Anda di halaman 1dari 3

KUALITAS HIDUP DAN KEMATIAN Oleh: RICARDO FREEDOM NANURU Dosen Filsafat Universitas Halmahera Beberapa waktu lalu,

saya mengikuti acara pemakaman seorang teman di Dokulamo Galela. Saat acara berlangsung, terus terang saya ikut terharu dan sempat menitikkan air mata karena iba melihat anak, istri dan keluarga yang menangis mengiringi kepergian almarhum yang mereka cintai. Pikiran saya saat itu tiba-tiba melayang memikirkan tentang kematian yang pastinya akan melanda setiap insan manusia tanpa kecuali di muka bumi ini; dan walaupun saat itu sedang berada di tengah suasana yang ramai namun saya merasa sendiri, sunyi, dan serasa tiap inci dari persendian di tubuh ini lunglai tak berdaya. Takut, itulah sebenarnya yang saya rasakan ketika memikirkan tentang mati/kematian. Mati atau meninggal tentu saja merupakan suatu kepastian. Pengalaman hidup membuktikan tentang hal ini. Kematian tidak memandang status sosial, baik rakyat jelata atau pun pejabat pemerintahan; yang kaya atau pun miskin; yang berpendidikan tinggi maupun yang tidak tamat Sekolah Dasar; semuanya akan sampai di saat yang disebut mati. Sampai di sini, dapat ditarik kesimpulan bahwa setiap manusia pasti mengalami yang namanya mati. Jadi tidak ada bedanya dalam hal mati bagi orang kaya atau pun miskin, pejabat atau pun rakyat, bertitel atau pun tidak. Tetapi, muncul pertanyaan: apakah mati itu benar-benar sama bagi tiap manusia? Hal ini kiranya perlu dibahas dari berbagai sudut pandang. Satu dari sekian sudut pandang itu adalah Agama. Berdasarkan ajaran agama, entah apa agamanya, kematian bukanlah akhir dari segala-galanya. Bahkan kematian dianggap sebagai awal dari suatu kehidupan baru, kehidupan yang sebenarnya, seperti tertuang dalam QS Al Ankabut 64:29 Dan Tiadalah kehidupan di dunia ini melainkan senda gurau dan main-main. Dan Akhirat itulah sebenar-benarnya kehidupan, kalau mereka mengetahui. Selaras dengan QS Al Ankabut 64:29, di Alkitab banyak memuat tentang ajaran

tentang kematian dan hidup setelah mati. Salah satu yang terkenal adalah dalam Yohanes 11:25 yang berbunyi, Jawab Yesus: Akulah kebangkitan dan hidup; barangsiapa percaya kepada-Ku, ia akan hidup walaupun ia sudah mati. Ajaran agama yang tertuang dalam dua ayat ini mengindikasikan bahwa ada perbedaan dalam hal memandang kematian bagi manusia yang beragama. Manusia yang beragama akan memandang kematian sebagai pintu masuk bagi kehidupan selanjutnya. Namun, yang perlu ditekankan lebih lanjut adalah bahwa di dalam kepercayaan ini terkandung pula dua pengertian tentang hidup setelah mati itu. Apakah hidup dalam kesenangan, ataukah hidup dalam penderitaan? Sampai pada atasan ini, maka ajaran tentang kematian akan bersinggungan dengan ajaran tentang Surga dan Neraka sebagai bagian tak terpisahkan dari kehidupan setelah kematian. Hal ini pula yaitu lokasi tempat hidup setelah mati, akan berhubungan erat bahkan tak terpisahkan dengan persoalan apa yang telah dilakukan selama hidup sebelum mengalami kematian. Dengan kata lain, lokasi hidup setelah mati akan ditentukan oleh kualitas hidup sebelum mati. Kualitas hidup inilah yang banyak diperdebatkan, walaupun sudah jelas terterah di Kitab Suci semua agama di dunia. Lalu, apa hubungannya bahasan tentang kematian dengan situasi dan kondisi akhir-akhir ini di Indonesia? Apa hubungannya kematian dengan korupsi yang semakin parah di negeri ini? Koruptor, bukankah mereka adalah manusia? Manusia yang tentu saja beragama, karena jika tidak maka tentu saja mereka tidak akan memiliki KTP (Kartu Tanda Penduduk) di Indonesia, karena di KTP pasti terterah agama dari pemiliknya. Jika para koruptor adalah manusia-manusia yang beragama, maka tentu saja mereka akan memahami setiap ajaran agama yang melarang untuk mencuri, mengambil yang bukan haknya, atau dengan kata lain mereka tahu kualitas hidup mana yang akan membawa ke lokasi kesenangan setelah kematian. Bukankah korupsi merupakan salah satu kualitas hidup yang jelek, yang nantinya akan membawa manusia yang

melakukannya ke lokasi sengsara setelah mati. Bukankah mereka telah mengetahuinya? Lalu, mengapa mereka masih mau melakukannya? Bertolak dari pertanyaan-pertanyaan di atas, maka dapat diasumsikan bahwa korupsi melibatkan manusia yang di dalamnya ada tahu dan mau. Tahu berhubungan dengan pengetahuan tentang sesuatu serta akibat atau dampak yang ditimbulkan. Sementara mau berhubungan dengan keinginan untuk memuaskan hasrat dalam diri yang mengetahui tersebut. Lebih jauh lagi dapat dikatakan bahwa tahu berhubungan dengan ajaran-ajaran agama dan moral yang mengarahkan mau itu. Jika tahu dan mau diarahkan pada hal yang positif, maka hidup manusia baik sekarang maupun setelah mati akan selalu senang; tetapi jika tahu dan mau ini diarahkan pada hal yang negatif misalnya korupsi, maka akan berdampak buruk baik bagi hidup sekarang maupun hidup setelah kematian. Para pembaca bisa saja mengatakan bahwa hal yang dibahas ini tidaklah terlalu penting, karena menyangkut sesuatu yang belum pasti atau hanya ada dalam kemungkinan. Tetapi bagi saya dan mungkin bagi sebagian orang yang beragama akan memandang hal ini sebagai bagian yang sangat penting dari hidup ini. Hidup yang berkualitas, bebas korupsi, akan sangat berdampak bagi kehidupan sekarang maupun kehidupan setelah kematian. Jika anda beragama, maka jelas bahwa anda telah tahu bahwa korupsi akan berdampak buruk bagi hidup sekarang maupun setelah mati. Jadi, waspadalah terhadap kualitas hidup anda mulai sekarang. Arahkanlah pengetahuan dan kemauan anda sebagai manusia kepada hal-hal yang positif, berkualitas, hingga pada akhirnya jika kematian menjemput, anda akan menghadapinya dengan sadar, tanpa ketakutan karena kualitas hidup telah teruji sebelum kematian itu datang. Selamat menjalani kehidupan yang berkualitas, ingatlah bahwa masih ada kehidupan lain setelah kematian dan tangisan anak-anak manusia.

Anda mungkin juga menyukai