Anda di halaman 1dari 43

1

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Tiga bulan saya mencari saudara, saya suka anak muda seperti anda yang membela orang tertindas. Ini adalah ungkapan seorang eks tahanan politik (tapol) kepada seorang aktivis LAPAR1, sebagai respon terhadap artikel yang ditulisnya Rekonstruksi Sejarah Tragedi PKI, Tribun Timur, Jumat 1 Oktober 2004.2 Kedatangan eks tapol itu adalah awal terbukanya informasi tentang kamp pengasingan tapol PKI di Moncongloe Sulawesi Selatan, sekaligus menjadi sumber inspirasi bagi saya untuk menelusuri lebih jauh tentang komunitas tapol PKI. Pada Maret 2006, pertama kali saya berkesempatan mengunjungi lokasi kamp pengasingan tapol di Moncongloe. Masih tersisa sebuah Masjid, Gereja, dan Pos Jaga, serta bekas-bekas kamp tahanan yang telah berubah menjadi areal perkebunan sebagai saksi bisu sejarah kekerasan dari sebuah komunitas yang termarjinalkan. Menurut seorang eks tapol yang masih menetap di Moncongloe bahwa wilayah ini sebelumnya merupakan hutan yang lebat kemudian berubah menjadi areal perkebunan setelah pembukaan kamp pengasingan bagi tapol.3

1 2

Lembaga Advokasi dan Pendidikan Anak Rakyat (LAPAR) Artikel ini ditulis oleh Abd. Karim, Derektur Eksekutif LAPAR 3 Anonim, wawancara di Moncongloe, 20 Maret 2006

Gambaran singkat di atas adalah salah satu bukti dari sejarah kamp tahanan politik yang ada di daerah Sulawesi Selatan. Kemudian seorang eks tapol selama tiga bulan dengan sepeda tua mengelilingi kota Makassar untuk mencari seorang penulis artikel tersebut adalah juga merupakan bukti semangat perjuangan mereka yang tidak pernah padam. Keadaan ini melahirkan penglihatan-penglihatan baru bagi saya tentang tapol yang selanjutnya mengstimulus studi tentangnya. Masalah kamp tahanan dan korban-korbannya4 akibat Gerakan 30 September 1965 masih merupakan hidden history atau belum terungkap terutama pada masa rezim Orde Baru ketika hegemoni kekuasaan sedang dijalankan demikian kuat. Komunitas ini dimanapun di Indonesia menjadi komunitas terpinggirkan karena dianggap kelompok yang bertanggung jawab atas peristiwa Gerakan 30 September 1965.

Prof. Naomi Roht-Ariazza menguraikan bahwa seseorang yang disebut sebagai korban adalah mereka yang secara individu atau secara kolektif telah menderita suatu kesengsaraan, termasuk didalamnya luka secara fisik maupun secara mental, juga menderita emosi, kerugian ekonomi dan juga gangguan substansi terhadap hak-hak mereka yang fundamental, terlepas apakah pelakunya berhasil diidentifikasi atau tidak, ditangkap atau tidak. Kemudian Abdul Hakim Garuda Nusantara, memandang bahwa ada fakta-fakta hukum yang memang belum diuji oleh pengadilan, tetapi fakta-fakta itu sudah diterima sebagai kenyataan. Seperti misalnya mereka ditangkap, ditahan sekian lama tanpa proses hukum. Kemudian ada proses pelepasan oleh pemerintah yang menyatakan mereka tidak terlibat. Fakta itu sudah berbicara sendiri bahwa mereka ini korban. Lihat; Risalah Sidang Perkara No. 006/PUUIV/2006 Perihal Pengujian UU No. 27 Tahun 2004 Tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Terhadap UUD 1945 Acara Mendengar Keterangan Komnas HAM, Mantan Ketua Pansus RUU KKR dan ahli dan pemohon (VI) tanggal 2 Agustus 2006. Asvi Warman Adam melihat bahwa korban tragedi 1965, disamping 6 jenderal juga orang-orang yang terlibat G 30 S, anggota PKI dan ormas-ormasnya serta para warga yang difitnah. Lihat, Asvi Warman Adam, Mengungkap Pelaku dan Korban dalam Warta DPP LPR-KROB Th III Oktober-November-Desember 2004, hal. 12

Gerakan 30 September 1965 sebenarnya tidak bisa dilepaskan dari kompetisi politik di Indonesia tahun 1950-an sampai dekade awal tahun 1960-an yang ditandai oleh tiga kekuatan besar. Pertama adalah Presiden Sukarno sebagai refrentasi kaum nasionalis, diwakili oleh Partai Nasional Indonesia (PNI), kelompok kedua adalah militer atau Tentara Nasional Indonesia (TNI) dalam hal ini Angkatan Darat, dan ketiga adalah Partai Komunis Indonesia (PKI).5 Di antara kekuatan politik tersebut, nampak Presiden Sukarno menyeimbangkan keduanya. Angkatan Darat anti komunis, dan memiliki kedekatan dengan Amerika Serikat.6 Lalu PKI mencoba menghilangkan kesan buruk sebagai akibat pemberontakan Madiun 1948, memanfaatkan hak untuk tampil legal dalam konstelasi politik Indonesia. Setiap gagasan, tindakan dan kebijakan Presiden Sukarno, termasuk konsepsi presiden, didukung sepenuhnya oleh PKI. Partai ini pun
Krisnadi, Tahanan Politik Pulau Buru 1969-1979, Jakarta: LP3S, 2000 hal 2. Ketiga kekuatan politik ini masing-masing memiliki pilar dan jaringan pengaruhnya. Pertama, unsur kekuatan Presiden RI, yakni Ir. Sukarno sebagai Kepala Negara, Kepala Pemerintahan dan sekaligus Perdana Menteri, Pemimpin Besar Revolusi dan Presiden seumur hidup, serta kekuatan politik partainya, yakni PNI. Anggota Kabinet Dwikora masuk dalam unsur kekuatan ini. Kedua, kekuatan TNI AD, terdiri atas dua kubu: Kubu Yani (Letjen TNI Ahmad Yani) dan Kubu Nasution (Letjen TNI Abdul Haris Nasution). Ketiga, unsur kekuatan PKI dengan tiga juta anggota, didukung oleh sekitar 17 juta anggota dari organisasi-organisasi massanya, seperti BTI, SOBSI dan Gerwani, PKI merupakan partai komunis terbesar ketiga di dunia setelah RRT dan Uni Soviet. Dalam Pemilu 1955 PKI menempati urutan ke-4. Sebagaimana umumnya partai besar, PKI juga memiliki anggotanya di kabinet. Mereka adalah DN Aidit, Menko/Ketua MPRS, Lukman sebagai Menko Wakil Ketua DPRGR dan Nyoto Menteri Urusan Land-reform. 6 Sejalan dengan kebijakan Angkatan Darat sebagai benteng perlawanan terhadap komunis, pemerintah Amerika Serikat memberi sumbangan dan menjual persenjataan, serta memberi bantuan keuangan. Panglima Angkatan Darat Jenderal Nasution adalah anak mas Amerika Serikat. Kegigihan semangat anti komunisnya meyakinkan para pembesar Washington bahwa Angkatan Darat benar-benar merupakan harapan paling baik untuk menjinakkan PKI. Lihat; John Roosa, Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto, Yogyakarta: Hasta Mitra, 2008 hal. 253-278.
5

berkembang dan menjadi partai yang besar serta mempunyai basis massa di daerah pedesaan. Di bawah kepemimpinan D.N Aidit, PKI berhasil membangun kembali organisasi secara rapi dan melakukan kerjasama dengan partai-partai komunis Internasional, antara lain Cina dan Korea Utara. Ajakan presiden perang terhadap Neokolim7 disambut PKI. Sikap akomodatif terhadap ide-ide Sukarno menjadikan kedudukan PKI sebagai partai semakin kuat. Presiden juga menganggap, bahwa dengan mendekati PKI akan menguntungkan konsolidasi politiknya mengimbangi kekuatan militer,

khususnya Angkatan Darat, yang dianggap pro barat dan sewaktu-waktu dapat mengancam posisinya.8 Puncak dari konflik politik-ideologi berbuah pada Gerakan

30 September 1965, yaitu penculikan dan pembunuhan jenderal Angkatan Darat. PKI kemudian dianggap sebagai kelompok yang paling

bertanggungjawab terhadap pembunuhan Jenderal AD, sehingga PKI harus menanggung beban politik termasuk jutaan anggotanya merasakan akibat buruk dari peristiwa itu, baik secara fisik maupun psikologis. Peristiwa ini merupakan salah satu babakan gelap dalam sejarah Indonesia. Banyak fakta yang simpangsiur, bahkan ada kecenderungan untuk menyelewengkan fakta
Neokolim adalah akronim dari neokolonialisme dan imprealisme. Neokolonialisme adalah negara atau kekuasaan menjalankan politik penjajahan asing tetapi pelaku kekuasaannya oleh bangsa sendiri. Cara kerja neokolonialisme yaitu penjajahan negara dengan cara mananamkan modal bekerjasama dengan penguasa setempat untuk mengambil keuntungan di negara bersangkutan. Mereka kapitalis asing bekerjasama untuk mengambil keuntungan dengan cara lain di bekas negara jajahan. Neokolonialisme itu sendiri adalah bagian dari imperealisme. Oleh Sukarno diistilahkan Neokolim. Lihat Soenarto T. Hardjono, Usir Neokolonialisme dari Indonesia dalam Gema No. I 2008, hal. 14 8 Krisnadi, op cit hal. 2
7

sejarah. Sebuah peristiwa politik yang sangat penting di Indonesia, bahkan termasuk sangat signifikan bagi Amerika.9 Tetapi juga peristiwa paling misterius, terkadang menimbulkan frustrasi untuk memahaminya, sehingga penyimpulan tegas mengenai peristiwa ini hampir tidak mungkin.10 Kendati bernafas pendek, Gerakan 30 September 1965 mempunyai dampak sejarah yang penting. Ia menandai berakhirnya masa kepresidenan Sukarno, dan bermulanya kekuasaan Suharto.11 Sayangnya dalam proses peralihan kepemimpinan itu harus mengorbankan ribuan dan boleh jadi jutaan masyarakat sipil. G 30 S nampak sebagai titik berangkat dari rangkaian kejadian-kejadian berkait, lalu kemudian bermuara pada

pembunuhan massal terhadap anggota PKI, yang terjadi sepanjang akhir tahun 1965 dan awal tahun 1966. Dalam sejarah pembunuhan massal, penahanan dan pengasingan sepanjang abad ke-20 di dunia, pembantaian anggota dan simpatisan Partai Komunis Indonesia pada tahun 1965 1966 salah satu yang terbesar,12 namun sekaligus paling sedikit data tentangnya.13 Pembantaian dan penangkapan secara besar-besaran terhadap orang-orang PKI rentang tahun 1965-1966 merupakan tragedi kemanusiaan

John Roosa, op cit, hal. 15 Ibid,. hal. 8 11 Ibid,. hal. 4 12 Hermawan Sulistyo, Palu Arit di Ladang Tebu: Sejarah Pembantaian Massal yang Terlupakan, Jakarta: IKAPI, 2001 hal. vii 13 Informasi tentang pembunuhan massal masih minim. Koran-koran Indonesia tidak menerbitkan pembunuhan massal tersebut, pihak luar utamanya Amerika terkesan menutupi peristiwa tersebut, sementara Angkatan Darat menerapkan sensor koran-koran terbit. Lihat John Roosa, op cit hal. 29.
10

paling hitam dalam sejarah modern Indonesia. Meski lebih dari 40 tahun berlalu, data yang tepat mengenai jumlah korban jiwa peristiwa tersebut masih belum jelas sampai kini. Ada beberapa angka yang berbeda mengemuka adalah antara lain 50.000 hasil dari investigasi tim Oey Tjoe Tat dan 2.000.000 sebagaimana angka yang pernah dituturkan oleh Jenderal Sarwo Edihe14. Sementara itu, versi lain justru menunjukkan angka lebih tinggi bahwa peristiwa 30 September menewaskan 500.000 1.000.000 rakyat Indonesia, sekitar 700.000 orang ditangkap dan disiksa tanpa proses hukum15. Kuburan para korban pembantaian itupun belum diketahui sampai saat ini, bahkan mereka yang hidup selama pemerintahan Orde Baru, dengan dalih stabilitas keamanan dan ketertiban mendapat tekanan dan pengasingan berbagai tempat di Indonesia16. Peristiwa 65 merupakan kenyataan gamblang yang pernah disaksikan banyak orang dan masih menjadi memori kolektif sebagian mereka yang masih hidup. Ada dua cara yang digunakan dalam proses pembersihan terhadap mereka yang dituduh sebagai orang komunis. Pertama: cara non formal, yaitu operasi pembersihan tanpa prosedur yang oleh pihak militer dengan
. Jurnal Refleksi Pemikiran Keagamaan dan Kebudayaan Peristiwa 65 66 Tragedi, Memori dan Rekonsiliasi Edisi No. 15 Tahun 2003. 15 Maruli Tobing, Jenderal Suharto Menuju Tahta Kekuasaan Kompas, 13 Agustus 2001. 16 Mengenai hal ini baca antara lain; Robert Cribb (ed), The Indonesian Killings 19651966: Studies from Java and Bali Clayton: Monash University Centre of South East Asia Studies, 1990, Hermawan Sulistiyo, Palu Arit di Ladang Tebu : Sejarah Pembantaian Massal yang Terlupakan (Jombang-Kediri 1965-1966) Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2001. Gambaran penahanan tanpa peradilan para tahanan politik PKI di Pulau Buru dituliskan secara bagus dilengkapi dengan data-data korban oleh Pramoedya Ananta Toer Nyanyi Sunyi Seorang Bisu. Jakarta: Lentera, 1995 hal. 290-303.
14

memobilisasi organisasi-organisasi paramiliter yang bernaung di berbagai organisasi. Cara kerja ini melibatkan organisasi-organisasi massa anti komunis, seperti Pemuda Ansor, Himpunan Mahasiswa Indonesia (HMI), Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMMI), dan lain sebagainya.

Anggota militer melakukan pembunuhan secara kilat terhadap rakyat dengan menghasut penduduk sipil untuk melakukan pembunuhan, ketimbang memerintahkan personil mereka sendiri. Tentara menebar suasana ketakutan kepada masyarakat kota dan desa bahwa PKI sedang bersiap-siap melakukan pembunuhan besar-besaran.17 Akibatnya kelompok-kelompok massa terbentuk untuk melakukan pembunuhan terhadap anggota PKI. Kelompok ini bertindak menjadi hukum dan hakim sekaligus. Kelompok ini dapat mengvonis seseorang sebagai anggota PKI, menangkap ataupun membunuhnya. Kedua: secara formal penangkapan dan pemeriksaan terhadap orang-orang yang dituduh komunis dilakukan oleh sebuah sistem atau lembaga di bawah Kopkamtib atau Pelaksana Khusus Daerah (Laksusda). Di tingkat pusat, disebut Tim Pemeriksa Pusat (Teperpu); di daerah disebut Tiem Pemeriksa Daerah (Teperda). Tim ini diberi otoritas untuk melakukan proses screening terhadap semua orang yang dituduh sebagai komunis, kemudian membuat klasifikasi dan penggolongan. Setelah melalui screening para tahanan dikirimkan ke kamp-kamp tahanan.18
John Roosa, op cit hal. 31 Lihat Surat Keputusan Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban No. KEP-007/KOPKAM/2/1969 tentang Organisasi Team Penjelesaian Tahanan/Tawanan G 30 S/PKI Pusat dan Team Penjelesaian Tahanan G 30 S/PKI Daerah. Arsip Kotamadya Ujung
18 17

Setelah proses screening

selesai, pemerintah Orde Baru melalui

institusi militer melakukan kontrol yang sangat ketat terhadap komunitas tahanan politik PKI dengan mendirikan kamp-kamp pengasingan di berbagai tempat di Indonesia.19 Di Sulawesi Selatan, para tanahan politik PKI diasingkan di hutan Moncongloe, sebuah daerah yang berada antara perbatasan Kab. Maros dan Gowa. Kamp pengasingan ini merupakan tempat pelaksanaan isolasi bagi tahanan politik PKI di daerah Sulawesi Selatan dan Tenggara. Beranjak dari kebijakan ini melahirkan suatu komunitas tahanan politik Moncongloe. Studi ini bertujuan untuk melihat sejarah komunitas tahanan politik Moncongloe. Sejarah komunitas tapol Moncongloe dimulai ketika pemerintah Orde Baru melalui Kodam XIV Hasanuddin membuka kamp pengasingan tapol di Moncongloe pada tahun 1969. Secara bertahap para tapol dipindahkan dari berbagai penjara yang ada di Sulawesi Selatan menuju kamp Pengasingan Moncongloe. Gelombang pertama didatangkan secara bertahap sebanyak 466 tapol golongan B, kemudian menyusul 445 tapol Golongan C yang didatangkan menjelang pemilihan umum tahun 1971. Mereka menempati 5 barak dengan berbagai fasilitas kamp lainnya. Pada umumnya para tapol itu berasal dari anggota dan simpatisan PKI, ormasormasnya, aktivis Lekra, Barisan Tani Indonesia (BTI), Serikan Buruh
Pandang Reg. 937 19 Tempat-tempat pengasingan tapol PKI adalah Pulau Nusakambangan, Pulau Buru, Plantungan, Pulau Kemarau (Sumatera Selatan), Argosari (Kalimantan Timur), Nanga-Nanga, Kendari (Sulawesi Tenggara), Wadas Lintang, Brebes Jawa Tengah.

Tambang Indonesia (SBTI), Gerakan Wanita Indonesi (Gerwani) dan Pemuda Rakyat, dari berbagai kalangan seperti, wartawan, pegawai negeri sipil, dan lain sebagainya. Namun, terdapat juga dari mereka tidak tahu menahu alasan penahanannya. Pada tahun 1977 pemerintah Orde Baru melakukan pembebasan tapol Moncongloe. Sekitar 869 orang tapol Golongan B dan C telah dibebaskan, dan 42 orang tapol lainnya dikirim ke Nanga-Nanga Sulawesi Tenggara.20 Kamp pengasingan Moncongloe (1969-1977) merupakan tempat pelaksanaan proyek Inrehab Moncongloe yang berada di bawah tanggung jawab Teperda yang terdiri atas Corps Polisi Militer dan Kompi Pengawal Kodam XIV Hasanuddin sebagai pelaksana teknis pengawasan atas tapol di kamp pengasingan Moncongloe. Tugas pokok Teperda adalah melakukan pembinaan terhadap tapol yang dianggap sesat secara ideologi oleh pemerintah Orde Baru. Sementara tugas dan kewajiban tapol adalah membuka lahan perkebunan yang kelak dikuasai dan dimiliki oleh petugas Inrehab (militer). Tapol terkonsentrasi di dua tempat, yakni dalam kamp Instalasi Rehabilitasi (Inrehab) yang dibawah pengawasan komandan Inrehab dan perwira-perwira Corps Polisi Militer (CPM). Tapol lain ditempatkan Home Base Kompi Pengawal Kodam XIV Hasanuddin dengan jarak sekitar sepuluh kilometer dari kamp Inrehab.

20

Anwar Abbas, wawancara di Makassar, 20 Maret 2006

10

Selama rezim Orde Baru berkuasa, informasi tentang komunitas tapol Moncongloe tidak pernah terpublikasikan. Keberadaan mereka dipenuhi misteri seperti sebuah komunitas bayangan yang ada dan menghilang begitu saja tanpa pernah ditulis sejarahnya. Dalam buku sejarah Kodam XIV Hasanuddin sendiri tidak pernah menyebutkan satu kalimat pun tentang kebijakan pembukaan kamp pengasingan tapol di Moncongloe, apalagi menyinggung berbagai aspek kehidupan tapol yang sarat dengan

pelanggaran HAM. Adalah tidak logis sebuah kebijakan strategis militer dalam penumpasan sisa-sisa G 30 S tidak diulas dalam narasi sejarah yang demikian panjang itu. Karena sensitifitas politiknya yang tinggi selama rezim Orde Baru, maka studi-studi tentang Sulawesi Selatan dari sudut pandang akademis tidak pernah menyentuh kehidupan komunitas tapol Moncongloe dengan berbagai problematikanya, sehingga semakin mempertegas

eksistensi komunitas tapol Moncongloe sebagai sebuah komunitas terasing dan termarjinalkan dari panggung sejarah dan tersembunyi dalam realitas sosial. Oleh karena itu, studi tentang sejarah komunitas tapol Moncongloe penting dilakukan sebagai sebuah langkah untuk menutupi kekosongan sejarah tapol di Sulawesi Selatan. Eksistensi Komunitas tapol Moncongloe bukannya berjalan tanpa sejarah, tetapi mereka pada dasarnya telah membuat sejarah yang dapat menjadi sumber inspirasi dalam penulisan sejarah lokal Sulawesi Selatan sekaligus memiliki nilai penting dalam

11

perspektif baru historiograsi Indonesia. Penulisan sejarah komunitas tapol Moncongloe penting mengingat bangsa Indonesia kini masih berada pada masa peralihan/transisi dari periode otoriter ke rezim yang lebih demokratik. Masa peralihan adalah masa yang strategis, momen paling tepat untuk melakukan penulisan sejarah terhadap komunitas terpinggirkan sehingga fungsi pencerahan dari pemahaman sejarah mampu membangun

masyarakat demokratik, memiliki trust, menerima multikuralisme, tidak mendiskriminasi minoritas.

B. Pokok Permasalahan Studi ini berupaya menghadirkan konstruksi kehidupan komunitas tahanan politik Moncongloe Sulawesi Selatan tahun 1969-1977. Pengambilan batasan temporalnya dimulai tahun 1969 dengan pertimbangan bahwa pada tahun 1969 Kamp Pengasingan (Kamsing) Moncongloe telah dibuka dan didatangkan tapol dari berbagai penjara di Sulawesi Selatan. Kisah tapol memasuki babakan baru dimana mereka tidak lagi dikurung dalam jeruji penjara dengan segala macam promblematikanya, beralih ke suatu suasana baru dimana mereka hidup di dalam sebuah kamp konsentrasi dengan dikelilingi kawat berduri. Tapol tidak lagi berhadapan dengan jeruji dan tembok penjara, tidak lagi bersabar menunggu antrian pembagian makanan, tidak lagi berseteru dengan petugas penjara karena pembagian makanan sangat sedikit, ataupun tidak lagi berebut sisa pembagian makanan sesama

12

tapol, tetapi kini, tapol berhadapan dengan lingkungan alam Moncongloe, bersama-sama sesama tapol saling bahu membahu membuka lahan perkebunan, menjalin hubungan-hubungan dengan penduduk Moncongloe. Sebuah relasi-relasi sosial baru tercipta antara sesama komunitas tapol mapun dengan komunitas lokal yang ada di Moncongloe. Kemudian batasan temporal berakhir tahun 1977 dengan pertimbangan bahwa periode ini tapol dibebaskan dan dikembalikan kepada masyarakat. Pembebasan tapol tidak berarti segala persoalan tentangnya berakhir, tetapi mereka memasuki kehidupan pengasingan ditengah masyarakat sebagai komunitas yang dianggap tidak bersih lingkungan akibat stigmatisasi dari pemerintah Orde Baru. Pembatasan temporal di atas tidak berarti dipandang kaku sehingga aspek historis peristiwa sebelumnya tahun 1969 atau sesudah tahun 1977 diabaikan. Hal ini lebih pada penekanan pada fokus studi dan tujuan penelitian. Oleh karena itu, analisis peristiwa sebelumnya dan sesudahnya tetap mendapat porsi sebagai sebuah kerangka untuk memahami tahanan politik Moncongloe secara utuh dan komprehensip. Peristiwa-peristiwa sebelum tahun 1969 mencakup perkembangan PKI di Sulawesi Selatan serta segala dinamikanya, relasi-relasi dengan pihak-pihak di luar dirinya disertai konflik-konflik yang mencirikhaskan periodenya. Kemudian peristiwa sesudah tahun 1977 meliputi pembebasan tapol, jatuh bangun dalam stigmatisasi dan perjuangan rehabilitasi adalah yang penting akan dijelaskan dalam studi ini.

13

Pokok persoalan yang dijawab dalam studi ini adalah, Pertama, bagaimana latar belakang terbentuknya komunitas tapol Moncongloe?. Untuk membahas persoalan ini akan ditelaah tentang perkembangan PKI di Sulawesi Selatan beserta segala aspeknya, sehingga ditemukan korelasi sebab musabab dari penahanan, penangkapan, pemenjaraan sampai pada terbentuknya kamp. Pengasingan Moncongloe yang pada akhirnya

membentuk sebuah komunitas tapol Moncongloe. Kedua, bagaimana pelaksanaan kontrol negara dan militer dan politik resistensi tapol mulai saat penangkapan, pemenjaraan sampai pada pengasingan di Moncongloe?. Untuk membahas persoalan ini akan ditelaah kebijakan-kebijakan Kodam XIV Hasanuddin terhadap tapol dan berbagai kepentingan-kepentingan pribadi militer kemudian relasi-relasi sosial sepanjang pengasingan baik di dalam kamp dalam hal ini sesama tapol dan petugas maupun di luar kamp pengasingan, yakni relasi dengan penduduk setempat. Ketiga, bagaimana pelaksanaan pelaksanaan kontrol sosial negara terhadap komunitas tapol Mongcongloe setelah dibebaskan?. Untuk membahas masalah ini akan diperiksa hubungan sosial tapol pascapembebasan dengan masyarakat, upaya tapol bertahan atas arus stigma dan usaha dalam mempertahankan kelangsungan hidup dalam pengasingan ditengah masyarakat sampai pada perjuangan rehabilitasi dan kompensasi.

C. Pendekatan Teori

14

Komunitas tapol Moncongloe adalah suatu komunitas yang diciptakan oleh pemerintah Orde Baru. Komunitas ini merupakan produk dari sebuah kebijakan pemerintah Orde Baru dengan cirri khas periodenya adalah kontrol yang berlapis dan instrumen kekerasan secara struktural. Sejarah komunitas tapol Moncongloe berawal dari kekerasan kolektif di Sulawesi Selatan terhadap PKI sebagai reaksi awal dari Gerakan 30 September 1965, berlanjut pada penangkapan dan pengasingan orang-orang PKI dengan kontrol berkesinambungan sampai pada pembebasan tapol, di dalamnya resistensi dan akomodasi menjadi pilihan yang mewarnai hidup tapol untuk tetap bertahan dalam kontrol tersebut. 1. Teori Kekerasan Kolektif Ted Robert Guur, dalam bukunya Why Men Rebel, mengembangkan suatu teori umum yang didasarkan atas teori psikologi terhadap jarak dan bentuk kekerasan politik yang didefinisikan bahwa semua serangan kolektif dalam sautu komunitas politik terhadap rezim politik, para aktor politiknya termasuk kelompok-kelompok politik yang bersaing maupun para pejabat atau kebijakan-kebijakannya. Konsep itu menggambarkan adanya

seperangkat peristiwa, penggunaan atau ancaman penggunaan kekerasan

15

secara bersama. Konsep ini termasuk revolusi, termasuk juga perang gerilya, kudeta, pemberontakan, kerusuhan.21 Dalam pandangan Guur, kekerasan politik terjadi ketika banyak anggota masyarakat menjadi marah, khususnya jika kondisi praktis dan kondisi budaya yang ada merangsang terjadinya ageresi terhadap sasaransasaran politik. Kemudian Guur menawarkan model khusus untuk

menjelaskan berbagai bentuk kekerasan politik yang utama. Ia membedakan antara kekacauan (turmoil), persekongkolan (conspiracy), dan perang saudara (internal war) sebagai bentuk utama. Revolusi termasuk kategori internal war, bersama-sama dengan terorisme kelas kakap, perang, dan perang sipil. Suatu hal yang menyebabkan internal war dibedakan dari bentuk lain, dia lebih terorganisir dibandingkan turmoil dan lebih berbasis massa rakyat dibandingkan bentuk conspiracy. Karena itu, logis kalau revolusi harus diterangkan dari adanya deprivasi relative yang hebat, meluas, dan menyangkut berbagai segi kehidupan (multifaceted) yang menyentuh baik para calon elite maupun massa rakyat.22 Charles Tilly, dalam karyanya From Mobilzation to Revolution, menyatakan bahwa setinggi apapun ketidakpuasan rakyat, mereka tak dapat ikut campur dalam aksi politik (termasuk aksi kekerasan), kecuali bila mereka menjadi (dan terlibat) bagian dari suatu kelompok yang terorganisasi yang
21

Ted Robert Guur Why Men Rebel? New Jersey: Princeton University Press, 1970,

hal. 3-4. Mustain, Petani vs Negara: Gerakan Sosial Petani Melawan Hegemoni Negara. Yogyakarta: Arruz-Media, 2007, hal. 38
22

16

mempunyai beberapa sumber daya. Bahkan sekalipun kemudian mereka atau kelompok-kelompok yang bersaing mungkin berhasil menekan kemauan untuk ikut campur dalam aksi kelektif dengan cara mempertinggi resiko yang harus ditanggung. Dalam pandangannya Tilly menguraikan: Revolusi dan kekerasan kolektif itu lebih muda muncul secara langsung dari pusat proses-proses politik daripada mencerminkan ketegangan dan ketidakpuasan dalam masyarakat. Klaim-klaim dan klaim-klaim balasan tertentu terhadap pemerintah yang ada yang dilakukan oleh berbagai kelompok yang termobilisasi adalah lebih penting disbanding ketidakpuasan umum atau kekecewaan dari kelompok-kelompok itu (klaim) untuk mendapat tempat yang mapan dalam struktur kekuasaan adalah sangat menentukan.23 Tilly mendefinisikan aksi kolektif sebagai aksi sekelompok orang secara bersama dalam mencapai kepentingan bersama.24 Dalam

menganalisasi aksi kelektif ini, Tilly menggunakan dua model: masyarakat politik dan model mobilisasi. Model masyarakat politik adalah pemerintah (organisasi yang mengendalikan sarana-saranan kekerasan utama dalam masyarakat) dan kelompok-kelompok yang memperbutkan kekuasaan. Model mobilisasi termasuk variabel yang dirancang untuk memperjelas pola aksi kolektif yang dilakukan oleh aktor yang mengacu pada kepentingan kelompok, tingkat pengorganisasian, besarnya sumber daya yang ada di bawah kendali kolektif dan kesempatan dan ancaman yangn dipakai oleh pesaing-pesaing tertentu dalam hubungannya dengan pemerintah dan kelompok pesaing lainnya.
Charles Tilly, From Mobilitation to Revolution. Addition-Wesley: Reading Mass, 1878, hal. 436 24 Mustain, op cit,. hal. 38
23

17

Kedua pandangan teori di atas, baik dari Guur maupun Tilly dapat digunakan untuk meilihat kekerasan kolektif yang terjadi sepanjang akhir tahun 1965 dan awal tahunn 1966. Kekerasan dalam peride itu terjadi ketika banyak anggota masyarakat menjadi marah, khususnya karena kondisi praktis dan kondisi budaya yang ada merangsang terjadinya ageresi terhadap orang-orang PKI. Konflik-konflik sosial-ekonomi yang saling memotong dengan afiliasi politik merangsang terjadinya kekerasan kolektif tersebut dan menjadi nyata setelah peristiwa G 30 S. Kedua model pandangan Tilly dapat dielaborasi terhadap munculnya kekerasan terhadap PKI. Model masyarakat politik dimana organisasi militer mengendalikan sarana-saranan kekerasan dalam masyarakat, kemudian mengikutsertakan kelompok-kelompok yang selama ini bersaing. Kemudian model mobilisasi dapat dilihat rancangan aksi kelektif didorong oleh kepentingan tertentu, termasuk di dalamnya balas dendam politik atas aksi-aksi sebelumnya yang dilakukan oleh PKI. 2. Negara dan Kekerasan Max Weber berpandangan bahwa negara-negara dicirikan dengan tuntutan monopoli para penguasanya terhadap kekerasan fisik. Ini berarti kita hidup dalam sebuah organisasi yang para penguasanya menyuruh sekelompok spesialis yang diberi wewenang untuk menggunakan kekerasan fisik, jika perlu, untuk mencegah semua warga negaranya dari penggunaan

18

kekerasan. Monopoli kekerasan ini merupakan penemuan sosioteknis dari makhluk manusia. Monopolisasi kekerasan fisik merupakan jenis penemuan tersebut. Monopolisasi itu terbentuk secara bertahap selama berabad-abad hingga ia mencapai negara sekarang, yang tentu sama sekali bukan final. 25 Norbert Elias berpandangan bahwa monopoli kekerasan fisik tersebut, yang sekarang normalnya dikendalikan dan dikelola oleh pemerintah dan direpresentasikan oleh militer dan polisi sebagai organ eksekutif atau pelaksananya, merupakan penemuan atau ciptaan manusia, yang sangat samar atau tersembunyi26 Lebih jauh lagi, Norbert Elias pemandang bahwa semua tipe atau kategori negara pasti mempunyai kecenderungan untuk mengabsahkan penggunaan kekerasan terhadap pihak lain yang dipersepsi sebagai orang-orang yang mengancam eksistensi negara. 27 Thomas Santoso melihat negara dihubungan dengan kekerasan dalam banyak hal. Pertama, negara membangkitkan dikotomi konseptual dan psikologis yang cenderung mendorong tindak kekerasan politik. Kedua, negara dilibatkan dalam perjuangan memperebutkan otonomi politik yang dipahami sebagai kontrol atas instrument koersif dan regulasi wilayah. Ketiga, kekerasan negara

Norbert Elias Kekerasan dan Peradaban: Monopoli Negara atas Kekerasan Fisik dan Pelanggarannya dalam Thomas Santos (ed) Teori-teori Kekerasan Jakarta: Galia Indonesia, 2002 hal. 147 26 Ibid 27 Ibid

25

19

berhubungan dengan peran penting peperangan dalam perkembangan historis negara.28 Konteks di atas dapat ditemui pada kekerasan terhadap tapol sebagai komunitas yang dipersepsikan akan mengancam eksistensi negara, sehingga melalui institusi militer, pemerintah Orde Baru melakukan kekerasan terhadap tapol. Kekerasan fisik terhadap tapol dikelolah dan dilkendalikan pemerintah dengan merepresentasikan militer sebagai pelaksana dari kekerasan itu. Kekerasan itu sendiri telah melembaga menjadi sistim kontrol atas instrument koersif. Kemudian pemerintah menciptakan konseptual tentang diri tapol sebagai unsur berbahaya dalam elemen negara, sehingga kekerasan fisik berupa kontrol terhadap tapol adalah bagian dari upaya menghindarkan masyarakat dari kekerasan itu sendiri. 3. Hegemoni Negara Praktek-praktek Orde Baru terhadap tapol dapat dielaborasi

berdasarkan pemikiran Antonio Gramsci tentang negara dan hegemoni. Pada dasarnya Gramsci mendefinisikan negara dengan dua pokok batasan, pertama, dalam pengertian terbatas, kedua, negara diartikan dengan diperluas. Kedua konsep itu secara bersamaan dielaborasi Gramsci. Dalam masalah ini Gramsci memakai penjelasan yang dominan dalam gagasannya tentang negara:
Thomas Santoso, Kekuasaan dan Negara dalam Thomas Santos (ed) Teori-teori Kekerasan Jakarta: Galia Indonesia, 2002 hal. 172
28

20

Harus dicatat bahwa pandangan umum tentang negara mencakup unsur-unsur yang harus dirujuk ulang pada pandangan tentang masyarakat sipil (dalam pengertian ini orang akan mengatakan bahwa negara = masyarakat politik + masyarakat sipil). Atau dalam kata lain, hegemoni yang dilindungi oleh kekerasan bersenjata. 29 Pada saat yang sama Gramsci membuat perbedaan metodologis dalam rangka menjelaskan segi berbeda dari realitas negara: Apa yang dapat kita lakukan untuk momen itu adalah menetapkan tingkatan besar superstruktur: Satu tingkatan bisa disebut masyarakat sipil, yakni kumpulan organism yang lazim disebut privat dan masyarakat politik atau negara. Kedua tingkatan ini berkesesuaian di satu pihak dengan fungsi hegemoni, yang dilaksanakan kelompok dominan pada seluruh masyarakat, dan di pihak lain, dengan dominasi langsung yang diekspresikan melalui negara dan pemerintah yuridis.30 Pandangan kedua ini menunjukkan bahwa Gramsci sadar tentang masalah yang membedakan antara masyarakat sipil dengan masyarakat politik. Namun perbedaan yang ditunjukkan Gramsci itu terlihat hanya pada tekanan tertentu dari hakikat negara, dan bukannya pada esensi. Pada definisi pertama, Gramsci berbicara tentang padangan umum tentang negara, dimana terdapat unsur masyarakat sipil. Ini menunjukkan tumpang tindih atau koinsidensi dari dua wilayah yang sebenarnya tidak berbeda secara esensial. Pada definisi kedua tentang dua bidang seperstruktur, ia menggunakan istilah dominasi langsung (direct domination) yang akan berdampak bahwa ada sebua dominasi tak langsung dalam masyarakat sipil. Negara dan pemerintah yuridis adaah ekspresi dari dominasi langsung. Disini
Nezar Patria, Antonio Gramsci: Negara dan Hegemoni. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999 hal. 139 30 Ibid
29

21

negara dan aparatur legalnya terlihat sebagai sebuah definisi terbatas. Kemudian pandangan negara yang diperluas sesungguhnya berakar pada suatu periode tertentu dalam sejarah. Gramsci menggunakan konsep hegemoni sesungguhnya untuk menjelaskan suatu negara modern yang berkembang dalam masyarakat modern. Konsep hegemoni Gramsci dapat dilihat melalui penjelasannya tentang basis dari supremasi kelas. Supremasi sebuah kelompok mewujudkan diri dalam dua cara, sebagai dominasi dan sebagai kepemimpinan intelektual dan moral. Dan di satu pihak, sebuah kelompok sosial mendominasi kelompokkelompok sosial oposisi untuk menghancurkan atau menundukkan mereka, bahkan mungkin dengan menggunakan kekuatan bersenjata, di lain pihak, kelompok sosial memimpin kelompok-kelompok kerabat dan sekutu mereka. Sebuah kelompok sosial dapat dan bahkan harus sudah menerapkan kepemimpinan sebelum memenangkan kukuasaan pemerintahan (kepemimpinan tersebut merupakan salahsatu dari syarat-syarat utama untuk memenangkan kekuasaan semacam itu). Kelompok-kelompok sosial tersebut kemudian menjadi dominan ketika dia mempraktekkan kekuasaan, tapi bahkan bila dia telah memegang kekuasaan penuh di tangannya, di masih harus terus memimpin juga.31 Kutipan di atas menunjukkan bahwa suatu kelompok dan anggotanya menjalankan kekuasaan terhadap kelompok-kelompok sosial di bawahnya dengan dua cara, yaitu kekerasan dan persuasi.32 Cara kekerasan (represif) yang dilakukan kelas atas terhadap kelas bawah disebut dengan tindakan dominasi, sedangkan cara persuasinya disebut dengan hegemoni. Perantara tindak
31 32

dominasi ini dilakukan oleh para aparatur negara seperti polisi,

Ibid Roger Simon, Gagasan-gagasan Politik Gramsci, Terjemahan Kamdani dan Imam Baehaqi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004 hal. 19.

22

tentara,

dan

hakim,

sedangkan

hegemoni

dilakukan

dalam

bentuk

menanamkan ideologi untuk menguasai kelas atau lapisan masyarakat di bawahnya. Sejarah komunitas tapol Moncongloe dapat dilihat berdasarkan pendekatan Gramsci. Langkah represif Orde Baru terhadap tapol dimulai saat penangkapan, pemenjaraan sampai pada pengasingan dengan

menggunakan militer sebagai aktornya. Dalam terminologi hegemoni, komunitas tapol merupakan imbas dari tindakan dominasi pemerintah Orde Baru, baik yang bersifat kebijakan ataupun represif. Dominasi kebijakan pemerintahan Orde Baru, seperti penangkapan anggota PKI dan Ormasormasnya, introgasi disertai penyiksaan, pemenjaran/pengasingan tanpa melalui pengadilan, eksploitasi tenaga tapol pada saat pengasingan menyebabkan kehancuran kehidupan tapol. Pasca pembebasan tapol, Eksistensi pemerintah Orde Baru yang sedemikian dominannya mampu menciptakan suatu realitas ketidaksadaran yang mampu membuat

masyarakatnya mengalami alienasi. Masyarakat menerima stigma yang dilekatkan pada tapol sebagai orang tidak bersih, kejam dan atheis. Teori hegemoni akan banyak membantu dalam menjelaskan mengapa terjadi demikian. Hegemoni bekerja lebih melalui konsensus ketimbang kekerasan pada periode ini. Dalam konteks ini hegemoni kelas penguasa tak melulu lewat mekanisme sistem ekonomi atau politik namun bisa lewat ideologi, budaya, media, dan pendidikan. Kemudian, secara umum hegemoni

23

didefinisikan sebagai kepemimpinan kultural yang dilaksanakan oleh kelas penguasa. Ia juga menyimpulkan bahwa kepentingan sentral dari hegemoni kelas, yaitu kemampuan kelas untuk menerima kepercayaan moral dari intelektual atas kelas lain-lainnya tanpa menggunakan paksaan. Melihat aspek hegemoni itu, muncul sebuah konsep mengenai negara integral atau negara yang diperluas. Ketumpangtindihan antara kedudukan state dan civil society diselesaikan dalam konsep negara integral.33 Gramsci kembali menegaskan bahwa negara integral merupakan hasil perpaduan antara sumber koersi dalam masyarakat dan tempat kepemimpinan hegemonik, negara integral merupakan hegemoni yang dilapisi dengan selubung berupa kekuasaan koersi hegemoni, sekalipun bekerja di tingkat kesadaran namum selalu didampingi oleh langkah koersi. Jadi negara integral merupakan masyarakat politik ditambah masyarakat sipil.34 Dari fakta itu disimpulkan bahwa negara integral memiliki dua aspek. Pertama, alat-alat kekerasan (mean of coercion). Kedua alat penegakan kepemimpinan hegemonis (means of establishing hegemonic leadership) seperti pendidikan, agama, media penerbitan dan lain-lain. Mengacu pada konsep di atas, dapat dilihat bagaimana pemerintah Orde Baru secara berkesinambungan menggunakan alat kekerasan dan hegemonik untuk melakukan kontrol terhadap tapol. Mulai dari kontrol fisik

33 34

Nezar Patria, op cit,.hal. 143 Ibid

24

ketika

dipenjara

dan

pengasingan

sampai

pada

kontrol

sosial

pascapembebasan. Misalnya, Kontrol sosial terhadap komunitas tapol terlihat pada pemberian julukan atau cap tidak bersih lingkungan, mengarah pada penegasan stereotipe atau penanda kepada kelompok atau seorang PKI. Dalam proses ini dapat disebut sigmatitisasi. Stigma ini menyelubungi berbagai ketidakpahaman yang membatasi segala sudut pandang dan tentunya memunculkan penialain buruk. Berikutnya, tidak hanya muncul dalam persoalan sebatas dalam bidang politik, tetapi berkembang hampir setiap bidang kehidupan sehari-hari, baik sosial, ekonomi dan budaya. Pola pikir masyarakat untuk memahami perbedaan-perbedaan dan peristiwa dalam kehidupan sehari-hari telah dibawah menuju satu arus penyeragaman. Sementara itu ditengah berbagai pemahaman akhirnya masyarakat memilih untuk larut mengadopsi julukan itu, menjadi bagian dari kebencian kolektif tak beralasan. Studi ini akan memperlihatkan bagaimana Orde Baru yang kuat itu melakukan kontrol terhadap tapol secara sistematis dengan memanfaatkan perangkat-perangkat negara serta melakukan pemencilan tapol dalam lingkungan sosial dengan melalui lapangan kebudayaan. Cara kerja pemencilan ini bekerja di tingkat kesadaran masyarakat. Studi ini juga memperlihatkan bagaimana tapol sebagai obyek kontrol sosial melakukan resistensi inheren untuk melepaskan diri dari pelabelan dan pembedaan yang mereka terima. Analisis kontrol sosial tapol pada akhirnya dipertemukan

25

dengan teori labeling dalam sosiologi yang dikembangkan oleh Goffman dan Becker, yang menekankan teori labeling satu dasar historis dan politik begitu kuat.35 Masih dalam kontrol sosial, Foucault menyatakan bahwa konstruksi sosial penyimpangan tidak pernah netral karena selalu dia berdampak kepada penghakiman atas nilai kepantasan, yang mencerminkan dan kemaksakan kekuasaan.36 Konteks ini dapat dilihat bagaimana negara mengkonstruksi komunitas tapol sebagai orang tidak bersih lingkungan sebagai bentuk penghakiman bagi tapol. Lalu, tapol melakukan perlawanam secara inheren sebagai penolakan atas stigma yang diberikan kepadanya. 4. Politik Resistensi Menurut James C Scott, tujuan sebagian besar dari perlawanan bukan secara langsung mengubah sistem dominasi yang mapan, melainkan lebih dimaksudkan sebagai upaya untuk tetap hidup dalam sistem itu. Perlawanan yang dimaksud oleh Scott adalah : ... tiap (semua) tindakan oleh (para) anggota kelas itu dengan maksud untuk melunakkan atau menolak tuntutan-tuntutan (misalnya sewwa, pajak dan penghormatan) yang dikenakan pada kelas itu atau kelaskelas yang lebih atas (misalnya tuan tanah, negara, pemilik mesin, pemberi pinjaman uang) atau untuk mengajukan tuntutan-tuntutan sendiri (misalnya pekerjaan, lahan, kemurahan hati, penghargaan) terhadap kelas-kelas atasan ini.37
Ben Agger, Teori Sosial Kritis: Kritik, Penerapan dan Implementasinya. Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2003 hal. 350 36 Studi Foucault pada dasarnya mengacu pada resisntesi inheren kaum homoseksual dalam pelawan pelabelan atas dirinya. Namun secara imajinatif saya memadang kerangkakerangka labeling itu dapat juga dilihat pada komunis tapol Moncongloe. Lihat Ben Agger, op cit hal. 350 37 Mustain, op cit, hal. 25
35

26

Dari definisi Scott di atas, ada tiga hal yang perlu dijelaskan di sini. Pertama, tidak ada keharusan bagi perlawanan untuk mengambil bentuk aksi bersama. Kedua, perlawanan merupakan masalah yang sangat pelik. Ketiga, definisi ini mengakui apa yang dapat dinamakan perlawanan simbolis atau ideologis (misalnya gosip, fitnah, penolakan terhadap kategori-kategori yang dipaksakan, penarikan kembali sikap hormat) sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari pelawanan berdasarkan kelas. Scott tidak berambisi menyatakan semua itu dengan perlawanan kelas sebagaimana yang digunakan Paige. Sebab, bagi Scott, bagaimanapun kegiatan-kegiatan yang dilakukan para kelompok (petani/buruh) itu dapat dilihat sebagai perlawanan. Sikap malas, mencuri dan lain sebagainya itu dapat dinyatakan sebagai bentuk perlawanan. Melalui bukunya Moral Ekonomi Petani, Scott mengungkapkan begitu banyak tindakan kekerasan yang dilakukan oleh petani sebagai usaha untuk memaksa kaum elite melakukan apa yang dianggap petani sebagai kewajiban mereka. Apa yang dilakukan oleh tapol sejak penangkapan dan pengasingan kurang lebih

selaras dengan apa yang banyak dikeluhkan dan dilakukan petani sebagaimana Scott dalam bukunya tersebut. Misalnya, tapol bermalasan dan mencuri hasil perkebunan petugas inrehab. Tapol memandang bahwa petugas Inrehab melakukan kontrol dan eksploitasi tenaga tapol untuk kepentingan pribadi dan institusi sehingga menimbulkan perlawanan atas

27

kontrol yang beragam. Background tapol yang beragam menjadi faktor penting munculnya perlawanan yang variatif. Meskipun kajian Scott penuh dengan nilai dan nuasa local dan locality Sedaka Malasyia, resistensi yang dilakukan petani Malasyia tersebut tidak jauh beda dengan resistensi tapol Moncongloe. Perbedaan konteks waktu, tempat dan obyek mempengaruhi dan mewarnai bagaimana perlawanan di ekspresikan, namun substansinya barangkali tidak jauh beda.

D. Tinjauan Sumber Ada dua jenis sumber yang digunakan dalam studi ini, sumber lisan dan sumber tertulis. Sumber lisan berupa wawancara dengan eks tapol, petugas Inrehab baik dari militer maupun sipil, keluarga eks tapol, keluarga petugas dan masyarakat pada umumnya yang memiliki kapasitas untuk mendukung fokus penelitian ini. Sedangkan sumber tertulis, arsip, dokumen dan kepustakaan. Dalam penelusuran lebih jauh, saya menemukan informasi bahwa di Kota Makassar jumlah responden yang dapat mendukung kelengkapan data masih cukup banyak dari eks tapol dan beberapa petugas dari militer yang masih memiliki catatan dan ingatan segar tentang peristiwa pengasingan tapol di Moncongloe. Untuk mendukung kelengkapan data, penulis melakukan diskusi-diskusi non formal bersama eks tapol, petugas,

masyarakat Moncongloe dan kemudian menarik kesimpulan-kesimpulan

28

sementara. Semua hasil diskusi kemudian direkam dengan perekam multimedia dan disertai pula catatan ringkas dari peneliti. Eks tapol Moncongloe sejak pembebasannya sudah tersebar di berbagai daerah. Penelusuran lebih jauh, dan atas bantuan beberapa eks tapol mempertemukan penulis dengan eks tapol dari Nanga-Nanga, Bulukumba, Bantang, Bone, Palopo, Selayar, Takalar, Polewali Mandar, Balik Papan, Samarinda dan lain sebagainya. Mereka umumnya yang tidak menetap di kota Makasar dilakukan dengan wawancara melalui surat atau telepon, dan sebagian juga penulis melakukan kunjungan ke daerah-daerah, dan beberapa di antara mereka yang datang ke Makassar setelah melalui komunikasi yang cukup intensif. Kemudian penelusuran kepada petugas militer yang pernah bertugas di Moncongloe hanya dilakukan di Kota Makassar. Persoalan yang kerap kali dihadapi adalah adanya keengganan eks tapol ataupun petugas militer memberikan keterangannya. Untuk eks tapol sebagian besar beralasan masih trauma, atau sudah berjanji tidak akan membicarakan masalah Moncongloe, dan ada juga menghindari penulis tanpa ada alasan yang jelas. Kemudian alasan penolakan dari petugas militer pada umumnya masalah kesehatan atau tidak tahu menahu masalah tapol di Moncongloe. Eks tapol awalnya selalu berasumsi kehadiran penulis sebagai bagian dari upaya penghancuran dirinya sehingga terkesan menutup diri. Beberapa eks tapol melakukan penolakan, walaupun saya sudah menempuh

29

perjalanan cukup jauh dan melelahkan. Demikian pula bagi petugas (militer) ada kecenderungan yang melekat pada pemikirannya bahwa upaya menulis sejarah tapol sama halnya memberi dukungan terhadap PKI, atau akan menghidupkan kembali PKI. Menghadapi situasi demikian penulis melakukan upaya mendekatan tokoh kunci, dari tokoh inilah rekomendasi wawancara terhadap lainnya dapat dilakukan. Pendekatan total saya lakukan dengan memasuki kehidupan tapol dengan segenap pemikiran-pemikirannya. Pendekatan totalitas bagi saya adalah sebuah strategi agar terjalin suasana saling terbuka. Hasilnya pun cukup memadai dalam memperkaya data yang saya peroleh. Akan tetapi ketika pada tahap penulisan pendekatan emosional totalitas tadi sedapat mungkin saya hindari agar dapat menghasilkan karya sejarah yang netral. Strategi ini dilakukan dengan jaminan tidak akan mempengaruhi proses penulisan sejarah. Semua hasil wawancara kemudian penulis transkrip sebagai dokumen penelitian, selain untuk lebih memudahkan

menganalisisnya juga dengan harapan dapat berguna bagi peneliti berikutnya. Pada kesempatan lain, saya juga mengadakan wawancara dengan penduduk sekitar Moncongloe dan eks tapol yang masih menetap di Moncongloe. Kunjungan ini memperlihatkan kepada saya bekas-bekas Kamp. Inrehab, seperti Masjid dan Gereja yang masih difungsikan sebagai tempat beribadah. Lokasi tempat pos jaga nampak berada di bukit kecil

30

sehingga ketika seseorang petugas berdiri, maka dapat dengan mudah melihat semua kondisi kamp Inrehab. Jalan setapak dari barak ke masjid dan gereja, dan dari barak ke barak tinggal menyisahkan bekas-bekas, serta jalan raya yang menghubungkan antara Moncongloe, Zipur dan Daya. Kebunkebun yang pernah dibuka oleh tapol masih ada dan dikuasai/dimiliki oleh anggota militer, sebagian telah berpindah tangan ke masyarakat telah melalui proses jual beli. Pandangan ini sangat membantu saya dalam menganalisis kembali hasil-hasil wawancara yang telah ditranskrip. Studi ini terutama juga bersumber pada data primer berupa arsip dan dokumen. Tulisan-tulisan tangan tapol, surat-surat kepada keluarga, kerabat, dan sahabat pada saat pengasingan sangat penting keberadaannya, karena ditulis pasa saat peristiwa itu berlangsung. Surat-surat yang penulis dapatkan dalam penelitian ini adalah kumpulan surat-surat Munir (tapol dari Barru) kepada orang tua dan saudara-saudaranya. Kemudian cerpen-cerpen yang ditulis oleh M. Hastin setiap hari Natal (tidak diterbitkan), catatan pribadi Jufri Buape, catatan Rasjidi Amra, catatan pribadi Anwar Abbas, dan kisah yang ditulis oleh Tj Kadullah, eks wartawan antara yang sempat ditahan di Moncongloe yang berjudul Jalan tanpa ujung. (tidak diterbitkan), catatan Go Kee Iet sebagai divisi hasil produksi Koperasi Tapol, dan catatan pribadi Cak Gun, Kasman Supalan dan Jhonli. Selain catatan eks tapol sumber arsip juga diperoleh di Badan Arsip dan Perpustakaan Daerah Provinsi Sulawesi

31

Selatan, arsip-arsip militer di Sulawesi Selatan, dan arsip pemerintah Kabupaten Kendari. Arsip-arsip dari eks tapol memuat catatan-catan tentang kondisi kamp pengasingan di Moncongloe. Surat-surat tapol kepada keluarganya

menggambarkan keadaan tapol, cerpen-cerpen yang ditulis oleh tapol dalam kondisi-kondisi tertentu, seperti saat peranyaan Natal dan Tahun Baru, Idul Fitri dan Idul Adha, atau cerita-cerita unik dan lucu namun sangat bermakna memperkaya data dalam studi ini. Arsip dari Badan Arsip dan Perpustakaan Daerah Provinsi Sulawesi Selatan berupa surat-surat pemerintah, laporanlaporan yang menggambarkan keadaan Sulawesi Selatan. Kemudian arsiparsip militer pada umumnya memuat tentang kebijakan-kebijakan

penanganan tahanan politik PKI. Arsip lain bersumber dari arsip pemerintah Kabupaten Kendari adalah surat keputusan pembukaan lahan bagi tapol di Nanga-Nanga, batas-batas wilayah dan kebijakan-kebijakan penanganan tapol PKI. Selain arsip, studi ini juga diilhami beberapa literatur. Berbagai literatur yang telah memberi inspirasi kepada saya dalam pengambilan fokus penelitian ini, antara lain: tulisan dari pelaku sejarah tapol Pulau Buru, yaitu Pramoedya Ananta Toer38 dan Hersri Setiawan39. Kemudian hasil penelitian

38
39

Pramudya Ananta Toer Nyanyian Sunyi Seorang Bisu, Jakarta: Lentera,1995 Hersri Setiawan, Memoar Pulau Buru Yogyakarta: Indonesia Tera 2004

32

Krisnadi40, Hermawan Sulistyo41, John Roosa,42 dan Budiawan43. Pramoedya Ananta Toer dan Hersri Setiawan keduanya dikenal sebagai blok intelektual kiri dalam sastra dan sejarah Indonesia. Lukisan pengalaman indrawi dan batin baik dari Pramoedya maupun Hersri menjadi pembuka tabir tentang tapol Pulau Buru. Kemudian Krisnadi, Hermawan dan John Roosa adalah golongan intelektual sejarawan yang menulis tentang berbagai aspek berbeda dari Gerakan 30 September dengan penulis-penulis lainnya, juga membuka cakrawala saya dalam memperkuat fokus penelitian ini. Lalu Budiawan, memaparkan argumentasi lugas tentang wacana anti komunisme tidak dapat dipungkiri memberi sumbangsih penting dalam fokus penelitian ini. Walaupun karya Pramoedya dan Hersri dalam bentuk novel sastra, namun cakupan data yang urai telah membuka mata kita tentang tapol Buru. Sastra dan realitas sosial masyarakat adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan karena sastra diproduksi dan distrukturasi dari berbagai perubahan realitas sosial. Realitas pada sastra merupakan suatu cara pandang penciptanya dalam melakukan pengingkaran atau pelurusan atas realitas sosial yang melingkupi kehidupannya. Suatu karya sastra merupakan dokumen sosial tentang keadaan masyarakat dan alam pikiran, di mana
Krisnadi, Tahanan Politik Pulau Buru (1969-1979) Jakarta: LP3S, 2001 Hermawan Sulistyo, Palu Arit di Ladang Tebu, Jakarta: IKAPI, 2001 42 John Roosa Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto Yogyakarta: Hasta Mitra, 2008 43 Budiawan Mematahkan Pewarisan Ingatan: Wacana Anti Komunis dan Politik Rekonsiliasi Pasca-Suharto Jakarta: Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, 2004
41 40

33

suatu karya diciptakan dan dilahirkan. Dengan demikian, karya sastra Pramoedya dan Hersri merupakan potret sosial yang menyajikan kembali realitas masyarakat yang pernah terjadi dengan cara yang khas sesuai dengan penafsiran dan ideologi pengarangnya. Sekaitan dengan fokus penelitian ini, Pramoedya dan Hersri memperlihatkan bahwa tragedi nasional 1965 sebetulnya merupakan trilogi yang terdiri dari G 30 S, pembantaian 1965/1966 dan kamp konsentrasi di pulau Buru. Ketiganya merupakan kesatuan yang tidak terpisahkan, rentetan peristiwa yang berkelanjutan, yang satu diikuti oleh yang lainnya. Pandangan ini benar-benar memberi inspirasi kepada saya bahwa menelaah komunitas tapol Mongcongloe pun tidak dapat dilepaskan dari rentetan kejadian-kejadian yang saling terkait di tingkat nasional yang dapat dirunut lebih jauh efeknya terhadap situasi regional Sulawesi Selatan. Studi Krisnadi memperlihatkan bahwa kontrol pemerintah Orde Baru dengan bantuan militer terhadap komunitas tahanan politik dan politik resistensi yang muncul di kalangan tapol di Pulau Buru, baik pada masa pengasingan maupun ketika pembebasan, memberi inspirasi kepada saya untuk melihat lebih dalam tentang komunitas tapol Moncongloe. Langkah ini, barangkali akan mengungkapkan persamaan dan perbedaan antara bentukbentuk kontrol yang dilaksanakan oleh pemerintah Orde Baru dalam rangka memperkuat hegemoninya, daya tahan tapol dan resistensi tapol terhadap kontrol. Krisnadi memperlihatkan bentuk-bentuk kontak sosial yang tidak

34

seimbang antara tapol dengan penduduk setempat. Tapol memiliki tingkat pendidikan jauh lebih tinggi dengan penduduk setempat dengan mudahnya mempengaruhi pola hidup penduduk pulau Buru sehingga menarik konklusi bahwa satu-satunya pihak yang memperoleh keuntungan dari dibukanya proyek Inrehab Buru adalah penduduk asli Pulau Buru yang berada di sekitar lokasi Tefaat. Corak mata pencaharian mereka berubah dalam relatif singkat dari food gathering menjadi food producing.44 Studi krisnadi ini sangat berguna untuk mengetahui berbagai aspek kehidupan tapol Pulau Buru, mulai dari latar belakang, pelaksanaan korve, pembinaan mental, sampai pada hak-hak sipil-politik tapol pascapembebasan. Sudut pandang berbeda diperlihatkan oleh Hermawan Sulistyo dalam studinya tentang pembantain massal di Jombang dan Kediri Jawa Timur. Studi ini melihat kasus Jombang dan Kediri menunjukkan perpecahan sosial yang telah berlangsung lama, dan meledak menjadi konflik disertai kekerasan mematikan setelah muncul peristiwa G 30 S. Studi ini juga menunjukkan betapa retorika politik di tingkat nasional telah menyebabkan terjadinya konflik fisik di tingkat akar rumput. Penjelasan-penjelasan kultural, ekonomi dan politik secara kompleksitas membantah asumsi yang selama ini berkembang bahwa pembantaian massal di Jombang dan Kediri hanya efek dari G 30 S yang bersifat tunggal. Studi ini menelaah elemen-elemen budaya, sosial dan ekonomi yang mengalami transformasi dalam komunikasi politik44

Krisnadi, op cit hal. 203

35

ideologi

hingga

melahirkan

konflik

dalam

masyarakat.

Berdasarkan

pandangan ini, saya bermaksud mengujinya kembali apa yang terjadi di Sulawesi Selatan, apakah terdapat pola-pola yang sama sehingga peristiwa yang serupa pembantaian dan penangkapan massal di Sulawesi Selatan sebagai embrio dari komunitas tapol Moncongloe. Budiawan menulis tentang wacana anti komunis dan politik rekonsiliasi pasca-Suharto, boleh dikatakan salah satu karya perintis tentang wacana antikomunis di Indonesia. Dengan argumentasi yang lugas tanpa

kecenderungan bergenit-genit dengan teori atau konsep seperti yang sering dilakukan dalam studi tentang kekerasan, sejarah dan ingatan, membuat tulisan ini mengilhami cakrawala berpikir pembacanya. Namun, seperti karya perintis pada umumnya, ada beberapa wilayah bahasan yang cenderung terbengkalai dan dapat dikembangkan lebih jauh. Salah satu yang terpenting asal-usul fantasi antikomunis yang merupakan bagian penting dari narasi dominan tentang komunisme di Indonesia. Narasi dominan itu tidak hanya terdiri atas salah tafsir atau fakta yang jungkir balik, melainkan juga kejadian yang sepenuhnya merupakan rekaan atau khayalan semata. Tidak hanya sebatas peristiwa G 30 S yang dimanipulasi tetapi juga pasca peristiwa tersebut tetap dikontrol sedemikian ketat oleh pemerintah, sehingga tidak ada satupun ruang pembelaan yang diberikan kepada orang-orang yang dianggap berafiliasi dengan PKI.

36

Asumsi utama studi ini juga didasari pemikiran-pemikiran John Roosa yang menekankan perlunya studi-studi tentang pasca G 30 S dengan terlebih dahulu membuang dikotomi anti atau pro PKI. Komunitas tapol Moncongloe yang direkonstruksi dalam penelitian ini, tidak berarti upaya pelengkap atau penambah dari sekian tulisan-tulisan tentang tapol lainnya, dan tidak juga bermaksud berusaha mematahkan wacana anti komunis di Indonesia secara agresif dan tak berdasar, tetapi merupakan upaya penulisan sejarah orangorang yang terpinggirkan dari komunitas tersembunyi. Mereka yang tertindas dalam kamp pengasingan, terasing dari lingkungan keluarga dan sosialnya dan termarginalisasi setelah pembebasan akibat stigma. Fokus utama dalam penelitian ini adalah kehidupan tahanan politik dalam kurun waktu penangkapan, pengasingan sampai pembebasan disertai dengan relasi-relasi sosial antara sesama tapol dan kontak-kontak sosial dengan masyarakat setempat serta komunitas lokalitas lainnya dan hubungan-hubungan dengan petugas Inrehab. Bagaimana tapol dapat bertahan hidup di tengah kontrol militer? Bagaimana mereka berhubungan dengan penduduk setempat di tengah kuatnya kontrol militer, sehingga terjalin hubungan harmonis? Serta bagaimana kebijakan petugas terhadap eksploitasi tenaga tapol dalam pengelolaan sumber daya hutan yang berujung pada habisnya sumber daya hutan di Moncongloe? Bagaimana kehidupan tapol pasca pembebasan di tengah arus stigma yang sangat kuat?. Sebuah fenomena yang khas akan tergambarkan dari kehidupan tapol Moncongloe menjadi bagian terpenting

37

akan disumbangkan dalam penelitian ini, sebagai penulisan pertama tentang komunitas tapol PKI di Sulawesi Selatan.
E. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan umum penelitian ini adalah menjelaskan sejarah komunitas tahanan politik Moncongloe Tahun 1969 1977. Secara khusus tujuan penelitian ini, bertolak dari tiga pokok persoalan yang telah dikemukakan, yaitu: Pertama, mengetahui latar belakang terbentuknya komunitas tapol Moncongloe. Kedua, menjelaskan pelaksanaan kontrol negara dan militer terhadap komunitas tapol selama dalam pengasingan di Moncongloe. ketiga, menjelaskan pelaksanaan kontrol sosial negara terhadap komunitas tapol Mongcongloe setelah dibebaskan. Pengungkapan sejarah tapol Moncongloe sangat penting dilakukan. Sebab, kisah Moncongloe merupakan suatu peristiwa yang nyaris terlupakan dalam sejarah tapol di Indonesia khususnya di Selawesi Selatan. Daerah Moncongloe yang biasa dikenal daerah tanah merah selama pemerintahan Orde Baru hampir tidak pernah mempublikasikan sebagai suatu tempat isolasi para tapol PKI. Apa yang mereka alami selama pengasingan adalah hal penting untuk direkonstruksi dalam rangka meletakkan peristiwa sejarah secara adil dan proporsional. Bertolak dari pemikiran semacam itu, penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat. Secara teoritis memperkaya khasanah historiografi Indonesia dari perspektif sejarah tapol di Indonesia,

38

utamanya tapol tragedi 30 September 1965. Pengungkapan aspek sejarah dari masyarakat bawah, mereka yang tertindas, dirampas hak-hak sipil dan politik merupakan aspek yang sangat penting dikaji secara akademik. Selama masa Orde Baru, masalah tahanan politik PKI terkesan ditutup-tutupi untuk menghapus dari memori kolektif bangsa. Rekonstruksi kehidupan tapol sebagaimana yang dituturkan para pelaku sejarahnya serta segala argumentasi yang diberikan merupakan upaya penerapan teori dan metodologi sejarah lisan yang kini berkembang di Indonesia. Studi sejarah tidak semata sebuah dialog sejarawan dengan masa lalu, tetapi seharusnya memberikan kemaslahatan bagi kehidupan manusia. Demikian pula, sejarah tidak hanya sebagai cermin untuk memahami diri, tetapi juga sekaligus tempat pijak untuk melangkah. Self understanding ini baik menyangkut individu maupun sebagai bangsa secara keseluruhan. Pemahaman terhadap diri sendiri menjadi amat penting, agar sebuah bangsa dapat bertindak secara tepat, proporsional dan sekaligus strategis.

Pemahaman sejarah yang obyektif akhirnya akan melahirkan bangsa yang tahu diri, tahu asal usul bangsanya, relasi dengan bangsa lain, memahami kegagalan serta prestasi yang telah dicapai. Atas dasar itulah, manfaat praktis yang diharapkan dari penelitian ini ialah sebagai referensi atau cermin dalam memahami jati diri bangsa utamanya dalam penentuan kebijakan pembangunan demokrasi Indonesia. Alam demokrasi di Indonesia (utamanya masa Orba) tidak sesuai dengan ruh

39

demokrasi itu sendiri. Penghargaan terhadap hak-hak asasi manusia dan keberagaman kurang mendapat porsi yang adil. Masih ditemukan di masa lalu kasus-kasus HAM tidak terpublikasi yang pada akhirnya dapat mengamputasi norma kemanusiaan di masa akan datang. Studi ini tidak bermaksud memberi interpretasi baru terhadap G 30 S sebagaimana yang sering diperdebatkan dalam berbagai forum. Salah satu aspek yang tidak bermanfaat dari debat tentang G 30 S di Indonesia adalah kecenderungan untuk menggolongkan posisi tertentu, apakah pro PKI atau anti PKI? Dikotomi pemikiran seperti itu akan mengabaikan kemungkinan posisi kita untuk berdiri di antaranya, tidak membela aksi-aksi PKI sebelum 1965, tidak juga membenarkan kekerasan massal yang diarahkan kepada PKI setelah G 30 S. Kelompok tertentu bisa saja bersikap antagonistik terhadap PKI sebelum tahun 1965: PKI adalah partai berniat mendirikan negara satu partai, yang dipimpin oleh orang-orang yang berbicara dan menulis secara dogmatis dan berdasarkan rumus-rumus baku, yang menggalang pengikut-pengikutnya untuk mengintimidasi organisasi-

organisasi lain. Tetapi tetap tidak dapat dibenarkan bagaimana orang dapat membenarkan cara partai itu ditumpas, kebohongan-kebohongan untuk memicu kekerasan, penangkapan massal tanpa dakwaan, interogasi dengan penyiksaan, penahanan tanpa batas waktu yang jelas. Akibatnya wacana sejarah seakan mengarah pada dua, tiap-tiap kritik terhadap rezim Orde Baru, ada kecenderungan menonjolkan keberpihakan kepada PKI, demikian

40

sebaliknya. Oleh karena itu, salah satu pijakan dasar dari studi ini, yakni berusaha melihat anggota PKI sebagai manusia yang memiliki kelebihan dan kekurangan. Demikian pula studi ini lebih menekankan pada peristiwa pasca G 30 S di Sulawesi Selatan. Studi ini penting mengingat studi serupa masih minim dilakukan, sekaligus dapat memberi warna baru dari sejarah Sulawesi Selatan. Oleh karena itu studi sejarah tapol Moncongloe, dapat menjadi bagian dari historiografi dan diapresiasikan masyarakat umum sebagai media pencerahan, sehingga historiografi tidak lagi dianggap sebagai beban yang menjerumuskan dan bagian dari sebuah sistem yang mengakibatkan berkembangnya cara berpikir yang sempit. Namun, studi ini tidak berarti pembelaan secara mentah-mentah terhadap tapol (korban pelanggaran HAM) dan mendeskreditkan kelompok tertentu, tetapi merupakan

pengungkapan kisah sejarah apa adanya yang tidak terjebak pada batasanbatasan agama, etnik, suku golongan ideologi dan status kepartaian.

F. Sistematika Pembahasan Komunitas tapol Moncongloe dalam kurun waktu 1969-1977 akan dikaji dan diungkapkan secara deskriptif analitis dalam beberapa bab. Setiap bab didasarkan pada karakteristik dari bab tersebut dalam kurun waktu terentu, sehingga menunjukkan proses pembentukan komunitas tapol

41

Moncongloe

melalui

kontrol

negara

begitu

kuat.

Komunitas

tapol

Mongcongloe dalam konteks keterkaitan dengan kontrol negara dan resisten terhadap kontrol, baik pada masa pengasignan maupun pasca pembebasan adalah bagian penting akan dalam studi ini. Untuk menjelaskan sejarah komunitas tapol Moncongloe, diperlukan sistematika pembahasan agar dapat menggambarkan rangkaian peristiwa yang dinamis, kronologis dan konsisten. Setelah Bab pendahuluan, Bab II memberikan pengantar umum kepada pembaca mengenai konteks Sulawesi Selatan yang memungkinkan kemunculan dan perkembangan PKI. Aspek yang dibahas pada bagian ini adalah konteks budaya, sosial, ekonomi dan politik keamanan regional Sulawesi Selatan telah memberi ruang berkembangnya PKI. Dalam konstelasi politik nasional, PKI mengail di air yang keruh dengan memanfaatkan pergolakan DI/TII dan Permesta sebagai isu politik yang dapat memperkuat bargaining-nya. Namun, PKI harus menerima

ketidakpopuleran di mata masyarakat Sulawesi Selatan utamanya daerah yang dikuasai oleh DI/TII. Di samping itu, PKI juga harus berhadapan dengan perwira-perwira militer dengan fungsi sosial politiknya yang sudah mengakar. Kendatipun PKI telah memasuki elemen sosial masyarakat dan isu-isu ekonomi petani cukup intensif, namun tetap tidak menunjukkan

perkembangan berarti sepanjang tahun 1950-an. PKI baru mengalami perkembangan cukup pesat setelah Gerakan DI/TII dan Permestas berhasil ditumpas, serta Masyumi dan PSII dinyatakan sebagai partai terlarang.

42

Namun, perkembangan PKI tidak berumur panjang setelah Gerakan 30 September 1965 meletus. Peristiwa ini telah menamatkan riwayat PKI. Bab III memberikan pengantar umum mengenai kondisi alam dan masyarakat di sekitar Moncongloe. Wilayah Moncongloe sebagian besar hutan kemudian berubah menjadi areal perkembunan setelah kedatangan tapol. Bab ini akan menarasikan sebuah hutan yang digerakkan berdasarkan siklus alam, suara-suara burung dan binatang hutan lainnya kemudian diriuhkan dengan kedatangan tapol dengan segala aktivitasnya. Pembahasan kemudian bergeser pada situasi kota Makassar dan kota-kota kabupaten lainnya yang disibukkan dengan konfrontasi dan aksi kekerasan pasca Gerakan 30 September 1965. Karakteristik pembahasan ini memunculkan penangkapan, penahanan dan pemenjaran anggota PKI dan ormasormasnya di Sulawesi Selatan. Laksus PANGKOPKAMTIB Sulsera adalah aktor penting dalam penangkapan tersebut, disamping keterlibatan ormasormas lainnya. Mereka yang ditangkap diduga PKI disebut tapol. Moncongloe yang telah dibahas sebelumnya kembali diulas sebagai lokasi pengasingan para tapol PKI tersebut. Olehnya itu, diuraikan tentang Kamp Inrehab Moncongloe, yang meliputi tujuan pembukaan kamp, struktur kamp, fasiltas kamp, tugas dan tanggungjawab yang diembannya. Pembahasan bab ini adalah sebuah narasi hutan Moncongloe berubah menjadi kamp

pengasingan tapol. Bab IV menguraikan tentang tahanan politik Moncongloe yang dapat dirunut dari pemindahan tapol dari penjara ke kamp pengasingan Moncongloe, kemudian perkembangan Inrehab yang di dalamnya dinamika

43

kehidupan tapol di luar dan di dalam kamp. Dari pembahasan ini dikembangkan pada pembahasan eksploitasi tenaga tapol dalam bentuk korve, pemanfaatan tapol di luar kamp, dan konsentrasi tapol pada proyekproyek Kodam XIV Hasanuddin. Berikutnya diuraikan kontak-kontak sosial antara tapol dengan penduduk setempat dan kontrol mental serta hiburan tapol selama masa pengasingan. Bab V meliputi periode pembebasan tapol. Bab ini menjelaskan latar belakang pembebasan tapol baik faktor politik dalam negeri maupun desakan dunia internasional serta penyelesaian tapol oleh pemerintah Orde Baru. Bab ini juga menguraikan kondisi tapol pascapembebasan berupa kontrol sosial pemerintah Orde Baru terhadap tapol yang berujung pada stigmatisasi terhadap tapol sebagai orang tidak bersih lingkungan. Keadaan tapol yang termarginalkan, kehilangan hak-hak sosial politik. Tapol kemudian

ditempatkan sebagai fokus kajian dalam upaya jatuh bangun melawan stigma sampai pada perjuangan tapol dalam upaya rehabilitasi dan kompensasi. Bab VI berisi kesimpulan dan saran-saran penelitian. Pada bab ini diuraikan berbagai simpulan-simpulan penelitian atau jawaban dari pokok persoalan yang diajukan pada bab pendahuluan. Setelah kesimpulan, penulis mengetengahkan saran-saran atau rekomendasi penelitian.

Anda mungkin juga menyukai