Anda di halaman 1dari 6

Masalah gizi buruk akhir-akhir ini mulai mencuat kembali, apalagi setelah ditemukannya beberapa korban meninggal akibat

gizi buruk. Di akhir Pebruari, 2008 media massa dihebohkan dengan meninggalnya Dg Basse (35 th) penduduk kota Makassar bersama bayi berusia tujuh bulan yang dikandungnya. Kematian mereka dinyatakan akibat gizi buruk (dehidrasi akut) (kompas.com). Selain kasus tersebut, penyakit busung lapar juga banyak ditemukan di beberapa daerah atau kota seperti Lombok, NTB, NTT, Majene Sulawesi Barat, Serang Banten, Papua dan bahkan di Ibu Kota Negara Jakarta juga tidak ketinggalan. Mungkin saja masih banyak kasus busung lapar yang terjadi di penjuru negeri ini yang belum tercium pemberitaan. Artinya, masalah gizi telah terjadi secara bersamaan dan dalam skala luas di segenap penjuru nusantara, seperti terjadi di tahun 80-an (kompas.com). Sebenarnya fenomena masalah gizi yang terjadi di masyarakat dapat diumpamakan sebagai fenomena gunung es. Jika kasus busung lapar sudah ditemukan di masyarakat dalam jumlah hanya sekitar 10 orang, maka sesungguhnya telah tersimpan kurang energi protein (KEP) kategori ringansedang dalam jumlah yang banyak. Busung lapar adalah istilah yang diberikan oleh masyarakat dan sebenarnya tergolong masalah gizi KEP kategori berat. KEP merupakan masalah gizi yang paling mudah dan cepat terjadi di masyarakat bilamana mereka itu sedang mengalami ketidakseimbangan konsumsi zat-zat gizi sehari. Golongan masyarakat yang peling rawan menderita KEP adalah bayi dan anak usia bawah lima tahun (balita). Karena pada usia ini anak sudah mulai memasuki masa penyapihan, sementnara tidak diikuti pemberian makanan tambahan untuk memenuhi kebutuhan gizinya. Menilik catatan-catatan berita tentang busung lapar di NTT di tahun 2005 menggambarkan betapa parahnya kasus ini. ampung Pos (14/06/05) memberitakan bahwa dalam kurun waktu lima bulan ada 20 orang yang meninggal akibat kelaparan di NTT. Yang mengenaskan, tujuh di antaranya sudah meninggal dunia pada saat mendapat perwatan di RSU dan 10 pasien busung lapar lainnya meninggal dunia di di panti-panti perawatan milik Care International. Di TTS sendiri hasil survai mencatat ada sekitar 26 balita menderita busung lapar, sementara 2.257 anak lainnya mengalami gizi buruk saat itu. Sementara itu pelacakan terhadap 2.000 anak balita di Kabupaten Timor Tengah Utara, 400 di antaranya mengalami status gizi buruk. Juga di Alor,

dari 400 anak balita yang disurvai, 20 persen mengalami gizi kronis yang mengarah pada marasmus (Kompas, 27/5/2005). Menurut catatan Dinas Kesehatan NTT, di propinsi itu anak yang mengalami gangguan gizi buruk akut dan kronis hingga busung lapar mencapai 66.685 orang (Kompas, 07/06/05). Gizi buruk dan kasus busung lapar di Nusa Tenggara Timur telah menambah potret buram generasi penerus bangsa. Betapa mengenaskan nasib anak-anak kita. Kasus busung lapar tidak hanya melanda NTT. Paling sedikit 23,63 juta penduduk Indonesia terancam kelaparan saat itu. Busung lapar juga melanda daerah lainnya seperti di Jawa Barat dan Nusa Tenggara Barat yang tergolong daerah lumbung beras di Indonesia. Yang juga patut disimak, kasus gizi buruk pada balita juga ditemukan di Jakarta. Tidak tanggung-tanggung, Dinas Kesehatan DKI Jakarta menyebutkan angka 8455 balita menderita gizi buruk (Kompas, 10/06/05). Mereka yang terancam kelaparan adalah penduduk yang pengeluaran per kapita sebulannya di bawah Rp 30.000,00. Seharusnya gizi buruk, busung lapar atau kelaparan di NTT, bukan sesuatu muncul secara tibatiba dan kemudian disebut sebagai suatu "Kejadian Luar Biasa". Terlepas dari definisi ilmu epidemiologi, jika melihat beberapa indikator indeks pembangunan manusia (IPM) di NTT, maka kasus-kasus ini harusnya sudah bisa diprediksikan. Secara nasional, tingkat kesejahteraan NTT hanya menempatiposisi 24 dari 30 propinsi. Data juga menunjukkan bahwa presentasi penduduk miskin di NTT mencapai 28.62 % (2003) itu pun kalau data itu benar - bisa jadi lebih dari angka yang dipaparkan. Menurut Data dan Informasi Kemiskinan, tahun 2003, BPS Jakarta, Indeks Kemiskinan Manusia (IKM) NTT dengan jumlah penduduk miskin 28,62 persen (1.166 juta jiwa). Di sisi lain, tingkat pengangguran terbuka adalah 3,94 persen, sedangkan pengangguran terselubung 58,38 persen. (Kompas, 05/06/2005). C. Penyebab Terjadinya Permasalahan Pemenuhan Gizi Dalam beberapa hari belakangan ini kasus penyakit Busung Lapar telah banyak bermunculan di beberapa daerah/kota. Fenomena ini membuat sibuk pemerintah khususnya Menteri Kesehatan dan Menteri Dalam Negeri, para gubernur, serta Presiden dan Wakil Presiden sekalipun tanpa kecuali. Jika ditelusuri lebih saksama apa penyebab timbulnya kembali masalah gizi ini, yang sesungguhnya berkisar satu dekade belakangan ini telah secara potensial terpendam dalam masyarakat, maka akan ada beberapa pertanyaan spekulatif penyebab utama yang berkembang.

Apakah karena negara ini sedang mengalami kurang pangan dalam skala nasional? Ataukah telah terjadi pendistribusian pangan yang tidak merata di negara ini? Ataukah karena negara ini telah melakukan kekeliruan pengambilan kebijakan dalam penanganan masalah gizi masyarakat pada beberapa waktu lalu? Berikut disajikan beberapa hal yang dirasa memberikan kontribusi besar terjadinya permasalahan pemenuhan kebutuhan pangan (gizi). 1. Kemiskinan Kondisi yang dialami rakyat belakangan ini sungguh memasuki fase yang memiriskan hati. Lonjakan harga berbagai bahan pangan dan komoditas strategis membuat daya beli rakyat makin tergerus. Tak dapat dielakkan lagi jumlah penduduk berkategori miskin berlipat. Tak ada lagi cerita harga murah untuk beras, gula, minyak goreng, minyak tanah, gandum, kedelai, dan sembako lainnya. Semua itu akan menimbulkan efek berantai yang luar biasa mengerikan. Standar dan kualitas pemenuhan gizi rakyat akan semakin sulit terjangkau. Jika hal ini tidak segera ditindaklanjuti, fenomena gizi buruk secara massal akan menjadi kenyataan. Tidak tersedianya pangan dalam jumlah dan mutu yang memadai dapat diartikan sebagai telah terjadinya kemiskinan karena ada hak-hak dasar seseorang atau sekelompok orang yang tidak dapat terpenuhi. Oleh karena itu dikaitkan dengan upaya pengentasan kemiskinan maka ketersediaan pangan yang kemudian dikenal sebagai ketahanan pangan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari upaya strategis dalam penanggulangan masalah kemiskinan. The World Food Summit (WFS) menyatakan ketahanan pangan dapat terwujud saat semua orang setiap saat memiliki akses terhadap pangan yang cukup, aman, dan bergizi untuk memenuhi kebutuhannya dan juga pemenuhan pangan bagi kehidupan yang sehat. Empat pilar utama dari ketahanan pangan ini adalah ketersediaan pangan, stabilitas suplai pangan, akses, dan pemanfaatan pangan. 2. Bencana Alam Tidak bisa dipungkiri bahwa sering terjadinya bencana alam merupakan salah satu penyebab adanya gizi buruk di Indonesia. Banjir, tanah longsor, tsunami, letusan gunung berapi dan bencana alam lain akan menghambat pemenuhan gizi di Indonesia. Wilayah Indonesia yang terletak di antara 2 paparan (Paparan Sunda dan Paparan Sahul) memungkinkan sering terjadinya bencana alam. Letak persinggungan 2 lempeng tersebut

mengakibatkan sering terjadinya pergeseran lempeng dan gempa bumi sehingga hal tersebut berpotensi menyebabkan bencana alam. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, permasalahan pemenuhan bahan pangan bukan hanya terkait ada atau tidaknya bahan pangan namun juga terkait dengan pendistribusian yang tidak merata. Bencana alam berpotensi menghalang proses distribusi bahan makanan sehingga bahan pangan yang ada tidak terdistribusi dengan baik. Sehingga daerah-daerah yang tidak dapat dijangkau menjadi kekurangan bahan pangan yang dalam waktu relatif lama dapat menyebabkan gizi buruk. 3. Korupsi Korupsi tampaknya merupakan akar dari semua permasalahan di negeri ini. Tidak terkecuali kasus kekurangan gizi di Indonesia. Mengapa demikian? Juka ditelusuri lebih jauh hampir semua permasalahan di Indonesia berakar dari korupsi. Pantas saja negeri sebesar ini yang memiliki kekayaan alam begitu melimpah ruah belum mampu memenuhi kebutuhan pangannya sendiri, itu semua karena korupsi yang terjadi hampir di seluruh lapisan masyarakat. Keterkaitan korupsi dengan masalah kekurangan gizi dapat ditinjau dari banyaknya anggaran yang disiapkan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, namun faktanya pembagian dana tersebut tidak tepat sasaran dengan bukti permasalahan yang tidak segera selesai. Menurut Hidayat Nurwahid, ketua MPR RI, orang yang melakukan korupsi tidak lagi memikirkan tentang dirinya dan keluarganya, bagaimana ia telah menjadikan dirinya diburu oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), bagaimana ia menafkahi keluarganya dengan harta haram yang tidak akan mambawa berkah bagi rumah tangganya. 4. Budaya Mc Donalisasi Budaya Mc Donalisasi adalah budaya serba instan atau dengan kata lain budaya tidak produktif. Tampaknya budaya Mc Donalisasi ini tengah merambah ke berbagai aspek kehidupan bangsa Indonesia. Jika dilihat dari aspek ketahanan pangan di Indonesia, budaya Mc Donalisasi inilah yang tengah menjajah bangsa ini sehingga melahirkan generasi yang malas, tidak produktif yang berdampak pada berbagai aspek kehidupan diantaranya adalah pola konsumsi masyarakat.

Jika ditengok ke belakang, sewaktu budaya ini belum menyerang Indonesia, masyarakat masih bersemangat untuk produktif, menanam kebutuhan pangan yang bisa ditanam di halaman rumah. Misalnya dengan menanam sayuran di halaman rumah, sehingga sewaktu-waktu hasilnya dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan pangan keluarga. Namun ketika budaya ini mewabah ke seluruh sendi kehidupan bangsa Indonesia, budaya menanam bahan pangan sendiri itu sudah hampir terkikis bahkan tidak ada. Masyarakat lebih menyukai membeli produk-produk instan seperti fast food dan junk food yang memiliki kadar gizi relatif rendah. Hal ini diperparah dengan menjamurnya waralaba yang bisa ditemui di setiap tempat sehingga mewadahi budaya Mc Donaldisasi ini. Budaya ini akan meninabobokan masyarakat Indonesia dari bangkit untuk menjadi masyarakat yang produktif. Jika saja budaya produktif dikembangkan diberbagai lini kehidupan, dipastikan bangsa Indonesia akan lebih cepat berkembang, termasuk mengenai permasalah pemenuhan bahan pangan. 5. Stereotip Masyarakat Tentang Gizi Salah satu penyebab lain dari kasus gizi buruk di Indonesia adalah stereotip tentang masyarakat mengenai pentingnya kecukupan gizi. Anggapan tentang gizi yang menyebutkan bahwa gizi adalah suatu barang kebutuhan yang mahal. Padahal anggapan itu tidak selamanya benar. Gizi tidak hanya bisa didapat dengan harga yang mahal, dengan harga yang relatif murah pun gizi dapat didapat dengan mengetahui bahan-bahan bernilai gizi tinggi. Anggapan masyarakat mengenai gizi masih terpaku pada empat sehat lima sempurna, yaitu (hanya) nasi/beras yang menjadi sumber karbohidrat, sayur, lauk seperti ayam, daging sebagai sumber protein, buah-buahan yang bagi masyarakat awam hanya dimakan pada saat-saat tertentu saja, misalnya ada acara/hajatan, susu menurut stereotip kebanyakan masyarakat awam hanya diminum oleh orang kaya. Pandangan seperti itulah yang menyebabkan banyak kasus kurang gizi bagi orang-orang yang awam terhadap kandungan gizi bahan-bahan pangan. Hendaknya masyarakat membuka wawasannya bahwa bukan hanya beras yang menjadi sumber karbohidrat, bukan hanya daging yang menjadi sumber protein, susu sangat penting bagi pertumbuhan anak. 6. Kurangnya Sosialisasi Program Peningkatan Kesejahteraan

Tidak dapat dipungkiri pada dasarnya ada beberapa usaha pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan rakyatnya. Namun jika ditilik lebih jauh nampaknya pelaksanaannya masih membutuhkan berbagai perbaikan, diantaranya mengenai sosialisasi. Sebagus apapun program yang ditawarkan, jika sosialisasinya gagal maka percuma saja. Untuk program-program peningkatan kesejahteraan, misalnya bantuan langsung tunai (BLT) yang diberikan kepada masyarakat berkategori miskin hendaknya merata dengan sosialisasi yang baik. 7. Kebijakan Pemerintah Terkait Pengadaan Bahan Pangan Kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah terkait pengadaan bahan pangan tentu mempunyai andil yang cukup besar terhadap keberadaan bahan pangan yang akan dikonsumsi oleh masyarakat berikut harganya. Pemerintah berwewenang mengambil kebijakan untuk impor atau ekspor bahan pangan. Selama ini pemerintah masih banyak mengimpor bahan pangan untuk memenuhi kekurangan bahan pangan dari dalam negeri. Namun impor bahan pangan yang tidak dikendalikan, dapat memperparah keterpurukan ekonomi Indonesia, karena hal tersebut dapat membunuh sektor pertanian yang seharusnya menjadi andalan bangsa ini. Kebijakan pemerintah yang berperan dalam pengadaan bahan pangan tidak hanya mengenai impor, namun juga kebijakan-kebijakan sebagai wujud perhatian kepada para petani. Kebijakan-kebijakan tersebut meliputi kebijakan sebelum tanam, masa pemeliharaan dan pascapanen. Kebijakan yang diharapkan petani untuk dapat menunjang perekonomiannya antara lain harga pupuk yang tidak mahal (terjangkau), harga gabah/beras yang tinggi. Dengan demikian sedikit demi sedikit perekonomian petani sebagai pengelola langsung sektor agraris yang sangat vital akan terangkat.

Anda mungkin juga menyukai