Anda di halaman 1dari 10

Hadits Pada Masa Sahabat dan Tabiin Amin Prasojo A.

Latar Belakang Nabi saw adalah teladan yang senantiasa dicontoh para sahabat. Setiap perkataan, perbuatan, dan taqrir Nabi saw. menjadi referensi kehidupan sahabat-sahabat tersebut. Oleh sebab itu, tidak mengherankan kalau hampir setiap gerak-gerik Rasul diketahui dan diriwayatkan oleh sahabat-sahabatnya itu. Dengan demikian, bagi mereka Nabi saw adalah sumber ilmu pengetahuan. Dalam berbagai kesempatan Nabi saw mengerjakan ilmu (sunnah) kepada para sahabatnya. Hal itu beliau lakukan dengan cara yang cukup menarik sehingga tetap efektif menarik minat sahabat-sahabatnya. Dari bibir Nabi saw sering meluncur motivasi dan hikmah. Beliau menjelaskan bahwa kehidupan ilmu pengetahuan memegang peranan yang penting dalam kehidupan. Beliau bersabda, Siapa yang dikehendaki Allah menjadi orang yang baik niscaya ia menjadikannya mampu memahami agama[i]. Selanjutnya, Menuntut ilmu adalah kewajiban bagi kaum muslimin[ii], Ulama adalah pewaris para Nabi, Para penuntut ilmu diberi jalan oleh Allah untuk menuju surga[iii]. Lebih jauh, Nabi juga menegaskan bahwa ilmu tidak hanya untuk dituntut tetapi juga harus disampaikan dan diajarkan. Dorongan menuntut ilmu yang diberikan Nabi kepada para sahabatnya menjadikan mereka selalu komitmen untuk menimba ilmu dari diri beliau pada setiap kesempatan. B. Hadits Pada Masa Sahabat Setelah Rasul saw wafat, pemerintahan Islam dilanjutkan oleh sahabat-sahabatnya. Abu Bakar terpilih menjadi khalifah menggantikan kedudukan Nabi Muhammad saw sebagai pemimpin temporal (politik) umat Islam, sekaligus mengurus perjuangan spritual menegakkan syariat Islam. Pada awalnya dua hal ini adalah satu seperti dua sisi mata uang yang tidak terpisahkan. Setelah Abu Bakar, estafet kepemimpinan dilanjutkan secara bergantian oleh Umar bin alKhat-tab, Usman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib. Sunnah di dalam pemerintahan khalifah ar-Rasyidun tersebut tetap menjadi pegangan utama sahabat setelah Al Quran. Dalam dua pemerintahan Islam, Abu Bakar dan Umar, tidak ditemukan gerakan periwayatan sunnah yang signifikan sebagaimana yang terjadi setelahnya. Pada pemerintahan Abu Bakar, konsentrasi umat terpusat pada upaya konsolidasi dan meredam pemberontakan kelompok murtad, Nabi palsu, dan pengingkar zakat. Pada paruh akhir kekuasaannya, perhatian tertuju pada pengumpulan dan kodifikasi Al Quran. Demikian juga dalam masa pemerintahan Umar. Khalifah Umar, sangat selektif menerima riwayat, bahkan terkesan sangat hati-hati. Dalam masa pemerintahan Usman dan Ali, suasana telah berubah, maka mulailah muncul berbagai riwayat, tidak terkecuali adanya pemalsuan yang dilakukan non sahabat untuk mendukung faksi-faksi politik umat. Berikut ini akan dikemukakan gejala umum pada era sahabat dalam upaya memelihara sunnah dan fakta kepengikutan mereka terhadapnya. Pembahasan ini di deskripsikan berdasarkan riwayat yang dianggap dapat menjelaskan kondisi objektif era tersebut. Selain Al Quran sebagai sumber pertama hukum Islam, sunnah Rasulullah saw menempati urutan kedua. Ketika menjelang wafatnya Rasul saw ia bersabda, Aku meninggalkan bagi kamu dua hal, jika kamu berpegang kepadanya, kamu tidak akan tersesat, yaitu kitab Allah

dan sunnahku.[iv] Para sahabat berpegang teguh dengan wasiat Rasul saw tersebut. Yang dimaksud dengan berpegang kepada kitab Allah adalah menjadikan Al Quran sebagai way of life. Ini berarti para sahabat mengamalkan perintah yang terdapat di dalamnya dan menjauhi larangannya. Berpegang pada sunnah Nabi saw berarti mengikuti petunjuk Nabi saw dan memelihara kemurniannya. Oleh sebab itu, sebagaimana yang akan dijelaskan lebih lanjut, sahabat sangat hati-hati sekali meriwayatkan sunnah Nabi saw. Telah dijelaskan bahwa setelah wafatnya Nabi saw, Abu Bakar diangkat menjadi khalifah. Komitmen Abu Bakar untuk menegakkan hukum Allah dan Sunnah Rasul saw dibuktikan dengan kebijakannya memerangi kaum munafik. Beliau bersumpah bahwa orang yang tidak mau membayar zakat akan diperanginya karena tindakan itu berseberangan dengan Al Quran dan Sunnah Rasulullah saw. Beliau mengangkat Khalid bin Walid sebagai panglima perang untuk salah satu tujuan itu juga karena adanya apresiasi sunnah terhadapnya[v]. Kepengikutan sahabat terhadap Sunnah setelah khalifah ini terus berlanjut, misalnya di dalam pemerintah Umar, Usman, dan Ali. Secara umum dapat dikemukakan dua poin penting tentang metode sahabat memelihara kemurnian Sunnah Nabi saw. Metode tersebut yaitu: 1. Taqlil ar-riwayah Secara khusus, dalam pemerintahan Abu Bakar dan Umar, ditemukan kesan adanya upaya meminimalisasi riwayat Hadis. Upaya tersebut semakin kuat ketika Umar memegang tampuk kekhalifahan. Umar memberlakukan hukuman dera bagi siapa saja yang memperbanyak periwayatan hadis. Hal ini sebagaimana pengakuan Abu Hurairah ketika ditanya kenapa beliau tidak banyak meriwayatkan hadis pada era pemerintahan Umar. Jika aku memberitakan hadis pada masa Umar sebagai yang aku beritakan kepada kamu (saat ini), niscaya ia akan memukulku.[vi] Demikian jawaban Abu Hurairah. Dalam masa berikutnya, kendatipun tidak ada lagi tekanan dari Umar, Abu Hurairah tetap tidak mau memperbanyak periwayatan. Hal ini merupakan kesadaran sendiri dari diri beliau untuk mengikuti sunnah dua Khalifah al-Rasyidin, Abu Bakar dan Umar. Namun, dalam suatu saat sebagaimana yang dikemukakan al-Bukhari, beliau membaca dua ayat Al Quran surah al-Baqarah ayat 159 dan 160. Sejak saat itu barulah beliau memperbanyak periwayatannya. Sahabat-sahabat lain, juga terkesan menyedikitkan riwayat. Abu Ubaidah, Abbas bin Abd almuth-thalib, mereka tidak banyak meriwayatkan hadis, tidak seimbang jumlah hadis yang mereka riwayatkan dengan kedekatan keseharian mereka dengan Rasul saw. Demikian pula misalnya dengan Said bin Zaid, salah seorang sahabat yang dijamin Rasul masuk surga, tidak meriwayatkan hadis kecuali hanya sekitar dua sampai tiga hadis[vii]. As-Saib bin Yazid pernah berkata, Aku berteman dengan Sad bin Malik dari Madinah ke Makkah, tidak satupun kudengar beliau menyampaikan hadis dari Nabi saw[viii]. Az-Zubair pernah ditanya anaknya, Abdullah bin Zubair, Aku tidak mendengar engkau menyampaikan hadis Rasul saw sebagaimana yang disampaikan sipulan dan si pulan. Beliau menjawab, Sungguh aku tidak akan memenggalnya, tetapi aku mendengar Nabi bersabda, Siapa yang berdusta atas namaku, maka ia menyediakan tempat duduknya dari api neraka. Jika diamati, mengapa sahabat membatasi periwayatan, maka ditemukan jawaban di sekitar hal ini yang bersifat kondisional dan bersifat kehati-hatian.

Pertama, pada masa Abu Bakar, pusat perhatian tertuju pada pemecahan masalah politik, khususnya konsolidasi dan pemulihan kesadaran terhadap perlunya menjalankan roda khilafah Islam. Oleh sebab itu, gerakan periwayatan dengan sendirinya terbatas. Kedua, sahabat masih dekat dengan era Nabi, dimana umumnya mereka mengetahui sunnah. Sehingga persoalan-persoalan hukum dan sosial telah mendapat jawaban dengan sendirinya pada diri mereka. Memang diakui adanya pergeseran-pergeseran kehidupan dan munculnya masalah baru yang ditemui para sahabat, tetapi itu tidak terlalu signifikan sebagaimana yang ditemukan generasi setelah sahabat. Dalam masalah-masalah pengecualian seperti persoalan baru atau salah seorang diantara mereka tidak mengetahui adanya sunnah, maka mereka saling memberi peringatan. Abu Bakar, ketika diajukan kepadanya persoalan hukum, beliau melihatnya di dalam kitab Allah. Jika ia menemukannya ia memutuskan dengan ketentuan kitab Allah. Ketika ia tidak menemukannya juga, ia melihatnya di dalam sunnah Nabi saw. Lalu, ia menghukum dengan sunnah tersebut. Jika ia tidak menemukannya, ia bertanya kepada masyarakat, Apakah kamu mengetahui Rasulullah memutuskan perkara ini? Maka, terkadang berdiri satu kaum, merka berkata, Rasul menetapkannya begini dan begitu. Jika tidak ditemukan adanya sunnah Nabi saw yang menjelaskannya maka para pemimpin masyarakat berkumpul dan memusyawarahkannya[ix]. Menurut Ajjaj al-Khatib, hal yang sama juga dilakukan oleh Umar bin al-Khattab. Ketiga, para sahabat lebih menfokuskan diri pada kegiatan penulisan dan kodifikasi Al Quran. Kegiatan ini bukanlah pekerjaan mudah, sebab sahabat-sahabat mesti menyeleksi tulisantulisan dan hapalan di antara mereka untuk dibukukan dalam satu buku, mushaf. Zaid bin Tsabit, pernah berkata ketika ditunjuk oleh khalifah memimpin penyusunan kembali tulisan Al Quran bahwa ia lebih suka disuruh memindahkan gunung Uhud ketimbang melakukan pekerjaan ini. Keempat, adanya kebijaksanaan yang dilakukan penguasa, khususnya Umar, agar sahabat menyedikitkan riwayat. Ini disebabkan kecenderungannya yang sangat selektif, berhati-hati, dan diiringi sikap ketegasannya. Dalam kaitan ini kemungkinan Umar ingin melakukan penyebaran Al Quran lebih diprioritaskan ketimbang Sunnah. Sebab, andaikata gerakan sunnah lebih diutamakan, maka kemungkinan masyarakat yang baru memeluk Islam akan melupakan Al Quran dan lebih memprioritaskan Sunnah. Dengan demikian, regenerasi penghafal Al Quran tentu tidak akan mencapai kesuksesan, karena perhatian kepada Sunnah. Padahal diketahui bahwa Umar merupakan pemarkasa penulisannya Al Quran dengan alasan kekhawatirannya yang besar atas wafatnya sahabat-sahabat Nabi penghafal Al Quran dalam memerangi kaum murtad di masa Abu Bakar. Kelima, sahabat khawatir terjadinya pemalsuan hadis yang dilakukan oleh mereka yang baru masuk Islam, sebab sunnah belum terlembaga pengumpulannya sebagaimana Al Quran. Umar pernah mempersyaratkan penerimaan hadis dengan mendatangkan saksi atau melakukan sumpah, namun beliau juga pernah menerima hadis tanpa persyaratan itu. Keenam, sahabat takut terjerumus ke dalam dosa kalau-kalau mereka salah dalam meriwayatkan Sunnah. Hal ini sebagaimana yang ditemukan pada kasus Zubair diatas. 2. tatsabbut fi ar-riwayah

Adanya gerakan pembatasan riwayat di kalangan sahabat tidaklah berarti bahwa mereka sama sekali tidak meriwayatkan Sunnah pada masanya. Maksud dari pembatasan tersebut hanyalah menyedikitkan periwayatan dan penyeleksiannya. Konsekwensi dari gerakan pembatasan tersebut, muncullah sikap berhati-hati menerima dan meriwayatkan Sunnah. Para sahabat melakukan penyeleksian riwayat yang mereka terima dan memeriksa sunnah yang mereka riwayatkan dengan cara mengkonfirmasikan dengan sahabat lainnya. Al Hakim meriwayatkan, seorang nenek bertanya kepada Abu Bakar tentang pembagian warisan. Abu Bakar mengatakan bahwa hal itu tidak ditemukan di dalam Al Quran dan Sunnah. Lalu, seorang sahabat, al-Mugirah, menyebutkan bahwa Rasul memberinya seperenam karena kedudukannya sebagai kakek. Abu Bakar meminta al-Mugirah untuk mengajukan saksi terhadap pengakuanya, lalu Muhammad bin Maslamah menyaksikannya, barulah hadisnya diterima[x]. Dengan demikian, pembatasan dan penyeleksian riwayat tersebut memang telah dilakukan sejak masa Abu Bakar. Umar juga melakukan hal yang sama seperti Abu Bakar. Abu Said al-Khudri meriwayatkan bahwa Abu Musa al-Asyari memberi salam kepada Umar dari balik pintu rumah Umar sebanyak tiga kali. Ia tidak mendengar ada jawaban dari dalam rumah, lalu ia kembali. Setelah itu, Umar mengutus dan mempertanyakan kenapa Abu Hasan al-Asyari kembali. Ia menjawab,Aku mendengar Rasulullah saw bersabda, Apabila salah seorang kamu memberi salam sebanyak tiga kali, lalu ia tidak menjawabnya, maka hendaklah ia kembali. Umar meminta kesaksian terhadap pernyataan itu. Abu Hasan datang dengan wajah suram ke satu majlis. Kami menanyakan ihwalnya, lalu ia menjelaskan kepada kami problema yang dihadapinya. Ia berkata,Apakah ada di antara kamu yang mendengar sunnah Nabi tersebut? Kami menjawab, Kami semua mendengarnya. Mereka mengutus bersamanya salah seorang di antara mereka dan memberitakan sunnah tersebut kepada Umar bin al-Khattab[xi]. Usman bin Affan pernah berwudu, ia berkumur-kumur dan memasukkan air ke hidung, kemudian ia membasuh mukanya tiga kali, membasuh kedua tangannya tiga kali-tiga kali, selanjutnya ia menyapu kepalanya, dan kedua kakinya tiga kali-tiga kali. Kemudian, ia berkata,Aku melihat Rasulullah saw berwudu demikian, Hai hadirin, bukankah demikian! Mereka menjawab, benar[xii] Asma bin al-Hakam pernah mendengar Ali bin Abi Thalib berkata, Apabila ada orang yang menceritakan hadis kepadaku, aku menyuruhnya untuk bersumpah. Jika ia bersumpah maka aku membenarkannya. Hal ini juga dilakukan oleh sahabat lain, seperti Aisyah. Marwan bin Hakam pernah menguji hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah. Ada kemungkinan, hal itu didasari kecurigaannya terhadap banyaknya riwayat yang dikemukakan sahabat ini. Abu Hurairah diuandangnya untuk hadir ke tempatnya dan dipersilakan duduk di dekat balai-balai. Lalu, marwan bertanya kepadanya dan Salim Abu Zurah, sekretaris Marwan, menulis hadis yang disampaikan oleh Abu Hurairah. Kemudian, setelah beberapa bulan berlalu, tepatnya di awal tahun, Marwan kembali mengundang Abu Hurairah dan mempersilakannya duduk di balik tabir. Lalu, ia kembali bertanya tentang catatan hadis tersebut, ternyata Abu Hurairah menjawabnya persis sebagaimana yang ia utarakan sebelumnya, bahkan susunannya pun tidak berubah[xiii]. Berdasarkan keterangan diatas, ditemukan adanya upaya selektivitas yang dilakukan sahabat untuk menerima periwayatan. Hal ini didorong kehati-hatian mereka terhadap terjadinya pemalsuan, kesalahan, atau kealfaan dalam meriwayatkan hadis Rasul saw. Sebaliknya, hal ini

bukanlah sikap eksklusif sebagian sahabat atau didasari sikap negatif untuk menyembunyikan dan meninggalkan sunnah sebagaimana yang dilakukan kelompok inkar sunnah. Tidak ada satu indikasipun yang menggiring logika untuk menyimpulkan ke arah itu. 3. manu ar-ruwat min at-tahdits bima yalu ala fahm al ammah Ditemukan pula adanya gerakan pelarangan riwayat karena dikhawatirkan terjadinya kesalahpahaman terhadap riwayat tersebut. Pelarangan ini khusus terhadap riwayat yang dapat mengundang kesalahpahaman dan meriwayatkannya kepada orang lain dengan pemahaman yang keliru tersebut. Misalnya, hadis yang menjelaskan tentang syahadat. Nabi bersabda, Tidak seorang pun yang bersaksi bahwa tia tuhan kecuali Allah dengan kesungguhan di dalam hatinya, kecuali Allah mengharamkannya api neraka.[xiv] Muaz berkata, Wahai utusan Allah, aku akan memberitahu manusia, maka niscaya mereka akan bergembira. Se-koyongkoyong berpeganglah kamu. Umar bin al-Khattab melarang Abu Hurairah untuk menyebarkan hadis yang dikemukakan kepada Muaz tersebut. Ia bergegas menemui Rasul saw seraya berkata, Wahai Rasulullah, engkau telah mengatakan kepada Abu Hurairah begini dan begitu, Nabi saw menjawab,Benar, Umar berkata,Jangan engkau lakukan itu, aku takut manusia akan berpegang padanya dan mencederai mereka dalam bertindak. Nabi saw mengakuinya, dan berkata,Mereka akan rusak.[xv] Pelarangan ini dipahami bukanlah sebagai perbuatan negatif untuk menyembunyikan ilmu, melainkan untuk menutupi pintu keburukan yang besar. Sebab, masyarakat umum tidak memiliki tingkat kecerdasan yang sama. Riwayat seperti ini dapat menjerumuskan mereka untuk meninggalkan syariat Allah. Oleh sebab itu, sangat bijak jika Ibn Abbas berkata,Ceritakan kamulah hadis kepada manusia sesuai dengan kecerdasan mereka. Apakah kamu menghendaki mereka mendustakan Allah dan Rasul. Disebabkan salah memahami satu hadis mereka mendustakan seluruh syariat yang dibawa oleh Rasulullah saw. Muslim meriwayatkan di dalam mukaddimahnya bahwa Ibn Masud mengatakan, Orang yang menyampaikan hadis di luar jangkauan kecerdasan mereka, maka akan menjadi fitnah bagi kaum tersebut. D. Hadits pada Pediode Tabiin Pada era tabiin, keadaan Sunnah tidak jauh berbeda dari era sahabat. Namun, pada masa ini, tabiin tidak lagi disibukkan oleh beban yang dipikul sahabat. Sebab, Al Quran telah dikodifikasikan dan disebarluaskan ke seluruh negeri Islam. Oleh sebab itu, maka tabiin dapat memfokuskan diri untuk mempelajari Sunnah dari para sahabat. Kemudahan lain yang diperoleh tabiin karena sahabat-sahabat Nabi saw telah menyebar ke seluruh penjuru dunia Islam. Sehingga, mereka mudah mendapatkan informasi tentang Sunnah. Daerah yang telah dikuasai umat Islam pada era tabiin antara lain Madinah, Makkah, Kufah, Bashrah, Syam, Mesir, Magribi dan Andalusia, Yaman, Jurjan, Qazwin, Samarkand, dan lainnya. Di daerah-daerah ini Sunnah telah tersebar luas. Untuk memudahkan menelusuri keadaan peta penyebaran Sunnah tersebut ada baiknya dikemukakan terlebih dahulu pusatpusat penyebaran dan pengajaran Sunnah di atas. 1. Madinah Madinah adalah kota Sunnah, sebab di sanalah terbentuknya masyarakat Islam di bawah didikan Nabi saw. Mereka melihat Nabi melakukan dan mempraktekkan Sunnah, mendengar

Nabi menyampaikannya, dan mengetahui taqrirnya. Nabi saw salat berjamaah bersama mereka di kota ini, puasa bersama mereka, dan bermuamalah dengan mereka. Nabi juga membentuk negara Islam di daerah ini, mengkonsolidasikan tentara, mengatur strategi perang, dan sebagainya. Oleh sebab itu, tidak ada kota yang dapat menyamai reputasi Madinah dalam penyebaran Sunnah. Setelah Rasulullah saw wafat, sebagian besar sahabat masih tinggal di Madinah, misalnya Abu Bakar, Umar, Usman, Ali, Abu Hurairah, Aisyah, Abdullah bin Umar, Abu Said al-Khudri, Zaid bin Sabit dan lainnya. Sahabat-sahabat ini merupakan pemuka sahabat Nabi saw dalam memahami Al Quran, Hadis, hukum-hukum, qiraah dan lainnya.[xvi] Madinah melahirkan tabiin besar yang dikenal dengan Fuqaha al-Sabah (fakih tujuh) antara lain Said bin al-Musayyab, al-Qasim bin Muhammad, Bin Abi bakar ash-Shiddiq, Urwah bin az-Zubair, Kharijah bin bin Zaid bin Tsabit, Abu salamah bin Abd ar-Rahman, bin Auf, Ubaidah bin Utbah bin Masud, dan Sulaiman bin Yasar al-Hilali.[xvii] Selain itu di kenal juga nama seperti Muhammad bin al-Munkadir, dan lainnya.[xviii] Ahmad bin Hanbal mengatakan bahwa Tabiin terbaik dalam ranah keilmuan adalah Ibn alMusay-yab.[xix] Ini menunjukkan apresiasi yang tinggi yang diberikan oleh seorang mukharrij hadis terhadap tabiin Madinah. 2. Makkah Makkah adalah kota sejarah dan salah satu pusat peradaban dan perdagangan masyarakat Arabia pra Islam. Di kota inilah Rasul saw dilahirkan dan diangkat menjadi Rasul. Oleh sebab itu, kota ini memiliki arti penting bagi Nabi saw. Kecintaan Nabi terhadap kota ini terlukis dari sikap Nabi saw ketika bermohon kepada Allah agar kiblat kaum muslimin yang sebelumnya ke Bait al-Maq-dis dipindahkan ke Baitillah di kota Makkah. Sahabat Nabi, khususnya kelompok Muhajirin yang ada di Madinah mayoritas berasal dari jazirah ini. Mereka adalah kelompok yang perdana beriman kepada Rasulullah dan membelanya hingga Islam mencapai kejayaan. Dengan demikian, keterikan psikologis sahabat dengan Makkah juga patut dimaklumi. Ketika Rasul menaklukkan kota Makkah, salah seorang sahabat tinggal di kota ini untuk mengajarkan Islam kepada penduduknya. Beliau adalah Muaz bin Jabal, seorang sahabat dari kelompok Ansar yang alim dalam hukum, mahir membaca Al Quran, dan memiliki sifat bijaksana. Rasul menggolongkan Muaz bin Jabal sebagai sahabat yang paling mengetahui tentang halal dan haram. Nabi juga mengatakan, Ambillah (pelajarilah) Al Quran dari empat orang (sahabat), dari Ibn Masud, Ubai, Muaz bin Jabal, dan Salim (maula Abi Huzaifah). Sahabat lain yang menetap di Makkah adalah Ibn Abbas setelah kembali dari Basrah, Atab bin Asid, Khlid bin Asid, al-Hakam bin Abi al-Ash, Uts-man bin Abi Talhah, dan lainnya.[xx] Makkah melahirkan Tabiin besar antara lain Mujahid bin Jabar, Atha bin Abi Rabah, Thawus bin Kaisan, Ikrimah (maula Ibn Abbas), dan lainnya. 3. Kufah

Kufah adalah salah satu kota terpenting dalam penyebaran Sunnah. Kota ini ditaklukkan pada masa Umar bin al-Khattab. Sahabat yang menetap di sana antara lain adalah Ali bin Abi Thalib, Sad bin Abi Waqas, Said bin Zaid bin Amr bin Nafil, Abdullah bin Masud, dan lainnya. Kufah melahirkan tabiin-tabiin kenamaan. Diantaranya sahabat yang memiliki murid terbanyak adalah Abdullah bin Masud. Beliau memunculkan guru-guru tabin mencapai enampuluh orang. Tabiin kenamaan di daerah ini antara lain ar-Rabi bin Khatsim, Kumail bin zaid anNakhi, Amir bin Syurahil asy-Syabi, Said bin Jabir al-Asadi, Ibrahin an-Nakhai, Abu Ishaq as-Sabii, Abd al-Muluk bin Amir ,dan lainnya.[xxi] 4. Basrah Basrah juga pernah didiami oleh beberapa orang sahabat. Di antara sahabat yang terpenting yang menyebarkan Sunnah di daerah ini adalah Anas bin Malik, Abu Musa al-Asyari, Abdullah bin Abbas, Utbah bin Gaz-wan, Imran bin Hushain, Abu Barzah al-Aslami, Maqal bin Yasar, Abdurrahman bin Samurah, Abu Zaid al-Anshari, Abdullah bin Syakhkhir, al-Hakam, Utsman Bina Abi al-Ash.[xxii] 5. Syam Syam merupakan daerah yang juga pernah didiami sahabat. Di antara sahabat tersebut adalah al-Walid bin Muslim, Yazid bin Abi Sufyan, Muaz bin Jabal, Ubadah bin ash-Shamit, Abu Darda, Abu Ubadah bin Himsh, Abu Ubaidah bin al-Jarrah, Bilal bin Rabah, Syurahbil bin Hasanah, Khalid bin Walid, Iyad bin Ganam, al-Fadhl bin al-Abbas bin Abd al-Muth-thalib, Auf bin Malik al-AsyjaI, al-Arbadh bin Sariyah, dan lainnya.[xxiii] Diantara tabiin syam adalah Salim bin Abdul-lah al-Muharibi, Abu Idri al-Khaulani, Abu Suliaman ad-Darani, Amir bin Hani al-Ansi ad-Darani.[xxiv] 6. Mesir Mesir sebagai salah satu kota tertua di dunia selalu menjadi pusat perhatian dari berbagai rejim, tidak terkecuali pemerintahan Islam. Dengan ditaklukannya Mesir, maka terbukalah penyebaran Islam ke daerah Afrika. Kota ini ditaklukkan pada masa pemerintahan Umar bin alKhattab dengan panglima perangnya Amr bin al-Ash. Ia disertai jumlah sahabat lainnya seperti az-Zubair bin al-Awam, Ubadah bin ash-Shamit, Maslamah bin Mukhallad, al-Miqdad bin al-Aswad. Sahabat lainnya adalah Uqbah bin Amir al-Juhni, Kharijah bin Haza-fah, Abdullah bin Sad bin Abi Syarh, Mahmiyah bin Juz, Abdullah bin al-Haris bin Juz, Abu Bashrah al-Ghifar, Abu Sad al-Khairi, Muaz bin Anas al-Juhni, Muawiyah bin Hudaij, Ziyad bin al-Harits ash-Sha-daI, dan lainnya.[xxv] Diantara tabiin Mesir yaitu Yazid bin Abi Habib, Umar bin al-Harits, Khair bin Naim alhadrami, Abdullah bin Sulaiman ath-Thawil, Abdurrahman bin Syuraih al-Ghafiqi, Haiwah bin Syuraih at-Tajibi, dan lainnya.[xxvi] 7. Maghribi dan Andalusia Dari Mesir Islam terus menyebar ke daerah jantung Afrika hingga sampai ke Andalusia. Dalam masa pemerintahan Umar bin ak-Khattab, Amr bin al-Ash telah samapai ke Tripoli. Ia meminta izin agar Umar mengizinkannya menaklukkan Afika. Namun, Umar tidak

merestuinya, maka beliau kembali bersama pasukannya ke Mesir. Oleh sebab itu, maka Amr bin al-Ash tercatat sebagai sahabat yang pertama menginjakkan kaki di pinggiran Maghribi. Dalam masa pemerintahan Utsman bin Affan, gubernur Mesir Abdullah bin Sad bin Abi Sarh, mendapat restu Khalifah untuk menaklukkan Afrika. Dalam pasukan itu terdapat sahabat Nabi saw seperti Abdul-lah bin Abbas, Abdul-lah bin Amr bin al-Ash, Abdul-lah bin Jafar, al-Hasan, al-Husain, dan Abdul-lah bin az-Zubair. Kemudian disusul oleh Uqbah bin Nafi dan ia diangkat menjadi pemimpin di Maghribi. Selain itu ditemukan juga sahabat, Masud bin al-As-wad, al-Miswar bin al-Makhramah, al-Miqdad bin al-Aswad al-Kindi, Bilal bin Haris Ashimi al-Muzanni, Jabalah bin Amr bin Tsalabah, dan Salmah bin al-Akhwa.[xxvii] Tabiin yang memasuki Afrika antara lain as-Saib bin Amir bin Hisyam, Mabad (Saudara Ibn Abbas), Abdurrahman bin al-Aswad, Ashim bin Umar bin al-Khattab, Abd al-Mulk bin marwan, Abdurrahman bin Zaid bin al-Khattab, Sulaiman bin Yasar, Ikrimah (maula Ibn Abbas), dan Abu Manshur Walid bin Yazid bin Manshur. Dalam pada itu Umar bin Abdul Aziz juga pernah mengutus sepuluh orang tabiin ke daerah ini untuk mengajarkan Islam. Mereka adalah Hibban bin Abi Jabalah, Ismail bin Abdillah al-Awar, Ismail bin Abid, Abdurrahman bin Rafi at-Tanaukhi, Said bin Masud at-Tajibi, dan lainnya. Adapun tabiin yang lahir di daerah ini antara lain, Ziyad bin Anam al-Muafiri, Abdurrahman bin Ziyad, Yazid bin Abi Manshur, al-Mughirah bin Abi Bardah, Rifaah bin Rafi, Amr bin Rasyid bin Muslim al-Kanani, Imran bin Abd al-Muafiri, al-Mughirah bin Salmah, Muslim bin Yasar al-Afriqi, dan lainnya. Tabiin yang lahir di Andalusia antara lain Yahya bin Yahya, Ibn Habib, Ibn Makhlad, dan lainnya. 8. Yaman Di masa Rasulullah saw masih hidup penduduk Yaman telah masuk Islam. Di antara sahabat yang di utus Nabi untuk mengajarkan Islam ke daerah ini adalah Muaz bin Jabal dan Abu Musa al-Asyari. Tabiin yang ternama di Yaman yaitu Hammam, Wahb Bina Munab-bih, Thawus, Ibn Thawus, Mamar bin Rasyid, Abd al-Razzaq bin Hammam, dan lainnya. 9. Jurjan Jurjan ditaklukkan ketika Umar bin al-Khattab berkuasa. Sahabat yang datang ke tempat ini antara lain Abu Abdul-lah bin Husain bin Ali, Abdul-lah bin Umar, Huzaifah Ibn al-Yaman, Said bin al-Ash, Su-waid bin Muqarrin, Abdul-lah bin Abi Aufa, Abu Hurairah, Abdul-lah bin az-Zubair. 10. Qazwin Diantara sahabat yang mendatangi daerah ini adalah al-Barra bin Azib, Said bin al-Ash, dan lainnya. Daerah ini melahirkan tabiin seperti Ibrahim bin Yazid an-NakhaI, Said bin Jabir, Ibn Athiyah bin Abd ar-Rahman, Thulaihah bin Khuwailid al-Asadi, dan lainnya. 11. Khurasan Sahabat yang memasuki daerah Khurasan adalah Buraidah bin Hashib al-Aslami, Abu Barzah al-Aslami, al-Hakam bin Amr al-Ghiffari, Abdullah bin Khazim Qatsm bin al-Abbas, dan

lainnya. Tabiin Khurasan antara lain adalah Muhammad bin Ziyad, Yahya bin Shabih alMughri, Muhammad bin Tsabit, dan lainnya. [i] Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad bin Hanbal, Juz XII, hal 180 [ii] Ibn Majah, Sunan Ibn Majah, Juz V, Isa al-Halabi, Kairo Mesir, hal 5 [iii] Ahmad bin Hanbal, Op.cit, Juz XII, hal 161 [iv] Malik bin Anas, al-Muwaththa, Dar al-Sahnun, Istambul, Turki, 1990, hlm 899 [v] Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad bin Hanbal, Juz I, Dar al-Sahnun, Istambul Turki, 1990, hlm 173 [vi] Muhammad Abu Zahw, Al-Hadits wa al-Muhadditsun, Matbaah Mishr, tt, hlm 57-62 [vii] Muhammad Abu Zahw, Ibid, jlm 67 [viii] Ibid, hlm.68 [ix] Ibn Qayyim al-Jauziyah, Ilam al-Muwaqqiin, Juz I, hlm 62 [x] Malik bin Anas, Op.cit, hlm 513 [xi] Muhammad Abu Zahw, op.cit, hlm.70 [xii] Ahmad bin Hanbal, op.cit, Juz I, hlm 372 [xiii] Shubhi ash-Shalih, Ulum al-Hadits wa Musthalahuh, Dar al-Ilm al-Malayin, Beirut, Libanon, 1977, jlm 317 [xiv] Ibid, hlm.72 [xv] Ibid, hlm.72-73 [xvi] Muhammad Ajjaj al-Khatib, op.cit, hlm.117 [xvii] Muhammad Jamaluddin al-Qasimi, Qawaid at-Tahdits, Min Funun Musthalah al-Hadits, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Libanon, tt, hlm 74 [xviii] Muhammad Ajjaj al-Khatib, op.cit, hlm.117 [xix] Muhammad Jamaluddin al-Qasimi, loc.cit. [xx] Muhammad Ajjaj al-Khatib, as-Sunnah Qabl at-Tadwin, hlm.166 [xxi] Abu Abdillah Muhammad bin Abdillah an-Naisaburi, Marifah Ulum al-Hadits, Dar alKutub al-Misriyah, Kairo, Mesir, 1937, hlm 243-248 [xxii] Ibid, hlm.284

[xxiii] Ibid, jlm.193 [xxiv] Muhammad Ajjaj al-Khatib, As-Sunnah Qabl at-Tadwin, op.cit, hlm.168-169 [xxv] Ibid [xxvi] Abu Abdillah Muhammad bin Abdillah an-Naisaburi, op.cit, hlm241 [xxvii] Muhammad Ajjaj al-Khatib,Ushul al Hadits; Ulumuh wa Musthalahuh, op.cit, hlm.123125

Anda mungkin juga menyukai