Anda di halaman 1dari 4

December 22, 2007

Anomali Sarimin Noda Hitam Penegak


Hukum
Oleh Hotman M. Siahaan

Raja monolog Butet Kartaredjasa dengan lakon Pengakuan


Sarimin-nya sempat diancam akan dicekal oleh kepolisian
Surabaya. Meski tak menjadi kenyataan, ancaman itu merupakan
noda hitam penegak hukum terhadap wajah kesenian yang patut
diberi catatan buruk pada akhir 2007. Inilah cacatan Hotman M.
Siahaan.
———

Butet Kartaredjasa, sang raja monolog itu, kembali mengguncang


Surabaya dalam dua malam pementasannya, 14-15 Desember
2007, dengan penonton membeludak lewat lakon Pengakuan
Sarimin. Melalui Sarimin, si tandak bedhes, Butet mengoyak
kenyataan betapa kejamnya hukum bagi keluguan rakyat, nurani
kejujuran, bahkan nilai kemanusiaan.

Sarimin adalah representasi wong cilik yang masih punya nurani


kejujuran, percaya pada kebenaran, dan mengagungkan hukum.
Nasibnya menemukan KTP seorang hakim agung yang tercecer di
lokalisasi, yang bagi orang kebanyakan mungkin suatu
ketidakpedulian. Namun, bagi Sarimin sebaliknya, dengan
kepeduliannya, dia hendak melaporkan dan menyerahkan KTP
tersebut ke kantor polisi.

Tapi, itulah awal bencana nasibnya yang malang, dilindas


purbasangka aparatur hukum, digencet mesin keadilan dan
kebenaran yang bernama hukum, dan Sarimin tergilas tanpa sisa.

Lewat Sarimin, Butet mencabik-cabik jubah keadilan dan


kebenaran serta mempertontonkannya sebagai borok yang busuk.
Inilah konstruksi, hukum yang anomali, yang di dalamnya
kepedulian adalah bencana, keluguan adalah prahara, dan
kebenaran adalah kesalahan.

Bahkan, kebenaran Sarimin itu merupakan satu-satunya


kesalahannya. Sebagai wong cilik, yang hidupnya melata di
jalanan berdebu dengan segala kepapaan, di batin Sarimin masih
tersisa sebongkah kepedulian sosial, kejujuran manusiawi.

Tapi, di negeri dengan hukum yang anomali, ternyata kejujuran,


kepedulian, dan keluguan yang paling manusiawi sekalipun
hanyalah bencana, angkara murka, justru ketika Sarimin masih
memercayai hukum dan aparaturnya.

Butet "Sarimin" Kartaredjasa, lewat kepiawaian monolognya yang


tak tertandingi, menyodorkan anomali hukum secara telanjang
tanpa tedeng aling-aling. Inilah kisah betapa rakyat yang lugu,
punya kepedulian, namun dipurbasangkai sebagai maling, sebagai
pemeras.

Konstruksi aparatur hukum terhadap rakyat jelata ternyata


bukanlah konstruksi sebagai empati atas keluguan dan kejujuruan
rakyat, tapi justru konstruksi sebagai maling dan pemeras. Dan
konstruksi itulah yang dipaksakan terhadap Sarimin, bukan saja
oleh aparat suatu institusi hukum yang telah membuat Sarimin
teronggok-onggok menunggu puluhan tahun, tapi juga oleh
pengacaranya yang atas nama keadilan dan demi penyelamatan
Sarimin memaksanya untuk mengakui kebenarannya sebagai
kesalahan. Sempurnalah anomali itu.

Sarimin merupakan cermin rakyat yang tidak berdaya, mengalami


keterasingan, alienated, justru karena kepercayaannya kepada
hukum dan aparatnya. Dia terjerembap ketika disodori solusi yang
sungguh tidak dinyana, yang makin membuat dirinya sebagai
makhluk yang terjerembap dalam keterasingan. Bukan hanya
ditawari melakukan suap, tapi juga mengakui kesalahan atas
kebenarannya. Apa salah saya? Kata Sarimin menggerung
menembus batas segala nurani kebenaran.

Kesalahanmu satu-satunya adalah karena kau benar. Itulah


jawaban bagi Sarimin. Dan pernyataan itu justru dilontarkan oleh
sang pengacara, yang seharusnya melakukan pembelaan kepada
Sarimin.

Kalau kebenaran adalah kesalahan, hukum macam apa pula yang


masih dipercaya di negeri ini? Kalau seorang rakyat miskin yang
punya kepedulian sosial dan masih memiliki secuil kepercayaan
kepada aparat penegak hukum, namun tiba-tiba dilindas hukum
itu, ditawari solusi oleh aparat untuk melakukan penyuapan
sejumlah uang yang tidak mungkin bisa dipenuhi demi
kebebasannya, dipaksa pengacara untuk mengakui kesalahan
demi keringanan hukuman, keadilan macam apa pula yang masih
dipercaya oleh rakyat semacam Sarimin kepada hukum yang
konon menjadi pilar utama bagi keadilan dan kebenaran?

Butet "Sarimin" Kartaredjasa telah mencabik-cabik realitas yang


selama ini juga dimaklumi orang. Sarimin mempertontonkan
kepada kita tampang yang sesungguhnya mengenai realitas
hukum beserta seluruh aparatur penegaknya. Bukan hanya polisi,
pengacara sekalipun dibelejeti di hadapan kita dan masya Allah…
kita tidak bisa mengingkari kenyataan yang disodorkan Sarimin
itu.

Penonton Sarimin riuh rendah tertawa terpingkal-pingkal, meski


sesungguhnya kegetiran yang disodorkan, sekaligus kepiluan
betapa wajah hukum dan aparatur hukum di negeri ini mencapai
kesempurnaan anomali.

Sarimin mengalami anomie yang amat dalam. Apa yang dia yakini
sebagai kebenaran ternyata di mata hukum adalah kesalahan.
Untuk itu, dia harus menanggung akibatnya yang tak terperikan.
Masuk bui. Sarimin mengalami alienasi ketika kepedulian sosialnya
justru menjadi bencana bagi dirinya.

Secara tuntas, realitas itu disodorkan Butet kepada kita, lewat


kepiawaian monolognya yang tiada tara. Sekali lagi, Butet, lewat
Sarimin, makin mengukuhkan konstruksi kita tentang hukum di
negeri ini, bahkan aparatur penegak hukum, apakah polisi
maupun pengacara, yang ternyata hidup dalam rimba raya, siapa
yang kuat dialah yang menang.

Seonggok kotoran dilemparkan Sarimin ke tampang hukum di


negeri ini. Dan itulah kenyataannya. Tinggal kita menyikapi wajah
penuh kotoran tersebut, mengakui ataukah tidak. Di tengah
komitmen menegakkan hukum sebagai upaya memberikan
keadilan bagi rakyat dan kaum tertindas, di tengah marginalisasi
yang melanda rakyat yang terasing dan tidak berdaya, kita
menyaksikan para petinggi dan aparatur penegak hukum yang
piawai menggunakan hukum, meski tanpa rasa keadilan
sekalipun.

Sarimin memang tidak paham bahwa tugas polisi amat banyak


dan kesibukannya seabrek, sehingga tidak punya waktu untuk
meladeni kepedulian sosialnya. Ketika aparat berpaling pada
Sarimin, bukan keluguan Sarimin yang dihargai, tapi konstruksi
kejahatan yang dijejalkan kepada Sarimin.

Kalau kebenaran adalah kesalahan, kalau kejujuran dan keluguan


adalah bencana, kita menjadi amat maklum kalau pembalak hutan
bisa bebas demi hukum. Kita juga maklum kalau pengemplang
pajak bisa menumpuk kekayaan. Kita juga maklum kalau orang
yang disodori kenyataan hukum yang dipahami Sarimin menjadi
marah kepada Butet "Sarimin" Kartaredjasa. Apalagi karena
Sarimin cuma seorang tandak bedhes. Bukankah ada peribahasa
monyet buruk rupa cermin dibelah?

Prof Dr Hotman M. Siahaan, guru besar FISIP Unair, Surabaya

Sumber : jawa pos dotcom

Tags: jawa pos, penegak hukum, Prof Dr Hotman M. Siahaan

Filed under Hukum, Blog by Hasan

www.stopbugil.com

Anda mungkin juga menyukai