Anda di halaman 1dari 21

Gambaran Konsep Diri Anak-Anak Penghuni Rumah Singgah Prolife

Metode Kualitatif PDU 202

Dibuat oleh: Novelia Devita Vanessa Feybe Donna Marietha Mayatania Bolyn Adinda Natasya 2010-070-008 2010-070-062 2010-070-194 2010-070-217 2010-070-224

Marsha Indahsaputri 2010-070-063

Fakultas Psikologi Unika Atma Jaya Jakarta, 2012

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah

Krisis moneter yang terjadi di Indonesia pada tahun 1998 berdampak pada pemutusan hubungan kerja. Dampak tersebut kemudian mengakibatkan munculnya fenomena anak-anak turun ke jalan untuk membantu perekonomian keluarga (Sanie dkk, 2000). Menurut de Moura (2002), anak jalanan dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu anak yang bekerja di jalanan dan anak yang hidup di jalanan. Berdasarkan survei dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan, alasan anak bekerja adalah karena membantu pekerjaan orangtua (71%), dipaksa membantu orangtua (6%), menambah biaya sekolah (15%), dan karena ingin hidup bebas, untuk uang jajan, mendapatkan teman, dan lainnya (33%). Berdasarkan fenomena yang terjadi, sejak tahun 1998 keberadaan rumah singgah mulai bermunculan. Di DKI Jakarta saja, keberadaan rumah singgah hampir mencapai 100-an. Hal ini sebagai upaya untuk mewujudkan perlindungan dan kesejahteraan anak jalanan dengan memenuhi hak-haknya yang dirumuskan dalam UU No.4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak serta UU No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang dibuat di kemudian hari. Namun seiring berjalan waktu keberadaan rumah singgah di Jakarta mulai berkurang (Lebih dari, 2010). Hal ini didukung melalui pernyataan Direktur Pelayanan Sosial Anak Kementerian Sosial, Raden Harry Hikmat. Harry berkata, Waktu krisis dulu ada jaring pengaman sosial yang sasarannya anak jalanan tapi sesudah itu ada penurunan, akibatnya kegiatan pelayanan kurang dan bahkan ada yang sama sekali tidak ada kegiatan. Harry juga menambahkan bahwa penurunan aktivitas rumah singgah anak jalanan disebabkan berkurangnya dukungan pendanaan dari pemerintah dan lembaga donor. Menanggapi hal tersebut, saat ini mulai dapat ditemukan rumah singgah non-profit atas inisiatif masyarakat awam. Keberadaan rumah singgah non-profit ini menjadi bukti kepedulian masyarakat awam terhadap anak jalanan. Rumah singgah yang baik seharusnya menjadi sarana yang sempurna bagi anak jalanan untuk tinggal dan kembali dirumahkan. Program-program yang dibangun rumah singgah biasanya seputar masalah pendidikan atau pengembangan keterampilan. Anak-anak jalanan kembali difasilitasi agar mereka dapat kembali mengenyam pendidikan dan mengembangkan

keterampilan bekerja. Namun fasilitas yang diberikan tidak langsung membuat anak-anak jalanan kembali berubah menjadi anak-anak seperti pada umumnya sebab ada tahap perkembangan pada anak jalanan yang terhambat seperti perkembangan kognitifnya. Seorang anak pada setiap tahap perkembangannya memiliki tugas perkembangan masing-masing. Salah satu tugas perkembangan adalah menghadapi perubahan kognitif seperti kemampuan berpikir abstrak yang akan mempengaruhi cara anak melihat dan menggolongkan dirinya sendiri (Steinberg, 1993). Bila seseorang gagal melalui tugas perkembangan pada usia yang sebenarnya maka pada tahap perkembangan berikutnya akan terjadi masalah pada diri orang tersebut (Seligman, 1995). Belum lagi jika anak-anak jalanan itu mengalami kekerasan baik secara fisik maupun psikis. Tahap perkembangan kognitif yang terhambat dan kekerasan yang dialami oleh anak jalanan dapat berpengaruh pada pembentukan konsep diri anak. Konsep diri merupakan suatu bagian yang penting dalam kepribadian manusia. Konsep diri merupakan sifat unik pada manusia, sehingga dapat digunakan untuk membedakan manusia yang satu dengan yang lainnya. Oleh karena itu konsep diri merupakan faktor penting didalam interaksi. Dibandingkan mahkluk lain manusia mampu untuk mengenali dirinya sendiri, mengobservasi diri dalam setiap tindakan serta mampu mengevaluasi setiap tindakan sehingga mengerti dan memahami tingkah laku yang seperti apa yang dapat diterima oleh lingkungan. Konsep diri seseorang selain dapat dibentuk melalui penilaian pribadi juga dapat dibentuk melalui penilaian dari orang-orang lain. Penilaian kaum awam terhadap anak jalanan biasanya cenderung negatif. Kaum awam menganggap bahwa anak jalanan hanya bisa mengemis, mengamen, dan bertindak kriminal. Penilaian tersebut dapat menjadi sebab anak jalanan memiliki konsep diri yang cenderung negatif. Anak jalanan menjadi kesulitan untuk memiliki konsep diri positif berdasarkan penilaian pribadi padahal anak-anak tersebut telah dirumahkan kembali melalui rumah singgah. Konsep diri yang cenderung negatif tentu membuat aspek-aspek yang terkait terhadapnya juga menjadi negatif. Oleh karena itu, sebaiknya rumah singgah juga memperhatikan kebutuhan anak-anak seperti perkembangan konsep dirinya agar mereka dapat menganggap dirinya sebagai orang yang dapat berfungsi dan menggapai cita-cita. Konsep diri yang positif pada anak-anak jalanan yang berada di rumah singgah paling tidak dapat membuat mereka tetap menetap di rumah singgah karena mereka sudah tidak menganggap diri mereka sebagai anak jalanan lagi.

B. Fokus Penelitian

Fokus pada penelitian ini adalah anak-anak yang tinggal di Rumah Singgah Prolife. Rumah Singgah Prolife berlokasi di daerah Matraman dan terletak dalam gang sempit. Kondisi Rumah Singgah Prolife itu sendiri tidak memadai untuk ditempati oleh 20 orang anak sebab hanya terdapat 2 kamar tidur utama. Anak-anak yang berada di rumah singgah tersebut merupakan anak-anak jalanan yang ditarik oleh pengurus Prolife yaitu Kak Apri dan Kak Andri. Anak-anak jalanan tersebut ditawari tempat tinggal dan kesempatan untuk mengembangkan diri seperti disekolahkan kembali atau diberikan kursus keterampilan. Kegiatan pengembangan diri ini juga dilakukan dengan menjalin kerja sama bersama lembaga sosial atau kegiatan yang bergerak dalam pendampingan anak-anak jalanan. Pengurus Prolife berharap kesempatan yang telah diberikan kepada anak-anak tersebut mampu membuat mereka memutuskan tetap tinggal di rumah singgah dan tidak kembali ke jalanan. Namun ternyata banyak anak jalanan yang tidak menetap di Rumah Singgah Prolife, mereka sering keluar masuk walaupun sebetulnya status mereka adalah anak lama di rumah singgah tersebut. Pengurus Prolife kemudian menerapkan peraturan agar anak-anak yang sudah cukup lama berada di Prolife tidak kembali turun ke jalan dan tetap fokus bersekolah. Oleh karena itu, peneliti lebih memfokuskan penelitian terhadap anak-anak yang masih menetap di Rumah Singgah Prolife untuk meneliti perkembangan diri mereka khususnya konsep diri mereka. Apakah anak-anak yang berada di Rumah Singgah Prolife masih menganggap dirinya sebagai anak jalanan? Bagaimana pandangan diri mereka terhadap diri mereka sendiri setelah menjadi anak rumah singgah? Kedua pertanyaan tersebut menjadi fokus masalah penelitian ini.
C. Tujuan Penelitian

Ada 2 tujuan dari penelitian yang akan dilakukan, antara lain adalah: 1. Untuk mengetahui deskripsi gambaran konsep diri anak-anak jalanan yang berada di rumah singgah. Lokasi pengambilan data adalah di rumah singgah Prolife, Matraman. 2. Untuk mengetahui faktor-faktor yang ikut mempengaruhi pembentukan konsep diri anak.
D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini dapat bermanfaat bagi pengurus rumah singgah Prolife atau rumah singgah lainnya agar para pengurus mampu melihat kebutuhan anak yang terhambat selain di bidang pendidikan yakni perkembangan konsep dirinya. Penelitian ini juga memberikan saran agar rumah singgah dapat membentuk program yang dapat melatih pembentukan konsep diri positif pada anak-anak jalanan yang berada di rumah singgah. Peneliti berpendapat apabila anak-anak tersebut dapat memandang diri lebih positif, maka anak-anak dapat menjalani kehidupan sehari-hari tanpa harus kembali lagi ke jalanan atau dapat mengantisipasi kecenderungan anak-anak yang rentan kembali ke jalanan.

BAB II LANDASAN TEORI A. Anak Jalan dan Rumah Singgah

I.

Anak Jalanan Melalui pengamatan UNICEF (dalam Penelitian Tentang Anak Jalanan, 1989) terhadap beberapa negara berkembang, anak jalanan digambarkan sebagai berikut: those who have abandoned their homes, schools and immediate communities before they are 16 years of age, and have drifted into a nomadic street life. Menurut UNICEF anak jalanan adalah mereka yang meninggalkan komunitas dimana mereka tumbuh sebelumnya seperti rumah dan sekolah. Mereka meninggalkan komunitas tersebut dan hidup secara nomadik di jalan sebelum usia mereka mencapai 16 tahun. Sementara itu menurut Direktorat Bina Sosial DKI (dalam Penelitian Tentang Anak Jalanan, 1989), yang termasuk anak jalanan adalah: Anak yang berkeliaran di jalan raya sambil bekerja, mengemis, atau menganggur saja. Usianya bisa berkisar dari bayi (dibawa orangtuanya mengemis) sampai usia remaja. Tidak semuanya merupakan anak yang terlantar, meskipun sebagaian besar adalah anak yang tidak punya tempat tinggal tetap dan orangtuanya tidak ada di Jakarta. Peneliti menyimpulkan bahwa anak jalanan adalah anak yang usianya berkisar bayi hingga remaja yang menghabiskan sebagian besar waktunya berada di jalan raya. Selama mereka berada di jalan biasanya mereka bekerja sebagai pengemis, menjajakan barang dagangan, atau mengamen. Lebih jauh lagi mengenai intensititas anak berada di jalanan Depdiknas (2002) mengelompokkan intensitas anak berada di jalanan ke dalam tiga kategori utama yaitu sebagai berikut:

1.

Children of the street Anak yang hidup/tinggal di jalanan dan tidak ada hubungan dengan keluarganya. Kelompok ini biasanya tinggal di terminal, stasiun kereta api, emperan toko dan kolong jembatan.

2.

Children on the street Anak yang bekerja di jalanan. Umumnya mereka adalah anak putus sekolah, masih ada hubungannya dengan keluarga namun tidak teratur yakni mereka pulang ke rumahnya secara periodik.

3.

Vulnerable children to be street children Anak yang rentan menjadi anak jalanan. Umumya mereka masih sekolah dan putus sekolah, dan masih ada hubungan teratur (tinggal) dengan orang tuanya. Sementara itu Departemen Sosial (dalam kutipan Yudi, 2006) mengelompokkan jenis pekerjaan anak jalanan ke dalam 4 kategori yakni sebagai berikut:

1.

Usaha dagang yang terdiri atas pedagang asongan, penjual koran, majalah, serta menjual Usaha di bidang jasa yang terdiri atas pembersih bus, pengelap kaca mobil, pengatur lalu Pengamen. Dalam hal ini menyanyikan lagu dengan berbagai macam alat musik seperti Kerja serabutan yaitu anak jalanan yang tidak mempunyai pekerjaan tetap, dapat berubahDari berbagai penelitian yang mengkaji tentang anak jalanan ditemukan beberapa faktor yang mendorong anak-anak untuk turun ke jalan, peneliti mengkategorikan faktorfaktor tersebut sebagai berikut:

sapu atau lap kaca mobil.


2.

lintas, kuli angkut pasar, ojek payung, tukang semir sepatu dan kenek.
3.

gitar, kecrekan, suling bambu, gendang, radio karaoke dan lain-lain.


4.

ubah sesuai dengan keinginan mereka.

1.

Faktor ekonomi keluarga Status perekonomian keluarga yang cenderung rendah dimana orangtua tidak bekerja membuat anak kemudian ikut bekerja membantu perekonomian keluarga. Terlebih lagi jika anggota dalam keluarga terdiri dari 7 hingga 8 orang, hal ini dapat mendorong anak untuk bekerja. Selain itu, kebutuhan utama mereka seperti sandang, pangan, dan papan menuntut untuk terpenuhi sehingga anak kerap diminta oleh orangtuanya untuk membantu bekerja.

2.

Faktor sosial keluarga Status pendidikan orangtua juga turut berpengaruh terhadap turunnya anak ke jalanan. Orangtua dengan status pendidikan yang cukup rendah cenderung mengenyampingkan pendidikan. Mereka lebih beranggapan bahwa kebutuhan untuk bertahan hidup adalah yang utama sementara pendidikan tidak terlalu penting. Selain status pendidikan, latar belakang orangtua ikut mempengaruhi turunnya anak ke jalanan. Kehidupan orangtua dahulu yang hidup di pedesaan diajarkan bahwa anak-anak memiliki peran dalam membantu memenuhi kebutuhan

hidup sehingga anak-anak juga berperan untuk bekerja dan berkontribusi terhadap pendapatan keluarga. Pembelajaran yang demikian lalu diaplikasikan juga setelah orangtua berurbanisasi ke kota. Anak-anak didorong untuk bekerja semampu yang mereka bisa yakni dengan cara turun ke jalan sebagai pengamen, penjaja barang dagangan, atau kegiatan lainnya yang menghasilkan uang. 3. Faktor psikososial Jika kedua faktor diatas bersumber dari eksternal anak maka faktor psikososial bersumber dari internal anak. Bekerja mencari nafkah di jalan bukanlah hal yang mudah. Tetapi tetap saja banyak ditemukan anak-anak yang mengemis atau mengamen entah di persimpangan jalan atau bus kota. Apa yang mendasari anakanak tersebut untuk turun ke jalan sementara mungkin di sisi lain diri anak itu menolak atau merasa terpaksa untuk turun ke jalan? Faktor psikososial menjelaskan bahwa ada motif-motif tertentu yang tidak terlepas dari pengaruh persepsi pribadi anak mengenai lingkungannya. Motif-motif tersebut mendorong seseorang untuk berbuat sesuatu ke arah tercapainya tujuan. Motif yang melatarbelakangi perbuatan anak jalanan berasal dari kebutuhan untuk mencapai tujuan pribadinya yang telah disesuaikan dengan tuntutan-tuntutan sosial masyarakat di sekitarnya. Anak-anak yang turun ke jalan mengalami hambatan dalam perkembangannya. Berada di jalan bukanlah lokasi yang dapat mendukung tercapainya tugas-tugas pada tahap perkembangan anak. Kedelapan tahap perkembangan menurut teori psikososial Erikson menjelaskan bahwa di setiap tahap perkembangan memiliki tugas perkembangan yang unik dan perlu dipenuhi individu dengan sebuah krisis yang harus terpecahkan (Santrock, 2009). Anak yang turun ke jalan tentu memiliki kesulitan untuk menyelesaikan tugas-tugas perkembangannya sebab mereka seperti terdorong untuk memikirkan tugas pada tahap perkembangan yang jauh dari usia mereka sebenarnya yakni bekerja. Hal ini bertambah sulit jika selama berada di jalan mereka mengalami kekerasan. Menurut Marliana (2006) kekerasan yang dialami anak jalanan terbagi dalam dua kategori berikut:
1.

Kekerasan fisik yang berakibat pada jasmani anak terbagi lagi menjadi: Physical abuse

a.

Kekerasan secara fisik yang dialami oleh anak seperti dipukul oleh orangtua karena tidak memberi uang, digebukin teman karena melanggar wilayah kerja, dihajar preman karena tidak membayar uang keamanan. b. Sexual abuse Kekerasan secara seksual yang dialami oleh anak seperti diperkosa atau disodomi.
2.

Kekerasan non-fisik yang berakibat pada psikis anak terbagi menjadi: Emotional abuse Kekerasan yang membawa dampak pada emosional anak seperti pengalaman traumatik.

a.

b.

Verbal abuse Kekerasan melalui pemakaian kata-kata kasar dan menghina anak seperti diejek teman atau dimarahi karena melewati batas wilayah. Kekerasan yang dialami membuat anak-anak jalanan terluka dan dipaksa untuk belajar mengatasi permasalahan tersebut. II.Model Penanganan Anak Jalanan Upaya untuk mewujudkan perlindungan dan kesejahteraan anak jalanan dengan memenuhi hak-haknya dirumuskan di dalam UU No.4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak dan UU No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Realisasi dari peraturan negara ini adalah dengan dilaksanakannya rumah singgah untuk anak jalanan. Direktorat Jendral Bina Kesejahteraan Sosial Depsos sebagaimana dikutip oleh Krismiyarsi (2004) mendefinisikan rumah singgah sebagai berikut:
1. Anak jalanan boleh tinggal sementara untuk tujuan perlindungan, misalnya:

karena tidak punya rumah, ancaman di jalan, ancaman/kekerasan dari orang tua dan lain-lain.
2. Pada saat tinggal sementara mereka memperoleh intervensi yang intensif dari

pekerja sosial sehingga tidak tergantung terus kepada rumah singgah. Oleh karena itu, biasanya rumah singgah membuka diri terhadap intervensi dari pendampingan lembaga-lembaga lain yang bergerak di bidang penanggulangan anak jalanan.

3. Anak jalanan datang sewaktu-waktu untuk bercakap-cakap, istirahat, bermain,

dan mengikuti kegiatan.


4. Rumah singgah tidak memperkenankan anak jalanan untuk tinggal selamanya.

Biasanya jika anak jalanan sudah mampu berfungsi sebagaimana mestinya yakni mengembangkan diri dan bekerja mereka diperbolehkan untuk tinggal di luar rumah singgah.
5. Anak jalanan yang masih tinggal dengan orang tua atau saudaranya atau sudah

mempunyai tempat tinggal tetap sendirian maupun berkelompok tidak diperkenankan menetap di rumah singgah, kecuali ada beberapa situasi yang bersifat darurat.
6. Anak jalanan yang sudah mempunyai tempat tinggal tetap merupakan kondisi

yang lebih baik dibandingkan dengan mereka yang membutuhkan rumah singgah sebagai tempat tinggal sementara, seperti: kelompok anak yang hidup di jalanan. Secara singkat rumah singgah didefinisikan sebagai suatu wahana yang dipersiapkan sebagai perantara anak jalanan dengan pihak-pihak yang akan membantu mereka. Tujuan umum rumah singgah adalah membantu anak jalanan mengatasi masalahmasalahnya dan menemukan alternatif untuk pemenuhan kebutuhan hidupnya. Adapun tujuan khusus rumah singgah adalah:
1. Membentuk kembali sikap dan perilaku anak yang sesuai dengan nilai dan

norma yang berlaku di masyarakat.


2. Mengupayakan anak-anak kembali ke rumah jika memungkinkan atau di panti

dan lembaga pengganti lainya jika diperlukan.


3. Memberikan berbagai alternatif pelayanan untuk pemenuhan kebutuhan anak

Sementara itu fungsi rumah singgah menurut Departemen Sosial RI (2005) adalah sebagai berikut:
1. Tempat pertemuan (meeting point) pekerja sosial dengan anak jalanan.

Dalam fungsi ini, rumah singgah merupakan merupakan tempat bertemu antara pekerja sosial dengan anak jalanan untuk menciptakan persahabatan dan melakukan program kegiatan.
2. Pusat assessment dan rujukan.

Rumah singgah menjadi tempat asesmen (assessment) terhadap masalah dan kebutuhan anak jalanan serta melakukan rujukan (refeal) pelayanan sosial bagi anak jalanan.
3. Fasilitator.

Rumah singgah memiliki fungsi sebagai perantara anak jalanan dengan keluarga, panti, keluarga pengganti, dan lembaga lainnya. Anak jalanan diharapkan tidak terus-menerus bergantung pada rumah singgah, melainkan dapat memperoleh kehidupan yang lebih baik melalui atau setelah proses yang dijalani.
4. Perlindungan.

Rumah singgah dianggap sebagai tempat perlindungan anak dari berbagai bentuk kekerasan yang dialami di jalanan.
5. Pusat informasi.

Dalam fungsi ini, rumah singgah menyediakan informasi tentang berbagai hal yang berkaitan dengan kepentingan anak jalanan seperti data dan informasi tentang anak jalanan, bursa kerja, pendidikan, kursus keterampilan, dan lainlain.
6. Kuratif-Rehabilitatif.

Rumah singgah diharapkan mampu mengatasi permasalahan anak jalanan dan memperbaiki sikap dan perilaku sehari-hari yang akhirnya akan dapat menumbuhkan keberfungsian anak.
7. Resosialisasi.

Lokasi rumah singgah yang berada di lingkungan masyarakat sebagai upaya mengenalkan kembali norma, situasi dan kehidupan bermasyarakat bagi anak jalanan. Dengan harapan adanya pengakuan, tujuan dan upaya dari warga masyarakat terhadap penanganan masalah anak. Rumah singgah yang tidak mendapat bantuan dana dari pemerintah atau biasa disebut rumah singgah non-profit, menawarkan program-program yang bergantung pada sumber daya yang ada (dana, jumlah, dan keahlian petugas) serta kebutuhan yang dilayani berdasarkan pengalaman yang selama ini dijumpai (Sanie dkk, 2000). Program-program tersebut dapat berupa kegiatan peningkatan keterampilan seperti merujuk anak untuk

mengikuti kursus keterampilan. Ada juga program yang diselenggarakan dengan kerjasama Lembaga Sosial Masyarakat yang dapat memberikan edukasi dan sebagai inspirasi bagi anak-anak jalanan untuk menggapai impian dan tercapainya masa depan yang lebih baik. B. Konsep Diri Konsep diri merupakan suatu pandangan dan perasaan seseorang mengenai dirinya sendiri serta mempersepsikan bagaimana dirinya yang bersifat psikis ataupun sosial. (Brooks dalam Rakhmat, 1991). Menurut Cawangas (dalam Pudjijogyanti, 1988) konsep diri merupakan keseluruhan pandangan individu akan dimensi fisiknya, karakteristik kepribadiannya, motivasinya, kelemahannya, kepandaiannya dan kegagalannya. Rainy (dalam Burn, 1979) menyatakan bahwa konsep diri merupakan diri yang dikenal oleh individu tersebut sebagai sebuah konfigurasi yang unik. Diri yang dikenal merupakan halhal yang dipersepsikan oleh individu tersebut, konsep-konsep dan evaluasi mengenai diri sendiri juga termasuk gambarangambaran dari orang lain terhadap dirinya yang dirasakan dan digambarkan sebagai pribadi yang diinginkan, yang dipelihara dari suatu pengalaman lingkungan yang dievaluasinya secara pribadi. Sementara itu konsep diri menurut Rogers adalah kesadaran batin yang tetap, mengenai pengalaman yang berhubungan dengan aku dan membedakan aku dari yang bukan aku (Feist & Feist, 2009). Konsep diri ini terbagi menjadi 2 yaitu konsep diri real dan konsep diri ideal. Untuk menunjukkan apakah kedua konsep diri tersebut sesuai atau tidak, Rogers mengenalkan 2 konsep lagi, yaitu incongruence dan congruence (Feist & Feist, 2009). Incongruence adalah ketidakcocokan antara self yang dirasakan dalam pengalaman aktual disertai pertentangan dan kekacauan batin. Sedangkan congruence berarti situasi di mana pengalaman diri diungkapkan dengan seksama dalam sebuah konsep diri yang utuh, integral, dan sejati. Lebih lanjut lagi, Rogers menggambarkan pribadi yang berfungsi sepenuhnya adalah pribadi yang mengalami penghargaan positif tanpa syarat (unconditional positive regard). Hal ini berarti bahwa individu tersebut dihargai dan dicintai karena adanya nilai diri sendiri sebagai person sehingga ia tidak bersifat defensif namun cenderung untuk menerima diri dengan penuh kepercayaan. Hal ini juga berarti bahwa kebutuhan dasar manusia akan kehangatan, penghargaan, penerimaan, pengagungan, dan cinta dari orang lain telah terpenuhi. Kebutuhan ini disebut need for positive regard, yang terbagi lagi menjadi 2 yaitu

conditional positive regard (bersyarat) dan unconditional positive regard (menerima apapun tanpa syarat). Akan tetapi, manusia lebih merasa tidak tertuntut jika ia dapat diterima sebagaimana gambaran dirinya sebab ketika seorang manusia tidak bisa memenuhi gambaran diri seperti yang dituntut orang lain kepadanya ia akan cenderung merasa kewalahan demi memenuhi semua tuntutan tersebut. Setiap individu memiliki konsep diri, baik itu konsep diri yang positif maupun yang negatif, hanya derajat atau kadarnya yang berbeda-beda. Kenyataan tidak ada individu yang sepenuhnya memiliki konsep diri positif atau negatif. Tetapi karena konsep diri memegang peranan penting dalam menentukan dan mengarahkan seluruh perilaku individu, maka sedapat mungkin individu bersangkutan harus mempunyai konsep diri yang positif atau baik (Rakhmat, 1991).
I.

Aspek-aspek Konsep Diri Menurut Fitts (dalam Purwanti et al., 1995), berdasarkan persepsi seseorang terhadapan dirinya terdapat aspek-aspek sebagai berikut: a.Aspek kritik diri Konsep diri mungkin dapat terbentuk karena penilaian diri yang tidak tepat, yang bersumber dari sikap defensif seseorang. Sikap defensif yang dimaksud adalah sikap kurang terbuka dalam menggambarkan siapa aku yang sesungguhnya, kurang adanya kesediaan untuk mengakui kelemahan dan kekurangan pribadinya. b. Aspek harga diri Fitts menganggap harga diri sebagai komponen penting dalam konsep diri seseorang. Harga diri erat hubungannya dengan perasaan berhasil, pemahaman tentang potensi diri, dan sejumlah perasaan keyakninan diri. Harga diri memiliki peran sebagai kendali internal seseorang untuk mengarahkan tingkah lakunya (Purwanti et al., 1995). c.Aspek integrasi diri Integrasi diri dapat tercermin pada kesamaan atau perbedaan penilaian individu terhadap bagian-bagian dirinya. Integrasi juga berkaitan dengan harga diri yang merupakan konsistensi antara patokan perilaku seseorang dan perilaku yang ditampilkan pada kenyataannya. Konsistensi menunjukkan adanya integrasi yang

cukup baik, di mana semakin berintegrasi bagian-bagian diri individu maka akan semakin baik dalam menjalankan fungsinya. d. Aspek keyakinan diri Melalui aspek ini dapat terlihat sejauh mana keyakinan individu dalam menilai dirinya sendiri. Seorang individu yang tidak yakin pada dirinya akan mempunyai suatu gambaran diri yang tidak tepat. Sebaliknya individu yang mengenal dirinya dengan akan memiliki gambaran yang baik pula.
C. Konsep Diri Anak-Anak Penghuni Rumah Singgah Prolife

Anak-anak penghuni Rumah Singgah Prolife merupakan anak jalanan yang ditarik oleh pengurus rumah singgah tersebut. Beberapa yang ditarik karena ditawari lebih dulu oleh pengurus rumah singgah. Biasanya mereka ditawari untuk memenuhi kebutuhan pokok seperti tempat tinggal dan makan melalui rumah singgah. Beberapa dari mereka juga ada yang diberi pengertian oleh pengurus rumah singgah mengenai keberadaan mereka saat ini dan keberadaan mereka di masa mendatang setelah itu mereka pun ditawari untuk memperbaiki kualitas hidunya dengan menjadi anak-anak di Rumah Singgah Prolife. Oleh pengurus Rumah Singgah Prolife mereka disekolahkan kembali dan diberikan kursus keterampilan juga pengembangan diri dengan mendatangkan kakak-kakak pendamping yang dapat memberikan arahan terhadap anak-anak tersebut dan juga sebagai role model bagi mereka agar dapat terpacu juga untuk melakukan perubahan sehingga tidak kembali lagi ke jalanan. Akan tetapi, banyak dari anak-anak di rumah singgah tersebut yang kembali turun ke jalan. Peneliti mengasumsikan penyebab fenomena tersebut karena anak-anak itu sendiri masih memiliki konsep diri sebagai anak jalanan sehingga mereka pun rentan kembali ke jalan walaupun sudah diberikan kesempatan untuk tinggal dan mengembangkan diri di rumah singgah. Seharusnya dengan menetap cukup lama di rumah singgah anak-anak tersebut tidak lagi menganggap diri mereka sebagai anak jalanan karena mereka telah melakukan perubahan dengan tidak menghabiskan seluruh waktunya di jalanan melainkan dengan melakukan kegiatan bersekolah dan belajar mengembangkan diri. Oleh karena itu, konsep diri pada anak-anak di Rumah Singgah Prolife menjadi fokus penelitian karena peneliti ingin memahami persepsi anak-anak tersebut selama menjadi penghuni rumah singgah tersebut. Setelah dapat memahami konsep diri anak-anak tersebut

mungkin pengurus Prolife dapat menggunakan data ini sebagai acuan ketika melakukan kerja sama dengan lembaga sosial yang bergerak dalam pendampingan anak agar dapat menyusun sebuah program pengembangan diri yang sesuai dengan kebutuhan konsep diri anak-anak di rumah singgah tersebut.

BAB II METODE PENELITIAN Pada bab ini peneliti akan menjelaskan mengenai metodologi yang akan dipakai dalam penelitian ini, yaitu melalui pendekatan kualitatif. Bab ini akan meliputi unit analisis, subjek penelitian, metode pengambilan data, dan prosedur penelitian.
A. Unit Analisis

Dari segi tujuannya, penelitian ini cenderung deskriptif karena yang akan dideskripsikan adalah konsep diri anak-anak penghuni Rumah Singgah Prolife. Anak-anak penghuni rumah singgah tersebut merupakan anak-anak jalanan yang ditarik oleh pengurus rumah singgah. Melalui pendektan kualitatif, penelitian ini dapat memahami dan menjelaskan fenomena yang terjadi pada anak-anak penghuni Rumah Singgah Prolife terutama terhadap konsep diri mereka.

B. Subjek Penelitian Subjek penelitian adalah anak-anak di Rumah Singgah Prolife. Anak-anak tersebut telah memiliki karakteristik-karakteristik tersendiri. Karakteristik anak-anak di Rumah Singgah Prolife adalah sebagai berikut: kehadiran mereka karena ditarik oleh pihak pengurus Rumah Singgah Prolife. anak-anak mendapat kesempatan bersekolah dan mengikuti kegiatan yang terlaksana atas kerja sama Rumah Singgah Prolife dengan lembaga sosial yang khusus bergerak di pendampingan anak-anaka jalanan. anak-anak menetap di Rumah Singgah dalam kurun waktu 6 bulan hingga 1 tahun. anak-anak penghuni rumah singgah tersebut memiliki usia yang beragam dari usia 920 tahun. Oleh karena itu, strategi pengambilan subjek adalah menggunakan criterion sampling. C. Metode Pengambilan Data Pengambilan data dilakukan secara kualitatif yakni melalui wawancara dan observasi. Menurut Bingham dan Moore wawancara merupakan conversation with a purpose. Percakapan yang terjadi selama wawancara adalah pertukaran perspektif dan informasi di antara dua orang yang bertemu (Sundberg, 1977). Wawancara pada penelitian ini merupakan wawancara terstruktur dimana pertanyaan sudah disiapkan karena sudah dirancang informasi apa yang dibutuhkan sesuai dengan penelitian. Oleh karena itu, panduan wawancara disesuaikan dengan kebutuhan penelitian yakni dengan menyusunnya sesuai aspek-aspek konsep diri menurut Fitts dan latar belakang anak-anak penghuni Rumah Singgah Prolife. Jenis wawancaranya pun langsung/face to face dimana peneliti langsung bertemu dengan subjek sehingga bisa melakukan observasi. Observasi secara langsung berkenaan dengan tindakan yang dilakukan saat ini/sekarang karena tidak mungkin melakukan pengamatan terhadap tindakan masa lalu (Sundberg, 1977). Sementara melalui wawancara dapat merefleksikan perilaku masa lalu individu sehingga wawancara dan observasi tidak mungkin terpisahkan. Melalui observasi, peneliti dapat menarik kesimpulan mengenai masa lalu dan bahkan memprediksi masa depan karena data-data observasi juga didukung dengan data wawancara.

D. Prosedur Penelitian I.Prosedur Persiapan Peneliti menyiapkan panduan wawancara dan kegiatan yang akan dilakukan sebelum pengambilan data. Kegiatan yang akan dilakukan sebelum pengambilan data adalah melakukan pendekatan terhadap anak-anak penghuni Rumah Singgah Prolife agar dapat terbangun rapport serta dapat melakukan observasi lebih dulu mengenai kondisi anak-anak rumah singgah. Selain itu juga kegiatan yang dilakukan adalah mendatangi Rumah Singgah Prolife untuk meminta kesediaan pihak Rumah Singgah Prolife bekerja sama dengan peneliti dalam mencapai tujuan penelitian. II.Prosedur Pelaksanaan Peneliti melakukan pengambilan data dengan melakukan wawancara dan observasi terhadap seluruh anak-anak penghuni Rumah Singgah Prolife.

Daftar Pertanyaan Wawancara Variabel yang akan diteliti adalah konsep diri sehingga aspek-aspek yang ingin digali mengacu pada aspek-aspek konsep diri menurut Fitts yakni aspek kritik diri, aspek harga diri, aspek integrasi diri, dan aspek keyakinan diri. Selain daripada aspek-aspek diri yang ingin digali, hal lain yang digali adalah latar belakang anak-anak penghuni Rumah Singgah Prolife. Aspek yang ingin digali Pertanyaan Latar belakang anak penghuni Rumah Singgah a. Siapa nama lengkap kamu? Prolife b. Berapa usia kamu saat ini?
c.

Sebelum menetap di rumah singgah ini

kamu tinggal dimana? d. Sudah berapa lama kamu berada di rumah singgah ini?

e. f.

Bagaimana caranya kamu bisa berada di Setelah ini menjadi penghuni rumah

rumah singgah ini? singgah keluarga? g. Apa saja kegiatan kamu selama di rumah singgah ini? h. Apa saja fasilitas yang diberikan rumah Kritik diri singgah prolife terhadap kamu? a. Bagaimana kamu memandang dirimu sendiri? b. Bagaimana memandangmu? c. Menurutmu apa saja kelebihan yang kamu miliki? d. Menurutmu apa saja kekurangan yang Harga diri kamu miliki? a. Bisa kamu ceritakan apa saja cara orang lain masihkah mengunjungi

kemampuan yang kamu miliki? b. Apa kamu pernah merasakan sebuah pengalaman berhasil melakukan sesuatu? Integrasi diri Bisakah diceritakan? a. Bagaimana penilaiain kamu terhadap dirimu? b. Menurut kamu apa saja peran yang kamu miliki?
c.

Apa kamu memiliki cita-cita tertentu?

Jika ada bisa diceritakan? Jika tidak tanyakan apakah kamu memiliki sebuah keinginan yang kamu capai? d. Apa yang sudah kamu lakukan untuk mencapai cita-cita/keinginan tersebut?

Keyakinan diri

a.

Pernahkah kamu bertemu dengan orang

baru yang belum kamu kenal? b. Apa yang sudah kamu lakukan agar orang tersebut dapat mengenal diri kamu? c. Apa saja hal-hal yang kamu yakini itu sangat kamu banget?

Daftar Pustaka (2008). Rumah Singgah yang Bersahaja. Diakses pada tanggal 9 April 2012 dari http://matakumatamu.multiply.com/journal/item/107/Rumahrumah_singgah_yang_bersahaja....?&show_interstitial=1&u=%2Fjournal%2Fitem (2009). Konsep Diri. Diakses pada tanggal 9 April 2012 dari http://www.masbow.com/2009/07/konsep-diri.html (2010). Konsep Diri Positif dan Konsep Diri Negatif. Diakses pada tanggal 21 Maret 2012 dari http://www.duniapsikologi.com/konsep-diri-positif-dan-konsep-diri-negatif/ (2010). Pengertian Konsep Diri. Diakses pada tanggal 21 Maret 2012 dari http://belajarpsikologi.com/pengertian-konsep-diri/. Badan Koordinasi Kegiatan Kesejahteraan Sosial DKI Jakarta. (1989). Penelitian Tentang Anak Jalanan. Kerjasama dengan Jurusan Psikologi Sosial Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.

Departemen Sosial RI, 2005. Petunjuk Teknis Pelayanan Sosial Anak Jalanan. Departemen Sosial Republik Indonesia. Jakarta. Departemen Pendidikan Nasional. 2002. Sistem Penanganan Bagi Anak Jalanan dan Terlantar. Makalah Seminar Pengembangan Model Penanganan Anak Jalanan Melalui Fungsionalisasi Rumah Singgah di Indonesia, 20-22 Agustus 2002. ICMI. Jakarta. Dwi, H. I. (2011). Hubungan antara Konsep Diri dengan Konformitas pada Anak Jalanan Jaringan Kemanusiaan Jawa Timur (JKJT) Kota Malang. Di akses pada 11 April 2012 dari http://karya-ilmiah.um.ac.id/index.php/BK-Psikologi/article/view/12503 Feist, J. & Feist, G. J. (2009). Theories of Personality (ed.7). McGraw-Hill: New York. Krismiyarsi, dkk. 2004. Efektivitas Kebijakan Pemerintah Mengenai Penanganan Anak Jalanan Melalui Rumah Singgah. Laporan Penelitian. Fakultas Hukum. Universitas 17 Agustus 1945. Semarang. Maruli, A. (2010, 16 Februari). Lebih Dari Setengah Rumah Singgah Tidak Aktif. Diakses pada 11 April 2012 dari http://www.yiela.com/view/923462/lebih-dari-setengah-rumah-singgahtidak-aktif Pamuchtia, Y. & Pandjaitan, N. K. (2010). Konsep Diri Anak Jalanan: Kasus Anak Jalanan di Kota Bogor Provinsi Jawa Barat.

Purwanti, M., Dahesihsari, R. & Halim, M. S. (1995). Laporan penelitianL Hubungan antara konsep diri dengan motif berprestasi pada remaja akhir di DKI Jakarta (Penelitian pada mahasiswa perguruan tinggi di wilayah Jakarta Selatan). Jakarta: Direktorat Pembinaan Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Fakultas Psikologi Atma Jaya Jakarta. Sanie, S. Y. R., Moeliono, L., & Marthini, T. (2000). Evaluasi Konsep Pelayanan Sosial Bagi Anak Jalanan Melalui Rumah Singgah. Jakarta: Pusat Kajian Pembangunan Masyarakat Unika Atma Jaya, bekerja sama dengan Depsos RI. Santrock, J.W. (2009). Life Span Development. McGraw Hill : New York Seligman, Martin E.P. 1995. The Optimistic Child. New York: Houghton Mifflin. Steinberg, L. (1993). Adolescence. (Cet. ke-3). USA: MCGraw-Hill. Sundberg, N. D. (1977). Assessment of Persons. New Jersey: Prentice-Hall.

Yudi, Kespa Krismituhu. 2006. Analisis Peranan Rumah Singgah Perlindungan Anak Jalanan. Skripsi. Program Studi Komunikasi Pengembangan Masyarakat, Fakultas Pertanian,IPB. Bogor.

Anda mungkin juga menyukai