Anda di halaman 1dari 48

Pustaka_Nailul

sumber : arsip.kotasantri.com

edited by

Pustaka_Nailul

Daftar Isi
Islam dan Konsistensi Islam dan Optimisme Islam dan Pengawasan Melekat Islam dan Sportivitas Islam dan Korupsi Islam dan Ucapan Selamat Islam dan Sains Islam dan Lingkungan Hidup Islam dan Produktivitas Profesionalisme Islam dan Profesionalisme Islam dan Wanita Islam dan Buruh Islam dan Senioritas Islam dan Ploretariat Islam dan Childhood Leadership/Elite Islam dan Leadership/Elite Islam dan Borjuasi Islam dan Parental Islam dan Neighborhood Islam dan Interpersonal Islam dan Motivasi Islam antara Serius dan Canda Islam dan Amar Ma'ruf Nahi Munkar

Pustaka_Nailul

Islam dan Konsistensi


Penulis : Nabiel Fuad Al-Musawa KotaSantri.com : Nabi Muhammad SAW bersabda : "Katakanlah : Aku beriman kepada ALLAH, lalu konsistenlah!" (#) Nabi kita SAW memerintahkan kepada kaum muslimin yang muttaqin agar memiliki sifat konsisten dan melarang kita bersikap plin-plan. Perintah nabi SAW ini merupakan penjabaran dari firman ALLAH SWT dalam QS. asy-Syuraa' (42 : 15), "DAN TETAPLAH (KAMU) KONSISTEN SEBAGAIMANA (TELAH) DIPERINTAHKAN KEPADA KAMU." Manusia yang berkepribadian akan memiliki sifat konsisten, karena dalam teori manajemen dan leadership modern salah satu sifat yang hendaknya dimiliki oleh seorang manajer maupun pemimpin adalah sikap yang teguh dan konsisten baik dalam perbuatan maupun perkataan. Seorang pemimpin yang plin-plan dan tidak tetap pendirian hanya akan mengakibatkan rusaknya kinerja dan lemahnya loyalitas organisasi. Maka Islam sebagai agama yang sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan peradaban manusia telah menekankan sifat ini kepada para penganutnya. Lebih jauh ALLAH SWT Yang Maha Tinggi lagi Maha Lembut menegur hamba-hambaNYA yang tidak konsisten dan mengurai lagi perkataan/sikapnya setelah diputuskan, sebagaimana dalam firmanNYA : "DAN JANGANLAH KALIAN MENJADI SEBAGAIMANA SEORANG WANITA YANG MENGURAIKAN BENANGNYA YANG TELAH DIPINTAL DENGAN ERAT, SEHINGGA MENJADI KEMBALI BERCERAI-BERAI." (QS. al-Hijr, 15 : 92). Sikap konsisten bagi seorang muslim juga mencakup : Kesamaan antara perkataan dengan perbuatan kita. ALLAH SWT melarang keras seseorang muslim yang kontradiktif antara perbuatan dengan perkataannya, sebagaimana dalam firmanNYA : "HAI ORANG2-ORANG YANG BERIMAN, MENGAPAKAH KAMU MENGATAKAN SESUATU YANG TIDAK KAMU PERBUAT? AMAT BESAR MURKA ALLAH JIKA KAMU MENGATAKAN SESUATU YANG TIDAK KAMU PERBUAT." (QS. ash-Shaff, 61 : 2-3). Dalam kesempatan lain, nabi SAW juga memperingatkan kita agar tidak memiliki sifat ikut-ikutan (immaa'ah), bagaikan kerbau dicocok hidungnya atau juga kemana angin bertiup kesitulah condongnya. Islam membolehkan kita menyesuaikan diri pada hal-hal yang bukan merupakan prinsip dan tidak terdapat larangannya dalam syariah, yaitu dalam hal-hal yang bersifat mutaghayyirat (boleh berubah) adapun pada hal-hal yang bersifat tsawabit (hal-hal yang tetap sepanjang masa) maka hendaklah kita senantiasa bersikap konsisten, walaupun yang berpegang kepada prinsip itu hanya minoritas saja, dan orang yang bertindak demikian maka pahalanya akan sama dengan pahala suatu ummat. Lihatlah bagaimana ALLAH SWT memuji nabi Ibrahim, yang walaupun seorang diri beliau tetap konsisten kepada kebenaran Islam, sehingga ALLAH SWT memujinya dan menyatakan Ibrahim sebagai sama dengan suatu ummat yang beriman dan bertaqwa, "SESUNGGUHNYA IBRAHIM ITU ADALAH SUATU UMMAT YANG PATUH LAGI LURUS KEPADA ALLAH." (QS. an-Nahl, 16 : 120). --(#) Hadits Riwayat : Imam Muslim, dalam shahih-nya, hadits no. 38. *) Serial Sosiologi Islam : Pandangan Islam terhadap Aspek-aspek Sosiokultural Masyarakat Modern (1)

Pustaka_Nailul

Islam dan Optimisme


Penulis : Nabiel Fuad Al-Musawa KotaSantri.com : Nabi SAW bersabda : "Akan masuk Jannah, orang-orang yang memiliki hati bagaikan burung." (#) Dalam hadits yang mulia ini, pemimpin kita nabi Muhammad SAW menyatakan tentang tingginya penghargaan ALLAH SWT terhadap sikap tawakkal (optimisme dalam arti luas), saya katakan optimisme dalam arti luas karena optimisme dalam bahasa aslinya bermakna positive-thinking atau harapan baik, sementara dalam makna Islami selain mencakup makna tersebut juga melibatkan keikutsertaan ALLAH SWT. Yaitu berbuat sebaik-baiknya lalu menyerahkan hasil akhirnya kepada Sang Maha Pencipta yaitu ALLAH SWT. Hadits di atas menurut saya dapat ditafsirkan oleh hadits berikut ini : "Andaikan kalian benar-benar bertawakkal kepada ALLAH SWT, niscaya ALLAH akan memberi kalian rizki sebagaimana DIA memberi rizki kepada burung yang keluar dengan perut kosong pada pagi hari dan kembali dengan perut kenyang di petang hari." [1]. Jadi makna optimisme dapat diumpamakan bagaikan burung yang setiap hari keluar pagi-pagi untuk mencari makan (adanya usaha yang optimal) dan pulang sore-sore (baik mendapat sedikit makanan ataupun banyak, maka itu adalah hasil usaha kerasnya dan taqdir yang dimudahkan ALLAH SWT atasnya). Optimisme dalam Islam adalah mencakup semua aspek kehidupan. Optimisme dalam ibadah artinya berusaha melakukan ibadah sebaik-baiknya lalu menggantungkan harapan kepada ALLAH SWT akan diterima, sebagaimana dalam ayat : "SESUNGGUHNYA ORANG-ORANG YANG BERIMAN ITU IALAH MEREKA YANG JIKA DISEBUT NAMA ALLAH MAKA BERGETARLAH HATI MEREKA, DAN APABILA DIBACAKAN AYAT-AYATNYA MAKA BERTAMBAHLAH IMAN MEREKA DAN HANYA KEPADA RABB MEREKALAH MEREKA ITU BERTAWAKKAL." (QS. al-Anfal, 8 : 2) . Optimisme dalam mencari nafkah, bekerja dan perniagaan adalah dengan berusaha keras mengoptimalkan semua sumberdaya yang dimiliki lalu juga menyerahkan hasil akhirnya kepada DZAT Yang Maha Agung lagi Maha Berkuasa, sebagaimana dalam firman-NYA yang lain : "DAN BARANGSIAPA YANG BERTAWAKKAL KEPADANYA MAKA IA AKAN MENCUKUPI (SEMUA KEBUTUHAN) MEREKA.: (QS. at-Thalaq, 65 : 3). Optimisme dalam rapat, kerja-sama dalam sebuah tim dan dalam manajemen sebuah organisasi adalah dengan melakukan curah-pendapat (brain-storming) yang optimal dengan segala sarana dan prasaran yang dimiliki kemudian juga menyerahkan final-outputnya kepada Yang Maha Mengetahui lagi Maha Teliti, sebagaimana dalam ayat : "DAN APABILA KALIAN TELAH MEMBULATKAN TEKAD KALIAN MAKA BERTAWAKKALLAH KEPADA ALLAH." (QS. Ali Imran, 3 : 159). Dan optimisme dalam kemiliteran, patriotisme serta bela negara yang Islami adalah dengan mengoptimalkan seluruh strategi serta daya dukung yang dimiliki, kemudian menyerahkan hasilnya kepada ALLAH SWT, sebagaimana juga disebutkan dalam ayat : "YAITU ORANG-ORANG YANG KETIKA DIKATAKAN KEPADA MEREKA : SESUNGGUHNYA MANUSIA TELAH MENGUMPULKAN PASUKAN UNTUK MENYERANG KALIAN, MAKA TAKUTLAH KEPADA MEREKA. MAKA PERKATAAN ITU MENAMBAH KEIMANAN MEREKA DAN MEREKA MENJAWAB; CUKUPLAH ALLAH MENJADI PENOLONG KAMI DAN ALLAH ADALAH SEBAIK-BAIK PELINDUNG." (QS. Ali Imran, 3 : 173-174). ---

Pustaka_Nailul
(#) Hadits Riwayat : Imam Muslim, dalam shahih-nya, hadits no. 2840. [1] HR. Tirmidzi, 2345, dan ia berkata : hasan shahih; HR. Ahmad 1/30; HR. Ibnu Majah, 4164 dengan sanad shahih; juga di-shahih-kan oleh al-Hakim 4/318. *) Serial Sosiologi Islam : Pandangan Islam terhadap Aspek-aspek Sosiokultural Masyarakat Modern (2)

Pustaka_Nailul

Islam dan Pengawasan Melekat


Penulis : Nabiel Fuad Al-Musawa KotaSantri.com : "Takutlah kalian kepada ALLAH dimana saja kalian berada." (#) Pengawasan melekat (waskat) adalah istilah yang sering sekali kita dengar didengung-dengungkan oleh para petinggi negara ini dan para pimpinan instansi pemerintah dari atas sampai ke tingkat bawah. Pengawasan melekat juga ramai digembar-gemborkan sebagai satu-satunya cara (the only path) yang menurut mereka paling ampuh bagi sembuhnya Korupsi, Kolusi dan Nepotisme di bumi Pertiwi; dan bahkan jurus ini pun dipercaya sangat ampuh untuk meningkatkan loylitas, kedisiplinan, dan etos kerja para pegawai dan karyawan. Islam adalah agama yang universal (syamil), integral (kamil) dan menyempurnakan (mutakamil) bagi semua sistem yang ada. Oleh karenanya, maka RABB al-Izzah jauh-jauh hari telah memberikan konsep-NYA yang paling sempurna untuk mengatasi berbagai penyimpangan manusia tersebut. Konsep tersebut dinamakan muraqabah. Muraqabah adalah pengawasan melekat yang sebenarnya, karena ia merupakan sistem pengawasan bagi individu bukan hanya sebatas dalam kaitannya dengan aspek materi dan keduniaan belaka, melainkan jauh menembus batas dan bertemu dengan nilai-nilai keabadian dan kekuatan yang berada diluar kemanusiaan dan kealaman itu sendiri. Simaklah hadits berikut ini; Dari Ibnu Abbas ra berkata : "Pada suatu hari aku membonceng nabi SAW, lalu beliau berkata kepadaku : Hai bocah (waktu itu Ibnu Abbas masih sangat muda), aku akan ajarkan kepadamu beberapa kalimat : Jagalah ALLAH, maka IA akan menjagamu; Jagalah ALLAH, maka IA akan senantiasa bersamamu; Jika kamu butuh sesuatu, maka mintalah kepada ALLAH; Dan jika kamu butuh pertolongan, maka mintalah kepada-NYA; Dan ketahuilah! Kalaupun seandainya seluruh ummat itu bersatu untuk memberikan setitik manfaat kepadamu, niscaya mereka tidak akan dapat melakukan itu, kecuali jika telah ditentukan oleh ALLAH; Dan jika mereka pun berkumpul seluruhnya untuk menimpakan keburukan kepadamu, niscaya mereka tidak akan mampu kecuali yang telah ditentukan atasmu. Pena-nya telah diangkat dan lembarannya pun telah kering ditulis." [1] Alangkah indahnya! Dan alangkah mencakupnya! Demikianlah Islam, satu-satunya agama yang diridhai oleh ALLAH SWT telah menggariskan konsep pengawasan, mari kita simak juga hadits lainnya yang senada; "Jagalah ALLAH maka IA akan senantiasa berada didepanmu; Ingatlah ALLAH di waktu lapangmu, maka IA akan mengingatmu di waktu sedihmu. Ketahuilah! : Bahwa apa-apa yang telah ditaqdirkan tidak mengenaimu maka akan luput darimu; Dan apa-apa yang telah ditaqdirkan mengenaimu maka tidak akan luput darimu. Ketahuilah! : Bahwa sesungguhnya pertolongan itu akan datang bersama kesabaran; Dan bahwa kesenangan itu didapatkan karena kesusahan; Dan bahwa setelah kesulitan maka pasti akan ada kemudahan." [2] Bukankah sebuah konsep yang sangat mencakup dan sangat indah?! Dan jika kita menelaah al-Qur'an maka akan lebih indah lagi ALLAH SWT menuturkannya kepada kita. Firman ALLAH tentang konsep pengawasan secara umum : "SESUNGGUHNYA RABB-MU ITU BENAR-BENAR MENGAWASI (KAMU)." (QS. al-Fajr, 89 : 14); Tentang kebersamaan-NYA dalam berbagai aktifitas yang kita lakukan : "ALLAH SENANTIASA BERSAMA KALIAN DIMANAPUN KALIAN BERADA." (QS. al-Hadid, 57 : 4); Tentang pengawasannya dalam ibadah-ibadah yang sedang kita lakukan : "YANG MELIHAT KAMU SAAT KAMU SEDANG BERDIRI SHALAT, DAN JUGA MELIHAT PERUBAHAN GERAK BADANMU SAAT DIANTARA ORANG-ORANG YANG SUJUD." (QS. asy-Syu'ara, 26 : 218-219); Tentang pengawasan-NYA jika kita berbuat maksiat : "DIA MENGETAHUI LIRIKAN MATA KALIAN YANG KHIANAT DAN APA YANG DISEMBUNYIKAN DI DALAM HATI." (QS. al-Mu'min, 40 : 19); Tentang

Pustaka_Nailul
ketelitiannya dan kedekatannya ketika melakukan pengawasan : "DAN SESUNGGUHNYA KAMI TELAH MENCIPTAKAN MANUSIA DAN MENGETAHUI APA YANG DIBISIKKAN OLEH HATINYA, DAN KAMI LEBIH DEKAT KEPADANYA DARIPADA URAT LEHERNYA." (QS. Qaaf, 50 : 16). Masih adakah yang tertinggal wahai saudaraku yang mulia?! Maka tulisan ini akan aku tutup dengan pengamatanku bahwa konsep pengawasan yang diberikan oleh Islam adalah mencakup semua sisi kemanusiaan, baik pada aspek lebar (mencakup semua orang mu'min), panjang (dari sejak ia baligh sampai matinya) dan dalamnya (dari perkataan, perbuatan sampai pada kata hatinya). Sehingga Islam sangat membenci sesuatu yang buruk, bahkan jangankan yang buruk, yang tidak bermanfaat sekalipun hendaknya dihindari, "Ciri baiknya keislaman seseorang adalah ia meninggalkan apa-apa yang tidak berarti baginya." [3]. Karena pelanggaran yang besar selalu dimulai oleh kesalahan-kesalahan kecil, dan seorang hanya akan menjadi besar, jika ia terbiasa mendisiplin dirinya untuk tidak mentolerir kesalahan-kesalahan kecil, sebagaimana dikatakan oleh Anas ra : "Sesungguhnya kalian terbiasa melakukan perbuatan-perbuatan yang kalian anggap halus bagaikan sehelai rambut, padahal kami di masa nabi SAW menganggap perbuatan-perbuatan itu sebagai dosa besar yang membinasakan (alMuhlikat)." [4]. --(#) Hadits Riwayat : 1. Tirmidzi, hadits no. 1988, dan ia berkata hadits hasan-shahih. 2. Ahmad, 5/153, 158, 228, 236. 3. Darimi, 2/323. [1] HR. Tirmidzi, hadits no. 2518, dan ia berkata hasan-shahih; Syaikh Nashir berkata shahih. [2] HR. Ahmad, no. 2804 dan 2669 dan menurut Syaikh Syu'aib al-Arnauth sanadnya shahih. [3] HR. Tirmidzi, no.2318. Hadits ini ada syahid-nya dari hadits Husein bin Ali ra (HR. Ahmad dan Thabrani), dan dari hadits Abubakar ra (HR. Hakim dalam alKunya), dan dari hadits Abudzar (HR Syairazi), dan dari hadits Ali ra (HR. Hakim dalam Tarikh-nya), dan dari hadits Zaid ra (HR. Thabrani dalam al-Awsath), dan dari hadits Harits bin Hisyam (HR. Ibnu Asakir). Oleh karenanya hadits ini shahih dengan berbagai syawahid tersebut. Lihat juga Faydhul-Qadir 6/12 dan Majma' Zawaid 8/18. [4] HR. Bukhari, 11/283; Ahmad, 157, ia juga meriwayatkannya (3/3) dari hadits Abu Said al-Khudriy ra, dan (470) dari hadits Abbad bin Qurth ra. *) Serial Sosiologi Islam : Pandangan Islam terhadap Aspek-aspek Sosiokultural Masyarakat Modern (3)

Pustaka_Nailul

Islam dan Sportivitas


Penulis : Nabiel Fuad Al-Musawa KotaSantri.com : "Tidak boleh berbohong, baik ketika serius maupun bercanda, dan tidak boleh menjanjikan sesuatu kepada anaknya lalu tidak menepatinya." (#) Jujur adalah harta termahal, orang yang senantiasa bersikap jujur akan membentuk sebuah kepribadian yang benar, karena orang yang jujur maka tidak ada yang disembunyikannya sehingga ia tidak perlu untuk berpura-pura (what you see what you get). Orang yang jujur oleh karenanya akan menguntungkan baik bagi dirinya sendiri, teman-temannya dan perusahaan serta kolega-koleganya dan kesemuanya itu akan menghasilkan kesuksesan di dunia dan pasti pula di akhirat. Sebaliknya kebohongan akan menghasilkan kemunafikan, karena sebuah kebohongan akan memerlukan kebohongan lainnya untuk menutupi kebohongan tersebut. Maka orang yang terbiasa bohong akan mengalami kegoncangan kepribadian (split-personality), dan menimbulkan keraguan pada dirinya sendiri, teman-temannya, perusahaan/tempat bekerjanya serta seluruh relasinya yang kesemuanya akan berujung pada keburukan baik di dunia apalagi di akhirat kelak. Demikianlah nabi kita SAW telah menggambarkan fenomena yang kait-mengkait serta saling berkelindan antara kedua sifat ini dan dampak-dampaknya bagi kehidupan seorang manusia dalam sabdanya yang padat-bermakna : "Sungguh kejujuran itu membawa kepada kebaikan dan kebaikan itu membawa kepada Jannah. Seorang yang selalu bertindak jujur, sehingga ia ditulis disisi ALLAH sebagai Shiddiq (orang yang jujur). Sedangkan bohong itu membawa kepada kejahatan dan kejahatan itu membawa ke Neraka. Seseorang yang selalu berbohong, sehingga ia ditulis disisi ALLAH sebagai Kadzdzab (pendusta)." [1] Dalam hadits di awal kajian ini, pemimpin kita RasuluLLAH SAW menegaskan bahwa sikap jujur bagi seorang mu'min adalah wajib dalam setiap keadaan, baik ketika serius maupun ketika bercanda, ketika sendirian maupun dalam keramaian, ketika senang maupun susah; bahkan sampai pun ketika kita berbicara kepada anak-anak kita yang masih kecil sekalipun kita tidak boleh menjanjikan sesuatu untuk kemudian tidak menepatinya. Nabi SAW senantiasa berkata benar walaupun ketika beliau sedang bercanda [2]. Dalam suatu ketika beliau pernah mencandai seorang Arab Badui yang telah tua, ketika orang itu meminta tunggangan kepada nabi SAW, kata nabi SAW : "Baiklah, saya akan menaikkanmu di atas anak unta betina." Maka kata orang itu : "Wahai rasuluLLAH, apa yang dapat kulakukan di atas anak unta?" Maka jawab nabi SAW : "Bukankah unta itu adalah anak unta juga?!" [3]. Demikian pula seorang pebisnis hendaknya juga berbuat jujur ketika menjalankan bisnisnya dan jangan sampai menipu, baik dengan menyembunyikan cacat/kekurangan pada produknya maupun dalam "memuluskan" usahanya dengan menggunakan jalur yang tidak lazim dan dilarang syariat (KKN ataupun sogokmenyogok). Karena salah satu penyebab utama krisis ekonomi di negara kita adalah praktek-praktek tidak jujur seperti ini yang dilakukan oleh pemegang kekuasaan dengan para pelaku bisnisnya, baik dari kelas konglomerat sampai ke pedagang kaki-limanya. Benarlah sabda nabi SAW : "Dua orang yang berbisnis itu berhak menentukan pilihan sebelum mereka berpisah. Jika keduanya jujur dan berterus-terang dalam bisnis mereka, maka bisnis keduanya akan mendapatkan barakah. Tetapi jika keduanya menyembunyikan (kekurangan) dan berdusta, maka bisnis mereka tidak akan membawa barakah." [4]. Bersahabat dengan orang yang jujur akan sangat bermanfaat, karena sahabat yang jujur akan berkata benar tentang apa kelebihan kita dan kekurangan kita. Demikian pula pada tingkat pemegang kekuasaan seperti pimpinan perusahaan atau pimpinan negara misalnya, jika para bawahan dan pembantu-pembantunya bersifat jujur maka pastilah akan Adil dan Sejahteralah perusahaan/organisasi/negara

Pustaka_Nailul
tersebut. Maka kejujuran bagi sebuah komunitas adalah perhiasan yang tak ternilai harganya. Berbahagialah sebuah kelompok jika diisi oleh orang-orang yang jujur, sebagaimana dalam hadits nabi SAW : "Jika ALLAH SWT menginginkan kebaikan bagi seorang pemimpin, maka dijadikan baginya seorang menteri yang jujur, maka jika ia lupa diingatkan dan jika ia ingat maka disupport oleh menteri tersebut. Dan jika ALLAH SWT menginginkan hal yang sebaliknya bagi seseorang, maka dijadikan baginya menteri yang buruk, jika ia lupa dibiarkan dan jika ia ingat tidak disupport." [5]. --(#) Hadits Riwayat : 1. Bukhari, kitab ash-Shulhu, bab Laisal Kadzibu 'alladzi Yushlihu bainan Nas. 2. Muslim, kitab al-Birru wash Shilah. [1] HR. Bukhari, 10/423; Muslim no.2607; Abu Daud no.4989; dan Tirmidzi no.1972. [2] HR. Tirmidzi, kitab al-Birru wash Shilah, bab Ma Ja'a fil Mizah; Di-shahih-kan oleh Albani dalam Takhrijul-Misykah. [3] HR. Abu Daud, kitab al-Adab, bab Ma Ja'a fil Mizah; Tirmidzi kitab al-Birru wash Shilah, bab Ma Ja'a fil Mizah; Di-shahih-kan oleh Albani dalam al-Misykah. [4] HR. Bukhari, 4/275-276; Muslim, no. 1747; Ahmad, 2/318. [5] HR. Abu Daud, kitab al-Kharraj wal Imarah wal-Fay', bab Fit Tikhadz al-Wazir, juz-II hal. 245. *) Serial Sosiologi Islam : Pandangan Islam terhadap Aspek-aspek Sosiokultural Masyarakat Modern (4)

Pustaka_Nailul

Islam dan Korupsi


Penulis : Nabiel Fuad Al-Musawa KotaSantri.com : "Barangsiapa yang mengambil hak orang lain walaupun hanya sejengkal tanah, maka akan dikalungkan di lehernya (pada hari Kiamat nanti) seberat 7 lapis bumi." (#) Mengambil hak orang lain tanpa sepengetahuan ataupun dengan sepengetahuan namun tanpa perkenan, dalam hukum manapun di dunia ini adalah terlarang, setiap sistem kemasyarakatan di dunia dari yang paling primitif hingga yang paling modern memberikan pelbagai sanksi atas perbuatan tersebut. Sanksi yang dijatuhkan dapat berupa sanksi moral (teguran sampai pengucilan atau pengusiran) sampai dengan sanksi material dan fisik (pukulan sampai penjara). Semua sistem kemanusiaan memiliki cara sendiri dalam memberikan sanksi kepada perampas hak milik maupun kehormatan orang lain. Sebagai sistem yang diturunkan oleh Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana, Islam telah menggariskan sebuah sistem sanksi sendiri terhadap para pelaku kezaliman, namun uniknya sanksi yang ditetapkan Islam memiliki kelebihan dibandingkan dengan sistem buatan manusia, yaitu bahwa sanksi tersebut memiliki 2 dimensi, dimensi fisik yaitu dipotong tangannya dan dimensi metafisik (ukhrawi) yaitu kemurkaan ALLAH SWT dan balasan di akhirat kelak. Salah satu contoh sanksi non fisik tersebut adalah dalam hadits di atas, nabi SAW menyebutkan kepada para penganutnya yang telah percaya (mu'min) bahwa barangsiapa diantara mereka yang melakukan kezaliman merampas sejengkal tanah orang lain maka ia akan dibebani sejengkal tanah tersebut namun dengan seluruh bobotnya ke bawah sampai menembus 7 lapis bumi... Inna liLLAH wa inna 'ilaihi raji'un... Alangkah beratnya dan alangkah ngerinya balasan tersebut, maka bagaimanakah dengan orang-orang yang mengambil tanah orang lain lebih banyak lagi dari itu...?! Contoh dimensi fisik yang lain yang dijelaskan oleh Islam adalah sanksi terhadap perbuatan kezaliman suap-menyuap dan korupsi, sebagaimana kesempurnaannya, Islam membasmi kejahatan ini sampai ke tingkat yang sekecil-kecilnya, simaklah perkataan rasul SAW berikut ini terhadap salah seorang petugas pemungut zakatnya : "Sesungguhnya aku telah mengutus seorang diantara kalian tugas yang diberikan ALLAH kepadaku, lalu ia datang dan berkata : Ini untukmu, sedangkan yang ini hadiah mereka untukku. Andaikata ia memang benar, maka mengapa ia tidak duduk saja di rumahnya, hingga hadiah itu diberikan padanya. Demi ALLAH siapa saja diantara kalian yang mengambil sesuatu yang bukan haknya, niscaya nanti di hari Kiamat ia akan menghadap ALLAH sambil memikul apa yang diambilnya di dunia. Demi ALLAH aku tidak ingin melihat salah seorang diantara kalian yang menghadap ALLAH dengan memikul unta, lembu atau kambing yang mengembik. Lalu nabi SAW mengangkat kedua tangannya hingga terlihat putih kedua ketiaknya sambil bersabda : Ya ALLAH bukankah aku telah menyampaikannya?" [1]. Bukankah aku katakan kepadamu Islam telah memberantas suap dan korupsi pada tingkat yang sekecil-kecilnya? Lihatlah bagaimana nabi SAW telah mengharamkan hadiah-hadiah yang diberikan kepada seorang karena jabatan yang dipikulnya, karena hadiah tersebut diberikan dikaitkan dengan jabatan orang tersebut? Perhatikanlah dengan teliti sabda beliau SAW di atas : Maka mengapa ia tidak diam saja di rumahnya (tidak menjabat apaapa) hingga hadiah itu datang padanya? Artinya jika benar itu hadiah, maka tidak akan diberikan ketika sahabat tersebut menjabat, karena ketika ia tidak menjabat hadiah tersebut tidak ada yang memberi. Maka jelaslah bahwa hadiah tersebut ada maunya, alias termasuk suap-menyuap... Hal-lain yang berkaitan dengan pemberantasan perilaku zalim ini secara fundamental dalam Islam adalah diantaranya memberantas bentuk-bentuk

Pustaka_Nailul
pengakuan terhadap hak orang lain melalui sumpah atau di bawah sumpah, walau betapa pun kecilnya apalagi jika sumpah tersebut bersifat besar seperti sumpah jabatan, lalu kemudian digunakan untuk berbuat zalim, simaklah hadits berikut ini : "Siapa saja yang merampas hak seorang muslim dengan sumpahnya, maka ALLAH benar-benar mewajibkan neraka baginya dan diharamkan Jannah untuknya. Lalu seorang sahabat bertanya : Walaupun yang dirampas itu sesuatu yang amat sedikit ya rasuluLLAH? Maka jawab nabi SAW : Walaupun sekecil batang kayu arak (kayu untuk bersiwak)." [2]. Hal lain berkenaan dengan perbuatan kezaliman yang ditumpas oleh Islam ini adalah dalam bentuk kezaliman dan kejahatan yang dilakukan seseorang di lembaga peradilan, yaitu perbuatan mengadukan suatu perkara dengan tujuan mengambil sesuatu yang bukan miliknya dengan memperkarakannya di lembaga peradilan. Sabda nabi SAW : "Sesungguhnya aku adalah manusia biasa, sedangkan kalian mengdaukan persoalan kepadaku. Mungkin salah seorang diantara kalian lebih pandai berbicara daripada yang lain, lalu aku putuskan baginya sesuai dengan yang aku dengar. Maka barangsiapa yang telah aku menangkan perkaranya dengan mengalahkan yang benar, maka sama saja dengan aku telah memberinya sepotong bara api neraka." [3]. Lalu bagaimana jika terlanjur melakukan yang demikian itu? Segeralah minta maaf jika kezaliman tersebut berkaitan dengan diri atau kehormatan seseorang atau kembalikan harta haram tersebut jika berbentuk uang atau materi, sebagaimana sabda nabi SAW : "Barangsiapa yang pernah menganiaya saudaranya baik kehormatannya maupun sesuatu yang lain hendaklah ia minta maaf sekarang juga sebelum saatnya dinar dan dirham tidak berguna. Jika tidak, apabila ia memiliki amal shalih maka amalnya akan diambil sesuai dengan kadar penganiayaan yang dilakukannya. Apabila tidak memiliki amal baik lagi, maka kejahatan orang yang dianiaya itu diambil dan dibebankan kepadanya." [4]. --(#) Hadits Riwayat : 1. Bukhari, juz-V/76. 2. Muslim, hadits no. 1612. [1] [2] [3] [4] HR. HR. HR. HR. Bukhari, V/162; Muslim (1832); Ahmad, V/423. Muslim (137). Bukhari, XII/299-300; Muslim (1713); Ahmad VI/203, 290, 307. Bukhari, V/73.

*) Serial Sosiologi Islam : Pandangan Islam terhadap Aspek-aspek Sosiokultural Masyarakat Modern (5)

Pustaka_Nailul

Islam dan Ucapan Selamat


Penulis : Nabiel Fuad Al-Musawa KotaSantri.com : "Jika kalian mencintai saudaranya (sesama mu'min), maka hendaklah ia memberitahukan kepadanya." (#) Sebuah sistem yang sempurna aspeknya dan diturunkan oleh Yang Maha Sempurna pastilah tidak akan meninggalkan berbagai sisi, melainkan ia memberikan pedoman serta arahan bagi penganutnya. Demikianlah Islam sebagai sistem agama juga negara, politik dan ekonomi, dzikir dan aqidah, sosial dan seni, pengetahuan dan militer; telah mengatur berbagai sisi yang sebenarnya sangat dibutuhkan oleh ummatnya walaupun kerap kali dianggap sepele, dan diantara sisi yang sering diremehkan itu adalah masalah tahni'ah (greeting) dalam kehidupan bermasyarakat. Tahni'ah adalah bagian dari kehidupan berteman dan etika dalam bermasyarakat, oleh sebab itu Islam tidak mengabaikan hal ini dalam aturannya yang sempurna. Nabi SAW mengajarkan kepada kita agar jika kita menyenangi perbuatan seseorang agar tidak segan-segan untuk menyampaikan kepadanya, sehingga yang bersangkutan dapat mensyukuri kelebihan yang dimilikinya dan merespon perhatian dari saudaranya. Dan oang yang paling tinggi derajatnya disisi ALLAH SWT adalah orang yang paling tinggi perhatiannya kepada saudaranya, sebagaimana sabda nabi SAW : "Dua orang yang saling mecintai (karena ALLAH), maka yang paling tinggi diantara keduanya adalah yang paling kuat cintanya kepada temannya." [1]. Dan kebiasaan memberikan ucapan selamat ini (sepanjang tidak menyalahi aturan syari'at) merupakan tradisi yang sangat mulia (shifat al-ulya) yang dicontohkan oleh ALLAH SWT sendiri, simaklah bagaimana ALLAH SWT senantiasa memberikan ucapan selamat kepada para hamba-NYA di dalam al-Qur'an. IA memberikan ucapan selamat kepada hamba-NYA yang taat beribadah kepada-NYA, sebagaimana dalam firman-NYA : "RABB MEREKA MEMBERI UCAPAN SELAMAT KEPADA MEREKA DG RAHMAT, KERIDHAAN DAN JANNAH-NYA, DAN MEREKA MENDAPATKAN DI DALAMNYA KESENANGAN YANG ABADI." (QS. at-Taubah, 9 : 21). Demikian pula IA memberikan ucapan selamat-NYA kepada hamba-hamba-NYA yang jujur dan selalu mengambil yang terbaik, sebagaimana dalam firman-NYA : "DAN OLEH SEBAB ITU SAMPAIKANLAH UCAPAN SELAMAT KEPADA HAMBA-HAMBAKU YANG MENDENGARKAN PERKATAAN LALU MENGIKUTI YANG TERBAIK DIANTARANYA." (QS. az-Zumar, 39 : 17-18). Kebalikan dari hal ini, maka Islam pun melarang kita untuk memperlihatkan kegembiraan atas kesusahan orang lain apalagi jika kemudian menyebarkan keburukan yang dialami oleh saudaranya tersebut kepada orang lain. Kepada mereka yang berbuat demikian, ALLAH SWT mengancam dengan azab yang pedih (artinya hal tersebut merupakan perbuatan dosa besar), sebagaimana firman-NYA dalam al-Qur'an : "SESUNGGUHNYA ORANG-ORANG YANG SUKA AGAR PERBUATAN KEJI ITU TERSIAR DIKALANGAN ORANG BERIMAN, MAKA BAGI MEREKA AZAB YANG PEDIH DI DUNIA DAN DI AKHIRAT." (QS. an-Nur, 24 : 19). Ucapan selamat ini pun berlaku bagi non-muslim, artinya kita dibolehkan bergembira dan mengucapkan selamat atas kegembiraan yang diraih oleh kenalan atau pun kolega yang non-muslim (dzimmi), sepanjang tidak berkaitan dengan masalah aqidah dan ibadah (seperti ucapan selamat untuk hari keagamaan tertentu misalnya), karena dalam masalah aqidah dan ibadah maka bukanlah termasuk halhal yang masuk dalam wilayah bolehnya ditoleransi. Pembolehan pengucapan selamat dalam selain masalah aqidah dan ibadah ini didasarkan pada sunnah para sahabat ra, sebagaimana diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra, katanya : Seandainya Fir'aun berkata kepadaku : Semoga Tuhan memberikan kebaikan atasmu, maka

Pustaka_Nailul
akan saya jawab : Dan juga atasmu. Tetapi Fir'aun telah mati [2]. Dibolehkan juga berdoa untuk orang kafir (dzimmi) sepanjang bukan doa yang berkaitan dengan keselamatan, rahmat dan barakah ALLAH SWT (atau yang semisal dengan itu). Artinya seperti doa agar ia diberi hidayah, dipanjangkan umur dan diberikan kesehatan, dan sebagainya. Sebagaimana dalam atsar sahabat berikut ini : Dari Uqbah bin Amir al-Juhani bahwa ia melewati seorang yang penampilannya seperti muslim, maka ia pun mengucapkan salam dan dijawab oleh orang itu. Maka seorang anak tiba-tiba berkata kepadanya : Ia itu orang Nasrani! Maka Uqbah menghampirinya kembali lalu berkata : Sesungguhnya rahmat dan barakah ALLAH hanyalah bagi orang-orang mu'min. Tetapi semoga ALLAH memanjangkan hidupmu dan membuat harta dan anakmu menjadi banyak [3]. --[1] HR. Bukhari dalam Adabul Mufrad, 423/544 dan di-shahih-kan oleh Albani dalam ash-Shahihah (450). [2] HR. Bukhari dalam Adabul-Mufrad, dan di-shahih-kan oleh Albani dalam ashShahihah (2/329). [3] HR. Bukhari dalam Adabul Mufrad, dan di-shahih-kan oleh Albani (al-Irwa 1274). Dan dia (Albani) berkata : Aku katakan atsar dari sahabat yang mulia ini menunjukkan bolehnya berdoa untuk panjang umur, sekalipun untuk orang kafir, apalagi untuk orang muslim tentu lebih utama. Tapi harus diperhatikan bahwa orang kafir itu haruslah bukan musuh ummat Islam, dan karenanya berlaku juga ta'ziyyah kepada mereka, berdasarkan hal yang terkandung dalam atsar ini, maka ambillah faidah (hukum) ini.

(#) Hadits Riwayat : 1. Abu Daud, kitab al-Adab, bab Ikhbarur Rajuli ar-Rajula bi Mahabbatihi lahu. 2. Tirmidzi, kitab az-Zuhdu, bab Ma Ja'a fi I'lamil Hubbi. 3. Di-shahih-kan oleh Syaikh Albani dalam ash-Shahihah (417, 2515). *) Seri Sosiologi Islam : Pandangan Islam terhadap Aspek-aspek Sosiokultural Masyarakat Modern (6)

Pustaka_Nailul

Islam dan Sains


Penulis : Nabiel Fuad Al-Musawa KotaSantri.com : "Barangsiapa ditanya tentang suatu ilmu, lalu ia menyembunyikannya, maka kelak di hari Kiamat akan dijahit mulutnya dengan jahitan dari api neraka." (#) Sepengetahuan kami, tidak ada dalam aliran agama dan pemikiran manapun di dunia ini, baik yang terdahulu (seperti Kristen, Hindu dan Budha) maupun kontemporer (kapitalisme, westernisme, sosialisme, pluralisme) yang sampai memberikan support demikian kuat kepada anggotanya untuk belajar dan mengajarkan ilmu (dalam arti umum, bukan hanya ilmu agama ansich), bahkan dengan memberikan ancaman yang demikian keras hanya karena tidak mau menjawab sebuah pertanyaan tentang ilmu padahal ia mengetahuinya... Demikianlah kesempurnaan sistem ilahiah dan rabbaniah yang merupakan sistem tertinggi yang tidak dapat ditandingi oleh sistem manapun dalam kesempurnaannya di segala aspek kehidupan yang dibutuhkan oleh penganutnya. Demikian tinggi perhatian Islam pada ilmu pengetahuan, sehingga ALLAH SWT melalui lisan rasul-NYA yang mulia melarang bersikap iri hati kecuali kepada 2 kelompok orang, salah satunya orang yang dianugerahi ilmu lalu ia memanfaatkan dan mengajarkan ilmunya tersebut siang dan malam [1]. Lebih jauh, nabi SAW menyebutkan balasan Jannah bagi orang-orang yang sedang berusaha menempuh jalan untuk menuntut ilmu [2], bahkan dalam riwayat lain disebutkan secara lengkap sebagai berikut : "Barangsiapa menempuh jalan untuk menuntut ilmu, maka akan ALLAH mudahkan baginya jalan menuju Jannah. Sungguh para malaikat itu membentangkan sayapnya untuk orang yang menuntut ilmu karena ridha dengan hal tersebut. Bahwasannya penghuni langit dan bumi sampai ikan-ikan dan kerang di dasar samudera memintakan ampunan kepada orang yang berilmu. Keutamaan orang alim dari seorang abid (ahli ibadah) adalah bagaikan keutamaan bulan purnama dari bintang-bintang. Sungguh para ulama itu adalah pewaris nabi dan para nabi tidak mewariskan dinar dan dirham akan tetapi mewariskan ilmu pengetahuan. Maka barangsiapa yang menuntut ilmu, maka ia telah mengambil bagian yg sempurna." [3]. Keutamaan belajar ilmu dan mengajarkannya bagi pelakunya dalam Islam juga tidak hanya berhenti sebatas di dunia ini saja, melainkan pahala dan keutamaannya tersebut akan terus mengalir kepada orang tersebut sampai setelah ia lama mati [4] sepanjang perbuatan mencari dan mengajarkan ilmu tersebut semata-mata ikhlas ditujukan untuk mencari ridha ALLAH SWT, ada pun jika tujuan mencari ilmu tersebut untuk kepentingan sesaat (duniawi) yang rendah dan buruk, maka hukumanlah yang akan ia dapatkan di akhirat kelak, sebagaimana sabda nabi SAW : "Barangsiapa yang mempelajari ilmu yang seharusnya bertujuan untuk mencari ridha ALLAH 'Azza wa Jalla, lalu ia mempelajarinya dengan tujuan hanya untuk mendapatkan kedudukan dunia, maka kelak di hari Kiamat ia tidak akan mendapatkan wanginya Jannah." [5]. Islam pun menggariskan bahwa tidak semua manusia memiliki kemampuan yang sama dalam menyerap dan memahami ilmu pengetahuan, ada yang genius, ada yang moderat dan ada pula yang lemah akalnya (idiot); sebagaimana dalam sabda nabi SAW : "Perumpamaan petunjuk dan ilmu yang diberikan ALLAH SWT kepadaku bagaikan hujan yang menimpa bumi. Sebagian tanah ada yang subur, lalu tumbuhlah berbagai tumbuh-tumbuhan dan rerumputan yang banyak. Namun ada pula tanah yang kering namun masih bisa menyimpan air, lalu ALLAH SWT memberikan manfaatkan kepada manusia, mereka bisa minum dari air tersebut dan memberi makanan ternak dan bertani. Ada lagi air yang menimpa bagian bumi yang datar dan lunak yang tidak dapat menyimpan air dan tidak dpt menumbuhkan tumbuhan. Demikianlah perumpamaan orang alim dalam masalah agama dan

Pustaka_Nailul
mengerjakannya, dan perumpamaan orang yang tidak dapat menerima petunjuk ALLAH yang diturunkan kepada mereka." [6]. Maka ketika kaum muslimin mendalami dan mengamalkan agamanya dengan benar, penuhlah dunia dengan para ilmuwan dan saintek muslim seperti di bidang kedokteran : Kitab Ibnu Sina, al-Qanun (abad-12) & Al-Hawi (ar-Razi) menjadi sumber pengetahuan kedokteran di Barat sampai abad-16; Raja Friederich-II dari Perancis meminta putra-putra Ibnu Rusyd (menurut ejaan Barat dibaca : Averoes) untuk tinggal diistananya mengajarinya ilmu Botani & Zoologi; Paus Gerbert (bergelar Sylvestre-II) mengajar ilmu-ilmu alam pada tahun 1552-1562 yang kesemuanya dipelajarinya di Universitas Islam Andalusia di Spanyol; Bahkan menurut Gustave Le Bon (sejarawan Perancis) bahwa ahli-ahli Barat seperti Roger Bacon, Leonardo da Vinci, Albertus Magnus, dan lain-lain dibesarkan dalam era keemasan perpustakaan pengetahuan Islam & Arab [7]. Kesemuanya itu kemudian diganti oleh generasi berikutnya yang menjauh dari nilai-nilai Islam dan bermaksiat kepada ALLAH SWT, sehingga sedikit demi sedikit kepemimpinan kaum muslimin digantikan oleh generasi yang meninggalkan shalat dan mengikuti syahwat[8]. Demikianlah ALLAH SWT mencabut ilmu dari kaum muslimin tidak secara sertamerta, tapi melalui diwafatkannya orang-orang yang berilmu dan bertaqwa dan digantikannya dengan orang-orang yang bodoh dan sesat yang memimpin manusia, sehingga mereka sesat dan menyesatkan orang lainnya [9]. ALLAHu a'lam bsih Shawab... --(#) Hadits Riwayat : 1. Abu Daud, hadits no. 3658. 2. Tirmidzi, hadits no. 2651. 3. Ibnu Majah, hadits no. 261. 4. Menurut Tirmidzi sanadnya hasan, sedangkan menurut Ibnu Hibban hadits ini shahih (no. 95), juga dalam shahih-nya dalam bab AbduLLAH bin Umar (96). [1] HR. Bukhari, I/152-153; Muslim hadits no. 816. [2] HR. Muslim, hadit no. 2699. [3] HR. Abu Daud no. 3641-3642; Tirmidzi, no. 2683; Ibnu Majah, no. 223; dan dishahih-kan oleh Ibnu Hibban (74-75) melalui riwayat Abu Darda ra; juga dari riwayat Jabir bin Muth'im ra yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad (IV/80) dan dishahih-kan oleh al-Hakim (I/86-87); juga dari riwayat Zaid bin Tsabit ra yang diriwayatkan juga oleh Imam Ahmad (V/183); hadits ini juga diriwayatkan oleh adDarami (I/75) dan di-shahih-kan oleh Ibnu Hibban (72-73). [4] HR. Muslim, hadits no. 1631. [5] HR. Abu Daud (3664); Ibnu majah (252); dan di-shahih-kan oleh Ibnu Hibban (89) dan al-Hakim (I/85) dan disepakati oleh adz-Dzahabi. [6] HR. Bukhari I/150-151, VI/152; Muslim (1037). [7] DR Musthafa as-Siba'i, Min Hadharatina. [8] QS. Maryam, 19/59. [9] HR. Bukhari I/174-175; Muslim (2673). *) Serial Sosiologi Islam : Pandangan Islam terhadap Aspek-aspek Sosiokultural Masyarakat Modern (7)

Pustaka_Nailul

Islam dan Lingkungan Hidup


Penulis : Nabiel Fuad Al-Musawa KotaSantri.com : "Barangsiapa yang menyayangi walaupun terhadap binatang yang akan disembelih, maka ALLAH SWT akan menyayanginya pada hari Kiamat kelak." (#) Islam adalah Diin yang Syaamil (Integral), Kaamil (Sempurna) dan Mutakaamil (Menyempurnakan semua sistem yang lain), karena ia adalah sistem hidup yang diturunkan oleh Yang Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana, hal ini didasarkan pada firman ALLAH SWT : "Pada hari ini AKU sempurnakan bagimu agamamu dan AKU cukupkan atasmu nikmatku, dan AKU ridhai Islam sebagai aturan hidupmu." (QS. 5 : 3). Oleh karena itu aturan Islam haruslah mencakup semua sisi yang dibutuhkan oleh manusia dalam kehidupannya. Tidak ada satu celah pun dalam kehidupan seorang muslim yang tidak ditemui aturannya dalam Islam, dari sejak cara mengelola negara dan rakyat sampai dengan cara berbicara dan berjalan pun tak lepas dari rambu-rambu Sang Maha Teliti lagi Maha Mengurus Makhluq-NYA, lihatlah firman ALLAH SWT tentang cara berbicara dan berjalan dalam Kalam-NYA : "Maka sederhanakanlah kalian ketika berjalan dan rendahkanlah suara kalian (ketika berbicara)..." (QS. 31 : 19). Demikian tinggi, indah dan terperinci aturan Sang Maha Rahman dan Rahim ini, sehingga bukan hanya mencakup aturan bagi sesama manusia saja, melainkan juga terhadap alam dan lingkungan hidupnya, Sang RABB al-Jalil SWT telah jauhjauh hari memetakan rambu-rambu-NYA, jauh sebelum Barat dengan Green-Peace dan Sustainable-Development-nya ditemukan... Salah satunya adalah hadits di atas dan hadits-hadits lainnya, seperti hadits berikut ini misalnya : "Suatu ketika ada seorang yang banyak dosa yang sedang melakukan perjalanannya dalam keadaan sangat haus, lalu menemukan sumur dan turun ke dalamnya, lalu ia minum dan terus keluar. Tiba-tiba ia melihat seekor anjing yang menjulurkan lidahnya karena kehausan sambil menjilat-jilat di tanah. Maka orang itu turun kembali dan membuka sepatunya lalu mengisinya dengan air lalu ia memanjat kembali dengan menggigit sepatunya agar air tidak jatuh untuk memberi minum anjing itu, maka ALLAH SWT meridhoi orang tersebut dan mengampuni semua dosanya. Maka para sahabat bertanya : Ya RasuluLLAH! Apakah pada binatang kita bisa mendapat pahala? Maka jawab al-Musthafa SAW : Pada setiap jantung yang berdenyut ada pahala." (HR. Bukhari kitab al-Masaqah, bab Fadhlu Saqyil Mai; dan Muslim kitab as-Salam hadits no. 153). Demikian pula sebaliknya ALLAH Yang Maha Rahman dan Rahim bahkan mengazab seorang ahli ibadah karena perbuatannya menyiksa binatang, sebagaimana dalam hadits berikut ini : "Seorang wanita ahli ibadah disiksa akibat seekor kucing yang dikurungnya sehingga mati kelaparan, maka akibat perbuatannya pada kucing itu ia masuk neraka. Dikatakan kepadanya : Engkau tidak memberikan makanan atau minuman kepadanya waktu engkau mengikatnya dan engkaupun tidak melepaskannya sehingga ia bisa memakan kutu-kutu yang merayap di tanah sehingga ia mati." (HR Bukhari kitab al-Masaqah, bab Fadhlu Saqyil Mai ; dan Muslim kitab as Salam hadits no. 151). Wanita ahli ibadah yang taat itu dimasukkan ke neraka hanya karena ia telah menyiksa seekor binatang kecil yang lemah dan tidak berdaya, sehingga ia tidak mampu sekedar memakan kutu yang merayap di tanah... SubhanaLLAH... Wanita tersebut masuk neraka (padahal ia seorang ahli ibadah) karena tidak mau menghargai sebuah jantung yang berdenyut... Sungguh sebuah sistem yang luar biasa, dan tidaklah mungkin ada sebuah sistem di dunia ini yang mampu menempatkan kedudukan binatang dan lingkungan setinggi ini...

Pustaka_Nailul
--(#) Hadits ini dikeluarkan oleh Syaikh Nashiruddin al Albani dalam kitabnya Shahih Adabul Mufrad lil Imam al-Bukhari, hadits no. 381. *) Serial Sosiologi Islam : Pandangan Islam terhadap Aspek-aspek Sosiokultural Masyarakat Modern (8)

Pustaka_Nailul

Islam dan Produktivitas


Penulis : Nabiel Fuad Al-Musawa KotaSantri.com : "Jika Kiamat datang, sementara di tangan salah seorang diantaramu ada sebuah biji Kurma, lalu ia mempunyai kesempatan untuk menanamnya sebelum Kiamat terjadi, maka hendaklah ia tanamkan, karena dengan demikian ia akan mendapatkan pahala. (#) Apa yang terlintas di benak kita ketika Kiamat akan datang besok hari? Barangkali kita menduga nabi SAW akan menganjurkan untuk banyak beribadah, mensucikan diri di mesjid-mesjid demi menghadapi Hari yang Maha Dahsyat tersebut... Atau terlintas pada diri kita bahwa RasuluLLAH SAW akan memerintahkan kita untuk banyak beristighfar, dan melakukan muhasabah atas seluruh dosa-dosa yang telah kita lakukan sambil menangis khusyu di mihrab-mihrab kita... Atau juga terlintas di benak kita bahwa beliau SAW akan meminta kita meninggalkan seluruh urusan dunia, meninggalkan semua bisnis dan perniagaan serta kegiatan pencarian nafkah untuk semata-mata mensucikan, memuji dan mengagungkan ALLAH SWT... Ternyata hal itu tidak terjadi... Ya Tuhan... Sang Pemimpin para nabi dan manusia termulia dan terjaga dari kesalahan (mashum) ini malah memerintahkan bagi mereka yang masih memegang biji Kurma agar menanamkannya, sedangkan biji tersebut tidak akan berbuah kecuali setelah bertahun-tahun kemudian, sementara Kiamat sudah akan terjadi esok hari... Kalimat ini tidak akan muncul kecuali dari mulut seorang nabi tertinggi, hanya agama Islam-lah yang mungkin untuk mengajarkan kesatuan antara agama dan dunia seerat ini dan hanya kaum musliminlah yang mendapatkan petunjuk yang mampu menyatukan seluruh potensi yang dimiliki oleh manusia dengan tanpa sedikit pun terjadi pertentangan dan sempurna seperti ini... *** Fiqih Hadits 1. Islam tidak membedakan antara dunia dengan akhirat, Islam memerintahkan untuk mengejar akhirat sebagaimana Islam juga memerintahkan kita untuk memakmurkan dunia. Telah lama manusia lalai dari hakikat ini, sehingga mereka terus-menerus memisahkan antara dunia dengan akhirat, antara ibadah dengan kerja, antara ruh dengan jasad dan antara agama dengan kehidupan. Sehingga hal ini telah menimbulkan kerusakan besar pada dunia dan agama karena keduanya adalah bagian dari kesatuan yang tak terpisahkan, dunia adalah ladang bagi akhirat sehingga seluruh aspek kehidupan kita baik ibadah dan kerja kita harus kita sesuaikan dengan aturan ALLAH SWT. Hal inilah yang dilakukan oleh Nabi SAW, sehingga beliau shalat sebagaimana juga mengelola negara, beliau shaum sebagaimana juga beliau bermasyarakat, beliau berzikir sebagaimana juga mengirim delegasi politik. "Wahai RABB kami berikanlah kepada kami kebaikan di dunia dan juga kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari azab neraka." (QS. 2) 2. Islam sangat menghargai produktifitas dan kerja, sehingga dalam Islam tiada hari tanpa aktifitas dan produktifitas, demikian tinggi perhatian Islam terhadap kerja sehingga berkali-kali ALLAH SWT bersumpah agar ummat Islam sangat disiplin dalam membagi waktu-waktunya : Demi waktu (QS. 103 : 1), demi waktu Fajar (QS. 89 : 1), demi waktu Dhuha (QS. 93 : 1), demi waktu malam (QS. 92 : 1), demi waktu siang (QS. 92 : 2); sehingga sebagai seorang muslim kita harus pandai mengatur waktu antara aktifitas hablum minaLLA dan hablum minan naas; semuanya harus dilakukan dengan adil dan seimbang karena nabi SAW melarang

Pustaka_Nailul
sahabatnya ketika ada 3 orang dari mereka yang berniat untuk mencurahkan seluruh waktunya untuk hanya melakukan ibadah mahdhah (ritual ibadah) saja dengan meninggalkan urusan duniawi manusia seperti menikah, tidur dan makan. 3. Pelajaran berharga juga bagi para Dai agar tidak pernah berputus asa dalam melakukan dakwahnya, karena semua pekerjaan kita baik ibadah maupun kerja semuanya akan didapatkan hasilnya kelak di akhirat. Semua dakwah dan perjuangannya akan mendapatkan nilai disisi ALLAH SWT, walaupun kelihatannya ketika di dunia hal tersebut tidak berhasil. Sekalipun masyarakat tidak menerima dakwahnya dan bahkan memusuhi serta memeranginya. Tanamlah benih itu, lalu angkatlah tanganmu untuk berdoa kepada ALLAH, rawatlah ia sebaik-baiknya, kamu tidak perlu mengkuatirkan besarnya ancaman dan penghadangan yang menghadang karena hasilnya akan dapat kamu rasakan nanti, baik berupa kemenangan dakwah itu di dunia, atau kalau pun tidak berhasil menang di dunia maka pahala ALLAH pasti menantimu di akhirat kelak. Apalah artinya dirimu dengan kekuasaan dan karunia ALLAH SWT yang Maha Luas tanpa batas dan akhir, tetaplah di jalan ALLAH SWT dan istiqamahlah maka kelak kamu akan melihat hasil panennya nanti... --(#) Hadits ini ditakhrij oleh Ali bin Abdil Aziz dalam al-Muntakhab dengan isnad yang hasan dari Anas ra;. Lihat juga Kitab umdatul qari fi syarhin shahihil Bukhari oleh Syaikh Badaruddin al Aini, bab al-Hartsu waz Ziraah. *) Serial Sosiologi Islam : Pandangan Islam terhadap Aspek-aspek Sosiokultural Masyarakat Modern (9)

Pustaka_Nailul

Islam dan Profesionalisme


Penulis : Nabiel Fuad Al-Musawa KotaSantri.com : "Sesungguhnya ALLAH SWT mewajibkan IHSAN atas segala hal, jika kalian membunuh maka Ihsan-lah dalam membunuh tersebut, jika kalian menyembelih binatang maka Ihsan-lah dalam menyembelih tersebut, dan hendaklah kalian mengasah/menajamkan terlebih dahulu pisaunya dan melegakan sembelihannya." (#) ALLAH Yang Maha Rahman dan Maha Rahim memerintahkan kita melalui lisan nabi kita SAW bahwa salah satu hal yang diwajibkannya dalam syariah adalah berbuat IHSAN yang maknanya adalah sempurna dalam berbuat kebaikan (hasan berarti baik, tapi ihsan berarti lebih/mengandung makna bersangatan). Alangkah indahnya hadits ini yang menyatakan bahwa sempurna dalam semua perbuatan yang baik dan tidak melakukannya dengan asal-asalan merupakan salah satu dari kewajiban syariat (bukan suatu hal yang sunat atau mubah), sehingga orang yang melakukannya akan mendapatkan pahala dan orang yang meninggalkannya akan mendapatkan dosa. Demikian dalam kandungan hadits ini, sehingga kita dapat melihat dalam sejarah Islam generasi terdahulu bahwa mereka selalu melakukan semua pekerjaan dengan IHSAN. Untuk menyebutkan suatu contoh dalam Sirah disebutkan sebuah atsar tentang pertanyaan RasuluLLAH SAW pada suatu pagi pada para sahabatnya : Siapakah yang pagi ini telah melakukan shalat malam? Maka Abubakar menjawab : Saya ya rasuluLLAH! Lalu tanya nabi SAW lagi : Siapakah yang pada pagi ini berpuasa? Maka menjawab lagi Abubakar : Saya ya rasuluLLAH! Maka tanya nabi SAW lagi : Siapa yang pagi ini memberi makan orang miskin? Menjawab Abubakar : Saya ya rasuluLLAH! Nampak dari hadits tersebut bagaimana ihtimam (perhatian) yang tinggi dari para sahabat ra terhadap semua amal kebaikan dan mereka melakukan semua amal tersebut dengan sebaik-baiknya dan tidak memilih-milih, sehingga mereka menjadi orang yang paling khusyu shalatnya, paling banyak membantu orang lain, paling banyak melakukan jihad di jalan ALLAH, paling banyak hafalan al-Qurannya, paling adil dan bijaksana dalam memimpin ummat, paling kuat menahan marahnya, paling banyak bersilaturrahim, paling rendah hati dalam pergaulan, paling pengasih pada semua makhluk, dan seterusnya... Sehingga nabi SAW pada suatu hari pernah menjelaskan tentang orang-orang yang nanti akan masuk syurga dipanggil melalui pintu-pintu yang sesuai dengan amalnya yang terbaik, ada yang dipanggil dari pintu shalat, ada yang dari pintu puasa (arRayyan), ada yang dari pintu shadaqah, ada yang dari pintu jihad, dan seterusnya. Maka bertanya Abubakar : Ya rasuluLLAH! Adakah orang yang akan dipanggil dari semua pintu itu? Maka jawab nabi SAW : Naam wa arjuka minhum (Ada, dan saya berharap antum termasuk orang yang akan dipanggil dari semua pintu itu...) SubhanaLLAH... --(#) Hadits Riwayat : 1. Muslim, kitab ash Shaid wadz Dzabaih wa ma yakulu minal Hayawan, hadits no. 3615. 2. Abu Daud, kitab adh-Dhahaya, hadits no. 2432. 3. Ibnu Majah, bab adz-Dzabaih, hadits no. 3161. 4. Nasai, kitab adh-Dhahaya, hadits no. 4329. 5. Ad Darami, kitab al-Adhahi, hadits no. 1888. *) Serial Sosiologi Islam : Pandangan Islam terhadap Aspek-aspek Sosiokultural Masyarakat Modern (10)

Pustaka_Nailul

Islam dan Wanita


Penulis : Nabiel Fuad Al-Musawa KotaSantri.com : "Orang Mu'min yang paling sempurna Imannya adalah orang yang paling baik akhlaqnya dan orang yang paling baik diantara kalian adalah orang yang paling baik terhadap istri-istrinya." (#) Ketika semua peradaban yang ada di dunia melecehkan dan menghina derajat wanita, maka Islamlah yang pertama kali memuliakan dan mengangkat derajat mereka. Telah diketahui secara umum bagaimana peradaban Romawi dan Yunani (yang merupakan akar peradaban Barat pada masa itu) dan peradaban Persia, Tiongkok dan Hindu (yang merupakan akar peradaban Timur) mendudukkan derajat wanita, wanita hanya dijadikan pemuas nafsu laki-laki dan diperjualbelikan sebagai komoditas terutama bagi para pemilik kapital dan bangsawan, dan tidak memiliki nilai serta hak bicara sedikit pun di masyarakatnya. Kita dapat melihat semua ini antara lain dalam bukunya Karl Marx : Das Kapital, atau dalam sejarah revolusi Bolshevik, revolusi Perancis dan revolusi Industri. Maka tenang dan damailah hatimu wahai para wanita, karena walaupun Islam menggariskan Jannahmu tergantung pada keridhaan suamimu, tapi Islam pun telah menetapkan bahwa Jannah anakmu yang laki-laki adalah tergantung pada keridhaanmu. Itulah keadilan Islam dan itulah ke Maha Bijaksanaan ALLAH SWT, RABB-mu yang Maha Mengetahui dan Maha Sempurna hukum-NYA, namun kebanyakan manusia tidak mengetahui... Saya tidak akan membahas dengan detil tentang bagaimana satu-persatu peradaban tersebut memandang dan mendudukkan derajat kaum wanita, anda bisa membacanya sendiri dalam naskah-naskah sejarah berbagai peradaban kuno sampai awal abad ke-19. Hal seperti itu pulalah yang terjadi pada kebudayaan Arab Jahiliyyah, sampai ketika Islam datang dan mengubah semuanya 180 derajat dan mendudukkan wanita pada kedudukannya yang tinggi tanpa mampu ditandingi oleh peradaban yang ada saat itu. Lihatlah hadits di atas, saat manusia di seluruh penjuru dunia ini menjadikan wanita hanya sebagai pemuas nafsu seksual belaka, mewariskan istri mereka kepada keluarganya seakan-akan wanita sama dengan barang yang bisa dipindah dan diberikan, membunuh anak wanitanya hidup-hidup di tengah padang pasir yang panas membara... Lalu datanglah manusia teragung itu yang mengatakan : Sebaik-baik kalian adalah mereka yang paling baik terhadap istrinya...

Bisakah anda bayangkan itu? Tidakkah anda perhatikan itu semua terjadi di tengah peradaban dunia yang telah demikian kerasnya menindas para wanita? Tapi tunggu dulu saudaraku, jangan dulu merasa kagum, marilah aku tambahkan perkataan dari manusia langit itu untukmu, yaitu ketika seorang lelaki bertanya pada beliau SAW : "Wahai rasuluLLAH! Siapa yang harus aku perlakukan dengan baik? Maka jawab Nabi SAW : Ibumu! Lalu tanya orang itu lagi : Lalu siapa lagi? Jawab nabi SAW lagi : Ibumu! Lalu tanya orang itu lagi : Lalu siapa lagi? Jawab nabi SAW : Ibumu! Lalu tanya orang itu lagi : Lalu siapa lagi? Maka jawab nabi SAW : Ayahmu! Lalu kerabatmu yang terdekat, lalu kerabat yang dekat." [1] Lalu siapakah yang masih berkata bahwa Islam menghinakan kaum wanita?! Siapakah yang telah melupakan bagaimana eksploitasi dan penghinaan besarbesaran mesin kapitalisme imperialis terhadap para wanita, lalu berusaha matimatian namun sia-sia mencari kelemahan Islam?! Di negara manakah sebenarnya wanita lebih banyak diperkosa dan dilecehkan seksualnya sampai di era modern saat ini, apakah di negara Barat ataukah di negara muslim?! Tidakkah mereka mau merenungkan hadits berikut ini : "Bahwa seorang mendatangi Ibnu Abbas ra lalu

Pustaka_Nailul
berkata : Aku membunuh orang, apakah masih ada taubat bagiku? Maka tanya Ibnu Abbas : Apakah Ibumu masih hidup? Jawabnya : Tidak. Maka kata Ibnu Abbas : Bertobatlah kepada ALLAH dan mendekatlah kepada-NYA sekuat tenagamu. Lalu Atha bin Yasar (perawi hadits itu) bertanya pada Ibnu Abbas; Mengapa engkau bertanya tentang ibunya? Jawab Ibnu Abbas : Sungguh aku tidak mengetahui ada amalan yang lebih dekat pada ALLAH SWT selain berbuat baik kepada ibu." [2] Ketika kaum feminis memperjuangkan pengakuan kesamaan derajat kaum wanita atas pria, maka mereka tertinggal jauh sekali dengan Islam, karena Islam menyatakan bahwa perjuangan seorang wanita/ibu tidak akan mampu disamai oleh kaum pria walau ia telah melakukan apapun untuk membalasnya. Dari Abu Burdah : Aku melihat Ibnu Umar sedang thawaf di Ka'bah bersama seorang laki-laki dari Yaman yang telah berangkat menempuh perjalanan dari Yaman sambil terus menggendong ibunya, laki-laki itu berkata (kepada Ibnu Umar) : Sungguh aku dihadapannya (ibuku) bagaikan unta yang hina, tapi kelebihanku adalah kalau unta bisa mengejutkan penunggangnya maka aku tidak pernah mengejutkan (ibuku). Wahai Ibnu Umar apakah aku telah bisa membalas jasanya? Kata Ibnu Umar : Belum! Bahkan itu masih belum sebanding dengan tarikan-tarikan nafasnya saat ia melahirkanmu..." [3] Ad Dunya mata' wa Khairu Mata'iha al-Mar'atus Shalihah... [4] (Dunia adalah perhiasan dan sebaik-baik perhiasannya adalah wanita yang shalihah). --(#) Hadits Riwayat : 1. Tirmidzi, hadits no. 1162, dengan sanad hasan. 2. Ahmad, hadits no. 2/251, 472; dan di-shahih-kan oleh Ibnu Hibban (1311) dan al-Hakim 1/3. 3. Hadits ini ada syahid dari hadits Aisyah ra yang diriwayatkan oleh Ahmad 6/47 dan Tirmidzi (2615) dan al-Hakim 1/53 dengan lafzh : "Sesungguhnya termasuk sempurnanya Iman seorang Mu'min adalah baiknya akhlaqnya dan sebaik-baik kalian adalah yang paling lembut pada keluarganya." [1] HR. Tirmidzi, kitab al-Birru wash Shilah, bab Ma Ja'a fi Birril Walidain, dan dihasan-kan oleh Albani (al-Irwa : 829, 2232). [2] HR. Bukhari dalam Adabul Mufrad dan di-shahih-kan oleh Albani (Silsilah Ahadits ash Shahihah, 2799). [3] HR. Bukhari, dalam Adabul Mufrad dan di-shahih-kan oleh Albani. [4] HR. Muslim, hadits no. 1467. *) Serial Sosiologi Islam : Pandangan Islam terhadap Aspek-aspek Sosiokultural Masyarakat Modern (11)

Pustaka_Nailul

Islam dan Buruh


Penulis : Nabiel Fuad Al-Musawa KotaSantri.com : "Kata-kata terakhir yang keluar (dari mulut) nabi SAW adalah : (Ummatku peliharalah) shalat... (Ummatku peliharalah) shalat... Takutlah kepada ALLAH atas hamba yang kalian miliki..." (#) Hamba sahaya adalah kedudukan yang paling rendah bagi manusia, ia oleh sebab itu lebih rendah dari pembantu rumahtangga, karena seorang hamba sahaya tidak hanya harus bekerja bagi tuannya tetapi juga ia tidak memiliki hartanya dan bahkan kebebasan bagi dirinya sendiri, ia senantiasa harus mengabdi pada tuannya. Seorang hamba pada masa-masa pra-Islam, oleh karenanya boleh diperlakukan semena-mena karena ia adalah milik tuannya. Ketika al-Qur'an dan as-Sunnah berbicara tentang perbudakan maka bukan berarti ia meridhai adanya perbudakan, karena berbagai sanksi hukum dalam al-Qur'an dan as-Sunnah selalu mensyaratkan pembebasan budak sebagai pemenuhannya, yang kesemuanya ini merupakan endorcement bagi penghapusan perbudakan secara perlahan-lahan. Nabi SAW senantiasa memuliakan buruh dengan pemuliaan yang tidak terbayangkan dapat dilakukan dalam sebuah peradaban yang sangat kejam menindas para buruh, lihatlah sabda beliau SAW pada Ali ra ketika beliau SAW memberikan seorang budak kepadanya, sebagai berikut ; "Jangan engkau pukul dia karena aku dilarang memukul seseorang yang ahli-shalat, dan aku melihat dia selalu shalat sejak dia datang kepada kami." [1]. Demikian perhatian dan pengasihnya nabi SAW terhadap para "pembantu" yang dianggap paling hina tersebut sehingga beliau sering menasihati dan bahkan memarahi para sahabatnya yang bersikap keras dan kasar tanpa sebab kesalahan dari para buruhnya, simaklah hadits berikut ini : Dari Abu Mas'ud ra dia berkata : "Aku pernah memukul pembantuku yang laki-laki, tiba-tiba aku mendengar suara di belakangku : KETAHUILAH HAI ABU MAS'UD, SUNGGUH ALLAH LEBIH BERKUASA ATASMU DARIPADA KAMU ATAS PEMBANTUMU. Lalu aku segera menoleh, ternyata ia adalah rasuluLLAH SAW, maka aku berkata : Wahai rasuluLLAH dia kumerdekakan karena ALLAH. Lalu jawab rasul SAW : JIKA HAL ITU TIDAK ENGKAU LAKUKAN, SUNGGUH API NERAKA ITU AKAN MENGENAIMU atau API NERAKA ITU AKAN MENGHANGUSKANMU." [2]. Cobalah lihat hadits tersebut, lalu lihatlah kondisi manusia di masa kini... Bagaimana mereka dengan ringannya memukul, menganiaya dan memeras para buruhnya (baik masyarakat yang mengaku sebagai muslim maupun masyarakat Barat), bahkan lebih kejam dari itu sampai membuat babak-belur atau bahkan membuat cacat buruhnya... Padahal nabi SAW melarang memukul/menampar wajah buruh dan memerintahkan agar para buruh itu membalasnya (melakukan qishash kepadanya) atau majikan tersebut harus memerdekakannya [3]. Sedemikian tingginya kedudukan buruh dan haknya dalam Islam, sehingga nabi SAW memerintahkan para sahabatnya untuk memberikan kepada para buruh mereka makanan yang mereka makan dan memakaikan kepada mereka pakaian yang mereka pakai! Kata beliau SAW : "Berikanlah makanan kepada mereka dari makanan yang engkau makan dan berikanlah pakaian yang engkau pakai." [4]. Sedemikian hingga para sahabat yang kaya dan memakai pakaian yang indah juga memakaikan pakaian yang sama pada para buruh mereka, dan ketika ada yang bertanya tentang hal tersebut pada mereka (para sahabat tersebut) maka mereka menjawab : Memberikan yang demikian itu (harta benda) pada mereka itu lebih mudah bagiku, daripada kebaikanku diambil nanti di Hari Kiamat (oleh mereka) [5]. Tidak hanya sampai disitu, nabi SAW-pun memerintahkan agar memberi beban

Pustaka_Nailul
pekerjaan sesuai dengan kemampuannya dan melarang majikan untuk membebaninya dengan pekerjaan yang tak sanggup dilakukannya, kata beliau SAW : "Sesungguhnya saudara-saudaramu adalah buruhmu, (karena) ALLAH menjadikan mereka dibawah kekuasaanmu. Maka barangsiapa yang saudaranya berada di bawah kekuasaannya maka hendaklah memberi makan kepadanya dari sesuatu yang ia makan dan memberi pakaian kepadanya dari sesuatu yang ia pakai, serta janganlah ia membebani mereka sesuatu yang tidak mampu dijalankan oleh mereka. Jika engkau terpaksa membebani mereka sesuatu yang memberatkan mereka maka bantulah mereka." [6]. Maka bagaimanakah saudaraku? Apakah kiranya engkau renungkan hal tersebut? Masih adakah demo para buruh yang dilakukan karena menuntut para majikannya jika aturan (syariat) Islam diterapkan? Masih adakah demo para buruh yang menuntut upah kerja minimal mereka atau hak-hak hidup layak mereka atau pesangon bagi mereka ketika mereka di-PHK? Justru nabi SAW saat peradabannya menempatkan para buruh pada tingkat terendah telah mengangkat mereka pada tingkat yang belum mampu dicapai oleh peradaban modern saat ini, tidakkah kau renungkan itu? Masihkah kau ragukan Islam sebagai solusi bagi permasalahan kehidupan era modern maupun aturan terbaik dalam mengatur masyarakat? Lebih tinggi dari itu semua, maka marilah kita saksikan bersama bagaimana pemimpin dan teladan kita Muhammad SAW memperlakukan buruhnya di rumah beliau SAW, melalui kesaksian dari buruhnya sendiri Anas bin Malik ra sebagai berikut : "Aku melayani beliau SAW dalam perjalanan dan ketika dirumahnya, semenjak beliau di Madinah sampai wafatnya (10 tahun lamanya). Nabi SAW tidak pernah sekali pun memarahiku, atau sekedar berkata-kata kepadaku mengenai sesuatu yang aku kerjakan : Mengapa engkau melakukan begini dan begitu? Dan tidak pernah pula beliau berkata kepadaku mengenai sesuatu perintahnya yang belum aku kerjakan : Mengapa tidak engkau lakukan ini dan itu?" [7]. --(#) Hadits Riwayat : 1. Abu Daud, kitab al-Adab, bab Fi Haqqil Mamluk. 2. Ibnu Majah, kitab al-Washaya, bab Hal Ausha RasuluLLAH SAW; hadits no. 2698. 3. Di-shahih-kan oleh Albani, kitab al-Irwa al-Ghalil (2178).

[1] HR. Bukhari, dalam Adabul Mufrad, di-shahih-kan oleh Albani dalam Takhrijul Misykah (3365). [2] HR. Muslim, kitab al-Iman, hadits no. 34-35. [3] HR. Muslim, kitab al-Iman, hadits no. 31, 33; kitab al-Aiman, hadits no. 30-32. [4] HR. Muslim, kitab az-Zuhdi wa Raqa'iq, hadits no.74. [5] Ibid. [6] HR. Bukhari, kitab al-Iman, bab Ith'amul mamluk Mimma Ya'kulu. [7] HR. Bukhari, kitab al-Washaya, bab Istikhdamun fis Safari wal Hadhari; Muslim, kitab al-Fadha'il, hadits no. 52. *) Serial Sosiologi Islam : Pandangan Islam terhadap Aspek-aspek Sosiokultural Masyarakat Modern (12)

Pustaka_Nailul

Islam dan Senioritas


Penulis : Nabiel Fuad Al-Musawa KotaSantri.com : "Barangsiapa yang tidak menyayangi anak-anak muda dan tidak mengetahui hak (dalam riwayat yang lain : tidak menghormati) orang-orang dewasa, maka ia bukanlah golongan kami." (#) Muhammad SAW adalah seorang nabi, bukanlah semata-mata seorang pemimpin yang bijak ataupun seorang pemikir yang jenius saja. Karena jika tidaklah demikian maka tidak mungkin ia akan menempatkan masalah sayang pada yang muda serta hormat pada yang tua ini pada kedudukan sedemikian tingginya. Cobalah anda perhatikan akhir sabdanya itu... BUKANLAH GOLONGAN KAMI... Apa makna katakata ini?! Orang yang tidak menghormati yang tua dan menyayangi yang muda adalah bukan golongan nabi SAW, atau dengan kata lain bukan ummat rasuluLLAH SAW! SubhanaLLAH.. Betapa malangnya dan betapa meruginya mereka yang datang di hari Kiamat kelak dengan berbagai pahala tetapi tidak diakui sebagai ummat beliau SAW. Mengapakah sampai sedemikian keras ancaman beliau SAW itu?! Sebagaimana saya katakan di awal tulisan ini, karena beliau adalah seorang Nabi!!! Seorang pemikir yang brillian ataupun seorang pemimpin yang bijak tidak akan demikian tinggi menempatkan permasalahan ini, cukuplah kalau beliau mengatakannya sebagai sebuah keutamaan atau kebaikan belaka. Tapi sebagai seorang nabi, rasuluLLAH SAW telah menganggap masalah hilangnya penghormatan pada orang dewasa dan lenyapnya kasih-sayang kepada orang muda sebagai sebuah masalah besar, dan bahkan beliau SAW memasukkannya dalam salah satu bentuk pengagungan terhadap kebesaran ALLAH SWT. Simaklah sabdanya yang lain berikut ini : "Sesungguhnya termasuk dalam mengagungkan ALLAH adalah memuliakan orang-orang tua..." [1]. Lebih jauh dari itu dengan wahyu kenabiannya beliau SAW juga memerintahkan kepada seluruh kaum muslimin agar penghormatan kepada yang lebih tua ini diaplikasikan dalam realitas kehidupan keseharian, seperti dalam etika berbicara, beliau SAW selalu memerintahkan agar hendaklah dimulai oleh yang lebih tua, sebagaimana dalam tegurannya kepada AbduRRAHMAN bin Sahl yang memulai pembicaraan, padahal ia adalah yang termuda ketika itu (dari kedua sahabatnya Huwayyishah dan Muhayyishah) [2]. Demikian pula dalam mengangkat seorang menjadi pemimpin jika keilmuan dan keagamaannya setara hendaklah didahulukan yang lebih tua [3], kecuali jika keilmuan dan keagamaan berbeda maka haruslah didahulukan ilmu dan agamanya, sebagaimana dalam sabdanya SAW : Yang paling berhak menjadi Imam bagi suatu kaum adalah yang paling menguasai kitabuLLAH, jika dalam hal tersebut sama derajatnya maka yang paling menguasai as-Sunnah, jika sama pula maka yang paling dahulu hijrah, jika sama hijrahnya maka yang paling tua..." [4]. Beliau SAW tak henti-hentinya mengingatkan, menegur dan memperbaiki ummatnya agar senantiasa menempatkan para senior lebih dahulu dari yang lebih yunior, seperti dalam barisan shalat berjama'ah beliau SAW senantiasa berpesan agar barisan pertama diisi oleh para ahli ilmu dan yang lebih senior [5]. Demikian seterusnya sampai pun dalam menguburkan orang yang meninggal, beliau selalu menanyakan mana yang lebih berilmu? Dan jika sama dalam keilmuan dan keagamaan maka beliau SAW memerintahkan agar yang lebih senior didahulukan penguburannya [6]. Tentunya apa yang beliau lakukan dan biasakan untuk kita lakukan ini tidak berarti membolehkan seorang senior menyombongkan diri dan membangga-banggakan senioritasnya. Hal ini adalah sikap yang sangat tercela dan bukanlah menjadi

Pustaka_Nailul
bagian dari pembahasan kita. Sifat sombong adalah tercela baik karena alasan apapun, apakah karena ilmu, kedudukan, senioritas bahkan karena merasa lebih taqwa sekalipun adalah diharamkan dan sangat dicela dalam Islam, firman ALLAH SWT : "... DAN JANGANLAH KAMU MERASA DIRIMU ITU SUCI, KARENA DIA-LAH YANG LEBIH MENGETAHUI SIAPA YANG LEBIH BERTAQWA (DIANTARAMU)." (QS. an-Najm, 53 : 32). Yang beliau SAW tanamkan adalah sifat tawadhu' (rendah hati) dan menyayangi bagi yang senior dan sebaliknya beliau SAW menanamkan agar para yunior mendahulukan dan menghormati yang lebih senior. Alangkah indah dan serasinya, sehingga kedua sikap ini akan BERKELINDAN DAN bertemu ditengah-tengah dalam hubungan yang sangat erat dan mendalam, antara kasih-sayang dan penghormatan, antara rendah hati dan penghargaan. SubhanaLLAH... Demikianlah pelajaran dan teladan beliau SAW kepada para sahabatnya, sehingga hal ini menjadi kebiasaan dan perilaku keseharian dikalangan generasi para sahabat dan salafus-shalih, sebagaimana perkataan sahabat abu Said alKhudhriy RA : "Ketika masa nabi SAW aku masih remaja, dan aku banyak menghafal perkataan beliau SAW, tidak ada yang menghalangiku untuk banyak menceritakan hadits beliau SAW ketika itu kecuali karena pada saat itu masih banyak para sahabat yang lebih senior dari aku." [7]. --(#) Hadits Riwayat : 1. Abu Daud, kitab al-Adab, bab ar-Rahmah. 2. Tirmidzi, kitab al-Birru wash Shilah, bab Ma ja'a fi Rahmati Shibyan. 3. Di-shahih-kan oleh Albani dalam at-Ta'liqu ar-Raghib (I/66); Lihat juga komentarnya dalam Shahihu Targhib wa Tarhib (I/117). [1] HR. abu Daud dengan sanad hasan, lihat dalam Takhrijul Misykah (4972), juga dalam Ta'liqu ar-Raghib (I/66). [2] HR. Bukhari, kitab al-Adab, bab al-Haramu al-Kabir; Muslim kitab al-Qasamah. [3] HR. Bukhari dalam Adabul Mufrad (147) dengan sanad yang hasan. [4] HR. Muslim (hadits no. 291 dan 673). [5] HR. Muslim (hadits no. 123 dan 432). [6] HR. Bukhari III/170. [7] HR. Bukhari I/363 dan III/162; Muslim (hadits no. 88 dan 964). *) Serial Sosiologi Islam

Pustaka_Nailul

Islam dan Ploretariat


Penulis : Nabiel Fuad Al-Musawa KotaSantri.com : "Aku berdiri di pintu Jannah, maka aku dapatkan kebanyakan yang memasukinya adalah orang-orang yang miskin..." (#) Masyarakat proletar adalah masyarakat kelas bawah yang sering dianggap sebagai masyarakat yang tak berdaya bahkan terbuang (marjinal), oleh karenanya masyarakat kelas bawah ini dalam sosiologi masyarakat sering pula disebut sebagai masyarakat periferi (asal katanya periphery = pinggiran, lawan dari centrum = pusat). Sementara kata proletar dilekatkan pada diri mereka karena ketidakmampuan mereka dalam aspek ekonomi (masyarakat miskin). Dalam ilmu ekologi manusia terdapat sebuah teori bahwa secara alamiah sistem yang lebih mantap akan selalu mengeksploitasi sistem yang kurang mantap. Dengan hukum ini diterangkan bahwa kota akan selalu mengeksploitasi desa, elit yang lebih terdidik dan memiliki akses yang luas akan mengeksploitasi para pengikutnya (lihat Vilfredo Pareto [1]) dan seterusnya. Yang kemudian teori-teori ini dipakai untuk melanggengkan sistem dunia yang bersifat kapitalistik sehingga eksploitasi kapitalis (borjuasi) terhadap kaum tertindas ini pada akhirnya akan menimbulkan revolusi sosialis (demikian menurut Marx [2]). Lalu bagaimanakah Islam memandang permasalahan ini? Apakah benar bahwa kaum proletar merupakan masyarakat yang terbuang dan tidak pantas bersanding dengan para pemegang kapital? Islam menempatkan kaum proletar dalam kedudukan yang terhormat dalam struktur masyarakatnya, hal ini nampak jelas dari hadits di atas dan hadits-hadits lainnya seperti hadits berikut ini : "Ada seorang laki-laki lewat di depan nabi SAW lalu bertanya pada sahabat yang duduk disampingnya : Bagaimana pendapatmu tentang laki-laki yang baru lewat itu? Sahabat menjawab : Orang itu termasuk orang terpandang, akan diterima jika melamar dan jika meminta sesuatu untuk orang lain pasti berhasil. RasuluLLAH SAW pun diam. Lalu ada lagi seorang yang lewat, lalu beliau SAW pun bertanya lagi : Bagaimana pendapatmu tentang orang yang baru lewat ini? Kata para sahabat : Wahai RasuluLLAH, orang itu termasuk golongan kaum fakir, jika melamar pantas ditolak, jika meminta sesuatu untuk orang lain pasti tak akan berhasil dan jika berbicara tidak akan didengar. Lalu RasuluLLAH SAW bersabda : Orang yang ini lebih baik sepenuh bumi dari orang yang itu." [3]. Nabi SAW pernah menasihati Abubakar ra(sahabatnya yang paling bertaqwa dan paling tinggi kedudukannya disisi ALLAH SWT) karena sahabatnya ini pernah menegur beberapa sahabat yaitu Salman al Farisi, Bilal bin Rabah al-Habsyi, dan Shuhaib bin Sinan ar-Rumy ra (mereka ini para sahabat yang sangat miskin), yaitu ketika mereka (para sahabat yang miskin tersebut) memarahi Abu Sufyan seorang tokoh Quraisy dalam peristiwa Bai'atur Ridhwan. Ketika Abubakar ra melaporkan kepada RasuluLLAH SAW, maka nabi SAW bersabda : "Wahai Abubakar, janganjangan engkau telah membuat mereka marah? Kalau engkau telah membuat mereka marah, maka sungguh engkau telah membuat RABB-mu marah. Mendengar hal itu segera Abubakar ra menghampiri mereka dan bertanya : Wahai ikhwati apakah aku telah membuat kalian marah dengan perkataanku tadi? Maka mereka menjawab : Sama sekali tidak, semoga ALLAH mengampunimu ya akhi." [4]. Bahkan nabi SAW sendiri pun pernah ditegur dan diperbaiki ALLAH SWT ketika beliau lupa dan bersikap kurang baik kepada kelompok masyarakat proletar ini, sebagaimana sabab nuzul turunnya QS. 'Abasa yang berkaitan dengan sikap nabi SAW kepada AbduLLAH bin Ummi Maktum. Demikian pula ketika nabi SAW ingin memindahkan Sa'ad bin abi Waqqash ra, Ibnu Mas'ud ra dan Bilal ra dari majlisnya karena menghalangi para pembesar Quraisy untuk datang mendengarkan dakwah, kemudian ALLAH SWT menegur dan melarang nabi SAW untuk melakukan hal

Pustaka_Nailul
tersebut dengan firman-NYA dalam QS. al-An'am (6 : 52) : "DAN JANGANLAH KAMU MENGUSIR ORANG-ORANG YANG SELALU BERDOA KEPADA RABB-MU PAGI DAN SORE HARI DENGAN MENGHARAPKAN RIDHO-NYA." [5]. Demikianlah penghargaan dan perhatian Islam terhadap semua lapisan dalam masyarakat, kelompok yang kaya memiliki hak dan kewajiban, demikian pula kelompok yang proletar; setiap elemen dalam struktur masyarakat mendapatkan perhatian sebaik-baiknya dan diberikan hak serta kewajiban yang sesuai, Islam adalah agama yang adil dan egaliter, yang menempatkan seluruh pranatanya tepat pada tempatnya. Terakhir marilah kita dengarkan taushiyyah (nasihat) terakhir pemimpin kita SAW tentang kaum proletar : "Carilah aku diantara orang-orang yang lemah, karena sesungguhnya kalian semua ditolong dan diberi rizqi karena orang-orang yang lemah diantara kalian." [6]. --(#) Hadits Riwayat : 1. Bukhari, XI/361. 2. Muslim, hadits no. 2736. [1] Talcott Parsons, The Structure of Social Action, Glencoe III, 1949, pp 278; Morris Ginsberg, Reason & Unreason Society, London, 1956, Chapter IV, pp 180200. [2] Karl Marx, Manifesto of the Communist Party, 1848. [3] HR. Bukhari IX/117 dan XI/236. [4] HR. Muslim, hadits no. 2505. [5] HR. Muslim, hadits no. 46, dan 2413. [6] HR. Abu Daud hadits no. 2594 dengan sanad yang jayyid; juga Ahmad V/198; Nasa'i VI/45; Tirmidzi hadits no. 1702 dan di-shahih-kan oleh Ibnu Hibban hadits no. 1620; dan Malik II/106 dan 145 dan disepakati oleh adz-Dzahabi dan berkata Tirmidzi : hasan shahih. Nasa'i juga meriwayatkan dari jalan Thalhah bin Mushrif dari Mush'ab bin Sa'ad dari ayahnya. Hadits yang semakna juga diriwayatkan oleh Bukhari VI/65 secara mursal karena Mush'ab bin Sa'ad adalah tabi'in, dan diriwayatkan oleh al-Hafizh Abubakar al-Barqaniy dalam shahih-nya secara muttashil dari Mush'ab dari ayahnya ra. *) Serial Sosiologi Islam

Pustaka_Nailul

Islam dan Childhood


Penulis : Nabiel Fuad Al-Musawa KotaSantri.com : "Ada seorang Arab Badui datang kepada Nabi SAW lalu bertanya : Apakah kalian mencium anak-anak kecil kalian? Maka demi ALLAH! Kami tidak mencium mereka. Maka jawab Nabi SAW : Apakah aku kuasa menahan untuk kalian, jika ALLAH SWT telah mencabut rasa kasih-sayang dari dalam hati kalian?!" (#) Dalam hadits yang mulia ini dijelaskan dengan sangat gamblang bagaimana Islam sangat memperhatikan sikap lemah-lembut dan kasih-sayang kepada anak-anak. RasuluLLAH SAW menegur Arab Badui tersebut karena dia tidak mendidik anakanaknya dengan rasa kasih-sayang dan kelembutan. Dalam peradaban semasa Islam (termasuk Barat), sistem patrilineal maupun matrilineal yang ada tidak ramah terhadap anak dan keturunan (descent) [i]. Dalam ilmu psikologi anak dijelaskan betapa buruknya dampak sikap keras dan kasar terhadap pertumbuhan kejiwaan anak-anak[ii]. Jauh-jauh hari, sebelum pengetahuan modern menemukan konsep-konsep pendidikan anak yang lemahlembut serta penuh kasih-sayang, Islam sudah menjelaskan hal ini melalui lisan baginda rasuluLLAH SAW. Bahkan beliau SAW senantiasa menunjukkan sikap kasih-sayangnya yang besar kepada anak-anak kecil, baik putra beliau SAW sendiri maupun juga cucu-cucunya. Dalam salah satu hadits dari al-Barra' bin 'Azib ra berkata : "Aku melihat nabi SAW, sementara Hasan (cucu beliau) berada di atas pundak beliau, sambil beliau SAW berkata : Ya ALLAH! Sungguh aku mencintainya, maka cintailah dia." [iii]. Bahkan kasih-sayang dan cinta nabi SAW itu tidak hanya kepada anak-anak dan keturunannya saja, melainkan juga kepada seluruh anak-anak kecil, termasuk kepada anak-anak yang sudah tidak memiliki orangtua lagi (yatim-piatu), beliau SAW senantiasa mengasihi mereka, membelikan pakaian dan makanan untuk mereka, mengajak mereka berjalan-jalan dan bahkan beliau SAW memberika kedudukan yang sangat tinggi bagi orang-orang yang berbuat baik kepada mereka, sebagaimana dalam haditsnya : "Aku dan pemelihara anak yatim nanti di Jannah bagaikan ini (sambil nabi SAW mengisyaratkan jari telunjuk dan jari tengahnya)." [iv]. Kasih-sayang kepada anak-anak tersebut hendaklah dilakukan secara adil dan tidak berat-sebelah (mengutamakan seorang anak atas anak-anak lainnya), sebagaimana dalam hadits dari An-Numan bin Basyir ra bahwa ayahnya mengajaknya menemui rasuluLLAH SAW dengan menggendongnya, lalu ayahnya itu berkata : "Ya rasuluLLAH sesungguhnya aku persaksikan padamu bahaw aku memperlakukan An-Nu'man seperti ini. Maka RasuluLLAH SAW bertanya : Apakah semua anakmu kau perlakukan seperti ini? Maka jawabnya : Tidak. Maka RasuluLLAH SAW bertanya lagi : Bukankah dirimu sendiri senang jika mendapatkan kasih-sayang yang sama? Maka jawabnya : Tentu. Maka kata RasuluLLAH SAW : Kalau begitu jangan perlakukan An-Nu'man seperti itu." [v]. Demikian tinggi perhatian Islam pada anak-anak, sehingga ALLAH SWT memerintahkan kita manusia untuk mengambil pelajaran tentang menyayangi anak kepada hewan-hewan yang ALLAH ciptakan, artinya bahwa betapa rendahnya derajat hewan itu dan betapa buasnya mereka tapi tidak pernah mereka menganiaya anaknya sendiri dan ini semua merupakan salah satu tanda-tanda kekuasan ALLAH SWT bagi manusia, sabda nabi SAW : "ALLAH 'Azza wa Jalla menjadikan rahmat (kasih-sayang) itu 100 bagian, lalu ALLAH menahan 99 bagian (untuk di Jannah kelak) dan menurunkan 1 bagian untuk di bumi. Dari 1 bagian inilah para makhluk bisa berkasih-sayang, sampai seekor kuda jantan mengangkat kakinya karena takut mengenai anaknya." [vi].

Pustaka_Nailul
--(#) Hadits Riwayat 1. Al-Bukhari, dalam kitab al-Adab, bab Rahmatul Walad'i Taqbiluhu wa Mu'anaqatuhu. 2. Muslim, kitab al-Fadha'il, hadits no. 64. [i] Kin Groups & Social Structure, Roger M. Keesing, p.121-129, Holt Rinehart & Winston, USA. [ii] Banyak sekali buku-buku sejenis ini, seperti DR. Bursteln's Book on Children karangan DR. A. Joseph Burstlen (1992), dan tulisan semisal Glenn Domann dan lain-lain. [iii] HR. Bukhari, kitab Fadha'ilu Ashhabin an Nabi ra, bab Manaqibul Hasan wal Husein; Muslim, kitab Fadha'ilus Shahabah, hadits no. 58-59. [iv] HR. Bukhari, kitab al-Adab, bab Fadhlu man Yaulu Yatiman. [v] HR. Bukhari, kitab Al-Hibah, bab Al-Hibatu lil Waladi; Muslim, kitab Al-Hibah, hadits no.17. [vi] HR. Bukhari, kitab Al-Adab, bab Ja'alaLLAHu ar-Rahmata Mi'ata Juz'in; Muslim, kitab at-Taubah, hadits no. 17. *) Serial Sosiologi Islam

Pustaka_Nailul

Islam dan Leadership/Elite


Penulis : Nabiel Fuad Al-Musawa KotaSantri.com : "Tidak ada seorang hamba yang dipercaya memimpin rakyatnya oleh ALLAH SWT, lalu ia mati dalam keadaan menipu rakyatnya, melainkan ALLAH haramkan Jannah baginya." (#) Dalam ilmu psikologi sosial, teori kepemimpinan sering digunakan dalam menganalisis kelompok kecil (small groups). Dalam sosiologi umum, kepemimpinan dianalisis sebagai pengaruh kekuasaan dalam kolektifitas sosial. Max Weber [i] (1946) menulis teorinya yang sangat terkenal tentang 3 tipe kepemimpinan yang dihubungkan dengan perbedaan bentuk wewenang dan legitimasi. Pemimpin karismatik menurutnya memimpin berdasarkan kekuatan pesona dari dalam dirinya, sementara pemimpin tradisional memimpin berdasarkan adat atau status kebangsawanan yang sudah diakui oleh masyarakatnya. Sementara pemimpin legal adalah mereka yang memimpin berdasarkan keahlian dan sesuai dengan aturan formal dalam masyarakat modern. Dalam hadits di atas, Islam memperingatkan kepada para pemimpin, siapapun dia dan dari kelompok manapun dia dan berapa pun orang yang dipimpinnya agar hendaklah menjauhkan diri sejauh-jauhnya dari MENIPU RAKYAT atau pun menipu bawahannya. Di dalam hadits yang lain juga ditegaskan oleh nabi SAW bahwa setiap pemimpin akan diminta pertanggungjawaban atas rakyat yang dipimpinnya pada Hari Kiamat kelak [ii]. Bahkan di dalam salah satu riwayat nabi SAW melaknat pemimpin yang dipercaya untuk mengurus urusan ummat lalu ia malah menyengsarakan mereka, sebagaimana dalam sabdanya SAW : "Ya ALLAH, siapa saja yang diberikan kekuasaan untuk mengurusi ummatku lalu ia menyengsarakan mereka, maka persulitlah ia. Dan siapa saja yang diberi kekuasaan lalu ia mempermudah mereka, maka mudahkanlah ia." [iii]. Dan Islam menyatakan bahwa pemimpin yang tidak memperhatikan kebutuhan, kedukaan dan kemiskinan ummat maka ALLAH SWT tidak akan memperhatikan kebutuhan, kedukaan dan kemiskinannya pada Hari Kiamat kelak [iv]. Islam menempatkan pemimpin yang adil dan amanah dalam derajat manusia yang tertinggi, yang memperoleh berbagai penghargaan dan kehormatan. Diantaranya ia termasuk kelompok pertama yang dinaungi oleh ALLAH SWT diantara 7 kelompok utama yang dinaungi-NYA pada Hari Kiamat kelak [v], ia pun akan berada di atas mimbar dari cahaya nanti di Hari Kiamat [vi]. Dan pemimpin yang demikian akan senantiasa dicintai dan didoakan oleh rakyatnya karena kebijaksanaannya memimpin rakyatnya [vii]. Sehingga dalam salah satu haditsnya, nabi SAW sampai menyatakan bahwa pemimpin yang demikian termasuk 3 golongan manusia yang paling utama dan paling berhak masuk Jannah, disamping yang kedua adalah orang yang lembut dan penyayang pada keluarganya dan orang miskin yang menjaga dirinya dari meminta-minta [viii]. Oleh karena itu di dalam Islam pemimpin yang memiliki sifat-sifat sebagaimana disebutkan diataslah yang berhak dan wajib untuk ditaati (tafsir QS. An-Nisaa', 4 : 59) dan bukan pemimpin yang memiliki sifat sebaliknya, jika ia memiliki sifat sebaliknya maka tidak wajib sama sekali untuk didengar dan ditaati [ix] (dalam ayat di atas, sebenarnya juga disebutkan bahwa syarat taat pada pemimpin adalah mu'allaq/tergantung pada apakah ia taat pada ALLAH SWT dan Rasul SAW atau tidak, dimana cirinya adalah ia senantiasa kembali kepada ALLAH SWT dan rasulNYA SAW jika terjadi perbedaan pendapat atau pun perselisihan). Sehingga pemimpin yang memiliki sifat demikian maka ia sebenarnya telah menjadi pewaris nabi SAW yang wajib ditaati, sebagaimana sabda nabi SAW : "Barangsiapa yang taat kepadaku, maka sama dengan taat kepada ALLAH, dan barangsiapa yang tidak taat kepadaku maka ia sama dengan tidak taat kepada ALLAH, barangsiapa yang taat kepada pemimpin (yang sesuai dengan syariat) maka ia sama dengan taat

Pustaka_Nailul
kepadaku dan barangsiapa yang tidak taat kepada pemimpin (yang sesuai dengan syariat) maka ia sama dengan tidak taat kepadaku." [x]. Dan ketaatan kepada pemimpin yang adil dan menjalankan syariat adalah WAJIB, barangsiapa yang keluar dari ketaatan atas pemimpin yang demikian maka ia akan bertemu ALLAH SWT pada Hari Kiamat nanti tanpa punya alasan apapun untuk membela dirinya [xi]. Tentang siapa pemimpin itu Islam tidak membatasi ia dari ras dan kelompok apapun, asal mengikuti dan menegakkan syariat maka wajib ditaati, sekalipun ia adalah seorang yang berkulit sangat hitam yang kepalanya bagaikan buah-buah anggur [xii] (saking hitamnya). Islam oleh karenanya tidak membeda-bedakan warna kulit, ras atau pun bahasa dalam masalah kepemimpinan, yang dinilai adalah ketaqwaannya dalam menjalankan aturan dan syariat ALLAH dan kemampuannya memimpin. Dan bagi mereka yang meremehkan pemimpin yang adil dan menghinanya, maka ALLAH SWT pun akan menghina dan meremehkannya [xiii]. Seorang pemimpin yang adil tentunya akan memilih pembantu-pembantu, wakilwakil dan menteri-menteri yang adil pula. Tidak mungkin seorang yang baik akan mengangkat atau memilih wakil dan menteri yang merupakan para musuh ALLAH SWT, seperti para koruptor, kaum oportunis apalagi para kolaborator asing (QS. alMumtahanah, 60 : 1). Karena tidak ada gunanya berpura-pura membela Islam atau seolah-olah tiba-tiba menjadi muslim yang sangat taat, karena kaum muslimin yang cerdas akan bisa menilai siapa saja teman-teman mereka dahulunya, dan siapa orang-orang yang dekat dengan kelompok-kelompok mereka (sebelum ada maunya), atau bagaimana sikap mereka terhadap para ulama serta hukum syariat. Benarlah pernyataan pemimpin abadi kita nabi Muhammad SAW : "Jika ALLAH SWT menghendaki kebaikan kepada seorang penguasa, maka IA akan memberikan untuknya menteri-menteri yang jujur, (yaitu) yang jika ia khilaf maka selalu mengingatkan dan jika ia ingat maka selalu dibantu/didorong. Dan jika ALLAH SWT menghendaki keburukan kepada seorang penguasa, maka IA akan memberikan untuknya para menteri yang jahat. Jika penguasa itu lupa, maka tidak diingatkan dan jika ia ingat maka tidak didorong/dibantu." [xiv]. --(#) Hadits Riwayat : 1. Bukhari, juz-XIII/112-113. 2. Muslim, juz III/1460, hadits no.21-22. [i] From Max Weber : Essay in Sociology (1946), London, Routledge & Kegan Paul, edited by H.H Gerth & C.W. Mills. [ii] HR. Bukhari II/317 juga XIII/100; dan Muslim no. 1829; dan Abu Daud no. 2928. [iii] HR. Muslim no. 1828. [iv] HR. Abu Daud no. 2948; Tirmidzi no. 1332; al-Hakim IV/93-94; menurut Imam al-Mundziri sanad-nya shahih karena ada syahid dari hadits Muadz ra yang diriwayatkan oleh Ahmad V/238-239; demikian pula menurut Albani dalam ashShahihah no. 629. [v] HR. Bukari II/119 dan 124; Muslim no. 1031. [vi] HR. Muslim no. 1827; Nasa'i VIII/221; Ahmad II/160. [vii] HR. Muslim no. 1855. [viii] HR. Muslim no. 2865. [ix] HR. Bukhari XIII/109; Muslim no. 1839; Abu Daud no. 2626; Tirmidzi no. 1707; Nasa'i VII/160. [x] HR. Bukhari XIII/99; Muslim no. 1835; Nasa'i VII/154. [xi] HR. Muslim no. 1851. [xii] HR. Bukhari XIII/108. [xiii] HR. Tirmidzi no. 2225 dan ia berkata hasan dan disepakati oleh Imam alMundziri; Ahmad V/42; Thayalisi II/167.

Pustaka_Nailul
[xiv] HR. Abu Daud no. 2932, dengan sanad yang baik menurut syarat Muslim; juga Nasa'i VII/159 dengan sanad yang shahih. *) Serial Sosiologi Islam

Pustaka_Nailul

Islam dan Borjuasi


Penulis : Nabiel Fuad Al-Musawa KotaSantri.com : "Sebaik-baik harta yang baik adalah untuk orang-orang yang baik." (#) Sebagaimana Islam menghargai dan menempatkan kelompok masyarakat proletar dengan sebaik-baiknya, maka demikian pula Islam tidak memusuhi kaum Borjuis dan tidak menempatkan mereka dalam posisi yang bersebrangan dengan kaum proletar dan masyarakat marjinal. Islam menempatkan masyarakat Borjuis dan masyarakat proletar dalam dua sisi timbangan yang saling melengkapi dan menyeimbangkan antara satu dengan lainnya, dan Islam percaya jika kedua kelompok masyarakat tersebut melaksanakan aturan Islam, maka keduanya dapat hidup berdampingan secara damai dan saling membantu serta melengkapi dalam keseimbangan dan kedamaian. Islam sangat menghargai kegiatan mencari ma'isyah (nafkah) dan memuliakan orang-orang yang kaya sepanjang kekayaannya itu didapatnya dari sumber yang halal dan dibelanjakannya juga pada tempat yang halal serta dikeluarkan hak fakir miskin didalamnya (Lihat redaksi sabda nabi SAW dalam hadits di atas). Lalu jika kita lihat sabab-wurud (sebab turunnya) hadits di atas adalah bahwa nabi SAW sangat senang jika sahabat/ummatnya memiliki harta sepanjang harta tersebut halal dan digunakan untuk kebaikan. "Dari Amr bin 'Ash ra : RasuluLLAH SAW mengutus seseorang kepada saya bahwa saya diperintah mengambil pedang dan baju besi saya lalu menghadap kepada beliau SAW. Lalu saya melakukan semua perintahnya lalu mendatanginya, beliau SAW sedang berwudhu'. Lalu beliau SAW melihat saya dan menganggukkan kepalanya dan berkata : Wahai 'Amru, sesungguhnya saya ingin mengutusmu bersama para tentara, sehingga ALLAH SWT memberikan ghanimah (rampasan perang) kepadamu, dan saya betul-betul senang engkau memiliki harta yang baik. Saya berkata : Sungguh saya tidak masuk Islam karena harta, tapi karena saya senang dengan agama Islam dan saya dapat bersama rasuluLLAH SAW. Lalu beliau SAW bersabda : Wahai Amru, Sebaik-baik harta yang baik adalah milik orang yang baik." Bahkan al-Qur'an berkali-kali memuji orang-orang yang kaya lagi pemurah; "ADAPUN ORANG YANG MEMBERIKAN HARTANYA LAGI IA BERTAQWA SERTA MEMBENARKAN ADANYA PAHALA, MAKA KAMI AKAN SIAPKAN BAGINYA JALAN YANG MUDAH." (QS. al-Layl, 92/5-7); "DAN KELAK AKAN DIJAUHKAN DARI NERAKA ORANG YANG PALING TAQWA, YAITU ORANG YANG MENAFKAHKAN HARTANYA UNTUK MENSUCIKAN DIRINYA." (QS. al-Layl, 92/17-21); "KAMU SEKALI-KALI TIDAK AKAN SAMPAI PADA KEBAIKAN YANG SEMPURNA SEBELUM KAMU MENAFKAHKAN SEBAGIAN HARTA YANG PALING KAMU CINTAI." (QS. aliImran, 3/92); "PERUMPAMAAN ORANG-ORANG YANG BERINFAQ FI SABILILLAH ADALAH BAGAIKAN SEBUTIR BIJI YANG MENUMBUHKAN 7 TANGKAI DAN DARI SETIAP TANGKAI MENGHASILKAN 700 BIJI, DEMIKIANLAH ALLAH SWT MELIPATGANDAKAN BAGI SIAPA YANG DIKEHENDAKINYA." (QS. al-Baqarah, 2/261), dan sebagainya... Demikianlah berbagai ayat tentang keutamaan harta yang baik, bahkan nabi SAW menyatakan tidak boleh hasad/iri kecuali kepada 2 kelompok orang, salah satu diantaranya adalah kepada orang-orang yang diberikan harta lalu ia berinfaq siang dan malam [1], bahkan dalam hadits lain para sahabat ra yang miskin dari Muhajirin pernah mengadu pada nabi SAW bahwa sahabat ra yang kaya memiliki kelebihan dibanding mereka, karena mereka shalat, zakat dan puasa lalu membaca tasbih, tahmid dan takbir tetapi para sahabat ra yang kaya bisa berinfaq dan memerdekakan budak, sementara yang miskin tidak mampu, maka jawab nabi SAW : "Demikianlah keutamaan dari ALLAH SWT yang diberikan kepada siapa yang dikehendaki-NYA." [2]. Maka mensikapi ayat dan hadits-hadits di atas kita dapatkan dalam realitas kehidupan para sahabat ra, bahwa ternyata diantara 4

Pustaka_Nailul
Khalifah Rasyidin, 3 diantaranya adalah sahabat yang kaya, dan hanya 1 diantara mereka yang miskin (yaitu Ali ra). Dan di atas itu semua, maka bagaimanakah orang akan mampu melaksanakan rukun Islam yang ketiga (zakat) dan yang kelima (hajji) jika ia tidak memiliki kemampuan harta?! Hanya dalam Islam, harta yang banyak tersebut semata-mata untuk berlombalomba dibelanjakan dalam kebaikan dan sama sekali bukan untuk ditumpuktumpuk dan digunakan untuk kikir. Islam amat sangat mencela orang-orang yang menumpuk-numpuk harta dengan kikir, firman ALLAH SWT : "ADAPUN ORANG YANG KIKIR DAN MERASA DIRINYA KAYA, SERTA MENDUSTAKAN PAHALA YANG TERBAIK, MAKA KELAK KAMI AKAN MENYIAPKAN BAGINYA JALAN YANG SUKAR, DAN HARTANYA TIDAK BERMANFAAT BAGINYA JIKA IA TELAH BINASA." (QS. alLayl, 92/8-11); "BARANGSIAPA YANG TERPELIHARA DARI KEKIKIRAN DIRINYA MAKA MEREKA ITULAH ORANG-ORANG YANG BERUNTUNG." (QS. at-Taghabun, 64/16); "DAN BARANGSIAPA YANG MENYIMPAN EMAS DAN PERAK LALU TIDAK MENAFKAHKANNYA FI SABILILLAH MAKA GEMBIRAKANLAH MEREKA DENGAN AZAB YANG PEDIH. PADA HARI KETIKA DIPANASKAN DI NERAKA JAHANNAM HARTA ITU LALU DISETRIKA DENGANNYA KENING-KENING MEREKA, PUNGGUNG-PUNGGUNG MEREKA DAN DADA-DADA MEREKA, LALU DIKATAKAN : INILAH HARTA YANG KALIAN SIMPAN UNTUK DIRI KALIAN SENDIRI, MAKA RASAKANLAH SEKARANG APA YANG SELALU KALIAN SIMPAN ITU." (QS. at-Taubah, 9/34-35). Demikianlah kita melihat para borjuis di masa sahabat ra berlomba-lomba untuk menafkahkan harta mereka dan membantu dakwah serta saudaranya fi sabiliLLAH, kita melihat Abubakar ra yang membantu mengeluarkan sebagian besar dari hartanya untuk membantu dakwah dan saudaranya di jalan ALLAH SWT, sehingga ALLAH SWT menurunkan ayat pujian untuknya [3] : "DAN SUNGGUH-SUNGGUH AKAN KAMI JAUHKAN DARI NERAKA ITU ORANG YANG PALING TAQWA, YAITU IA YANG MENGELUARKAN HARTANYA UNTUK MEMBERSIHKAN DIRINYA, PADAHAL TIDAK ADA ORANG YANG MEMBERIKAN NIKMAT KEPADANYA SEHINGGA HARUS DIBALASNYA (DENGAN HARTANYA ITU), IA MENGELUARKAN HARTANYA HANYA SEMATA-MATA MENCARI KERIDHOAN RABB-NYA YANG MAHA TINGGI." (QS. alLayl, 92/17-20). Begitu pula para sahabat Anshar ra, yang terus-menerus membantu dan mengeluarkan hartanya untuk saudaranya dari kalangan Muhajirin tanpa dihitung-hitung sampai mereka dahulukan saudara-saudara mereka itu dari kepentingan mereka sendiri walaupun mereka sudah tidak memiliki apa-apa lagi, sehingga ALLAH SWT memuji mereka dengan firman-NYA : "DAN MEREKA YANG MENEMPATI BUMI MADINAH DAN BERIMAN SEBELUMNYA, MEREKA MENCINTAI SAUDARANYA YANG HIJRAH KE NEGERI MEREKA DAN SAMA SEKALI TIDAK ADA DALAM HATI MEREKA KEINGINAN SEDIKIT PUN TERHADAP APA YANG DIBERIKAN (OLEH NABI SAW) KEPADA PARA MUHAJIRIN, DAN MEREKA MENDAHULUKAN SAUDARA MEREKA MUHAJIRIN ITU LEBIH DARI DIRI MEREKA SENDIRI, WALAUPUN KEADAAN MEREKA SUDAH SANGAT KEKURANGAN." (QS. al-Hasyr, 59/9). Adakah engkau perhatikan hal itu wahai saudaraku? Lalu bandingkanlah dengan para borjuis dan proletar pada masa kini. Manakah yang menurutmu lebih baik?! Demi ALLAH, tidaklah akan baik ummat ini kecuali dengan mengikuti sunnah para generasi awalnya... Semoga kita saat ini telah menjadi salah seorang yang sedang berjuang menegakkannya, ALLAHumma aAmiin... --(#) Hadits Riwayat Imam Bukhari dalam Adabul Mufrad, dan di-shahih-kan oleh Albani dalam Takhrijul Misykah (3756). [1] HR. Bukhari IX/65, Muslim hadits no. 815. [2] HR. Bukhari II/270, 272 dan X/113; juga Muslim Hadits no.595. [3] HR. Ibnu abi Hatim dr 'Urwah; HR. al-Bazzar dari Ibnu Zubair (lihat Lubab an Nuqul fi Asbab an-Nuzul, Imam Suyuthi). *) Serial Sosiologi Islam

Pustaka_Nailul

Islam dan Parental


Penulis : Nabiel Fuad Al-Musawa KotaSantri.com : "Ridha RABB ada pada ridha kedua orangtua dan kemurkaan RABB ada pada kemurkaan kedua orangtua." (#) Sosiologi modern mempelajari parental ini dalam kaitannya dengan paternalisme, yang maknanya menggambarkan semua hubungan antara kelompok yang superior dengan subordinasinya, istilah lain yang mirip adalah apa yang dikemukakan oleh Weber dalam teorinya tentang patrimonialisme dan hubungan patron-klien [i]. Kedudukan parents dalam konsep masyarakat Barat misalnya, adalah sebagai pengarah perilaku ketika anak masih kecil, dan sebagai teman ketika anak telah dewasa dan akan hilang nilainya jika ia telah tua dan jompo, sehingga banyak yang kemudian menghuni panti-panti jompo. Islam memberikan sebuah penghormatan dan kemuliaan yang sangat tinggi kepada kedudukan parental (parents), yang tidak dimiliki oleh sistem pemikiran manusia lain dalam dunia modern saat ini. Di dalam Islam, parental memiliki posisi yang sangat mulia baik ketika anak masih kecil maupun ketika ia sudah dewasa. Peran parental saat anak masih kecil adalah mengarahkan dan mendidik. Dan ketika anak telah dewasa maka kewajiban anak kepada parentalnya adalah untuk tetap memuliakan dan membalas kebaikan mereka. Bahkan ketika kedua parentalnya telah tua renta dan jompo, maka semakin tinggilah kewajiban seorang anak kepada mereka, sebagaimana dalam al-Qur'an : "... dan jika salah seorang dari keduanya atau kedua-duanya telah berusia lanjut dalam pemeliharaanmu, maka jangan sekali-kali kamu mengatakan kepada mereka kata : AH! Dan jangan kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. Serta rendahkanlah dirimu kepada mereka berdua dengan penuh rasa kasih-sayang dan ucapkanlah : Wahai RABB kami, kasihilah mereka berdua, sebagaimana mereka telah mendidik saya ketika saya kecil." (QS. al-Israa' : 23-24). Demikian tinggi perhatian Islam pada parental, sehingga ketika akan berjihad yang bersifat offensive (dan bukan deffensive) maka haruslah meminta izin pada keduanya, sebagaimana dalam hadits Nabi SAW : "Seseorang datang kepada nabi SAW yang berbai'at untuk berhijrah dengan meninggalkan kedua orangtuanya yang menangisi kepergiannya, maka kata Nabi SAW : Pulanglah kepada keduanya dan buatlah mereka tersenyum sebagaimana engkau telah membuat mereka menangis." [ii]. Hal yang sama juga berlaku bahkan ketika sang parental adalah bukan muslim (NON-MUSLIM), maka tetap ada kewajiban bagi sang anak untuk menghormati keduanya dan memberikan kasih-sayang kepada mereka, sebagaimana dalam hadits Nabi SAW : "Asma' binti Abubakar berkata : Di masa Nabi SAW pernah ibuku mengunjungiku karena kangen. Lalu aku bertanya kepada Nabi SAW : Apakah aku boleh menjalin silaturrahim dengannya? Jawab Nabi SAW : Tentu saja! Lalu turunlah firman ALLAH SWT : ALLAH SWT TIDAK MELARANG KALIAN DARI ORANGORANG YANG TIDAK MEMERANGI KALIAN KARENA AGAMA." (QS. Al-Mumtahanah : 8) [iii]. Yang dilarang oleh ALLAH SWT hanyalah mengikuti perintah mereka jika perintah itu merupakan maksiat kepada ALLAH SWT, sebagaimana dalam hadits Sa'ad bin Abi Waqqash ra sebagai berikut : "Turun 4 ayat kepadaku : Pertama, Ibuku telah bersumpah untuk tidak makan dan tidak minum sampai aku meninggalkan agama Muhammad SAW, lalu ALLAH SWT menurunkan ayat : DAN SEKIRANYA MEREKA BERDUA MEMAKSAMU AGAR MENYEKUTUKAN-KU DENGAN SESUATU YANG KAMU TIDAK MEMILIKI PENGETAHUAN TENTANGNYA, MAKA JANGANLAH KAMU TAATI

Pustaka_Nailul
MEREKA BERDUA DAN PERGAUILAH MEREKA BERDUA DI DUNIA DENGAN BAIK. (QS. Luqman : 15) [iv]. Dan perbuatan baik kepada kedua parental ini dalam Islam tidak hanya berhenti pada kehidupan di dunia ini saja, melainkan terus berlanjut hingga kelak dalam kehidupan yang kedua nanti di akhirat. Oleh karenanya bagi mereka yang merasa belum cukup (dan memang tidak akan pernah bisa) membalas kebaikan kedua parentalnya, Islam memberikan kesempatan yaitu dengan menjadi orang yang baik lalu terus mendoakan keduanya, sebagaimana dalam hadits : "Diangkat derajat mayat seseorang setelah wafatnya, lalu ia berkata : Wahai RABBI, apa yang terjadi padaku ini? Lalu dikatakan : Anakmu telah memohonkan ampunan untukmu." [v]. Lebih dari itu Islam yang sangat memperhatikan seluruh manusia dan menghargainya, juga telah memperluas cara berbuat baik kepada kedua parental kita itu yaitu dengan berbuat baik kepada teman-teman karib kedua parental kita, sebagaimana dalam hadits : "Sesungguhnya sillaturrahim yang paling terpuji adalah menjalin sillaturrahim dengan teman karib ayahnya." [vi]. --(#) Hadits Riwayat Al-Bukhari, dalam kitab Adabul Mufrad, dishahihkan oleh Albani dalam Ash-Shahihah hadits no. 515, dia (Albani) berkata hasan-mauquf dan shahih-marfu'. [i] Lihat Tulisan Max Weber : Economy and Society, an outline of Interpretative sociology, New York Bedminster Press, 1968; juga tulisannya From Max Weber, Essay in Sociology, London Routledge & Kegan Paul, edited by H.H. Gerth & C.W. Mills, 1946. [ii] Abu Daud, kitabul jihad bab Fi Rajulin Yaghzu wa Abawahu Karihani; An Nasa'i, kitabul Bai'ah 'alal Jihad, bab Al-Bai'ah 'alal Hijrah; Ibnu Majah kitab al-Jihad, bab ar-Rajulu Yaghzu wa lahu Abawani. [iii] Bukhari, kitab al-Hibah, bab al-Hidayah lil Musyrikin; Muslim, kitab az-Zakat hadits no.49-50; Abu Daud, dalam Shahih-nya hadits no. 1468. [iv] Muslim, kitab Fadha'ilus Shahabah hadits no. 43-44. [v] Bukhari, dalam Adabul Mufrad dan di-hasan-kan oleh Albani. [vi] Muslim, kitab al-Birru wash-Shilatu wal-Adab, hadits no. 11-13. *) Serial Sosiologi Islam

Pustaka_Nailul

Islam dan Neighborhood


Penulis : Nabiel Fuad Al-Musawa KotaSantri.com : "Tiada henti-hentinya Jibril mewasiati aku tentang (berbuat baik) kepada tetangga, sampai-sampai aku mengira (bahwa tetangga) akan mendapat hak waris." (#) Saudaraku yang mulia, bisakah anda menunjukkan padaku bagaimana konsep peradaban modern tentang tetangga? Bisakah anda memberikan bukti-bukti tentang hak-hak tetangga dan memuliakan mereka secara detil, selain sekedar kebiasaan-kebiasaan yang bersifat instinktif, seperti senyum atau sekedar basabasi lainnya seperti say hello serta tidak berisik/mengganggu saja?! Dalam sosiologi hubungan ketetanggaan hanya dianalisis dalam kaitannya sebagai sebuah realitas sosial dalam hubungan interpersonal [i] di antara manusia. Kini marilah aku ajak anda menjelajah. Tapi maksudku bukan menjelajah hutan atau antariksa, melainkan menjelajah Sunnah dari nabi kita yang mulia Muhammad SAW dan tentang apa yang beliau jaga dan perintahkan untuk dilaksanakan dengan sebaik-baiknya oleh ummatnya mengenai hal tetangga ini. Tidakkah anda bayangkan bahwa masalah sekedar tetangga ini sampai dimasukkan dalam masalah AQIDAH oleh nabi SAW?! Simaklah hadits berikut ini; "Barangsiapa yang beriman kepada ALLAH dan Hari Akhir maka hendaknya berbuat baik kepada tetangganya." [ii]. Tidakkah anda lihat hadits itu?! Nabi SAW memasukkan masalah perbuatan baik kepada tetangga dalam masalah keimanan. Apakah menurut anda hal itu masih belum cukup?! Coba lihat juga hadits berikut ini; "Barangsiapa yang beriman kepada ALLAH dan Hari Akhir, maka tidak boleh menyakiti tetangganya." [iii]. Demikian pentingnya hadits ini sehingga Imam Bukhari rahimahuLLAH, membuatnya menjadi judul salah satu bab dalam kitab Shahih-nya. Demikian juga nabi SAW tidak mengakui keimanan seseorang jika ia kenyang sementara tetangganya kelaparan [iv]. Sedemikian tinggi hak tetangga dalam Islam sehingga seorang yang menyakiti tetangganya maka ia akan masuk neraka, walaupun ia seorang yang rajin shalat malam, bersedekah dan berpuasa!! Sabda nabi SAW ketika ditanyakan : "Wahai rasuluLLAH, Sesungguhnya fulanah melakukan shalat malam, puasa di siang hari, berbuat baik dan bersedekah, tapi ia menyakiti tetangganya dengan lisannya. Maka kata nabi SAW : TIDAK ADA KEBAIKAN ATAS APA YANG TELAH DIKERJAKANNYA ITU DAN IA MASUK NERAKA. Maka para sahabat bertanya lagi : Ya RasuluLLAH, si fulanah yang lain melakukan shalat fardhu, bersedekah dengan (hanya) sepotong keju, tapi ia tidak pernah menyakiti seseorang. Maka kata nabi SAW : IA TERMASUK PENGHUNI JANNAH." [v]. Lalu dalam hadits lainnya beliau SAW bersabda : "TIDAK AKAN MASUK JANNAH orang yang tetangganya merasa tidak aman karena kejahatan-kejahatannya." [vi]. Begitu tingginya pula Islam memuliakan kedudukan tetangga dan begitu kerasnya Islam mengancam kepada orang-orang muslim yang tidak memenuhi hak tetangganya tersebut, sehingga jika sampai seorang tetangga terpaksa pindah karena tidak tahan akan keburukan dari seorang muslim, maka muslim tersebut telah dipastikan akan celaka di dunia dan akhirat, sabda nabi SAW : "... dan tidaklah seorang tetangga yang menzhalimi tetangganya dan memusuhinya lalu tetangga tersebut terpaksa ke luar/pindah dari rumahnya, maka pastilah tetangga yang menzhalimi tersebut binasa." [vii]. Demikianlah wahai saudaraku, bahkan kekasih kita nabi SAW memberikan dosa yang berlipatganda bagi semua perbuatan jahat apabila ia dilakukan kepada tetangga kita, simaklah hadits berikut ini; "RasuluLLAH SAW bertanya pada sahabatnya mengenai pendapat mereka tentang dosa zina, lalu jawab para sahabat ra : Zina itu haram, karena telah diharamkan ALLAH dan rasul-NYA. Maka kata nabi SAW : SUNGGUH DOSA SESEORANG BERZINA DENGAN 10 WANITA ITU LEBIH

Pustaka_Nailul
RINGAN DISISI ALLAH DIBANDINGKAN DENGAN IA BERZINA DENGAN ISTRI TETANGGANYA. Lalu nabi SAW bertanya lagi mengenai dosa mencuri, maka para sahabat ra menjawab : Mencuri itu haram, karena telah diharamkan oleh ALLAH dan rasul-NYA. Maka kata nabi SAW : SUNGGUH SEORANG ITU MENCURI DARI 10 RUMAH ITU LEBIH RINGAN DOSANYA DISISI ALLAH DARI MENCURI BARANG TETANGGANYA." [viii]. Dan hukum memuliakan tetangga ini tidak hanya terhadap tetangga yang MUSLIM saja, melainkan juga mencakup seorang tetangga yang NON-MUSLIM dan YAHUDI sekalipun; asalkan kebaikan yang kita berikan tidak berkaitan dengan pelanggaran aqidah (ikut dalam perayaan agamanya dan ritual-ritual yang bersifat keagamaan) dan pelanggaran syariat (seperti makan dan minum yang diharamkan atau perbuatan-perbuatan yang dilarang dalam syariat). Lihatlah hadits berikut ini : "Dari Mujahid ra berkata : Aku berada disamping AbduLLAH bin Amr bin 'Ash ra, sementara anaknya sedang menguliti kambing. Lalu Ibnu 'Amr berkata : Wahai anakku, jika kau sudah selesai maka mulailah (bersedekah) kepada TETANGGA KITA YANG YAHUDI itu. Lalu seseorang berkata : Orang Yahudi?! Semoga ALLAH memperbaiki ucapanmu! Ibnu 'Amr berkata : Aku mendengar nabi SAW berwasiat (agar berbuat baik) kepada tetangga, sehingga kami mengira bahwa tetangga akan berhak atas hak waris." [ix]. --(#) Hadits Riwayat : 1. Bukhari, kitab al-Adab, bab Man Kaana Yuminu biLLAHi wal yaumil aakhiri fala Yudzii Jaarahu. 2. Bukhari, kitab al-Adab, bab Fi Haqqil Jaari. 3. Muslim, kitab al-Luqathah, hadits no. 14. 4. Tirmidzi, kitab al-Birru wash Shilatu, bab Maa Jaa fi Haqqil Jiwari. [i] The Penguin Dictionary of Sociology, 4th ed, p. 238, Bryan Turner et. al (2000). [ii] HR. Bukhari, kitab al-Adab, bab Man Kana Yu'minu biLLAHi wal Yaumil Akhiri fala Yu'dzi Jarahu; dan Muslim, kitab Luqathah, hadits no. 14. [iii] HR. Bukhari, kitab al-Adab, bab Man Kana Yu'minu biLLAHi wal Yaumil Akhiri fala Yudzi Jarahu. [iv] HR. Bukhari dalam Adabul Mufrad dan di-shahih-kan oleh Albani dalam Silsilah Ahadits ash Shahihah (149). [v] HR. Bukhari dalam Adabul-Mufrad dan di-shahih-kan oleh Albani dalam Silsilah Ahadits Shahihah (190). [vi] HR. Muslim, kitab al-Iman, hadits no. 73. [vii] HR. Bukhari dalam Adabul Mufrad dan di-shahih-kan oleh Albani. [viii] HR. Bukhari dalam Adabul Mufrad dan di-shahih-kan oleh Albani dalam Silsilah Ahadits ash Shahihah (65). [ix] HR. Abu Daud, kitab al-Adab, bab Fi Haqqil Jiwar; Tirmidzi, kitab Al-Birru wash Shilah, bab Ma Ja'a fi Haqqil Jiwar; dan di-shahih-kan oleh Albani dalam Irwa' alGhalil (891). *) Serial Sosiologi Islam

Pustaka_Nailul

Islam dan Interpersonal


Penulis : Nabiel Fuad Al-Musawa KotaSantri.com : "... Barangsiapa yang beriman kepada ALLAH dan Hari Akhir, maka hendaknya ia memuliakan tamunya..." (#) Jika kita melihat kehidupan dalam masyarakat modern saat ini, maka akan nampak jelas bagi kita bahwa kedudukan tamu diklasifikasikan menjadi 2 kelompok; kelompok tamu yang menguntungkan bagi tuan rumah dan kelompok tamu yang tidak disenangi tuan rumah. Perlakuan tuan rumah kepada kedua jenis tamu ini tentulah berbeda; tamu yang dianggap menguntungkan akan disambut dengan ramah sementara tamu yang tidak disenangi akan disambut oleh papan : Awas Anjing Galak! Atau jawaban dari pembantu rumahtangga : Tuan/Nyonya sedang tidak ada di rumah; dengan harapan agar tamu tersebut tidak akan kembali lagi. [i]. Semua hal ini terjadi karena segala sesuatu telah diukur berdasar nilai materi semata-mata, baik sang tuan rumah maupun sang tamu kebanyakan menjalin hubungan yang bersifat materialistik ansich, sehingga wajar jika fenomena di atas yang terjadi. Islam meletakkan paradigma yang sama sekali berbeda tentang hal ini, karena tata-sosial masyarakat Islam didasarkan atas aqidah dan nilai-nilai ukhrawi, artinya bahwa setiap tamu yang datang adalah sebuah kesempatan emas untuk menjalin silaturrahim dan menambah pahala akhirat, sehingga wajiblah bagi tuan rumah untuk memuliakan tamunya. Lihatlah hadits di atas, nabi SAW memasukkan sikap menghormati tamu sebagai salah satu bagian dari keimanan (aqidah) : "Barangsiapa yang beriman kepada ALLAH dan Hari Akhir maka hendaklah memuliakan tamunya." Sebaliknya dalam Islam seorang tamu juga adalah hamba ALLAH yang berpeluang untuk mendulang pahala akhirat, sehingga ia pun diwajibkan untuk melaksanakan adab/etika bertamu, diantaranya agar tidak mengganggu tuan rumah jika ia sedang sibuk, sehingga cukup memberi salam sebanyak 3 kali saja, dan jika tidak dibukakan maka sebaiknya ia pulang, sebagaimana dalam hadits nabi SAW : "... Apabila beliau SAW mendatangi suatu kaum, maka beliau mengucapkan salam kepada mereka sampai 3 kali." [ii]. Selain itu ketika menunggu di depan rumah hendaknya seorang tamu tidak menatap ke pintu atau jendela. Hal ini untuk menjaga agar jangan sampai melihat aurat orang yang di dalam rumah, sebagaimana dalam hadits : "Bahwa nabi SAW jika datang ke pintu dan hendak minta izin masuk beliau tidak menatapnya (pintu itu), tapi beliau berdiri menyamping ke kanan atau ke kiri. Bila diizinkan beliau akan masuk dan bila tidak diizinkan beliau akan pulang." [iii]. Ucapan salam dan minta izin masuk ini pun dilakukan walau terhadap rumah/kamar anak kita sendiri jika mereka telah baligh [iv], demikian pula ibu kita [v], saudari perempuan kita [vi]. Ini semua termasuk keumuman tafsir QS. an-Nur : 28 dan 59; kecuali kepada istri/suami kita berdasarkan istitsna (pengecualian) pada QS. an-Nur : 29 nya. Demikian pula seorang tuan rumah hendaklah memuliakan tamunya dengan menghormati dan menjamunya sebaik-baiknya sesuai apa yang ia miliki, marilah kita simak sebuah penuturan yang sangat indah dalam al-Quran tentang bagaimana hamba ALLAH yang mulia Ibrahim as dan tamu-tamunya, sebagai berikut : "SUDAHKAN SAMPAI KEPADAMU KISAH TENTANG TAMU-TAMU IBRAHIM YANG DIMULIAKAN (MALAIKAT-MALAIKAT)? INGATLAH KETIKA MEREKA MASUK KE TEMPATNYA LALU MENGUCAPKAN : SALAAM... IBRAHIM PUN MENJAWAB : SALAAM... WAHAI ORANG-ORANG YANG TIDAK DIKENAL. MAKA IA (IBRAHIM) PERGI DENGAN DIAM-DIAM MENEMUI KELUARGANYA LALU DIBAWAKANNYA DAGING ANAK SAPI YANG GEMUK (YANG DIPANGGANG), LALU DISAJIKANNYA KEHADAPAN MEREKA. LALU IBRAHIM BERKATA : TIDAKKAH KALIAN BERKENAN MENYANTAPNYA." [vii]

Pustaka_Nailul
Lihatlah demikian hormat dan santunnya sang nabi yang mulia Ibrahim as dalam memuliakan para tamunya, walaupun tamu tersebut sama-sekali tidak dikenalnya. Dan bagi para al-Abrar (orang-orang yang paling bersegera berbuat kebaikan), maka simaklah hadits berikut ini untuk kalian contoh; "Seseorang datang kepada nabi SAW : Lalu nabi SAW berkata : Siapa yang akan memuliakan tamu ini? Maka jawab seorang sahabat Anshar : Saya wahai rasuluLLAH! Lalu ia menuju pulang (bersama tamu tersebut) dan berkata (pada istrinya) : Dinda, muliakanlah tamu rasuluLLAH SAW. Istrinya menjawab : Kita tidak punya apa-apa kanda, KECUALI JATAH UNTUK ANAK-ANAK. Lalu suaminya berkata : Kalau begitu hidangkanlah (untuk tamu kita) dan (pura-puralah) memperbaiki lampumu. Ajaklah anak-anak kita tidur sebelum waktu makan malam. Lalu dilakukan oleh istrinya, lalu memadamkan lampu (seolah-olah sedang diperbaiki), kemudian suami istri itu seakan-akan makan, padahal mereka semalaman belum makan. Setelah pagi tiba, ia datang kepada nabi SAW, tiba-tiba beliau SAW bersabda : Sungguh ALLAH kagum atas perbuatanmu berdua. Kemudian turunlah ayat : DAN MEREKA MENGUTAMAKAN ORANG-ORANG MUHAJIRIN ATAS DIRI-DIRI MEREKA SENDIRI, SEKALI PUN MEREKA DALAM KEADAAN YANG SANGAT MEMBUTUHKAN. MAKA BARANGSIAPA YANG DIPELIHARA DARI KEKIKIRAN DIRINYA, MAKA MEREKA ITU ADALAH ORANG-ORANG YANG BERUNTUNG." [viii]. --(#) Hadits Riwayat : 1. Bukhari, kitab al-Adab, bab Man Kana Yu'minu biLLAH; juga juz-X/441. 2. Muslim, kitab al-Iman, hadits no.77; juga III/1352, hadits no. 14, 15. [i] Ini bisa dicermati dalam buku-buku Chickens Soup yang terkenal, seperti How to Win Friends & Influence People-nya Dale Carnegie atau The 7 Habits of Highly Effective People-nya Stephen R. Covey misalnya. [ii] HR. Bukhari, 11/22; Tirmidzi 27/24; [iii] HR. Bukhari dalam Adabul-Mufrad dan Abu Daud (5186); menurut Albani hasan-shahih. [iv] HR. Bukhari dalam Adabul-Mufrad dan di-shahih-kan oleh Albani. [v] Ibid. [vi] Ibid. [vii] QS. Adz-Dzariyat : 24-27. [viii] HR. Bukhari, kitab at-Tafsir Surah al-Hasyr, bab Wa Yu'tsiruna 'ala Anfusihim; Muslim, kitab al-Asyribah, hadits no. 172. *) Serial Sosiologi Islam

Pustaka_Nailul

Islam dan Motivasi


Penulis : Nabiel Fuad Al-Musawa KotaSantri.com : "Bersabda nabi SAW : Akan masuk Jannah, orang-orang yang memiliki hati bagaikan burung." (#) Motivasi atau dalam teori-teori sosiologi sering dinamakan sebagai motivasi untuk maju (achievement motivation) didefinisikan sebagai usaha seseorang untuk mencapai standar terbaik yang telah diberikan jika dibandingkan dengan kompetitor, demikian menurut David C. Mc Clelland [i] (1961; 1971). Ia juga menyatakan bahwa sikap ini lebih banyak didapat dari pendidikan sejak kecil dibandingkan dengan pembawaan sejak lahir. Dalam hadits yang mulia ini, pemimpin kita nabi Muhammad SAW menyatakan tentang tingginya penghargaan ALLAH SWT terhadap sikap tawakkal (optimisme dalam arti luas), saya katakan optimisme dalam arti luas karena optimisme dalam bahasa aslinya bermakna positive-thinking atau harapan baik, sementara dalam makna Islami selain mencakup makna tersebut juga melibatkan keikutsertaan ALLAH SWT. Yaitu berbuat sebaik-baiknya lalu menyerahkan hasil akhirnya kepada Sang Maha Pencipta yaitu ALLAH SWT. Hadits di atas menurut saya dapat ditafsirkan oleh hadits berikut ini : "Andaikan kalian benar-benar bertawakkal kepada ALLAH SWT, niscaya ALLAH akan memberi kalian rizki sebagaimana DIA memberi rizki kepada burung yang keluar dengan perut kosong pada pagi hari dan kembali dengan perut kenyang di petang hari." [ii]. Jadi makna optimisme dapat diumpamakan bagaikan burung yang setiap hari keluar pagi-pagi untuk mencari makan (adanya usaha yang optimal) dan pulang sore-sore (baik mendapat sedikit makanan ataupun banyak, maka itu adalah hasil usaha kerasnya dan taqdir yang dimudahkan ALLAH SWT atasnya). Optimisme dalam Islam adalah mencakup semua aspek kehidupan. Optimisme dalam ibadah artinya berusaha melakukan ibadah sebaik-baiknya lalu menggantungkan harapan kepada ALLAH SWT akan diterima, sebagaimana dalam ayat : "SESUNGGUHNYA ORANG-ORANG YANG BERIMAN ITU IALAH MEREKA YANG JIKA DISEBUT NAMA ALLAH MAKA BERGETARLAH HATI MEREKA, DAN APABILA DIBACAKAN AYAT-AYATNYA MAKA BERTAMBAHLAH IMAN MEREKA DAN HANYA KEPADA RABB MEREKALAH MEREKA ITU BERTAWAKKAL." (QS. al-Anfal [8] : 2). Optimisme dalam mencari nafkah, bekerja dan perniagaan adalah dengan berusaha keras mengoptimalkan semua sumberdaya yang dimiliki lalu juga menyerahkan hasil akhirnya kepada DZAT Yang Maha Agung lagi Maha Berkuasa, sebagaimana dalam firman-NYA yang lain : "DAN BARANGSIAPA YANG BERTAWAKKAL KEPADANYA MAKA IA AKAN MENCUKUPI (SEMUA KEBUTUHAN) MEREKA." (QS. at-Thalaq [65] : 3). Optimisme dalam rapat, kerja-sama dalam sebuah tim dan dalam manajemen sebuah organisasi adalah dengan melakukan curah-pendapat (brain-storming) yang optimal dengan segala sarana dan prasarana yang dimiliki kemudian juga menyerahkan final-output nya kepada Yang Maha Mengetahui lagi Maha Teliti, sebagaimana dalam ayat : "DAN APABILA KALIAN TELAH MEMBULATKAN TEKAD KALIAN MAKA BERTAWAKKALLAH KEPADA ALLAH." (QS. Ali Imran [3] : 159). Dan optimisme dalam kemiliteran, patriotisme serta bela negara yang Islami adalah dengan mengoptimalkan seluruh strategi serta daya dukung yang dimiliki, kemudian menyerahkan hasilnya kepada ALLAH SWT, sebagaimana juga disebutkan dalam ayat : "YAITU ORANG-ORANG YANG KETIKA DIKATAKAN KEPADA MEREKA : SESUNGGUHNYA MANUSIA TELAH MENGUMPULKAN PASUKAN UNTUK MENYERANG KALIAN, MAKA TAKUTLAH KEPADA MEREKA. MAKA PERKATAAN ITU MENAMBAH KEIMANAN MEREKA DAN MEREKA MENJAWAB; CUKUPLAH ALLAH

Pustaka_Nailul
MENJADI PENOLONG KAMI DAN ALLAH ADALAH SEBAIK-BAIK PELINDUNG." (QS. Ali Imran [3] : 173-174). --(#) Hadits Riwayat : Imam Muslim, dalam shahih-nya, hadits no. 2840. [i] The Achieving Society (1961), Princeton Univeristy Press; Assessing Human Motivation (1971) New York General Learning Press. [ii] HR. Tirmidzi, 2345, dan ia berkata : hasan shahih; HR. Ahmad 1/30; HR. Ibnu Majah, 4164 dengan sanad shahih; juga di-shahih-kan oleh al-Hakim 4/318. *) Serial Sosiologi Islam

Pustaka_Nailul

Islam antara Serius dan Canda


Penulis : Nabiel Fuad Al-Musawa KotaSantri.com : "Dari Abu Hurairah, para sahabat berkata : Wahai RasuluLLAH! Engkau mencandai kami? Maka jawab nabi SAW : Sesungguhnya saya tidak akan berkata kecuali perkataan yang benar." (#) Seorang mujahid dakwah dan da'i yang mukhlis adalah orang yang hari-harinya senantiasa dipenuhi oleh keseriusan; baik dalam kegiatan tilawah al-Qur'an, dzikir, muthala'ah kitab, tahfizh, dakwah, jihad, amar-ma'ruf dan nahyul-munkar, silaturrahim, ta'awun 'alal birri wat taqwa, bekerja mencari nafkah, ber-muhasabah (introspeksi terhadap diri mereka), dan berbagai kesibukan lainnya yang benarbenar memenatkannya dan menyita energinya. Mereka mempersembahkan seluruh hidupnya, baik waktu, fikiran, uang dan tenaganya demi ishlahul-ummah (perbaikan ummat) dan istikhlaf fil- ardh' (tegaknya kehidupan yang sesuai dengan aturan ALLAH SWT). Mata mereka kuyu karena kurang tidur, wajah-wajah mereka sayu karena tempaan perjuangan keras menegakkan agama ALLAH. Kita lihat pula para pemuda yang menghabiskan malam-malamnya sampai separuh malam bahkan lebih di rumahrumah mereka, sampai-sampai terkulai kepala-kepala mereka di meja atau tersandar tubuh mereka di lemari buku, sementara para pemuda yang lain yang sebaya dengan mereka tengah larut dalam perilaku yang sia-sia, santai, hura-hura dan tertidur pulas. Maha Benar ALLAH SWT dalam firman-NYA : "DAN DIANTARA ORANG-ORANG MU'MIN ITU ADA RIJAL YANG MENEPATI JANJINYA KEPADA ALLAH, DIANTARA MEREKA ADA YANG TELAH SYAHID DAN DIANTARA MEREKA ADA PULA YANG SEDANG MENUNGGU-NUNGGU (SYAHID), TAPI MEREKA TIDAK PERNAH SEDIKIT PUN MENGUBAH JANJINYA." (QS. al-Ahzab [33] : 23). Hal di atas mampu mereka lakukan karena cintanya yang amat dalam kepada ummat, sebagaimana kata salah seorang Da'i Besar abad-20 : "Betapa inginnya kami, agar ummat ini mengetahui bahwa mereka lebih kami cintai dari diri-diri kami sendiri. Kami berbahagia jika jiwa kami gugur sebagai penebus kemuliaan mereka. Jika tebusan itu diperlukan, atau menjadi harga bagi tegaknya kejayaan, kemuliaan dan kebaikan mereka, maka kami lah orang pertama yang akan melakukannya. Rasa cinta kami kepada mereka (ummat) telah merasuk dalam relung hati kami, menguasai perasaan kami dan memeras air mata kami. Betapa pedih hati kami ketika kami menyaksikan bencana mencabik-cabik ummat ini, sementara para pemimpinnya hanya sanggup menyerah kepada kehinaan dan pasrah pada keputus-asaan. Sungguh kami berbuat di jalan ALLAH untuk kemaslahatan ummat ini lebih banyak dari apa yang kami lakukan untuk diri-diri kami sendiri. Kami adalah untuk kalian wahai saudaraku, dan sedetik pun kami tidak akan menjadi musuh kalian." [i]. Saudaraku di jalan ALLAH, apa yang saya tuturkan di atas adalah sebuah fenomena true-story yang terjadi di zaman modern ini, yang merupakan copy-paste dari fenomena yang terjadi pada era generasi sahabat rasuluLLAH SAW. Makna pengorbanan, ketulusan dan kesungguhan dalam dakwah menjelma dalam realita keseharian kehidupan mereka. Mereka adalah orang-orang muda yang paling serius memikirkan ummatnya, ada diantara mereka yang paginya berangkat ke tempat kerja, sorenya mengisi pengajian di sebuah tempat yang jauh, malamnya mengisi pengajian yang jauhnya puluhan kilometer dari tempatnya, lalu esok paginya ia sudah masuk lagi ke tempat kerjanya pagi-pagi sekali sebelum teman-teman kantornya yang lain datang. Tidak seorang pun yang tahu apa yang dialaminya selama seharian, serta pengorbanan serta keikhlasannya kecuali ALLAH SWT. Ada pula diantara mereka yg rela mengeluarkan banyak uang demi untuk membiayai kegiatan perbaikan ummat, tanpa ada yang tahu apakah istri dan anaknya di rumah masih terpenuhi kebutuhannya, atau bahkan telah bertumpuk

Pustaka_Nailul
hutangnya tanpa diketahui demi ummat ini. Ada pula diantara mereka yang mencurahkan tenaganya untuk menyelenggarakan berbagai kegiatan dakwah, tanpa ada yang tahu apakah ketika ia meninggalkan pekerjaannya tersebut ia masih dapat mencukupi kebutuhan nafkah keluarganya. Semua itu mereka lakukan dalam merealisasikan makna keikhlasan dan persaudaraan yang sebenarnya. Mereka ini tidak pernah banyak bicara dan mereka membenci mengungkit-ungkit serta membangga-banggakan jasanya. Hanya ALLAH SWT Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahuinya dan IA-lah Yang Maha Lembut dan Penyantun terhadap amal para hamba-NYA. Saudaraku di jalan ALLAH, ditengah keseriusan para da'i tersebut dalam memperbaiki dan membangun ummat ini, maka sebagai manusia tentulah mereka pun akan terkena perasaan lelah dan jenuh, sehingga fitrahnya membutuhkan penyegaran dan hiburan yang dapat mengembalikan semangatnya dan meninggikan kembali tekadnya dalam perjuangan yang panjang dan tiada akhir tersebut. Dalam kondisi inilah canda dan tawa mendapatkan porsinya, nabi SAW sangat memahami bahwa para junudnya pun membutuhkan suasana yang demikian, sehingga beliau SAW pun kerapkali mencandai para sahabat dan istriistrinya. Simaklah hadits di atas yang menyebutkan keheranan para sahabat ketika pemimpin mereka mencandai mereka, lalu sang nabi memberikan pengarahan bahwa hendaknya canda tersebut dilakukan dengan tidak membuat kebohongan. Canda beliau SAW adalah tidak sering dan selalu merupakan kebenaran, simaklah salah satu cara canda beliau SAW berikut : "Seseorang datang kepada nabi SAW meminta tunggangan, lalu nabi SAW berkata : baiklah, saya akan menaikkanmu di atas anak unta betina! Lalu orang itu berkata keheranan : Wahai rasuluLLAH! Lalu apa yang dapat kulakukan di atas anak unta betina? Maka jawab nabi SAW : Bukankah unta itu semuanya adalah anak unta betina?!" [ii]. Sebagai seorang pemimpin yang Pengasih, maka beliau SAW pun mencandai pula anak-anak kecil untuk menghibur dan bersenang-senang dengan mereka, simaklah hadits berikut ini : "Sesungguhnya nabi SAW ketika berada di tengah-tengah kami, beliau berkata kepada adikku (yang masih kecil) : Wahai Abu Umair! Apakah yang sedang dilakukan oleh an-Nughair?" [iii]. Kadangkala beliau SAW meminta sahabatnya untuk bernasyid menghibur mereka ataupun menghibur para wanita, sebagaimana dalam hadits : "Nabi SAW mengunjungi sebagian istrinya dan Ummu Sulaim bersama mereka (menurut riwayat yang lain dari Anas bhw al-Barra' bernasyid untuk laki-laki dan Anjasyah bernasyid untuk wanita) lalu nabi SAW bersabda : Wahai Anjasyah! Pelan-pelan anda bernasyid untuk perempuan." [iv]. Dan canda beliau SAW yang sesekali ini diikuti kemudian oleh para sahabatnya ra, sebagaimana dalam atsar : "Para sahabat nabi SAW pernah saling melempar dengam semangka, padahal mereka hakikatnya adalah para tokoh." [v]. --(#) Hadits Riwayat : Imam Tirmidzi, kitab al-Birru wash Shilah, bab Ma Ja'a fil Mizah; dan di-shahih-kan oleh Albani dalam Takhrijul Misykah. [i] Hasan al-Banna, Risalah Pergerakan Ikhwanul Muslimin, jilid I, halaman 34. [ii] HR. Abu Daud, kitab al-Adab, bab Ma Ja'a fil Mizah; Tirmidzi, kitab al-Birru wash Shilah, bab Ma Ja'a fil Mizah; di-shahih-kan oleh Albani dalam Takhrijul Misykah (4886). [iii] HR. Bukhari, kitab al-Adab, bab al-Inbisath ma'an Nas; Muslim, kitab al-Adab, bab Istihbabu Tahnikil Maulud, hadits no. 30. [iv] HR. Bukahri, kitab al-Adab, bab Ma Yajuzu minasy Syar'i war Rijzi wal Hida'i; Muslim, kitab al-Fadha'il, bab Rahmatun Nabiyyi SAW lin Nisa'i, hadits no. 71. [v] HR. Bukhari dalam Adabul Mufrad, dan di-shahih-kan oleh Albani dalam ash Shahihah (435). *) Serial Sosiologi Islam

Pustaka_Nailul

Islam dan Amar Ma'ruf Nahi Munkar


Penulis : Nabiel Fuad Al-Musawa KotaSantri.com : Telah bersabda nabi SAW : "Demi DZAT yang jiwaku berada ditangannya, perintahkanlah yang ma'ruf dan cegahlah yang munkar, atau akan ALLAH turunkan azab dari sisi-NYA, lalu kalian beroda pada-NYA tapi tidak dikabulkan." (#) Bagi seorang mu'min yang memahami kaidah bahasa Arab, maka ia akan menyadari betapa kerasnya ancaman dalam hadits ini bagi orang-orang yang meninggalkannya. Hal tersebut pertama ditunjukkan dengan qasam (sumpah) nabi SAW sebagai tawkid (penguat), kemudian tidak cukup dengan hal tersebut ditambah lagi dengan huruf lam dan nun juga sebagai penguat dan diakhiri oleh tahdzir (ancaman) bagi yang tidak mau melakukannya. Bentuk fi'il (kata kerja) mudhari' (continous tense) menunjukkan bahwa perbuatan amar ma'ruf nahi munkar tersebut harus dilakukan madal hayah (sepanjang waktu/seumur hidup) dan tidak akan pernah berakhir sampai hari Kiamat. Al-Ma'ruf merupakan ismun jami' (kata benda yang mencakup) tentang segala sesuatu yang dicintai ALLAH SWT baik perkataan, perbuatan yang lahir maupun batin yang mencakup niat, ibadah, struktur, hukum dan akhlaq. Dan disebut ma'ruf karena fitrah yang masih lurus dan akal yang sehat mengenalnya dan menjadi saksi kebaikannya. Dan makna amar ma'ruf adalah berdakwah untuk melaksanakannya dan mendatanginya dengan disemangati. Sementara Al-Munkar adalah ismun jami' yang mencakup segala sesuatu yang dibenci ALLAH dan tidak diridhai-NYA, baik berupa perketaan, perbuatan yang lahir maupun yang batin, termasuk di dalamnya syirik, penyakit-penyakit hati, menyia-nyiakan ibadah, perbuatan yang keji, dan lain-lain. Dan disebut munkar karena fitrah yang lurus dan akal sehat mengingkarinya, bersaksi atas keburukannya, bahayanya dan kerusakannya. Dan makna nahi munkar adalah mencegah manusia dari mendatangi dan melakukannya dengan menjauhkan darinya menghalangi darinya dan memotong sebab ke arahnya. Hukumnya ber-amar ma'ruf nahi munkar (selanjutnya disingkat AMNM) ini adalah wajib, berdasarkan dalil-dalil berikut perintah ALLAH SWT yang tegas baik secara tersurat maupun tersirat. Adapun perintah yang tegas dan tersurat adalah firman ALLAH SWT : "MAKA HENDAKLAH ADA DIANTARA KALIAN SATU KELOMPOK YANG MENGAJAK PADA KEBAIKAN DAN MEMERINTAHKAN YANG MA'RUF SERTA MENCEGAH DARI KEMUNGKARAN, MAKA MEREKA ITULAH ORANG-ORANG YANG BERBAHAGIA." (QS. 3/104). Para mufassir menyatakan bahwa kata min dalam ayat itu bukan bermakna li tab'id (menunjukkan sebagian) melainkan bermakna lit tabyin (memperkuat/menjelaskan), hal ini diperkuat dengan akhir ayat yang menegaskan bahwa yang berbahagia adalah yang melakukannya. Juga hadits nabi SAW : "Barangsiapa yang melihat kemungkaran diantar kalian maka hendaklah ia mengubahnya dengan tangannya, dan apabila tidak mampu maka hendaklah diubahnya dengan lisannya dan jika ia tidak mampu maka hendaklah diubahnya dengan hatinya, tetapi itu adalah selemah-lemah iman." [i]. Komentar nabi SAW pada orang yang hanya mampu melakukannya dengan hati sebagai itu adalah selemah-lemah iman merupakan penguat kedua akan wajibnya amar ma'ruf nahi munkar [ii]. Adapun perintah yang jelas namun tersirat ada pada firman ALLAH SWT : "KALIAN ADALAH UMMAT TERBAIK YANG DILAHIRKAN MANUSIA KARENA MEMERINTAHKAN YANG MA'RUF DAN MENCEGAH DARI YANG MUNKAR DAN BERIMAN KEPADA ALLAH." (QS. 3/110). Penyebutan amar ma'ruf nahi munkar sebelum beriman pada ALLAH menunjukkan urgensinya. Dalam hadits nabi SAW disebutkan : "Sesungguhnya manusia jika mereka melihat kemungkaran lalu ia tidak mengubahnya maka hampir-hampir saja ALLAH mengazab mereka semua." [iii]. Pentingnya AMNM ini adalah juga karena risalah Nabi SAW Merupakan Nabi dan

Pustaka_Nailul
Rasul Terakhir. Artinya bahwa risalah nabi SAW merupakan risalah yang terakhir dan mencakup seluruh alam ini sampai hari Kiamat, sehingga semua manusia terkena hukum tersebut dan wajib mengamalkannya. Oleh karenanya diperlukan penjelasan tentang apa-apa yang telah ditunjukkan oleh risalah tersebut tentang hal-hal yang baik dan ancaman dari hal-hal yang buruk sampai hari Kiamat kelak. Hal lain yang juga mengimplikasikan pentingnya AMNM ini adalah secara umum berdasarkan kaidah saling mendukung, saling membantu diantara anggota masyarakat, maka wajib bagi setiap anggotanya berusaha untuk kemaslahatan dirinya dan kemaslahatan orang-orang lainnya, serta berusaha sungguh-sungguh untuk mencegah keburukan baik yang akan menimpa dirinya ataupun orang lain. Maka amar ma'ruf nahi munkar merupakan 2 cara untuk menjaga kewajiban tersebut, oleh karenanya maka keduanya menjadi wajib juga berdasarkan kaidah ushul fiqh apa-apa yang tidak akan sempurna suatu kewajiban kecuali dengannya maka ia menjadi wajib pula. Urgensi AMNM ini juga ditunjukkan dengan ancaman bagi yang meninggalkannya, yaitu akan berhadapan dengan murka dan azab ALLAH di dunia dalam berbagai bentuk diantaranya akan mendapat La'nat dan Dijauhkan dari Rahmat ALLAH dan Ditimpakan Kebencian dan Perpecahan, dari abu Musa al-Asy'ari ra, dari Rasul SAW : "Sesungguhnya diantara ummat sebelum kalian dari Bani Israil ketika ada seorang yang berbuat buruk maka ada yang mencegahnya dengan keras. Tapi setelah keesokan harinya orang tersebut masih bermaksiat maka orang yang melarang tersebut sudah duduk-duduk dan makan dan minum bersamanya seolaholah tidak pernah terjadi apa-apa kemarin. Maka ketika ALLAH SWT melihat perilakunya yang demikian itu, maka ALLAH SWT membenturkan hati mereka dengan yang lainnya (terjadi perpecahan dan permusuhan) dan melaknat mereka semua, maka kata nabi SAW selanjutnya : Bacalah oleh kalian kalau mau : TELAH DILAKNAT ORANG-ORANG KAFIR DARI BANI ISRAIL MELALUI LISAN DAUD DAN ISA BIN MARYAM, KARENA MEREKA TIDAK MELARANG KEMUNKARAN YANG MEREKA LAKUKAN. (QS. 5/78). Selanjutnya kata nabi SAW : Demi DZAT yang jiwaku berada ditangan-NYA, perintahkanlah yang ma'ruf dan cegahlah kemunkaran, bimbinglah tangan orang yang berbuat dosa dan kembalikanlah ke jalan haq dengan sebenar-benarnya, atau jika tidak kalian lakukan maka ALLAH SWT akan membenturkan hati-hati kalian dan melaknat kalian sebagaimana ALLAH SWT melaknat mereka." [iv]. Yang kedua adalah ancaman akan merajalelanya kejahatan dan meratanya azab dan tidak dikabulnya doa para Shalihin, dari Abu Riqad ia berkata : "Aku keluar bersama majikanku, ketika itu aku masih kecil dan bertemu dengan Hudzaifah bin Yaman, kemudian Hudzaifah berkata : Ada seorang yang mengucapkan 1 kata saja pada masa nabi SAW yang menjadikannya munafik. Sementara aku mendengarnya di masa kalian ini di satu majlis 4 kali diucapkan, perintahkanlah yang ma'ruf dan cegahlah dari yang munkar dan doronglah kepada kebaikan maksudnya hendaklah kalian saling mendorong untuk melakukan kebaikan- atau akan ALLAH ratakan azabnya atas kalian semua, sehingga kalian akan diperintah oleh orang-orang yang paling jahat diantara kalian lalu berdoalah orang-orang terbaik kalian tapi tidak dikabulkan doa mereka." [v]. Bahaya lainnya dari meninggalkan hal ini adalah berjangkitnya kehinaan, kenistaan dan dikuasai oleh musuh, dari AbduLLAH bin Amru bin 'Ash ra, bahwa nabi SAW bersabda : "Jika ummatku sudah tidak lagi mampu berkata kepada seorang zhalim diantara mereka : Kamu zhalim! Maka sungguh mereka sudah dibiarkan (oleh ALLAH SWT)." [vi]. Selain itu juga akan memberikan alasan bagi para Pemalas, maksudnya memberikan celah bagi orang yang malas dan lalai untuk diam dan membiarkan/bersikap apatis terhadap kondisi yang ada dengan alasan bahwa tidak ada yang menunjukkan mereka ke jalan yang lurus, serta tidak ada yang memerintahkan mereka kepada yang baik dan mencegah mereka dari kemunkaran, lalu mereka membuat alasan terhadap ALLAH SWT.

Pustaka_Nailul
--(#) Hadits Riwayat : 1. Tirmidzi dalam sunan-nya, kitab al-Fitan, bab Ma ja'a fil Amr bil Ma'ruf wan Nahyi 'anil Munkar 4/468 nomor 2169 dari hadits Hudzaifah bin Yaman secara marfu' dan Tirmidzi berkata tentang hadits ini adalah hadits-hasan; 2. Ahmad dalam musnad-nya, 5/288-289, 391 dari hadits Hudzaifah bin Yaman ra secara marfu'; [i] HR. Muslim/49, Abu Daud/1140, Tirmidzi/2173, an-Nasai 8/111, Ibnu Majah/4013. [ii] Walaupun demikian, urutan ini dapat dibalik, tergantung pada kondisi kekuatan kaum muslimin dan maslahat bagi dakwah-Islamiyyah itu sendiri (pelajari urutan bagaimana nabi SAW menghancurkan 360 patung di Makkah). [iii] HR. Abu Daud 4/122 no. 4338, Tirmidzi 5/256-257, dan Ahmad 71. [iv] HR. Baihaqi dalam Majma' Zawaid : Kitabul Fitan bab Wujub Inkarul Munkar 7/269, dari abu Musa al-Asy'ari secara marfu' dengan lafzh seperti ini. [v] HR. Ahmad dalam al-Musnad 19/173. [vi] HR. Ahmad dalam al-Musnad 19/175-176. *) Serial Sosiologi Islam

Anda mungkin juga menyukai