Anda di halaman 1dari 24

Asia Good ESD Practice Project

KEHIDUPAN BERKELANJUTAN MASYARAKAT SUKU BADUY


Sustainable Life of BADUY Tribe Community 2006 Reported by Feri Prihantoro BINTARI (Bina Karta Lestari) Foundation

Indonesia
1

KEHIDUPAN BERKELANJUTAN MASYARAKAT SUKU BADUY


Suku Baduy merupakan salah satu suku di Indonesia yang sampai sekarang masih mempertahankan nilai-nilai budaya dasar yang dimiliki dan diyakininya, ditengah-tengah kemajuan peradaban di sekitarnya. Kearifan lokal yang dianut oleh masyarakat disana justru menjadi pelajaran bagi masyarakat modern. Sekarang ini banyak sekali masyarakat perkotaan yang identik dengan modernisasi berkunjung ke Suku Baduy untuk belajar tentang budaya mereka. Setiap minggu selalu ada pengunjung, terutama dari kota baik perorangan, maupun kelompok untuk melihat dan belajar secara langsung budaya dan keindahan lingkungan yang alami. Meskipun banyak orang yang berkunjung dari luar kesana, tetapi mereka mampu untuk bertahan dengan keyakinan dan tidak terpengaruh dengan nilai-nilai budaya dari luar. Di tengah kehidupan modern yang serba nyaman dengan listrik, kendaraan bermotor, hiburan televisi serta tempat-tempat hiburan lain yang mewah, masyarakat Baduy masih setia dengan keserhanaan dan hidup menggunakan penerangan lilin atau lampu teplok. Kemana-mana mereka jalan kaki dan tidak ada telepon. Tidak ada sentuhan modernisasi disana, segala sesuatunya sederhana dan dihasilkan oleh mereka sendiri, seperti makan, pakaian, sampai dengan sandal. Meskipun anti modernisasi, mereka tetap menghormati kehidupan modern yang ada di sekitarnya. Menurut salah satu ketua mereka, Modernisasi yang salah kaprah, hanya akan membuat kita jadi pemalas dan tidak mensyukuri pemberian Tuhan. Kita bisa lupa pada bumi dan isinya, ketika kita sudah merasa diri modern dan hebat. Kesederhanaan dan toleransi terhadap lingkungan disekitarnya adalah ajaran utama di masyarakat Baduy. Dari kedua unsur tersebut, otomatis akan muncul rasa gotong royong dalam kehidupan mereka. Tidak ada keterpaksaan untuk mengikuti dan menjaga tradisi kehidupan yang damai oleh mereka. Tidak ada rasa iri satu dengan lainnya karena semuanya dilakukan secara bersama-sama. Kepentingan sosial selalu dikedepankan sehingga jarang dijumpai kepemilikan

individu, tetapi tetap menjunjung tinggi asas demokrasi. Tidak ada kesenjangan sosial maupun ekonomi antara individu disana. Konsep pembangunan berkelanjutan telah diajarkan secara turun temurun oleh masyarakat Baduy, tanpa terlebih dahulu mengenal istilah pembangunan berkelanjutan yang menjadi isu internasional. Prinsip perubahan sekecil-kecilnya dan alam merupakan titipan dari Tuhan untuk anak cucu, mendasari pemikiran mereka dan mempengaruhi segala aktivitas kehidupan mereka. Gaya hidup sederhana tanpa mengharapkan bantuan dari luar telah membangun mental yang mandiri dan berkelanjutan. 1. GAMBARAN SUKU BADUY Desa Kanekes terletak di Gunung Kendeng yang sebagian wilayahnya adalah hutan, baik hutan lindung maupun hutan produksi. Dulu wilayah ini masuk kedalam propinsi Jawa Barat, tetapi sejak tahun 2000 terjadi pemekaran wilayah dan masuk menjadi Propinsi Banten, tepatnya di Kabupaten Lebak Kecamatan Leuidamar. Kondisi alamnya berbukit-bukit dan tersusun oleh sambung menyambung bukit, menyebabkan jarak antar pemukiman di lingkungan Baduy sangat jauh. Meskipun demikian komunikasi antar masyarakat dapat berjalan dengan baik, dan mereka memiliki mekanisme tersendiri dalam berkomunikasi.
2

1.1 Sejarah Suku Baduy Negara Indonesia merupakan negara kepulauan dengan banyak suku. Berdasarkan catatan pemerintah Indonesia ada sekitar 150-an suku. Masing-masing suku memiliki budaya, tata cara, bahkan bahasa yang berbeda-beda. Untuk menyatukan mereka maka digunakan bahasa Indonesia yang berdasarkan sejarahnya merupakan adaptasi dari berbagai macam bahasa dari berbagai suku. Suku Baduy salah satu suku di Indonesia yang tinggal di Desa Kanekes, Kecamatan Lebak, Kabupaten Lebak, Propinsi Banten (salah satu propinsi di Pulau Jawa). Berjarak sekitar 120 km dari Jakarta (Ibukota Negara Indonesia). Mereka tinggal di daerah yang terpencil di Gunung Kendeng, sehingga untuk mencapai daerah tersebut juga dibutuhkan waktu yang relatif lebih lama dan jalan yang berat. Dan untuk menjelajahi Desa Kanekes dengan luas 5130,8 hektar, kita harus berjalan kaki, karena tidak ada alat transportasi apa pun.
Gambar 1 Lokasi Suku Badui

Menurut sejarahnya orang Baduy merupakan bagian dari suku Sunda yaitu suku asli masyarakat Propinsi Jawa Barat dan Propinsi Banten, bahasa yang digunakan mereka juga bahasa sunda. Diperkirakan mereka pindah di daerah terpencil di Gunung Kendeng ini pada abad 16, bersamaan dengan runtuhnya Kerajaan Pajajaran. Dahulu sebelum Islam masuk ke Indonesia dan Jawa, pengaruh agama Hindu dan Budha sangat kuat, termasuk Kerajaan Pajajaran. Pada tahun 1579 masuklah Islam untuk menghancurkan Pajajaran dan masyarakat disana berpindah ke agama Islam. Ada sekelompok masyarakat yang menolak untuk masuk kedalam Islam, kemudian mereka berpindah tempat dan mengasingkan diri. Kelompok tersebut yang kemudian dinamakan Suku Baduy. Ada berbagai versi mengenai kata Baduy, salah satunya adalah nama tersebut diambil dari sebuah suku di negara Arab yang bernama Badwi yang hidup secara nomaden di gurun pasir. Orangorang

Belanda yang berada di Indonesia pada waktu itu memberi nama itu kepada kelompok ini. Ada pula yang mengaitkan bahwa kaum Badwi di Arab pada zaman Nabi Muhammad merupakan suku yang tidak mau masuk agama Islam. Dikaitkan dengan keberadaan Baduy di Indonesia pada waktu itu yang menolak untuk masuk Islam, maka muncul istilah Baduy. Versi lain menjelaskan bahwa nama Baduy diambil dari nama bukit dan mata air Cibaduy yang di selatan Desa Kanekes tempat mereka tinggal. Masyarakat Baduy sendiri menyebut dirinya dengan sebutan orang Kanekes yang berarti orang Sunda, sehingga sampai saat ini desa yang mereka tempati disebut Desa Kanekes. Mereka menamakan agama yang dianut adalah Sunda Wiwitan yang lebih dekat dengan Hindu.
3

Pada tahun 1931 selama Belanda berada di Indonesia, Suku Baduy terhindar dari penggusuran. Aktivitas berladang mereka dengan menebang dan membakar pohon menyebabkan kerusakaan hutan di sekitar mereka. Masyarakat yang berada di bawah Gunung Kendeng khawatir dengan terancamnya pasokan air untuk irigasi maupun minum dengan rusaknya hutan di atas. Mereka meminta kepada pemerintah pada waktu itu untuk menggusur mereka dari Desa Kanekes. Mulhenfeld yang menjabat sebagai direktur West Indies Department sebagai pengambil keputusan pada waktu itu, justru menolak keinginan tersebut. Setelah berkunjung ke masyarakat Baduy, Mulhenfeld merasa bahwa Baduy merupakan warisan budaya yang harus dilestarikan. Relokasi mereka ditakutkan akan merusak tradisi dan budaya yang selama ini mereka anut. Selain itu juga kenyataannya masyarakat Baduy memikirkan benar mengenai kelestarian lingkungan, hal ini sejalan dengan keyakinan yang mereka anut. Bahkan sampai sekarang ini nilai-nilai keberlanjutan lingkungan merupakan nilai-nilai dasar yang mereka anut dalam kehidupan sehari-hari. Setelah Indonesia merdeka, pemerintah Indonesia berupaya untuk memodernisasi kehidupan mereka. Tujuan pemerintah Indonesia tentunya ingin melakukan pembangunan yang menyeluruh, tetapi masyarakat Baduy selalu menolak modernisasi dan tetap teguh bertahan dengan nilai-nilai yang mereka percayai. Berbagai fasilitas ditawarkan oleh pemerintah untuk membangun di Desa Kanekes, seperti pembangunan masjid, pembangunan sekolah, sampai dengan pembuatan jalan aspal, tetapi tidak ada satu pun yang diterima oleh masyarakat. Pemerintah sekarang ini justru mengadaptasi budaya dan keberadaan mereka untuk dilindungi dari pengaruh luar. Hukum adat mereka sekarang ini mendapatkan pengakuan dari pemerintah, sepanjang sejalan dengan hukum negara dan dapat berlaku di wilayah mereka. Hukum adat mereka sedang diproses menjadi bagian dari hukum pemerintah Indonesia, dan berlaku di Baduy. 1.2 Kondisi Masyarakat Baduy Masyarakat Baduy tinggal secara mengelompok pada suatu kampung dan menyebar di wilayah Kanekes. Ada dua kelompok besar pemukiman masyarakat Baduy, yaitu kelompok Baduy Dalam dan Kelompok Baduy Luar. Kelompok yang berada di Baduy Luar disebut masyarakat panamping yang artinya adalah pendamping, karena mereka bermukim di bagian luar wilayah Baduy dan mendampingi masyarakat Baduy Dalam. Kelompok

Baduy Luar ini tersebar di 50 kampung. Sementara kelompok Baduy Dalam disebut dengan masyarakat Kajeroan yang artinya dalam atau Girang yang artinya hulu. Mereka bermukim di bagian dalam atau daerah hulu dari Sungai Ciujung. Ada tiga kampung yang mereka tinggali, yaitu Cikeusik, Cikartawana, dan Cibeo. Kelompok Baduy Dalam tidak pernah menambah jumlah kampung yang ada, wilayahnya hanya ada di tiga kampung tersebut. Sementara untuk Baduy Luar dari tahun ketahun jumlah kampungnya bertambah seiring dengan pertambahan populasi disana. Jika populasi di Baduy Dalam bertambah dan tidak sesuai dengan kapasitas kampungnya, maka sebagian dari mereka akan keluar untuk tinggal di wilayah Baduy Luar dan menjadi kelompok Baduy Luar.
Gambar 2. Suasasa Perkampungan Baduy 4

Ada beberapa versi yang menyebutkan bahwa ada kelompok Baduy ketiga yang disebut Baduy Dangka, mereka tidak tinggal di Desa Kanekes tetapi tinggal disekitar desa Kanekes. Kelompok ini memiliki fungsi sebagai kelompok buffer atas pengaruh dari luar. Sekarang ini masih tersisa dua kampung yang tergolong dalam Baduy Dangka, yaitu Padawaras dan Sirah Dayeuh. Pertumbuhan populasi kelompok ini tidak terlalu besar, hal ini ditunjukkan dari jumlah kampung yang dari tahun ketahun tetap sama. Dalam struktur kepemimpinan kelompok Baduy Dalam juga disebut masyarakat Tangtu merupakan kelompok yang tinggi, sehingga pemimpin tertinggi yang disebut Puun berasal dan tinggal di ketiga kampung Baduy Dalam. Dalam berpakaian mereka memiliki ciri berwarna putih alami dan biru tua serta memakai ikat kepala putih. Baduy Luar juga disebut dengan masyarakat panamping berciri khas dengan pakaian hitam dan ikat kepala hitam. 2. POLA KEHIDUPAN MASYARAKAT BADUI Hubungan antar aspek kehidupan di Kanekes memiliki integrasi yang sinergis dalam menciptakan kehidupan yang berkelanjutan. Visi yang tersirat dalam ideologi kehidupan mereka dapat dipahami dan dijalankan oleh seluruh masyarakat di Baduy. Pandangan masyarakat Baduy relatif sama terhadap hubungan antara kehidupan sosial budaya, ekonomi, serta pengelolaan lingkungan. Mereka mampu membuat instrumen-instrumen yang menjamin keberlanjutan kehidupan disana. Mereka tidak pernah mengenal istilah pembangunan berkelanjutan yang dideklarasikan oleh Negara-negara anggota UN di Rio de Janerio atau Education for Sustainable Development yang dibawa oleh UNESCO. Meskipun demikian dengan belajar dari keyakinan dan tata nilai mereka mampu membuat intrumen-instrumen untuk menciptakan sustainable development di wilayah mereka.
Gambar 3. Rumah orang Baduy dekat

dengan sumber air

Ada tiga aspek kehidupan yang diciptakan oleh masyarakat Baduy untuk menciptakan keberlanjutan kehidupan mereka, yaitu sistem sosial dan budaya yang sangat kuat, pengaturan sistem ekonomi berbasis pada pemenuhan kebutuhan primer, dan pengaturan pengelolaan lingkungan hidup. Ketiga aspek tersebut ditata oleh mereka untuk menjamin terciptanya kehidupan yang layak bagi masyarakat Baduy.
5

2.1 Sistem Sosial dan Budaya Baduy Aspek paling kuat dalam pengelolaan kehidupan yang berkelanjutan di Baduy adalah terciptanya sistem sosial dan budaya yang diturunkan dari agama dan keyakinan mereka. Pemimpin Baduy harus dapat menjaga aspek ini. Siapa saja yang melanggar aturan-aturan dan nilai-nilai adat maka akan mendapatkan hukuman dari pemimpin. Adanya pikukuh yang berarti nilai-nilai kepatuhan yang harus dipatuhi oleh semua masyarakat merupakan landasan hidup Baduy. Intrumen yang diciptakan oleh masyaraka Baduy dalam sistem sosial dan budaya ini mencakup aspek administrasi pemerintahan, kependudukan, agama dan adat istiadat, hak asasi manusia, dan pendidikan. 2.1.1 Sis te m Ad m in is tras i Ada dua sistem pemerintahan yang digunakan oleh masyarakat Baduy, yaitu struktur pemerintahan nasional yang mengikuti aturan negara Indonesia dan struktur pemerintahan adat yang mengikuti adat istiadat yang dipercayai oleh masyarakat. Kedua sistem pemerintahan tersebut digabungkan dan dibagi perannya sedemikian rupa sehingga tidak ada benturan dalam menjalankan tugasnya. Seluruh masyarakat Baduy paham dan saling menghargai terhadap kedua sistem tersebut, sehingga mereka tahu harus kemana jika ada urusan atau permasalahan yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari.
PUUN JARO TANGTU TANGKESAN GIRANG SEURAT BARESAN JARO 12 PALAWARI KOKOLOT ADAT JARO PAMARENTAH COMMUNITY OF INNER BADUY KOKOLOT LEMBUR PANGIWA & CARIK COMMUNITY OF OUTER BADUY
= command & consultation NATIONAL SYSTEM = command for traditional ceremony TRADITIONAL SYSTEM

Gambar 4. Struktur Pemerintahan Baduy

Dalam sistem pemerintahan nasional penduduk di Kanekes ini dipimpin oleh Jaro Pam are n tah .

Secara administrasi jaro pamarentah ini bertanggung jawab terhadap sistem pemerintahan nasional yang ada di atasnya yaitu camat, tetapi secara adat beliau bertanggung jawab kepada pemimpin tertinggi adat yaitu Puun. Dalam menjalankan tugasnya dia dibantu oleh sekretaris desa yang berasal dari luar Kanekes dan dua orang pembantu lain yang disebut Pag iw a dari dalam Kanekes. Jaro pemarentah merupakan penyeimbang antara sistem pemerintah nasional dengan sistem adat di Badui, selain itu juga berfungsi sebagai penghubung antara Baduy dengan dunia luar. Pemilihan pemimpin pemerintahan nasional ini dilakukan dengan kesepakatan antara Puun dengan camat sebagai atasan dari sistem nasional. Pemimpin tertinggi dalam sistem adat Baduy disebut Pu u n yang ada di tiga kampung di Baduy Dalam, yaitu Cikeusik, Cikartawana, dan Cibeo. Jabatan puun ini berlangsung secara turun temurun,
6

meskipun tidak otomatis dari bapak ke anak, tetapi bisa ke saudara puun lainnya yang dianggap memiliki kemampuan untuk menjadi pemimpin. Tidak ada batasan waktu bagi puun untuk menjabat sebagai pimpinan tertinggi masyarakat Baduy, hanya didasarkan pada batas kemampuannya untuk memimpin. Sebagai pelaksana sehari-hari dalam sistem adat dilaksanakan oleh Jaro Tan g tu di masing-masing kampung di Baduy Dalam, sedangkan untuk kampung-kampung di Baduy Luar dipimpin oleh Jaro 12. Urusan puun lebih banyak untuk dunia gaib, sedangkan Jaro Tungtu lebih banyak pada urusan duniawi. Selain itu Puun juga memiliki pembantu umum yang disebut Giran g Se u rat dan juga memiliki penasehat yang disebut Bare s an . Untuk kesehatan dan kepala dukun yang ada di wilayah Baduy diurus oleh Tan g ke s an . Orang menjabat tangkesan haruslah seorang cendikia dan menguasai ilmu obat-obatan dan juga pandai meramal masa depan. Tangkesan juga terlibat di dalam penentuan pemilihan puun yang tepat dan juga sebagai penasehat Puun. Dalam struktur pemerintahan banyak dijumpai istilah Jaro yang artinya adalah pemimpin kelompok. Pemimpin-pemimpin di Baduy dipilih secara turun temurun, sehingga ada hubungan kekerabatan dalam sistem kepemimpinan. Untuk urusan yang bersifat duniawi ditunjuk dari garis keturunan yang paling muda, sedangkan untuk pemimpin urusan keagamaan, budaya, serta adat istiadat dipilih dari garis keturunan yang tertua. Sinergi dalam kepemimpinan tersebut ditujukan untuk menjangkau seluruh wilayah Baduy. Dengan sistem yang dibangun tersebut seluruh kampung di Desa Kanekes tidak ada yang terabaikan dan tetap patuh dengan aturan-aturan adat yang ada, karena selalu ada fungsi kontrol di tiap-tiap kampung. Selain itu sebagai bentuk penghargaan dan pengakuan keberadaan pemerintah nasional mereka punya cara tersendiri yaitu dengan melakukan upacara seba. Upacara seba adalah dilakukan setahun sekali dengan menghantar berbagai macam hasil bumi (padi, palawija, buah-buahan) kepada

Gubernur Banten dan dilakukan dengan jalan kaki sepanjang sekitar 120 km dari Kanekes ke kantor gubernur. 2.1.2 Ke p e n d u d u kan Pertumbuhan populasi di Kanekes tidaklah besar, sehingga belum ada permasalahan dengan ketersediaan lahan disana. Sejauh ini ketersediaan lahan untuk pemukiman masih sangat besar. Berdasarkan catatan pemerintah Belanda di Indonesia pada tahun 1889 penduduk Baduy berjumlah 1407 orang dan sekarang ini menurut pengakuan Jaro Pamerantahan yang bernama Jaro Daina sudah mencapai 10800-an. Penduduk laki-laki jumlahnya lebih banyak dari wanita, yaitu sekitar 5500 jiwa, sedangkan sisanya 5300 jiwa adalah wanita. Berdasarkan kelompok umur, maka masyarakat Baduy dapat dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu masyarakat usia produktif yang jumlahnya sekitar 50%, kelompok masyarakat anak-anak sekitar 30%, dan 20% adalah kelompok orang tua. Penduduk kanekes sekarang ini terdistribusi di 56 kampung, yaitu 3 kampung Baduy Dalam (tangtu), 50 kampung Baduy Luar (panamping), dan 3 kampung di Baduy Dangka atau wilayah buffer. Pada tahun 1889 mereka hanya terdistribusi di 9 kampung yaitu 3 tangtu, 1 panamping, dan 5 dangka. Pada saat ini mayoritas penduduk Baduy tinggal di wilayah Baduy Luar, yaitu sekitar 80% dari total penduduk disana. Hanya sebagian kecil saja yang tinggal di daerah dangka, dan sisanya tinggal di daerah Baduy Dalam. Tidak ada angka pasti berapa rumah tangga yang ada disana, terutama yang tinggal di Baduy Dalam. Ada beberapa versi yang menjelaskan bahwa ada batasan maksimal jumlah rumah tangga dapat tinggal di Baduy Dalam, jika melebihi batas tersebut, maka salah satu dari anggota keluarga tersebut harus pindah ke Baduy Luar. Kondisi ini dibuktikan dengan tidak adanya penambahan jumlah kampung di wilayah tangtu dari tahun 1889 sampai sekarang ini. Meskipun memiliki kekerabatan yang dekat, adat istiadat yang kuat, serta proteksi dari dunia luar, tetapi ada pula beberapa orang Baduy yang keluar dari Kanekes dan memilih tinggal di daerah yang jauh. Ada beberapa yang kemudian meninggalkan identitias Baduy mereka, tetapi ada pula yang tetap menggunakan identitas mereka, seperti cara berpakaian dan cara berpikir mereka. Dikatakan oleh
7

Jaro Daina bahwa rata-rata tiap tahun ada 2-3 orang yang keluar dari kelompok mereka. Untuk keluar dari lingkungan mereka harus mendapatkan izin dari pemimpin mereka. Umumnya alasan mereka keluar dari Baduy karena ingin mendapatkan pengalaman baru dari dunia luar. 2.1.3 Ag am a, Id e o lo g i d an B u d ay a B ad u y Nilai-nilai yang diterapkan di dalam kehidupan mereka sehari-hari banyak diadopsi dari gabungan agama Hindu dan Budha. Kurangnya interaksi masyarakat Baduy dengan dunia luar menyebabkan perkembangan ajaran agama mereka menjadi lambat. Dalam perkembangannya masyarakat Baduy justru menyesuaikan ajaran Hindu dan Budha tersebut dengan pelajaran-pelajaran yang mereka dapatkan dari alam tempat mereka tinggal. Lambat laun ajaran-ajaran agama yang mereka anut lebih

dekat kepada kejawen animisme, yaitu bentuk animisme yang disesuaikan dengan adat dan budaya jawa. Meskipun demikian banyak istilah-istilah yang mereka pergunakan diambil dari istilah-istilah agama Hindu dan Budha. Sampai sekarang ini mereka lebih suka menyebut agama yang mereka anut dengan nama Sunda Wiwitan, yang artinya adalah ajaran dan budaya dari suku Sunda yang asli atau yang awal sebelum ada pengaruh luar seperti pengaruh Islam dari Arab maupun Kristen dari Eropa. Keyakinan dalam kehidupan yang menghargai alam sebagai pelindung kehidupan mereka, memunculkan banyak ritual-ritual serta aturan-aturan untuk menjaga kelestarian alam. Mereka berpendapat kerusakan pada alam berarti kerusakan pada manusia yang ada di dalamnya. Bencana alam hanya akan muncul ketika manusia mulai mengusik ketenangan alam. Ketakutan mereka pada bencana-bencana alam yang muncul justru semakin mendekatkan mereka pada alam dan menghindari dari kerusakan-kerusakan. Dikatakan oleh pemimpin mereka bahwa alam bukanlan sumber daya yang harus dieksploitasi untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya, tetapi alam merupakan titipan dari Tuhan untuk dijaga manusia untuk generasi yang akan datang. Dengan filosofi seperti itu mereka menjaga kelestarian lingkungan di Desa Kanekes secara turun temurun. Masyarakat Baduy memiliki kepercayaan, bahwa mereka tercipta di bumi sebagai kelompok penjaga alam baik hutan dan air di lingkungannya. Mereka beranggapan bahwa Desa Kanekes merupakan salah titik pusat alam di dunia, sehingga jika titik pusat tersebut rusak karena ulah manusia maka Pulau Jawa akan terjadi bencana dan kehancuran. Kepercayaan dan anggapan tersebut mendorong masyarakat Baduy untuk secara mati-matian menjaga kelestarian lingkungannya. Dari alam mereka mampu memenuhi kebutuhan dasar sehari-hari, yaitu makan, tempat tinggal, dan pakaian. Bagi mereka kebutuhan dasar manusia untuk dapat hidup di dunia adalah tiga hal tersebut, sehingga selebihnya bukanlah kebutuhan tetapi keinginan atau nafsu manusia. Tidak ada usaha masyarakat Baduy untuk memperkaya diri, tetapi hanya memenuhi kebutuhan dasar mereka saja. Meskipun hidup dalam kondisi seperti itu, masyarakat Baduy hidup sangat mandiri tidak pernah berharap atau meminta bantuan dari luar. Kemandirian untuk menolak bantuan terutama dari luar ini berhubungan dengan dua hal, pertama mereka memiliki prinsip bahwa lebih baik menolong daripada ditolong dan kedua mereka mencoba melakukan filter terhadap modernisasi. Prinsip lebih baik menolong ini bukan sekedar slogan tetapi benar-benar merupakan spirit yang diterapkan diseluruh aspek kehidupan. Sementara penolakan atau penerimaan bantuan dari luar harus mendapatkan izin dari pemimpin tertinggi mereka. Masyarakat Baduy sangat ketat sekali untuk melakukan filterisasi budaya dari luar. Pemerintah Indonesia pernah menawarkan bantuan untuk melakukan perkerasan terhadap jalan di Baduy, tetapi mereka

menolaknya dengan alasan bahwa perkerasan jalan akan mengubah kondisi alam yang juga akan memberikan dampak perubahaan kebiasaan hidup mereka. Proteksi nilai-nilai di Baduy terhadap pengaruh dari luar ini sejalan dengan kepercayaan dalam agama Sunda Wiwitan yang mereka anut, yaitu adanya konsep tanpa perubahan apapun, atau perubahan sesedikit mungkin.
8

2.1.4 De m o kras i d an Hak As as i Man u s ia Semangat demokrasi di Baduy dapat terlihat di dalam struktur pemerintahan yang ada. Tidak ada kekuasaan yang bersifat absolut diantara pemimpin-pemimpin disana. Puun yang merupakan pemimpin tertinggi tetap akan diberikan hukuman jika mereka melakukan pelanggaran terhadap hukum adat, karena ketiga Puun selalu diawasi oleh Tangkesan. Puun yang melanggar aturan juga akan menerima hukuman sesuai hokum adat dan posisinya dapat diganti dengan yang lain. Selain itu dengan adanya Puun yang berjumlah tiga juga memungkinkan untuk saling mengawasi dan mengingatkan dalam menjalankan fungsinya. Model demokrasi yang ada disana memang tidak sama dengan sistem demokrasi modern, dimana rakyat memiliki hak memilih pemimpinnya. Model demokrasi Baduy adalah demokrasi yang diwakili oleh pemimpin masing-masing kampung. Selain penerapan demokrasi dalam membentuk struktur pemerintahan, mereka juga menerapkan system demokrasi pada pengambilan keputusan terhadap permasalahan-permasalahan baru yang muncul. Musyawarah untuk mufakat merupakan upaya pertama yang diambil, ketika menghadapi permasalahan. Tingkatan musyawarah tergantung dari tingkatan permasalahan yang muncul. Jika masalah yang muncul hanya pada tingkat lingkungan terkecil maka pemimpin kelompok tersebut akan mendiskusikan bersama dengan masyarakat di lingkungan tersebut untuk mencari solusi dengan tidak menyimpang pada aturan-aturan yang sudah ditetapkan. Jika permasalahan tersebut menyangkut seluruh wilayah Desa Kanekes maka seluruh pemimpin masing-masing kampung diundang untuk mencari jalan keluar secara bersama-sama. Prinsip demokrasi yang mereka lakukan juga ditujukan untuk saling menghormati hak asasi manusia untuk hidup merdeka dan mandiri. Hak rakyat untuk dapat hidup layak sangat dihargai di lingkungan mereka. Salah satu wujud dari penghargaan hak asasi manusia tersebut adalah tidak pernah ada kasus kekurangan pangan maupun pembunuhan di lingkungan mereka. Hidup secara damai dan saling menghargai satu sama lain merupakan bagian dari ajaran mereka. Dengan sistem sosial dan ekonomi yang mereka bangun, maka semua orang dapat memenuhi kebutuhan dasar mereka dan tidak ada yang kekurangan. Pola hidup yang sehat tersebut juga memberikan dampak sektor kesehatan di Baduy, dimana tidak pernah ada wabah penyakit yang menyerang mereka. Sebagian besar mereka tidak paham benar dengan istilah demokrasi dan hak asasi manusia, tetapi ajaran dan sistem yang dibangun mereka pada dasarnya telah mengandung nilai-nilai yang ada di dalam nilai demokrasi dan hak asasi manusia. Tidak adanya ego individu dan semuanya untuk kepentingan bersama dan yang terpenting adalah kelestarian alam yang mendasari terciptanya kedamaian di lingkungan Baduy. 2.1.5 Pe n d id ikan Pendekatan pendidikan di Baduy adalah non formal yang dilakukan dirumah-rumah maupuan di lapangan secara langsung. Tidak ada bangunan sekolah formal disana, meskipun demikian 40% masyarakanya dapat membaca dan menulis. Selain menggunakan bahasa sunda sebagai bahasa sehari-hari, mereka juga dapat berbicara dalam bahasa Indonesia. Mereka memiliki sistem pendidikan

sendir, dimana bagi anak-anak sebelum usia 10 tahun mereka dibimbing oleh orang tua masingmasing. Setelah usia 10 tahun, mereka belajar mengenai norma dan aturan yang berlaku di Baduy dengan berkelompok kecil. Kelompok-kelompok tersebut didasarkan pada kedekatan rumah mereka, dan dibimbing oleh seorang pemimpian atau Jaro yang ada di lingkungan dekat mereka. Umumnya tempat belajar mereka di rumah pemimpin mereka yang memiliki tempat luas, selain itu juga pelajaran lebih banyak dilakukan di alam secara langsung. Bagi mereka proses belajar dilakukan terus menerus dan tidak lagi dibatasi umur, siapa saja dapat datang kepada pemimpinnya atau belajar dengan orang lain yang lebih pintar kapan saja mereka membutuhkan. Materi atau substansi pendidikan yang diajarkan oleh mereka secara turun temurun pada dasarnya adalah sesuai dengan kebutuhan hidup saja. Aspek aturan hidup, ekonomi, sosial, serta lingkungan
9

merupakan materi pelajaran yang diajarkan bagi semua masyarakat. Belajar aturan hidup merupakan dasar pelajaran yang harus diketahui semua masyarakat. Hal-hal yang baik dan buruk menurut mereka diajarkan secara turun temurun. Aturan hidup merupakan payung dari seluruh aktivitas. Aspek ekonomi yang diajarkan hanya sederhana, yaitu belajar bercocok tanam dengan tetap menjaga keseimbangan alam. Semua laki-laki Baduy bisa bercocok tanam sesuai dengan cara bercocok tanam mereka. Perempuan baduy belajar menenun pakaian dan membuat gula aren. Pengetahuan sosial masyarakat diberikan untuk memahami struktur adat serta ritual-ritual yang harus dijalankan. Pelajaran mengenai menjaga kelestarian lingkungan ditujukan untuk tetap menjaga keutuhan bentuk alam. Mereka paham titik-titik mana yang tidak boleh dimanfaatkan dan tempat mana yang bisa dimanfaatkan. Untuk menjaga kelestarian air sungai, bahkan mereka diajarkan untuk tidak menggunakan sabun serta pasta gigi, karena dapat mencemari air sungai. Untuk menjaga kebersihan mereka menggunakan bahan-bahan alami dari tumbuhan sebagai pengganti sabun dan pasta gigi. Pendidikan non formal yang diajarkan sangat sederhana sekali, hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup saja. Dituturkan oleh salah satu Jaro (pemimpin) mereka bahwa mereka mendidik masyarakatnya bukan untuk menjadi pintar tetapi untuk menjadi jujur. Mereka berpikir bahwa orang pintar identik dengan modern, sehingga orang pintar berkeinginan untuk melakukan perubahan di lingkungan Baduy. Sedangkan orang jujur lebih bisa mematuhi aturan yang ada di lingkungan Baduy dan cenderung mengikuti aturan tersebut.
Gambar 5. Anak-anak Baduy belajar bersama

Sumber ilmu yang diajarkan diambil dari fenomena alam yang terjadi disana. Alam merupakan sumber ilmu yang disarikan oleh orang-orang tua dan diturunkan kepada anak-anak mereka. Prinsip dengan perubahan sekecil-kecilnya menjadi landasan pelajaran yang diajarkan kepada anak-anak. Kondisi alam dari dulu sampai sekarang selalu dipertahankan bentuknya, hal ini bisa ditunjukkan

dengan bentuk fisik alam disana yang dalam kurun waktu sekitar 20 tahun tidak ada perubahan yang baru, hanya pertambahan rumah saja sesuai dengan kebutuhan.
10

2.2 Aktivitas Perekonomian Sistem perekonomian Baduy lebih mengutamakan sistem tertutup, artinya aktivitas ekonomi dilakukan hanya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan diproduksi serta dikonsumsi di lingkungan Baduy sendiri. Begitu juga pakaian, sandal dan peralatan pertanian mereka buat sendiri dengan menggunakan bahan-bahan yang ada di lingkungan mereka. Hanya sebagian kecil kebutuhan didapatkan dari wilayah sekitar Baduy. Pertanian merupakan aktivitas ekonomi utama dan penting, sedangkan aktivitas tambahan berupa kerajinan seperti sarung, baju, dan membuat gula aren. Dengan ideologi bahwa aktivitas ekonomi hanya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan bukan untuk memperkaya diri, maka tidak banyak aktivitas jenis ekonomi yang dilakukan mereka seperti masyarakat modern pada umumnya. Seluruh masyarakat di Baduy belajar untuk bekerja di pertanian sesuai dengan aturan yang telah ditentukan. Di Baduy terdapat aturan dalam pertanian yang diikuti oleh masyarakatnya. Ada waktu dimana mereka harus mengolah tanah, menanam, maupun memanen hasil pertaniannya. Sistem pertanian disana adalah dengan sistem berladang dan berkebun. Pada masa dimana mereka tidak sedang bekerja di ladang, Baduy laki-laki bekerja di hutan untuk berburu dan memanen madu, sementara Baduy wanita bekerja menenun dirumah untuk membuat baju, selendang, sarung, serta kerajinan tangan seperti tas. Hasil dari aktivitas ekonomi ini oleh mereka diutamakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan untuk upacaraupacara, sedangkan sisanya mereka jual ke daerah luar untuk dibarter dengan kebutuhan yang tidak mereka hasilkan seperti garam, minyak, serta bumbu-bumbu. Madu Baduy sangat terkenal di daerah Banten karena tidak dicampur dengan bahan lainnya, sehingga sering disebut madu asli. Mereka menjual madu dan hasil kerajinan lainnya sampai ke kota. 2.2.1 Sis te m Pe rlad an g an Sistem pertanian di Indonesia maupun di beberapa negara pertanian di dunia sudah sangat jarang sekali menggunakan sistem berladang. Dengan jumlah penduduk yang terus bertambah dan membutuhkan lahan, maka sistem berladang menjadi tidak efektif dan cenderung merusak lingkungan. Menurut masyarakat Baduy sistem berladang yang mereka kerjakan sesuai dengan kepercayaan serta ideologi hidup mereka, yaitu untuk tidak membuat perubahan secara besarbesaran pada alam, karena justru akan menimbulkan ketidakseimbangan alam. Dengan sistem berladang mereka tidak melakukan perubahan bentuk alam, karena mereka menanam mengkuti alam yang ada.

Mereka menanam padi dan tumbuhan lainnya sesuai dengan lereng disana, mereka tidak membuat terasiring. Sistem pengairan disana tidak menggunakan irigasi teknis, tetapi hanya memanfaatkan hujan yang ada. Ada larangan penggunaan air sungai atau mata air untuk mengairi sawah. Mereka memiliki keyakinan bahwa dengan membelokkan arah aliran air sungai maupun mata air untuk pertanian akan mengubah bentuk alam dan dapat menimbulkan ketidakseimbangan alam dan menimbulkan kerusakan alam. Pemupukan serta perawatan pertanian yang dilakukan semuanya adalah organik, tidak ada unsur kimia yang digunakan dalam mengelola pertanian. Lahan untuk berladang dipilih yang memiliki
Gambar 6. Laki-laki Baduy mengambil hasil kebunnya 11

humus banyak hal ini biasanya ditandai dengan banyaknya daun-daun yang berserakan di ladang tersebut. Humus yang ada di ladang itulah yang digunakan mereka sebagai media pupuk untuk menyuburkan tanaman. Semakin lama lahan tersebut tidak digunakan sebagai ladang, maka akan semakin banyak humus di daerah tersebut dan semakin subur. Hasil panen padi disimpan di lumbung bersama yang berada di tepi kampung. Selain untuk menyimpan padi untuk persediaan selama setahun, lumbung juga digunakan untuk menyimpan bibitbibit unggul untuk ditanam pada tahun berikutnya. Lumbung ditutup rapat untuk mencegah padi dari hama maupun hewan lainnya. Masyarakat Baduy tidak bisa seenaknya membuka lumbung, tetapi harus mendapatkan izin dari pemimpin kampung. Kebutuhan padi untuk hidup sehari-hari, maupun untuk upacara-upacara telah direncanakan bersama sehingga tidak ada keluarga yang kekurangan maupun kelebihan persediaan padi di rumah.
Gambar7. Masyarakat Baduy sedang menyiapkan ladang untuk ditanami

2.2.2 Ke h id u p an Eko n o m i Pe n d u ku n g Pada waktu masa bukan bertani masyarakat Baduy tidak tinggal diam, tetapi mereka melakukan kegiatan-kegiatan lain untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka. Untuk memenuhi kebutuhan pangan mereka juga menangkap ikan di Sungai Ciujung yang memiliki banyak jenis ikan. Mereka menangkap ikan sesuai dengan kebutuhan saja pada saat itu, bukan untuk dijual. Ada beberapa orang yang beternak ayam, selain untuk dimanfaatkan telurnya juga untuk diambil dagingnya. Pada saat mengadakan upacara-upacara atau pesta mereka memasak ayam. Mereka tidak diperbolehkan makan hewan mamalia besar seperti sapi, kerbau dan kambing. Masyarakat Baduy diperbolehkan berburu untuk keperluan upacara saja, bukan untuk keperluan sehari-hari. Hasil buruan tersebut untuk jamuan ketika mengadakan upacara atau pesta. Hewan-hewan yang diburu hanya terbatas pada kancil, tupai, dan menjangan. Kebutuhan pakaian juga mereka penuhi sendiri, yaitu dengan membuat baju dan celana dari kain yang ditenun sendiri. Ikat kepala dan tas yang digunakan sehari-hari juga merupakan hasil kerajinan tanan yang dibuat umumnya oleh wanita Baduy. Sedangkan untuk, kebutuhan tempat tinggal tidaklah sekomplek masyarakat modern, mereka hanya membangun tempat tinggal seperlunya dengan arsitektur bangunan yang sama. Besar kecilnya rumah mereka tergantung dari jumlah

keluarga yang tinggal. Rumah mereka berbentuk rumah panggung dengan bahan dari kayu ringan
12

dan bamboo. Hanya ada dua ruangan, yaitu ruangan public dan ruangan privat. Ruangan public ini untuk menerima tamu sekaligus untuk ruang keluarga, sedangkan ruang privat merupakan ruang campur seperti tempat tidur dan memasak. Baduy juga terkenal dengan kerajinannya, meskipun dilakukan secara sederhana. Mereka tidak mengenal seni pahat, ukir, maupun lukis. Kerajian yang berkembang adalah kain tenun, tempat pisau, anyaman, serta alat musik. Alat musik angklung dan kecapi sudah lama mereka kenal dan mereka membuatnya sendiri dari kayu dan bambu. Secara periodic pada waktu upacara-upacara mereka memainkan alat-alat musik tersebut. Hanya pria dewasa saja yang boleh memainkannya, sementara wanita dan anak-anak hanya menjadi penonton atau menari.
Gambar 8. Wanita Baduy sedang menenun kain di teras rumah

Menenun pakaian dilakukan oleh wanita di rumah mereka, sedangkan peralatan untuk menenun dibuat oleh laki-laki. Mereka menenun pakaian utamanya untuk memenuhi kebutuhan pakaian, sedangkan hanya sebagian kecil saja yang dijual di luar Baduy. Untuk anyaman dari serat kayu dibuat tas yang kemudian digunakan oleh mereka ketika pergi ke lading atau membawa barang lain untuk aktivitasnya. Ada juga yang dijual keluar Baduy untuk ditukar dengan barang lain. 2.3 Pengelolaan Lingkungan Kondisi lingkungan di desa Kanekes memiliki kualitas yang baik yang ditandai dengan kekayaan kenakeragaman hayati yang masih tinggi. Banyak jenis-jenis flora dan fauna yang ada di Baduy tetapi tidak ditemukan di wilayah lainnya. Beberapa satwa yang hidup disana tergolong liar dan langka sehingga dilindungi oleh pemerintah Indonesia. Kemandirian hidup mereka menciptakan interaksi masyarakat dan lingkungan yang sangat erat dan saling tergantung. 2.3.1 Ko n d is i Fis ik Alam B ad u i Pemukiman masyarakat Baduy umumnya berada di daerah lembah bukit yang relatif datar dan mendekati sumber air tanah maupun sungai. Kondisi hutan dengan pohon-pohon yang tinggi disana menyebabkan banyak sekali mata air, terutama di daerah lembah. Sungai besar yang mengalir di
13

Kanekes adalah Sungai Ciujung, yang hulunya berada di hutan-hutan di selatan Baduy dalam. Aliran Sungai Ciujung ini melintas di wilayah Baduy dan mengalir menuju utara dan bermuara di Laut Jawa dekat dengan Kota Jakarta. Sungai Ciujung merupakan sungai besar yang dimanfaatkan oleh beberapa wilayah yang dilaluinya, terutama untuk sumber air baku PDAM dalam penyediaan air bersih di perkotaan. Dengan demikian wilayah Baduy yang merupakan bagian hulu Sungai Ciujung merupakan daerah vital yang harus tetap dijaga kelestariannya. Kondisi hutan disana menjadi area yang sangat penting terhadap sistem hidrologi Sungai Ciujung. Secara umum masyarakat Baduy membagi wilayah Kanekes menjadi tiga zona yaitu zona bawah, zona tengah, dan zona atas. Wilayah di lembah bukit yang relatif datar merupakan zona bawah

digunakan oleh masyarakat Baduy sebagai zona pemukiman. Masyarakat Baduy menamakan zona ini sebagai zona dukuh lembur yang artinya adalah hutan kampung. Mereka mendirikan rumah di zona ini secara berkelompok dan ada beberapa kelompok-kelompok pemukiman di Kanekes. Bentuk rumah masyarakat Baduy berbentuk panggung sederhana dan tradisional. Material yang digunakan didapat dari alam disekitar mereka, seperti kayu untuk tiang, bambu untuk dinding dan daun kelapa untuk atapnya. Di daerah pinggir kelompok rumah terdapat lumbung padi untuk menyimpan persediaan beras mereka dan dihindarkan dari hama. Rata-rata permukiman mereka berada di ketinggian 250 m dpl, dengan daerah terendah pada 150 m dpl sedangkan yang tertinggi sampai dengan 400 m dpl. Zona kedua atau zona tengah berada di atas hutan kampung, lahan ini digunakan sebagai lahan pertanian intensif, seperti ladang kebun dan kebun campuran. Cara berladang mereka masih tradisional yaitu dengan membuka hutan-hutan untuk digunakan sebagai lahan pertanian dan kebun. Hutan yang dibuka untuk ladang merupakan jenis hutan sekunder atau hutan produksi. Lahan untuk berladang tersebut digunakan selama satu tahun, setelah itu lahan tersebut dibiarkan untuk menjadi hutan kembali minimal 3 tahun. Pada lahan-lahan tertentu yang subur dan ditanami tanaman dengan nilai jual tinggi seperti kopi dan cengkeh umumnya ditanam terus menerus dan tidak dihutankan kembali.
Keterangan : A = dipandang secara vertikal B = dipandang secara horisontal I = zona bawah (hutan kampung) II = zona tengah (ladang) III = zona atas (hutan tua) Gambar 9. Pembagian zona di wilayah Baduy, Desa Kanekes

Zona ketiga atau zona atas merupakan daerah di puncak bukit. Wilayah ini merupakan daerah konservasi yang tidak boleh dibuat untuk ladang, hanya dapat dimanfaatkan untuk diambil kayunya secara terbatas. Masyarakat Baduy menyebut kawasan ini sebagai leuweung kolot atau leuweung
14

titipan yang artinya hutan tua atau hutan titipan yang harus dijaga kelestariannya. Mereka sangat patuh terhadap larangan untuk tidak masuk ke wilayah hutan tua tanpa seizin petinggi adat. Secara keseluruhan luas Desa Kanekes adalah 5101,85 hektar, yang terdiri dari 0,48% areal pemukiman, 48,85% areal hutan tetap atau hutan tua, 13,40% areal pertanian yang ditanami, dan sisanya sebanyak 36,77% adalah lahan yang sedang istirahat dari kegiatan perladangan. 2.3.2 Ke an e karag am an Hay ati Dengan kawasan hutan lindung atau yang disebut mereka hutan tua, maka daerah Baduy memiliki keanekaragaman hayati yang cukup tinggi. Kondisi tersebut secara ekologi akan menciptakan keseimbangan alam dan memberikan keuntungan lain seperti sumber daya plasma nutfah yang dapat dikembangkan untuk pembudidayaan dan penyilangan tanaman di masa yang akan datang. Adanya vegetasi yang beraneka ragam dapat menjaga iklim setempat, menghindari pemanasan global,

hidrologi, kelembaban, lindungan angin kencang, terik matahari, perlindungan satwa liar, mencegah bahaya erosi, dan kelestarian lingkungan lainnya. Berdasarkan penelitian yang dilakukan sekitar tahun 1990-an oleh Johan Iskandar, dosen di Universitas Padjajaran Bandung, ditemukan sekitar 30 jenis burung, 13 jenis mamalia, 19 jenis ikan, dan 8 jenis reptil yang hidup di lingkungan Baduy. Dari beragam jenis fauna, 40% merupakan hewan liar yang dilindungi oleh Hukum Indonesia. Pengamatan beliau terhadap flora yang ada disana juga menunjukkan angka yang besar, yaitu ditemukan 200 lebih jenis tanaman. Jenis-jenis tanaman tersebut sebagian besar dilindungi, karena sudah semakin langka keberadaannya. Untuk pertanian masyarakat Baduy memiliki 80 jenis padi lokal yang mereka lestarikan dan dibudidayakan dengan disimpan di dalam lumbung mereka. Jenis-jenis padi tersebut sudah jarang bahkan tidak dapat ditemukan di luar Baduy, akibat proses seleksi oleh masyarakat modern yang cenderung memilih jenis padi dengan nilai ekonomi tinggi.
Gambar 10. Lumbung padi selain untuk menyimpan beras juga untuk menyimpan bibit padi yang akan ditanam musim berikutnya

Jenis flora dan fauna tersbesar ada di wilayah Baduy Dalam yang sebagian besar wilayahnya adalah hutan lindung. Keberagaman jenis flora dan fauna ini memberikan hasil produksi hasil yang beraneka ragam untuk kepentingan sosial ekonomi penduduk saat ini dan saat yang akan datang, seperti tanaman pangan, bumbu, sayur, bahan kerajinan, kayu baker, bahan bangunan, dan lainlain. Wajar jika mereka dapat hidup mandiri dengan memenuhi kebutuhan hidupnya dari lingkungannya.
15

2.3.3 Pan d an g an Lin g ku n g an B ad u i Tempat tinggal mereka yang terpencil dan peri kehidupan tradisional yang tetap dipertahankan oleh masyarakat Baduy menyebabkan mereka memiliki sifat-sifat tradisional. Banyak hutan-hutan lindung yang sering mereka sebut dengan hutan titipan, yang benar-benar steril dari ulah manusia. Kehidupan ekonomi sosial mereka telah mengadaptasi diri dengan lingkungan sekitar beraturratus tahun lamanya secara turun temurun. Cara hidup tradisional masyarakat Baduy yang sederhana dan penuh toleransi tersebut lebih melihat kehidupan jauh kedepan, sehingga tetap menjaga keberlanjutan hidupnya. Proteksi terhadap lingkungan ditujukan untuk mempertahankan kehidupan mereka supaya tetap utuh dan bisa memenuhi kebutuhan hidup sendiri. Pandangan mereka dalam kelestarian lingkungan, sama dengan pemikiran dalam pembangunan berkelanjutan dimana mereka beranggapan bahwa kerusakan lingkungan atau perubahan terhadap bentuk lingkungan akan mengancam sumber kehidupan mereka yang berakibat dengan kelaparan dan kekurangan secara ekonomi lainnya. Kehancuran kehidupan akibat kerusakan lingkungan akan

memicu kepunahan suku Baduy. Oleh sebab itu mereka juga melarang bahkan melawan pihak luar yang berusaha merusak lingkungan mereka. Untuk memproteksi lingkungan dari pengaruh dari luar banyak upaya yang dilakukan mereka dari yang bersifat represif maupun preventif. Beberapa usaha preventif yang selama ini dilakukan adalah dengan tidak menerima bantuan pembangunan dari pihak mana pun yang diperkirakan dapat merusak kondisi lingkungan atau tatanan sosial mereka. Selain itu mereka juga terus mendesak pemerintah baik lokal maupun nasional untuk menjadikan kawasan mereka sebagai kawasan yang dilindungi dan didikung dengan peraturan yang diterbitkan oleh pemerintah sehingga mengikat bagi orang di luar Baduy. Dalam kaitannya usaha represif mereka secara tegas langsung menindak siapa saja yang berusaha merusak lingkungan mereka. Pada akhir-akhir ini akibat dari kondisi ekonomi masyarakat di luar Baduy yang sulit, sebagaian orang tidak bertanggung jawab berusaha untuk menebang pohonpohon di hutan-hutan Baduy terutama yang berbatasan dengan wilayah luar. Ketika mengetahui hal tersebut, mereka berusaha menasihati orang yang melakukan penebangan itu, selanjutnya jika orang tersebut tidak patuh dengan nasihat mereka maka orang Baduy tidak segan-segan untuk menghukum mereka dengan tata cara mereka sendiri. 2.3.4 In s tru m e n Pe n ataan Lin g ku n g an Prinsip dan falsafah kehidupan di Baduy merupakan intrumen utama bagi pengelolaan lingkungan disana. Mereka menganggap dirinya ekslusif dalam hal pengelolaan lingkungan, karena cerita dan ajaran nenek moyang mereka yang mengatakan bahwa mereka adalah kaum yang dipilih sebagai penjaga alam Kanekes yang merupakan salah satu pusat alam. Cerita dan ajaran tersebut terpatri di dalam hati dan pikiran mereka yang mempengaruhi setiap tindakannya. Untuk mengendalikan penggunaan lahan oleh masyarakat, tidak ada kepemilikan lahan. Lahan disana merupakan tanah adat yang digunakan secara bersama-sama. Di wilayah Baduy dalam tidak ada sistem jual beli maupun sewa menyewa lahan, yang ada adalah kepemilikan tanaman. Tanaman menjadi milik orang yang menanam sementara lahan tetap menjadi milik adat. Dengan sistem seperti itu adat dapat mengendalikan lahan dan peruntukannya. Lahan-lahan yang dapat digunakan sebagai ladang pertanian digunakan secara bergiliran oleh keluarga-keluarga disana. Untuk wilayah Baduy Luar ada sistem sewa menyewa lahan, tetapi tidak ada sistem jual beli lahan. Sewa menyewa dilakukan untuk lahan pertanian dengan sistem bagi hasil. Keluarga yang menyewa lahan membayar dengan hasil pertaniannya kepada pemilik lahan yang besarannya ditentukan dengan perjanjian pada awal menanam.
16

Untuk mendukung intrumen-instrumen yang ada disana dalam hal penataan lingkungan mereka juga mendesak Pemerintah Indonesia untuk membuat Undang-undang mengenai perlindungan hutan.

Hal ini ditujukan bagi masyarakat luar Baduy yang berusaha untuk merusak alam dan lingkungan di Desa Kanekes. Pemerintah Daerah Kabupaten Lebak dalam hal ini telah mengeluarkan peraturan daerah mengenai perlindungan alam di Desa Kanekes. Selain itu dalam hal hukum adat, mereka juga meminta Pemerintah Nasional untuk mengakui peraturan-peraturan mereka menjadi bagian dari hukum Indonesia.
Gambar 11. Peraturan Nasional tentang perlindungan hutan lindung Baduy

3. IMPLIKASI TERHADAP ESD Pendidikan untuk pembangunan berkelanjutan merupakan upaya menciptakan pembangunan berkelanjutan dimana terdapat keseimbangan kehidupan antara aspek sosial budaya, ekonomi, dan lingkungan. Secara tidak langsung pola kehidupan masyarakat Baduy telah mencerminkan pembangunan berkelanjutan. Nilai-nilai dan ajaran tentang hubungan antara lingkungan, ekonomi, dan kehidupan sosial budaya diajarkan dan dimplementasikan dalam kehidupan mereka. Nilainilai dan ajaran tersebut terpatri keseleruh masyarakat di Baduy, artinya nilai-nilai tersebut dipahami secara sama sebagai sebuah visi kehidupan. 3.1 Keberlanjutan Lingkungan Baduy dari tahun ke tahun tidak mengalami banyak perubahan, hal ini menyangkut keyakinan dalam agama Sunda Wiwitan yang mereka anut. Jika dilihat dari komposisi penggunaan lahannya, areal paling luas dan besar adalah hutan tua, yang terdapat larangan untuk dimanfaatkan. Interaksi masyarakat dengan lingkungan yang berlangsung ratusan tahun ini menyebabkan masyarakat Baduy memiliki kemampuan mengelola sumber daya alam dengan baik dan berkelanjutan. Dari generasi ke generasi sumber daya yang ada disana masih tetap sama dan dapat dinikmati secara turun temurun. Keberlanjutan lingkungan dan kehidupan disana tidak lepas dari sistem sosial yang ada di masyarakat. Sistem sosial seperti ideologi, teknologi, sistem administrasi, serta masyarakat
17

berinteraksi dengan ekosistem seperti tanah, air, serta tanaman yang ada disana. Interaksi keduanya saling memberikan input bagi masing-masing sistem. Energi, materi dan informasi yang dihasilkan dari sistem sosial merupakan masukan bagi ekosistem ladang. Sebaliknya keluaran dari ekosistem ladang digunakan oleh masyarakat Badui untuk mendukung sistem sosial mereka. Interaksi ini dapat dilihat dari perilaku kehidupan sehari-hari mereka, selain itu akibat interaksi tersebut banyak pengetahuan dan tata nilai yang diperoleh dari alam. Masyarakat yang memperoleh pengetahuan dan mengetahui perilaku alam merupakan kelompok yang pandai dan berhasil dalam kehidupan sehari-hari. Dibalik alasan mistis tata nilai Baduy jika dikaji lebih dalam memiliki alasan logis dan dapat diterapkan di kehidupan modern. Seperti larangan masuk ke hutan tua, karena merupakan tempat menyeramkan yang mengancam keselamatan orang yang melanggarnya. Secara logis larangan ini tentunya untuk melindungi hutan dari kerusakan manusia, selain itu untuk tidak mengganggu habitat yang tinggal di hutan tersebut.
Gambar 12. Interaksi Masyarakat Baduy dengan lingkungannya

Keyakinan yang sangat kuat orang Baduy dalam menjaga alamnya supaya tidak rusak, didukung pula keyakinan meraka bahwa Kanekes merupakan wilayah pusat tanah jawa. Mereka berkayikanan, jika pusat dari alam mengalami kerusakan maka akan menimbulkan bencana alam di tempat lainnya. Untuk menghindari kerusakan atau bencana alam ditempat lainnya, maka masyarakat Baduy terutama pemimpin mereka sangat disiplin dalam menjaga kelestarian lingkungan. Kesadaran yang tinggi akan hubungan antara keberlanjutan kehidupan dengan keberlanjutan alam lingkungan itulah yang membentuk perilaku masyarakat Baduy sangat ramah lingkungan. Dalam pengambilan keputusan terhadap permasalahan baru yang muncul, selalu dilandasi oleh kepentingan alam lingkungan sebagai prioritas. Konsep keberlanjutan yang diterapkan oleh masyarakat Baduy jelas bersumber dari kepercayaan dan diturunkan menjadi hukum adat yang dipatuhi mereka bersama. Aturan untuk menghindari perubahan terhadap bentuk alam dalam segala aspek kehidupan merupakan bentuk untuk menjaga kelestarian alam antar generasi. Struktur pemerintahan dan adat yang dikombinasikan untuk menjaga eksistensi hukum adat dan tetap menjadi bagian dari lingkungan luar. Prinsip ekonomi yang diterapkan juga menjadi kunci keberlanjutan masyarakat Baduy, yaitu bahwa aktivitas ditujukan pada pemenuhan kebutuhan sehari-hari yang merupakan kebutuhan primer seperti sandang, pangan, dan
18

papan. Kebutuhan diluar primer dianggap oleh orang Baduy sebagai pemenuhan nafsu atau keinginan saja dan nafsu memicu terhadap eksploitasi sumber daya alam serta kesenjangan sosial. Jika digambarkan dalam bentuk segitiga, maka alam merupakan puncak tatanan masyarakat Baduy. Masyarakat harus mengabdi pada alam, sebagai bentuk pengabdiannya maka mereka selalu memuja alam sebagai pemberi kehidupan mereka. Hubungan manusia dengan alam seperti itulah yang memunculkan penghormatan tinggi kepada lingkungan untuk menciptakan keberlanjutan kehidupan. 3.2 Komunikasi Sistem Masyarakat Baduy hidup dalam visi yang sama dan diajarkan secara turun temurun. Kesamaan visi ini menciptakan kemudahan dalam berkomunikasi dan berinteraksi sosial. Visi kehidupan tersebut diturunkan dalam kegiatan sehari-hari dan dapat dipahami oleh semua orang dengan jelas. Perubahan yang relative kecil dalam lingkungan mereka, menunjukkan perubahan struktur sosial dan ekonomi yang juga kecil. Perubahan yang kecil tersebut memudahkan masyarakat Baduy mempelajari dan mempraktekkannya secara turun temurun, karena substansi yang dipelajari relatif statis. Visi yang selama ini mereka bawa adalah bagaimana kehidupan dapat menciptakan dan menjaga keseimbangan alam, dengan cara melakukan kegiatan pelestarian lingkungan. Kunci kehidupan yang berkelanjutan terletak pada kemampuan alam untuk terus menerus dapat menyediakan kebutuhan

hidup mereka. Kegiatan ekonomi dan sosial yang mengakibatkan kerusakan pada alam tidak diperkenankan karena pada dasarnya menurut pemikiran mereka sama saja dengan menghabiskan persediaan kebutuhan hidup pada masa yang akan datang. Cara mereka melihat jauh kedepan dapat dikatakan bahwa mereka memiliki perencanaan dan antisipasi pada masa yang akan datang. Pemahaman yang sama terhadap visi ini tentunya didukung adanya penyebaran dan pertukaran informasi yang dapat mencapai seluruh masyarakat Baduy. Mekanisme komunikasi tergambarkan dalam struktur sosial yang ada, dimana terdapat distribusi dua arah baik dari bawah ke atas dan dari atas ke bawah. Komunikasi untuk mendiskusikan pembangunan pada tingkat kampung dilakukan bersama-sama antara masyarakat dengan pemimpin masing-masing di kampung tersebut, dan jika masalah tersebut menyangkut keseluruhan wilayah Baduy maka akan dibahas di tingkat atas yang diaspirasikan oleh pemimpin masing-masing kampung. Hasil musyawarah untuk mufakat pada tingkat atas yang dilakukan oleh seluruh pengurus, baik lembaga adat maupun lembaga pemerintah selanjutnya terdistribusi ke seluruh masyarakat melalui pemimpin-pemimpian kampungnya. Dengan fungsi yang optimal dari masing-masing komponen dalam struktur di Baduy maka memungkinkan untuk mendistribusikan informasi kepada seluruh masyarakatnya melalui pemimpin masingmasing kampung. Mekanisme pengambilan keputusan juga berjenjang seperti pada mekanisme komunikasi, tergantung pada kompleksitasnya. Permasalahan yang relatif ringan dan dapat diselesaikan pada tingkat kampung, maka pengambilan keputusan tidak perlu dibawa pada level yang lebih tinggi. Untuk permasalahan yang sangat berat dan tidak bisa diatasi oleh pemimpin kampung, maka akan dibawa ke tingkat yang lebih tinggi sampai dengan Puun. Permasalahan berat tersebut umumnya menyangkut adat. Selama ini dengan menggunakan struktur organisasi sosial yang ada, mereka tidak mengalami kesulitan, terutama dalam menyelesaikan permasalahan yang muncul. Organisasi yang ada sudah memiliki fungsi menyeluruh terhadap aspek kehidupan yang berjalan, sehingga bagi mereka tidak perlu untuk membentuk organisasi lagi. Dalam perjalanan sejarah di Baduy, struktur adat sudah ada sejak mereka tinggal di Desa Kanekes dan secara turun temurun tidak mengalami perubahan. Pada masa setelah pemerintah Indonesia merdeka mereka melakukan modifikasi terhadap struktur tersebut untuk memasukkan unsur pemerintah nasional ke dalam struktur mereka. Proses penggabungan kedua struktur pun tidak mengalami permasalahan dan tidak menghilangkan struktur yang lama. Penggabungan struktur tersebut merupakan bentuk pengakuan terhadap pemerintah
19

Indonesia dan juga sebagai penghubung dengan dunia luar. Proses yang berjalan lancar tersebut merupakan bentuk dari kapasitas masyarakat Baduy dalam hidup bersosial dan politik. Secara formal pemimpin-pemimpin di Baduy bertindak sesuai dengan tugas dan tanggung jawabnya, tetapi secara informal mereka seperti halnya masyarakat Baduy umumnya yang bekerja di kebun untuk bertani atau kegiatan ekonomi lainnya. Sering kali masyarakat harus menemui para pemimpin itu di ladang mereka, terutama pada musim berladang. Hanya Puun yang memiliki tempat sendiri

seperti rumah dinas atau kantor yaitu di bagian paling selatan dari Desa Kanekes. Hal ini terkait dengan orientasi mereka, dimana arah selatan merupakan arah yang memiliki tingkatan tertinggi. Tidak boleh ada rumah lagi di selatan rumah dinas Puun. Dengan demikian struktur adat dan pemerintah di Baduy memungkinkan terjalinnya sistem komunikasi internal dan eksternal bagi seluruh masyarakat Baduy. Meskipun tidak ada teknologi komunikasi yang modern, seperti telepon maupun media informasi elektronik maupun cetak, tetapi tidak menghalangi masyarakat Baduy dalam berkomunikasi. Informasi yang terjadi di Baduy Luar akan dapat diketahui oleh mereka yang tinggal di Baduy Dalam begitu juga sebaliknya. Sistem komunikasi yang baik pada akhirnya dapat mengkomunikasikan visi kehidupan mereka, dan sebaliknya dengan kesamaan visi dalam hidup mereka dapat berkomunikasi dengan baik. Secara eksternal hubungan dengan dunia luar juga berjalan dengan difasilitasi oleh Jaro Pemerintahan, sehingga mereka juga memiliki sistem untuk mengkomunikasikan visi kehidupan mereka dan mendapatkan informasi dari dunia luar. 3.3 Evolusi Sistem Pendidikan dan Proses Pembelajaran Baduy tidak memiliki sistem pendokumentasian terhadap proses yang dilakukan, mereka hanya mengingat dan kemudian menceritakan secara turun temurun proses perubahan yang dialami. Urutan perkembangan proses perkembangan di wilayah mereka lebih banyak didapat dari tulisantulisan yang dilakukan oleh peneliti yang pernah berkunjung dan menulis tentang kehidupan mereka. Sejak jaman penjajahan Belanda sampai sekarang ini telah ada beberapa tulisan mengenai kehidupan masyarakat Baduy di Desa Kanekes. Berdasarkan tulisan-tulisan tersebut diketahui tidak banyak perubahan baik dalam sistem kehidupan maupun sistem pendidikan. Proteksi dan penolakan terhadap sistem pendidikan formal yang diselenggarakan oleh Pemerintah Indonesia, menyebabkan sistem pendidikan yang cenderung statis. Perubahan sistem pendidikan yang paling berarti, ketika ada tuntutan dari struktur pemerintahan nasional yang dibentuk dan diintegrasikan ke struktur adat menimbulkan konsekuensi kebutuhan berkomunikasi secara tertulis dengan masyarakat luar. Pada saat itu beberapa masyarakat Baduy mulai belajar membaca, menulis, dan berhitung. Mereka belajar di luar Baduy sesuai dengan kebutuhan, umumnya hanya mengikuti pendidikan sekolah dasar dan hanya sebagian kecil saja yang sampai jenjang SMP. Selanjutnya mereka yang sudah bisa membaca, menulis, dan berhitung mengajari masyarakat yang lain di lingkungan Baduy. Kebutuhan akan pendidikan dasar tersebut muncul pada tahun 1970-an. Sejauh ini hanya sekitar 40% masyarakat yang memiliki pendidikan dasar tersebut. Mereka yang memiliki pengetahuan dasar tersebut termasuk golongan orang yang pintar dan umumnya mendapatkan posisi dalam struktur organisasi di Baduy, terutama untuk struktur pemerintahan nasional. Secara tradisional sistem pendidikan dilakukan secara bersama-sama setelah usia 10 tahun, karena sebelum usia tersebut keluarga bertanggung jawab untuk mendidik anak-anaknya sesuai ajaran Baduy. Pelajaran mengenai norma-norma dan aturan yang diajarkan pada anak di atas usia 10 tahun, lebih banyak dilakukan di lapangan dibandingkan di kelas. Sekolah lapangan lebih banyak dilakukan sambil beraktivitas dibandingkan dengan diruangan. Guru yang mengajar umumnya pemimpinpemimpin di

masing-masing kampung mereka atau orang pintar yang memiliki pengetahuan yang lebih dari masyarakat biasanya. Sistem pendidikan di luar kelas lebih bersifat partisipatif, karena siapa saja dapat menjadi guru bagi masyarakat lainnya sekaligus menjadi murid.
20 Gambar 13. Jembatan hasil teknologi masyarkat Baduy

Tidak ada batasan umur di lingkungan Baduy untuk menimba ilmu, bagi mereka belajar harus terus dilakukan sampai mati. Bagi orang-orang tua, rapat yang dilakukan untuk membahas permasalahan yang muncul merupakan bentuk belajar mengajar. Dalam rapat tersebut mereka mendapatkan informasi dan pengetahuan baru serta menyebarkan informasi kepada peserta lainnya. Selain belajar dengan bertukar informasi pada saat melakukan rapat, mereka juga secara langsung belajar dari alam. Selama ini sumber ilmu yang mereka ajarkan dan mereka dapatkan bersumber dari alam. Fenomena alam yang terjadi di lingkungan mereka selalu direfleksikan, terutama oleh pemimpin-pemimpin dan orang pintar untuk dijadikan sumber ilmu bagi mereka. Cara bertanam selalu dikaitkan dengan posisi bintang, yang menurut mereka sangat terkait. Pengetahuan tersebut merupakan hasil refleksi dari fenomena alam yang terjadi secara terus menerus. Prinsip hidup mereka juga mencerminkan ajaran pendidikan mereka, dimana materi yang diajarkan hanya sebatas pada kebutuhan mereka saja. Mereka tidak perlu belajar tentang hal-hal yang tidak akan mereka lakukan di lingkungan Baduy. Sistem pendidikannya pun bisa dikatakan tidak universal karena mereka membuat materi ajaran sendiri dan tanpa dokumentasi yang jelas. Nilai yang dapat diikuti secara universal adalah substansi pembangunan yang berkelanjutan yang diajarkan secara turun temurun. Integrasi pengetahuan tentang lingkungan, sosial budaya, dan ekonomi dikemas dalam materi untuk mencapai keseimbangan alam. Pengetahuan diajarkan tidak sepotong-potong tetapi secara menyeluruh mengenai bagaimana kelestarian lingkungan akan menciptakan lingkungan yang baik dan dapat berproduksi untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia. Jika kebutuhan terpenuhi maka masyarakat sebagai makhluk sosial dapat menjalankan eksistensinya yang pada akhirnya menghasilkan pemikiran dan teknologi untuk menciptakan kelestarian lingkungan. Pola pikir yang membentuk siklus kehidupan tersebut yang selama ini menjadi inti ajaran masyarakat Baduy sehingga dapat eksist sampai sekarang ini. 3.4 Kelembagaan dan Kapasitas Masyarakat Struktur pemerintah adat dibentuk dengan tujuan untuk mengatur tata cara kehidupan yang berlangsung agar sesuai dengan visi kehidupan. Telah dijelaskan dalam struktur pemerintahan, dimana asimilasi dilakukan antara system adat dengan system nasional yang didalamnya ada
21

pembagian tugas dan tanggung jawab yang jelas antar masing-masing fungsi. Tidak ada lembaga yang dibentuk baru disana, karena semuanya mengacu kepada struktur pemerintahan tersebut. Lain dengan kondisi kelembagaan modern, dimana banyak sekali lembaga-lembaga yang sering kali tidak memiliki kaitan satu dengan lainnya.

Gambar 14. Pemimpin Pemerintahan di balai pertemuan

Kelembagaan Baduy sangat sederhana dan dibentuk sesuai dengan kebutuhan. Fungsi-fungsi lembaga tersebut untuk mengatur kehidupan masyarakat, mempertahankan kelestarian lingkungan, dan mempertahankan eksistensi keberadaan mereka. Tingkatan kelembagaan didasarkan pada tingkat kesucian dan ketaatan pada hukum adat. Baduy dalam atau yang disebut tangtu merupakan lembaga yang tinggi dibanding dengan lembaga lainnya. Ada tiga Puun yang memimpin di baduy, dimana mereka memiliki tugas yang berbeda-beda. Pembagian tugas ini dimaksudkan supaya tidak ada tumpang tindih kekuasaan serta meringankan pekerjaan. Pembagian tugas masing-masing Puun adalah sebagai berikut : Puun di Cikeusik mengurusi permasalahan agama, menentukan pelaksanaan upacara, serta sebagai ketua pengadilan adat yang berhak memutuskan hukuman bagi para pelanggar adapt. Puun di Cibeo mengurusi pelayanan administrasi, menerima tamu dari luar, dan berhubungan dengan dunia luar. Puun di Cikartawana bertugas menyangkut urusan pembinaan warga, kesejahteraan, keamanan, atau sebagai badan pelaksana langsung di lapangan yang memonitor permasalahan yang berhubungan dengan kawasan Baduy. Aspek-aspek yang ditangani di Baduy pada prinsipnya telah terdistribusi ke ketiga Puun, yang pada pelaksanaannya mereka dibantu oleh berbagai orang sesuai dengan jabatan dan tugas masingmasing. Hal ini mengingat wilayah Baduy yang sangat luas, sehingga harus ada pelaksana di lapangan. Kelembagaan pemerintah nasional dibentuk selain untuk menghormati dan mengakui keberadaan Pemerintah Indonesia juga merupakan penghubung antara Baduy dengan dunia luar. Bagi mereka peraturan adat keberadaannya lebih tinggi dibanding dengan peraturan pemerintah di kawasan Baduy.
22

3.5 Keterkaitan dengan Pendidikan Internasional Sistem pendidikan di Baduy secara formal memang tidak sesuai dengan sistem pendidikan nasional dan internasional. Jika dikaitkan dengan isu United Nations Literacy Decade (UNLD) untuk memberantas buta huruf maka kondisi pendidikan disana masih jauh tertinggal, karena tingkat buta huruf disana masih tinggi yaitu sekitar 60%. Selain berkaitan dengan isu yang dibawa oleh Education for All (EFA), kondisinya juga masih buruk karena banyak kaum wanita yang tidak memiliki pendidikan yang memadai. Sebagian besar kaum pria yang belajar, meskipun demikian untuk mempelejarai aturan dan ajaran wajib hukumnya bagi semua orang. Tidak ada larangan bagi wanita Baduy untuk belajar, tetapi karena menurut mereka tingkat kebutuhan pendidikan untuk wanita masih rendah. Rendahnya kebutuhan pendidikan bagi perempuan disebabkan karena adanya pembagian tugas antara wanita dan laki-laki disana. Wanita lebih banyak di rumah dan hanya membantu kaum laki-laki di ladang.

Secara aturan Baduy tidak ada pembedaan yang tegas antara hak dan tanggung jawab kaum wanita dan laki-laki. Secara turun temurun mereka melakukan pembagian tugas dalam bekerja, dimana lakilaki lebih banyak bekerja di luar rumah, sedangkan wanita bekerja di rumah sambil mengurusi anakanaknya. Hanya pada waktu musim berladang saja, wanita banyak keluar rumah untuk membantu laki-laki menanam atau memanen. Selain itu wanita Baduy juga mengatur keuangan atau kebutuhan keluarganya, sehingga meskipun buta huruf mereka dapat berhitung dengan baik. Berdasarkan indikator kemiskinan di Indonesia antara lain kondisi rumah, pendapatan perkapita, tingkat pendidikan, sanitasi, penerangan, dan tabungan, maka seluruh masyarakat Baduy masuk dalam kategori miskin. Tetapi jika dikaitkan dengan indikator kecukupan sandang, pangan, dan papan, maka mereka tidak kekurangan dan sepanjang sejarahnya tidak ada masyarakat Baduy yang mati kelaparan. Bahkan dapat dikatakan 100% masyarakat Baduy dapat memenuhi kebutuhan hidup dasarnya. Pemerintah Indonesia mengalami kesulitan dalam mengentaskan kemiskinan di Baduy, karena mereka tidak mau dibantu dan tidak mau dikatakan miskin oleh pemerintah. Bagi mereka, jika harus memenuhi kriteria yang ditetapkan Pemerintah Indonesia, berarti ada proses modernisasi di Baduy yang itu bertentangan dengan keyakinan dan ajaran mereka. Selama ini bantuan yang diberikan pemerintah lebih banyak ditujukan untuk kesehatan saja, terutama ibu dan anak. Program ini dapat diterima oleh masyarakat karena tidak mengubah perilaku dan kebiasaan mereka. 4. PENDIDIKAN UNTUK PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN Permasalahan dasar dalam impelementasi pembangunan berkelanjutan pada masa sekarang ini di dunia adalah pendidikan. Ada dua hal permasalahan pendidikan untuk menciptakan pembangunan berkelanjutan, yaitu pemerataan pendidikan dan substansi pendidikan. Pemerataan pendidikan menjadi isu di negara berkembang seperti di Indonesia, dimana masih ada buta huruf dan masih banyak masyarakat belum mendapatkan pendidikan tinggi. Di Indonesia, kedua kondisi tersebut disebabkan karena mahalnya biaya pendidikan yang harus ditanggung masyarakat dibandingkan dengan tingkat ekonomi mereka. Aspek kedua permasalahan pendidikan adalah materi yang disampaikan tidak terintegrasi dengan pendidikan untuk pembangunan berkelanjutan. Mereka secara spesifik mempelajari hal-hal yang detil sesuai dengan disiplin ilmu mereka. Kenyataan yang terjadi kondisi tersebut menciptakan orangorang yang pintar tetapi memiliki ego pada disiplin ilmu masing-masing. Ilmu ekonomi lebih menekankan pada aspek produksi dan bagaimana dengan biaya yang murah tetapi mendapatkan keuntungan yang besar. Ilmu sosial menekankan bagaimana interaksi antara manusia dengan manusia, sedangkan ilmu lingkungan lebih melihat bagaimana melestarikan alam tanpa melihat aspek
23

ekonomi masyarakat. Kondisi tersebut menyebabkan kondisi lingkungan terabaikan, karena kalah kuat dengan aspek ekonomi yang pada akhirnya terjadi penurunan yang cukup besar terhadap daya

dukung lingkungan untuk menopang kehidupan manusia. Akibat tidak adanya integrasi antar aspekaspek tersebut, secara jangka panjang justru kehancuran masing-masing aspek akan terjadi.
Menjaga Kelestarian Lingkungan Sumber Daya Alam

Gambar 15. ESD (Education for Sustainable Development) dalam kehidupan Baduy

Masyarakat Baduy memiliki permasalahan pendidikan akibat tidak adanya pendidikan formal dengan standar nasional dan internasional yang diakibatkan karena penolakan terhadap masuknya sistem pendidikan formal. Indikasi permasalahan pendidikan di Baduy ini dapat dilihat pada tingkat buta huruf yang masih tinggi dan kesempatan untuk belajar yang belum merata. Penolakan terhadap pendidikan formal sebenarnya justru mengindikasikan bahwa mereka cukup pandai dengan menolak materi pendidikan formal yang cenderung pada akhirnya merusak lingkungan. Meskipun masih tingginya angka buta huruf dan kurang meratanya pendidikan, tetapi secara substansi pengetahuan yang bersumber dari kepercayaan mereka mengandung materi pendidikan untuk pembangunan berkelanjutan. Daya dukung lingkungan menjadi pertimbangan utama untuk tetap memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dan kehidupan sosial. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa substansi ajaran Baduy memiliki nilai universal dan dapat dijadikan referensi bagi penerapan pendidikan untuk pembangunan berkelanjutan.

Anda mungkin juga menyukai