Anda di halaman 1dari 20

LAPORAN TUTORIAL BLOK NEUROLOGI SKENARIO 2

OLEH: KELOMPOK 15 Andreas Peter Patar Dessy Putri Dwi Budi Narityastuti Eli Dwy Purbaningrum Ginanjar Tenri Sultan Jeanne Fransisca Nurul Dwi Utami Putri Ayu Winiasih Satria Adi Putra Nama Tutor : dr. G0010018 G0010054 G0010062 G0010070 G0010086 G0010106 G0010144 G0010156 G0010172

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET 2011

BAB I PENDAHULUAN

Seorang anak perempuan 10 tahun dibawa ke poliklinik saraf setelah mengalami serangan kejang tersebut bentuk kejangnya sama dimana keempat alat geraknya kaku, mata melirik ke atas, tidak sadar, keadaan tersebut terjadi tiba-tiba dan berlangsung sekitar 3 menit. Setelah berhenti kejang anak tersebut tertidur. Setelah bangun anak tersebut sadar kembali. Sebelum kejang anak tersebut bermain game di komputer sekitar 1 jam. Di poliklinik dokter mengusulkan pemeriksaan EEG. Tiga bulan kemudian anak tersebut dibawa ke IGD karena kejang timbul lagi dan tidak berhenti selama setengah jam. Saat di ruang IGD, disebelah pasien anak tersebut ada seorang wanita yang tiba-tiba pingsan setelah mendapat informasi bahwa orangtuanya meninggal dunia. Di ruang pojok IGD juga ada anak pelajar SMA yang histerik dan kejangkejang setelah ditinggal pacarnya.

BAB II ISI

Kejang Kejang adalah manifestasi klinis khas yang berlangsung secara intermitten dapat berupa gangguan kesadaran, tingkah laku, emosi, motorik, sensorik, dan atau otonom yang disebabkan oleh lepasnya muatan listrik yang berlebihan di neuron otak. Apabila terdapat lesi pada neuron di otak, ada beberapa fenomena yang terjadi : 1. Instabilitas membrane sel. Membrane sel yang tidak stabil, ketika terjadi sedikit saja rangsangan akan mengubah permeabilitas. Hal ini

mengakibatkan depolarisasi abnormal dan terjadilah lepas muatan yang berlebihan. 2. Neuron-neuron hipersensitif dengan ambang untuk melepaskan muatan menurun, dan apabila terpicu akan melepaskan muatan berlebihan. 3. Kelainan polarisasi yang disebabkan oleh kelebihan asetilkolin atau defisiensi gama aminobutirat acid (GABA). 4. Ketidakseimbangan ion yang mengubah keseimbangan asam basa atau elektrolit yang mengganggu homeostasis kimiawi neuron sehingga terjadi kelainan pada depolarisasi neuron (Price dan Wilson, 2006). Kejang fokal dapat berubah menjadi jenis kejang lain melalui beberapa tingkatan, hal ini menunjukan adanya penyebaran lepasan listrik ke berbagai bagian otak (Tjahjadi, 2007). Jika kejang bersifat generalisata, lepas muatan listrik yang berlebihan akan menyebar ke bagian otak secara luas. Penyebaran yang mencapai 2/3 bagian otak akan mengakibatkan penurunan kesadaran.

Penyebab Tersering kejang adalah sebagai berikut: Kejang demam Infeksi: meningitis, ensefalitis

Gangguan metabolik: hipoglikemia, hiponatremia, hipoksemia, hipokalsemia, gangguan elektrolit, defisiensi piridoksin, gagal ginjal, gagal hati, gangguan metabolik bawaan

Trauma kepala Keracunan: alkohol, teofilin Penghentian obat anti epilepsi Lain-lain: enselopati hipertensi, tumor otak, perdarahan intrakranial,idiopatik

Kesadaran Kesadaran adalah pengetahuan penuh atas diri, lokasi dan waktu. Kesadaran secara sederhana dapat dikatakan sebagai keadaan dimana seseorang mengenal atau mengetahui tentang dirinya maupun lingkungannya. Penurunan kesadaran adalah keadaan dimana penderita tidak sadar dalam arti tidak terjaga atau tidak terbangun secara utuh sehingga tidak mampu memberikan respons yang normal terhadap stimulus. Sistem aktivitas retikuler berfungsi mempertahankan kesadaran. Sistem ini terletak di bagian atas batang otak, terutama di mesensefalon dan hipothalamus. Lesi di otak, yang terletak di atas hipothalamus tidak akan menyebabkan penurunan kesadaran, kecuali bila lesinya luas dan bilateral. Lesi fokal di cerebrum, misalnya oleh tumor atau stroke, tidak akan menyebabkan coma, kecuali bila letaknya dalam dan mengganggu hipothalamus.

Dalam memeriksa tingkat kesadaran, seorang dokter melakukan inspeksi, konversasi dan bila perlu memberikan rangsang nyeri. 1. Inspeksi, memperhatikan apakah pasien berespon secara wajar terhdapa stimulus visual, auditoar, dan taktil yang ada disekitarnya 2. Konversasi, memperhatikan apakah pasien memberi reaksi wajar terhadap suara konversasi, atau dapat dibangunkan dengan suruhan atau pertanyaan yang disampaikan dnegan suara yang kuat 3. Nyeri. Dalam menilai penurunan kesadaran dikenal beberapa istilah yaitu: 1. Kompos mentis

2. Somnelen / drowsiness / clouding of consciousness 3. Stupor / Sopor 4. Soporokoma / Semikoma 5. Koma

Sinkop Sinkop adalah suatu gejala dengan karakteristik klinik kehilangan kesadaran yang tiba-tiba dan bersifat sementara, dan biasanya menyebabkan

jatuh. Onsetnya relatif cepat dan terjadi pemulihan spontan. Kehilangan kesadaran tersebut terjadi akibat hipoperfusi serebral. Prognosis dari sinkop sangat bervariasi bergantung dari diagnosis dan etiologinya. Individu yang mengalami sinkop termasuk sinkop yang tidak diketahui penyebabnya memiliki tingkat mortalitas yang lebih tinggi dibanding mereka yang tidak pernah sinkop. ANS (sistem saraf autonom) secara otomatis mengontrol banyak fungsi tubuh, seperti pernapasan, tekanan darah, denyut jantung, dan kandung kemih. Ada berbagai macam penyebab sinkop salah satunya jika darah tidak bersirkulasi dengan seharusnya, atau sistem saraf otonom tidak bekerja sebagaimana mestinya. Penyebab sinkop dapat diklasifikasikan dalam enam kelompok, yaitu: 1. Vascular 2. Kardiak 3. neurologik-serebrovaskular 4. psikogenik 5. metabolik 6. sinkop yang tidak diketahui penyebabnya. Kelompok vaskular merupakan penyebab sinkop terbanyak kemudian diikuti oleh kelompok kardiak. Di Amerika diperkirakan 3% dari kunjungan pasien gawat darurat disebabkan oleh sinkop dan merupakan 6% alasan seseorang datang kerumah sakit. Angka rekurensi dalam 3 tahun diperkirakan 34%. Sinkop sering terjadi pada orang dewasa, insiden sinkop meningkat dengan meningkatnya umur. Hamilton mendapatkan sinkop sering pada umur 15-19 tahun, lebih sering pada

wanita dari pada laki-laki, sedangkan pada penelitian Framingham mendapatkan kejadian sinkop 3% pada laki-laki dan 3,5% pada wanita, tidak ada perbedaan antara laki-laki dan wanita. Pasien yang mengalami sinkop akan mengalami penurunan kualitas hidup. Prognosis dari sinkop sangat bervariasi tergantung dari diagnosis etiologinya. Individu yang mengalami sinkop termasuk sinkop yang tidak diketahui penyebabnya mempunyai tingkat mortalitas yang lebih tinggi dibandingkan yang tidak pernah mengalami episode sinkop. Mortalitas tertinggi disebabkan oleh sinkop kardiak, sedangkan sinkop yang berhubungan dengan persyarafan termasuk hipotensi ortostatik dan sinkop yang berhubungan dengan obat-obatan tidak menunjukan peningkatan angka kematian. Patofisiologi (Mekanisme terjadinya) sinkop terdiri dari tiga tipe: 1. Penurunan output jantung sekunder pada penyakit jantung intrinsik atau terjadi penurunan klinis volume darah yang signifikan; 2. Penurunan resistensi pembuluh darah perifer dan atau venous return 3. Penyakit serebrovaskular klinis signifikan yang mengarahkan pada penurunan perfusi serebral. Terlepas dari penyebabnya, semua kategori ini berbagi faktor umum, yaitu, gangguan oksigenasi otak yang memadai mengakibatkan perubahan sementara kesadaran.

Sedangkan penyebab vaskular (kelainan tonus vascular atau volume darah) pada sinkop adalah: a. Hipotensi Orthostatik Definisi Hipotensi Orthostatik adalah apabila terjadi penurunan tekanan darah sistolik 20mmHg atau tekanna darah diastolik 10 mmHg pada posisi berdiri selama 3 menit. Pada saat seseorang dalam posisi berdiri sejumlah darah 500800 ml darah akan berpindah ke abdomen dan eksremitas bawah sehingga terjadi penurunan besar volume darah balik vena secara tiba-tiba ke jantung. Penurunan ini mencetuskan peningkatan refleks simpatis. Kondisi ini dapat asimptomatik tetapi dapat pula menimbulkan gejala seperti kepala terasa ringan, pusing, gangguan penglihatan, lemah, berbedebar-debar, hingga

sinkop. Sinkop yang terjadi setelah makan terutama pada usia lanjut disebabkan oleh retribusi darah ke usus. Penyebab lain hipotensi orthostatik adalah obat-obatan yang menyebabkan deplesi volume atau vasodilatasi. Obat-obat yang sering menyebabkan hipotensi orthostatik adalah: Diuretika Penghambat adrenergik alfa: terazosin Penghambat saraf adrenergik: guanetidin Penghambat ACE Antidepresan: MAO Inhibitor Alkohol Penghambat ganglion Vasodilator Obat-obatan hipotensif yang bekerja sentral: metildopa, clonidin.

b. Sinkop Hipersensitivitas Sinus Carotid Sinkop karena hipersensitivitas dari sinus karotid diinduksi oleh tekanan pada baroreseptor di sinus karotis. Umumnya terjadi pada tight collar atau membelokan kepala ke satu sisi. Hal ini umum terjadi pada pria dengan usia lebih dari 50 tahun. Aktivasi dari baroreseptor sinus karotis meningkatan impuls yang dibawa ke badan Hering menuju medulla oblongata. Impuls afferen ini mengaktivkan saraf simpatik efferen ke jantung dan pembuluh darah. Hal ini menyebabkan sinus arrest atau Atrioventricular block, vasodilatasi.

c. Penyebab Sinkop Neurogenik Terminologi ini merupakan bentuk dari seluruh sinkop yang berasal dari sinyal saraf SSP yang berefek pada vaskular, khususnya pada Nucleus Tractus Solitarius (NTS). Sejumlah stimulus, yang terbanyak bersala dari viseral, dapat menghilangkan respon yang berakibat pengurangan atau hilang tonus simpatis dan diikuti dengan peningkatan aktivitas vagal. NTS pada medula mengintegrasikan stimulus afferen dan sinyal baroreceptor dengan

simpatis efferen yang mempertahankan tonus vaskular. Beberapa studi mengatakan terdapat gangguan pada pengaturan kontrol simpatis dan juga sinyal baroreceptor.

d. Sinkop Vasodepressor Sinkop jenis ini adalah hal yang umum terjadi. Predisposisi secara familial belum dapat dibuktikan. Faktor yang mendukung terjadinya sinkop umumnya emosi yang berlebihan, luka fisik (khususnya viseral). Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, vasodilatasi dari persarafan adrenergik dipostulasikan terhadap berkurangnya resistensi perifer dimana cardiac output gagal untuk mengkompensasi seperti yang terjadi pada hipotensi. Stimulasi vagal kemudian terjadi dan menyebabkan bradikardia yang memicu kemungkinan untuk penurunan kembali tekanan darah. Efek Vagal lainnya adalah, prespiration, peningkatan aktivitas peristaltik, nausea, dan salivasi.

Sinkop Vasodepressor dapat terjadi pada: Seseorang dengan kondisi normal yang dipengaruhi oleh emosi yang tinggi Pada seseorang yang merasakan nyeri hebat setelah luka, khususnya pada daerah abdomen dan genitalia Selama latihan fisik yang keras pada orang-orang yang sensitif.

e. Sinkop Neurokardigenik Oberg dan Thoren telah mengobservasi bahwa ventrikel kiri dapat saja menjadi sumber persarafan yang memediasi terjadinya sinkop. Terjadi paradoxical bradikardia yang ditandai dengan meningkatnya aktivitas serat autonom yang berasal dari ventrikel jantung. Sinkop sering terjadi pada situasi peningkatan aktivitas simpatik perifer dan venous pooling. Pada situasi ini, peningkatan kontraksi miokardial pada ventrikel kiri yang relatif kosong mengaktifkan mekanoreseptor dari miokardium dan saraf afferen vagus yang menghambat aktivitas simpatik dan meningkatkan aktivitas parasimpatik. Hasil dari vasodilatasi dan bradikardia menyebabkan sinkop. Walaupun reflex

yang melibatkan mekanoreseptor miokardium umum diterima sebagai sebab dari sinkop neurokardiogenik, namun reflex lain juga diperkirakan terlibat. Sinkop neurocardiogenik sering terjadi sebagai stimulus dari rasa takut, emosi, atau nyeri yang tidak berasosiasi dengan venous pooling pada ekstremitas bawah. Mekanisme yang mungkin melibatkan SSP dalam sinkop neurogenik masih belum dapat dijelaskan dnegan pasti, namun peningkatan tiba-tiba level serotonin dapat berefek pada menurunnya aktivitas simpatik. Endogen opioat dan adenosin juga dianggap terkait dalam patogenesis.

f. Neuralgia Glossofaringeal Sinkop karena neuralgia glossofaringeal ditandai dengan nyeri pada orofaring, fossa tonsilar atau ligah. Biasanya terjadi pada pasien dekade ke-6. Pada sebagian kecil kasus nyeri hebat yang dirasakan berujung pada sinkop. Sebagai sekuens berawal dari nyeri, bradikardia, dan kemudian sinkop. Kehilangan kesadaran yang terjadi lebih sering diasosiasikan dengan kondisi asistol daripada vasodilatasi. Mekanismenya melibatkan aktivasi impuls afferen pada saraf glossofaringeal yang diterminasi pada NTS di medulla secara kolateral dan mengaktifkan nukleus dorsal motor dari nervus vagus. Sebagai tambahan dari bradikardia, terdapat pula hipotensi yang terjadi karena efek inhibisi aktivutas simpatik perifer, hal ini yang terkadang menjadi penyebab timbulnya asystole. Pengobatan media yang dapat diberikan adalah anticonvulsant dan baclofen.

g. Penyakit Cerebrovaskular Kelainan pada cerebrovaskular jarang menjadi penyebab tunggal dalam terjadinya sinkop. Namun, kelainan pada cerebrovascular ini menyebabkan penurunan ambang untuk terjadinya syncope. Arteri Vertebrobasilar, yang mensuplai struktur batang otak dan bertanggungjawab untuk

mempertahankan kesadaran, umumnya terlibat dalam penyebab terjadinya sinkop karena kelainan cerebrovaskular. Kebanyakan pasien yang mengalami

kepala ringan, atau sinkop karena kelainan serebrovascular juga memilki gejala lain dari iskemia neurologis, seperti tangan dan kaki menjadi lemah, diplopia, ataxia, disarthria, atau gangguan sensorik. Arteri bassiler jarang menyebabkan sinkop pada ornag dewasa.

h. Penyebab Neurologik Penyebab neurologik dari sinkop termasuk migrain, kejang, malformasi Arnold-Chiari dan TIA (transient Ischemic Attack) yang ternyata cukup mengejutkan karena merupakan 10% sebagai penyebab sinkop secara keseluruhan. Kebanyakan individu yang mengalami sinkop akibat kelainan neurologik seringkali mengalami kejang daripada hanya episode sinkop saja. Kelainan neurologi yang terjadi sering kali mirip dengan sinkop yaitu terdapatnya gangguan atau hilangnya kesadaran seseorang. Keadaan ini termasuk iskemi serebral sementara, migrain, epilepsi lobul temporal, kejang atonik dan serangan kejang umum.

i.

Sinkop Perdarahan Cerebral Sinkop karena perdarahan cerebral. Terjadinya perdarahan subarachnoid dapat menjadi sinyal terjadinya sinkop, yang sering diikuti dengan transient apnea. Oleh karena terjadi perdarahan arteri, terdapat peristiwa penghentian dari sirkulasi cerebral karena tekanan intrakranial dan tekanan darah saling mendekati satu sama lain. Permasalahan yang sering terkait adalah seorang pasien yang terjatuh tiba-tiba tanpa sebab yang jelas, tersadar dengan sakit kepala, sering ditemukan memiliki hematom bifrontal dan perdarahan subarachnoid pada pemeriksaan CT.

j.

Sinkop Kardiak Kehilangan kesadaran karena jantung atau pembuluh kondisi darah yang mengganggu aliran darah ke otak. Kondisi ini mungkin mencakup irama jantung abnormal (aritmia), obstruksi aliran darah di jantung atau pembuluh darah, penyakit katup, stenosis aorta, bekuan darah, atau gagal jantung.

k.

Penyebab Sinkop Metabolik Penyebab metabolik pada sinkop sangat jarang, hanya berkisar 5% dari seluruh episode sinkop. Gangguan metabolik yang seringkali menjadi penyebab sinkop tersebut adalah hipoglikemi, hipoksia dan hiperventilasi. Sinkop akibat hipoglikemi adalah hilangnya kesadaran yang berhubungan dengan kadar gula darah dibawah 40mg/dL dan disertai gelaja tremor, bingung, hipersalivasi, keadaan hiperadrenergik dan rasa lapar.

Hipoadrenalism yang dapat menyebabkan terjadinya hipotensi postural akibat sekresi kortisol yang tidak adekuat, merupakan penyebab penting episode sinkop yang dapat diobati.

l.

Sinkop Situasional Berbagai aktivitas termasuk batuk, mikturisi, dan defekasi dapat

menyebabkan sinkop. Hal ini setidaknya disebabkan oleh kontol abnormal dari saraf autonom dan mungkin melibatkan respon cardioinhibitory dan respon vasodepressor. Batuk, mikturisi, defekasi yang berassosiasi dengan manuver dapat menyebabkan hipotensi dan sinkop dengan cara menurunkan venous return. Peningkatan tekanan intrakranial sekunder hingga peningkatan tekanan intratorakal dapat menyebabkan penurunan aliran darah cerebral. Sinkop karena batuk biasanya terjadi pada pria yang memiliki kronik bronchitis atau penyakit paru obstruktif. Sinkop karena mikturisi lebih banyak terjadi pada usia pertengahan dan orang yang lebih tua usianya, khususnya untuk mereka yang memiliki hipertrofi prostat dan obstruksi saluran kemih, biasnaya terjadi pada malam hari setelah melakukan pengosongan. Sinkop defekasi dapat terjadi secara sekunder akibat valsava manuver pada orang tua dengan konstipasi.

Epilepsi Epilepsi adalah suatu keadaan klinis pada penderita yang cenderung mendapatkan serangan kejang epileptik berupa serangan paroksismal berulang. Kejang adalah suatu lepas muatan abnormal dan berlebihan secara sinkron dari neuron-neuron di dalam sistem pusat. Lepas muatan yang berlebihan ini disebabkan oleh suatu instabilitas dari membran neuron oleh karena kelebihan dari mekanisme yang merangsang atau oleh karena berkurangnya mekanisme yang biasanya menghambat. Potensial dari membran neuron tergantung dari permeabilitas selektif dari membran tersebut. Membran ini dapat dengan mudah dilalui oleh ion kalium dan klorida, tetapi sangat sulit dilalui oleh ion natrium dan kalsium. Akibatnya dari keadaan ini adalah konsentrasi yang tinggi dari ion kalium di dalam sel, dan konsentrasi ion natrium dan kalsium intraselular yang rendah. Bila terjadi stimulasi dari sel sekitarnya maka selama waktu yang singkat ion natrium dapat memasuki sel dan terjadi perubahan potensial sel membran. Inilah yang disebut potensial aksi. Karena potensial aksi ini besar, maka ia dapat meluas ke sel-sellain dan serat-seratnya. Inilah yang dinamakan transmisi impuls. Epilepsi disebabkan oleh karena lepas muatan yang berlebihan dari neuron, hal ini disebabkan oleh karena suatu paroxysmal depolarizing shift (PDS) dalam membran potensial neuron yang merangsang, yang disebut trigger action potentials. PDS hanya mungkin terjadi bila terdapat suatu disinhibisi dari suatu kelompok neuron yang mempunyai kemampuan membangkitkan letupan secara intrinsik. Letupan intrinsik ini tergantung tidak hanya pada masuknya ion natrium, Tetapi terutama dari masuknya ion kalsium ke dalam neuron, yang disebut influks kalsium. Impuls dapat berjalan dari cabang akson suatu neuron ke dendrit dari neuron lain melalui transmitter agent, antara lain yaitu norepinefrin, serotonin, dopamin, asetilkolin, 1-glutamat, 1-aspartat, dan GABA (gamma amino butyric acid). Fungsi dari 1-aspartat dan 1-glutamat adalah merangsang pada sel kortikal, sedangkan GABA berfungsi sebagai inhibitory. Fungsi normal dari neuron sangat tergantung dari keseimbangan antara sistem yang merangsang dan menghambat.

Dengan kata lain, dapat disebut bahwa dalam epilepsi terjadi ketidakseimbangan antara GABA dan 1-glutamat.

Klasifikasi Epilepsi 1. Epilepsi Umum (Generalisata) Kejang generalisata melibatkan seluruh korteks serebrum dan diensefalon serta ditandai dengan awitan aktivitas kejang yang bilateral dan simetrik yang terjadi di kedua hemisfer tanpa tanda-tanda bahwa kejang berawal sebagai kejang fokal. Pasien tidak sadar dan tidak mengetahui keadaan sekeliling saat mengalami kejang. Kejang ini biasanya muncul tanpa aura atau peringatan terlebih dahulu. Kejang generalisata dibagi menjadi beberapa tipe yaitu tipe tonik-klonik, absence, mioklonik, atonik, klonik, dan tonik. a. Epilepsi Grandmal (tonik-klonik) Kejang tonik-klonik diawali dengan hilangnya kesadaran dengan cepat. Pada fase tonik otot-otot berkontraksi dan posisi tubuh mungkin berubah. Fase ini berlangsung beberapa detik. Fase klonik

memperlihatkan kelompok-kelompok otot yang berlawanan bergantian berkontraksi dan melemas sehingga terjadi gerakan-gerakan menyentak. Jumlah kontraksi secara bertahap berkurang tetapi kekuatannya tidak berubah. Keseluruhan kejang berlangsung selama 3 sampai 5 menit dan diikuti periode tidak sadar selama 30 menit. Setelah kejang penderita tertidur, kemudian tersadar dan mengalami disorientasi, stupor, dan kebingungan. Periode ini disebut periode pascaiktus atau post-ictal. Serangan grandmal kadang-kadang terjadi berturut-turut sehingga penderita tak sadar untuk waktu yang lama. Bila antara kedua kejang penderita tidak sadar disebut status epileptikus, sedangkan apabila pada periode antara kedua kejang penderita sadar disebut serial epileptikus. Efek fisiologik kejang tonik-klonik tergantung pada lama kejang berlangsung. Kejang tonik-klonik yang lama menyebabkan efek neurlogik dan kardiorespirasi yang berat. Efek ini disebabkan oleh meningkatnya katekolamin dalam sirkulasi. Apabila kejang terjadi lebih

dari 15 menit maka akan terjadi deplesi katekolamin. Kejang yang lebih dari 30 menit akan menyebabkan henti jantung atau henti napas. Kejang tonik-klonik demam atau kejang demam paling sering terjadi pada anak di bawah 5 tahun. Kejang ini disebabkan oleh

hipertermia yang berkaitan dengan adanya infeksi. Kejang ini berlangsung singkat dan mungkin terdapat predisposisi familial. Kelainan metabolik yang mendasari kejang mencakup

hiponatremia, hipernatremia, hipoglikemia, hiperosmolar, hipokalsemia, hipomagnesia, hipoksia, dan uremia. b. Epilepsi Petitmal Pada epilepsi jenis ini tidak terdapat kejang. Epilepsi ini ditandai oleh terjadinya gangguan kesadaran dalam waktu singkat (6-10 detik), sehingga penderita tidak sampai jatuh. Penderita berhenti dari aktivitas yang dilakukan sekan-akan melamun, kemudian melakukan aktivitas kembali. Serangan kadang-kadang dapat 10-20 kali dalam sehari. Sering salah didiagnosis sebagai melamun, gejalanya yaitu menatap kosong, kepala sedikit lunglai, kelopak mata bergetar, atau bergerak cepat, tonus postural tidak hilang. c. Epilepsi Mioklonik Epilepsi jenis ini banyak terdapat pada anak-anak. Saat serangan terjadi gangguan kesadaran sebentar, disertai gerakan involunter dari sekelompok otot terutama pada bagian atas bahu. d. Epilepsi Atonik Pada epilepsi tipe ini, secara mendadak pasien kehilangan tonus otot pada beberapa bagian tubuh bahkan pada seluruh tubuh.

2.

Epilepsi Parsial Epilepsi parsial adalah serangan epilepsi yang bangkit akibat lepas muatan listrik di suatu daerah di korteks serebri. a. Epilepsi Parsial Sederhana

Manifestasinya bervariasi tergantung bagian korteks yang terkena, bisa dengan gejala motorik, sensorik, autonom, maupun psikis. Terdapat beberapa klasifikasi dari epilepsi parsial. Epilepsi Parsial Sederhana dengan Gejala Motorik Fokus epilepsi tipe ini terdapat di gyrus precentralis lobus frontalis. Kejang mulai dari daerah yang mempunyai representasi yang luas di daerah ini, yaitu mulai dari ibu jari, meluas ke seluruh tangan, lengan, muka, dan tungkai. Kadang-kadang behenti pada satu sisi. Tetapi bila rangsangan sangat kuat, dapat meluas ke lengan atau tungkai, sehingga menjadi kejang umum. Epilepsi Parsial Sederhana dengan Gejala Sensorik Fokus epileptik terdapat di girus postcentralis lobus parietalis. Pasien mengalami kesemutan pada ibu jari, lengan, muka, dan tungkai, tanpa gejala motoris, yang dapat meluas ke sisi lain.

b.

Epilepsi Parsial Kompleks Termasuk dalam kelompok ini adalah epilepsi parsial dengan gangguan kesadaran. Tanda-tanda yang menonjol adalah gejala psikis dan automatisme. Disebut juga sebagai epilepsi psikomotor. Dimulai sebagai kejang parsial sederhana, berkembang menjadi perubahan kesadaran yang disertai oleh gejala motorik, gejala sensorik, automatisme. Beberapa kejang parsial mungkin berkembang menjadi kejang generalisata.

Dibawah ini akan dijelaskan mengenai masalah yang ada di dalam skenario. Pada skenario kasus 1 ini, anak perempuan ini mengalami kejang epileptik. Hal ini dikarenakan gejala dan tanda yang ditunjukan oleh anak perempuan umur 10 tahun ini mirip dengan gejala dan tanda dari kejang epileptik itu sendiri, yaitu gejala yang timbulnya mendadak, hilang spontan dan cenderung untuk berulang. Sedangkan gejala dan tanda-tanda klinis tersebut sangat

bervariasi dapat berupa gangguan tingkat penurunan kesadaran, gangguan sensorik (subyektif), gangguan motorik atau kejang (obyektif), gangguan otonom

(vegetatif) dan perubahan tingkah laku (psikologis). Semuanya itu tergantung dari letak fokus epileptogenesis atau sarang epileptogen dan penjalarannya. Selain dari analisis gejala dan tanda, untuk menegakkan diagnosis epilepsi, kita juga harus memperhatikan hasil anamnesis (penderita, keluarga/orang terdekat/saksi mata), hasil pemeriksaan fisik (umum, neurologi), pemeriksaan penunjang atas indikasi (EEG, CT-SCAN, MRI, darah). Pemeriksaan penunjang yang menjadi gold standar dagnosis dari epilepsi yaitu EEG

(elektroensefalografi). Pemeriksaan EEG meupakan pemeriksaan neurofisiologi yang dapat mendeteksi kelainan fungsional. Pemeriksaan EEG prinsipnya merekam aktivitas sel otak, terutama neuron yang ada pada lapisan pyramidal di koreks cerebri. Pemeriksaan ini dapat menentukan prognosis pada kasus tertentu dan letak fokus epileptikusnya dan juga dapat menjadi bahan pertimbahan dalam penghentian obat anti epilepsi. Penatalaksanaan untuk kasus epilepsi pada dasarnya bertujuan untuk mengontrol gejala dan tanda secara adekuat dengan penggunaan obat yang minimal dan membantu penyandang epilepsi untuk menjalankan aktivitas dan kehidupan sosialnya. Prinsip pengobatan epilepsi, yaitu : Pengobatan dilakukan bila terdapat minimum 2 kali bangkitan dalam setahun. Diagnosis telah ditegakkan dan penyandang serta keluarganya telah memahami tujuan pengobatan dan kemungkinan efek samping. Pilihan jenis obat sesuai dengan jenis bangkitannya. Pengobatan dengan monoterapi Pemberian obat dari dosis rendah, dinaikan bertahap sampai dosis efektif tercapai. Bila perlu penggantian obat, obat pertama diturunkan secara bertahap dan naiakan obat kedua bertahap Gagal dengan terapi monoterapi/terapi optimal maka rujuk ahli saraf.

Adapun pilihan obat anti epilepsi, yaitu Carbamazepine, Carbatrol, Clobazam, Clonazepam, Depakene, Depakote, Depakote ER, Diastat, Dilantin,

Felbatol, Frisium, Gabapentin, Gabitril, Keppra, Klonopin, Lamictal, Lyrica, Mysoline, Neurontin, Phenobarbital, Phenytek, Phenytoin, Sabril, Tegretol, Tegretol XR, Topamax, Trileptal, Valproic Acid, Zarontin, Zonegran, Zonisamide. Komplikasi terfatal pada epilepsi, yaitu kematian. Kematian bisa terjadi karena pengaruh di cerebral (hipoksia global), non cerebral (respirasi, hipertemi, latrogenik, rhabdomyolisis). Dan untuk prognosis dari epilepsi terbagi menjadi dua, yaitu : Prognosis Medik Prevalensi epileptik kronik 1/200 orang = mayoritas epilepsi tidak menjadi kronik Jika remisi lama (lebih 2 tahun) sudah tercapai = penurunan resiko mengalami serangan berikutnya Jika serangan terkendali sejak dini oleh obat = prognosis sangat baik

Prognosis psikososial Umumnya pasien dapat hidup secara normal Komunikasi antara doketer, orang tua dan lingkungan sangat penting Salah anggapan dari masyarakat tentang epilepsi = tekanan dan stress penyandang epilepsi

Berikut ini akan dijelaskan mengenai kasus lain yang ada di skenario. Seorang wanita yang tiba-tiba pingsan setelah mendapat informasi bahwa orangtuanya meninggal dunia. Pingsan dalam skenario termasuk ke dalam jenis sinkop vasodepressor. Seperti pada keterangan yang diberikan pada skenario, wanita tersebut dipengaruhi oleh emosi yang tinggi (orangtuanya meninggal dunia), sehingga terjadi vasodilatasi dari persarafan adrenergik dipostulasikan terhadap berkurangnya resistensi perifer dimana cardiac output gagal untuk mengkompensasi seperti yang terjadi pada hipotensi. Stimulasi vagal kemudian terjadi dan menyebabkan bradikardia yang memicu kemungkinan untuk penurunan kembali tekanan darah. Pengobatan yang

dapat dilakukan pada wanita tersebut dengan berbaring mendatar untuk mengembalikankesadaran ataupun mengangkat kaki dapat

mempercepatpemulihan karena bisa meningkatkan aliran darah ke jantung dan otak. Pada orang muda yang tidak memiliki penyakit jantung, pingsan biasanya tidak serius, dan jarang diperlukan pemeriksaan diagnostik maupun pengobatan yang lebih lanjut.

Anak pelajar SMA yang teriak histerik dan kejang-kejang setelah ditinggal pacarnya. Kejang pada kasus tersebut merupakan kejang psikogenik, yang disebabkan oleh emosi yang berlebih, dengan ciri-ciri: sering prodormal, tidak disertai jeritan pada awal, tidak bersifat inkontinensia, jarang disebabkan oleh cedera, vokalisasi tetap normal selama serangan, batas kesadaran normal, jika dikekang akan melawan namun dapat menghentikan seragan, berdurasi dapat memanjang, dan serangan berhenti seiring dengan menurunnya emosi dan siuman tanpa rasa bingung.

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan Pada skenario berjudul Kejang terdapat tiga kasus. a. Epilepsi Tonik-Klonik. Hal tersebut ditunjukkan karena pasien mengalami gejala kejang berulang, alat gerak kaku, disertai pasien tidak sadarkan diri. Faktor yang dapat mencetuskan terjadinya kejang ini antara lain cahaya yang yang silau, suara yang keras, dan ketegangan yang dialami oleh penderita ketika bermain game di komputer. b. Sinkope. Hal ini ditunjukkan pada kasus kedua dimana terjadi penurunan kesadaran pada wanita yang kemudian berujung pada keadaan tidak sadarkan diri. c. Kejang Psikogenik/histeria. Dimana kejang ini memiliki faktor pencetus emosional penderita. Pemeriksaan untuk epilepsi meliputi : Anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan EEG, pemeriksaan psikologis dan psikiatris, serta pemeriksaan radiologis.

B. Saran 1. Mahasiswa disarankan untuk memahami dasar dari neuro anatomi sehingga mampu menganalisis masalah secara mudah. 2. Mahasiswa diharapkan untuk berdiskusi secara lebih aktif agar didapatkan luaran yang memuaskan.

DAFTAR PUSTAKA Brown HB, Ropper AH. Adams & Victors Principles of Neurology. Edisi ke-8. Mc-Graw Hill. 2006. p.321-328 Lumbantobing. Neurologi Klinik Pemeriksaan Fisik dan Mental. Jakarta: FKUI. 2008. h.7 Mardjono dan Sidharta. 2008. Neurologi Klinis Dasar. Cetakan ke-12. Jakarta: Dian Rakyat. Morag R. Syncope. Oktober 2010.

http://emedicine.medscape.com/article/811669-overview Diunduh pada 2 Desember 2011. 6. Darrof RB. Carlson MD. Dizziness, Syncope, And Vertigo. In Harrisons Neurology in Clinical Medicine. McGraw-Hill. 2006. p.115-119 Padmosantjojo. Keperawatan Bedah Saraf. Jakarta: Bagian Bedah Saraf FKUI. 2000 Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia. 1996. Buku Ajar Neurologi Klinis. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press. Price dan Wilson. 2006. Patofisiologi: Konsep Klinis Prose-Proses Penyakit. Ed: 6. Jakarta: EGC. Rasjidi K, Nasution SA. Sinkop. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, K MS, Setiati S, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I. Edisi 5. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2009. h. 210-212 Tjahjadi, dkk. 2007. Gambaran Umum Mengenai Epilepsi. In : Kapita Selekta Neurologi. Ed: ke-2. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.

Anda mungkin juga menyukai