Anda di halaman 1dari 17

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Anak retardasi mental mempunyai kelainan dalam perilaku adaptif dan adanya kecerdasan yang berada di bawah rata-rata normal (IQ kurang dari 70) (Delphie, 2002) sehingga mengalami keterlambatan menangkap pelajaran, keterampilan merawat diri, keterampilan motorik, pengembangan pemahaman dan penggunaan bahasa (Resna L&Sunjaya, 2002). Salah satu gejala yang harus segera diatasi adalah kurangnya kemampuan merawat diri. Kemampuan merawat diri yang terganggu menyebabkan status kesehatan menurun dan mudah terjadi komplikasi penyakit lain (Keliat, 1998). Berdasarkan hal tersebut, pada program pendidikan anak retardasi mental, didapatkan suatu pengajaran merawat diri sebagai penunjang anak retardasi mental untuk mengurus diri sendiri dan menyesuaikan diri dengan lingkungannya (Depdikbud, 2002). Tetapi ternyata masih ditemukan anak yang kemampuan perawatan dirinya terganggu. Hambatan perawatan diri dapat ditanggulangi dengan menerapkan terapi bermain: skill play. Terapi bermain: skill play merupakan salah satu upaya untuk membantu anak retardasi mental. Menurut Astati (1995), terapi bermain: skill play untuk anak retardasi mental adalah usaha membantu anak retardasi mental agar dapat berkembang aspek fisik, intelektual, sosialnya secara optimal khususnya dalam kemampuan merawat diri melalui bermain. Skill play untuk kemampuan merawat diri sangat penting agar anak mampu dan terampil dalam perawatan diri, mengurangi ketergantungan kepada orang lain, mampu menjaga kebersihan dan kesehatan serta menumbuhkan kepercayaan diri yang kuat. Di Indonesia tahun 2009, prevalensi penduduk yang menderita retardasi mental sekitar 13% yaitu 85% retardasi mental ringan, 10% retardasi mental sedang, 4% retardasi mental berat dan 1-2% retardasi mental sangat berat (Jasmine, 2009). Keterbatasan kemampuan merawat diri pada anak retardasi mental adalah perilaku maladaptif yang merupakan akibat dari rendahnya fungsi intelektual (Delphie, 2002). Rendahnya fungsi intelektual pada anak retardasi mental menimbulkan keterlambatan dalam proses kognitifnya. Akibatnya berpengaruh pada rendahnya kesadaran dalam bereaksi terhadap lingkungan dan tidak memiliki keinginan berusaha sendiri (Amin, 1995). Sehingga menyebabkan status kesehatan menurun dan mudah terjadi komplikasi penyakit lain (Keliat, 1998). Adanya

program pendidikan merawat diri yang diberikan di sekolah saja tidak cukup untuk membantu memaksimalkan kemampuan merawat diri anak. Dibutuhkan terapi bermain: skill play untuk memfasilitasi dan memperkuat perilaku merawat diri (Astati, 1995). Skill play dilakukan dengan menggunakan permainan modeling. Anak seolah-olah mengalami sendiri keterampilan yang didemonstrasikan melalui permainan. Bermain bekerja dengan baik ketika dikombinasikan dengan modeling dan penguatan. (Bandura, 1965). Dengan terapi bermain: skill play diharapkan proses penyerapan kognitif anak retardasi mental lebih baik sehingga waktu pembelajaran merawat diri lebih singkat jika dibandingkan program pendidikan di sekolah.

1.2 Rumusan Masalah Adakah pengaruh terapi bermain: skill play terhadap kemampuan perawatan diri pada anak retardasi mental ?

1.3 Tujuan 1.3.1 Tujuan Umum Membuktikan pengaruh terapi bermain: skill play terhadap kemampuan perawatan diri pada anak retardasi mental. 1.3.2 Tujuan Khusus Menganalisis pengaruh terapi bermain: skill play terhadap kemampuan perawatan diri pada anak retardasi mental. 1.4 Manfaat 1.4.2 Manfaat Teoritis Terapi bermain: skill play dapat digunakan sebagai stimulus untuk mendorong anak retardasi mental dalam berinisiatif dan membentuk perilaku perawatan diri. 1.4.3 Manfaat Praktis 1. Dapat digunakan oleh orang tua/keluarga sebagai alat untuk menstimulus anak agar bisa mandiri sehingga tidak terjadi ketergantungan seumur hidup pada orang tua/keluarga. 2. Sebagai bahan pertimbangan para pengajar, untuk membantu penerapan pembelajaran merawat diri di luar sekolah sehingga tujuan pembelajaran dapat mencapai hasil yang baik dan maksimal.

3. Membantu anak untuk mandiri dalam perawatan diri sehingga anak memiliki kepribadian yang kuat, mampu beradaptasi dengan lingkungan, membantu meningkatkan rasa percaya diri dan tidak terjadi ketergantungan. 4. Dapat digunakan sebagai wacana dan bahan pertimbangan dalam melakukan asuhan keperawatan psikiatri anak dalam membantu perawatan diri dan perkembangan kemandiriannya.

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Retardasi mental 2.1.1 Pengertian Retardasi Mental Menurut American Association of Mental Retardation (AAMR) tahun 1992, retardasi mental mengacu pada keterbatasan fungsi intelektual umum di bawah normal, yaitu apabila IQ di bawah 70, bersamaan dengan kemunculan dua atau lebih ketidaksesuaian dalam aspek keterampilan adaptif yang meliputi komunikasi, merawat diri, kehidupan di rumah, keterampilan sosial, bermasyarakat, mengontrol diri, kesehatan dan keselamatan diri, keberfungsian akademik, mengatur waktu luang dan bekerja serta muncul sebelum usia 18 tahun. 2.1.2 Etiologi Retardasi Mental Penyebab retardasi mental dikelompokkan menjadi dua kategori, yakni faktor-faktor biologis (faktor-faktor yang herediter atau genetik, faktor prenatal dan faktor pada waktu kelahiran dan sesudah kelahiran) dan faktor psikososial (Semiun, 2006). 1. Faktor-faktor biologis a. Abnormalitas-abnormalitas kromosom 1. Down syndrome Down syndrome terjadi karena individu memiliki kromosom tambahan pada sepasang komosom 21. 2. Turners syndrome Turners syndrome terjadi karena wanita yang tidak memiliki satu dari dua kromosom wanita (hanya memiliki kromosom X dan bukan XX). 3. Klinefelters syndrome Kebalikan dari Turners syndrome, Klinefelters syndrome hanya terbatas pada pria dan disebabkan oleh kromosom-kromosom wanita tambahan. Susunan kromosom bukan XY, melainkan XXY atau XXXY. b. Gangguan-gangguan herediter atau genetik 1. Gangguan-gangguan yang disebabkan gen dominan Jumlah gen yang dikenal dominan dan yang menyebabkan retardasi berat sedikit karena orang-orang yang menderita gangguan ini biasanya tidak memiliki anak.

2. Gangguan-gangguan yang disebabkan gen resesif Phenylketonuria

Phenylketonuria mengakibatkan retardasi berat. Banyak orang yang mengalami gangguan ini begitu terbelakang sehingga tidak dapat berjalan atau berbicara. Tay-sachs disease

Tay-sachs disease adalah gangguan metabolisme lain yang diwariskan dan bisa menimbulkan kematian. Cretinisme

Cretinisme biasanya disebabkan oleh gen resesif yang menggunakan produksi tiroksin oleh kelenjar tiroid. c. Gangguan-gangguan yang dibawa oleh sel-sel jenis kelamin Wanita memiliki sepasang kromosom X yang diperoleh dari masing-masing orang tua dan pria menerima kromosom X dari Ibu dan kromosom Y dari Ayah. Apabila abnormalitas merusak kromosom tersebut maka retardasi hampir selalu terjadi. d. Gangguan-gangguan yang disebabkan lingkungan prenatal Infeksi-infeksi yang dialami Ibu Ada tiga macam virus yang dikenal sebagai penyebab cacat-cacat congenital, yakni virus rubella, cytomegalovirus dan herpes simplex. Infeksi-infeksi yang dialami Ibu Ada tiga macam virus yang dikenal sebagai penyebab cacat-cacat congenital, yakni virus rubella, cytomegalovirus dan herpes simplex. Retardasi juga dapat terjadi apabila ibu menderita infeksi bakteri, seperti sifilis dan herpes. Ketidakcocokan darah dan kondisi ibu yang kronis Zat-zat biokimia dalam janin menyebabkan ibu mengembangkan respons antibodi terhadap bayi itu. Antibodi-antibodi ini bisa merusak jaringan-jaringan janin. Beberapa kondisi kesehatan yang kronis pada ibu mungkin juga menyebabkan retardasi pada janin, misalnya hipertensi dan diabetes. e. Masalah-masalah waktu kelahiran dan sesudah kelahiran Kondisi-kondisi tertentu waktu kelahiran dapat meningkatkan kemungkinan retardasi misalnya asphyxia (kekurangan oksigen) dan kelahiran prematur. 2. Faktor-faktor psikososial

a. Lingkungan-lingkungan psikososial terbatas Lingkungan-lingkungan sosial yang memadai dianggap ikut menunjang

perkembangan otak dan keterampilan kognitif yang lebih tinggi. b. Kebiasaan-kebiasaan berbahasa Tingkah laku verbal merupakan peran yang penting dalam menentukan inteligensi dan dalam fungsi sehari-hari. c. Gaya mengasuh anak Gaya mengasuh ibu yang baik seperti menjelaskan segala sesuatu kepada anak-anak, lebih kritis dan memberi banyak peluang kepada anak-anak mereka untuk eksplorasi diri juga sangat penting. d. Motivasi Motivasi sangat penting untuk perkembangan intelektual yang efektif sehingga anak tidak mudah menyerah dan selalu berusaha. e. Pendidikan di sekolah Sering ada perbedaan penting antar kemudahan-kemudahan yang disediakan untuk para siswa dari kelompok-kelompok rasial yang berbeda. Yang juga penting adalah sifat dari pengajaran dan interaksi di kelas. f. Perawatan fisik atau medis yang kurang baik Orang-orang dari kelas yang lebih rendah sering menerima perawatan prenatal dan postnatal yang kurang baik dibandingkan dengan orang-orang dari kelas menengah. 2.1.3 Klasifikasi Retardasi Mental Dalam diagnosis retardasi mental biasanya ditetapkan sesuai dengan tingkatan IQ dan taraf kemampuan penyesuaian diri sosial (Semiun, 2006). 1. Retardasi mental ringan Retardasi mental ringan disebut juga moron/debil. Kelompok ini memiliki IQ antara 6955 (menurut skala Wescler) dan usia mental berkisar dari 6 atau 7 sampai 11 tahun. 2. Retardasi mental sedang Anak retardasi mental sedang disebut juga imbisil. Kelompok ini memiliki IQ 54-40 (menurut skala Wescler) dan rentang usia mental 3 sampai 6 atau 7 tahun. 3. Retardasi mental berat

Anak retardasi mental berat sering disebut idiot. Retardasi mental berat (severe) memiliki IQ antara 39-25 (skala Wescler) dan retardasi mental sangat berat (profound) memiliki IQ dibawah 24 serta rentang usia mental 0 sampai 3 tahun. Sedangkan pengklasifikasian retardasi mental untuk keperluan pembelajaran sebagai berikut (Depdikbud, 1996): 1. Taraf perbatasan (borderline) dalam pendidikan disebut sebagai lamban belajar (slow learner) dengan IQ 70-85. 2. Retardasi mental mampu didik (educable mentally retarded) dengan IQ 50-70. 3. Retardasi mental mampu latih (trainable mentally retarded) dengan IQ 30-50 atau IQ 3555. 4. Retardasi mental mampu rawat (dependent or profoundly mentally reterded) dengan IQ dibawah 25 atau 30. 2.1.4 Penanganan Retardasi Mental Rita wicks-nelson dan Allen (1991) mengemukakan 3 macam intervensi yang dapat dilakukan terhadap anak-anak yang mengalami retardasi mental, yaitu: 1. Ditempatkan di lembaga Jika lingkungan tempat tinggalnya tidak memiliki fasilitas-fasilitas untuk mendidiknya, maka lebih baik ditempatkan di lembaga dimana diberikan pelajaran khusus. Banyak hal yang dapat dilakukan di dalam lembaga untuk orang-orang retardasi mental. 2. Perawatan Perawatan terhadap orang-orang yang menderita retardasi mental secara khusus menggunakan intervensi-intervensi yang bertujuan untuk mengobati masalah-masalah yang menyangkut emosi dan tingkah laku. Perawatan terhadap masalah-masalah emosi dan tingkah laku untuk orang yang mengalami retardasi mental adalah sama dengan perawatan yang digunakan untuk orang yang tidak mengalami retardasi mental tetapi hanya perawatannya disesuaikan dengan tingkat kemampuan konseptual dari pasien. 3. Pendidikan Intervensi pendidikan untuk orang yang mengalami retardasi mental untuk memenuhi kebutuhannya. Meskipun strategi pengajarannya sama dengan yang digunakan pada kelaskelas regular tetapi tetap diadakan penyesuaian-penyesuaian sejalan tingkat masing-masing.

2.2 Perawatan Diri 2.2.1 Macam-macam Perawatan Diri Adapun item-item yang terdapat dalam perawatan diri (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1999/2000) : 1. Keterampilan makan dan minum a. Makan sendiri Menyendok makanan Makan memakai sendok Memasukkan makanan kedalam mulut

b. Minum sendiri Minum dengan gelas Menuang air kedalam gelas Minum melalui sedotan

2. Berpakaian a. Celana Memakai dan membuka celana yang menggunakan resleting atau kancing Memakai dan membuka rok yang menggunakan resleting atau kancing

b. Baju Memakai dan membuka baju dalam (kaos singlet) Memakai dan membuka kaos dan kemeja

c. Ikat Pinggang Memakai dan melepaskan ikat pinggang

d. Kaos kaki Memakai dan membuka kaos kaki pendek Memakai dan membuka kaos kaki panjang

e. Sepatu Memakai dan melepas sepatu tanpa tali Mengenakan dan melepaskan sepatu yang menggunakan tali

3. Berhias diri Menyisir rambut Memakai bedak

Menggunakan minyak wangi

4. Kebersihan diri (1) a. Kebersihan tangan Mencuci tangan dengan sabun Mengelap tangan sesudah dicuci dengan handuk

b. Kebersihan muka Membersihkan muka dengan sabun Mengeringkan muka dengan handuk

5. Kebersihan diri (2) c. Kebersihan kaki Membersihkan kaki dengan sabun Mengelap kaki sesudah dibasuh dengan handuk

d. Kebersihan badan Membersihkan badan dengan sabun Mengeringkan badan dengan handuk Menyikat gigi Keramas Memotong kuku Membersihkan daun telinga Membersihkan diri sesudah buang air kecil Membersihkan diri sesudah buang air besar

2.2.2 Tujuan Perawatan Diri Tujuan diberikannya latihan perawatan diri antara lain (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1985/1986) : 1. Agar individu memiliki pengetahuan sederhana tentang perawatan diri. 2. Agar individu mengenal alat, bahan dan tempat untuk perawatan diri. 3. Agar individu mampu dan terampil dalam perawatan diri. 4. Agar individu merasa perlu perawatan diri untuk menjaga kebersihan dan kesehatan. 5. Mengurangi atau menghilangkan sifat ketergantungan kepada orang lain. 6. Agar anak dapat percaya diri karena telah mampu merawat dirinya sendiri tanpa bantuan orang lain.

2.2.3 Teknik dalam Pendidikan Merawat Diri Teknik yang digunakan dalam memberikan latihan merawat diri meliputi : a. Modelling (memberi contoh) Menunjukkan kepada siswa apa yang harus dikerjakan. b. Prompting (menuntun/mendorong) Guru melakukan/mengatakan sesuatu yang membantu siswa untuk mengerti apa yang harus dilakukan. c. Fading (mengurangi tuntutan) Tuntutan dikurangi secara bertahap sejalan dengan keberhasilan siswa dalam menguasai keterampilan baru. d. Shaping (Pentahapan) Pengerjaannya harus dibagi dalam beberapa pentahapan. Dimulai dengan langkah/tahap yang paling mudah.

2.3 Terapi Bermain 2.3.1 Pengertian Bermain dan Terapi Bermain Menurut Sudono (2000) bermain adalah suatu kegiatan yang dilakukan dengan atau tanpa mempergunakan alat yang menghasilkan pengertian atau pemberian informasi, memberi kesenangan maupun mengembangkan imajinasi anak. Terapi bermain merupakan salah satu upaya untuk membantu anak retardasi mental. Menurut Astati (1995), terapi bermain untuk anak retardasi mental adalah usaha membantu anak retardasi mental agar dapat berkembang aspek fisik, intelektual, sosialnya secara optimal melalui bermain. 2.3.2 Tujuan Terapi Bermain Menurut Astati (1995), tujuan terapi bermain bagi anak retardasi mental: a. Perkembangan aspek fisik Meliputi perkembangan kekuatan otot-otot tubuh, peningkatan ketahanan otot-otot dan organ tubuh, pencegahan dan perbaikan sikap yang kurang baik serta latihan keseimbangan. b. Pengembangan aspek intelektual Meliputi kemampuan berkomunikasi, menghitung angka sehingga dapat dikatakan menang atau kalah, mengartikan peraturan main, menceritakan apa yang didengar maupun dilihatnya.

c. Pengembangan emosi Meliputi penerimaan atas pimpinan orang lain, bagaimana ia memimpin, menghilangkan siikap pemarah, agresif, pasif, menarik diri dan memunculkan harga diri. d. Pengembangan sosialisasi Meliputi bagaimana dapat bermain bersama, meningkatkan hubungan yang sehat dalam kelompok atau menerima ketentuan permainan, menerima bila dipimpin orang lain dan mempergunakan sumber dan alat-alat yang terdapat di lingkungan sekitarnya. e. Melatih keberanian dan ketangkasan Meliputi bagaimana dapat bermain dengan berani dan tangkas, mengikuti sampai akhir. 2.3.3 Hal-hal yang Diperhatikan dalam Terapi Bermain Menurut Astati (1995), hal-hal yang diperhatikan dalam terapi bermain pada anak retardasi mental: a. Keadaan anak Keadaan anak retardasi mental berbeda-beda sehingga perbedaan-perbedaan ini harus diketahui dalam melaksanakan terapi bermain. b. Pelatih dan pembimbing Pelatih hendaknya mengetahui tentang keadaan anak sehingga dalam membantu anak bermain tidak mengalami kesulitan. c. Tempat bermain Tempat ditentukan berkaitan dengan penggunaan bahan, jenis-jenis bermain yang dilakukan dan tujuan yang akan dihadapi. d. Bahan bermain Penentuan bahan bermain erat kaitannya dengan kemampuan, usia dan jenis kelamin anak retardasi mental. e. Peralatan bermain Alat yang digunakan hendaknya mudah diperoleh, dapat digunakan anak, tidak mudah rusak dan tidak berbahaya. f. Pendekatan Pendidikan yang digunakan ada bermacam-macam. Hal ini tergantung pada tujuan dan karakteristik anak retardasi mental. g. Suasana bermain

Agar suasana bermain dapat berjalan dengan baik maka harus dihindari, jangan sampai anak merasa tertekan, takut atau terpaksa dalam bermain. h. Waktu Waktu yang dibutuhkan dalam bermain tergantung pada tujuan bermain. i. Keamanan Untuk menjaga keamanan anak harus dibiasakan menunggu giliran, menggunakan alat dengan tenang, mengambil dan menyimpan alat pada tempatnya, dll. j. Evaluasi Evaluasi bermain sebaiknya diadakan setiap kali bermain.

2.4 Permainan keterampilan/skill play 2.4.1 Pengertian Permainan keterampilan Suatu permainan yang lebih memfokuskan pada mempelajari keterampilan baru. Permainan yang berbasiskan keterampilan ini dilakukan dengan menggunakan permainan modeling. Anak menirukan keterampilan melalui manipulasi bahan permainan. Permainan modeling yang memungkinkan anak seolah-olah mengalami sendiri keterampilan yang didemonstrasikan melalui permainan. 2.4.2 Tujuan Skill Play Adapun tujuan skill play dengan modeling adalah sebagai berikut : 1. Menekankan pentingnya belajar dari mengamati dan meniru model peran. 2. Belajar tentang penghargaan dan hukuman yang mengikuti perilaku tersebut. 3. Menghilangkan perilaku yang tidak diinginkan. 4. Mengurangi rasa takut berlebihan. 5. Memfasilitasi belajar perilaku sosial. 6. Memperkuat atau memperlemah perilaku belajar sebelumnya.

BAB 3 PEMBAHASAN
Dalam bab ini akan diuraikan tentang pembahasan tentang pengaruh terapi bermain: skill play terhadap kemampuan perawatan diri pada anak retardasi mental. Anak retardasi mental mengalami peningkatan yang besar setelah diberikan terapi bermain tingkat kemampuan perawatan dirinya yaitu kemampuan makan dan minum, berpakaian, berhias diri, dan kebersihan diri menjadi baik. Pendidikan yang dilakukan di sekolah saja tidak cukup untuk membantu memaksimalkan kemampuan anak, diperlukan juga suatu terapi bermain di luar jam sekolah untuk mengaplikasikannya agar anak tidak mudah lupa dan akan selalu mengingat pelajaran yang telah diberikan, sehingga dapat dihasilkan kemampuan perawatan diri yang baik dan anak bisa melaksanakannya di kehidupan (Ali, 1994). Meskipun anak retardasi mental telah diberikan pembelajaran merawat diri di sekolah akan tetapi mereka mengalami kesulitan untuk mengaplikasikan apa yang dipelajari di sekolah dalam kehidupan sehari-harinya. Terapi bermain/skill play untuk menstimulus mereka untuk mengaplikasikan apa yang dipelajari dalam kehidupan sehari-hari sehingga perubahan tingkat kemampuan perawatan dirinya menjadi signifikan dan hal ini menjelaskan adanya pengaruh terapi bermain/skill play terhadap kemampuan perawatan diri pada anak retardasi mental. Perubahan tingkat kemampuan perawatan diri pada kelompok perlakuan setelah diberikan terapi bermain/skill play terjadi karena dalam terapi bermain/skill play dilakukan dengan menggunakan permainan modeling. Anak seolah-olah mengalami sendiri keterampilan yang didemonstrasikan melalui permainan dan bekerja dengan baik ketika dikombinasikan dengan penguatan (Bandura, 1965). Terapi bermain:skill play diperlukan sebagai stimulus untuk mendorong dalam berinisiatif memenuhi kemampuan perawatan dirinya, lebih menarik perhatian siswa dan menumbuhkan motivasi belajar yang cukup tinggi sehingga siswa dapat mengerti dan memahami apa yang diajarkan oleh guru serta tercapai perkembangan fisik, intelektual, emosi dan sosial secara optimal (Resna L&Sunjaya, 2002). Terapi bermain:skill play juga dapat membentuk perasaan yang positif karena dilakukan dengan berkelompok dan munculnya kerja sama yang kompak antar tiap kelompok untuk saling mendukung satu sama lain serta dukungan motivasi dari fasilitator untuk menyelesaikan setiap keterampilan merawat diri dengan baik sehingga proses penyerapan kognitif anak retardasi mental menjadi lebih baik. Adanya

stimulus/dorongan yang berasal dari luar akan memunculkan keinginan untuk memenuhi kemampuan perawatan dirinya (Azwar, 2003). Permainan yang berbasiskan keterampilan ini dilakukan dengan menggunakan permainan modeling. Permainan modeling yang membuat anak mengalami sendiri keterampilan yang didemonstrasikan. Bermain bekerja dengan baik ketika dikombinasikan dengan modeling dan penguatan. Ketiga komponen digunakan dalam urutan pemodelan, peran bermain, dan penguatan. Peran bermain didefinisikan sebagai praktek atau latihan perilaku dari keterampilan yang akan digunakan kemudian dalam kehidupan situasi yang nyata. Penguatan didefinisikan sebagai penghargaan model kinerja dalam praktek atau dalam kehidupan situasi nyata (Bandura, 1965). Fasilitator mencontohkan di depan tiap kelompok langkah-langkah yang akan dilakukan saat permainan keterampilan pada tiap-tiap kemampuan perawatan diri, lalu tiap kelompok diberikan waktu untuk menyelesaikannya. Kelompok yang berhasil menyelesaikan lebih awal akan mendapatkan penghargaan berupa bendera dan pujian. Pada akhir tahap permainan, fasilitator akan mengulang langkah-langkah yang telah dilakukan dan menanyakan bagaimana perasaan anak setelah menjalani terapi bermain serta menginstruksikan dan membantu anak untuk mengulang kemampuan tersebut di rumah. Selain itu menyarankan orang tua untuk lebih intensif membimbing, mengarahkan dan memberi kesempatan anak melakukan perawatan diri. Perubahan yang terjadi selain disebabkan karena terapi bermain/skill play yang diberikan sehingga kemampuan perawatan dirinya menjadi mandiri, orang tua dan keluarga juga ikut memberikan andil terhadap perubahan tersebut. Dengan adanya pengarahan dari orang tua dan saudara/kerabat yang bertanggung jawab pada keseharian anak menjadi lebih memberikan bimbingan, arahan dan kesempatan kepada anak untuk melakukan perawatan dirinya dengan mandiri. Peran orang tua juga sangat penting yaitu memberikan contoh, mengawasi, memberikan bimbingan secara langsung dalam memenuhi perawatan dirinya dan memberikan kesempatan kepada mereka untuk memenuhinya secara mandiri. Kualitas dari kedua orang tua yang mempengaruhi proses pemberian bimbingan dalam pembelajaran kemampuan perawatan diri anak salah satunya dapat dilihat dari pendidikan terakhir yang mereka tempuh. Semakin tinggi tingkat pendidikan orang tua mempengaruhi kualitas proses pemberian bimbingan pembelajaran kemampuan perawatan diri dalam mengarahkan dan memberikan contoh langkah-langkah perawatan diri yang tepat.

BAB 4 KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan 1. Terapi bermain/skill play berperan sebagai stimulus pada anak retardasi mental dengan teknik modelling dan penguatan serta dilakukan secara kelompok sehingga membuat anak mengalami kemampuan tersebut secara nyata, munculnya motivasi yang kuat antar kelompok dan memunculkan keinginan serta respon yang positif dalam perawatan dirinya. 2. Peran orang tua dalam mendukung dan membimbing anak selama di rumah juga ikut mempengaruhi kemampuan perawatan diri. 3. Terapi bermain/skill play dapat digunakan untuk membantu melatih anak dalam kemampuan perawatan dirinya agar pembelajaran merawat diri yang didapatkan di sekolah dapat diterapkan dalam kehidupan.

4.2 Saran 1. Pemberian terapi bermain/skill play pada anak retardasi mental sebagai alternatif perlu dilakukan secara teratur untuk menstimulus kemauan anak melaksanakan perawatan diri. 2. Meningkatkan peran orang tua dan keluarga dalam memberikan bimbingan, arahan, pengawasan dan motivasi pada anak retardasi mental dalam melatih kemampuan perawatan diri seperti kemampuan makan dan minum, berpakaian, berhias diri dan kebersihan diri. 3. Meningkatkan kesadaran orang tua akan pentingnya keikutsertaannya dalam pembelajaran yang diterima anak retardasi mental terutama dalam mengaplikasikan pembelajaran perawatan diri di rumah dan memberikan kesempatan anak untuk melaksanakan perawatan diri secara mandiri sehingga tidak bergantung pada orang lain.

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman, (1996). Pendidikan Bagi Anak Berkesulitan Belajar. Bandung: PPTG Dirjen Dikti. Ali, M. (1994). Pendidikan Anak Terbelakang Mental dan Permasalahannya. Jakarta: Depdikbud. Amin, (1995). Pendidikan Anak Luar Biasa. Jakarta: CV. Karya Sejahtera. Arikunto, S., (2006). Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta : Rineka Cipta. Astati, (1995). Terapi Okupasi, Bermain dan Musik untuk Anak Retardasi Mental. Bandung: Dirjen Dikti. Atkinson&Richard. (2000). Pengantar Psikologi. Jakarta: Erlangga. Azwar, (2003). Sikap Manusia. Yogyakarta: Pustaka Belajar Off Set. Bandura, (1991). Perkembangan Remaja. Jakarta: Erlangga. Delphie, (2002). Pembelajaran Anak Retardasi Mental. Bandung: PT Refika Aditama. Depdikbud, (1985/1986). Pedoman Guru Pendidikan Kegiatan Kehidupan Sehari-hari untuk Anak Retardasi Mental. Jakarta: CV. Karya Sejahtera. Depdikbud, (1983/1984). Pedoman Guru Khusus Usaha Pemngembangan Kemampuan Menolong Diri Sendiri. Jakarta: PT. Melton Putra. Depdikbud, (1996). Pendidikan Keterampilan Merawat Diri. Jakarta: PT. Melton Putra. Depdikbud, (1999/2000). Kemampuan Merawat Diri untuk Sekolah Dasar Luar Biasa Retardasi Mental Ringan. Jakarta: CV. Karya Sejahtera. Depdiknas, (2002). Pedoman Guru Pendidikan Kegiatan Merawat Diri untuk Anak Retardasi Mental. Jakarta: CV. Karya Sejahtera. Dirjen Pembinaan Sekolah Luar Biasa, (1994). Pedoman Guru Pendidikan Anak Retardasi Mental. Jakarta: CV. Karya Sejahtera. Djiwandono, (2004). Psikologi Pendidikan. Jakarta: Gramedia. Hurlock, E.B., (1978). Perkembangan Anak Jilid 1. Jakarta: Erlangga. Hidayat, A.A.A., (2005). Pengantar Ilmu Keperawatan Anak 1. Jakarta: Salemba Medika.

Isbani, (1985). Play Therapy. Surakarta: FKIP Universitas Sebelas Maret. Keliat, (1998). Hubungan Terapeutik Perawat Klien. Jakarta: EGC. Muhibbin Syah, (2005). Psikologi Belajar. Jakarta: Rajawali Press. Muhibbin Syah, (2004). Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Notoatmodjo, (2002). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: PT Rineka Cipta. Nursalam, (2003). Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan:Pedoman Skripsi, Tesis, dan Instrumen Penelitian Keperawatan. Jakarta : Salemba Medika. Nursalam, (2005). Asuhan Keperawatan Bayi dan Anak. Jakarta: Salemba Medika. Nursalam, (2008). Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan Edisi 2. Jakarta: Salemba Medika. Nursalam, (2009). Pedoman Penyusunan Proposal dan Skripsi. Jakarta: Erlangga. Porwanti, D.I., (2007). Perbedaan Efektifitas Terapi Bermain dan Terapi Musik terhadap Penurunan Stress Hospitalisasi pada Anak Usia 4-6 Tahun di Ruang Anak RSU Dr. Soetomo Surabaya. Skripsi Unair Surabaya. Purwanto, (1999). Pengantar Perilaku Manusia untuk Keperawatan. Jakarta: EGC. Resna&Sunjaya, (2002). Pengaruh Permainan pada Perkembangan Anak. Jakarta: Erlangga. Semiun, Y., (2006). Kesehatan Mental 1. Yogyakarta: Kanisius. Semiun, Y., (2006). Kesehatan Mental 2. Yogyakarta: Kanisius. Soemantri, H.T.S., (1996). Psikologi Anak Luar Biasa. Bandung: Dirjen Dikti. Suhaeri dan Purwanto, (1996). Bimbingan Konseling Anak Luar Biasa. Bandung: Dirjen Dikti. Tedjasaputra, M.S., (2003). Bermain, Mainan dan Permainan untuk Pendidikan Usia Dini. Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana. Townsend, M.C., (1998). Diagnosa Keperawatan pada Keperawatan Psikiatri. Jakarta: EGC. Walgito, (2003). Psikologi Sosial Edisi Revisi. Yogyakarta: Andi Off Set.

Anda mungkin juga menyukai