Anda di halaman 1dari 4

Mancing di Grojokan

Ini hari-hari Aku masih bocah. Aku sama adik, si Reza, senengnya tu mancing di kali. Apalagi kalo liburan sekolah. Jadi liburan kali itu Aku sama Reza bakalan ngisinya dengan mancing seharian. Its amazing you know?. Waspada menunggu dengan sabar. Mata menanti setiap gerakan, sedangkan jemari merasakan setiap getaran yang mungkin akan datang tiba-tiba. Dan akhirnya, hup. Seekor ikan kecil yang bernama wader berhasil menari di atas air. Ikannya memang kecil. Kalau dijual seember pun mungkin hanya dihargai dua puluh ribuan. Tapi sensasinya itu lo. Peralalatan tempur sudah kami siapkan. Beberapa mata kail akan menjadi amunisi cadangan. Biasanya ikan yang terlalu besar menggondol kail setali-talinya. Seperti ikan lele yang pastinya jadi punya kumis tambahan. Cacing yang digunakan berupa cacing pisang. Ini adalah umpan ampuh untuk target wilayah pesisir sungai. Bau amisnya akan memancing target datang dan siap untuk masuk angkutan. Reza menanyakan lokasi strategis yang pastinya merupakan tempat ikan-ikan berkumpul. Setelah ku timbang-timbang sepertinya tempat yang pas adalah di deket grojokan. Muara kecil yang sedikit lebih tinggi dari sungai. Sehingga jatuhnya air akan terdengar seperti Grojok, grojok. Oleh karena itu tempatnya diberi nama grojokan. Selain itu di sekitar grojokan ada sawah kangkungnya mbah Kijo. Deket sawah pasti banyak ikan. Blum lagi deket kolamnya wak Soleh. Lokasi target tidak teralu jauh. Berada di belakang areal pemukiman. Untuk mencapai grojokan, Aku dan Reza harus melewati kebun bambu. Kebun bambu menyimpan suatu keunikan tersendiri. Percaya atau tidak apabila kita lewat dibawah bambu-bambu yang menyilang. Maka bambu itu akan mengeluarkan seuara mendecit. Namun hal itu terjadi apabila sedang sendirian atau situasi sedang sunyi. Mitos kecil. Dari kebun bambu ini jalan akan terus menurun. Suara grojokan air telah terdengar jelas. Kami menuruni jalan berundak dengan akar-akar pohon melintang. Masih saja sempat bersenda gurau saling kejar-kejaran padahal terpeleset sedikit saja, bakal ngegelundung dan plung, langsug dilahap sungai. Sangat menyesal sekali. Lokasi telah diramaikan bocah-bocah lain. Yang paling besar diantara semuanya si Anggun. Jangan salah, itu nama anak laki-laki dengan badan kekar. Ia salah satu kawan baik ku. Tanpa basa-basi kami langsung gabung dengan mereka. Waktu terus berjalan hingga lewat ashar namun bandul enggan saja bergoyang. Beberapa anak lain sudah beralih nyeser di sawahnya mbah Kijo. Mereka teriak-teriak. Dapat-dapat. Hu,hu. Gede,gede. Adik ku sudah duluan nyamperin mereka. Ya Aku pun

ikutan la. Rupanya dapet anak ikan gabus bocah itu. Gak lama kemudian ada lagi yang teriak-teriak kegirang. Aku sama Reza gak niat nyeser. Jadi ya gak bawa jaring. Reza cepat sekali bergabung dengan bocah lainnya. Sambil nonton Aku sama Anggun jalan-jalan. Ntah apa yang ada dipikiran ku. Aku pasang cacing di kail. Anggun awalnya bengong, tapi gak lama kemudian dia juga pasang cacing. Aku celingukan. Tatapan ku lebih tajem dari burung elang sekarang. Aku lepas batang pancing. Jadi cuma kail dan benangnya aja. Anggun hanya mengamati untuk yang ini. Kepalanya diangkat-angkat tanda bertanya. Sedangkan aku hanya memberi instruksi untuk bergerak. Move,move. Inspansi dilakukan. Aku mengamati sekeliling. Berjalan memipih disisi terluar dan kemudian melemparkan kail ke dalam kolamnya wak soleh. Dadaku berdegup kencang. Semua indra sepertinya dua kali lebih peka dari sebelumnya. Tekanan membuat otak bekerja lebih keras. Anggun membuang batang pancingnya dan melakukan hal yang sama denganku. Lalu kami berdua berjalan seperti dua orang bocah yang antusias melihat ikan-ikan berjemur di permukaan kolam. Tidak lama kemudian langkahku sudah tertahan. Perutku terasa dingin seperti baru saja dimasukkan es. Kemudian menghangat sampai ke kepala. Aku mulai gelisah dan mengamati sekitar. Tiba-tiba aku tersentak, anggun menabrakku dan jalan menuju sawah. Di tangannya telah digenggam seekor ikan yang masih menggelepar. Segera saja kutarik tali pancingku dan seekor ikan mas menggelepar di tanah. Segera kututupi dengan semak lalu aku berjalan mengikuti anggun. Sensasi ini baru ku rasakan. Aku betul-betul ketakutan. Namun tiba-tiba rasa takut itu melebur di tengah bisik-bisik yang menggemuruh. Anggun mendongeng di tengah kerumunan itu sambil menunjukkan hasil tangkapannya. Seekor ikan mas. Lebih kecil dari tangkapanku yang terkubur disemak sana. Tak lama kemudian Anggun memimpin para bocah ke kolam wak Soleh. Reza bertanya padaku, Mas gak dapet?. Aku kemudian mengangguk, Ada di sana. Gede. Reza memintaku mengambil ikan itu. Kami berdua berjalan dibelakang rombongan. Reza memegang plastik berisis hasil seserannya. Aku melihatnya, rupanya 2 ekor anak gabus kecil. Tidak biasa sekumpulan anak berkumpul tanpa suara. Sedikit mengendap-endap. Tidak semua berada dipinggiran kolam wak soleh. Yang lain menunggu di sawah bersama plastik ikan. Aku mengambil ikan ku yang telah terbaring di tanah. Reza mengikuti dibelakang. Syukur ikan itu belum mati ketika dimasukkan ke plastik. Tapi mungkin usianya hanya menghitung menit. Posisinya sudah miring. Aku mengisi kailku dengan cacing. Tibatiba Reza berbisik pelan, Mas,mas, sambil menarik tanganku. Ia berjalan menjauh, tatapan matanya lurus ke sebrang. TIba-tiba ia berlari. Aku pun kemudian ikut berlari. Dan suasana

riuh itu datang. Suara gonggongan anjing disusul teriakan histeris semua anak. Tidak ada lagi yang kuperhatikan kecuali tanah yang ku pijak dan jembatan menuju jalan setapak ke atas. Selepas melewati jembatan aku terengah-engah. Dari sini aku mengamati sekeliling. Reza sudah sampai atas dan memanggil-manggilku. Sementara Anggun sudah menceburkan dirinya ke sungai. Beberapa anak mengikutinya. Berenang di gonggongi beberapa anjing hitam. Yang lainnya sudah tidak lagi kelihatan. Yang ada hanya suara gonggongan anjing menyauti teriakan mereka. Tiba-tiba adikku berteriak keras, keras sekali, Mas!!. Seekor anjing hitam menyeruak dari balik semak. Aku serentak menjauh dan sialnya malah balik menuju tempat semula. Aku berlari sekuat tenaga. Tidak ada hal lain yang kupikirkan selain lari, lari, lari. Di ujung tepian kolam sosok wak Soleh berdiri dan kemudian berjalan mendekat. Muka yang sangar itu terlihat kejam. Celana ponggol dan kaus oblongnya tak lagi ku perhatikan. Aku berada di dua ujung maut. Dadaku tersentak kuat. Seperti timbul tiba-tiba selempeng baja menghimpit dadaku sampai sesak. Rasanya aku ingin menangis. Tinggal menghitung detik sampai aku menjumpa ajalku. Malaikat izroil di situ akan menghakimiku atas perbuatanku ini. Oh Tuhan ampunilah aku. Kemudian kami berselisih. Waktu seperti di perlambat. Aku menutup mataku sesaat dan ketika kubuka mata, anjing yang mengejarku sudah berdiri diam sambil mengeluarkan suara ngosh,ngosh. Aku panik. Aku berada di dua hantu yang menyeramkan. Aku balik arah dan berlari kembali menuju jembatan. Tapi kali ini tidak terdengar suara anjing yang tadi terdengar gonggongannya beriring hentakan kakiku menggapai tanah. Aku tidak lagi memperdulikan apaupun. Yang terpikir hanyalah pulang, pulang dan pulang. Aku berlari menaiki undakan dan rupanya Reza masih menunggu di atas. Wajahnya seperti malaikat. Sungguh. Melihatnya aku merasa sangatlah damai. Kali ini pun rasanya aku ingin menangis. Namun karena dada ini terasa hangat. Kata pertama sapaan yang kudengar adalah, Mas. Mas gak papa?, Aku hanya mengangguk. Kelelahan dan mengandeng tangan adikku pulang.

Biodata Penulis Nama Nama Pena Alamat FB Emai No Hp : Agung Permana Putra : Choshakarui : permana_syahdan@yahoo.co.id : permana_syahdan@yahoo.co.id : 085276143373

Anda mungkin juga menyukai