Anda di halaman 1dari 14

Kewenangan Pengadilan Niaga dalam Perkara Pailit dengan Pekerja sebagai Pemohon Pernyataan Pailit Perusahaan

Oleh:

Tri Drajat Utami Nuryanti 08/ 267340/ HK/17810


Hukum Acara Niaga Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada\ 2012

BAB I PENDAHULUAN I. Latar Belakang Seringkali Permohonan Pernyataan Pailit diajukan oleh karyawan dari suatu perusahaan tempat ia bekerja sebagai sarana untuk mendapatkan hak atas upah yang tidak dibayarkan selama kurun waktu tertentu. Di Indonesia sendiri kasus-kasus dengan kondisi seperti itu telah terjadi beberapa kali, beberapa diantaranya yang paling menarik adalah Permohonan Pernyataan Pailit PT. Dirgantara Indonesia dan pada tahun 2011 ada PT. Great River Internasional. Namun, dalam lapangan hukum tentu saja kita mengetahui bahwa karyawan atau pekerja sebenarnya merupakan lapangan hukum perburuhan, ketenagakerjaan, dan memiliki hukum acara dalam penegakkan hukum materilnya yaitu Pengadilan Hubungan Industrial sehingga menimbulkan pertanyaan tersendiri, apakah karyawan dapat menjadi subjek pemohon dalam Pengadilan Niaga? Dan apakah dengan masuknya karyawan sebagai pemohon itu berarti telah melanggar kewenangan absolut Pengadilan Hubungan Industri? Atas dasar itulah, penulis ingin lebih mengetahui kewenangan dan kepentingan atau tujuan dalam Pengadilan Niaga bila dikaitkan dengan tuntutan karyawan atau pekerja terhadap pemenuhan pembayaran upah. II. Rumusan Masalah: 1. Apakah karyawan dapat menjadi pemohon dalam perkara pailit dikarenakan kewajiban perusahaan yang tidak membayar gaji karyawan tersebut? 2. Bagaimanakah kewenangan mengadili Pengadilan Niaga bila dikaitkan dengan Pengadilan Hubungan Industrial dalam hal tuntutan gaji karyawan yang tidak dibayar oleh perusahaan?

BAB II ISI

A. Kepailitan 1. Pengertian Kepailitan, menurut pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UU Kepailitan), kepailitan adalah: ...sita umum atas semua kekayaan Debitor Pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini Sementara kata Pailit sendiri memiliki pengertian kondisi debitur berhenti membayar atau melaksanakan kewajibannya tanpa disyaratkan apakah hal tersebut karena debitur tidak mampu atau tidak mau melakukan pembayaran atau pelaksanaan kewajiban tersebut. Kepailitan meliputi seluruh harta kekayaan debitur yang ada pada saat pernyataan pailit itu dijatuhkan dan yang diperoleh selama kepailitan berlangsung. Hal ini berarti debitur telah kehilangan wewenangnya atau tidak lagi cakap dalam lapangan harta kekayaan. Kepailitan terjadi dengan syarat 1: 1. ada dua atau lebih kreditor. Kreditor adalah orang yang mempunyai piutang karena perjanjian atau Undang-Undang yang dapat ditagih di muka pengadilan "Kreditor" di sini mencakup baik kreditor konkuren, kreditor separatis maupun kreditor preferen; 2. ada utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih. Artinya adalah kewajiban untuk membayar utang yang telah jatuh waktu, baik karena telah diperjanjikan, karena percepatan waktu penagihannya sebagaimana diperjanjikan, karena pengenaan sanksi atau denda oleh instansi yang berwenang, maupun karena putusan pengadilan, arbiter, atau majelis arbitrase; dan

Pasal 2 ayat (1) jo. Pasal 8 ayat (4) UU Kepailitan

3. kedua hal tersebut (adanya dua atau lebih kreditor dan adanya utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih) dapat dibuktikan secara sederhana. Dengan terpenuhinya ketiga syarat di atas, maka Permohonan Pailit dari Pemohon harus dapat dikabulkan oleh Pengadilan Niaga, tetapi apabila salah satu syarat saja tidak terpenuhi, maka Permohonan Pailit akan ditolak.
2. Permohonan Pailit

Dalam Pasal 2 UU Kepailitan ditentukan bahwa pihak-pihak yang dapat menjadi subjek pemohon dalam permohonan pernyataan pailit adalah: 1. Debitur Undang-Undang memungkinkan debitur untuk mengajukan permohonan pailit bagi dirinya sendiri. Jika debitor masih terikat pernikahan yang sah dengan persatuan harta ke dalamnya, maka permohonan pernyataan pailit harus dengan seizin istri/suaminya.2 2. Lebih dari Satu (1) Kreditur Kreditur sebagaimana telah dijelaskan di atas dengan syarat adanya dua (2) Kreditur atau lebih (concursus creditorium). Jika debitor hanya memiliki satu kreditor, maka eksistensi UU Kepailitan kehilangan raison detre-nya. Bila debitor hanya memiliki satu kreditor, maka seluruh harta kekayaan debitor otomatis menjadi jaminan atas pelunasan utang debitor tersebut dan tidak diperlukan pembagian secara pari passu pro rata parte, dan terhadap debitor tidak dapat dituntut pailit karena hanya mempunyai satu kreditor.3 3. Kejaksaan Permohonan pernyataan pailit yang dilakukan oleh pihak kejaksaan berkaitan dengan adanya suatu kepentingan umum. Pengertian kepentingan umum adalah kepentingan bangsa dan negara dan/atau masyarakat luas, misalnya4: (1) debitur melarikan diri; (2) debitur
2 3

Pasal 4 ayat (1) dan (2) UU Kepailitan Jono, Hukum Kepailitan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hal 8. 4 Penjelasan Pasal 2 ayat (2) UU Kepailitan dan Pasal 1 PP No.17 Tahun 2000 tentang Pernyataan Permohonan Pailit untuk Kepentingan Umum

menggelapkan harta kekayaan; (3) debitur berutang kepada Badan Usaha Milik Negara atau badan usaha lain yang menghimpun dana dari masyarakat; (4) debitur memiliki utang yang berasal dari penghimpunan dana masyarakat luas; (5) tidak memiliki itikad baik atau tidak kooperatif dalam menyelesaikan utang yang jatuh tempo; (6) dalam hal lainnya yang perlu dilakukan kejaksaan demi kepentingan umum karena tidak ada yang memohonkannya 4. Bank Indonesia Bank Indonesia dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit dalam hal debitornya adalah lembaga perbankan. 5. Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) Bapepam dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit dalam hal debitornya adalah perusahaan efek, bursa efek, lembaga kliring dan penjaminan, lembaga penyimpanan dan penyelesaian 6. Menteri Keuangan Menteri Keuangan berwenang untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit dalam hal debitornya adalah perusahaan asuransi, perusahaan reasuransi, dana usaha, BUMN yang bergerak dalam bidang kepentingan publik 5. Kemudian, UU Kepailitan memiliki pengecualian terhadap ketentuan dalam HIR dimana UU Kepailitan juga menentukan bahwa dalam perkara pailit Pemohon harus didampingi oleh penasehat hukum.6 B. Dapatkah Karyawan (Pekerja) Menjadi Subjek Pemohon dalam Perkara Kepailitan? Umumnya, karyawan atau pekerja mengajukan permohonan pailit kepada perusahaan tempatnya bekerja disebabkan oleh upah atau gaji karyawan yang tidak dibayarkan selama jangka waktu tertentu oleh pihak perusahaan sehingga menyebabkan perusahaan tersebut menjadi debitur karyawannya. Akan tetapi,
5

Yang dimaksud BUMN adalah sesuai dengan ketentuan pada Penjelasan Pasal 2 ayat (5) UU Kepailitan bahwa Badan Usaha Milik Negara yang bergerak di bidang kepentingan publik adalah badan usaha milik negara yang seluruh modalnya dimiliki oleh negara dan tidak terbagi atas saham. 6 Lihat Pasal 7 ayat (1) UU Kepailitan.

apakah upah pekerja dapat dikategorikan sebagai suatu utang sesuai dengan ketentuan UU Kepailitan? Sebelum menelusuri lebih jauh mengenai upah yang tidak dibayarkan sebagai utang dalam UU Kepailitan, perlu diketahui bahwa sebenarnya UndangUndang Ketenagakerjaan telah mengakomodir kepentingan karyawan yang terkena dampak kepailitan. Dalam Pasal 95 ayat (4) Undang Undang No. 31 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan mennjelaskan bahwa dalam hal perusahaan dinyatakan pailit atau dilikuidasi berdasarkan peraturan perundangundangan yang berlaku, maka upah dan hak-hak lainnya dari pekerja/buruh merupakan utang yang didahulukan pembayarannya. Namun, pada kenyataanya hal tersebut tidak mudah untuk dilaksanakan karena seringkali hak karyawan atas upah tersebut berbenturan dengan hak-hak kreditur lainnya. Pada Pasal 138 UU Kepailitan disebutkan bahwa jika ada kreditor pemegang gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hak agunan maupun hipotik, maka merekalah yang mendapat prioritas inilah yang membuat kepentingan karyawan sebagai kreditur bersinggungan dengan kepentingan kreditur lainnya. Kemudian kembali lagi pada pengertian utang dalam UU Kepailitan, terlebih dahulu harus dicari pengertian utang dalam UU Kepailitan. Yang dimaksud dengan Utang dalam UU Kepailitan adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang baik dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing, baik secara langsung maupun yang akan timbul di kemudian hari atau kontinjen, yang timbul karena perjanjian atau undang-undang dan yang wajib dipenuhi oleh Debitor dan bila tidak dipenuhi memberi hak kepada Kreditor untuk mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan Debitor7. Pengertian utang yang dijelaskan dalam UU Kepailitan tersebut telah sejalan dengan Pasal 1131 dan Pasal 1132 KUHPer mengenai hak dan kewajiban dalam hukum perikatan antara kreditur dan debitur dimana utang adalah kewajiban yang timbul karena perjanjian atau undang-undang. Hal ini berarti, hubungan karyawan dengan perusahaan yang merupakan suatu hubungan yang timbul karena perikatan dengan perjanjian kerja atau
7

Pasal 1 ayat (6) UU Kepailitan.

dikarenakan UU Ketenagakerjaan dapat menjadi dasar bagi karyawan suatu perusahaan sebagai salah satu subjek pemohon pernyataan pailit bagi perusahaanya dikarenakan perusahaan yang tidak membayar upah karyawan atau dengan kata lain tidak melaksanakan kewajibannya, maka sesuai dengan hukum perikatan, perusahaan telah menjadi debitur bagi karyawannya. C. Wewenang Pengadilan Niaga dalam Perkara Pailit dengan Karyawan sebagai Pemohon Pernyataan Pailit atas Perusahaan yang Disebabkan Upah yang Tidak Dibayar. Pada dasarnya, perselisihan-perselisihan yang terjadi antara pekerja dan pengusaha diselesaikan di Pengadilan Hubungan Industrial. Menilik dari kasus pailitnya PT. Great River International Tbk. dimana pada permohonan pertama Pengadilan Niaga menolak permohonan tersebut dikarenakan syarat permohonan bahwa perkara yang akan diperiksa di pengadilan haruslan sumir atau sederhana tidak terpenuhi. Pengadilan Niaga menerangkan bahwa karena status pemohon pada saat itu masih merupakan pekerja yang masih aktif (belum di PHK) maka seharusnya Pemohon menyelesaikan permasalahan tersebut ke Pengadilan Penyelesaian Hubungan Industrial terlebih dahulu. Sementara pada permohonan kedua kalinya, Pengadilan Niaga bersedia untuk menerima perkara permohonan pernyataan pailit dan akhirnya memberikan putusan pailit kepada PT. Great River Internasional. Namun, hal ini hanya merupakan salah satu contoh saja, sebelumnya juga terdapat beberapa perusahaan yang dimohonkan pailit oleh karyawannya, tetapi dalam tingkat kasasi permohonan tersebut ditolak, misalnya dalam kasus PT. Dirgantara Indonesia dan Kompetensi Absolut dan Relatif Pengadilan Niaga Kewenangan absolut Pengadilan Niaga dalam memeriksa dan memutus perkara terdapat dalam Pasal 300 ayat (1) UU Kepailitan yang berbunyi: Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini, selain memeriksa dan memutus permohonan pernyataan pailit dan Penundaan

Kewajiban Pembayaran Utang, berwenang pula memeriksa dan memutus perkara lain di bidang perniagaan yang penetapannya dilakukan dengan undang-undang. Dapat terlihat bahwa kompetensi absolut Pengadilan Niaga memang merupakan persoalan di bidang kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang serta perkara lain di bidang perniagaan, misalnya seperti sengketa mengenai Hak atas Kekayaan Intelektual (HAKI). Lebih lanjut mengenai kompetensi absolut Pengadilan Niaga, dalam Pasal 303 UU Kepailitan, Pengadilan Niaga juga berwenang memeriksa dan menyelesaikan permohonan pailit dari para pihak yang terikat perjanjian yang memuat klausula arbitrase, sepanjang utang yang menjadi dasar permohonan pernyataan pailit telah memenuhi ketentuan syarat permohonan yang terdapat dalam Pasal 2 ayat (1) UU Kepailitan. Sehingga, para pihak yang terikat perjanjian tersebut, apabila terjadi sengketa, dan kreditornya ingin mengajukan permohonan pernyataan pailit, ia dapat mengajukannya ke Pengadilan Niaga sepanjang memenuhi syarat permohonan tersebut. Kompetensi Absolut Pengadilan Hubungan Industrial Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 17 Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 tentang Pengadilan Hubungan Industrial (UU PHI), Pengadilan Hubungan Industrial adalah pengadilan khusus yang dibentuk di lingkungan pengadilan negeri yang berwenang memeriksa, mengadili dan memberi putusan terhadap perselisihan hubungan industrial. Batasan pengertian perselisihan hubungan industrial berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 1 No. 2 Tahun 2004, adalah Perselisihan Hubungan Industrial adalah perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh karena adanya perselisihan mengenai hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan.

Pasal 56 UU PHI menyebutkan bahwa Pengadilan Hubungan Industrial bertugas dan berwenang untunk memeriksa dan memutus di: 1. Tingkat pertama mengenai perselisihan hak; 2. Tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan kepentingan; 3. Tingkat pertama mengenai perselisihan pemutusan hubungan kerja; 4. Tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan antar serikat pekerja/buruh dalam satu perusahaan. Dalam hal pembayaran upah yang tidak dilaksanakan oleh perusahaan, maka hal tersebut termasuk ke dalam kategori perselisihan hak. Kasus perselisihan hak (rechtsgeschil, conflict of right) yang berpaut dengan tidak adanya persesuaian yang demikian itu, menitikberatkan aspek hukum (rechtsmatigheid) dari permasalahan, utamanya menyangkut pencenderaan janji (wanprestasi) terhadap perjanjian kerja, suatu pelanggaran peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan.8 Sehingga, dalam hal pembayaran upah yang tidak dilaksanakan oleh perusahaan, dapat dilihat bahwa permasalahan tersebut termasuk ke dalam kategori perselisihan hak. Dapat dilihat bahwa baik Pengadilan Niaga maupun Pengadilan Hubungan Industrial, keduanya memiliki jalan bagi karyawan untuk menuntuk haknya atas pembayaran upah terhadap perusahaan. Namun, manakah yang sebenarnya lebih baik dan sesuai dengan maksud dari pembentukan lembaga-lembaga itu sendiri? Dalam kasus karyawan versus PT. Great River Internasional, Pengadilan Niaga mensyaratkan adanya putusan dari Pengadilan Hubungan Industrial terlebih dahulu untuk membuktikan adanya upah yang tidak dibayar sehingga permohonan ditolak dengan alasan perkara tidak sumir. Kemudian, pada kali kedua PT. Great River Internasional akhirnya dapat dipailitkan setelah para karyawan mendapatkan putusan dari Pengadilan Hubungan Industrial. Namun seharusnya, pada putusan atau penetapan Pengadilan Hubungan Industrial yang tidak dilaksanakan oleh pihak perusahaan dapat dimintakan
8

H.M. Laica Marzuki, Mengenal karakteristik kasus-kasus perburuhan , Varia Peradilan No. 133, IKAHI, Jakarta, Oktober 1996, hal. 151

eksekusinya ke Pengadilan Hubungan Industrial atau bila pekerja tidak puas dengan putusan tersebut dapat mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung bukanlah dengan membawa putusan/penetapan tersebut ke Pengadilan Niaga sesuai dengan Pasal 195 ayat (1) HIR/206 ayat (1) Rbg yang menyebutkan: Hal menjalankan keputusan oleh Pengadilan dalam perkara yang mula-mula diperiksa oleh Pengadilan Negeri, dilakukan atas perintah dan dengan Pimpinan Ketua Pengadilan Negeri yang mula-mula memeriksa perkara itu... Sehingga dalam hal karyawan ingin menuntut haknya dalam pembayaran upah, langkah yang benar adalah dengan mengajukannya kepada Pengadilan Hubungan Industrial tentu saja melalui prosedur yang berlaku yaitu melalui penyelesaian secara bipartit dan tripartit terleih dahulu. Pengadilan Niaga memang sebuah lembaga yang dibentuk dengan dasar Pasal 1131 dan 1132 KUHPer dimana kekayaan debitur merupakan jaminan atas pemenuhan kewajiban terhadap kreditur-krediturnya yang sesuai dengan konsep karyawan sebagai kreditur dari perusahaan tempatnya bekerja. Namun, Pengadilan Niaga bukanlah diperuntukkan untuk sarana pemenuhan atas pembayaran utang saja, melainkan juga menjadi lembaga yang dapat memberikan jalan keluar kepada suatu kebangkrutan usaha. Esensi Pengadilan Niaga menjadi bias apabila dicampuradukkan oleh permasalahan pembayaran upah karyawan yang secara khusus telah diatur dalam UU Ketenagakerjaan dan UU PHI. Lain hal apabila perusahaan sudah terlebih dahulu dipailitkan oleh krediturnya, maka pekerja tidak kemudian begitu saja kehilangan haknya atas upah. Para pekerja dapat mendaftarkan dirinya ke kurator untuk kemudian menjadi salah satu kreditur yang harus dibayar haknya dengan harta pailit dalam daftar kreditur kurator.

BAB III PENUTUP Kesimpulan Karyawan atau pekerja dapat menjadi subjek pemohon dalam Pengadilan Niaga dikarenakan kedudukan karyawan dapat diibaratkan sebagai kreditur. Sehingga apabila Perusahaan tempat ia bekerja tidak membayarkan upah selama kurun waktu tertentu yang seharusnya dibayarkan dapat diibaratkan sebagai utang yang

telah jatuh tempo dan dapat ditagih. Namun, sebenarnya mekanisme mendapatkan pemenuhan hak atas upahnya telah terdapat dalam Undang-Undang Pengadilan Hubungan Industrial dengan segala mekanismenya dimana upah memanglah merupakan hak normatif yang diatur dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan dan perselisihan mengenai hak (upah) merupakan wewenang absolut dari Pengadilan Hubungan Industrial. Dalam hukum kepailitan sendiri, apabila perusahaan dalam keadaan pailiy, tanpa karyawan melakukan permohonan pernyataan pailit, hak karyawan untuk mendapatkan upahnya baik sebelum maupun sesudah dinyatakan pailit telah diakomodir baik dalam Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang maupun di dalam Undang-Undang mengenai Ketenagakerjaan sendiri. Karyawan atau pekerja hanya perlu mendaftarkan diri ke kantor kurator untuk dimasukkan dalam daftar kreditur yang mendapat hak atas harta pailit. Saran Pengadilan Niaga menjadi pelabuhan karyawan dalam rangka mencari keadilan untuk memenuhi tuntutan atas hak-hak mereka pasti bukan karena tanpa sebab. Bisa jadi hal ini dilakukan karena Pengadilan Niaga dirasa lebih cepat dan jitu dalam mengupayakan tuntutan mereka. Ini berarti Pengadilan Hubungan Industrial dan mekanisme penyelesaian perselisihan di antara pengusaha dan pekerja membutuhkan perhatian lebih dan evaluasi-evaluasi agar lebih dipandang eksistensinya. Evaluasi juga perlu dilakukan dalam Hukum Acara Niaga dimana pengaturannya menurut hemat penulis terlalu mudah untuk memailitkan perusahaan dan terlalu luas sehingga dapat disalahgunakan dan esensi lembaga pailit yang seharusnya tidak semata-mata untuk menagih utang melainkan juga untuk membantu alur perekonomian. Jangan sampai kejadian seperti kasus PT. Dirgantara Indonesia yang telah lalu kembali terjadi, dimana perusahaan yang masih dalam keadaan solven dapat dipailitkan begitu saja. Menurut hemat saya, seharusnya sumber hukum kepailitan Indonesia juga mengatur mengenai jumlah minimal atau keadaan tertentu agar suatu perusahaan dapat disebut dalam keadaan pailit.

DAFTAR PUSTAKA Jono, Hukum Kepailitan, Sinar Grafika, Jakarta, 2008 H.M. Laica Marzuki, Mengenal karakteristik kasus-kasus perburuhan , Varia Peradilan No. 133, IKAHI, Jakarta, Oktober 1996 UU No. 38 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

UU No. 2 Tahun 2004 tentang Pengadilan Hubungan Industrial http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/4965 http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol17043/pembuktian-utang-tidak-sumirgreat-river-tak-jadi-pailit http://m.hukumonline.com/klinik/detail/cl4431 http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol18143/mantan-karyawan-dan-pt-dilakukan-perundingan

Anda mungkin juga menyukai