arsitek tidak mampu menyerap banyak aspirasi dari penggunaannya, hasil perencangan tersebut tidak akan dapat diapresiasi, dipahami, digunakan secara optimal oleh para pemakainya. Dengan

kata lain, lingkungan tersebut tidak mempunyi arti, simbol, dan tidak dapat berkomunikasi. Opini : Menurut saya perilaku setiap orang itu berbeda, perilaku ini diawali pleh opsesi para ahli psikologi lingkungan yang dihadapkan pada persoalan-persoalan psikologi manusia bisa terjadi, seperti stress, yang disebabkan lingkungan mikro, (kamar), meso (rumah dan lingkungan), dan para arsitektur juga terkadang terkait dengan perkembangan lingkungan dan perilaku. Aplikasi kajian arsitektur li8ngkungan dan perilaku tepat dikalsifikasikan empat area seperti (1) perancangan arsitektur (2) Evaluasi Purna Huni (EPH) (3) perancang dan perencanaan kota (4) analisis mengenai dampak-dampak lingkungan. Perkembangan bidang kajian arsitektur lingkungan dan perilaku juga disepakati oleh banyak ahli merupakan sesuatu integral antara teori, riset, dan aplikasi. RPL menekankan bahwa perancangan adalah suatu akses belajar. Modelmodel riset konvensional, RPL menekankan perlunya seting spesifik, apabila kita ingin benar-benar mempelajari t5entang kesuksesan dan kegagalan suatu perancangan. Saya mendapat pemahaman tentang aaplikasi riset dibidang arsitektur lingkungan dan perilaku. Hal ini diatasi dengan memahami secara konprensif latar belakang seting yang akan dikaji. Dan dalam penentuan unsur-unsur perancangan berbagai alternatif perancangan dianalisis serta ditentukan beberapa yang dianggap dapat menyelesaikan persoalan-persoalan yang telah didentifikasikan sebelunnya. Perancangan arsitektur sudah disinggung didepan para arsitek dan planer , terutama dalam kaitannya dengan proses penciptaan lingkungan, di Indonesia kajian arsitektur lingkungan dan perilaku dalam perancangan belum berkembang, tetapi terus dirintis untuk memperbaiki proses-proses perancangan.

Anda mungkin juga menyukai