Anda di halaman 1dari 13

BAB II LANDASAN TEORI

A. PEMBELAJARAN Djahiri (Nurmiyanti, 2007:23) mengemukakan bahwa pada hakikatnya pembelajaran adalah sebagai berikut : Pembelajaran memuat makna dua proses kegiatan ialah kegiatan belajar siswa (KBS) dan kegiatan perencanaan serta pelaksanaan/mengajar guru (KGM). Berbeda dengan faham lama yang menetapkan KGM sebagai kiblat pembelajaran; maka dalam pembaharuan pendidikan kini, KBS adalah hal yang paling utama dan menjadi penjuru dari seluruh perancangan pengajaran maupun proses dan perolehan hasilnya. Sejalan dengan pendapat diatas, Ibrahim (2002:48) mengemukakan bahwa pembelajaran pada hakekatnya merupakan proses komunikasi transaksional

yang bersifat timbal balik, baik antara guru dengan siswa, siswa dengan siswa untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Lebih Hamalik (2001:57) bahwa : Pembelajaran adalah suatu kombinasi yang tersusun meliputi unsur-unsur manusiawi, material, fasilitas, perlengkapan, dan prosedur yang saling mempengaruhi mencapai tujuan pembelajaran. Dimana unsur manusia yang terlibat dalam sistem pembelajaran terdiri dari siswa, guru dan tenaga lainnya, misalnya tenaga laboratorium. Sedangkan unsur materialnya meliputi : buku-buku, papan tulis, kapur, fotografi, silde, film, audio dan video tape. Unsur fasilitas dan perlengkapan terdiri dari ruangan kelas, perlengkapan audio visual, juga komputer. Yang terakhir adalah prosedur yang meliputi jadwal dan metode penyampaian informasi, parktik belajar, ujian dan sebagainnya. lanjut diungkapkan

Berdasarkan beberapa paparan diatas mengenai pengertian pembelajaran dapat disimpulkan bahwa pembelajaran lebih banyak melibatkan siswa dalam mengikuti kegiatan belajar dibandingkan guru. Dimana guru memiliki peranan sebagai pembimbing untuk mengarahkan proses kegiatan pembelajaran pada siswa agar tidak menyimpang dari tujuan pembelajaran yang diharapkan.

B. PEMAHAMAN Menurut Bloom (Anita, 2007:13), pemahaman didefinisikan sebagai kemampuan untuk menyerap arti dari materi atau bahan yang dipelajari. Pemahaman merupakan hasil proses belajar mengajar yang mempunyai indikator individu dapat menjelaskan atau mendefinisikan suatu unit informasi dengan kata-kata sendiri. Dari pernyataan ini, siswa dituntut tidak sebatas mengingat kembali pelajaran, namun lebih dari itu siswa mampu mendefinisikan. Hal ini menunjukkan siswa telah memahami materi pelajaran walau dalam bentuk susunan kalimat berbeda tetapi kandungan maknanya tidak berubah. Dalam ilmu pengetahuan manusia terdapat tiga ranah atas kawasan yang dikenal dengan istilah Taksonomi Bloom yang meliputi ranah kognitif, afektif dan psikomotor. Setiap ranah tersebut dibagi kedalam beberapa tingkatan yang menunjukan tinggi rendahnya pengembangan atau kemampuan ranah tersebut pada seseorang. Fungsi dari ranah itu berbeda satu dengan yang lainnya, maka cara pembinaannnya pun berbeda, dan konsep pemahaman itu sendiri merupakan bagian dari ranah kognitif. Menurut Benyamin Bloom (Angkowo dan Kosasih, 2007:53) mengemukakan tingkat ranah kognitif menjadi enam tingkatan yaitu :

a. Pengetahuan (knowladge), (C1), meliputi kemampuan menyatakan kembali fakta, konsep, prinsip, prosedur, atau istilah yang telah diperlajari tanpa harus memahami atau dapat menggunakannya. Jenjang ini merupakan tingkatan hasil belajar yang paling rendah tapi menjadi prasyarat bagi tingkatan selanjutnya. b. Pemahaman (comprehension), (C2), pada jenjang ini siswa dituntut untuk memahami, yang berarti mengetahui tentang sesuatu hal dan dapat melihatnya dari beberapa segi. Dalam kemampuan ini termasuk kemampuan untuk mengubah satu bentuk menjadi bentuk lain misalnya dari bentuk verbal menjadi bentuk rumus, dapat menangkap arti dari informasi yang diterima misalnya dapat menafsirkan bagan, diagram atau grafik, meramalkan berdasarkan kecenderungan tertentu serta

mengungkapkan suatu konsep atau prinsip dengan kata-kata sendiri. c. Penerapan (application), (C3), jenjang penerapan merupakan kemampuan menggunakan prinsip, teori, hukum, aturan atau metode yang dipelajari pada situasi baru atau pada situasi kongkrit. d. Analisa (analysis), (C4), merupakan kemampuan untuk menganalisis atau merinci suatu situasi atau pengetahuan menurut komponen yang lebih kecil atau lebih terurai dan memahami hubungan diantara bagian yang satu dengan bagian yang lainnya. e. Sintesa (synthesis), ( C5), jenjang sintesis merupakan kemampuan untuk mengintegrasikan bagian-bagian yang terpisah menjadi suatu keseluruhan

yang terpadu atau menggabungkan bagian-bagian sehingga terjelma pola yang berkaitan secara logis atau mengambil kesimpulan dari peristiwaperistiwa yang ada hubungannya satu dengan yang lainnya. f. Evaluasi (evaluation), (C6), evaluasi adalah pemberian keputusan tentang nilai sesuatu yang mungkin dilihat dari segi tujuan, gagasan, cara kerja, pemecahan, metode, materi berdasarkan kriteria tertentu. Menelaah tingkatan yang dikemukakan di atas, pemahaman terletak pada tingkat ke dua setelah pengetahuan. Walaupun merupakan bagian dalam ranah kognitif, bukan berarti tingkatan pemahaman itu tidak penting. Karena pada dasarnya penguasaan salah satu ranah sifatnya berjenjang. Artinya seseorang tidak dapat menguasai tingkat yang lebih atas apabila tingkat yang di bawahnya belum dikuasai. Pemahaman sendiri meliputi tiga aspek yaitu translasi, interpretasi dan ekstrapolasi. 1. Translasi, meliputi dua kemampuan : (a) menterjemahkan sesuatu dari bentuk abstrak ke bentuk yang lebih kongkret, (b) menerjemahkan suatu simbol kedalam bentuk lain seperti : menerjemahkan tabel, grafik, simbol matematik dan sebagainya. 2. Interpretasi, meliputi tiga kemampuan : (1) membedakan antara kesimpulan yang diperlukan dengan yang tidak diperlukan, (2) memahami kerangka suatu pekerjaan secara keseluruhan, (3) memahami dan menafsirkan isi berbagai macam bacaan.

3.

Ekstrapolasi

meliputi

tiga

kemampuan:

(1)

menyimpulkan

dan

menyatakannya lebih eksplisit, (2) memprediksi konsekuensi-konsekuensi dari tindakan yang digambarkan dari sebuah komunikasi, (3) sensitif atau peka terhadap faktor yang mungkin membuat prediksi menjadi akurat.

C. EFEKTIVITAS 1. Pengertian Efektivitas Efektivitas berasal dari bahasa inggris yaitu Effective yang berarti berhasil, tepat atau manjur. Efektivitas menunjukan taraf tercapainya suatu tujuan, suatu usaha dikatakan efektif jika usaha itu mencapai tujuannya. Secara ideal efektivitas dapat dinyatakan dengan ukuran-ukuran yang agak pasti, misalnya usaha X adalah 60% efektif dalam mencapai tujuan Y.

Di dalam kamus bahasa Indonesia Efektivitas berasal dari kata efektif yang berarti mempunyai efektif, pengaruh atau akibat, atau efektif juga dapat diartikan dengan memberikan hasil yang memuaskan.

Suherman dan Sukjaya (1990:7) menyatakan bahwa efektivitas diartikan sebagai tingkat pencapaian tujuan yang telah ditetapkan. Sedangkan menurut Said (1981:83) pengertian dari efektivitas adalah berikut :

Efektivitas berarti berusaha untuk dapat mencapai sasaran yang telah ditetapkan sesuai dengan kebutuhan yang diperlukan, sesuai pula dengan rencana, baik dalam penggunaan data, sarana, maupun waktunya atau berusahan melalui aktivitas tertentu baik secara fisik maupun non fisik untuk memperoleh hasil yang maksimal baik secara kuantitatif maupun kualitatif.

Dari uraian diatas dapat dijelaskan kembali bahwa efektivitas merupakan keterkaitan antara tujuan dan hasil yang dinyatakan, dan menunjukan derajat kesesuaian antara tujuan yang dinyatakan dengan hasil yang di capai.

2. Kriteria Efektivitas Model Pembelajaran Efektivitas model pembelajaran merupakan suatu ukuran yang

berhubungan dengan tingkat keberhasilan dari suatu proses pembelajaran. Kriteria keefektifan model pembelajaran dalam penelitian ini mengacu pada : a) Ketuntasan belajar, pembelajaran dapat dikatakan tuntas apabila sekurangkurangnya 75 % dari jumlah siswa telah memperoleh nilai 60 dalam peningkatan hasil belajar. (Nurgana, 1985:63). b) Pencapaian tujuan instruksional dapat dikatakan baik melalui indikator ratarata skor yang dicapai siswa yang mencerminkan nilai tingkat penguasaannya. Tingkat penguasaan siswa terhadap materi dihitung dengan menggunakan taraf serap. (Suherman dan Sukjaya, 1990:7) c) Model pembelajaran dikatakan efektif meningkatkan hasil belajar siswa apabila secara statistik hasil belajar siswa menunjukkan perbedaan yang signifikan antara pemahaman awal dengan pemahaman setelah

pembelajaran (gain yang signifikan).

D. MODEL PEMBELAJARAN CREATIVE PROBLEM SOLVING 1. Pengertian Creative Problem Solving Menurut Pepkin (Cahyono. 2007 : http://pendidikansains.blogspot.com [10 Juni 2010]), model pembelajaran Creative Problem Solving (CPS) adalah

model pembelajaran yang melakukan pemusatan pada pengajaran dan keterampilan pemecahan masalah, yang diikuti dengan penguatan ketrampilan. Ketika dihadapkan dengan suatu pertanyaan, siswa dapat melakukan

keterampilan memecahkan masalah untuk memilih dan mengembangkan idenya. Tidak hanya dengan cara menghafal tanpa dipikir, keterampilan memecahkan masalah memperluas proses berpikir. Dalam model CPS, fokus pembelajaran ada pada masalah yang dipilih sehingga siswa tidak saja harus memahami konsep yang relevan dengan masalah yang menjadi pusat perhatian tetapi juga memperoleh pengalaman belajar yang berhubungan dengan ketrampilan menerapkan metode ilmiah dalam pemecahan masalah dan menumbuhkan pola berpikir kritis. CPS merupakan representasi dimensi-dimensi proses yang alami, bukan suatu usaha yang dipaksakan. CPS merupakan pendekatan yang dinamis, siswa menjadi lebih trampil sebab siswa mempunyai prosedur internal yang lebih tersusun dari awal. Suatu soal yang dianggap sebagai masalah adalah soal yang memerlukan keaslian berpikir tanpa adanya contoh penyelesaian sebelumnya. Masalah berbeda dengan soal latihan. Pada soal latihan, siswa telah mengetahui cara menyelesaikannya, karena telah jelas hubungan antara yang diketahui dengan yang ditanyakan, dan umumnya telah ada contoh soal. Pada masalah, siswa tidak tahu menyelesaikannya. Siswa menggunakan segenap pemikiran, memilih strategi pemecahannya, dan memproses hingga menemukan penyelesaian dari suatu masalah.

Ada banyak kegiatan yang melibatkan kreatifitas dalam pemecahan masalah seperti riset dokumen, pengamatan terhadap lingkungan sekitar, kegiatan yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan, dan penulisan yang kreatif. Dengan CPS, siswa dapat memilih dan mengembangkan ide dan pemikirannya. Berbeda dengan hafalan yang sedikit menggunakan pemikiran, CPS memperluas proses berpikir. Sasaran dari CPS adalah sebagai berikut. 1) Siswa akan mampu menyatakan urutan langkah-langkah pemecahan masalah dalam CPS. 2) Siswa mampu menemukan kemungkinan-kemungkinan strategi

pemecahan masalah. 3) Siswa mampu mengevaluasi dan menyeleksi kemungkinan-kemungkinan tersebut kaitannya dengan kriteria-kriteria yang ada. 4) Siswa mampu memilih suatu pilihan solusi yang optimal. 5) Siswa mampu mengembangkan suatu rencana dalam

mengimplementasikan strategi pemecahan masalah. 6) Siswa mampu mengartikulasikan bagaimana CPS dapat digunakan dalam berbagai bidang/ situasi. Osborn (Cahyono. 2007 : http://pendidikansains.blogspot.com [10 Juni 2010]), mengatakan bahwa CPS mempunyai 3 prosedur, yaitu: 1) Menemukan fakta, melibatkan penggambaran masalah, mengumpulkan dan meneliti data dan informasi yang bersangkutan.

2) Menemukan gagasan, berkaitan dengan memunculkan dan memodifikasi gagasan tentang strategi pemecahan masalah. 3) Menemukan solusi, yaitu proses evaluatif sebagai puncak pemecahan masalah. 2. Karakteristik Model Pembelajaran Creative Problem Solving Salah satu karakteristik dari suatu model pembelajaran adalah adanya sintaks/tahapan pembelajaran. Selain harus memperhatikan sintaks, guru yang akan menggunakan Model Pembelajaran Creative Problem Solving juga harus memperhatikan variabel-variabel lingkungan lain, yatu fokus akademik, arahan dan kontrol guru, harapan yang tinggi untuk kemajuan siswa, waktu dan dampak netral dari pembelajaran. Fokus akademik diartikan prioritas pemilihan tugas-tugas yang harus dilakukan siswa selama pembelajaran, aktivitas akademik harus ditekankan. Pengarahan-pengarahan kontrol guru terjadi ketika guru memilih tugas-tugas siswa dan melaksanakan pembelajaran, menentukan kelompok, berperan sebagai sumber belajar selama pembelajaran dan meminimalisasikan kegiatan non akademik diantara siswa. Kegiatan pembelajaran diarahkan pada pencapaian tujuan sehingga guru memiliki harapan yang tinggi terhadap tugas-tugas yang harus dilaksanakan oleh siswa, dengan demikian Model Pembelajaran Creative Problem Solving sangat mengoptimalkan penggunaan waktu. Pepkin (Cahyono. 2007 : http://pendidikansains.blogspot.com [10 Juni 2010]) menuliskan empat fase pada Model Creative Problem Solving. Sintaks

Model tersebut disajikan dalam 4 (empat) tahap, seperti ditunjukan gambar berikut : Tabel 2.1 Empat Fase Model Pembelajaran Creative Problem Solving Fase Fase 1 Klasifikasi Masalah Kegiatan Pembelajaran Klarifikasi masalah meliputi pemberian penjelasan kepada siswa tentang masalah yang diajukan, agar siswa dapat memahami tentang penyelesaian yang diharapkan. Fase 2 Pengungkapan Gagasan Siswa dibebaskan untuk mengungkapkan gagasan tentang berbagai macam strategi penyelesaian masalah. Fase 3 Evaluasi dan Seleksi Setiap kelompok mendiskusikan pendapatpendapat atau strategi-strategi yang cocok untuk menyelesaikan masalah. Fase 4 Implementasi Siswa menentukan strategi yang dapat diambil kemudian menemukan tersebut. untuk menyelesaikan masalah, sampai masalah

menerapkannya penyelesaian dari

Adapun penerapan model CPS dalam pembelajaran TIK yaitu : a. Tahap awal Guru menanyakan kesiapan siswa dalam mengikuti pembelajaran TIK, kemudian mengulas kembali materi sebelumnya yang dijadikan prasayarat materi yang akan dipelajari siswa dan menjelaskan aturan main dalam

pembelajaran TIK dengan menggunakan model creative problem solving. Guru juga memberikan motivasi kepada siswa tentang pentingnya pembelajaran yang akan dilaksanakan. b. Tahap inti Siswa membentuk kelompok kecil untuk melakukan small discussion. Tiap kelompok terdiri atas 4-5 siswa yang dibentuk oleh guru dan bersifat permanen. Tiap kelompok memegang 1 PC yang di dalamnya terdapat media pembelajaran yang berisi materi pembelajaran. Secara berkelompok siswa memecahkan permasalahan yang diberikan oleh guru. Siswa mendapat bimbingan dan arahan dari guru dalam memecahkan masalah. Peranan guru dalam hal ini adalah menciptakan situasi yang dapat memudahkan munculnya pertanyaan dan mengarahkan kegiatan

brainstorming dalam rangka menjawab pertanyaan atas dasar interest siswa. Penekanan dalam pendampingan siswa dalam menyelesaikan permasalahan adalah sebagai berikut: 1) Klarifikasi Masalah Setelah guru menjelaskan materi pembelajaran TIK, siswa

dikelompokkan menjadi kelompok-kelompok kecil dan menerima beberapa masalah yang berkaitan dengan materi pelajaran. Guru memberikan beberapa masalah yang berkaitan dengan materi

pembelajaran. Guru bersama siswa mengklarifikasi permasalahan yang ada sehingga siswa mengetahui solusi yang diharapkan dari masalah tersebut.

2) Pengungkapan Gagasan Siswa menggali dan mengungkapkan pendapat sebanyak-banyaknya berkaitan dengan pemecahan masalah yang dihadapi dalam

permasalahan yang diberikan guru. 3) Evaluasi dan Seleksi Setelah diperoleh daftar gagasan-gagasan, siswa bersama guru dan teman lainnya mengevaluasi dan menyeleksi berbagai gagasan yang dikemukakan siswa sehingga pada akhirnya diperoleh suatu jawaban yang optimal dan tepat. 4) Implementasi Dalam tahap ini, siswa bersama kelompoknya memutuskan tentang jawaban dari masalah yang diberikan guru. Setelah pekerjaan selesai siswa bersama kelompoknya menjelaskan hasil gagasannya dan mendapatkan saran dari pihak lain sehingga diperoleh solusi yang optimal berkaitan dengan pemecahan masalah. Kemudian guru bersama siswa menyimpulkan materi pembelajaran ke arah formal.

c. Tahap penutup. Sebagai pemantapan materi, secara individual siswa mengerjakan latihan.

3. Kelebihan Model Pembelajaran Creative Problem Solving 1) Model ini dapat membuat pendidikan relevan dengan kehidupan, khususnya dengan dunia kerja.

2) Proses belajar mengajar melalui pemecahan masalah dapat membiasakan para siswa menghadapi dan memecahkan masalah secara terampil, apabila menghadapi permasalahan di dalam kehidupan keluarga, bermasyarakat, dan bekerja kelak, suatu kemampuan yang sangat bermakna bagi kehidupan manusia. 3) Model ini merangsang pengembangan kemampuan berpikir siswa secara kreatif dan menyeluruh, karena dalam proses belajarnya, siswa banyak melakukan aktifitas mental dengan menyoroti permasalahan dari berbagai segi dalam rangka mencari pemecahannya.

4. Kekurangan Model Pembelajaran Creative Problem Solving 1) Menentukan suatu masalah yang tingkat kesulitannya sesuai dengan tingkat berpikir siswa, tingkat sekolah dan kelasnya serta pengetahuan dan pengalaman yang telah dimiliki siswa, sangat memerlukan kemampuan dan keterampilan guru. 2) Proses belajar mengajar dengan menggunakan model pembelajaran creative problem solving ini sering memerlukan waktu yang cukup banyak dan sering terpaksa mengambil waktu pelajaran lain. 3) Mengubah kebiasaan siswa belajar dengan mendengarkan dan menerima informasi dari guru menjadi belajar dengan banyak berpikir memecahkan permasalahan sendiri atau kelompok, yang kadang-kadang memerlukan berbagai sumber belajar, merupakan kesulitan tersendiri bagi siswa (Sumini, 2000:66-67).

Anda mungkin juga menyukai