Anda di halaman 1dari 12

Tugas Mata Kuliah POLITIK HUKUM

Dosen : Prof. Dr. YC. Tambun Anyang, SH.

EKSISTENSI PIDANA MATI DALAM PERKEMBANGAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA

Oleh:

Kelompok I
DWI SYAFRIYANTI, SH. (A21206347) Drs. ANDI MUSA, SH(A21206366) A. AMBO MANGAN, SH.. (A21206339) KRISDIANTO, SH. (A21206363) MARINGAN MARPAUNG, SH.... (A21206356) Drs. MARTANTO, SH... (A21206398) CECEP PRIYATNA, SH.....(A21206331) M. KHADAFY MARPAUNG, S. Ik ..(A21206388) ONNY TRIMURTI NUGROHO, S.Ik.......(A21206377)

PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM UNIVERSITAS TANJUNGPURA 2007

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim, Alhamdulillahirabbilalamin, Puja dan Puji syukur kehadirat Allah SWT, Tuhan semesta alam, Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, yang telah memberikan Rahmat dan hidayah-Nya kepada para penulis telah menyelesaikan makalah yang berjudul

EKSISTENSI PIDANA MATI DALAM PERKEMBANGAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA yang merupakan tugas mata kuliah Politik Hukum pada Program Magister
Ilmu Hukum Universitas Tanjungpura. Para Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan mengingat terbatasnya kemampuan, pengetahuan dan waktu yang dimiliki. Oleh sebab itu, penulis tidak menutup diri terhadap saran, kritik yang membangun dari semua pihak. Pada kesempatan ini pula, penulis dengan segala kerendahan hati mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan makalah ini.

Pontianak, Wasallam,

Februari 2006

Kelompok I

DAFTAR ISI

KATA i DAFTAR ii BAB I

PENGANTAR.

ISI

PENDAHULUAN A. Latar 1 B. Masalah C. Tujuan.. Belakang.

BAB II A.

EKSISTENSI PIDANA MATI DALAM PERKEMBANGAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA Eksistensi Pidana Mati Indonesia.. B. Pidana Mati Dalam berbagai Persfektif. 1. Perspektif Filosofi. 2. Perspektif Sosiologis. 3. Perspektif Yuidis

BAB III

PENUTUP A.Kesimpulan. B.Saran

DAFTAR PUSTAKA...

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Permasalahan pidana mati adalah sebuah kontroversial yang telah amat tua di kenal manusia, akan tetapi sampai saat ini masih merupakan permasalahan yang amat kompleks, sementara dalam kurun waktu yang sedemikian lama telah seringkali meminta korban manusia. Salah satu penyebab utamanya adalah pengertian pidana yang sangat beraneka ragam, sehingga sulit untuk dipastikan apa sebenarnya penyebab eksistensi pidana mati ini diadakan dan dipertahankan di Indonesia, adakah terdapat hubungannya bahwa sistem hukum pidana sangatlah erat hubungannya dengan Politik, Sosial, Kebudayaan, Ekonomi, Pendidikan dan Hukum bangsa. Sebagaimana pendapat Prof. Soedarto, bahwa : tidak salah kiranya, kalau sampai batas tertentu dapat dikatakan, bahwa hukum pidana sesuatu bangsa dapat merupakan indikasi dari peradapan bangsa itu. Dan dalam perkembangannya Belanda sendiri telah menghapus Pidana Mati ini dalam KUHP nya sejak 17 September 1870 dengan Statblad 162 dan anehnya pidana mati dalam KUHP Indonesia masih berlaku hingga sekarang, sekalipun termasuk dalam agenda rancangan KUHP yang original Indonesia. Hal tersebut menjadi kontradiktif dengan kenyataan bahwa Indonesia adalah merupakan negara yang sangat menjunjung tinggi hak asasi manusia sebagaimana semangat yang diamanatkan dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Dan khusus di Indonesia sendiri saat ini sedang giat-giatnya membentuk Hukum Nasional yang mencoba mengeyampingkan KUHP peninggalan hukum kolonial yang dirasa sudah tidak sesuai lagi dengan alam dan cita-cita kemerdekaan Indonesia, maka eksistensi pidana mati yang tengah dipertanyakan kembali keberadaannya dalam KUHP kita dalam rancangan KUHP baru adalah menjadi keharusan.

B. Masalah Maka berdasarkan yang diuraikan pada latar belakang, maka yang menjadi permasalahan adalah sebagai berikut : APAKAH EKSISTENSI PIDANA MATI MASIH PERLU DIPERTAHANKAN DALAM PERKEMBANGAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA?

C. Tujuan Dengan melihat pada latar belakang dan permasalahan di atas, maka yang menjadi tujuan penulisan adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui dengan jelas mengenai eksistensi pidana mati di Indonesia ditengah perkembangan hukum pidana Indonesia sekarang ini terlebih adanya usaha untuk merubah KUHP lama peninggalan Belanda tersebut; 2. Untuk memberikan sumbangsi pemikiran penulis bagi perubahan KUHP peninggalan
Belanda menjadi KUHP baru yang lebih sesuai dengan cita-cita dan semangat bangsa Indonesia dalam menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia.

BAB II EKSISTENSI PIDANA MATI DALAM PERKEMBANGAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA

A. Eksistensi Pidana Mati Indonesia KUHP (Pasal 10) yang mencantumkan pidana mati sebenarnya berasal dari asasasas hukum Romawi yang dituangkan di dalam Code Penal Perancis, yaitu disaat Perancis menduduki Belanda (1811) dan memberlakukan Code Penal tersebut dengan menyingkirkan Het Criminele Wetboek Voor Het Koninkiljk Holland yang diberlakukan sejak 1809. Sekalipun kependudukkan Perancis tersebut berakhir pada tahun 1813, namun tidak menghapus Code Penal, karena Raja Belanda dengan Koninklijk Besluitnya, menyatakan aturan hukum tersebut tetap berlaku dengan mengadakan perubahanperubahan kecil. Kendati demikian, di Belanda tetap ada usaha-usaha untuk membentuk KUHP nasional, dimana pada tahun 1870 dengan Gouverments besluit dibentuklah Panitia Perancang yang berhasil menyelesaikan tugasnya pada tahun 1875. Rancangan tersebut dibawa ke Tweede Kamer (Parlemen Belanda) yang disetujui pada tahun 1881, yang kemudian baru dinyatakan berlaku pada beberapa tahun berikutnya. Sekalipun Kitab Undang-Undang tersebut dibuat dengan tujuan untuk menggantikan Code Penal Perancis, akan tetapi melihat isinya, maka hanya terdapat sedikit perubahan yang kurang berarti. Sementara itu pemberlakuan KUHP Nasional Belanda tersebut menimbulkan keinginan bagi Belanda untuk menerapkannya di Indonesia, terutama bagi penduduk Erofa yang ada di Indonesia (77 RR) keinginan ini diwujudkan pada tahun 1895 dengan menyingkirkan Batavia Statuten dan Intermaire Strafbapelingen yang berlaku semenjak 1642, yang dikodifikasi pada tahun 1866.

Sedangkan bagi penduduk pribumi juga diusahakan pembentukan KUHP sendiri, yang pelaksanaannya diserahkan pada Slingenberg. Akan tetapi hal ini ditentang oleh Menteri Urusan Jajahan Idenbrug yang tidak menyukai dualisme dalam hukum, dan mengingkatkan adanya unifikasi. Rencana tersebut berhasil diwujudkan pada tanggal 18 Oktober 1915 dan berlaku pada tanggal 1 Januari 1918. Berdasarkan dari kenyataan-kenyataan tersebut di atas, maka KUHP yang kita miliki dan masih berlaku hingga saat ini adalah berasal dari KUHP Belanda yang juga berasal dari Code Penal Perancis dengan sedikit tambal sulam. Dan dalam perkembangannya Belanda sendiri telah menghapus Pidana Mati ini dalam KUHP nya sejak 17 September 1870 dengan Statblad 162 dan anehnya pidana mati dalam KUHP Indonesia masih berlaku hingga sekarang, sekalipun termasuk dalam agenda rancangan KUHP yang original Indonesia.

B. Pidana Mati Dalam berbagai Persfektif Filosofis Pembangunan Indonesia menyangkut berbagai kehidupan rakyat, berbangsa dan negara, meliputi pula pembangunan hukum. Sebagaimana yang tertuang dalam TAP MPRNo. II/MPR/1993 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara, disebutkan bahwa: Pembangunan hukum diarahkan pada makin terwujudnya sistem hukum nasional yang bersumber pada Pancasila dan UUD 1945, yang mencakup pembangunan, aparatur hukum serta sarana dan prasarana hukum dalam rangka pembangunan negara hukum, untuk mtnciptakan kehidupan yang tentram. Dari rumusan tersebut, maka dapat diketahui bahwa tujuan pembangunan hukum nasional adalah untuk menciptakan kehidupan yang aman dan tentram. Erat kaitannya dengan kehidupan yang aman dan terteram dalam masyarakat, adalah masalah pencegahan kejahatan dan perlakuan terhadap pelanggaran hukum (crime prevention and treatment offenders). Bahwa pemberian pidana/penjatuhan pidana berdasarkan pada dua teori: 1. Teori Absolut, dikenal juga dengan Teori Pembalasan, (retributive vergelding theorieen), menurut teori ini pidana dijatuhkan semata-mata orang telah melakukan kejahatan/tindak pidana (uiapecctum est). Pidana merupakan akibat mutlak yang harus ada sebagai pembalasan. Menurut Jehanes aaaandenaes; Tujuan utama dari teori absolut adalah untuk memuaskan tuntutan keadilan sedangkan pengaruh dari pemberian pidana itu merupakan tujuan yang bersifat sekunder.

2. Teori Relatif, dikenal pula dengan teori tujuan (ultilarian/doel theorieen) menurut teori ini pemidanaan bukan merupakan penuntutan dari keadilan, pembalasan itu tidak mempunyia nilai tetapi hanya sebagai pelindung kepentingan masyarakat, oleh karena itu dikenal juga sebagai teori pelindung masyarakat. Dari kedua teori di atas, muncul lagi satu teori yang merupakan penggabungan dua teori sebelumnya. Teori ini dikenal dengan teori gabungan, dalam teori ini penjatuhan pidana diberikan disamping sebagai pembalasan atau siksaan juga sebagai tujuan dari hukuman itu sendiri, dan selanjutnya juga dikenal dengan Pidana dalam konsepsi Utiliarisme, Teonam (bentuk dan tujuan pidana adalah beradasarkan kehendak tuhan dan diluar daripadanya adalah tidak sah), dan pidana dalam konsep Montero (pidana adalah alat untuk melindungi pelaku dari pembalasan yang melebih batas baik dari korban maupun bagi negara). Berangkat dari teori-teori tersebut di atas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa pidana memiliki arti: 1. Pidana adalah alat untuk membalas perbuatan pidana; 2. Pidana adalah alat untuk mencegah terulang-ulangnya perbuatan pidana/untuk mengurangi frekuensinya; 3. Pidana adalah alat untuk memperbaiki pelaku; 4. Pidana adalah alat untuk mengamankan masyarakat dari gangguan penjahat; 5. Pidana adalah alat untuk mencapai kebahagian yang sebesar-besarnya pada sebanyak mungkin orang; 6. Pidana sebagai sesuatu yang harus diterima sebagai kehendak tuhan; 7. Pidana sebagai alat untuk melindungi pelaku dari penghukuman di luar batas kesalahannya; 8. Pidana sebagai alat untuk mencapai keadilan. Permasalahan pidana mati adalah sebuah kontroversial yang telah amat tua di kenal manusia, akan tetapi sampai saat ini masih merupakan permasalahan yang amat kompleks, sementara dalam kurun waktu yang sedemikian lama telah seringkali meminta korban manusia. Salah satu penyebab utamanya adalah pengertian pidana yang sangat beraneka ragam, sehingga sulit untuk dipastikan apa sebenarnya penyebab eksistensi pidana mati ini diadakan dan dipertahankan di Indonesia, adakah terdapat hubungannya bahwa sistem hukum pidana sangatlah erat hubungannya dengan Politik, Sosial, Kebudayaan, Ekonomi, Pendidikan dan Hukum bangsa. Sebagaimana pendapat Prof. Soedarto, bahwa : tidak salah kiranya, kalau sampai batas tertentu dapat dikatakan, bahwa hukum pidana sesuatu bangasa dapat merupakan indikasi dari peradapan bangsa itu.

1.

Sosiologis Menurut Herbert L. Packer, usaha pengendalian perbuatan anti sosial dengan mengenakan pidana pada seseorang yang telah melanggar peraturan pidana merupakan suatu problema sscial yang mempunyai dimensi hukum yang penting. Penggunaan upaya, termasuk hukum pidana, sebagai salah satu upaya untuk mengatasi masalah sosial termasuk dalam bidang kebijaksanaan penegakkan hukum. Disamping itu karena tujuan utamanya untuk mencapai kesejahteraan masyarakat pada umumnya, maka kebijaksanaan penegakkan hukum ini pun termasuk dalam bidang kesejahteraan sosial, yaitu segala usaha regional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Sehubungan dengan hal tersebut diatas, bahwa pemenuhan rasa keadilan dalam masyarakat terhadap pelaku kejahatan berdasarkan konsep-konsep pemidanaan yang ada, maka penerapan pidana mati adalah merupakan permasalahan yang amat kompleks, sementara dalam kurun waktu yang sedemikian lama telah seringkali meminta korban manusia. Pro Kontra penerapan pidana matipun kerap berlangsung di negara ini. Peranan Humanis yang muncul abad pencerahan, telah membawa banyak perubahan yang lebih manusiawi terhadap masalah pidana mati, salah satu hasilnya adalah kecenderungan untuk mengurangi kesan kesadisan dan penderitaan physik yang melampaui harkat kemanusiaan dalam cara-cara eksekusinya. Teknik yang dipergunakan mengarah kepada mempercepat proses eksekusi. Di Indoensia cara yang dipergunakan adalah tembak mati yang dilakukan oleh regu tembak. Akan tetapi cara apapun yang dipergunakan, penderitaan psykhis-tidaklah mungkin dapat terhapuskan, sebab dapatlah kiranya terbayangkan betapa perasaan si terpidana mati yang selama berhari-hari atau mungkin berbulan-bulan (sejak diketahuinya hukumannya), harus memikirkan bahwa dia harus menjalani eksekusi. Penderitaan semacam ini hanya dapat dihapuskan dengan menghapuskan pidana mati. Sedangkan dari segi krimonologi sendiri, ternyata penelitian-penelitian statistik menunjukkan bahwa konsep menakut-nakuti tidak dapat membuktikan kebenarannya, karena ada atau tidaknya pidana mati tidak memperngaruhi tingkat pembunuhan.

2.

Yuridis Secara Yuridis pidana mati adalah bertentangan dengan Pancasila maupun UUD 1945, hal tersebut berdasarkan analisa bahwa kehidupan yang diberikan Tuhan pada mahluk ciptaannya adalah bagian dari Hak Asasi manusia, yaitu hak asasi manusia adalah

seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai mahluk tuhan yang maha esa dan merupakan anugrah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindunngan harkat dan martabat manusia

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan. Dari hal-hal yang telah disampaikan dalam Bab-bab terdahulu maka dapat disimpulkan bahwa :

1. Bahwa dalam perkembangannya Belanda telah menghapus Pidana Mati ini dalam KUHP nya sejak 17 September 1870 dengan Statblad 162 dan anehnya pidana mati dalam KUHP Indonesia masih berlaku hingga sekarang, sekalipun termasuk dalam agenda rancangan KUHP yang original Indonesia; 2. Bahwa pidana mati tidak mampu masuk kesalah satu kategori tujuan pemberian pidana, sebab dari penelitiaan krimonologi sendiri, ternyata penelitian-penelitian statistik menunjukkan bahwa konsep menakut-nakuti tidak dapat membuktikan kebenarannya, karena ada atau tidaknya pidana mati tidak mempengaruhi tingkat pembunuhan; 3. Bahwa penerapan pidana mati di Indonesia adalah merupakan tindakan dengan sengaja mengabaikan penegakkan Hak Asasi Manusia terlebih jika direnungkan kembali bahwa eksistensi Pidana Mati adalah tindakkan melanggar pasal 340 KUHP, sebab secara yuridis formal adalah suatu penyimpangan hukum yang dihalalkkan karena memiliki alasan yang sah, apalagi jika manfaat atau tujuan yang diketahui secara ilmu pengetahuan masih diragukan.
B. Saran

Masalah pidana mati adalah kontroversial yang sudah amat tua dengan korban yang sudah banyak, oleh karena itu dengan kesadaran bahwa masalah ini menyangkut peradapan bangsa, maka terhadap masalah ini kita sudah harus mengambil keputusan untuk menghapus pidana mati baik dalam pelaksanaan maupun dalam ancaman. Devis West: The moment to decide, then it is the brave man chooses, while the coward stands aside

DAFTAR PUSTAKA

1. KUHP, Soesilo, R, Bogor 1996, Penerbit Politea; 2. Undang-undang RI No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Jakarta 2005 penerbit Harvarindo; 3. Undang-undang RI No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, Jakarta 2005 penerbit Harvarindo; 4. Santiaji Pancasila Darji Darmodiharjo, Prof, SH, dkk, Surabaya 1984, Penerbit Usaha Nasional.

Anda mungkin juga menyukai