Anda di halaman 1dari 2

Industri Farmasi pada 2006

Karena masyarakat memiliki kepercayaan tinggi terhadap obat herbal, angka pertumbuhannya diperkirakan lebih baik daripada obat dan multivitamin.Obat adalah salah satu kebutuhan yang harus dipenuhi oleh manusia saat sakit. Pemberian obat dengan tepat dan dosis benar bisa meredakan atau menyembuhkan gejala penyakit. Sebagai negara dengan penduduk lebih dari 200 juta orang Indonesia seharusnya memiliki pasar obat yang tumbuh dengan baik. Dengan jumlah penduduk sebesar itu kebutuhan obat sangat banyak. Tapi, seperti diungkapkan oleh Ketua Gabungan Perusahaan Farmasi (GP Farmasi), Anthony CH Sunaryo, pertumbuhan pasar farmasi di Indonesia pada 2005 tidak terlalu besar. Angka pertumbuhannya di bawah dua digit, atau sekitar delapan persen. Bahkan, industri farmasi asing yang ada di Indonesia pertumbuhannya hanya sekitar 2-3 persen. ''Ini terkait dengan rendahnya daya beli masyarakat. Selain itu, komponen biaya-biaya juga mengalami kenaikan. Sementara produsen tidak bisa menaikkan harga. Akibatnya, mereka sulit mendapatkan profit,'' ungkapnya kepada Republika. Saat ini, kata Anthony, di Indonesia tercatat 206 perusahaan farmasi, termasuk 35 perusahaan multinasional. Menurut data, pada 2004 total penjualan obat di Indonesia sekitar Rp 20 triliun. Sedangkan pada 2005 diperkirakan akan mencapai Rp 23 triliun. ''Pada 2006 mendatang, saya melihat prospek industri farmasi kita tetap ada. Hanya saja, pertumbuhannya belum baik. Kalau bisa mencapai pertumbuhan delapan hingga 10 persen saja itu sudah bagus sekali,'' ujarnya menambahkan. Besarnya pertumbuhan itu disebabkan oleh sejumlah faktor. Antara lain, kata Anthony, tingkat inflasi masih tinggi. Angka inflasi diperkirakan baru akan turun pada kuartal ketiga 2006. Tingkat suku bunga juga diperkirakan baru akan turun pada akhir tahun depan. Sementara itu, Product Manager PT Indofarma, Agus Kuanto, mengaku optimistis pertumbuhan farmasi cukup baik di tahun depan. Sebab, obat merupakan salah satu kebutuhan yang esensial. Apalagi kini berkembang berbagai penyakit endemik, yang tentu saja membutuhkan obat untuk menyembuhkan. ''Angka pertumbuhan obat dan multivitamin saya perkirakan akan tetap naik tahun mendatang. Tapi yang mengalami pertumbuhan pesat adalah obat herbal. Sebab masyarakat kita masih memiliki kepercayaan tinggi terhadap obat herbal,'' ungkap Agus. PR farmasi Meski tetap tumbuh, industri farmasi masih terbelit masalah bahan baku. Hingga saat ini, sekitar 90 persen bahan baku masih diimpor dan itu akan mempengaruhi harga jual obat. Sementara itu, harga obat, terutama generik, sudah dipatok oleh pemerintah. Masalah lainnya adalah kegiatan penelitian dan pengembangan obat yang kurang mendapat dukungan dana dari berbagai pihak, termasuk perusahaan obat. Padahal, jumlah peneliti atau tenaga ahli cukup banyak. ''Untuk perusahaan farmasi dana untuk promosi besar sehingga anggaran untuk penelitian menjadi berkurang,'' kata Agus menjelaskan. Dibandingkan dengan negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura, industri farmasi Indonesia masih kalah dalam hal konsumsi obat per kapita. Masyarakat Malaysia dan Singapura jauh lebih besar daripada angka-angka di Indonesia. Ini karena ekonomi kedua negara itu lebih baik daripada perekonomian Indonesia. Selain itu, masyarakat kedua negari jiran tersebut juga lebih modern dibandingkan masyarakat Indonesia. ''Masyarakat kita banyak yang tersebar di desa-desa terpencil. Mereka akan lebih mementingkan pemenuhan kebutuhan akan makan daripada obat,'' demikian Agus.

Sedangkan Anthony melihat, kondisi makro ekonomi dalam negeri yang belum sepenuhnya membaik merupakan masalah utama yang dihadapi oleh industri farmasi dalam negeri. Apalagi ditambah dengan kebijakan pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) awal Oktober lalu. Kenaikan BBM akan membawa dampak kenaikan biaya produksi obat, terutama biaya transportasi. Belum lagi dengan rencana kenaikan tarif dasar listrik. Jika ini benar-benar dilaksanakan, komponen biaya produksi akan makin meningkat. ''Melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika juga masalah tersendiri. Sebab komponen bahan baku kita sebagian masih impor. Kalau dolar naik, harganya juga akan naik,'' jelas Anthony. Dia berharap, pemerintah menciptakan suasana yang kondusif bagi industri farmasi. Salah satunya dengan menciptakan regulasi yang tidak merugikan industri farmasi. Yang juga sangat berpengaruh pada industri farmasi dalam negeri adalah kondisi makro politik dan keamanan. Tantangan Pemberlakuan AFTA 2006 Negara-negara di Asia Tenggara yang tergabung dalam ASEAN sepakat memberlakukan pasar bebas di kawasan ini (AFTA) pada Juni mendatang. Dengan kesepakatan ini, produk dari satu anggota ASEAN bebas masuk dan diperdagangkan di negara anggota yang lain. Itu akan semakin memperketat tingkat kompetisi di antara anggota ASEAN. Sehingga, hanya produk berkualitas yang akan mampu menembus pasar ASEAN. Bagi Indonesia, menurut Product Manager PT Indofarma, Agus Kuanto, pemberlakukan AFTA pada 2006 menjadi tantangan sekaligus ancaman, tergantung bagaimana industri farmasi dalam negeri menyikapinya. Agus melihat, AFTA merupakan kesempatan bagus bagi industri farmasi dalam negeri untuk menjual produk-produknya ke luar negeri.''Karena itu, ada banyak hal yang harus segera diperbaiki oleh industri farmasi kita,'' ungkapnya. Perbaikan tersebut berupa peningkatan kualitas produk sehingga dapat bersaing dengan produk asing. Ini, lanjut Agus, diperlukan kreativitas untuk inovasi produk. ''Untuk obat-obat kimi kita masih kalah dengan negara lain. Tapi untuk obat-obat herbal, kita lebih unggul. Sebab kekayaan alam kita nomor dua terbesae di dunia. Ini potensi besar yang harus lebih kita kembangkan,'' papar Agus. Sedangkan Ketua Gabungan Perusahaan (GP) Farmasi, Anthony Ch Sunaryo, mengatakan dari sisi kualitas dan kuantitas, produk farmasi dalam negeri tidak kalah dengan negara-negara lain di ASEAN. Namun, Indonesia masih kalah dari Cina dan India karena mereka memiliki industri bahan baku. Sedangkan industri farmasi dalam negeri masih bergantung pada bahan baku impor, yang dipengaruhi oleh fluktuasi nilai tukar dan minyak dunia. ''Inilah kelemahan industri farmasi kita,'' kata Anthony. (jar )

Anda mungkin juga menyukai