Anda di halaman 1dari 13

PENYIMPANGAN SEKS PADA REMAJA M. Nur Khamim F.

091910101098 Jurusan Teknik Mesin, Fakultas Teknik, Universitas Jember

Abstrak Many factors led to the emergence of defiant behavior among adolescent. Among these are as follow: first, loosening grip on religian. Has become atragedy of the develope world, where almost everything can be achieved with science, so that the confidence ranges of urgency, a symbol of trust in the Lordlives, restrictions and provisions of god are not ignored anymore. By looseningones grip religius impositions, then there goes the power controller which is inhim. Thus the only means of oversight And control is a moral society with itslaws and regulations. But usually it is not as strong community controller supervision from within one self. Because community supervisin that comes from outside, if people do not know, or no one is sipposed to be informed, be happy that people would dare to violate the rules and social laws. And when that manypeople in the community who violate the moral, by itself had little faith that people will be easy to replicate also do the same offenses. But if everyone unwavring belief in god and religion run in earnest, no longer need a watchful eye, because everyone was able to fend for themselves, do not want to violate Gods laws and regulations. Key words: deviation teens, loosening grip of religion, law and society with rules, sexual behavior.

Abstrak Banyak faktor yang menyebabkan timbulnya prilaku menyimpang dikalangan para remaja. Di antaranya adalah sebagai berikut: Pertama, longgarnya pegangan terhadap agama . Sudah menjadi tragedi dari dunia maju, dimana segala sesuatu hampir dapat dicapai dengan ilmu pengetahuan, sehingga keyakinan beragam mulai terdesak, kepercayaan kepada Tuhan tinggal simbol, larangan-larangan dan suruhan-suruhan Tuhan tidak diindahkan lagi. Dengan longgarnya pegangan seseorang peda ajaran agama, maka hilanglah kekuatan pengontrol yang ada didalam dirinya. Dengan demikian satu-satunya alat pengawas dan pengatur moral yang dimilikinya adalah masyarakat dengan hukum dan peraturanya. Namun biasanya pengawasan masyarakat itu tidak sekuat pengawasan dari dalam diri sendiri. Karena pengawasan masyarakat itu datang dari luar, jika orang luar tidak tahu, atau tidak ada orang yang disangka akan mengetahuinya, maka dengan senang hati orang itu akan berani melanggar peraturan-peraturan dan hukum-hukum sosial itu. Dan apabila dalam masyarakat itu banyak orang yang melakukuan pelanggaran moral, dengan sendirinya orang yang kurang iman tadi akan mudah pula meniru melakukan pelanggaranpelanggaran yang sama. Tetapi jika setiap orang teguh keyakinannya kepada Tuhan serta menjalankan agama dengan sungguh-sungguh, tidak perlu lagi adanya pengawasan yang ketat, karena setiap orang sudah dapat menjaga dirinya sendiri, tidak mau melanggar hukum-hukum dan ketentuan-ketentuan Tuhan. Kata kunci: Penyimpangan remaja, longgarnya pegangan agama, masyarakat dengan hukum dan peraturannya, perilaku seksual.

PENDAHULUAN

Masa remaja adalah masa peralihan yang bukan hanya dalam arti psikologis tetapi juga fisiknya. Peralihan dari anak ke dewasa ini meliputi semua aspek perkembangan yang dialami sebagai persiapan memasuki masa dewasa. Santrock (2002) mempertegas bahwa remaja adalah masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa yang dimulai saat anak menunjukkan tanda-tanda pubertas dan dilanjutkan dengan terjadinya perubahan-perubahan dari yang bukan seksual menjadi seksual pada individu. Pada masa ini remaja mempunyai keinginan besar sekali terutama dalam masalah seksualitas. Rasa ingin tahu inilah yang mendorong remaja untuk mencari informasi tentang seksualitas. Dorongan rasa ingin tahu ini, kalau tidak terpenuhi dengan bimbingan dan penerangan yang benar, dikhawatirkan mereka memiliki anggapan yang salah mengenai masalahmasalah yang berkenaan dengan seks, lebih dikhawatirkan lagi jika kotor dan cabul. Kalau keadaan mereka ini dibiarkan tanpa ada usaha untuk memberikan pemahaman pendidikan seks yang sesuai dengan agama, tidak mustahil akan tercipta penyimpangan seks pada remaja tersebut. Basri (2000) menyatakan bahwa masa remaja yang dilalui tidak ubahnya sebagai suatu jembatan penghubung antara masa tenang yang selalu bergantung pada pertolongan dan perlindungan dari orang tua dengan masa berdiri sendiri, bertanggung jawab dan berpikir matang. Permasalahan yang menyebabkan mereka bingung dan menderita serta tidak mengerti secara pasti tentang apa yang seharusnya dilakukan adalah dorongan seks yang sedang muncul dan melanda kehidupannya. Berkaitan dengan permasalahan seks yang diungkapkan di atas, Sarwono (1994) menyatakan bahwa secara psikologis bentuk perilaku seks remaja pada dasarnya adalah normal sebab prosesnya memang dimulai dari rasa tertarik kepada orang lain, muncul gairah diikuti puncak kepuasan dan diakhiri dengan penenangan. Ukuran normal ini akan menjadi berbeda ketika norma masyarakat dan norma agama ikut terlibat. Norma Indonesia belum mengizinkan adanya perilaku seksual remaja yang mengarah kepada hubungan seksual pranikah (sexual intercourse extra marital), demikian pula norma agama-agama di Indonesia ini.

Gejala terjadinya hubungan seks sebelum menikah sudah sampai pada tingkat yang cukup tinggi dan fenomena tersebut tidak hanya terjadi di kota-kota besar namun sudah mulai merambah ke kota-kota kecil. Banyak praktik pada zaman dahulu terkesan sangat tabu, seperti semakin maraknya seks di kos-kosan atau ayam kampus sekarang sudah menjadi menu media masa sehari-hari. Berita lain menyebut adanya mahasiswa di kota Malang yang mempunyai prinsip sex just for fun atau sex in the car, yaitu hubungan seks yang dilakukan di dalam mobil (Jawa Pos, 3 Januari 2004). Suatu fenomena yang menarik adalah bahwa hubungan seksual sebelum menikah justru banyak dilakukan oleh remaja yang berpacaran. Meskipun tidak semua remaja berpacaran melakukan hal tersebut, tetapi dari fakta tersebut menunjukan kecenderungan mengkhawatirkan dan memprihatinkan. Ironisnya, bujukan atau permintaan pacar merupakan motivasi untuk melakukan hubungan seksual dan hal ini menempati posisi keempat setelah rasa ingin tahu, agama

atau keimanan yang kurang kuat serta terinspirasi dari film dan media massa (Laily dan Matulessy, 2004). Kekeliruan remaja yang masuk ke dunia seks bebas (free sex) sebenarnya tidak sepenuhnya berasal dari diri mereka sendiri. Iklim yang mendukung menyebabkan remaja banyak bertindak di luar batas. Situasi kondusif itu di antaranya adalah toleransi yang longgar dari masyarakat terhadap perilaku yang melanggar moral dan kebebasan teknologi informasi yang semakin tidak terbendung. Menurut Przybyla (Hidayah, 1992), masyarakat sering kali disuguhi majalah, film, acara televisi, lagu, iklan dan produk-produk yang berdaya khayal dan mengandung pesan ke arah seksual yang merupakan pelengkap konsep realita masyarakat yang dikenal dengan istilah pornografi, merangsang gairah seksual, mendorong orang gila seks, meruntuhkan nilai-nilai moral.

Rumusan Masalah Penyebab seks bebas pada remaja dan akibatnya, serta hal-hal yang mendorong para remaja melakukan seks bebas.

Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan mensosialisasikan akibat free sex: 1. Hubungan antara interaksi teman sebaya dengan intensi perilaku seks pranikah pada remaja. 2. Tingkat interaksi teman sebaya dengan intensi perilaku seks pranikah pada remaja. 3. Bahayanya berhubungan seks bebas (free sex). 4. Akibat dari seks bebas (fee sex). 5. Penyebab maraknya seks bebas pada remaja. 6. Penyebab rentannya remaja terhadap HIV/AIDS. 7. Meningkatkan kesadaran akan resiko free sex khususnya pada remaja.

TINJAUAN PUSTAKA Remaja memiliki peran besar dalam menentukan tingkat pertumbuhan penduduk yang diindikasikan dengan besarnya proporsi remaja (Indrawanti, 2002). Menurut WHO (1995) seperlima dari penduduk dunia adalah remaja berusia 10-19 tahun. Sekitar 20 persen dari penduduk Indonesia adalah remaja berusia 15-24 tahun atau setara dengan 41,4 juta orang (Kitting, 2004). Pada masa ini terjadi perubahan fisik yang ditandai dengan munculnya tanda-tanda seks primer dan sekunder serta perubahan kejiwaan meliputi perubahan emosi menjadi sensitif dan perilaku ingin mencoba hal-hal baru (Depkes, 2003). Perilaku ini jika didorong oleh rangsangan seksual dapat membawa remaja pada perilaku yang dampaknya merugikan remaja itu sendiri. Hubungan seks pranikah dapat mengakibatkan penularan PMS dan HIV-AIDS, kehamilan di luar nikah dan aborsi tidak aman (Depkes, 2003). Pada remaja sering terjadi penyalahgunaan NAPZA yang biasanya diikuti hubungan seksual di luar nikah dengan berganti-ganti pasangan yang meningkatkan risiko tertular PMS dan HIVAIDS (Depkes, 2003). Penelitian yang dilakukan LD-FEUI melaporkan bahwa 50,3% remaja lakilaki dan 57.7% remaja perempuan mengetahui bahwa kehamilan dapat terjadi meskipun hanya satu kali melakukan hubungan seksual. Terlihat masih kurangnya
4

pengetahuan remaja mengenai kesehatan reproduksi yang meningkatkan resiko terjadinya kehamilan tak diinginkan yang mengarah pada aborsi (Tanjung, 2001). Data survei PKBI menunjukkan bahwa dari 2558 kejadian aborsi tahun 1994, 58% terjadi pada remaja usia 15-24 tahun, dimana 62% diantaranya belum menikah. Ditemukan pula 9 kasus aborsi pada remaja di bawah usia 15 tahun (Rosdiana, 1998). Penderita HIV-AIDS dilaporkan Depkes pada September 2000 sebagian besar berusia di bawah 20 tahun yang tertular melalui hubungan seks tidak aman dan penggunaan jarum suntik terinfeksi bergantian (Tanjung, 2001). Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya perubahan pandangan perilaku seksual pada remaja karena pengawasan dan perhatian orang tua dan keluarga yang longgar, pola pergaulan bebas, lingkungan permisif, semakin banyaknya halhal yang memberikan rangsangan seksual sangat mudah dijumpai dan fasilitas sering kali diberikan oleh keluarga tanpa disadari. Perubahan pandangan yang mempengaruhi perilaku seksual tampak pada masa pacaran. Masa pacaran telah diartikan menjadi masa untuk belajar melakukan aktivitas seksual dengan lawan jenis, mulai dari ciuman ringan, ciuman maut, saling masturbasi, seks oral, bahkan sampai hubungan seksual (Pangkahila, 1997). Penelitian di Amerika Serikat tahun 1995 terhadap remaja berusia 15-19 tahun menunjukan 55% remaja telah melakukan hubungan seksual dan 75% diantaranya melakukan aktivitas seksual tersebut di rumah orang tua (Pangkahila, 2004). Sampai saat ini di Indonesia belum ada data berskala nasional tentang prevalensi hubungan seksual di luar nikah di kalangan remaja (Abraham, 2003). Hasil penelitian LD-FEUI tahun 1999 di 35 kota menunjukan 35% responden pernah melakukan hubungan seksual di luar nikah (Tanjung, 2001). Penelitian yang dilakukan PKBI pada tahun 1995 di Bukit tinggi Sumatra Barat menemukan 21% remaja telah melakukan hubungan seks, di Payakumbuh 13% dan di Padang 10,5% (Depkes,2003b). Penelitian yang dilakukan Neni A (2004) pada murid SMU 9 Padang menemukan 7,8% murid telah melakukan hubungan seks.

METODE PENELITIAN Pengumpulan data dilakukan secara online dan dari sumber yang dapat dipercaya, serta dirangkum guna mendapatkan hasil yang lebih baik.

PEMBAHASAN
Penyimpangan Seks Pada Remaja

Kita telah ketahui bahwa kebebasan bergaul remaja memang diperlukan agar mereka tidak kuper yang biasanya jadi anak mama. "Banyak teman maka banyak pengetahuan". Namun tidak semua teman kita sejalan dengan apa yang kita inginkan. Mungkin mereka suka hura-hura, suka dengan yang berbau pornografi dan tentu saja ada yang bersikap terpuji. Oleh karena itu memilih teman itu penting, apalagi bagi mereka yang mudah terbawa arus dan kurang bisa menjaga diri agar kita tidak terjerumus ke pergaulan bebas yang menyesatkan. Masa remaja merupakan suatu masa yang menjadi bagian dari kehidupan manusia yang di dalamnya penuh dengan dinamika. Dinamika kehidupan remaja ini akan sangat berpengaruh terhadap pembentukan diri remaja itu sendiri. Masa remaja dapat dicirikan dengan banyaknya rasa ingin tahu pada diri seseorang dalam berbagai hal, tidak terkecuali bidang seks. Seiring dengan bertambahnya usia seseorang, organ reproduksipun mengalami perkembangan dan pada akhirnya akan mengalami kematangan. Kematangan organ reproduksi dan perkembangan psikologis remaja yang mulai menyukai lawan jenisnya serta arus media informasi baik elektronik maupun non elektronik akan sangat berpengaruh terhadap perilaku seksual individu remaja tersebut. Salah satu masalah yang sering timbul pada remaja terkait dengan masa awal kematangan organ reproduksi pada remaja adalah masalah kehamilan yang terjadi pada remaja diluar pernikahan. Apalagi apabila Kehamilan tersebut terjadi pada usia sekolah. Siswi yang mengalami kehamilan biasanya mendapatkan respon dari dua pihak. Pertama yaitu dari pihak sekolah, biasanya jika terjadi kehamilan pada siswi, maka yang sampai saat ini terjadi adalah sekolah meresponya dengan sangat buruk dan berujung dengan dikeluarkannya siswi tersebut dari sekolah. Kedua yaitu dari lingkungan di mana siswi tersebut tinggal, lingkungan akan cenderung mencemooh dan mengucilkan siswi tersebut. Hal tersebut terjadi jika karena masih kuatnya nilai norma kehidupan masyarakat kita. Kehamilan remaja adalah isu yang saat ini mendapat perhatian pemerintah, karena masalah kehamilan remaja tidak hanya membebani remaja sebagai individu dan bayi mereka, namun juga mempengaruhi secara luas pada seluruh strata di

masyarakat dan juga membebani sumber-sumber kesejahteraan, namun alasanalasannya tidak sepenuhnya dimengerti. Beberapa sebab kehamilan termasuk rendahnya pengetahuan tentang keluarga berencana, perbedaan budaya yang menempatkan harga diri remaja di lingkungannya, perasaan remaja akan ketidakamanan atau impulsifisitas, ketergantungan kebutuhan dan keinginan yang kuat untuk mendapatkan kebebasan. Selain masalah kehamilan pada remaja masalah yang juga sangat menggelisahkan berbagai kalangan dan juga banyak terjadi pada masa remaja adalah banyaknya remaja yang mengidap HIV/AIDS.

Usia Pubertas Remaja yang mengalami usia puber dini mempunyai peluang berperilaku seksual berisiko berat 4,65 kali dibanding responden dengan usia pubertas normal (95%CI=1,99-10,85). Dari penelitian (Affandi, 1991) dinyatakan terjadi percepatan masa pubertas bagi perempuan. Sekarang pada usia 12 tahun atau kurang telah terjadi pubertas pada perempuan. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil analisa WHO (2004) bahwa pubertas dini merupakan faktor risiko perilaku seksual. Pubertas sebagai tanda awal keremajaan tidak lagi valid sebagai patokan pengkategorian remaja sebab usia pubertas yang dahulu terjadi pada 15-18 tahun kini terjadi pada awal belasan bahkan sebelum usia 11 tahun. Menurunnya usia kematangan ini disebabkan oleh membaiknya gizi sejak masa anak-anak dan keterpaparan remaja pada media informasi melalui media elektronik dan cetak.

Pola Asuh Orang Tua Umumnya responden diasuh oleh orang tuanya dalam 3 tahun terakhir (94,6%). Sekitar 92,6% orang tua tahu kapan anaknya pulang dan 84,3% tahu apa yang dikerjakan anaknya di rumah. Sebagian besar responden langsung pulang ke rumah seusai sekolah (67,4%). Responden yang tidak langsung pulang ke rumah biasanya karena pergi les (42,2%), pergi ke rumah teman (31%), jalan-jalan ke pasar atau pusat perbelanjaan (20%) dan pergi dengan pacarnya (6%).

Pola asuh demokratis diletakkan sebagai pola asuh, di antara pola asuh permisif dan pola asuh otoriter. Untuk interpretasinya dilihat kecendrungan dari responden pada salah satu pola asuh orang tuanya. Responden dengan pola asuh permisif mempunyai peluang 600,92 kali berperilaku seksual berisiko berat dibandingkan demokratis dan otoriter (95%CI=131,9-2736,8). Berdasarkan analisis multivariat pola asuh merupakan faktor yang paling berhubungan dengan perilaku seksual setelah dikontrol oleh variabel lain. Penelitian yang dilakukan Prastana tahun 2005 dan analisa WHO pada berbagai literatur kesehatan reproduksi dari seluruh dunia yang menyatakan bahwa pola asuh adalah merupakan faktor risiko perilaku seksual risiko berat. Berbagai interaksi antara remaja dengan orang tua menunda bahkan mengurangi Perilaku hubungan seksual pada remaja karena tidak adanya pengawasan dari orang tua akan mempercepat remaja melakukan hubungan seksual. Menurut Mesche (1998) remaja yang diawasi oleh orang tuanya, remaja dengan pola asuh otoriter, remaja yang berasal dari keluarga yang konservatif dan memegang kuat tradisi dan remaja mempunyai hubungan akrab dengan orang tuanya akan menunda umur pertama melakukan hubungan seksual. Pengawasan orang tua merupakan faktor penting yang mempengaruhi perilaku seksual remaja. Pada remaja yang diawasi orang tuanya akan menunda bahkan menghindari hubungan seksual sedangkan pada remaja tanpa pengawasan orang tua akan melakukan hubungan seksual pertama pada usia lebih dini. Dari Studi Kesehatan Remaja Nasional Amerika Serikat yang dilakukan Esther Wilder dari Lehman College di New York dan Toni Terling Watt dari Southwest Texas State University (2006) menyebutkan lebih dari 50 persen remaja yang orang tuanya perokok, ditemukan sudah memiliki pengalaman seksual sejak usia 15 tahun. Remaja yang orang tuanya terlibat dalam perilaku berbahaya untuk kesehatan seperti merokok, umumnya memiliki perilaku seksual yang sangat aktif sejak usia sangat muda. Selain meniru perilaku merokok orang tua mereka, anakanak ini juga minum alkohol, berhubungan seks, menggunakan narkotika atau apapun yang biasa digunakan kawan-kawan sebayanya. Selain itu mereka juga lebih mudah terjerumus dalam tindak kejahatan.

Status Perkawinan Orang Tua Responden dengan struktur keluarga tidak lengkap mempunyai peluang 3,75 kali untuk berperilaku seksual berisiko berat dibanding struktur keluarga lengkap (95%CI=1,71-6,38). Penelitian Prastana tahun 2005 pada remaja Puertorico. Secara teoritis keutuhan keluarga dapat berpengaruh terhadap perilaku remaja. Ayah akan menjadi panutan bagi remaja laki-laki dan ibu menjadi panutan bagi remaja perempuan. Perilaku orang tua merupakan contoh bagi anaknya, umumnya remaja bermasalah datang dari keluarga yang tidak utuh.

Pengetahuan Tentang Kesehatan Seksual Remaja dengan pengetahuan relatif rendah mempunyai peluang 11,90 kali berperilaku seksual berisiko berat dibandingkan pengetahuan relatif tinggi (95%CI=4,56- 28,61). Pengetahuan remaja tentang kesehatan seksual masih rendah, umumnya yang menjawab benar dibawah 50%, hanya mengenai PMS, HIV-AIDS diatas 50%. Hal ini sejalan dengan penelitian Kitting dan Tanjung, serta hasil Survai Kesehatan Reproduksi Remaja Indonesia tahun 2002-2003. Rendahnya pengetahuan pada remaja disebabkan kurangnya informasi yang diterima remaja. Remaja lebih banyak menerima informasi dari media elektronik seperti televisi. Di televisi informasi sebagian besar informasi hanya sebatas mengenai PMS dan HIV-AIDS sedangkan informasi kesehatan reproduksi dan seksual masih jarang. Adanya anggapan bahwa membicarakan tentang kesehatan seksual adalah hal yang memalukan dan tabu bagi keluarga dan masyarakat membuat remaja yang haus informasi berusaha sendiri mencari informasi. Terkadang informasi yang di dapat malah menyesatkan dan setengah-setengah. Menurut Surono (1997) pengetahuan yang setengah-setengah justru lebih berbahaya ketimbang tidak tahu sama sekali, tetapi ketidak tahuan juga membahayakan. Pengetahuan seksual yang hanya setengah-setengah tidak hanya mendorong remaja untuk mencoba-coba, tapi juga bisa menimbulkan salah persepsi.

Data dan Fakta HIV/AIDS Dilihat dari jumlah pengidap dan peningkatan jumlahnya dari waktu ke waktu, maka HIV (Human Immunodeficiency Virus) dan AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome) sudah dapat dianggap sebagai ancaman hidup bagi masyarakat Indonesia. Berdasarkan laporan Departemen Kesehatan sampai Juni 2003 jumlah pengidap HIV/AIDS atau ODHA (Orang Yang Hidup Dengan HIV/AIDS) di Indonesia adalah 3.647 orang terdiri dari pengidap HIV 2.559 dan penderita AIDS 1.088 orang. Dari jumlah tersebut, kelompok usia 15 - 19 berjumlah 151 orang (4,14%); 19-24 berjumlah 930 orang (25,50%). Ini berarti bahwa jumlah terbanyak penderita HIV/AIDS adalah remaja dan orang muda. Dari data tersebut, dilaporkan yang sudah meninggal karena AIDS secara umum adalah 394 orang (Subdit PMS & AIDS, Ditjen PPM & PL, Depkes R.I.). Diperkirakan setiap hari ada 8.219 orang di dunia yang meninggal karena AIDS, sedangkan di kawasan Asia Pacific mencapai angka 1.192 orang. Data dan fakta tersebut belum mencerminkan keadaan yang sebenarnya, melainkan hanya merupakan "puncak gunung es". Artinya, yang kelihatan atau dilaporkan hanya sedikit, sementara yang tidak kelihatan atau tidak dilaporkan jumlahnya berkali-kali lipat. Para ahli memperkirakan bahwa jumlah sebenarnya bisa 100 kali lipat.

Remaja dan HIV/AIDS Penularan virus HIV ternyata menyebar sangat cepat di kalangan remaja dan kaum muda. Penularan HIV di Indonesia terutama terjadi melalui hubungan seksual yang tidak aman, yaitu sebanyak 2.112(58%) kasus. Dari beberapa penelitian terungkap bahwa semakin lama semakin banyak remaja di bawah usia 18 tahun yang sudah melakukan hubungan seks. Cara penularan lainnya adalah melalui jarum suntik (pemakaian jarum suntik secara bergantian pada pemakai narkoba, yaitu sebesar 815 (22,3%) kasus dan melalui transfusi darah 4 (0,10%)

10

kasus). FKUl-RSCM melaporkan bahwa lebih dari 75% kasus infeksi HIV di kenaikan menyolok dibanding beberapa tahun yang lalu.

Beberapa penyebab rentannya remaja terhadap HIV/AIDS adalah: 1. Kurangnya informasi yang benar mengenai perilaku seks yang aman dan upaya pencegahan yang bisa dilakukan oleh remaja dan kaum muda. Kurangnya informasi ini disebabkan adanya nilai-nilai agama, budaya, moralitas dan lain-lain, sehingga remaja seringkali tidak memperoleh informasi maupun pelayanan kesehatan reproduksi yang sesungguhnya dapat membantu remaja terlindung dari berbagai resiko termasuk penularan HIV/AIDS. 2. Perubahan fisik dan emosional pada remaja yang mempengaruhi dorongan seksual. Kondisi ini mendorong remaja untuk mencari tahu dan mencobacoba sesuatu yang baru, termasuk melakukan hubungan seks dan penggunaan narkoba. 3. Adanya informasi yang menyuguhkan kenikmatan hidup yang diperoleh melalui seks, alkohol, narkoba dan sebagainya yang disampaikan melalui berbagai media cetak atau elektronik. 4. Adanya tekanan dari teman sebaya untuk melakukan hubungan seks, misalnya untuk membuktikan bahwa mereka adalah jantan. 5. Resiko HIV/AIDS sukar dimengerti oleh remaja, karena HIV/AIDS mempunyai periode inkubasi yang panjang, gejala awalnya tidak segera terlihat. 6. Informasi mengenai penularan dan pencegahan HIV/AIDS rupanya juga belum cukup menyebar di kalangan remaja. Banyak remaja masih mempunyai pandangan yang salah mengenai HIV/AIDS. 7. Remaja pada umumnya kurang mempunyai akses ke tempat pelayanan kesehatan reproduksi dibanding orang dewasa. Hal tersebut dibuktikan dengan banyaknya remaja yang terkena HIV/AIDS tidak menyadari bahwa mereka terinfeksi, kemudian menyebar ke remaja lain, sehingga sulit dikontrol.

11

HIV dan AIDS HIV adalah singkatan dari Human Immunodeficiency Virus. Merupakan virus penyebab AIDS yang melemahka sistem kekebalan tubuh. AIDS adalah singkatan dari Acquired Immune Deficiency Syndrome yang merupakan kumpulan dari beberapa gejala akibat menurunnya sistem kekebalan tubuh yang disebabkan oleh HIV sehingga orang yang telah terinfeksi HIV mudah diserang berbagai penyakit yang bisa mengancam hidupnya.

KESIMPULAN 1. Kekeliruan remaja yang masuk ke dunia seks bebas (free sex) bukan sepenuhnya berasal dari diri mereka sendiri, tetapi iklim yang mendukung menyebabkan remaja banyak bertindak di luar batas dan didukung toleransi yang longgar dari masyarakat terhadap perilaku yang melanggar moral dan kebebasan teknologi informasi yang semakin tidak terbendung. 2. Lingkungan sosial mempunyai peranan besar terhadap perkembangan remaja. 3. Kehadiran teman dan keterlibatannya di dalam suatu kelompok membawa pengaruh tertentu, baik dalam arti positif maupun dalam arti negatif. 4. Free sex berpotensi besar terhadap virus HIV/AIDS. 5. Kurangnya informasi yang benar mengenai perilaku seks yang aman dan upaya pencegahan yang bisa dilakukan oleh remaja dan kaum muda. Kurangnya informasi ini disebabkan minimalnya nilai-nilai agama, budaya, moralitas dan lain-lain, sehingga remaja seringkali tidak memperoleh informasi maupun pelayanan kesehatan reproduksi yang sesungguhnya dapat membantu remaja terlindung dari berbagai resiko termasuk penularan HIV/AIDS.

SARAN 1. Perlu diadakannya upaya pencegahan melalui konseling HIV/AIDS pra test dan post test.

12

2. Penanaman nilai-nilai agama, budaya dan moralitas pada remaja. 3. Peran orang tua, lingkungan dan teman dalam pencegahan free sex. 4. Mengadakan seminar untuk remaja dan orang tua tentang kesehatan reproduksi. 5. Perlu adanya perhatian orang tua terhadap anak-anaknya. 6. Perlu adanya Informasi dan penyuluhan tentang kesehatan reproduksi dan seksualitas 7. Membatasi pengaksesan hal-hal yang mengarah dan berbau pornografi pada media cetak dan elektronik.

DAFTAR PUSTAKA

UNESCO and UNAIDS. 2002. HIV/AIDS and Education: A Too/kit for Ministries of Education Dep. Kesehatan RI. 1997. AIDS di Tempat Kerja. Jakarta Mappiare, A. (1992). Psikologi Remaja. Surabaya: Usaha Nasional. ebookPP.com scribd.com google.com

13

Anda mungkin juga menyukai