FIQH DAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA (Studi Kasus di Pengadilan Agama Salatiga Tahun 2000 dan 2004)
SKRIPSI Diajukan Guna Memenuhi Kewajiban Dan Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Agama Dalam Ilmu Hukum Islam
Oleh : SITI NAFIAH NIM. 211 02 005
JURUSAN SYARIAH SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI SALATIGA 2007 ii DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ------------------------------------------------------------------ i HALAMAN NOTA PEMBIMBING ------------------------------------------------ ii HALAMAN DEKLARASI ----------------------------------------------------------- iii HALAMAN PENGESAHAN -------------------------------------------------------- iv HALAMAN MOTTO ----------------------------------------------------------------- v HALAMAN PERSEMBAHAN ----------------------------------------------------- vi KATA PENGANTAR --------------------------------------------------------------- vii DAFTAR ISI ------------------------------------------------------------------------- viii
BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ................................................................. 1 B. Pokok Masalah ........................................................................... 4 C. Tujuan dan Kegunaan .................................................................... 4 D. Telaah Pustaka ............................................................................... 5 E. Kerangka Teori .............................................................................. 7 F. Metode Penelitian .......................................................................... 9 G. Sistematika Pembahasan ............................................................... 11
BAB 11 PEMBAGIAN HARTA BERSAMA MENURUT FIQH DAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA A. Pengertian Harta Bersama ............................................................ 13 B. Pembagian Harta Bersama 1. Menurut Fiqh ........................................................................... 18 2. Menurut Perundang-Undangan di Indonesia ........................... 21 BAB 111 KASUS-KASUS PEMBAGIAN HARTA BERSAMA DI PA. SALATIGA A. Sejarah PA. Salatiga ................................................................... 28 B. Kedudukan dan Kewenangan PA. Salatiga ................................ 31 C. Struktur PA. Salatiga ................................................................. 35 iii D. Putusan Kasus Pembagian Harta Bersama di PA. Salatiga ....... 36 E. Pertimbangan Hakim dalam Memutuskan Perkara Pembagian Harta Bersama ...................................................................................... 47
BAB 1V ANALISIS PUTUSAN HAKIM TERHADAP PEMBAGIAN HARTA BERSAMA A. Analisis Putusan Hakim Terhadap Pembagiam Harta Bersama Ditinjau dari Fiqh dan Perundang-Undangan di Indonesia ........................ 55 B. Analisis Pertimbangan dan Dasar Putusan Hakim Terhadap Pembagian Harta Bersama di PA. Salatiga .................................................. 62
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ............................................................................. 68 B. Saran ......................................................................................... 70
DAFTAR PUSTAKA DAFTAR RIWAYAT HIDUP LAMPIRAN-LAMPIRAN
1 BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Perkawinan merupakan ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami isteri. 1
Tujuan Perkawinan menurut UUP No. 1 tahun 1974 adalah bahwa perkawinan bertujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. 2
Pada prinsipnya suatu perkawinan ditujukan untuk selama hidup dan kebahagiaan bagi pasangan suami isteri yang bersangkutan. Keluarga yang kekal dan bahagia, itulah yang dituju. Banyak faktor yang memicu keretakan bangunan rumah tangga, dan perceraian menjadi jalan terakhir. Perkawinan mempunyai akibat hukum tidak hanya terhadap diri pribadi mereka-mereka yang melangsungkan pernikahan, hak dan kewajiban yang mengikat pribadi suami isteri, tetapi lebih dari itu mempunyai akibat hukum pula terhadap harta suami isteri tersebut. Hubungan hukum kekeluargaan dan hubungan hukum kekayaannya terjalin sedemikian eratnya, sehingga keduanya memang dapat dibedakan tetapi tidak dapat dipisahkan. Hubungan hukum kekeluargaan menentukan hubungan hukum kekayaannya
1 Undang-undang Perkawinan Republik Indonesia No. 1 Tahun 1974, Penerbit Arkola, Surabaya, hlm. 1 2 Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam Suatu Analisis UU No. 1 Tahun 1974 dan KHI, Bumi Aksara, Jakarta, Cet. I, 1996, hlm. 28 2 dan hukum harta perkawinan tidak lain merupakan hukum kekayaan keluarga. 3
Sebagaimana diketahui bahwa setiap perkawinan masing-masing pihak dari suami atau isteri mempunyai harta yang dibawa dan diperoleh sebelum melakukan akad perkawinan. Suami atau isteri yang telah melakukan perkawinan mempunyai harta yang diperoleh selama perkawinan yang disebut harta bersama. Meskipun harta bersama tersebut hanya suami yang bekerja dengan berbagai usahanya sedangkan isteri berada di rumah dengan tidak mencari nafkah melainkan hanya mengurus rumah tangga dan anak-anaknya. 4
Suami maupun isteri mempunyai hak untuk mempergunakan harta bersama yang telah diperolehnya tersebut selagi untuk kepentingan rumah tangganya tentunya dengan persetujaun kedua belah pihak. Dan ini berbeda dengan harta bawaan yang keduanya mempunyai hak untuk mempergunakannya tanpa harus ada persetujuan dari keduanya atau masing- masing berhak menguasainya sepanjang para pihak tidak menentukan lain, sebagaimana yang diatur dalam UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974 pasal 35. 5
Dalam hukum Islam tentang harta bersama suami isteri terdapat dalam surat An Nisa ayat 32 yang berbunyi :
3 J. Satrio, Hukum Harta Perkawinan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, Cet. 1, 1991, hlm. 5 4 Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, Cet. II, Bumi Aksara, Jakarta, 1999, hlm. 231-232 5 Hilma Hadi Kusuma, Hukum Perkawinan Adat,, Aditya Bakti, Bandung, cet. 1V, 1999, hlm. 155 3 #G? $ !# / 3 / ? / %`=9 '= $ #6 K2# $=9 '= $ G.# #=` !# &# ) !# %2 3/ `_ $=
Artinya : Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (Karena) bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.
Dalam istilah muamalah harta bersama disebut syirkah inah yaitu join antara suami dan isteri dalam mengelola harta bersama. 6
Kasus-kasus mengenai harta bersama yang telah diputus di PA. Salatiga yaitu: 1. Putusan No: 482/Pdt. G/2000/PA. Sal. Dalam kasus ini Penggugat dan Tergugat mempermasalahkan harta bersama yang berupa rumah yang belum dibagi. Selain itu harta bawaan milik Penggugat masih ada yang dikuasai oleh Tergugat dan sebagian harta bawaan Penggugat telah dijual oleh Tergugat. 2. Putusan No: 326/Pdt. G/2004/PA. Sal. Dalam kasus ini harta pribadi dari Penggugat dikuasai oleh Tergugat sehingga menyebabkan perselisihan diantara keduanya. Hal ini yang membuat penelitian ini menjadi menarik. Dalam KHI pasal 87 disebutkan bahwa harta bawaan dari
6 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, Cet. 3, 1998, hlm. 200-201 4 masing-masing pihak tetap menjadi hak suami atau isteri yang bersangkutan. Sedang dalam Undang-undang Perkawinan No. 1 tahun 1974 mengenai harta bersama juga disebutkan harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri sepenuhnya menjadi hak dari masing-masing untuk mempergunakannya. Sebagaimana diuraikan di atas maka penyusun tertarik untuk meneliti permasalahan yang terdapat di PA. Salatiga mengenai pembagian harta bersama, dengan judul Pembagian Harta Bersama Suami Isteri Menurut Fiqh dan Perundang-Undangan di Indonesia ( Studi Kasus di PA. Salatiga Tahun 2000 dan 2004 ). B. Pokok Masalah Dari uraian di atas, ada beberapa pokok masalah yang menjadi bahasan utama, yaitu : 1. Bagaimana pengertian harta bersama menurut Fiqh dan Perundang- undangan di Indonesia? 2. Bagaimana proses pelaksanaan pembagian harta bersama di PA. Salatiga? 3. Apakah pembagian harta bersama dalam kasus perkara yang terjadi di PA. Salatiga sudah sesuai dengan Fiqh dan Perundang-undangan di Indonesia? C. Tujuan dan Kegunaan Sesuai dengan pokok masalah yang telah dirumuskan di depan, penelitian ini mempunyai tujuan dan kegunaan sebagai berikut : 5 1. Untuk mengetahui pengertian harta bersama suami isteri (gono gini) yang disebabkan perceraian menurut Fiqh dan Perundang-undangan di Indonesia. 2. Untuk mengetahui bagaimana Pengadilan Agama Salatiga dalam memproses perkara gono gini jika terjadi pemutusan perkawinan karena perceraian. 3. Untuk mengetahui apakah proses pembagian harta bersama yang dilakukan Pengadilan Agama Salatiga sesuai dengan Fiqh dan Perundang- undangan di Indonesia. Sedangkan kegunaan dari penelitian ini adalah : 1. Untuk menambah wawasan dan pengetahuan tentang harta benda dalam perkawinan khususnya harta bersama terutama dalam berperkara di Pengadilan Agama Salatiga. 2. Dengan hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai kontribusi dalam ilmu pengetahuan khususnya yang berkaitan dengan masalah harta bersama suami isteri dalam perkawinan. 3. Untuk memenuhi tugas dan persyaratan dalam memperoleh gelar kesarjanaan (S1) dalam bidang ilmu syariah. D. Telaah Pustaka Mohd. Idris Ramulyo, dalam bukunya Hukum Perkawinan Islam suatu Analisis dari Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam menuliskan tentang macam-macam harta yang dikenal dalam lembaga 6 hukum, seperti hukum adat, kitab Undang-undang Hukum Perdata (BW), Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, dan menurut hukum Islam. 7
Ahmad Rofiq, dalam bukunya Hukum Islam di Indonesia menuliskan tentang harta kekayaan dalam perkawinan. Hal ini sesuai dengan Undang- undang No. 1 tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam. Adanya harta bersama dalam perkawinan tidak menutup kemungkinan adanya harta milik masing- masing suami isteri, seperti yang disebut dalam pasal 85 KHI. 8
Ahmad Azhar Basyir, dalam bukunya Hukum Perkawinan Islam menyebutkan bahwa hukum Islam memberi hak kepada masing-masing suami isteri untuk memiliki harta benda secara perseorangan, yang tidak dapat diganggu oleh pihak lain. Suami atau isteri yang menerima pemberian, warisan dan sebagainya tanpa ikut sertanya pihak lain berhak menguasai sepenuhnya harta benda yang diterimanya itu. Harta bawaan yang mereka miliki sebelum perkawinan juga menjadi hak masing-masing pihak. 9
Dalam Kompilasi Hukum Islam, mengatur tentang harta kekayaan dalam Islam yang terdiri dari 13 pasal yaitu pasal 85, 86, 87, 88, 89, 90, 91, 92, 93, 94, 95, 96, 97. Adanya harta bersama dalam perkawinan tidak menutup kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami atau isteri. Dalam pasal-pasal yang lain juga diatur tentang harta bawaan suami atau isteri, harta bersama bagi seorang yang mempunyai isteri lebih dari 1 orang, pembagian harta bersama suami isteri bila terjadi perceraian, baik cerai mati atau cerai hidup masing-masing berhak seperdua dari harta bersama. 10
7 Modh. Idris Ramulyo, op, cit., hlm. 235 8 Ahmad Rofiq, op.cit., hlm. 205 9 Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, Perpustakaan Fakultas Hukum UII, Yogyakarta, cet. 8, 1996, hlm. 61 10 KHI Seri Perundangan, Pustaka Widyatama, Yogyakarta, cet. 1, Juli, 2004, hlm. 45 7 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 dengan penjelasannya PP Nomor 9 tahun 1975 mengatur tentang harta benda dalam perkawinan. UUP No. 1 Tahun 1974 ini menyebutkan harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. Suami atau isteri dapat bertindak terhadap harta bersama sesuai dengan persetujuan kedua belah pihak. Mengenai harta bawaan masing-masing, suami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya. Apabila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing. 11
Siti Kholifah, dalam skripsinya Tinjauan Hukum Islam Terhadap Pelaksanaan Maritale Beslag di Pengadilan Agama Semarang menuliskan tentang sita harta perkawinan. Hak mengajukan Maritale beslag ini timbul bila terjadi sengketa perceraian suami isteri, maka selama pemeriksaan berlangsung para pihak berhak mengajukan permohonan sita atas harta perkawinan. 12
Bahwa permasalahan mengenai pembagian harta bersama suami isteri menurut fiqh dan perundang-undangan di Indonesia belum pernah dibahas. E. Kerangka Teori Beberapa teori yang digunakan dalam rangka penelitian sebagai landasan berfikir dan sebagai alat analisis adalah sebagai berikut : 1. Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam Bab XIII tentang harta kekayaan dalam Islam, terutama pasal 85, 86, 87, 88, 89, 90, 91, 92, 93, 94, 95, 96, serta pasal 97.
11 UUP Republik Indonesia No. 1 Tahun 1974, Arkola, Surabaya, hlm. 13 12 Siti Kholifah, Tinjauan Hukum Islam Terhadap Pelaksanaan Maritale Beslag di PA. Semarang, Skripsi Guna Memperoleh Gelar Sarjana Dalam Bidang Hukum Islam, STAIN Salatiga, 2003/2004, hlm. 2 8 2. Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 bab VII tentang harta benda dalam perkawinan yang terdiri dari 3 pasal yaitu : Pasal 35 ayat 1 : Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. Pasal 36 ayat 1 : Mengenai harta bersama suami atau isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak. Pasal 37 : Bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing 3. Harta bersama adalah harta kekayaan yang diperoleh selama perkawinan diluar hadiah atau warisan, maksudnya adalah harta yang didapat atas usaha mereka sendiri selama masa ikatan perkawinan. 13
4. Firman Allah surat An Nisa ayat 34
Artinya : Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki- laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. 14
Menurut Bachtiar Surin maksud dari ayat tersebut yaitu: Kaum pria itu pelindung kaum wanita. Karena Allah telah melebihkan golongannya dari golongan perempuan. Lagi pula kedudukannya sebagai orang yang memberi nafkah dengan hartanya. Perempuan yang baik adalah perempuan yang patuh, memelihara
13 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, cet. 3, 1998, hlm. 200 14 Departemen Agama RI, Al Qur'an dan Terjemahnya, Jakarta, 1978, hlm. 122 9 kehormatannya, terutama sepeninggal suami. Wanita yang kamu khawatirkan kedurhakaannya, berilah pengajaran yang baik, hukumlah dengan berpisah tidur, dan pukullah. Tetapi jika telah mematuhimu, janganlah kamu cari-cari jalan untuk menyusahkannya. Maksud menjaga dan memelihara, karena laki-laki memiliki kelebihan kekuatan jasmani. Sedangkan maksud diberi pengajaran secara bertahap yaitu mula-mula diberikan nasihat, kalau tidak menurut dilakukan berpisah tidur, bila tidak juga menurut barulah dipukul, tetapi pukulan ini tidak boleh terlalu menyakiti dan melukai. 15
F. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian diskriptif. 16
Yaitu dengan memaparkan, menggambarkan data secara sistematik sehingga data yang berhubungan dengan perkara harta bersama karena pemutusan perkawinan, dapat dinilai secara objektif. 2. Metode Pengumpulan Data Untuk memperoleh data yang berhubungan dengan penelitian ini, penulis menggunakan sumber data antara lain : a. Studi pustaka, yaitu penelitian yang mengambil data dari bahan-bahan tertulis khususnya berupa teori-teori.
15 Bachtiar Surin, Terjemah dan Tafsir Al-Quran, Sumatra, Bandung, hlm. 168-169 16 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian, Bina Aksara, Jakarta, 1989, hlm. 196 10 b. Dokumentasi, yaitu mencari data mengenai hal-hal atau variabel yang berupa catatan, buku-buku, surat kabar, majalah dan sebagainya. 17
Dalam metode ini penulis menggunakan, memeriksa dan meneliti berkas perkara berupa arsip-arsip yang ada di Pengadilan Agama Salatiga yang sesuai dengan permasalahan yang diteliti. c. Wawancara, yaitu suatu proses tanya jawab untuk memperoleh informasi secara langsung, kepada hakim dan panitera Pengadilan Agama Salatiga. 3. Metode Analisis Data Yaitu penanganan terhadap suatu objek ilmiah tertentu dengan jalan memilah-milah antara pengertian yang satu dengan pengertian yang lain untuk memperoleh kejelasan mengenai halnya. 18
Adapun metode analisis data dalam penelitian ini adalah : a. Metode Deduktif Yaitu metode yang bertitik tolak dari suatu pengamatan terhadap persoalan yang bersifat umum kemudian ditarik kesimpulan yang bersifat khusus. b. Metode Induktif Yaitu berangkat dari fakta-fakta yang khusus, peristiwa- peristiwa yang konkret kemudian dari peristiwa yang khusus itu ditarik generalisasi yang bersifat umum. 19
17 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian suatu Praktek Pendekatan, Rineka Cipta, Jakarta, 1997, hlm. 135 18 Soerjono Soekamto, Filsafat Ilmu Pengetahuan, Nur Cahaya, Yogyakarta, 1989, hlm. 136 19 Sutrisno Hadi, Metodologi Research I, Yayasan Penerbit Fakultas Psikilogi UGM, Yogyakarta, 1991, hlm. 42 11 c. Metode Komparasi Yaitu cara pembahasan dengan mengadakan analisa perbandingan antara beberapa pendapat, kemudian diambil suatu pengertian atau kesimpulan yang memiliki faktor-faktor yang ada hubungannya dengan situasi yang diselidiki dan dibandingkan antara satu faktor dengan faktor yang lain. 20
G. Sistematika Pembahasan BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah B. Pokok Masalah C. Tujuan dan Kegunaan D. Telaah Pustaka E. Kerangka Teoritik F. Metodologi Penelitian G. Sistematika Pembahasan BAB II : PEMBAGIAN HARTA BERSAMA MENURUT FIQH DAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA A. Pengertian Harta Bersama B. Pembagian Harta Bersama 1. Menurut Fiqih 2. Menurut Perundang-Undangan di Indonesia
20 Winarno Surachman, Dasar-dasar dan Tekhnik Riset, Tarsito, Bandung, 1978, hlm. 135 12 BAB III : KASUS-KASUS PEMBAGIAN HARTA BERSAMA DI PA SALATIGA A. Sejarah PA. Salatiga B. Kedudukan dan Kewenangan PA. Salatiga C. Struktur PA. Salatiga D. Putusan Terhadap Kasus Pembagian Harta Bersama di PA. Salatiga 1. Putusan Nomor : 326/Pdt. G/2004/PA Salatiga 2. Putusan Nomor : 482/Pdt. G/2000/PA Salatiga E. Pertimbangan Hakim dalam Memutuskan Perkara Pembagian Harta Bersama BAB IV : ANALISIS PUTUSAN HAKIM TERHADAP PEMBAGIAN HARTA BERSAMA A. Analisis Putusan Hakim Terhadap Pembagian Harta Bersama Ditinjau dari Fiqh dan Perundang-Undangan B. Analisis Pertimbangan dan Dasar Putusan Hakim Terhadap Pembagian Harta Bersama di PA. Salatiga dengan Putusan: 1. Putusan Nomor : 326/Pdt. G/2004/PA Salatiga 2. Putusan Nomor : 482/Pdt. G/2000/PA Salatiga BAB V : PENUTUP A. Kesimpulan B. Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
13 BAB II PEMBAGIAN HARTA BERSAMA MENURUT FIQH DAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA
A. Pengertian Harta Bersama Dari segi bahasa harta yaitu barang-barang (uang dan sebagainya) yang menjadi kekayaan. 21 Sedangkan yang dimaksud harta bersama yaitu harta kekayaan yang diperoleh selama perkawinan di luar hadiah atau warisan. Maksudnya adalah harta yang didapat atas usaha mereka atau sendiri-sendiri selama masa ikatan perkawinan. 22
Dalam harta benda, termasuk di dalamnya apa yang dimaksud harta benda perkawinan adalah semua harta yang dikuasai suami isteri selama mereka terikat dalam ikatan perkawinan, baik harta kerabat yang dikuasai, maupun harta perorangan yang berasal dari harta warisan, harta penghasilan sendiri, harta hibah, harta pencarian bersama suami isteri dan barang-barang hadiah. 23
Pencahariaan bersama suami isteri atau yang disebut harta bersama atau gono gini ialah harta kekayaan yang dihasilkan bersama oleh suami isteri selama mereka diikat oleh tali perkawinan. Hal ini termuat dalam UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974. Sebenarnya harta bersama ini berasal dari hukum adat yang pada pokoknya sama di seluruh wilayah Indonesia, yaitu
21 Depdikbad, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, 1989, cet.2, hlm 199 22 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1995, hlm. 200 23 Hilma Hadi Kusumo, Hukum Perkawinan Adat, Aditya Bakti, Bandung, cet. IV, 1999, hlm. 156 14 adanya prinsip bahwa masing-masing suami dan isteri, masih berhak menguasai harta bendanya sendiri sebagai halnya sebelum mereka menjadi suami isteri. Mengenai harta bersama dapat dimasukkan dalam istilah syirkah (perkongsian).
B. Pembagian Harta Bersama Menurut Fiqh dan Perundang-Undangan di Indonesia 1. Menurut Fiqh Harta bersama atau gono-gini yaitu harta kekayaan yang dihasilkan bersama oleh pasangan suami isteri selama terikat oleh tali perkawinan, atau harta yang dihasilkan dari perkongsian suami isteri. Untuk mengetahui hukum perkongsian ditinjau dari sudut Hukum Islam, maka perlu membahas perkongsian yang diperbolehkan dan yang tidak diperbolehkan menurut pendapat para Imam madzhab. Dalam kitab- kitab fiqh, perkongsian itu disebut sebagai syirkah atau syarikah yang berasal dari bahasa Arab. Para ulama berbeda pendapat dalam membagi macam-macam syirkah. Adapun macam-macam syirkah yaitu : 1. Syirkah Milk ialah perkongsian antar dua orang atau lebih terhadap sesuatu tanpa adanya sesuatu aqad atau perjanjian. 2. Syirkah Uquud yaitu beberapa orang mengadakan kontrak bersama untuk mendapat sejumlah uang. Syirkah ini berjumlah 6 (enam ) macam yaitu : 15 a. Syirkah Mufawadlah bil Amwal (perkongsian antara dua orang atau lebih tentang sesuatu macam perniagaan). b. Syirkah Inan bil Amwal ialah perkongsian antara dua orang atau lebih tentang suatu macam perniagaan, atau segala macam perniagaan . c. Syirkatul Abdan Mufawadlah yaitu perkongsian yang bermodal tenaga. d. Syirkatul Abdan Inan ialah kalau perkongsian tenaga tadi disyaratkan perbedaan tenaga kerja dan perbedaan tentang upah. e. Syirkatul Wujuh Mufawadlah yaitu perkongsian yang bermodalkan kepercayaan saja. f. Syirkatul Wujuh Inan yaitu perkongsian kepercayaan tanpa syarat. Syirkah Inan disepakati oleh ulama tentang bolehnya, sedangkan syirkah mufawadlah hukumnya boleh menurut mazhab Hanafi, Maliki, Hambali. Tetapi menurut madzhab Syafii tidak boleh. Abu Hanifah mensyaratkan sama banyak modal antara masing-masing peserta perkongsian. Untuk Syirkah Abdan boleh menurut madzhab Hanafi, Maliki, dan Hambali, dan tidak boleh menurut madzhab Syafii. Bedanya Imam Malik mensyaratkan pekerjaan yang mereka kerjakan harus sejenis 16 dan setempat. Syirkah wujuh boleh menurut Ulama Hanafiah dan Ulama Hanabilah dan menurut Imam Maliki dan Syafii tidak boleh. 24
Alasan Imam Syafii tidak membolehkan syirkah mufawadlah karena nama perkongsian itu percampuran modal. Imam Malik berpendapat, bahwa dalam syirkah mufawadlah masing-masing kongsi telah menjualkan sebagian dari hartanya dan juga mewakilkan kepada kongsinya yang lain. Tetapi Imam Syafii menolak pendapat ini, bahwa perkongsian bukan jual beli dan bukan pula memberikan kuasa. Alasan Imam Syafii tidak membolehkan syirkah abdan karena perkongsian hanya berlaku pada harta, bukan pada tenaga. Alasan Imam Malik membolehkan perkongsian tenaga karena orang yang berperang sabil juga berkongsi tentang ghanimah. 25
Dari macam-macam syirkah serta adanya perbedaan pendapat dari para Imam madzhab dan melihat praktek gono-gini dalam masyarakat Indonesia dapat disimpulkan bahwa harta gono-gini termasuk dalam syirkah abdan / mufawadlah. Praktek gono-gini dikatakan syirkah abdan karena kenyataan bahwa sebagian besar dari suami isteri dalam masyarakat Indonesia sama- sama bekerja membanting tulang berusaha mendapatkan nafkah hidup keluarga sehari-hari dan sekedar harta simpanan untuk masa tua mereka, kalau keadaan memungkinkan juga untuk meninggalkan kepada anak-anak
24 Abd. Rahman Al-Jaziry, Al-Fiqhu Alal L-Madzaahibil Al-Arbaah Jilid III, Darul Kutub Al Ilmiah, Beirut, 1990 M / 1410 H, hlm. 71 25 Ibnu Rusyd Al Qurtuby Al andalusy, Bidayatul l-Mujtahid Juz 2, Darul Fikr,Beirut, tt, hlm. 192 17 mereka sesudah mereka meninggal dunia. Suami isteri di Indonesia sama- sama bekerja mencari nafkah hidup. Hanya saja karena fisik isteri berbeda dengan fisik suami maka dalam pembagian pekerjaan disesuaikan dengan keadaan fisik mereka. Selanjutnya dikatakan syirkah mufawadah karena memang perkongsian suami isteri itu tidak terbatas. Apa saja yang mereka hasilkan selama dalam masa perkawinan mereka termasuk harta bersama, kecuali yang mereka terima sebagai warisan atau pemberian khusus untuk salah seorang diantara mereka berdua. 26
Pada perkongsian gono-gini tidak ada penipuan, meskipun barangkali pada perkongsian tenaga dan syirkah mufawadlah terdapat kemungkinan terjadi penipuan. Sebab perkongsian antara suami isteri, jauh berbeda sifatnya dengan perkongsian lain. Waktu dilakukan ijab qobul akad nikah, perkawinan itu dimaksudkan untuk selamanya. Perkongsian suami isteri tidak hanya mengenai kebendaan tetapi juga meliputi jiwa dan keturunan. 27
Dalam kitab Bidayatul Mujtahid, menerangkan bahwa alasan Imam Syafii tidak membolehkan perkongsian tenaga dan perkongsian kepercayaan ialah karena pengertian syirkah menghendaki percampuran, dan percampuran itu hanya dapat terjadi pada modal, sedang pada perkongsian tenaga dan kepercayaan tidak ada modal. Dalam hal ini hanya madzhab syafii saja yang tidak membolehkan.
26 Ismuha, Pencaharian Bersama Suami Isteri di Indonesia, Bulan Bintang, Jakarta, Cet. 11, 1978, hlm. 78-79 27 Ibid., hlm. 102-103 18 Secara logika perkongsian itu boleh karena merupakan jalan untuk mendapatkan karunia Allah, seperti dalam firman Allah surat Al-Jumah ayat 10. Adapun bunyi ayat tersebut yaitu :
"Apabila telah ditunaikan sembahyang, maka bertebarlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah" Mengingat perkongsian itu banyak macamnya terjadilah selisih pendapat tentang kebolehannya. Perkongsian yang menurut ulama tidak diperbolehkan yaitu yang mengandung penipuan Dalam kaitannya dengan harta kekayaan disyariatkan peraturan mengenai muamalat. Karena harta bersama atau gono-gini hanya dikenal dalam masyarakat yang adatnya mengenal percampuran harta kekayaan maka untuk menggali hukum mengenai harta bersama digunakan qaidah kulliyah yang berbunyi :
adat kebiasaan itu bisa menjadi hukum 28
Dasar hukum dari qaidah di atas yaitu firman Allah surat al Baqoroh ayat 233 yang berbunyi
Dan kewajiban ayah menanggung nafkah dan pakaian mereka dengan cara yang patut
28 Asjmuni A. Rahman, Qaidah-Qaidah Fiqih ( Qawaidul Fiqhiyyah ), Bulan Bintang, Jakarta, Cet. 1,1976, hlm. 88 19 Dalam ayat itu Allah menyerahkan kepada urf penentuan jumlah sandang pangan yang wajib diberikan oleh ayah kepada isteri yang mempunyai anaknya. Qaidah Al-Adatu Mukhakkamah dapat digunakan dengan syarat- syarat tertentu. 1 Adat kebiasaan dapat diterima oleh perasaan sehat dan diakui oleh pendapat umum. 2 Berulang kali terjadi dan sudah uimum dalam masyarakat. 3 Kebiasaan itu sudah berjalan atau sedang berjalan, tidak boleh adat yang akan berlaku. 4 Tidak ada persetujuan lain kedua belah pihak, yang berlainan dengan kebiasaan. 5 Tidak bertentangan dengan nash. 29
Hukum Quran tidak ada memerintahkan dan tidak pula melarang harta bersama itu dipisahkan atau dipersatukan. Jadi, dalam hal ini hukum Quran memberi kesempatan kepada masyarakat manusia itu sendiri untuk mengaturnya. Apakah peraturan itu akan berlaku untuk seluruh masyarakat atau hanya sebagai perjanjian saja antara dua orang bakal suami isteri sebelum diadakan perkawinan. Tentu saja isi dan maksud peraturan atau perjanjian itu tidak boleh bertentangan dengan Quran dan Hadits. 30
Masalah harta bersama ini merupakan masalah Ijtihadiyah karena belum ada pada saat madzhab-madzhab terbentuk. Berbagai sikap dalam
29 Hasbi Ash. Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam, Bulan Bintang, Jakarta, cet. 1, 1975, hlm. 477 30 Abdoerraoef, Al-Quran dan Ilmu Hukum Sebuah Studi Perbandingan, Jakarta, Bulan Bintang, Cet. 11, 1986, hlm. 113 20 menghadapi tantangan ini telah dilontarkan. Satu pihak berpegang pada tradisi dan penafsiran ulama mujtahid terdahulu, sedang pihak lain perpegang pada penafsiran lama yang tidak cukup untuk menghadapi perubahan sosial yang ada. Sehingga masalah harta bersama ini perlu dibahas dalam KHI dan UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974 agar umat Islam di Indonesia mempunyai pedoman fiqh yang seragam dan telah menjadi hukum positif yang wajib dipatuhi, sehingga terjadi keseragaman dalam memutuskan perkara di Pengadilan. Pengadilan Agama dalam menetapkan putusan maupun fatwa tentang harta bersama mengutip langsung ketentuan hukum yang ada dalam Al-Quran karena tidak dikenal dalam referensi syafiiyah. Lebih jauh lagi dalam menetapkan porsi harta bersama untuk suami isteri digunakan kebiasaan yang berlaku setempat, sehingga terdapat penetapan yang membagi dua harta bersama di samping terdapat pula penetapan yang membagi dengan perbandingan dua banding satu. Selain itu di Amuntai harta bersama dibagi sesuai dengan fungsi harta itu untuk suami atau untuk isteri. 21 2. Menurut Perundang-undangan di Indonesia Menurut Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 dalam pasal 1 mengatakan bahwa : Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami isteri, dengan tujuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal, berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. 31
Dalam pasal tersebut tersimpul adanya asas, bahwa antara suami isteri terdapat ikatan yang erat sekali, yang meliputi tidak hanya ikatan lahir, ikatan yang nampak dari luar atau ikatan terhadap / atas dasar benda tertentu yang mempunyai wujud, tetapi meliputi ikatan jiwa, batin atau ikatan rohani. Jadi menurut asasnya suami isteri bersatu, baik dalam segi materiil maupun dalam segi spiritual. 32
Mengenai Harta Benda dalam perkawinan diatur dalam pasal 35 Undang- Undang No. 1 Tahun 1974 menentukan : a. Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. b. Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.
31 UUP No. 1 Tahun 1974, Penerbit Arkola Surabaya, hlm. 1 32 J. Satrio, Hukum Harta Perkawinan, Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, Cet. 1, 1991, hlm. 185 16 22 Dari pasal tersebut dapat disimpulkan, bahwa menurut Undang-Undang Perkawinan, di dalam satu keluarga mungkin terdapat lebih dari satu kelompok harta. Hal ini berlainan sekali dengan sistem yang dianut B.W yaitu bahwa dalam satu keluarga pada asasnya hanya ada satu kelompok harta saja yaitu harta persatuan suami isteri. Menurut UU No. 1 / 1974 kelompok harta yang mungkin terbentuk adalah : a. Harta bersama Menurtu pasal 35 UU No. 1 tahun 1974, harta bersama suami isteri, hanyalah meliputi harta-harta yang diperoleh suami isteri sepanjang perkawinan saja. Artinya harta yang diperoleh selama tenggang waktu, antara saat peresmian perkawinan, sampai perkawinan tersebut putus, baik terputus karena kematian salah seorang diantara mereka (cerai mati), maupun karena perceraian (cerai hidup). Dengan demikian, harta yang telah dipunyai pada saat di bawa masuk ke dalam perkawinan terletak di luar harta bersama. 33
Ketentuan tersebut di atas tidak menyebutkan dari mana atau dari siapa harta tersebut berasal, sehingga boleh kita simpulkan, bahwa termasuk harta bersama adalah : 1) Hasil dan pendapatan suami. 2) Hasil dan pendapatan isteri.
33 Ibid., hlm. 188 - 189 23 3) Hasil dan pendapatan dari harta pribadi suami maupun isteri, sekalipun harta pokoknya tidak termasuk dalam harta bersama, asal kesemuanya diperoleh sepanjang perkawinan. Dengan demikian suatu perkawinan, (paling tidak bagi mereka yang tunduk pada Hukum Adat) yang dilangsungkan sesudah berlakunya UUP tidak mungkin mulai dengan suatu harta bersama dengan saldo yang negatif, paling-paling, kalau suami isteri tidak membawa apa-apa dalam perkawinannya, maka harta bersama mulai dengan harta yang berjumlah nihil. 34
b. Harta pribadi Harta yang sudah dimiliki suami atau isteri pada saat perkawinan dilangsungkan tidak masuk ke dalam harta bersama, kecuali mereka memperjanjikan lain. Harta pribadi suami isteri, menurut pasal 35 ayat 2 UUP terdiri dari : 1) Harta bawaan suami isteri yang bersangkutan. 2) Harta yang diperoleh suami isteri sebagai hadiah atau warisan. Apa yang dimaksud dengan harta bawaan, dalam undang- undang maupun dalam penjelasan atas UU RI nomor 1/1974, tentang perkawinan, tidak ada penjelasan lebih lanjut, tetapi mengingat, bahwa apa yang diperoleh sepanjang perkawinan masuk dalam kelompok harta bersama, maka dapat diartikan bahwa yang dimaksud
34 Ibid., hlm. 192 24 di sini adalah harta yang dibawa oleh suami isteri. Jadi yang sudah ada pada suami dan atau isteri ke dalam perkawinan. Adanya pemisahan secara otomatis (demi hukum) antara harta pribadi dengan harta bersama, tanpa disertai dengan kewajiban untuk mengadakan pencatatan pada saat perkawinan akan dilangsungkan (atau sebelumnya) dapat menimbulkan banyak masalah di kemudian hari dalam segi asal usul harta atau harta-harta tertentu pada waktu pembagian dan pemecahan baik karena perceraian maupun kematian (perceraian). Adalah sangat menguntungkan, kalau di kemudian hari dalam peraturan pelaksanaan diadakan ketentuan yang mewajibkan adanya pencatatan harta bawaan masing-masing suami isteri. Walaupun tidak disebutkan dengan tegas dalam pasal 35 ayat 2, tetapi kalau kita mengingat pada ketentuan pasal 35 ayat 1, maka ketentuan mengenai harta pribadi hibahan dan warisan, kiranya hanyalah meliputi hibahan atau warisan suami / isteri yang diperoleh sepanjang perkawinan saja. 35
Pasal 35 ayat 2 mengandung suatu asas yang berlainan dengan asas yang dianut dalam B.W, yang menyebutkan bahwa yang suami dan atau isteri peroleh sepanjang perkawinan dengan Cuma-Cuma baik hibahan atau warisan masuk ke dalam harta persatuan kecuali nila ada perjanjian lain.
35 Ibid., hlm. 193 - 194 25 Pasal lain dalam UU No. 1 tahun 1974 yang mengatur harta bersama yaitu pasal 36 dan 37 yang berbunyi : Pasal 36 1. Mengenai harta bersama, suami atau isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak. 2. Mengenai harta bawaan masing-masing, suami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya. Pasal 37 Bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing. Dalam Kompilasi Hukum Islam, khususnya mengenai hukum perkawinan banyak terjadi duplikasi dengan apa yang diatur dalam Undang-Undang No. 1 tahun 1974. Dalam Kompilasi Hukum Islam mengenai harta kekayaan dalam perkawinan dibahas dalam Bab XIII. Menurut pasal 85 adanya harta bersama dalam perkawinan itu tidak menutup kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami atau isteri. Tetapi dalam pasal 86 ditegaskan pada dasarnya tidak ada percampuran antara harta suami dan harta isteri karena perkawinan. Dalam Bab XIII tidak disebut mengenai terjadinya harta bersama, sebagaimana yang diatur dalam pasal 35 UU No. 1 tahun 1974. 26 Mengenai harta bersama lebih lanjut diatur dalam pasal 85 sampai dengan pasal 97. 1. Pada dasarnya tidak ada percampuran antara harta suami dan harta isteri karena perkawinan. 2. Harta isteri tetap menjadi hak isteri dan dikuasai penuh olehnya, demikian juga harta suami tetap menjadi hak suami dan dikuasai penuh olehnya.
27 BAB 111 KASUS-KASUS PEMBAGIAN HARTA BERSAMA DI PA. SALATIGA TAHUN 2000 DAN 2004 A. Sejarah PA. Salatiga 1. Masa Sebelum Penjajahan Pengadilan Agama Salatiga yang kita kenal sekarang sudah ada sejak agama Islam masuk ke Indonesia. PA. Salatiga timbul bersama dengan perkembangan masyarakat yang beragama Islam di Salatiga dan Kabupaten Semarang. Pada waktu itu apabila terjadi sengketa, masyarakat menyelesaikan melalui Qodli atau Hakim yang diangkat oleh Sultan atau Raja. Hakim ini adalah orang yang ahli dalam bidang Agama Islam. 2. Masa Penjajahan Belanda Sampai Dengan Jepang Ketika Belanda masuk pulau Jawa khususnya di Salatiga, masyarakat Salatiga telah menjalankan syariat Islam. Dalam bidang Peradilan umat Islam Salatiga dalam menyelesaikan perkaranya menyerahkan keputusannya kepada para Hakim sehingga Belanda sulit menghapus kenyataan ini. Maka kemudian pemerintah Kolonial Belanda menerbitkan pasal 134 ayat 2 IS ( Indische Staatstegaling ) sebagai landasan formil untuk mengawasi kehidupan masyarakat Islam di bidang Peradilan yaitu berdirinya Raad Agama. Pemerintah Kolonial Belanda menginstruksikan kepada para Bupati yang termuat dalam Staat blad tahun 1820 No. 22 yang menyatakan bahwa perselisihan mengenai pembagian warisan di kalangan rakyat hendaknya diserahkan kepada Alim Ulama. Sejarah PA. Salatiga 28 terus berjalan saampai tahun 1940, berkantor di serambi Masjid Kauman Salatiga dengan ketua dan hakim anggotanya diambil dari alumnus Pondok Pesantren. Pegawai yang ada waktu itu 4 orang yaitu K. SALIM sebagai Ketua dan K. ABDUL MUKTI sebagai Hakim Anggota dan SIDIQ ssebagai Sekretaris merangkap Bendahara dan seorang pesuruh. Wilayah hukum PA. Salatiga meliputi kota Salatiga dan Kabupaten Semarang terdiri dari 14 kecamatan. Adapun perkara yang ditangani dan diselesaikan yaitu perkara waris, perkara gono-gini, gugat nafkah dan cerai gugat. Pada masa penjajahan Jepang PA.Salatiga atau Raad Agama Salatiga masih belum ada perubahan yang berarti yaitu tahun 1942 sampai dengan 1945 karena pemerintahan Jepang hanya sebentar dan Jepang dihadapkan dengan berbagai pertempuran dan ketua beserta stafnya masih juga sama. 3. Masa Kemerdekaan Setelah Indonesia merdeka tanggal 17 Agustus 1945 PA. Salatiga berjalan sebagaimana biasa.Pada tahun 1949 Ketua dijabat oleh K. IRSYAM yang dibantu 7 pegawai. Berkantor di serambi Masjid Al-Atiq Kauman Salatiga, bersebelahan dengan Kantor Urusan Agama Kecamatan Salatiga. Pegawai PA. Salatiga berusaha mencari kantor dengan mengajukan permohonan kepada KODIM Salatiga yang saat itu menguasai bangunan peninggalan pemerintah kolonial belanda. KODIM memberi ijin, namun harus mengurus sertifikat ke Kantor Dirjen Agraria di Jakarta. Pada tahun 1951 PA. Salatiga pindah kantor di Jalan Diponegoro nomor 72 Salatiga sampai 29 sekarang. Pada tahun 1952 ketua dijabat oleh K. MOH. MUSLIH, Pada tahun 1963 Ketua dijabat oleh K.H. MUSYAFA. Pada tahun 1967 Ketua dijabat oleh K. SADULLAH, semua adalah alumnus Pondok Pesantren. Pada waktu Ketua dijabat oleh Drs. IMRON TAHUN 1975 dengan dibantu oleh staf dan sebagai Panitera yaitu M. BILAL, tanah kantor pemberian hak dari pemerintah kepada Departemen Agama RI. Kemudian sertifikat Kantor PA. Salatiga diurus kembali ke Jakarta akhirnya berhasil dan terbitlah sertifikat Kantor PA. Salatiga dengan status hukum hak pakai dengan sertifikat No. 4485507 tanggal 8 Maret 1979 dengan ganti rugi sebesar Rp. 777.665.00. 4. Masa Berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Sejak kehadiran dan berlakunya UU Nomor 14 tahun 1970 pada tanggal 17 Desember 1970 kedudukan PA. Salatiga semakin jelas dan mandiri. Umat Islam Indonesia masih harus berjuang untuk membuat UU yang mengatur tentang keluarga muslim. Setelah melalui proses, kehadirannya pada tahun 1973 membawa suhu politik naik, maka terbitlah UU Nomor 1 tahun 1974 yang diundangkan pada tanggal 2 Januari 1974. Setelah terbit Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 UU Perkawinan berlaku secara efektif. Di PA. Salatiga banyak perkara masuk yang menjadi kewenangannya. Volum perkara yang mengalami kenaikan yaitu perkara Cerai Talak, Cerai Gugat, dan juga perkara Isbat Nikah ( Pengesahan Nikah ) sehingga PA. Salatiga kekurangan personil. Untuk penyelesaian perkara di PA. Salatiga yang wilayahnya sangat luas, meliputi daerah Kota Salatiga dan 30 Kabupaten Semarang, maka melalui SK Menteri Agama Nomor 95 tahun 1982 tanggal 2 Oktober 1982 Jo. KMA Nomor 76 tahun 1983 tanggal 10 Nopember 1982 berdirilah PA. Ambarawa di Ungaran. Penyerahan wilayah dilakukan pada tanggal 27 April 1984 dari Ketua PA. Salatiga Drs. A.M. SAMSUDIN ANWAR kepada Ketua PA. Ambarawa yaitu sebagian wilayah Kabupaten Semarang. Wilayah hukum PA. Salatiga yang ada sekarang tinggal 13 Kecamatan. Sarana dan prasarana yang digunakan untuk menangani dan menyelesaikan perkara yang masuk masih sangat sederhana. B. Kekuasaan PA. Salatiga Kata kekuasaan biasa disebut dengan kompetensi yang berasal dari bahasa Belanda competentie yang kadang-kadang diterjemahkan juga kewenangan sehingga ketiga kata tersebut dianggap semakna. 36
1. Kekuasaan Relatif Kekuasaan relatif diartikan sebagai kekuasaan pengadilan yang satu jenis dan satu tingkatan dalam perbedaannya dengan kekuasaan pengadilan yang sama jenis dan sama tingkatan pula. Atau lebih dikenal dengan wilayah hukumnya ( distributie van Rechtsmacht ) . Hal ini diatur secara umum pasal 118 HIR/142 R.Bg. Wilayah hukum PA. Salatiga berdasarkan keputusan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor PTA. K/P/HKO.3.4.2/284/2004 TANGGAL 29 Januari 2004 meliputi Kota Salatiga dan sebagian wilayah Kabupaten Semarang yaitu: 1. Kecamatan Argomulyo
36 Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, Raja Gramindo Persada, Jakarta, Cet. V1, Oktober, 1998, hlm. 25 31 2. Kecamatan Tingkir 3. Kecamatan Sidomukti 4. Kecamatan Sidorejo 5. Kecamatan Getasan 6. Kecamatan Tuntang 7. Kecamatan Tengaran 8. Kecamatan Bringin 9. Kecamatan Bancak 10. Kecamatan Susukan 11. Kecamatan Kaliwungu 12. Kecamatan Pabelan 13. Suruh Secara keseluruhan di wilayah kota Salatiga dan sebagian wilayah Kabupaten Semarang terdapat 19 Kelurahan dan 143 desa. 37
2. Kekuasaan Absolut Kekuasaan absolut artinya kekuasaan PA yang berhubungan dengan jenis perkara atau jenis pengadilan atau tingkatan pengadilan. Adapun kekuasaan absolut PA. Salatiga disebut dalam pasal 49 dan 50 UU Nomor 7 tahun 1989. 38 Adapun bunyi pasal tersebut adalah: a. Pasal 49 ayat 1 PA bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara-perkara ditingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam dibidang:
37 Memori Serah Terima Jabatan Ketua PA. Salatiga, Januari, 2004, hlm. 9-10 38 Roihan A. Rasyid, op. cit, hlm. 28-29 32 a. Perkawinan b. Kewarisan, wasiat dan hibah, yang dilakukan berdasarkan hukum Islam. c. Wakaf dan shodaqoh Pasal 49 ayat 2 Bidang perkawinan sebagaimana yang dimaksud pada ayat 1 huruf b ialah penentuan siapa yang menjadi ahli waris, penentuan mengenai harta peninggalan, penentuan bagian masing-masing ahli waris dan melaksanakan pembagian harta peninggalan tersebut. Pasal 50 Dalam hal terjadi sengketa mengenai hak milik atau keperdataan lain dalam perkara-perkara sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 49, maka khusus mengenai obyek yang menjadi sengketa tersebut harus diputuskan lebih dahulu oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan umum.
Yang dimaksud dengan bidang perkawinan yang diatur dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 adalah : 1. Izin beristeri lebih dari satu orang. 2. Izin melangsungkan perkawinan bagi orang yang belum berusia 21 tahun, dalam hal orang tua atau wali atau keluarga dalam garis lurus ada perbedaan pendapat. 3. Dispensasi Nikah. 4. Pencegahan perkawinan. 5. Penolakan perkawinan oleh Pegawai Pencatat Nikah. 6. Pembatalan perkawinan. 7. Gugatan kelalaian atas kewajiban suami atau isteri. 8. Perceraian karena talak. 9. Gugatan perceraian. 33 10. Penyelesaian harta bersama. 11. Mengenai penguasan anak-anak. 12. Ibu dapat memikul biaya pemeliharaan dan pendidikan anak bilamana bapak yang seharusnya bertanggung jawab tidak memenuhinya. 13. Penentuan kewajiban memberi biaya penghidupan oleh suami kepada bekas isteri atau penentuan suatu kewajiban bagi bekas isteri. 14. Putusan tentang sah atau tidaknya seorang anak. 15. Putusan tentang pencabutan kekuasaan orang tua. 16. Pencabutan kekuasaan wali. 17. Penunjukan orang lain sebagai wali oleh Pengadilan dalam hal kekuasaan seorang wali dicabut. 18. Menunjuk seorang wali dalam hal seorang anak yang belum cukup umur 18 tahun yang ditinggal kedua orang tuanya padahal tidak ada penunjukan wali oleh orang tuanya. 19. Pembebanan kewajiban ganti kerugian terhadap wali yang telah menyebabkan kerugian atas harta benda anak yang ada di bawah kekuasaannya. 20. Penetapan asal usul seorang anak. 21. Putusan tentang hal penolakan pemberian keterangan untuk melakukan perkawinan campuran. 22. Pernyataan tentang sahnya perkawinan yang terjadi sebelum UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan dijalankan menurut peraturan yang lain. 39
39 Lihat Penjelasan pasal 49 ayat (2) UU Nomor 7 tahun 1989. Juga lihat UU Nomor 1 tahun 1974 dan PP Nomor 9 tahun 1975. 34 C. Stuktur Organisasi PA. Salatiga
Pntr.Muda Permohonan Dra.Widad Ketua Drs.H. A.Ahrory Wakil Ketua Drs. Ali Masrkuri Panitera / Sekretaris Sukartun, SH Hakim H. Syaifudin Alwi Abdullah Said Amron Zaedan Munjid Loghowi Panitera Pengganti Achmadi, SH Munin, SH Wasilatun, SH Handayani, SH Fadlan H. S.Ag Miftah J, SH Imam Yasykurba Juru Sita Mubarokah Wakil Sekretaris Mn. Agus A, SH Wakil Panitera Robikah M, Kaur Pntr.Muda Gugatan Mamnukhin Pntr.Muda Hukum Haryanto Kaur Kepegawaian Pujiyati Kaur Umum Wakirudi n Kaur Keuangan Hindunyati 35 D. Putusan Terhadap Kasus Pembagian Harta Bersama di PA. Salatiga Berdasarkan kewenangannya untuk memeriksa dan menyelesaikan suatu perkara yang diajukan kepada Pengadilan Agama Salatiga telah berhasil mengadili dan menjatuhkan putusan terhadap surat gugatan yang terdaftar di kepaniteraan Pengadilan Agama Salatiga dengan Register Perkara Nomor : 482/Pdt.G/2000/PA. Sal dan Nomor : 326/Pdt.G/2004/PA. Sal tentang pembagian harta bersama yang dikarenakan perceraian. Adapun pihak-pihak yang berperkara dalam masalah Harta Bersama ini adalah RBS (disamarkan ) umur 37 tahun, agama Islam, pekerjaan swasta, bertempat tinggal di Blandongan Rt 03/111 Desa Sraten, Kecamatan Karanggede, Kabupaten Boyolali. Dalam hal ini memberikan kuasa khusus kepada Sasmita, SH. Dan Djaenal, SH. Pengacara dan Konsultan Hukum beralamat di Jl. Taman Candi Tembaga 925 Semarang, dengan surat Kuasa Khusus tanggal 5 Desember 2000, selanjutnya disebut sebagai PENGGUGAT; Melawan RBN ( dasamarkan ), umur 34 tahun, agama Islam, pekerjaan swasta, bertempat tinggal di Perum Argomas Timur No. 190 Rt. 01/1X, kelurahan Ledok, Kecamatan Argomulyo, Kodia Salatiga. Dalam hal ini memberikan Kuasa Khusus kepada Dwi Heru Wismanto, SH. Dkk. Pengacara beralamat di Jl. Pemotongan No. 88 Salatiga, dengan surat Kuasa Khusus tanggal 3 Januari 2001, selanjutnya disebut sebagai TERGUGAT; 36 Pengadilan Agama tersebut; Telah membaca berkas perkara; Telah mendengar keterangan Penggugat, Tergugat dan keterangan lain yang diperlukan dalam persidangan; Telah memeriksa dengan seksama alat-alat bukti yang diajukan dalam persidangan; TENTANG DUDUK PERKARANYA Menimbang, bahwa Penggugat berdasarkan gugatannya tertanggal Oktober 2000 yang telah terdaftar di Kepaniteraan PA. Salatiga dengan Nomor : 482/Pdt.G 2000/PA. Sal, tanggal 26 Oktober 2000 serta perubahan surat gugatan tertanggal 7 Desember 2000, telah mengajukan hal-hal sebagai berikut : 1. Bahwa Penggugat dengan Tergugat adalah suami isteri yang telah bercerai di PA. Salatiga dengan putusan Nomor : 222/Pdt.G/2000/PA. Sal, tanggal 20 Juli 2000 dan telah berkekuatan hukum tetap; 2. Bahwa dalam perkawinan antara Penggugat dan Tergugat, Penggugat telah membawa harta bawaan berupa ; 2 ( dua ) buah tempat tidur kayu jati; 2 (dua ) buah kasur; 2 ( dua ) buah almari kayu jati; 1 (satu ) buah bifet kayu jati; 1 (satu ) stel meja kursi; 37 1 (satu ) buah radio tape merk politron; 1 (satu ) buah radio kecil merk philip; 3. Bahwa selama perkawinan tersebut, Pengugat dan Tergugat mendapat harta bersama yang sampai saat ini belum dibagi yaitu : 3.1. 2 (dua ) buah rumah type 21 yang terletak diatas tanah ukuran 5 x 10 meter persegi. Tempat tersebut dikenal dengan nama Perum Argomas Timur Nomor 190 dan 191 Rt. 01 Rw. 1X, Kelurahan Ledok, Kecamataan Argomulyo, Kodia Salatiga, dinilai seharga Rp. 40.000.000. ( empat puluh juta rupiah ); 3.2. Perkakas / perabot rumah tangga ; 4. Bahwa dalam masa perkawinan antara Penggugat dan Tergugat kedua rumah tersebut direnovasi dan dijadikan satu, dimana keuangannya dari keduanya serta dibantu oleh orang tua Penggugat; 5. Bahwa harta bersama dan harta bawaan Penggugat sampai saat ini masih dikuasai atau merasa dihaki sepenuhnya olehTergugat; 6. Bahwa demi keamanan dan terpenuhinya hak Penggugat dengan Tergugat atas harta bersama maka perlu segera diadakan pembagian sesuai hukum yang berlaku; Berdasarkan pada hal-hal tersebut di atas mohon kiranya PA. Salatiga dapat menjatuhkan putusan sebagai berikut : 38 PRIMER 1. Mengabulkan gugatan penggugat seluruhnya; 2. Menetapkan menurut hukum harta bawaan Penggugat yang sampai saat ini berada dalam penguasaan Tergugat dikembalikan pada Penggugat; 3. Menetapkan menurut hukum harta benda yang diperoleh selama perkawinan adalah harta pendapatan bersama; 4. Menetapkan jumlah harta bersama Penggugat dan Tergugat senilai Rp. 42.700.000, dengan pembagian masing-masing Rp. 21.350.000; 5. Menghukum Tergugat untuk menyerahkan bagian harta bersama kepada Penggugat senilai Rp. 21.350.000; 6. Menghukum Tergugat untuk tunduk dan patuh pada putusan ini; 7. Menyatakan putusan ini dapat dijalankan terlebih dahulu meskipun ada bantahan dan upaya hukum lainnya; 8. Menetapkan biaya perkara menurut hukum;
SUBSIDER Mohon putusan yang seadil-adilnya Menimbang, bahwa Penggugat dan Tergugat telah hadir dalam persidangan dan Majlis Hakim telah berusaha mendamaikan tetapi tidak berhasil dan Penggugat tetap pada gugatannya, kemudian dibacakan gugatan Penggugat yang isinya tetap dipertahankan oleh Penggugat; Menimbang, bahwa terhadap gugatan Penggugat tersebut, Tergugat mengajukan jawaban tertanggal 15 februari 2001 yang isinya sebagai berikut; 39 1. Umum 2. 1. Bahwa setelah perceraian Tergugat harus berjuang seorang diri untuk mencukupi semua kebutuhan hidup Tergugat dan kedua orang anak yang lahir dari perkawinan antara Tergugat dan Penggugat, yaitu Bayu (nama samaran ) dan Aji ( nama samaran ); 2. 2. Bahwa kedua anak tersebut ikut dan menjadi beban serta tanggung jawab Tergugat, sedang Penggugat telah kawin lagi dan tidak bertanggung jawab terhadap penghidupan sehari-hari dari anak; 2. 3. Bahwa karena itu mohon kebijakan hakim untuk melindungi Tergugat sampai sekarang yang belum mendapatkan pekerjaan dan harus menghidupi kedua anaknya; 2. Dalam Eksepsi 2. 1. Bahwa PA. Salatiga tidak berwenang memeriksa perkara ini karena obyek sengketa dalam perkara ini bukan harta bersama antara Penggugat dan Tergugat namun milik orang tua, hal tersebut sesuai dengan pasal 50 Undang-Undang No. 7 Tahun 1989; 2. 2. Gugatan Penggugat tidak lengkap subyeknya bahwa Penggugat mendalilkan terdapat harta bersama berupa 2 buah rumah type 21 ukuran 5 X 10 meter yang terletak di Perum Argomas Timur No. 190 dan 191 Rt. 1 Rw. 1X; 40 2. 3. Bahwa 2 rumah tersebut sampai sekarang dijadikan agunan di Bank Tabungan Negara Semarang. Dengan tidak diikutsertakannya BTN Semarang maka gugatan Penggugat menjadi kabur karena subyeknya tidak lengkap; 3. Dalam Pokok Perkara 3. 1. Bahwa dalil gugatan Penggugat pada point 2 adalah tidak benar karena Penggugat tidak pernah membawa harta bawaan sebagaimana yang didalilkan; 3. 2. Bahwa dalil gugatan point 3 adalah tidak benar dan Tergugat menolak serta Penggugat dimohon untuk membuktikannya; Berdasarkan hal-hal tersebut di atas sudilah kiranya PA. Salatiga berkenan menjatuhkan putusan sebagai berikut : 1. Dalam Eksepsi 1. Menerima dan mengabulkan Eksepsi Tergugat untuk seluruhnya ; 2. Menyatakan gugatan Penggugat tidak dapat diterima ; 3. Menghukum Tergugat untuk membayar biaya perkara ; 1. 1. Dalam Pokok Perkara 1. Menolak gugatan Penggugat untuk seluruhnya ; 2. Menghukum Penggugat untuk membayar biaya perkara ; ATAU Menjatuhkan putusan lain yang seadil-adilnya ; 41 Menimbang, bahwa terhadap jawaban Tergugat , Penggugat telah mengajulan replik tertanggal 22 Pebruari 2001 dan Tergugat telah mengajukan dupliknya tertanggal 1 maret 2001 ; Menimbang, bahwa untuk menguatkan dalil gugatannya di depan persidangan Penggugat telah mengajukan alat bukti berupa bukti surat beserta bukti saksi. Sedangkan dalam putusan yang lain yaitu Nomor : 326/Pdt.G/2004/PA. Sal. Pihak-pihak yang berperkara yaitu: RBSS ( disamarkan ), umur 26 tahun, agama Islam, pekerjaan buruh, Pendidikan SD, alamat Krajan 11 RT 17/1V Desa Beji Lor, Kecamatan Suruh, Kabupaten Semarang, selanjutnya disebut sebagai PENGGUGAT ; BERHADAPAN DENGAN RBNN (disamarkan ), umur 34 tahun, agama Islam, Pekerjaan tani, pendidikan SD, alamat sama dengan Penggugat, selanjutnya disebut sebagai TERGUGAT; Pengadilan Agama tersebut; Telah membaca dan memeriksa surat-surat; Telah mendengar keterangan para pihak serta memperhatikan alat-alat bukti dalam persidangan; TENTANG DUDUKNYA PERKARA Menimbang, bahwa Penggugat dengan suratnya tanggal 22 Juli 2004 terdaftar sebagai perkara pada kepaniteraan PA. Salatiga tanggal 42 22 Juli 2004 Nomor 326/Pdt. G/2004/PA. Sal. telah mengajukan gugat cerai dari Tergugat dengan mengajukan dalil-dalil antara lain sebagai berikut ; 1. Bahwa Penggugat menikah sah dengan Tergugat pada tanggal 14 April 1998 sesuai kutipan Akte Nikah KUA Kec. Suruh No. 065/065/1V/1998 tgl. 14- 4-98 setelah akad nikah Tergugat mengucapkan sighot taklik talak, kemudian keduanya bertempat tinggal di rumah Tergugat 2 tahun 9 bulan, sudah rukun bada dukhul dan telah dikaruniai seorang anak nama Deni ( nama samaran ) umur 5 tahun; 2. Bahwa pada tanggal 27 maret 2001 Penggugat atas ijin Tergugat pergi ke Taiwan menjadi TKW selama 3 tahun; 3. Bahwa Penggugat pada tanggal 27 Maret 2004 pulang dari Taiwan ke rumah bersama selama 4 hari, namun kemudian Penggugat pulang ke rumah orang tua karena suasana rumah sudah tidak harmonis lagi sering terjadi percekcokan dan pertengkaran; 4. Bahwa pada tanggal 1 Juni 2004 terjadi pemukulan yang dilakukan Tergugat terhadap Penggugat sehingga Penggugat menjadi trauma dan akhirnya Penggugat menjadi tidak betah di rumah dan tinggal di rumah famili; 5. Bahwa selama Penggugat tinggal di rumah famili, Tergugat tidak pernah berusaha mencari atau mengajak rukun kembali dan tidak memperdulikan Penggugat; 6. Bahwa atas perbuatan Tergugat tersebut, Penggugat merasa diterlantarkan untuk itu Penggugat tidak rela, dan telah cukup alasan bagi Penggugat untuk mengajukan cerai gugat ke PA. Salatiga; 43 Babwa atas dasar hal tersebut Penggugat mohon kepada Majlis Hakim menjatuhkan putusan : 1. Mengabulkan gugatan Penggugat; 2. Menetapkan perkawinan antara Penggugat dan Tergugat putus karena cerai; 3. Menetapkan biaya perkara menurut hukum; Atau apabila Majlis Hakim berpendapat lain mohon putusan yang seadil- adilnya; Bahwa pada hari persidangan Penggugat dan Tergugat hadir dan Hakim memberi nasehat agar damai rukun kembali namun selalu gagal, kemudian dibacakan gugatan Penggugat yang isinya tetap dipertahankan Penggugat; Bahwa dalam persidangan Penggugat menambah gugatannya sebagai berikut; 1. Bahwa penggugat waktu melihat TV, perut penggugat diinjak dengan kaki oleh Tergugat 2 kali, kemudian Penggugat dijambak rambutnya, muka penggugat dipukul dan penggugat akan ditusuk dengan drei oleh Tergugat; 2. Bahwa penggugat menuntut agar tergugat mengembalikan kepada Penggugat harta bawaan Penggugat yang dikuasai oleh Tergugat berupa: 2.1. Sebuah sepeda motor Kawasaki tahun 1996; 2.2. Tanah sawah 2 kotak terletak di Sidawung Desa Beji Lor dengan batas barat : milik Marto Kastin; Utara : milik Hasanah; Selatan dan Timur Penggugat kurang tahu pemiliknya; 2.3. Kerbau 1 ekor; 44 2.4. Semua perabot isi rumah 4 almari dan pecah belah; 3. Bahwa Penggugat merelakan bangunan rumah belakang maupun listriknya untuk seorang anak yang disekutui penggugat dan tergugat; 4. Bahwa pengugat terakhir merelakan beberapa bidang tanah sawah gadai dari uang kiriman penggugat sebesar Rp. 25 juta dimiliki oleh Tergugat; Menimbang bahwa tergugat telah menjawab tertulis maupun lisan sbb: 1. Bahwa penggugat minta ijin ke luar negeri itu sambil menangis agar nantinya lebih bahagia; 2. Bahwa ahkirnya Penggugat kerja betul, anaknya ditinggal 2 tahun ke Taiwan 18 bulan kirim uang 3 kali yaitu 4 juta, 8 juta, dan 25 juta, yang 8 juta diminta orang tuanya almarhum ayahnya, sejak itu Penggugat susah dihubungi, kalau dia telpon marah-marah terus, tidak menanyakan anaknya dan juga tidak berkirim kabar / surat. Padahal Tergugat seorang diri bersama anak harus kerja, malah Penggugat bilang kalau di sana punya anak dan mau nikah lagi; 3. Bahwa Tergugat mendengar berita tadi hancur pikiran Tergugat, sebab merasa dipermainkan. 4. Bahwa Tergugat berpendapat semua yang berupa apa saja menjadi milik anak. Tergugat tidak berhak, begitu juga dengan Penggugat, sehingga bila Penggugat minta hal-hal tersebut di atas Tergugat tidak memperbolehkan; Bahwa kemudian terjadi jawab menjawab pihak-pihak yang intinya penggugat tetap pada gugatannya dan Tergugat tetap pada jawabannya dan tidak mau cerai; 45 Menimbang bahwa Penggugat lalu mengajukan bukti Surat Kutipan Akte Nikah KUA Kec. Suruh No. 065/065/1V/1998 tertanggal 14 April 1998, P1 dan mengajukan saksi MZ (samaran) bin AD (samaran)i, umur 60 tahun, agama Islam, pekerjaan swasta, alamat Cembungsari Cabean Kec. Tengaran Kab. Semarang, di bawah sumpah menerangkan antara lain bahwa penggugat adalah cucunya dan Tergugat adalah suami cucunya, menikah 1998 dikaruniai 1 orang anak, sempat rukun 2 tahun 9 bulan, suatu ketika Penggugat lapor rumah tangganya goyah karena Tergugat memukul Penggugat, bahkan diusir oleh Tergugat dari rumah dan Penggugat akan dibabat sabit oleh Tergugat, keduanya kini sudah pisah rumah 3 bulan. Saksi sebagai anggota keluarga sudah berusaha menasehati namun selalu gagal. Menimbang bahwa Penggugat membenarkan keterangan saksi, adapun Tergugat manerangkan bahwa saksi Penggugat tidak mengetahui sendiri waktu Tergugat memukul Pengugat sebab kejadiannya ada di tempat Tergugat; Menimbang bahwa Tergugat mengajukan saksi nama AM (nama samaram ), umur 54 tahun, agama Islam, pekerjaan swasta, alamat Krekesan Beji Lor Kec. Suruh Kab. Semarang, menerangkan di bawah sumpah bahwa saksi adalah Paman Tergugat, keduanya menikah tahun 1998 tinggal di rumah Tergugat selama 2 tahun 9 bulan, telah dikaruniai 1 orang anak, kemudian rumah tanggganya goyah karena waktu Penggugat pulang dari Taiwan tidak langsung pulang ke rumah Tergugat, sampai saat ini telah pisah selama 3 bulan. Saksi telah berusaha menasehati namun tidak berhasil; 46 Menimbang bahwa Tergugat maupun Penggugat membenarkannya; Menimbang bahwa terakhir Penggugat tetap berkesimpulan untuk cerai dan tetap pada tuntutannya semula tetapi bersedia mengikhlaskan sawah- sawah gadaian seharga 25 juta menjadi hak Tergugat, sementara Tergugat tetap tidak bersedia cerai dari Penggugat, Penggugat bersedia membayar iwadl uang Rp. 10.000,- dan mengaku dalam keadaan suci 12 hari; E. Pertimbangan Hakim Dalam Memutuskan Perkara Pembagian Harta Bersama Dari hasil wawancara penulis dengan hakim, pertimbangan dan dasar putusan hakim terhadap pembagian harta bersama akibat perceraian adalah sebagai berikut : 40
Pertimbangan hakim terhadap perkara pembagian harta bersama akibat perceraian dimulai dari tahap-tahap pemeriksaan yang meliputi : gugatan penggugat, jawaban tergugat, replik penggugat, duplik tergugat, dan pembuktian adalah sebagai duduk perkaranya yaitu segala sesuatu yang terjadi di persidangan. Pertimbangan hakim dalam putusannya adalah berdasarkan pada pembuktian yaitu berdasarkan keterangan-keterangan dari saksi dan bukti surat. Putusan hakim berdasarkan pada gugatan yang berdasarkan hukum, dengan pembuktian hubungan hukum Penggugat dan Tergugat sebagai suami isteri atau bukan? Alasan-alasan Penggugat benar atau tidak harus dibuktikan dengan bukti surat dan saksi. Sehingga hakim yakin kalau alasan Penggugat benar dan perkara tersebut dapat diputus.
40 Wawancara dengan Hakim Pengadilan Agama Salatiga pada tanggal 4 September 2006 47 Jadi pembuktian adalah sebagai bahan pertimbangan hakim dalam memutuskan perkara pembagian harta bersama yang diakibatkan perceraian. Dasar hukum menurut Kompilasi Hukum Islam pasal 97, Penggugat dan Tergugat masing-masing berhak atas ( seperdua ) dari harta bersama. Sedangkan untuk menilai kebenaran dalil dan bukti hakim menggunakan dasar hukum materiil yaitu rangkaian peraturan yang memuat cara bagaimana seseorang bertindak dan berbuat dengan hukum yang berlaku dalam suatu negara. Adapun dasar dan pertimbangan hukum yang dipakai oleh Pengadilan Agama Salatiga dalam menyelesaikan perkara pembagian harta bersama adalah: I. Pertimbangan Hakim dalam Putusan No : 482/Pdt.G/2000/PA. Sal. yaitu : Dalam Eksepsi : Bahwa yang menjadi sengketa dalam perkara ini adalah pembagian harta bersama suami isteri sebagaimana ditentukan dalam pasal 49 ayat 2 UU Nomor 7 Tahun 1989 dan penjelasannya jo. Pasal 88 KHI, maka Majlis Hakim mempertimbangkan bahwa eksepsi Tergugat termasuk dalam wilayah pembuktian dan masih menjadi wewenang PA. Salatiga, sehingga eksepsi Tergugat tidak beralasan dan harus dinyatakan ditolak ; Dalam Pokok Perkara : 48 Bahwa antara Penggugat dan Tergugat benar-benar pernah terjadi perkawinan dan telah resmi bercerai di PA. Salatiga, sehingga Penggugat mengajukan gugatan Pembagian Harta Bersama terhadap Tergugat ; Bahwa gugatan itu masuk wilayah hukum PA. Salatiga, maka gugatan Penggugat pantas diterima dan diperiksa sesuai hukum yang berlaku ; Bahwa Penggugat dan Tergugat telah hadir di persidangan dan Majlis Hakim telah mendamaikan dan tidak berhasil kemudian dibacakan gugatan yang isinya tetap dipertahankan Penggugat ; Bahwa atas gugatan Penggugat, Tergugat telah mengajukan jawaban yang pokoknya mengakui pernah terjadi perkawinan dan telah bercerai, sedangkan yang lainnya dibantah seluruhnya ; Bahwa dalil-dalil yang dibantah Tergugat menjadi kewajiban Penggugat untuk membuktikan dan meneguhkan dalil-dalil tersebut ; Bahwa terhadap harta bawaan dari Karanggede oleh Penggugat telah dibantah oleh Tergugat bahwa tidak ada harta bawaan yang dikuasai Tergugat, Penggugat telah meneguhkan dalilnya dengan menghadirkan saksi yang dapat dipertimbangkan ; Bahwa saksi selaku ayah Penggugat menerangkan adanya harta bawaan dari Karanggede tersebut, demikian juga dengan saksi kedua yang menerangkan menyaksikan adanya barang-barabg tersebut. Dengan demikian keterangan saksi dapat meneguhkan dalil Penggugat ; 49 Bahwa dari pemeriksaan di tempat oleh Majlis Hakim menemukan barang bawaan Penggugat dari Karanggede masih ada, namun tidak seluruhnya ; Bahwa terhadap barang bawaan Penggugat, Tergugat tidak dapat membuktikan yang sebaliknya sedangkan barang tersebut ada wujudnya, sehinggga Majlis Hakim mempertimbangkan bahwa 2 buah tempat tidur kayu jati, 2 buah kasur dan 2 buah almari kayu jati tersebut layak sebagai barang bawaan Penggugat ; Bahwa barang bawaan Penggugat kini dalam penguasaan Tergugat, maka Majlis Hakim memerintahkan kepada Tergugat untuk menyerahkan barang tersebut kepada Penggugat ; Bahwa obyek terperkara berupa tanah dan rumah di Argomas Timur Nomor 190 dan 191 yang telah direnovasi yang oleh Penggugat didalilkan sebagai harta bersama, telah dibuktikan penggugat dengan bukti P. 3 dan saksi-saksi. Saksi 1 maupun saksi 2 dan saksi 4 hanya menerangkan rumah tersebut dibeli oleh Tergugat dan Penggugat dari Ibu Susi dan saksi tersebut tidak mengetahui saat pembeliannya, harganya maupun tempat transaksinya. Bukti tersebut tidak cukup untuk membuktikan adanya peralihan hak dari seseorang kepada Penggugat dan Tergugat, mengingat objek peralihan adalah tanah dan rumah ; Bahwa bukti balik Tergugat berupa T. 1, T. 2, T. 3, T.4, dan saksi pertama dan kedua dapat menguatkan dalil bantahannya dan dapat 50 lebih memperkuat keyakinan Majlis Hakim bahwa tanah dan rumah terperkara bukan sebagai harta bersama antara Penggugat dan Tergugat ; Bahwa karena Penggugat dinilai tidak dapat membuktikan dalilnya, maka Majlis Hakim harus menyatakan menolak untuk menetapkan tanah dan rumah tersebut sebagai harta bersama ; Bahwa objek terperkara berupa perabot rumah tangga yang terdiri dari sebuah kulkas, sebuah kompor gas dan tabungnya, dua lembar karpet, sebuah TV berwarna 14 inch dan satu stel meja kursi tamu, oleh Tergugat tidak secara tegas diakui maupun dibantah sedangkan Penggugat telah pula membuktikannya dengan saksi-saksi, kesaksian tersebut memperkuat dalil gugatan Penggugat dan dalam pemeriksaan setempat Majlis Hakim telah menemukan fakta bahwa harta sebagaimana didalilkan oleh Penggugat sepanjang barang tersebut ada keberadaannya dalam penguasaan Tergugat, dapat ditetapkan sebagai harta bersama antara Penggugat dan Tergugat ; Bahwa berdasarkan pemeriksaaan setempat harta bersama yang ada berupa sebuah TV berwarna 14 inch, satu set meja kursi tamu, dan kesaksian saksi-saksi Penggugat telah dapat menguatkan keberadaannya, maka kedua harta tersebut layak ditetapkan sebagai harta bersama antara Penggugat dan Tergugat ; Bahwa objek yang lain berupa sebuah kulkas, sebuah kompor gas, dan tabungnya serta dua buah lembar karpet, berdasarkan pemeriksaan 51 setempat sudah tidak ada lagi keberadaannya, maka objek tersebut harus dinyatakan ditolak untuk ditetapkan sebagai harta bersama ; Bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut , maka yang termasuk harta bersama antara Penggugat dan Tergugat adalah sebagai berikut : a. Sebuah pesawat TV berwarna 14 inch merk Nasional ; b. Satu stel meja kursi tamu / kursi sudut ( busa ) ; Bahwa karena Penggugat dan Tergugat telah melakukan perceraian maka sesuai dengn pasal 97 KHI, Penggugat dan Tergugat masing- masing berhak dari harta bersama. Hal ini sejalan dengan firman Allah surat An-Nisa ayat 32 yang berbunyi : Artinya : Bagi orang laki-laki ada bahagian dari apa yang mereka usahakan dan bagi para wanita(pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan. Bahwa harta bersama tersebut berada dalam penguasaan Tergugat, maka harus dihukum untuk menyerahkan kepada Penggugat bagian dari harta bersama diatas ; Bahwa terhadap tuntutan Penggugat agar putusan dapat dijalankan terlebih dulu meski ada upaya hukum maka Majlis Hakim dapat mempertimbangkan tuntutan putusan serta merta tidak memenuhi persyaratan sebagaimana ditentukan dalam Surat Edaran MA. Nomor 3 Tahun 2000 tanggal 21 Juli 2000, sebab itu harus dinyatakan ditolak ; 52 Bahwa berdasarkan hal-hal sebagaimana dipertimbangkan di atas, maka gugatan Penggugat harus dinyatakan dapat dikabulkan sebagian dan menolak untuk selebihnya ; Bahwa perkara ini masuk dalam perkara perkawinan, sehinggga sesuai dengan ketentuan pasal 89 ayat 1 UU Nomor 7 Tahun 1989, seluruh biaya yang timbul dalam perkara ini dibebankan kepada Penggugat; II. Pertimbangan Hakim dalam Putusan No : 326/Pdt.G/2004/PA. Sal. Yaitu: 1. bahwa benar-benar telah terjadi pernikahan antara Penggugat dan Tergugat pada tanggal 14 April 1998 dan telah dikaruniai 1 orang anak. 2. Bahwa setelah akad nikah Tergugat telah membacakan Sighot Taklik Talak. 3. Bahwa Tergugat telah menyakiti badan jasmani Penggugat dengan menginjak perut dua kali, menjambak rambut, menampar muka, maupun mengancam dengan sabit. 4. Bahwa rumah tangga yang telah diwarnai kekerasan fisik serta kenyataan pihak-pihak telah pisah rumah selama 3 bulan dinilai telah retak dan sulit untuk dipertahankan keutuhannya. 5. Bahwa Penggugat dapat merelakan tanah-tanah sawah gadai seharga 25 juta yang dikirimkannya dari Taiwan untuk Tergugat, sementara rumah belakang di Beji Lor dan listriknya untuk anak para pihak, namun harta bawaan berupa sepeda motor, dua kotak 53 sawah, satu ekor kerbau, dan perabot isi rumah tetap diminta oleh Penggugat, sementara Tergugat berpendapat semua barang untuk anak saja, bahkan tidak mau bercerai. 6. Bahwa majlis Hakim berpendapat bahwa harta bawaan haruslah kembali kepada si pembawa yakni Penggugat, sementara harta gono-gini berupa uang Rp. 25 juta direlakan oleh Penggugat untuk Tergugat dan rumah belakang beserta listriknya disepakati untuk anak pihak-pihak. 7. Bahwa Penggugat telah menyerahkan uang iwadl Rp. 10.000.- dan mengaku dalam keadaan suci 12 hari. 8. Mengingat Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 jls. UU No. 1 Th. 1974 Ps. 38 s/d Ps. 41, PP. 9 Th. 1975 Ps. 19, UU. No.7 Th.1989 Ps. 89 dan KHI Ps.116 huruf d, f dan g. 9. Firman Allah Surat Al-Maidah ayat 1
54 BAB 1V ANALISIS PUTUSAN HAKIM TERHADAP KASUS PEMBAGIAN HARTA BERSAMA
A. Analisis Putusan Hakim Terhadap Pembagian Harta Bersama Ditinjau Dari Fiqh Dan Perundang-Undangan di Indonesia Harta bersama suami isteri atau yang biasa disebut dengan harta gono- gini yaitu harta yang di dapat setelah terjadinya akad nikah. Dalam hukum Islam sendiri harta bersama suami isteri ini tidak dikenal karena dalam hukum Islam tidak mengenal percampuran harta kekayaan antara suami isteri akibat terjadinya perkawinan. Harta kekayaan isteri tetap menjadi milik isteri dan dikuasai sepenuhnya oleh isteri, demikian juga dengan harta kekayaan suami tetap menjadi milik suami dan dikuasai sepenuhnya oleh suami. 41
Hal ini sejalan dengan firman Allah surat An Nisa : 32
Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (Karena) bagi orang laki-laki ada bahagian daripada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang
41 A. Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, Perpustakaan Fakultas Hukum UII, Yogyakarta, cet. 8, 1996, hlm, 29-30 55 mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia- Nya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. 42
Dalam hubungannya dengan harta perkawinan, dari ayat di atas dapat dipahami bahwa dalam suatu perkawinan ada pemisahan dari harta suami dan harta isteri. Isyarat dan penegasan dari ayat tersebut dijelaskan dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 85, 86, dan pasal 87. Adapun bunyi pasal terebut yaitu : Pasal 85 : Adanya harta bersama dalam perkawinan itu tidak menutup kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami atau isteri. Pasal 86 : 1. Pada dasarnya tidak ada percampuran antara harta suami dan harta isteri karena perkawinan. 2. Harta isteri tetap menjadi hak isteri dan dikuasai penuh olehnya, demikian juga harta suami tetap menjadi hak suami dan dikuasai penuh olehnya. Pasal 87 : 1. Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain dalam perjanjian perkawinan.
42 Departemen Agama RI, Al Quran dan Terjemahannya, Toha Putra, Semarang, tt, hlm. 122 56 2. Suami atau isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum atas harta masing-masing berupa hibah, hadiah, sodaqoh dan lainnya. Dari pasal-pasal tersebut dapat dipahami bahwa adanya harta bersama dalam suatu perkawinan tidak menutup kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami isteri dan mereka berhak menguasai harta masing- masing sepenuhnya tanpa campur tangan pihak lain. Isi pasal-pasal dalam Kompilasi Hukum Islam mengenai Harta Kekayaan Dalam Islam merupakan penjabaran dari Al Quran surat An Nisa ayat 34.
Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang ta`at kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka menta`atimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.
Apabila karena sesuatu hal, suami tidak dapat melaksanakan kewajibannya sementara suami sesungguhya mampu, maka si isteri 57 dibenarkan mengambil harta suaminya itu untuk memenuhi kebutuhan diri dan anak-anaknya secara makruf. 43
Di sisi lain, Hukum Islam tidak mengatur secara khusus tentang harta bersama suami isteri dan harta bawaan dalam perkawinan sebagaimana yang ada dalam UUP No. 1 Tahun 1974, Kompilasi Hukum Islam, dan BW. Hukum Islam hanya menerangkan tentang hak milik laki-laki dan perempuan serta hak atas nafkah dan mahar bagi kaum perempuan. Hak atas mahar dan nafkah menjadi kewajiban bagi kaum laki-laki untuk menunaikannya. Mengenai besar kecilnya nafkah tergantung kepada kemampuan suami. Dari surat An Nisa ayat 32 di atas menjadi dasar diterima dan dikabulkannya permohonan Penggugat terhadap tuntutan pembagian harta bersama serta harta bawaan yang masih dikuasai oleh Tergugat setelah terjadinya perceraian seperti termuat dalam putusan nomor : 482/Pdt. G/2000/PA. Sal. Menurut Penulis, masalah harta bersama ini merupakan persoalan Ijtihadiyah yang belum pernah dibahas oleh ulama-ulama fiqh. Sehingga untuk menggali hukum mengenai harta bersama diperlukan ijtihad yang berpedoman pada ayat-ayat Al Quran yang merujuk pada masalah harta bersama. Selain itu hukum adat yang berlaku dalam masyarakat juga sangat membantu dalam menggali hukum mengenai harta bersama. Harta bersama dihasilkan dari perkongsian suami isteri yang disebut dengan syirkah. Cara terjadinya syirkah yaitu dengan cara tertulis atau ucapan
43 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1995, hlm. 201-203 58 nyata-nyata serta dengan penentuan undang-undang. Syirkah antara suami isteri dapat pula terjadi dengan kenyataan dalam kehidupan pasangan suami isteri itu. Cara ini memang hanya khusus untuk harta bersama atau syirkah pada harta kekayaan yang diperoleh atas usaha selama dalam masa perkawinan. Diam-diam telah terjadi syirkah itu, apabila kenyataan suami isteri itu bersatu dalam mencari hidup dan membiayai hidup. Mencari hidup tidak selalu diartikan mereka yang bergerak keluar rumah berusaha dengan nyata. Memang hal itu adalah yang pertama dan yang terutama. Tetapi di samping itu pembagian pekerjaan yang menyebabkan seseorang dapat bergerak maju, dalam hal ini dalam soal kebendaan dan harta kekayaan, banyak pula tergantung kepada pembagian pekerjaan yang baik antara suami dan isteri. 44
Adapula yang menyebut harta bersama itu diasumsikan sebagai syirkah, dengan ketentuan apabila mereka secara bersama-sama mengelola ekonomi dari harta mereka berdua atau dari harta salah seorang dari mereka namun pasangannya memiliki andil tenaga dalam mengembangkan usahanya. 45
Dari ketentuan di atas, menurut Penulis bila terjadi perceraian maka pembagian dari harta yang telah disyirkahkan meliputi modal awal dan hasil dari usaha tersebut. Apabila modal usaha tersebut berasal dari salah satu dari mereka maka modal tersebut harus dikembalikan kepada si pemilik.
44 Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, UI Press, Jakarta, cet. 5, 1986, hlm. 85 45 Herlini Amran, Fiqih Wanita Harta Istri = Harta Bersama?, Ummi, No. 8/XV, Januari-Pebruari 2004/1424 H, hlm. 44 59 Sedangkan untuk keuntungan dari hasil usaha mereka berdua dibagi sesuai dengan usahanya. Sedangkan menurut Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama dan apabila perkawinan putus karena perceraian harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing. Dari pengertian di atas, yang masuk dalam harta bersama hanyalah harta yang didapat atas usaha mereka atau sendiri-sendiri mulai dari akad nikah sampai selama dalam ikatan perkawinan. Mengenai harta benda suami isteri selama dalam perkawinan sudah diberi patokan yang pasti dalam pasal 35 dan pasal 36. Tetapi mengenai harta bersama pada waktu terjadi perceraian antara suami isteri, pasal 37 tidak memberi patokan penyelesaian yang pasti. Menurut pendapat Ismuha hal ini sangat baik mengingat rakyat Indonesia yang Bhinneka Tunggal Ika itu mempunyai hukum adat yang beraneka warna dan masih hidup dalam masyarakat. Dalam keadaan suami isteri hidup rukun dan damai membina rumah tangga mereka, tidak ada kesulitannya hukum adat yang berbeda-beda itu disatukan. Tetapi saat cekcok apalagi kalau sudah terjadi perceraian, hal itu adalah amat sulit. Jadi jalan penyelesaiannya yang baik dalam hal ini adalah mempergunakan hukum mereka masing-masing sebagai yang dimaksud oleh pasal 37 tersebut. 46
46 Ismuha, Pencaharian Bersama Suami Isteri di Indonesia, Bulan Bintang, Jakarta, cet. 11, 1978, hlm. 37-38 60 Mengenai pembagian harta bersama apabila terjadi perceraian antara suami isteri cara penyelesaiannya berbeda antara satu daerah dengan daerah lainnya di Indonesia. Ada daerah yang menurut hukum adatnya harta pencarian bersama ini dibagi sama antara bekas suami dan bekas isteri, di samping ada daerah yang membagi satu banding dua. Artinya satu bagian untuk bekas isteri dan dua bagian untuk bekas suami. 47
Di Jawa pada umumnya apabila terjadi perceraian, harta gono-gini itu dibagi dua antara bekas suami dan bekas isteri. Hal ini tidak menjadi persoalan karena sama dengan ketentuan yang ada dalam Undang-Undang Perkawinan maupun Kompilasi Hukum Islam. Pembagian harta bersama apabila salah satu dari suami isteri meninggal dunia, maka pihak yang masih hidup tetap menguasai harta gono- gini itu seperti pada waktu kedua suami isteri itu masih hidup, dan berhak atas harta peninggalan itu untuk kepentingan nafkahnya. Barulah harta itu dibagi apabila pihak yang masih hidup itu dapat terjamin nafkahnya, baik dari hasil pembagian itu, maupun dari harta lain. 48
Bila terjadi cerai mati maka sebelum harta warisan dibagikan kepada ahli waris yang ada, dibagi dua dulu. Separoh diberikan kepada pasangan yang masih hidup lebih lama. Seperti diatur dalam pasal 96 KHI ayat 1 : Apabila terjadi cerai mati, maka separoh harta bersama menjadi hak pasangan yang hidup lebih lama. Separoh sisanya baru dibagi dengan sistem pembagian warisan.
47 Ibid., hlm. 45 48 Ibid., hlm. 53 61 Menurut Penulis, baik pembagian harta bersama dengan menggunakan ketentuan seperti halnya pembagian warisan dan juga pembagiannya seperti ketentuan dalam syirkah hanya menjadi pertimbangan dalam penetapan hukum Islamnya. Dalam pembagian harta bersama suami isteri ini yang terpenting adalah kesepakatan dari pihak-pihak yang berperkara yaitu bekas suami dan bekas isteri untuk bermusyawarah secara damai sehingga tidak ada pihak yang merasa dirugikan. B. Analisis Pertimbangan dan Dasar Putusan Hakim Terhadap Kasus Pembagian Harta Bersama di PA Salatiga Sengketa pembagian harta bersama sebagai akibat dari perceraian suami isteri tidak terjadi di setiap negara Islam. Sengketa seperti ini hanya terjadi dalam masyarakat yang mengenal adanya harta bersama. Adanya apa yang disebut harta bersama dalam suatu rumah tangga, pada awalnya didasarkan atas adat istiadat dalam suatu wilayah yang tidak memisahkan adanya hak milik, yaitu hak milik dari maing-masing pasangan. Dalam masyarakat Islam yang adat istiadatnya memisahkan antara harta suami dan harta isteri tidak mengenal adanya harta bersama. Dalam masyarakat Islam seperti ini harta pencarian suami selama dalam masa perkawinan tetap dianggap sebagai harta suami, bukan dianggap sebagai harta bersama isteri. Isteri berkewajiban menjaga serta memelihara harta suami yang berada dalam rumah. Bila isteri mempunyai penghasilan sendiri maka hasil usahanya tidak dicampurbaurkan dengan harta suami. Jika suatu saat suami mendapat kesulitan dalam pembiayaan, maka jika suami menggunakan harta isteri, 62 berarti suami telah berhutang kepada isteri yang wajib dibayar kemudian hari. Bila salah seorang meninggal dunia, maka tidak ada masalah tentang pembagian harta bersama karena harta masing-masing telah terpisah sejak semula. Kelemahannya jika isteri tidak mempunyai penghasilan sendiri maka isteri tidak mempunyai harta, dan jika suami meninggal dunia, isteri hanya mendapat pembagian harta warisan dari harta peninggalan suami. Demikian juga jika terjadi perceraian, masalah yang berhubungan dengan harta yang menjadi masalah adalah apakah isteri berhak menerima nafkah selama dalam masa iddah. Berbeda dengan masyarakat Islam yang adatnya tidak mengenal pemisahan harta suami dengan harta isteri dalam rumah tangga. Dalam masyarakat yang adatnya seperti ini, setelah terjadi perkawinan otomatis harta yang dihasilkan baik dari suami ataupun dari isteri menjadi satu dan biasa dikenal dengan nama harta bersama. Dalam rumah tangga seperti ini, rasa kebersamaan lebih terasa dan menganggap akad nikah mengandung persetujuan kongsi dalam membina kehidupan rumah tangga. Dalam kehidupan rumah tangga seperti ini, tanpa mengecilkan arti suami sebagai seorang kepala rumah tangga, masalah perbelanjaan juga tidak dipermasalahkan siapa yang harus mengeluarkan dana untuk memenuhi kebutuhan. Jika salah satu meninggal dunia, maka masalah pertama yang harus diselesaikan dalam harta warisan adalah penyelesaian pembagian harta bersama. Setelah itu baru yang lain seperti wasiat, utang dan ongkos pemakamannya. Demikian pula jika terjadi perceraian, maka muncullah 63 persoalan pembagian harta bersama. Seperti yang terjadi di negara Indonesia dan telah dituangkan dalam pasal 35 ayat 1 UUP No. 1 Tahun 1974. 49
Dalam masyarakat Islam Indonesia, sengketa pembagian harta bersama biasa terjadi seperti kasus yang sedang dibahas. Penulis akan menganalisa kasus ini dengan kacamata Fiqh dan Perundang-undangan di Indonesia. Setelah membaca dua kasus yang telah terurai dalam bab sebelumnya dapat dipahami bahwa persoalan yang disengketakan antara pihak Penggugat dan pihak Tergugat adalah tentang pembagian harta bersama yang belum dibagi serta adanya harta bawaan yang masih dikuasai oleh Tergugat. Putusan Nomor: 326/Pdt. G/2004/PA. Sal, dalam putusan ini, masing- masing Penggugat dan Tergugat telah mengemukakan alasannya di depan Majlis Hakim. Dari pihak Penggugat untuk memperkuat gugatannya tentang harta bersama dan harta bawaan yang masih dikuasai oleh Tergugat telah mengajukan bukti-bukti, diantaranya kesaksian dari saksi-saksi baik Penggugat maupun Tergugat dan telah memberikan kesaksiannya di bawah sumpah. Dalam kasus No: 482/Pdt. G/2000/PA. Sal, masing-masimg dari Penggugat dan Tergugat telah mengemukakan alasannya di muka Majlis Hakim. Dari pihak Penggugat untuk memperkuat gugatannya tentang harta bersama yang belum dibagi serta harta bawaan dari Penggugat yang masih dihaki oleh Tergugat. Penggugat telah mengajukan bukti-bukti, diantaranya kesaksian satu orang saksi yang tidak bersumpah yaitu ayah dari Penggugat,
49 Satria Effendi M. Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer Analisis Yurisprodensi dengan Pendekatan Ushuliyah, Prenada Media, Jakarta, cet. 1, 2004, hlm. 59-61 64 serta tiga orang saksi yang memberikan kesaksian di bawah sumpah yaitu saksi 2, 3 dan 4. Dari keterangan saksi 1 dan 2 menerangkan adanya barang- barang bawaan dari Penggugat. Hal ini meneguhkan dalil-dalil dari Penggugat. Tampilnya orang tua Penggugat sebagai saksi meskipun tanpa bersumpah yang menguntungkan Penggugat menunjukkan adanya pengakuan Majlis Hakim terhadap kesaksian saksi tersebut. Hal seperti ini mendapat perhatian serius dalam kajian hukum acara peradilan Agama, karena objektivitas keputusan hakim dalam sebuah perkara banyak bergantung kepada keakuratan keterangan saksi. Dari dua kasus di Pengadilan Agama Salatiga tersebut, sesuai dengan kewenangannya, perkara perceraian yang diikuti dengan sengketa pembagian harta bersama, sebagian besar diterima dan dikabulkan oleh Majlis Hakim yang menerima, memeriksa dan mengadili perkara tersebut. Seperti dalam putusan No: 482/Pdt. G/2000/PA. Sal, bahwa yang menjadi sengketa dalam perkara ini adalah pembagian harta bersama suami isteri sebagaimana ditentukan dalam pasal 49 ayat 2 UU No. 7 Tahun 1989 dan penjelasannya Jo. Pasal 88 KHI, maka Majlis Hakim mempertimbangkan bahwa eksepsi Tergugat termasuk dalam wilayah pembuktian dan masih menjadi wewenang PA. Salatiga, sehingga eksepsi Tergugat tidak beralasan dan harus dinyatakan ditolak. Dalil bantahan seperti itu, termasuk dalam ruang lingkup upaya pembuktian. Penyelesaiannya sepenuhnya tetap menjadi kewenangan Pengadilan Agama, dan penyelesaian pemeriksaannya terbuka pada saat 65 pemeriksaan tahap pembuktian. Apabila Penggugat dapat membuktikan bahwa benar harta yang digugat adalah harta bersama, gugatan dapat dikabulkan. Sebaliknya, apabila Tergugat dapat membuktikan bahwa harta yang digugat seluruhnya atau sebagian adalah benar-benar milik pihak ketiga atau milik pribadi Tergugat sendiri, terhadap barang tersebut gugatan dinyatakan ditolak. 50
Dalam kasus di atas harta atau barang-barang bawaan dari Penggugat yang masih dikuasai oleh Tergugat sebagian telah dijual oleh Tergugat. Untuk membuktikan kebenarannya Hakim melakukan pemeriksaan di tempat (descente) yaitu pemeriksaan mengenai perkara, oleh Hakim karena jabatannya, yang di lakukan di luar gedung atau tempat kedudukan Pengadilan, agar Hakim dengan melihat sendiri memperoleh gambaran atau keterangan yang memberi kepastian tentang peristiwa yang menjadi sengketa. 51
Dalam kaitannya dengan harta bersama yang disengketakan dalam kasus-kasus di depan, kecermatan dalam memahami dan membedakan antara harta bersama dan harta bawaan sangat diperlukan. Maka sesuai dengan ketentuan pasal 37 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 disebutkan bahwa bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing.
50 M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan Dan Acara Peradilan Agama UU No. 7 Tahun 1989, Sinar Grafika, Jakarta, cet. 2, Juli, 2003, hlm. 269 51 A. Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, cet. 2, Agustus, 1998, hlm. 196-197 66
Dari bunyi pasal tersebut, menurut pendapat Penulis dalam menetapkan suatu keputusan terutama mengenai sengketa harta bersama akibat terjadinya perceraian, sudah sepantasnya hakim memberikan pertimbangan hukum, baik hukum agama, hukum adat, ataupun hukum lainnya yang sesuai dengan kondisi masyarakat yang sedang menghadapi masalah. Dalam hal ini sesuai dengan awal dikenalnya harta bersama itu disebabkan adanya adat atau kebiasaan atau dalam istilah Ushul Fiqh biasa di kenal dengan urf. Hal ini sejalan dengan qaidah kulliyah yang berbunyi Al- Adatu Muhakkamah, yaitu adat kebiasaan itu dapat menjadi hukum. 52 Syarat suatu adat dapat dijadikan hukum yaitu : 1 Adat kebiasaan itu dapat diterima perasaan yang sehat dan diakui oleh pendapat ulama. 2 Sesuatu yang dikatakan adat berulang kali terjadi dan sudah umum. 3 Kebiasaan itu sudah berjalan, tidak boleh adat yang akan berlaku. 4 Tidak ada persetujuan lain antara kedua belah pihak yang berlainan dengan kebiasaan. 5 Tidak bertentangan dengan nash. 53
Urf yaitu apa yang telah dibiasakan oleh masyarakat dan dijalankan terus menerus baik berupa perkataan ataupun perbuatan. Urf merupakan bagian dari adat, karena adat lebih umum dari urf. Urf bukanlah kebiasaan alami sebagaimana yang berlaku dalam kebanyakan adat, tetapi muncul dari
52 Asjmuni A. Rahman, Qaidah-Qaidah Fiqih ( Qawaidul Fiqhiyyah ), Bulan Bintang, Jakarta, cet. 1, 1976, hlm. 88 53 Hasbi Ash. Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam, Bulan Bintang, Jakarta,cet. 1, 1975, hlm. 477 67 suatu pemikiran dan pengalaman. Kelemahan urf sebagai dasar hukum yaitu urf itu sifatnya lokal hanya berlaku bagi masyarakat tertentu dan tidak semua urf itu sesuai dengan dalil-dalil syara karena memang pada dasarnya urf itu ada yang shahih dan ada yang fasid. 54
54 Nasrun Haroen, Ushul Fiqh, Logos, Jakarta, cet. 1, 1996, hlm. 138-149 68 BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Dari pembahasan skripsi yang telah diuraikan dari bab 1 sampai bab 1V, dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Pada dasarnya tidak semua negara mengenal harta bersama. Negara yang mengenal harta bersama adalah negara yang memiliki adat istiadat untuk memisahkan adanya hak milik suami dan hak milik isteri. Sedangkan Harta bersama itu sendiri memiliki nama yang berbeda-beda di masing- masing tempat. Harta bersama suami isteri atau harta gono-gini ialah harta kekayaan yang dihasilkan bersama oleh suami isteri selama dalam ikatan perkawinan. Dalam kitab-kitab Fiqh, harta yang dihasilkan suami isteri termasuk dalam perkongsian yang biasa disebut syarikah atau syirkah. Dalam Perundang-Undangan di Indonesia seperti Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam menyebutkan harta bersama suami isteri hanyalah meliputi harta-harta yang diperoleh suami isteri sepanjang perkawinan saja. Ketentuan ini tidak menyebutkan dari mana atau dari siapa harta tersebut berasal. Sehingga boleh dikatakan bahwa termasuk harta bersama adalah: a. harta dan pendapatan suami b. harta dan pendapatan isteri 69 c. hasil dan pendapatan dari harta pribadi suami maupun isteri, sekalipun harta pokoknya tidak termasuk dalam harta bersama, asal kesemuanya diperoleh sepanjang perkawinan. 2. Pertimbangan Hakim dalam putusan perkara harta bersama dimulai dari tahap-tahap pemeriksaan, yaitu : Gugatan Penggugat, jawaban tergugat, replik penggugat, duplik tergugat, dan pembuktian. Tahap-tahap pemeriksaan itu sebagai duduk perkaranya yaitu segala sesuatu yang terjadi di persidangan. Pertimbangan Hakim dalam putusannya berdasarkan pada pembuktian. Pembagian harta bersama dilakukan menurut ketentuan adat yang berlaku dan disesuaikan dengan ketentuan Undang-Undang yang berlaku. 3. Putusan Hakim terhadap pembagian harta bersama sebagai akibat terjadinya perceraian adalah sudah sesuai dengan kaidah-kaidah atau ketentuan yang berlaku. Ditinjau dari Perundang-undangan yang berlaku yaitu KHI dan UUP No. 1 Tahun 1974 sudah sesuai yaitu harta bersama dibagi dua antara Penggugat dan Tergugat sehingga masing-masing mendapat dari harta bersama. Sedangkan harta bawaan dari masing- masing harus kembali kepada si pembawa, sehingga Hakim dalam memutuskan perkara pembagian harta bersama yang diakibatkan dari terjadinya perceraian tidak memberatkan salah satu pihak, karena sudah sesuai dengan hukum formil dan materiilnya.
70 B. Saran 1. Dalam permasalahan harta bersama, meskipun dalam produk ulama- ulam fiqh tidak pernah dibahas, namun ini berperan penting dalam kaitannya dengan hak-hak seseorang atas harta benda yang dimilikinya. Oleh karena itu penguasaan harta bersama ataupun harta bawaan dari salah satu pihak dalam bentuk bagaimanapun apalagi sampai merugikan pihak lain tidak dapat dibenarkan. 2. Permasalahan mengenai harta bersama hendaknya jangan sampai masuk pada proses Pengadilan. Masalah harta benda merupakan masalah yang sangat rawan bagai pisau bermata dua, bisa menyatukan juga bisa menimbulkan pertikaian dan permusuhan. Masalah seperti ini, sebaiknya diselesaikan secara kekeluargaan melalui musyawarah keluarga. 3. Bagi para penegak hukum di Pengadilan Agama Salatiga teruslah berijtihad dengan tulus dan ikhlas agar kebenaran dan keadilan dapat terus ditegakkan. 4. Bagi Mahasiswa jurusan Syariah STAIN Salatiga teruslah belajar dengan ilmu-ilmu Allah. Alhamdulillah atas rahmat dan karunia serta tuntunanNya, maka pemyusunan skripsi ini bisa terselesaikan. Penulis telah berusaha dan berupaya semaksimal mungkin untuk dapat menyajikan yang terbaik, namun hasilnya tidak luput dari kekurangan. Hal ini semata-mata kekurangan dari Penulis yang jauh dari sifat sempurna. Penulis sadar bahwa karya ini adalah karya terkecil dari sebuah pembahasan persoalan Islam yang sangat universal. 71 Tidak lupa Penulis sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu penyusunan skripsi ini. Terutama kepada dosen pembimbing yang telah dengan sabar memberikan bimbingan, arahan, masukan dan koreksi dalam penulisan skripsi ini. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, maka dari itu kritik dan saran sangat Penulis harapkan guna perbaikan di kemudian hari. Akhirnya , semoga skripsi ini dapat membawa manfaat dunia dan akhirat. Amin.
72 DAFTAR PUSTAKA
A. Kelompok al-Quran dan Tafsir Abdoerraoef, Al-Quran dan Ilmu Hukum, Bulan Bintang, Jakarta, 1986. Depag, Al-Quran dan Terjemahannya, Toha Putra, Semarang, tt. Surin, Bachtiar, Terjemah dan Tafsir Al-Quran, Sumatra, Bandung, tt.
B. Kelompok Fiqh dan Ushul Fiqh Al Andalusy, Ibnu Rusyd Al Qurtuby, Bidayatul l-Mujtahid Juz 2, Darul Fikr, Beirut, tt. Al-Jaziry, Abdurrahman, Al-Fiqhu Alal l-Madzaahibil Al-Arbaah Jilid 111, Darul Kutub Al Ilmiah, Beirut, 1990 M / 1410 H. Ash. Shiddieqy, Hasbi, Falsafah Hukum Islam, Bulan Bintang, Jakarta, cet. 1, 1975. Haroen, Nasroen, Ushul Fiqh, Logos, Jakarta, Cet. 1, 1996. Rahman, Asjmuni A, Qaidah-Qaidah Fiqih ( Qawaidul Fiqhiyyah ), Bulan Bintang, Jakarta, Cet. 1, 1976.
C. Kelompok Kamus Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Cet. 2, 1989.
D. Kelompok Perundang-Undangan Kompilasi Hukum Islam Seri Perundangan, Pustaka Widyatama, Yogyakarta, Cet. 1, Juli 2004. Soimin, Soedharyo, KUH Perdata, Sinar Grafika, Jakarta, Cet. 1, September, 1996. Undang-Undang Perkawinan Republik Indonesia No. 1 Tahun 1974, Penerbit Arkola, Surabaya. 73 E. Kelompok Buku Lain Amran, Herlini, Fiqih Wanita Harta Istri = Harta Bersama ? Ummi, No. 8/XV, 2004 / 1424 H. Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian Suatu Praktek Pendekatan, Rineka Cipta, Jakarta, 1997. ______________, Prosedur Penelitian, Bina Aksara, Jakarta, 1989. Arto, A. Mukti, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2004. Basyir, Ahmad Azhar, Hukum Perkawinan Islam, Perpustakaan Fakultas Hukum UII, Yogyakarta, Cet. 8, 1996. Hadi, Sutrisno, Metodologi Research 1, Yayasan Penerbit Fakultas Psikologi UGM, Yogyakarta, 1991. Harahap, M. Yahya, Kedudukan Kewenangan Dan Acara Peradilan Agama UU No. 7 Tahun 1989, Sinar Grafika, Jakarta, Cet. 2, Juli, 2003. Ismuha, Pencaharian Bersama Suami Isteri di Indonesia, Bulan Bintang, Jakarta, Cet. 2, 1978. Kusuma, Hilma Hadi, Hukum Perkawinan Adat, Aditya Bakti, Bandung, Cet. 4, 1999. Ramulyo, M. Idris, Hukum Perkawinan Islam Suatu Analisis UU No. 1 Tahun 1974 dan KHI, Bumi Aksara, Jakarta, Cet. 1, 1996. Rasyid, Roihan A, Hukum Acara Peradilan Agama, Raja Gramindo Persada, Jakarta, Cet. V1, Oktober, 1998. Rofiq, Ahmad, Hukum Islam di Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, cet. 3, 1999. Satrio, J. , Hukum Harta Perkawinan, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, Cet. 1, 1991. Soekamto, Soerjono, Filsafat Ilmu Pengetahuan, Nur Cahaya, Yogyakarta, 1989. Surachman, Winarno, Dasar-Dasar dan Tekhnik Riset, Tarsito, Bandung, 1978. 74 Thalib, Sayuti, Hukum Kekeluargaan Indonesia, UI Press, Jakarta, Cet. 5, 1986. Zein, Satria Effendi M, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer Analisis Yurisprodensi Dengan Pendekatan Ushuliyah, Prenada Media, Jakarta, Cet. 1, 2004.
75
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama : SITI NAFIAH Tempat tgl lahir : KAB. SMG, 10 JANUARI 1982 Jenis Kelamin : PEREMPUAN Agama : ISLAM Pendidikan : 1. SD Tingkir Lor 1 Lulus Tahun 1994 2. SMP N 6 Salatiga Lulus Tahun 1997 3. SMA N 1 Tengaran Lulus Tahun 2000 4. STAIN Salatiga Lulus Tahun 2007
Demikian riwayat hidup Penulis yang dibuat dengan sesungguhnya.